• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Kanker Kolorektal Berdasarkan Kelompok Usia dan Klasifikasi Histopatologi WHO di RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari 2011-Desember 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Gambaran Kanker Kolorektal Berdasarkan Kelompok Usia dan Klasifikasi Histopatologi WHO di RSUP H. Adam Malik Medan Periode Januari 2011-Desember 2013"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Usus Besar

Panjang usus besar adalah 1,5 m dengan diameter sebesar 6,5 cm, yang

meluas dari mulai ileus hingga ke anus. Berada dan melekat pada dinding perut

posterior oleh mesokolon yang merupakan lapisan rangkap dari peritoneum.

Struktural dari usus besar terdiri dari empat bagian, yaitu sekum, kolon, rektum

dan kanal anus (Principles of Anatomy and Physiology, 2008). Bagian yang

terbuka dari sekum bergabung dengan sebuah saluran panjang yang disebut kolon

(saluran makanan), yang terbagi atas kolon bagian ascending, transverse,

descending dan sigmoid. Bagian dari kolon ascending dan descending terletak

retroperitoneal sedangkan bagian transverse dan sigmoid terletak intraperitoneal

(Principles of Anatomy and Physiology, 2008). Makanan yang sudah mencapai

usus halus secara per bagian akan mencapai kolon. Kolon akan menyerap kembali

air, ion-ion termasuk natrium dan klorida serta vitamin dan nutrisi lain dari

makanan yang masih dibutuhkan oleh tubuh, sedangkan yang lainnya akan

menjadi produk sisa (feses) (Sherwood, 2010). Gerak peristaltik menyebabkan

feses bergerak menuruni sekum dan menuju ke rektum yang berada di anterior

sekum dan coccyx, di bagian ini feses akan disimpan sementara sebelum akhirnya

akan diekskresikan melalui anus.

Vaskularisasi utama rektum disuplai oleh cabang superior arteri

hemoroidal dari mesentrika inferior, tetapi bagian rektum yang lebih bawah

disuplai oleh arteri hemoroidal bagian tengah dari iliaka interna, dan arteri

hemoroidal inferior dari arteri pudendal (Kapoor,2013) yang dapat dilihat pada

gambar 2.1. Usus besar memiliki nodus limfa yang berfungsi sebagai mekanisme

(2)

Gambar 2.1 Anatomi usus besar dan Vaskularisasinya

(Human Anatomy Lange, 2014)

Dinding dari usus besar memiki empat lapisan, yaitu : mukosa, sub

mukosa, muskularis dan serosa. Pada gambar 2.2 menunjukkan lapisan mukosa

tersusun dari epithelium kolumnar selapis, lamina propria (areolar connective

tissue) dan muskularis mukosa (otot polos). Bagian epitelium berfungsi dalam

absorpsi air serta mengandung sel goblet. Sel absorpsi dan sel goblet terletak pada

tubulus kelenjar usus yang panjang dan lurus yang dikenal dengan Lieberkühn

cript yang meluas sepanjang mukosa dan ditunjukkan pada gambar 2.3. Usus

besar tidak memiliki lipatan sirkuler atau vili, tetapi memilki microvili yang

berada pada sel absorpsi sehingga kebanyakan proses absorpsi zat terjadi di usus

(3)

lapisan dalam. Lapisan longitudinal-nya tebal dan memiliki pita-pita yang dikenal

sebagai Teniae coli yang kebanyakan berada di sepanjang usus besar. Bagian

serosa usus besar merupakan bagian dari peritoneum visceral. Peritoneum visceral

memiliki kantungan kecil yang diisi oleh lemak yang dilekatkan ke teniae coli

yang disebut omental appendices (Principles of Anatomy and Physiology, 2008).

Gambar 2.2 Lapisan lumen usus besar

(Principles of Anatomy and Physiology, 2008)

Gambar 2.3 Histologi usus besar

(4)

2.2 Kanker Kolorektal

2.2.1. Definisi Kanker Kolorektal

Kanker kolorektal adalah kanker yang dimulai dari bagian kolon atau

rektum (American Cancer Society, 2014). Kanker kolorektal dapat terjadi terpisah

sebagai kanker kolon ataupun kanker rektum, tergantung darimana asal kanker

dimulai. Kebanyakan pertumbuhan kanker kolorektal terjadi secara lambat dalam

beberapa tahun. Pertumbuhan awal jaringan tumor terjadi dalam bentuk polip non

kanker sebelum berkembang menjadi kanker pada lapisan dalam kolon dan

rektum (American Cancer Society, 2014).

Tumor yang terbentuk dapat jinak ataupun ganas. Polip merupakan tumor

yang jinak dan non kanker, beberapa polip dapat berubah menjadi kanker

tergantung pada jenis dari polip-nya. Adenoma merupakan polip yang dapat

menjadi kanker dan beberapa dokter berpendapat bahwa Hyperplastic Polyps and

Inflammatory Polyps dapat menjadi prakanker dan berpotensi besar menjadi

adenoma dan kanker, terutama ketika polip ini tumbuh pada kolon ascending,

sehingga ketiga jenis polip ini dikenal sebagai polip pre kanker (American Cancer

Society, 2014). Berdasarkan data American Cancer Society sebesar 95% kanker

kolon dan atau rektum adalah Adenokarsinoma, yaitu kanker yang berasal dari sel

kelenjar yang melapisi bagian dalam usus besar.

Diagnosis dari adenokarsinoma sesuai dengan adanya keberadaan dari

Paneth cells” yang tersebar, sel neuroendokrin atau fokus kecil dari diferensiasi

sel squamous. Tumor yang berpenetrasi melalui mukosa muskularis kedalam

submukosa yang dipertimbangkan sebagai keganasan pada kolon dan atau rektum

(IARC, 2011).

2.2.2 Epidemiologi

Secara epidemiologis kejadian kanker kolorektal di dunia mencapai urutan

keempat, dimana jumlah pasien laki-laki sedikit lebih banyak daripada perempuan

dengan perbandingan 19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk (IPD, 2009). Pada

tahun 2011 diestimasikan bahwa sekitar 141,210 kasus baru dan 49,380 kematian

(5)

terjadi pada bagian kolon dan 28% pada rektum (SEER, 2013). Dari data yang

dikeluarkan oleh International Agency for research on Cancer pada tahun 2013,

berdasarkan GLOBOCAN 2012 terjadi peningkatan sebanyak 14,1 juta kasus baru

kanker di dunia dengan 1,4 juta atau 9.7% didiagnosis sebagai kanker kolorektal.

Kanker kolorektal merupakan masalah yang sering mengganggu kesehatan

masyarakat Indonesia dan menduduki urutan ketiga kanker tertinggi. Rata – rata

jumlah insidensi kanker kolorektal menurut usia per 100.000 populasi Indonesia

adalah 19,1 untuk laki-laki dan 15,6 untuk perempuan (Ferlay, J, et.al dalam

Abdullah, 2012). Jumlah ini lebih rendah daripada jumlah insidensi di Australia,

Selandia Baru dan Eropa bagian Barat, tetapi jumlah kasusnya tinggi di Indonesia

oleh karena Indonesia merupakan negara keempat dengan jumlah populasi

terbanyak di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 235 juta populasi, yang

tergambar pada tabel 2.1 dan gambar 2.4.

Penelitian epidemiologi sebelumnya yang dilakukan oleh Departemen

Kesehatan RI tahun 1995, sebagaimana dikutip oleh Murdani Abdullah (2012)

menunjukkan bahwa usia pasien kanker kolorektal di Indonesia lebih muda

daripada pasien di negara-negara berkembang lainnya. Lebih dari 30% kasus

merupakan usia 40 tahun atau lebih muda, sedangkan hanya 2-8 % yang lebih

muda dari 50 tahun di negara berkembang lain (Lee, P.Y. ; Parramore, J.B. dalam

(6)

Tabel 2.1 Karakteristik Demografi di Negara- Negara Asia dibandingkan dengan

Amerika Serikat

(7)

Gambar 2.4 Jumlah Insidensi dari Kanker Kolon dan Rektum menurut jenis

kelamin di Negara - Negara Asia dibandingkan dengan Amerika

Serikat

(Taiwan Cancer Registry Annual Report, 2005 (Taiwan); GLOBOCAN, 2002 ;

IARC, 2003)

2.2.3 Etiologi

Kanker kolorektal terjadi melalui interaksi yang kompleks antara faktor

genetik dan faktor lingkungan. Dua sindroma yang secara genetik diturunkan dan

yang paling umum berhubungan dengan kanker kolorektal adalah Familial

Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer

(HNPC) (American Cancer Society, 2014). Kanker kolorektal berkembang secara

sporadik dalam waktu yang cukup lama sebagai akibat dari faktor lingkungan

yang menimbulkan perubahan genetik yang berkembang menjadi kanker. Kedua

(8)

mendadak, melainkan melalui proses yang dapat diidentifikasikan pada mukosa

kolon (dysplasia adenoma). Secara umum terdapat dua faktor resiko yang dapat

berpengaruh terhadap angka kejadian kanker kolorektal, yaitu :

1. Faktor Resiko yang Tidak dapat Diubah a. Usia

Kecenderungan dari diagnosis kanker kolorektal meningkat setelah usia 40

tahun dan meningkat tajam setelah usia 50 tahun (SEER, 2013 ; World Cancer

Research Fund and American Institute for Cancer Research, 2007). Lebih dari

90% kasus kanker kolorektal terjadi pada usia 50 tahun atau lebih dan didiagnosis

rata-rata pada usia 72 tahun (National Cancer Institute, 2006 ; SEER, 2013), tetapi

insidensi kanker kolorektal tampaknya meningkat pada usia muda sekarang ini

(Neufeld, D, et.al, 2009). Kenyataannya saat ini di Amerika Serikat, kanker

kolorektal merupakan satu dari sepuluh kanker yang umum didiagnosis pada

laki-laki dan wanita yang berusia antara 20 – 49 tahun ( Haggar, 2009).

b. Riwayat Menderita Polip Adenomatous atau Kanker Kolorektal Polip neoplastik kolorektum, yaitu adenoma tubular dan vilus, merupakan

lesi prekursor dari kanker kolorektal (Haggar, F.A, 2009). Hampir 95% dari

kanker kolorektal yang sporadik berkembang dari adenoma - adenoma ini. Jika

memiliki riwayat polip adenomatous, maka akan meningkatkan resiko terjadinya

kanker kolorektal oleh karena itu, bagi pasien yang memiliki riwayat kanker

kolorektal dan telah dilakukan pengangkatan total tetap memiliki kecenderungan

untuk terjadinya kanker baru di lokasi lain di kolon dan rektum (American Cancer

Society, 2014).

Perkembangan adenoma untuk menjadi keganasan biasanya membutuhkan

masa periode latensi yang panjang dengan perkiraan antara 5-10 tahun (Davies,

R.J., et.al ; de Jong, A.E., et.al. dalam Haggar, F.A., 2009). Deteksi dan

pengangkatan adenoma sebelum bertransformasi menjadi keganasan dapat

mengurangi resiko terjadinya kanker kolorektal (Grande, 2008). Pengangkatan

(9)

perkembangan dari kanker dibagian mana saja dari kolon dan rektum (De Jong,

A.E. dalam Haggar, 2009).

c. Riwayat Menderita Inflammatory Bowel Disease (IBD)

Inflammatory Bowel Disease (IBD) digunakan untuk menggambarkan dua

penyakit, yaitu Ulcerative colitis dan Penyakit Crohn. Ulcerative colitis

menyebabkan inflamasi pada mukosa kolon dan rektum (Hanggar, F.A., et.al,

2009 ; World Cancer Research Fund and American Institute for Cancer Research,

2007). Penyakit Crohn menyebabkan inflamasi dari keseluruhan dinding usus dan

dapat melibatkan bagian dari sistem pencernaan lain mulai dari mulut hingga ke

anus. Kondisi-kondisi ini meningkatkan resiko keseluruhan individu untuk

menderita kanker kolorektal (National Institute of Health, 2006). Seseorang yang

memiliki IBD dapat berkembang menjadi dysplasia. Dysplasia merupakan istilah

yang digunakkan untuk menggambarkan abnormalitas sel yang melapisi kolon

atau rektum (lesi prakanker) (American Cancer Society, 2014). Resiko relatif

kanker kolorektal pada pasien IBD memiliki estimasi antara 4 hingga 20 kali.

Oleh karena itu, individu yang menderita IBD tanpa batasan usia diharapkan

melakukan skrining kanker kolorektal sedini mungkin dan secara regular

(American Cancer Society, 2014 ; Haggar, 2009).

d. Riwayat Keluarga yang Menderita Kanker kolorektal atau Polip Adenomatous

Mayoritas penderita kanker kolorektal terjadi pada orang-orang tanpa

riwayat keluarga yang menderita kanker kolorektal ataupun penyakit pendukung

lainnya. Meskipun demikian, lebih dari 20% penderita kanker kolorektal memiliki

anggota keluarga yang pernah menderita penyakit ini (World Cancer Research

Fund and American Institute for Cancer Research, 2007). Pasien dengan riwayat

menderita kanker kolorektal ataupun polip adenomatous dalam satu atau lebih

tingkatan keluarga berada pada resiko tinggi. Kanker kolorektal terjadi lebih

tinggi pada orang-orang dengan riwayat keluarga, seperti riwayat kanker

kolorektal ataupun polip adenomatous pada usia yang lebih muda dari 60 tahun

(10)

adenomatous dalam dua atau lebih tingkatan keluarga tanpa batasan usia

(Boardman, 2007). Belum jelas alasan yang dapat menjelaskan hal ini, tetapi

lebih kepada faktor genetik, faktor lingkungan dan beberapa kombinasi keduanya

(American Cancer Society, 2014 ; Haggar, 2009). Jika seseorang memiliki riwayat

keluarga menderita polip adenomatous atau kanker kolorektal, mulailah

melakukan skrining sebelum usia 50 tahun.

e. Faktor Genetik

Sekitar 5 hingga 10% penderita kanker kolorektal memiliki riwayat kerusakan (mutasi) pada gen dalam keluarga. Kerusakan ini menyebabkan

terjadinya kanker pada usia muda yang sekarang ini terjadi cukup sering

(American Cancer Society, 2014). Kondisi genetik yang paling umum adalah

Familial adenomatous polyposis (FAP) dan Hereditary nonpolyposis colorectal

cancer (HNPCC), yang juga disebut sindroma Lynch. HNPCC dihubungkan

dengan mutasi gen-gen yang terlibat pada jalur perbaikan DNA, yaitu gen MLH1

dan MSH2 (World Cancer Research Fund and American Institute for Cancer

Research, 2007) . FAP disebabkan oleh mutasi gen penekan tumor yaitu APC

(Wilmink, A.B., 1997 dalam Haggar, 2009).

Jumlah kejadian HNPCC sekitar 2 - 6%. Usia rata-rata penderita HNPCC

yang didiagnosis adalah pertengahan 40 tahun. Penderita HNPCC juga memilki

polip, tetapi jumlahnya hanya beberapa, tidak seperti FAP yang bisa mencapai

ratusan (American Cancer Society, 2014 ; National Institute of Health, 2006).

Sedangkan jumlah kejadian FAP kurang dari 1%. Seseorang dengan FAP

memiliki karakteristik perkembangan ratusan polip, biasanya pada usia yang

relatif muda, dan bertransformasi menjadi malignan pada awal usia 20 tahun. Saat

usia 40 tahun, hampir seluruh penderita ini akan berkembang menjadi kanker jika

tidak dilakukan pengangkatan kolon (National Institute of Health, 2006 ; World

(11)

2. Faktor Resiko yang dapat Diubah a. Faktor Resiko Lingkungan

Kanker kolorektal secara luas dipertimbangkan sebagai penyakit

lingkungan, pengertian dari ‘Lingkungan’ secara luas meliputi budaya, sosial, dan

faktor gaya hidup. Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker yang

penyebabnya dapat dirubah dan dapat diidentifikasi, sehingga dapat dilakukan

pencegahan (Haggar, F.A., 209). Beberapa bukti resiko lingkungan muncul dari

penelitian terhadap para imigran dan keturunan mereka. Para imigran yang berasal

baik dari negara yang beresiko rendah sampai dengan beresiko tinggi, kejadian

kanker kolorektal cenderung meningkat mengikuti populasi kecenderungan di

negara tuan rumah (Janout, A, et.al, dalam Haggar, 2009) (Johnson, I.T, Lund,

E.K., 2007). Sebagai contoh, keturunan dari Eropa Selatan bermigrasi ke

Austaralia dan para imigran Jepang bermigrasi ke Hawaii, resiko kanker

kolorektal meningkat dibandingkan dengan populasi negara asal. Selain dari

imigrasi, terdapat faktor geografis lain yang mempengaruhi perbedaan insidensi

kanker kolorektal, salah satunya adalah penduduk kota. Insidensi penduduk kota

meningkat secara konstan. Penduduk baru merupakan prediktor resiko yang baik

dibandingkan dengan penduduk asli, dengan jumlah insidensi kanker kolon lebih

tinggi daripada kanker rektum dan insidensi laki-laki lebih tinggi daripada wanita

(Boyle, 2002).

b. Diet dan Asupan Makanan

Diet sangat kuat mempengaruhi faktor resiko kanker kolorektal dan

perubahan kebiasaan makan dapat mengurangi lebih dari 70% kejadian kanker

kolorektal. Resiko ini meningkat pada konsumsi makanan yang tinggi lemak,

terutama lemak hewan, dan daging serta kurang mengonsumsi sayuran dan

buah-buahan (Boyle, 2002). Implikasi dari lemak, sebagai faktor etiologi yang

mungkin, dihubungkan dengan konsep dari diet Barat yang mendukung

perkembangan dari flora bakteri yang mampu mendegradasi asam empedu

menjadi senyawa N- nitrosol yang bersifat carsinogenic. Konsumsi daging yang

(12)

F.D., 2003). Hubungan positif konsumsi daging lebih kuat pada kanker kolon

daripada kanker rektum (Alexander, D.D., et.al., 2011 ; Larsson, S.C. dan Wolk,

A, 2006). Mekanisme konsumsi daging merah terhadap perkembangan kanker

kolorektal adalah berdasarkan keberadaan dari zat besi heme di daging merah.

Dalam beberapa hal, daging yang dimasak dalam suhu tinggi, menghasilkan

gugus amina heterosiklik dan hidrokarbon aromatik polisiklik, kedua gugus ini

diyakini memiliki sifat carsinogenic (Santarelli, R.L., 2008 ; Sinha, R, 2002

dalam Haggar, 2009).

Diet tinggi sayuran dan buah-buahan dihubungkan dengan penurunan

resiko kanker kolorektal, tetapi tidak pada semua studi pengamatan. Hubungan

antara konsumsi buah dan sayuran serta insidensi kanker kolon dan rektum telah

diteliti dalam dua metode kohort oleh Nurses’ Health Study dengan sampel wanita

sebanyak 88,764 dan Health Professionals’ Follow-up Study dengan sampel pria

sebanyak 47,325 (Boyle, 2002). Perbedaan asupan serat pada makanan

berhubungan dengan perbedaan geografis pada insidensi kanker kolorektal.

Sebagai contoh, asupan serat berperan dalam perbedaan jumlah insidensi kanker

kolorektal antara Afrika dan negara-negara Barat, dengan dasar bahwa asupan

makanan yang tinggi serat dapat mengencerkan kandungan feses, meningkatkan

kepadatan feses dan mengurangi waktu transit (World Cancer Research Fund and

American Institute for Cancer Research, 2007).

c. Aktivitas fisik dan Obesitas

Faktor gaya hidup memiliki hubungan dengan kanker kolorektal. Dua

faktor resiko yang dapat diubah dan yang saling berhubungan sebanyak empat per

tiga dari kanker kolorektal yaitu, inaktivitas fisik dan kelebihan berat badan.

Bukti-bukti menunjukkan penurunan resiko kanker kolorektal dengan peningkatan

aktivitas fisik, termasuk efek respon terhadap dosis, frekuensi dan intensitas

aktivitas fisik berbanding terbalik dengan resiko (Boyle, 2002). Bukti dari World

Cancer Research Fund and American Institute for Cancer Research menunjukkan

penurunan resiko kanker kolorektal akibat aktivitas fisik yang teratur dan diet

(13)

rektum. Aktivitas fisik yang sedang meningkatkan kecepatan metabolik dan

meningkatkan pengambilan (uptake) maksimal dari oksigen (De Jong, A.E., et.al.

dalam Haggar, 2009). Dalam jangka waktu yang panjang, aktivitas fisik yang

teratur meningkatkan efisiensi dan kapasitas metabolik tubuh, dan meningkatkan

motilitas usus (Boyle, 2002). Aktivitas fisik setara dengan berjalan selama 4 jam

per minggu dapat mengurangi resiko kanker kolorektal pada wanita ketika

diperbandingkan dengan kelompok yang sedikit bergerak (RR, 0,62 ; 95% CI,

0.40, 0.97), peningkatan aktivitas fisik pria dan wanita serupa pada usia lebih dari

45 tahun (Boyle, 2002).

Rendahnya aktivitas fisik dalam rutinitas sehari – hari juga dapat

berkontribusi dalam peningkatan insidensi obesitas pada pria dan wanita yang

juga faktor penting dalam kanker kolorektal. Beberapa hubungan biologis yang

berhubungan dengan kelebihan berat badan dan obesitas, meningkatkan sirkulasi

estrogen dan menurunkan sensitivitas insulin serta mempengaruhi resiko kanker,

dan dihubungkan dengan kelebihan adipos pada abdomen (Haggar, 2009).

Penelitian-penelitian mengungkapkan bahwa individu-individu yang

menggunakan / membakar energi lebih efisien dalam penurunan resiko kanker

kolorektal (Boyle, 2002).

d. Merokok

Hubungan antara merokok dan kanker paru telah jelas diketahui, tetapi

merokok juga memiliki efek berbahaya pada kolon dan rektum (Boyle, 2002).

Bukti menunjukkan bahwa 12% kematian akibat kanker kolorektal disumbangkan

oleh merokok. Giovannucci menyimpulkan bahwa 21 dari 22 penelitian

menemukan bahwa jangka panjang perokok berat memiliki 23 kali lipat

peningkatan resiko adenoma kolorektal. Kandungan carsinogenic yang

ditemukkan di dalam rokok meningkatkan pertumbuhan kanker di kolon dan

rektum serta mencapai mukosa kolon dan rektum, baik melalui saluran

pencernaan atau sistem sirkulasi dan kemudian menyebabkan kerusakan atau

perubahan dari gen yang mengekspresikan kanker (National Institute of Health,

(14)

pertumbuhan dari polip adenoma sebagai prekursor lesi dari kanker kolorektal.

Polip yang lebih besar ditemukan di kolon dan rektum yang berkaitan dengan

merokok jangka panjang. Bukti juga menunjukkan rata-rata usia muda dari onset

kanker kolorektal disepanjang pria dan wanita yang merokok.

e. Konsumsi Alkohol

Sebagaimana merokok, konsumsi rutin dari alkohol berhubungan dengan

peningkatan resiko dari perkembangan kanker kolorektal. Konsumsi alkohol

merupakan faktor dari onset kanker kolorektal pada usia muda. Metabolit reaktif

di alkohol seperti acetaldehyde dapat menjadi carsinogenic (Po¨schl, G dan Seitz,

H.K. dalam Haggar, 2009). Alkohol juga dapat berperan sebagi pelarut, memicu

penetrasi dari molekul carsinogenic lainnya kedalam mukosa sel (Po¨schl, G dan

Seitz, H.K. dalam Haggar, 2009). Sebagai tambahan, efek alkohol dapat dimediasi

melalui produksi prostaglandin, peroksidasi lipid, dan generasi dari radikal bebas.

Seseorang yang mengonsumsi alkohol akan terjadi penurunan nutrisi esensial dari

makanan yang telah dikonsumsi, sehingga jaringan tubuh mudah mengalami

proses karsinogenik (World Cancer Research Fund and American Institute for

Cancer Research, 2007).

2.2.4 Manifestasi Klinis

Diagnosa dini dari kanker kolorektal dapat mempengaruhi survival rate,

gejala awal seperti nyeri perut dapat membingungkan dengan penyakit lain.

1. Gejala- gejala dari kanker kolon

Gejala-gejala yang umum adalah nyeri abdomen, rektum berdarah,

perubahan aktivitas usus dan penurunan berat badan yang tanpa disadari. Kanker

kolon dapat muncul dengan diare ataupun konstipasi, perubahan aktivitas usus ini

lebih menunju kepada kanker kolon daripada perubahan aktivitas usus yang

abnormal secara kronis. Gejala-gejala yang jarang meliputi mual dan muntah,

malaise, anorexia dan distensi abdomen (American Cancer Society, 2014).

Gejala-gejala tergantung pada lokasi kanker, ukuran kanker dan

(15)

usus secara parsial ataupun komplet daripada kolon sebelah kanan oleh karena

lumen kolon sebelah kiri lebih sempit dan feses yang berada di sebelah kiri

memiliki bentuk yang lebih bagus, karena reabsorpsi air dibagian proksimal

kolon. Exopitik kanker yang besar lebih menyebabkan obstruksi dari lumen kolon,

obstruksi parsial menyebabkan konstipasi, mual dan distensi abdomen, serta nyeri

abdomen. Obstruksi parsial secara paradoksikal menyebabkan diare yang

intermiten karena feses yang bergerak pada tempat obstruksi.

Kanker pada bagian distal terakadang menyebabkan perdarahan rektum

yang kasat mata, tetapi kanker pada bagian proksimal jarang menyebabkan

gejala-gejala ini oleh karena darah bercampur dengan feses dan didegradasi secara

kimiawi saat transit di kolon. Perdarahan pada bagian proksimal kanker terjadi

secara tersembunyi dan dapat menyebabkan pasien mengalami anemia defisiensi

besi tanpa perdarahan rektum yang kasat mata. Anemia dapat menyebabkan

kelemahan, letih, dyspnea, atau palpitasi. Kanker yang lebih lanjut, terutama

metastasis, dapat menyebabkan cancer cachexia, dengan karakteristik dari empat

gejala berikut yaitu penurunan berat badan yang tidak disadari, anoreksia,

kelemahan otot, dan perburukan kesehatan.

2. Gejala-gejala dari kanker rektum

Kanker rektum memiliki gejala yang hampir sama dengan gejala dari

kanker kolon dan penyakit usus lainnya. Perkembangan tumor pada rektum atau

kanal anus dapat mengubah konsistensi, bentuk dan frekuensi dari aktivitas usus.

Perdarahan pada rektum dengan ditemukan feses berdarah dengan warna merah

cerah ataupun dapat terjadi perubahan warna feses menjadi merah gelap ataupun

berwarna merah bata. Secara umum gejala-gejala tersebut adalah nyeri pada

rektum, nyeri abdomen, frekuensi gas yang sering atau kram perut, perasaan

bloating, perubahan nafsu makan, penurunan berat badan dan perasaan letih.

2.2.5 Patogenesis

Perjalanan penyakit dari kanker kolorektal terjadi akibat perubahan pada

gen kunci pengatur pertumbuhan, yaitu APC, tp53, TGF-β Tumor-Suppressor

(16)

a. APC

Kanker kolorektal terjadi akibat banyak perubahan genetik, tetapi jalur

sinyal tertentu telah secara jelas dipilih sebagai faktor kunci dalam pembetukan

tumor. Aktifasi dari jalur sinyal Wnt menjadi awal dari kejadian kanker

kolorektal. APC merupakan komponen dari kompleks degradasi protein β-catenin

yaitu proteolisis. Mutasi kanker kolorektal yang paling sering adalah

menginaktifasi gen-gen yang mengkode protein APC. Akibat ketidakberadaan

fungsi APC, Wnt mensinyal secara tidak wajar. Mutasi dari gen APC

menyebabkan poliposis adenomatous familial, hampir 100% karier dari gen ini

merupakan resiko dari kanker kolorektal pada usia 40 tahun (Markowitz, S.D.,

Bertagnolli, M.M., 2009).

b. Tp53

Inaktifasi dari jalur p53 akibat mutasi dari TP 53 merupakan kunci genetik

kedua dari tahapan kanker kolorektal. Pada kebanyakan tumor-tumor, dua alel

Tp53 diinaktifasi, biasanya oleh kombinasi dari mutasi missense yang

menginaktifasi aktivitas transkripsi p53 dan delesi kromosom 17p yang

mengeliminasi alel kedua Tp53. Inaktifasi dari TP53 sering terjadi dengan transisi

dari adenoma besar menjadi karsinoma invasif. Pada kebanyakan kanker

kolorektal dengan mismatch dan kerusakan proses perbaikan, aktivitas dari jalur

p53 berkurang oleh mutasi pada BAX yang merupakan penginduksi dari apoptosis

(Markowitz, S.D., Bertagnolli, M.M., 2009).

c. TGF-β Tumor-Suppressor Pathway

Mutasi dari sinyal TGF-β merupakan tahap ketiga dari progresi kanker

kolorektal. Mutasi somatik menginaktifasi TGFBR2 sekitar sepertiga dari kanker

kolorektal. Kurang lebih setengah dari semua kanker kolorektal dengan gangguan

perbaikan tipe wild, sinyal dari TGF-β dihancurkan oleh inaktifasi mutasi

missense pada domain TGFBR2 kinase. Mutasi yang menginaktifasi jalur TGF-β

terjadi dengan transisi dari adenoma ke dysplasia high-grade atau karsinoma

(17)

d. K-ras

Proto-onkogen seperti K-ras, merupakan komponen dari jalur sinyal yang

mempromosikan pertumbuhan normal selular dan proliferasi. Mutasi dari

proto-onkogen menyebabkan produk gen aktif dengan menghasilkan efek tumorigenik

(Lange, 2011). Berikut merupakan jalur-jalur gen pengatur pertumbuhan yang

ditunjukkan oleh gambar berikut.

Gambar 2.5 Jalur gen-gen dan faktor pertumbuhan yang mengontrol progresi dari

kanker kolorektal

(18)

Gambar 2.6 Skema perubahan morfologi dan molecular dalam adenokarsinoma.

Ditunjukkan bahwa kehilangan dari gen penekan tumor (APC)

terjadi pada awal kejadian

(Robbins Basic Pathology, 7th

2.2.6 Stadium Patologi

ed)

Estimasi paling baik dalam prognosis kanker kolorektal yang berhubungan

dengan perluasan anatomi penyakit adalah pemeriksaan patologi dari reseksi

spesimen. Staging dari kanker kolorektal relatif lurus kedapan. Pada mulanya

staging menggunakan klasifikasi Dukes, dimana pasien dikategorikan menjadi

tiga kategori (stages A, B, C). Kemudian dilakukan modifikasi oleh Astler-Coller

mejadi empat kategori ( stage : D). Gunderson & Sosin memodifikasi kembali

pada tahun 1978. Yang terbaru adalah sistem TNM oleh American Joint

Committee on Cancer (AJCC) yang mengelompokkan menjadi empat stage (stage

(19)

Tabel 2.2Perbandingan klasifikasi berdasarkan TNM dan Dukes

T (Tumor) = tumor primer

TX – tumor primer tidak dapat dinilai

T0 – tidak ada tumor primer

Tis – karsinoma in situ: intraepitelial atau invasi dari lamina propria

T1 – invasi tumor ke submukosa

T2 – invasi tumor ke muskularis propria

T3 – invasi tumor melalui muskularis propria ke subserosa

T4 – invasi langsung tumor ke organ-organ lain atau struktur-struktur dan/atau

perforasi peritoneum visceral

N (Nodus) = Nodus Limfe Regional

NX – nodus limfa regional tidak dapat dinilai

N0 – tidak ada metastasis nous limfa

N1 – metastasis pada satu sampai tiga nodus limfa

N2 – metastasis pada empat atau lebih nodus limfa

M (Metastasis) = penyebaran MX – metastasis tidak dapat dinilai

M0 – tidak ada metastasis

(20)

Gambar 2.7 Gambaran klasifikasi TNM pada kanker kolorektal

2014)

- Jenis Histopatologi

Untuk gambaran tipe histologi, secara internasional klasifikasi

histopatologi untuk tumor kolorektal menggunakan klasifikasi menurut World

(21)

Gambar 2.8 Klasifikasi histologi tumor kolon dan rektum menurut WHO

(IARC, 2011).

2.2.7 Diagnosis 1. Anamnesis

Meliputi perubahan pola makan, gejala-gejala non spesifik yang muncul

seperti perubahan aktivitas usus, nyeri abdomen, penurunan berat badan yang

tanpa disadari, perdarahan pada bagian rektum, perasaan cepat letih. Penggalian

riwayat penyakit dan riwayat dalam keluarga serta gaya hidup dari penderita

(American Cancer Society, 2014).

2. Pemeriksaan Fisik

Dokter melakukan palpasi pada abdomen secara hati-hati untuk merasakan

masa atau pembesaran organ-organ (hepatolomegali, splenomegali, dll). Dokter

juga melakukan pemeriksaan colok dubur (DRE). Saat pemeriksaan, dokter akan

memasukkan lubrikan pada jari telunjuk yang telah menggunakan sarung tangan

(22)

menunjukkan masa pada pasien dengan kanker rektum, tetapi tidak pada kanker

kolon (American Cancer Society, 2014).

3. Pemeriksaan Laboratorium dan Pendukung

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah

lengkap, fungsi hati dan Tumor markers. Pemeriksaan darah lengkap ditujukkan

untuk melihat apakah pasien menderita anemia. Pada beberapa penderita kanker

kolorektal menderita anemia oleh karena pendarahan jangka panjang yang

disebabkan oleh tumor. Pemeriksaan enzim hati ditujukkan untuk menilai fungsi

hati, karena kanker kolorektal dapat menyebar ke organ hati. Sedangkan

pemeriksaan tumor markers untuk melihat substansi-substansi yang

dihasilakannya, seperti carcinoembryonci antigen (CEA) dan CA 19-9, yang

dikeleuarkan ke aliran darah. Pemeriksaan darah untuk penanda tumor lebih

sering digunakan dibandingkan pemeriksaan-pemeriksaan lain untuk memonitor

pasien yang telah didiagnosis untuk kanker kolorektal. Penanda tumor ini juga

dapat digunakan untuk menunjukkan keberhasilan pengobatan (American Cancer

Society, 2014).

Selain itu terdapat pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu Fecal Occult

Blood Test (FOBT) yang digunakan untuk menemukan darah yang tersembunyi di

feses. Pemeriksaan ini didasari pada pembuluh darah pada permukaan dari polip

kolorektal yang lebih besar atau kanker yang mudah rapuh dan rusak saat feses

keluar. Kerusakan pembuluh darah biasanya mengeluarkan sejumlah kecil dari

darah ke feses, tetapi jarang yang terlihat pada feses. Namun pemeriksaan ini

tidak dapat menunjukkan asal darah baik dari kolon ataupun dari bagian lain

sistem pencernaan. Jika hasil positif, pemeriksaan kolonoskopi dibutuhkan untuk

menemukan penyebab perdarahan. Selain kanker perdarahan dapat disebabkan

oleh ulkus, hemoroid, divertikulosis, ataupun penyakit inflamasi usus (American

Cancer Society, 2014).

a. Biopsi

Biasanya jika suspek kanker kolorektal ditemukan pada pemeriksaan

(23)

menyingkirkan bagian kecil dari jaringan dengan alat khusus yang dilewati

melalui scope. Dapat tejadi perdarahan setelah tindakan ini, tetapi berhenti dalam

periode waktu yang singkat. Sangat jarang, bagian kolon membutuhkan operasi

pengangkatan untuk menegakkan diagnosis (American Cancer Society, 2014).

b. Sigmoidoskopi Fleksibel

Pada pemeriksaan ini, dokter akan melihat bagian dari kolon dan rektum

dengan sigmoidoskop fleksibel, yang dilengkapi dengan cahaya dan kamer di

ujungnya. Dengan menggunakan sigmoidoskopi, dapat dilihat bagian dalam

rektum dan bagian dari kolon untuk mendeteksi abnormalitas dan menentukkan

apakah dapat disingkirkan atau tidak. Namun kelemahan dari alat ini, hanya dapat

melihat bagian dalam kurang dari setengah panjang kolon (American Cancer

Society, 2014).

c. Kolonoskopi

Dengan menggunakan pemeriksaan ini dapat melihat panjang keseluruhan

kolon dan rektum dibandingkan dengan sigmoidoskopi. Dengan bantuan kamera

pada bagian ujung alat dan dihubungkan dengan monitor sehingga dokter dapat

melihat bagian dalam kolon. Alat-alat khusus dapat dimasukkan bersamaan

dengan kolonoskopi untuk biopsi ataupun pengangkatan hal-hal yang

mencurigakan seperti polip, jika dibutuhkan (American Cancer Society, 2014).

Kolonskopi merupakan prosedur yang aman, tetapi dalam beberapa

keadaan kolonoskopi dapat menusuk dinding kolon atau rektum, yang dapt

meyebabkan perforasi. Hal ini dapat menjadi komplikasi serius yang berdampak

pada infeksi abdomen yang serius dan membutuhkan operasi perbaikan (American

Cancer Society, 2014).

d. Double-contrast Barium Enema

Double- contrast barium enema (DCBE) juga disebut dengan air-contrast

barium enema atau barium enema dengan kontras udara. Pada dasarnya alat ini

merupakan jenis dari pemeriksaan X-ray. Barium sulfat, yang merupakan cairan

yang pucat seperti kapur dan udara digunakan untuk menggambarkan bagian

(24)

bagian yang dicurigai terlihat pada pemeriksaan, kolonsokopi dibtuhkan untuk

eksplorasi lebih lanjut (American Cancer Society, 2014).

e. CT Colonografi (Virtual Colonoscopy)

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang lebih maju dari tipe

computed tomography (CT atau CAT) scan pada kolon dan rektum. CT scan

merupakan pemeriksaan x-ray yang menghasilkan detail gambaran potong silang

dari tubuh. CT scanner mengambil beberapa gambaran yang dari tubuh yang

dirotasikan. Pada CT kolonografi, merupakan program computer khusus yang

menciptakan gambaran x-ray dua dimensi dan gambaran tiga dimensi “fly-trough”

didalam dari kolon dan rektum, yang dapat melihat polip atau kanker.

Pemeriksaan ini tidak invasiv sperti kolonoskopi. Dalam pemeriksaan ini pasien

diminta untuk mengosongkan isi usus terutama kolon dan rektum agar

menghasilkan gambaran yang baik (American Cancer Society, 2014).

f. Endorectal Ultrasound

Pemeriksaan ini menggunakan transduser khusus yang dimasukkan secara

langsung kedalam rektum. Alat ini digunakan untuk melihat seberapa jauh

penetrasi kanker melalui dinding rektum dan apakah sudah terjadi penyebaran ke

organ atau jaringan terdekat seperti nodus limfa (American Cancer Society, 2014).

g. Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan

Sama seperti ct scan, MRI menunjukkan detail gambar dari jaringan lunak

di tubuh. MRI membantu pasien dengan kanker rektum untuk melihat apakah

sudah terjadi penyebaran tumor ke struktur terdekat. Untuk mendukung akurasi

dari pemeriksaan, beberapa dokter menggunakan endorectal MRI. Dokter

meletakkan probe nya yaitu endorectal coil, didalam rektum. Alat ini berada

didalam selama 30 hingga 45 menit selama pemeriksaan dan tidak nyaman. MRI

juga melihat area abnormal pada hati yang dapat dikarenakan penyebaran kanker

atau melihat otak dan korda spinal (American Cancer Society, 2014).

2.2.8 Penatalaksanaan

Berdasarkan stage dari kanker, dua atau lebih dari jenis pengobatan dapat

(25)

Penatalaksanaan akan disesuaikan dengan keadaan klinis dari pasien. Dalam

penentuan keputusan penatalaksanaan pasien bisa mencari pendapat kedua dari

tenaga kesehatan yang ahli lainnya. Pengobatan dari kanker dapat berupa terapi

local atau sistemik. Terapi lokal berupa operasi dan radiasi, dimana kanker yang

berasa didekat kolon atau rektum dihancurkan atau diangkat. Ketika kanker

kolorektal telah menyebar ke organ tubuh lain, terapi lokal dapat digunakan

sebagai kontrol penyakit pada area spesifik tersebut. Sedangkan terapi sistemik

berupa kemoterapi dan terapi biologis. Obat-obat masuk ke aliran darah dan

menghancurkan kanker diseluruh tubuh (American Cancer Society, 2014).

1. Operasi a. Operasi Kolon

Operasi umumnya merupakan pengobatan utama pada awal stage kanker

kolon.

- Open Colectomy

Kolektomi yang dikenal juga dengan hemicolectomy, partial colectomy,

atau segmental resection adalah pengangkatan bagian kolon, yang juga terdapat

disekitar nodus limfa. Operasi open colectomy dilakukan melalui insisi tunggal di

abdomen. Satu hari pra operasi, pasien disuruh untuk mengosongkan seluruh isi

usus, dengan memberikan laxative dan enema. Sebelum operasi, pasien juga akan

diberi anastesi umum (American Cancer Society, 2014).

Sekitar seperempat hingga sepertiga dari kolon diangkat, tetapi panjang

pasti yang akan diangkat tergantung dari ukuran dan lokasi pasti dari kanker.

Bagian dari kolon hasil dari operasi akan mengalami penyatuan kembali. Nodus

limfe terdekat juga akan diangkat pada saat yang bersamaan (American Cancer

Society, 2014).

-Laparoscopic – assisted colectomy

Metode terbaru dalam pengangktan bagian kolon dan nodus limfe terdekat

mungkin merupakan pilihan untuk beberapa stage awal dari kanker. Ahli bedah

(26)

pengangkatan kolon dan nodus limfe. Alat tersebut adalah laparoscope yang

memiliki kamera kecil pada ujungnya. Oleh karena insisi yang lebih kecil

daripada open colectomy, proses penyembuhan sedikit lebih cepat dan rasa sakit

yang sedikit daripada operasi kolon yang standar. Teknik ini membutuhkan ahli

bedah yang berpengalaman (American Cancer Society, 2014).

-Polipektomi dan Eksisi Lokal

Beberapa kanker kolon stadium awal (tumor stage 0 dan stage 1 awal) atau

polip dapat diangkat dengan operasi melalui colonoscope. Polipektomi dilakukan

dengan mengangkat kanker dari polip dengan cara memotong batang (area yang

mirip dengan jamur). Eksisi lokal menyingkirkan kanker di permukaan dan

sejumlah kecil jaringan disekitar (American Cancer Society, 2014).

b. Operasi Rektum

-Reseksi Lokal Transanal

Reseksi lokal transanal dilakukan dengan alat-alat yang dimasukkan

melalui anus, tanpa membuat pembukaan pada kulit abdomen. Operasi ini

memotong keseluruhan lapisan rektum dan menyingkirkan kanker disekeliling

dari jaringan normal dan menutup lubang pada dinding rektum. Prosedur ini dapat

digunakan untuk stage 1 yaitu T1 N0 M0 kanker rektum yang relatif kecil dan

tidak terlalu jauh dari anus, dilakukan dengan anastesi lokal (American Cancer

Society, 2014).

-Transanal endoscopic Microsurgery

Dilakukan pada awal stage 1 (T1 N0 M0) yang lebih tinggi pada rektum,

dibandingkan menggunakan standar reseksi transanal.

-Low Anterior Resection

Beberapa stage 1 kanker rektum dan kebanyakan stage II atau III pada

sepertiga atas rektum dapat diangkat dengan low anterior resection. Dengan

metode ini, bagian rektum yang mengandung tumor disingkirkan tanpa mengenai

(27)

operasi, gerakkan usus akan sama seperti keadaan normal (American Cancer

Society, 2014).

Low anterior resection lebih kepada operasi abdomen. Pasien akan

diminta mengonsumsi laxative dan enema sebelum operasi untuk membersihkan

isi usus (American Cancer Society, 2014).

-Proktektomi dengan anastomosis kolon – anal

Stage I dan kebanyakan stage II dan III dari kanker rektum pada

pertengahan dan sepertiga bawah membuthkan pengangkatan seluruh rektum

(proktektomi). Kemudian kolon dihubungkan dengan anus ( anastomosis kolon –

anal). Rektum harus disingkirkan dengan eksisi mesorektum total (EMT), yang

membutuhkan pengangkatan seluruh nodus limfa didekat rektum. Prosedur ini

sulit, tetapi teknik modern mungkin untuk dilakukan (American Cancer Society,

2014).

Tekadang ketika anastomosis kolon – anal selesai, kantungan kecil

tebentuk karena penggandaan segmen yang pendek dari belakang kolon ( colonic

J-pouch) atau oleh pembesaran segmen (coloplasty). Bagian kecil yang terbentuk

ini berfungsi sama seperti fungsi rektum sebelum operasi yaitu sebagai penyimpan

feses (American Cancer Society, 2014).

-Reseksi Abdominoperineal (RAP)

Operasi ini lebih dilakukan daripada low anteriror resection. dapat

dilakukan untk mengobati kanker stage 1 dan stage II dan III pada sepertiga

bawah rektum (bagian didekat anus), terutama jika kanker tumbuh didekat otot

sphincter ( otot yang mempertahankan anus tertutup dan mencegah kebocoran

feses) (American Cancer Society, 2014).

-Pelvic Exenteration

Jika kanker rektum tumbuh didalam organ terdekat. Bukan saja dokter

bedah mengangkat rektum tetapi organ terdekatnya juga sperti kandung kemih,

prostat, atau uterus, jika terjadi penyebaran ke oragan – organ tersebut. Pasien

(28)

diangkat, pasien membutuhkan urostomi ( pembukaan bagian depan abdomen

tempat urin keluar dan ditahan oleh kantungan portable) (American Cancer

Society, 2014).

2. Operasi dan Pengobatan lokal untuk metastasis kanker kolorektal

Terkadang operasi kanker yang telah menyebar dapat membantu hidup

lebih panjang, dan dapat menyembuhkan. Pada beberapa kasus, jika tidak

memungkinkan pengangkatan tumor dengan operasi, pengobatan non-operasi

mungkin dapat digunakan untuk mengahancurkan tumor di hati (American Cancer

Society, 2014).

a. Obat – Obatan Kanker kolorektal

Obat - obat berikut biasanya dikonsumsi secara kombinasi guna efektifitas

pengobatan.

-5-fluoreuracil (5-FU), diberikan dengan obat leucovorin yang serupa

vitamin yang dikenal dengan asam folinik, yang menyebabkan efek obat

sebelumnya lebih bagus.

-Capecitabine (Xeloda®) , bentuk pill. Sekali berada didalam tubuh, obat

ini berubah menjadi 5-FU

-Irinotecan (Camptosar®)

-Oxaliplatin (Eloxatin®)

2.2.9 Pencegahan 1. Screening

Kunci dari pencegahan kanker kolorektal yaitu screening yang regular,

dimulai pada usia 50 tahun. The U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF)

merekomendasikan penggunaan fecal occult blood (FOB), sigmoidoskop, atau

kolonoskopi pada awal usia 50 tahun dan dilanjutkan hingga usia 75 tahun.

Individu dengan resiko tinggi kanker kolorektal harus melakukan screening yang

dimulai pada usai lebih muda dan membutuhkan pemeriksaan lebih sering

(29)

2. Modifikasi Diet

Makanan berserat dapat mengurangi resiko kanker kolon. Mekanisme

melibatkan penurunan paparan mukosa terhadap kasinogen intraluminal yang

disebabkan oleh stimulasinya transit usus, pengurangan konsentrasi dari

karsinogen di feses yang disebabkan oleh peningkatan kepadatan feses,

peningkatan konsentrasi asam lemak rantai pendek antikanker dan stabilisasi

kadar insulin akibat tertunda-nya penyerapan pati yang mungkin mempromosikan

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi usus besar dan Vaskularisasinya
Gambar 2.3 Histologi usus besar
Gambar 2.4 Jumlah Insidensi dari Kanker Kolon dan Rektum menurut jenis
Gambar 2.5 Jalur gen-gen dan faktor pertumbuhan yang mengontrol progresi dari
+5

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien kanker kolorektal berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi kanker, stadium klinis dan gambaran histopatologi

 Pasien kanker kolorektal dalam penelitian ini adalah semua pasien yang telah didiagnosa menderita kanker pada kolon atau rektum.. dari Januari 2013 –

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahu prevalensi anemia pada pasien kanker kolorektal di RSUP H.. Prevalensi anemia pada pasien kanker kolorektal berdasarkan

keganasan dengan prevalensi yang cukup tinggi pada pasien kanker. kolorektal adalah anemia (Fahrizal, K.,

Obesitas atau kegemukan dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi terjadinya kanker kolorektal pada laki-laki dan kanker usus pada perempuan (American Cancer Society,

Di Indonesia sendiri, menurut data dari GLOBOCAN Project, kanker kolorektal menempati urutan ketiga kanker terbanyak, setelah kanker payudara dan kanker paru.. Adapun angka

Sistem Pakar Diagnosis Awal Kanker Usus Menggunakan Metode Certainty Factor Universitas Pendidikan Indonesia.. Prevalensi Kanker Kolorektal di Rumah Sakit Immanuel

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien kanker kolorektal berdasarkan umur, jenis kelamin, lokasi kanker, stadium klinis dan gambaran histopatologi