• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Peptic Ulcer 2.1.1 Gambaran umum - Studi Pemakaian Cangkang Kapsul Alginat sebagai Sediaan Floating dari Metronidazol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Peptic Ulcer 2.1.1 Gambaran umum - Studi Pemakaian Cangkang Kapsul Alginat sebagai Sediaan Floating dari Metronidazol"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Peptic Ulcer 2.1.1 Gambaran umum

Penyakit peptic ulcer adalah putusnya kontinuitas mukosa lambung yang meluas sampai di bawah epitel. Gambaran klinis utamanya adalah rasa nyeri yang

terjadi pada bagian lambung dan akan mereda setelah makan atau sesudah

menelan antasida. Nyeri biasanya timbul 2 - 3 jam setelah makan atau pada

malam hari sewaktu lambung kosong. Nyeri ini seringkali digambarkan sebagai

nyeri teriris, terbakar, atau rasa tidak enak. Sekitar seperempat dari penderita

mengalami perdarahan, walaupun hal ini lebih lazim terjadi pada ulkus

duodenum. Gejala dan tanda penyakit ini adalah muntah, muntahan berwarna

merah atau “seperti kopi”, mual, anoreksia, dan penurunan berat badan (Price dan

Wilson, 2005).

Peptic ulcer dapat terjadi disetiap bagian saluran cerna yang terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah

gastroenterostomi, juga jejunum (Price dan Wilson, 2005).

2.1.2 Etiologi penyakit Peptic Ulcer

Kebanyakan penyakit peptic ulcer disebabkan karena adanya asam lambung dan enzim pepsin ketika Helicobacter pylori, NSAIDs, atau faktor lainnya mengganggu sistem pertahanan mukosa dan penyembuhan mukosa.

Hipersekresi dari asam lambung dan pepsin ini yang menghambat mekanisme

(2)

2.1.3 Patofisiologi

Penyebab terjadinya peptic ulcer saat ini masih sering diperdebatkan. Namun dipercaya bahwa penyebab terjadinya peptic ulcer dikarenakan ketidakseimbangan antara faktor agresif (Helicobacter pylori, NSAIDs, asam lambung) dan faktor pertahanan (mucin, bikarbonat, prostaglandin), yang

menyebabkan gangguan pada jaringan mukosa (Sunil, et al., 2012).

Banyak faktor yang berperan dalam hal terjadinya peptic ulcer. Bakteri

Helicobacter pylori dijumpai pada sekitar 90% penderita peptic ulcer (Price dan Wilson, 2005).

2.1.4 Helicobacter pylori

Helicobacter pylori berbentuk spiral, pH sensitif, gram negatif, bakteri mikroaerofilik yang terletak antara lapisan mukus dan permukaan sel ephitel di

lambung, atau pada berbagai lokasi lapisan sel ephitel dapat ditemukan.

Kombinasi antara bentuk tubuh spiral dan flagel dari bakteri yang membantunya

berpindah-pindah disekitar lumen dalam lambung (Berardi dan Welage, 2005).

Helicobacter pylori memproduksi dalam jumlah besar enzim urease, enzim ini menghidrolisis urea yang terdapat dalam cairan lambung dan

mengubahnya menjadi amonia dan karbondioksida. Efek netralisir dari amonia

yang dihasilkan akan membentuk suasana netral dan mengelilingi tubuh bakteri,

yang mana hal ini membantu melindungi bakteri dari pengaruh asam di lambung.

Bakteri ini juga memproduksi senyawa protein penghambat asam yang

membantunya untuk beradaptasi di lingkungan dengan pH yang rendah dalam

(3)

2.1.5 Sawar mukosa lambung

Lapisan mukosa lambung yang tebal merupakan garis depan pertahanan

terhadap trauma mekanis dan agen kimia. Prostaglandin terdapat dalam jumlah

berlebihan dalam mukus lambung dan tampaknya berperan penting dalam

pertahanan mukosa lambung. Sawar mukosa penting untuk perlindungan lambung

dan duodenum (Price dan Wilson, 2005).

Ketika lapisan mukosa mengalami kerusakan, maka dengan segera sel-sel

pertahanan mukosa beregenerasi membentuk sistem pertahanan yang baru.

Pemeliharaan lapisan mukosa ini berkaitan dengan produksi prostaglandin, yang

membantu dalam pemulihan kerusakan mukosa dan pertahanan mukosa (Berardi

dan Welage, 2005).

Destruksi sawar mukosa diduga merupakan faktor penting dalam

patogenesis peptic ulcer. Aspirin, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain yang dapat merusak mukosa lambung. Kerusakan yang terjadi dapat dilihat pada

gambar di bawah ini.

(4)

2.2 Drug Delivery System 2.2.1 Uraian Drug Delivery System

Pemberian obat secara oral telah lama dikenal sebagai rute pemberian obat

yang paling banyak digunakan jika dibandingkan dengan rute pemberian obat

lainnya dan telah dikembangkan untuk penyampaian obat secara sistemik dengan

berbagai bentuk sediaan dengan formulasi yang berbeda. Saat ini para ilmuwan

farmasi berusaha mengembangkan sistem pemberian obat “Drug Delivery System” yang ideal. Sistem pemberian obat yang ideal ini harus memiliki kemampuan untuk satu dosis pemberian obat dapat digunakan selama pengobatan

dan harus menyampaikan obat langsung di lokasi tertentu yang diinginkan dalam

pengobatan. Para ilmuwan ini telah berhasil mengembangkan sistem penyampaian

obat yang mendekati sistem penyampaian yang ideal tersebut dan mendorong para

ilmuwan untuk mengembangkan sistem penyampaian obat yang terkontrol atau

Controlled Release System” (Kumar, et al., 2012).

Desain penyampaian obat secara oral ini, obat pelepasannya dipertahankan

berlangsung terus menerus ditujukan untuk mencapai pelepasan obat yang efektif,

konsentrasi obat dalam jaringan target dapat ditentukan dan mengoptimalkan efek

terapetik obat yang dilakukan dengan cara mengendalikan pelepasan obat di

dalam tubuh dengan dosis obat tertentu. Biasanya obat konvensional diberikan

dalam dosis berkala yang diformulasikan sedemikian rupa untuk memastikan

stabilitas, aktivitas dan bioavalabilitas sediaan obat (Kumar, et al., 2012). Dengan

demikian penyampaian obat dengan cara ini dapat mengurangi frekuensi

pemberian dosis obat. Obat diberikan dalam dosis tunggal untuk memperpanjang

(5)

obat langsung di lokasi tempat kerjanya atau lokasi target (Neetika dan Manish,

2012).

2.3 Sustained Release Drug Delivery System

Sistem penyampaian obat ini menyediakan pelepasan obat yang

diperlambat selama jangka waktu tertentu dan juga pelepasan obat dikontrol di

dalam tubuh. Dengan cara demikian sistem penyampaian obat ini berhasil

mempertahankan tingkat konsentrasi obat yang konstan dalam jaringan target atau

sel. Sistem penyampaian obat dengan cara ini dikelompokkan ke dalam dua

sistem penyampaian obat yaitu “Controlled Release” dan “Extended Release” (Lee , 1987).

a. Controlled Release

Sistem ini mencakup sistem penyampaian obat yang pelepasannya secara

perlahan selama waktu tertentu, yang mana pelepasan obatnya diperpanjang

(Lee, 1987). Sistem penyampaian obat secara terkontrol ini pelepasan obat dapat

ditentukan, dapat diprediksi, dan kecepatan pelepasannya dapat dikendalikan.

Pelepasan obat secara terkontrol ini memiliki manfaat seperti terapi yang optimal

dengan konsentrasi obat dalam darah dapat ditentukan dalam jangka waktu yang

panjang, peningkatan aktivitas kerja obat dengan waktu paruh yang pendek,

penghilangan efek samping, mengurangi frekuensi pemberian dosis obat dan juga

mengurangi penggunaan obat secara berlebih. Sehingga terapi dan faktor

kepatuhan pasien menjadi lebih baik. Dalam pengembangan sistem penyampaian

obat dengan cara ini membutuhkan pemahaman tentang beberapa aspek penting

seperti karakteristik sifat fisika kimia obat dan juga harus memperhatikan sistem

(6)

memformulasikan bentuk sediaan obat yang diinginkan, sehingga dapat diterima

oleh pasien (Narang, 2010).

b. Extended Release

Sistem penyampaian obat ini melepaskan obat lebih lambat dari pelepasan

obat secara normal pada umumnya dan dapat mengurangi frekuensi dosis obat

(Lee , 1987).

2.4 Gastro Retentive Drug Delivery System

Sistem penyampaian obat yang bertahan di lambung atau yang lebih

dikenal “Gastro Retentive Delivery System” ini dapat mempertahankan obat tetap berada di dalam lambung selama beberapa jam dan karenanya dapat

memperpanjang waktu tinggal obat di lambung secara signifikan. Peningkatan

waktu tinggal di lambung dapat meningkatkan bioavailabilitas atau ketersediaan

hayati, mengurangi residu obat, dan meningkatkan kelarutan obat yang kurang

larut dalam lingkungan pH tinggi. Sistem ini juga diaplikasikan dalam pengobatan

lokal untuk bagian perut dan bagian atas usus kecil. Motilitas saluran cerna yang

melambat dengan pemberiaan bersamaan dengan obat ini juga meningkatkan

waktu tinggal obat di dalam lambung (Neetika dan Manish, 2012).

(7)

Berbagai pendekatan dari sistem Gastroretentive dapat dilihat pada Gambar 2.2. Retensi lambung dapat dikendalikan dari berbagai bentuk sediaan

dengan mekanisme mukoadhesif, mengapung, sedimentasi, ekspansi, dan sistem

modifikasi bentuk atau dengan pemberian bahan tertentu, yang menunda

pengosongan lambung (Neetika dan Manish, 2012).

2.4.1 Lambung

Lambung memiliki fungsi utama untuk memproses dan mengangkut

makanan. Selain itu lambung sebagai tempat penyimpanan makanan dalam jangka

waktu singkat, yang memungkinkan untuk mengkonsumsi makanan dalam jumlah

yang banyak secara cepat. Proses pencernaan secara enzimatik berlangsung di

dalam lambung (Narang, 2011).

Anatomi lambung dibagi menjadi 3 wilayah yaitu bagian fundus, bagian

badan dan bagian antrum (pilorus). Bagian proksimal terdiri dari bagian fundus

dan bagian badan yang bertindak sebagai tempat untuk bahan tercerna, sedangkan

bagian antrum adalah bagian utama untuk gerakan mencampur makanan dan juga

bertindak sebagai pompa dalam pengosongan lambung untuk mendorong

makanan menuju bagian saluran pencernaan selanjutnya (Narang, 2011).

Lambung berbentuk seperti huruf J yang melebar pada bagian sisinya. Saluran

pencernaan pada dasarnya adalah sebuah tabung dengan panjang sekitar sembilan

meter yang membentang melalui bagian tengah tubuh dari mulut sampai ke anus

dan termasuk di dalamnya tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung, usus

kecil (terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum) dan usus besar (terdiri dari

sekum, usus buntu, usus besar dan rektum). Dinding saluran pencernaan memiliki

(8)

sampai anus, dengan beberapa variasi untuk masing-masing bagian tertentu

(Neetika dan Manish, 2012).

Lambung merupakan organ tubuh dengan kapasitas tertentu untuk tempat

penyimpanan dan pencampuran makanan. Di dalam lambung makanan

mengalami proses pencernaan kompleks. Rata-rata panjang lambung pada

umumnya sekitar 0,2 meter (m) dan luas permukaan penyerapannya sekitar 0,1

meter persegi (m2). Gambaran anatomi lambung dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Anatomi lambung (Arunachalam, et al., 2011)

Waktu pengosongan lambung saat berpuasa ataupun saat makan

dipengaruhi beberapa faktor dalam tubuh. Hal ini berkaitan dengan gerakan atau

motilitas dari otot-otot lambung yang mengakibatkan perbedaan waktu

pengosongan lambung diantara kedua keadaan ini. Masing-masing individu

memiliki waktu pengosongan lambung yang berbeda, hal ini dipengaruhi faktor

biologis di dalam tubuh. Siklus yang baik makanan melalui lambung dan usus

setiap 2 - 3 jam. Siklus ini disebut siklus mioelektrik bagian saluran pencernaan

atau perpindahan suatu bahan tercerna dalam saluran pencernaan yang

(9)

Dalam siklus ini dibagi dalam 4 tahapan:

1. Tahap I (fase basal) yang berlangsung selama 30 sampai 60 menit dengan

terjadinya awal motilitas kontraksi.

2. Tahap II (fase preburst) yang berlangsung selama 20 sampai 40 menit

dengan potensial aksi dan motilitas kontraksi. Dalam fase ini berlangsung

dengan intensitas dan frekuensi motilitas kontraksi yang meningkat secara

bertahap.

3. Tahap III (fase burst) yang berlangsung 10 sampai 20 menit. Fase ini

mencakup kontraksi intens dan rutin yang terjadi dalam waktu singkat. Hal

ini dikarenakan seluruh bahan tercerna dalam lambung diteruskan menuju

usus kecil. Hal ini dikenal dengan “Housekeeper wave”.

4. Tahap IV berlangsung selama 0 sampai 5 menit dan terjadi diantara fase

III dan fase I yang terjadi motilitas kontraksi secara terus-menerus

(Washington, et al., 2001).

Tahapan siklus kontraksi ini dapat dilihat pada Gambar 2.4.

(10)

Motilitas lambung dikendalikan oleh susunan sistem saraf dan sistem

hormonal. Kontrol dari sistem saraf ini berasal dari sistem saraf enterik yang juga

sebagai sistem saraf parasimpatis (terutama saraf vagus) dan sistem saraf simpatis.

Pengaruh hormonal telah terbukti mempengaruhi motilitas lambung seperti

adanya gastrin dan kolesistokinin yang bertindak dalam membantu relaksasi

bagian proksimal lambung dan meningkatkan kontraksi pada bagian distal

lambung (Sharma, et al., 2011).

Motilitas atau kontraksi otot polos lambung memiliki dua fungsi dasar

yaitu: (a) Menghancurkan, mencampurkan, mencairkan makanan yang ditelan

untuk membentuk chyme (kimus).

(b) Chyme (kimus) didorong melalui saluran pilorus ke dalam usus kecil,

proses ini disebut pengosongan lambung (Sharma, et al., 2011).

Volume cairan lambung pada saat berpuasa atau dalam keadaan lambung

kosong adalah 25 - 50 ml. Terdapat perbedaan sekresi asam lambung pada

individu normal dengan yang memiliki masalah terhadap sekresi asam lambung

atau achlorhydric individu. Pengaruh pH lambung terhadap penyerapan obat sangatlah berarti terutama untuk sistem penghantaran obat secara oral, pH cairan

lambung dalam keadaan berpuasa berkisar antara 1,2 – 2,0 dan dalam keadaan

makan 2,0 – 6,0 (Sharma, et al., 2011).

2.5 Floating Drug Delivery System

Sistem penghantaran obat ini dengan sistem mengapung atau sistem

hidrodinamis dikendalikan dengan berat jenis yang kecil sehingga dapat

mengapung di atas cairan lambung dan tetap mengapung di lambung tanpa

(11)

Sementara dalam sistem mengapung ini, obat dilepaskan perlahan pada tingkatan

yang diinginkan dari sistem ini. Setelah pelepasan obat, sistem residual ini

dikosongkan dari lambung. Hal ini menyebabkan peningkatan waktu retensi

lambung yang lebih baik sehingga terjadi peningkatan konsentrasi obat dalam

plasma (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).

2.5.1 Pembagian sistem Floating

Sistem penghantaran obat floating diklasifikasikan dalam dua variabel formulasi yaitu sistem Effervescent dan sistem Non-effervescent.

a. Effervescent Floating

Sistem ini dibuat dalam bentuk matriks dengan menggunakan polimer

yang dapat mengembang seperti HPMC, senyawa polisakarida lain, kitosan, dan

berbagai komponen effervescent seperti natrium bikarbonat, kalsium karbonat,

asam sitrat atau asam tartrat. Sediaan ini dirancang sedemikian rupa, sehingga

ketika kontak dengan cairan lambung, maka gas karbondioksida (CO2) akan

terlepas dan terperangkap dalam sistem hidrokoloid yang mengembang. Hal ini

membantu sediaan untuk mengapung (Goyal, et al., 2011).

(12)

b. Non-effervescent Floating

Sistem Non-effervescent ini bekerja dengan mekanisme pengembangan

polimer, bioadhesif dari polimer pada lapisan mukosa saluran pencernaan. Pada

umumnya dalam formulasi sistem non-effervescent ini menggunakan bahan yang

mampu membentuk gel atau memiliki kemampuan mengembang yang baik

seperti senyawa hidrokoloid, polisakarida. Juga biasa digunakan bentuk matriks

dari polimer seperti polimetakrilat, poliakrilat, polistiren, dan bioadhesif polimer

yaitu kitosan dan karbopol (Goyal, et al., 2011).

2.5.2 Kandidat obat untuk sediaan Floating

Dalam sistem penghantaran obat ini dimaksudkan untuk obat-obat dengan

tujuan pemakaian tertentu, dengan maksud untuk penghantaran dan aktivitas kerja

obat yang lebih baik. Berbagai macam kandidat obat yang tepat untuk

diformulasikan dalam sistem penghantaran obat floating diantaranya: a. Obat-obat yang aktif bekerja secara lokal di lambung.

Seperti: Misoprostol, antasida.

b. Obat-obat yang memiliki tapak absorpsi yang sempit dalam saluran pencernaan.

Seperti: L-DOPA, p-aminobenzoic acid, furosemid, riboflavin.

c. Obat-obat yang tidak stabil dalam lingkungan basa di bagian usus atau kolon.

Seperti: Captopril, ranitidine HCl, metronidazol.

d. Obat-obat yang mengganggu aktivitas kerja mikroba di kolon.

Seperti: Antibiotik yang digunakan dalam pengobatan Helicobacter Pylori, diantaranya tetracyclin, clarithromycin, amoxicilin.

e. Obat-obat yang menunjukkan kelarutan yang rendah pada pH yang tinggi.

(13)

Berikut beberapa contoh sediaan obat yang diformulasikan dalam bentuk

sediaan Floating ditunjukkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 Berbagai contoh formulasi bentuk sediaan Floating (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).

No Bentuk Sediaan Nama Obat

1 Tablet Chlorpheniramin maleat, Theophyllin, Furosemid,

Ciprofloxacin, Captopril, Asam Asetilsalisilat, Nimodipin,

Amoxicillin, Verapamil HCl, Isosorbide dinitrate,

Isosorbide mononitrate, Acetaminophen, Dilitiazem,

Florouracil, Prednisolon.

2 Kapsul Nicardipin, Chlordiazepoxide HCl, Furosemid,

Misoprostol, Diazepam, Propanolol, Urodeoxycholic.

3 Mikrosper Aspirin, Griseofulvin, p-nitroanilline, Ketoprofen,

Ibuprofen, Terfenadin.

4 Granul Indometasin, Na-Diklofenak, Prednisolon.

5 Film Cinnarizine

Tabel 2.2 Sediaan Floating yang telah tersedia di pasaran (Gopalakrishnan dan Chenthilnathan, 2011).

No Bentuk Sediaan Nama Obat Brand Name Perusahaan, Negara Produsen)

2 Floating Capsule Diazepam VALRELEASE Hoffman-LaRoche, USA

TOPALKAN Pierre Fabre Drug, FRANCE

Ciprofloxacin CIFRAN OD Ranbaxy, INDIA

7 Bilayer floating Capsule

(14)

2.5.3 Keuntungan FloatingDrug Delivery System

Sistem penghantaran obat melalui sistem floating ini merupakan teknologi

penghantaran obat dengan retensi lambung yang lebih lama dan memiliki

beberapa keuntungan dalam pemberian obat dengan sistem ini. Keuntungan ini

meliputi:

a. Peningkatan penyerapan obat, karena peningkatan waktu tinggal di lambung

dan peningkatan waktu kontak obat dengan daerah penyerapan.

b. Penghantaran obat yang dapat dikendalikan pelepasannya.

c. Penghantaran obat secara lokal untuk daerah kerja di lambung.

d..Meminimalkan terjadinya iritasi pada mukosa lambung karena obat-obatan

tertentu, dengan cara melepaskan obat secara lambat pada tingkat terkendali.

e. Digunakan untuk pengobatan gangguan pencernaan.

f. Menggunakan peralatan yang sederhana dan konvensional dalam formulasinya.

g. Kemudahan dalam penggunaannya dan meningkatkan faktor kepatuhan pasien

menjadi lebih baik.

h. Penghantaran obat pada daerah tertentu (Sharma, et al., 2011).

Berbagai keuntungan ini yang menjadikan sistem lebih dikembangkan lagi

untuk menghasilkan sistem penghantaran yang ideal (Sharma, et al., 2011).

2.5.4 Kekurangan Floating Drug Delivery System

Disamping memiliki banyak keuntungan dalam sistem floating ini,

terdapat pula kekurangan dari sistem ini. Kekurangan ini meliputi:

a. Retensi lambung dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makanan, pH dan

motilitas lambung. Faktor-faktor ini tidak pernah tetap dan karenanya daya

(15)

b. Obat-obatan yang menyebabkan iritasi dan lesi pada mukosa lambung tidak

cocok untuk sistem pemberian obat ini.

c. Variabilitas tinggi dalam waktu pengosongan lambung serta membutuhkan

cairan lambung yang cukup untuk mempertahankan sediaan tetap berada di

lambung.

d. Pengosongan lambung untuk pasien dalam keadaan tidur tidak dapat

diprediksi dan bergantung pula pada diameter dan ukuran sediaan floating

tersebut. Oleh karena itu sebaiknya tidak diberikan sediaan ini saat pasien akan

tidur (Sharma, et al., 2011).

2.6 Metronidazol 2.6.1 Uraian bahan

Rumus Bangun :

Rumus Molekul : C6H9N3O3

Nama Kimia : 2-(2-methyl-5-nitro-1H-imidazol-1-yl)ethanol

Berat Molekul : 171,16

Pemerian : Serbuk hablur;putih atau kuning gading; bau lemah;rasa

pahit dan agak asin.

Kelarutan : Larut dalam 100 bagian air, dalam 200 bagian etanol

(95%) P dan dalam 250 bagian kloroform P; sukar larut

(16)

2.6.2 Farmakologi metronidazol

Metronidazol mempunyai aktivitas antibakteri yang mampu melawan

semua cocci anaerobik positif dan anaerobik gram negatif (termasuk Bacteroides

spp.) serta basil anaerobik gram positif penghasil spora (Brunton, et al., 2008).

Metronidazol memperlihatkan daya amubasid langsung. Pada biakan

E. histolytica dengan kadar metronidazol 1 - 2 mcg/ml, semua parasit musnah dalam 24 jam. Sampai saat ini belum ditemukan amuba yang resisten terhadap

metronidazol. Metronidazol juga menunjukkan daya trikomoniasid langsung pada

biakan Trichomonas vaginalis (Syarif dan Elysabeth., 2007).

Mekanisme kerjanya yakni berinteraksi dengan DNA menyebabkan

perubahan struktur helik DNA dan putusnya rantai sehingga sintesa protein

dihambat dan kematian sel. (Sukandar, dkk., 2008).

2.6.3 Farmakokinetik metronidazol

Metronidazol adalah suatu prodrug yang diaktivasi dengan cara reduksi

gugus nitro oleh organisme yang suseptibel. Berbeda dengan patogen aerobik,

patogen anaerobik dan mikroaerofilik seperti T. vaginalis, E. hystolitica, dan G. lamblia serta bakteri anaerobik mempunyai komponen transpor elektron untuk mendonorkan elektron kepada metronidazol. Transpor elektron menghasilkan

anion nitro radikal yang sangat reaktif yang membunuh bakteri yang suseptibel

melalui mekanisme radical-mediated yang merusak DNA (Brunton, et al., 2008). Absorpsi metronidazol berlangsung dengan baik sesudah pemberian oral.

Satu jam setelah pemberian dosis tunggal 500 mg per oral diperoleh kadar plasma

kira-kira 10 mcg/ml. Umumnya untuk kebanyakan protozoa dan bakteri yang

(17)

berkisar antara 8 - 10 jam. Pada beberapa kasus terjadi kegagalan karena

rendahnya kadar sistemik. Ini mungkin disebabkan oleh absorpsi yang buruk atau

metabolisme yang terlalu cepat (Syarif dan Elysabeth, 2008).

Metronidazol dieksresi melalui urin dalam bentuk asal dan bentuk

metabolit hasil oksidasi dan glukuronidasi. Urin mungkin berwarna coklat

kemerahan karena mengandung pigmen tak dikenal yang berasal dari obat.

Metronidazol juga dieksresi melalui air liur, air susu, cairan vagina, dan cairan

seminal dalam kadar yang rendah (Syarif dan Elysabeth, 2008).

2.6.4 Efek samping metronidazol

Efek samping hebat yang memerlukan penghentian pengobatan jarang

ditemukan. Efek samping yang paling sering dikeluhkan ialah sakit kepala, mual,

mulut kering dan rasa kecap logam. Muntah, diare dan spasme usus jarang

dialami. Lidah berselaput, glositis dan stomatitis dapat terjadi selama pengobatan

dan ini mungkin berkaitan dengan moniliasis. Efek samping lain dapat berupa

pusing, vertigo, ataksia, parestesia pada ekstremitas, urtikaria, flushing, pruritus,

disuria, sistitis, rasa tekan pada pelvik, juga kering pada mulut, vagina dan vulva.

Metronidazol ialah suatu nitroimidazol, sehingga ada kemungkinan dapat

menimbulkan gangguan darah. Pada pasien dengan riwayat penyakit darah atau

dengan gangguan SSP, pemberian obat ini tidak dianjurkan (Syarif dan Elysabeth,

2008).

Dosis metronidazol perlu dikurangi pada pasien yang memiliki penyakit

obstruksi hati yang berat, sirosis hati dan gangguan fungsi ginjal yang berat. Dosis

metronidazol perlu disesuaikan pada pengguanaan bersama obat fenobarbital,

(18)

Sedangkan simetidin dapat menghambat metabolisme metronidazol di hati (Syarif

dan Elysabeth, 2008).

2.7 Kapsul

Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu

macam obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam

cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin bisa lunak dan bisa

juga keras. Kebanyakan kapsul-kapsul yang diedarkan di pasaran adalah kapsul

yang semuanya dapat ditelan oleh pasien, untuk keuntungan dalam pengobatan.

Kapsul gelatin yang keras merupakan jenis yang digunakan oleh ahli farmasi

masyarakat dalam menggabungkan obat-obat secara mendadak dan di lingkungan

para pembuat sediaan farmasi dalam memproduksi kapsul pada umumnya (Ansel,

2008).

Kulit kapsul dibuat dari gelatin pelentur, dan air. Kulit kapsul dapat juga

mengandung bahan-bahan tambahan seperti pengawet, bahan pewarna dan bahan

pengeruh, pemberi rasa, gula, asam, dan bahan obat untuk mendapat efek yang

diinginkan. Plasticizier (pelentur) yang digunakan dengan gelatin pada pembuatan kapsul lunak relatif sedikit. Yang paling banyak adalah Gliserin USP, Sorbitol

USP, Pharmaceutical Grade Sorbitol Special, dan kombinasi-kombinasinya. Perbandingan berat plastisator kering terhadap gelatin kering menentukan

kekerasan kulit/cangkang gelatin, dengan anggapan tidak ada pengaruh dari bahan

yang dikapsulkan (Lachman, dkk., 2008). Gelatin bersifat stabil diudara bila

dalam keadaan kering, akan tetapi mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila

menjadi lembap atau disimpan dalam larutan berair. Biasanya cangkang kaspul

(19)

lingkungan dengan kelembapan yang tinggi, penambahan uap air akan diabsorbsi

oleh kapsul dan kapsul keras ini akan rusak dari bentuk kekerasannya. Sebaliknya

dalam lingkungan udara yang sangat kering, sebagian dari uap air yang terdapat

dalam kapsul gelatin mungkin akan hilang, dan kapsul ini menjadi rapuh serta

mungkin akan remuk bila dipegang (Ansel, 2008). Laju pengeringan kapsul juga

mempengaruhi kekerasan dan kerapuhan kapsul, kemampuan pelarutan, dan

kecenderungan untuk melekat satu sama lain. Kondisi penyimpanan yang

direkomendasikan untuk bentuk sediaan kapsul berkisar 15 - 30oC dan 30 - 60%

kelembaban relatif (Margareth, et. al., 2009).

Cangkang kapsul keras gelatin harus dibuat dalam dua bagian yaitu badan

kapsul dan bagian tutupnya yang lebih pendek. Kedua bagian saling menutupi bila

dipertemukan, bagian tutup akan menyelubungi bagian tubuh secara tepat dan

ketat (Ansel, 2008).

2.8 Natrium Alginat

Alginat sangatlah berlimpah dialam indonesia karena alginat ini sebagai

kompoenen struktural yang terdapat dalam alga coklat (Phaeophyceae), yang

komponennya mencapai 40% dari bahan keringnya (Draget, et al., 2005)

Natrium Alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang

diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah.

Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental, tidak

larut dalam etanol dan eter. Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis pyrifera, Laminaria, Aschophyllum dan Sargassum (Belitz, et. al., 2009).

(20)

japonica, Edonia maxima, Lessonia nigrescens, Durvillea antarctica, dan Sargassum sp (Draget, et al., 2005).

Tabel dibawah ini menunjukkan perbandingan asam uronat dalam

berbagai spesies alga yang berasal dari alam dan ditentukan dengan spektroskopi

NMR high-field.

Tabel 2.3 Perbandingan asam uronat dalam berbagai spesies alga (Draget, et al., 2005).

Source FG FM FGG FMM FGG,MG

Laminaria japonica 0.35 0.65 0.18 0.48 0.17

Laminaria digitata 0.41 0.59 0.25 0.43 0.16

Laminaria hyperborea, blade 0.55 0.45 0.38 0.28 0.17

Laminaria hyperborea, stipe 0.68 0.32 0.56 0.20 0.12

Laminaria hyperborea, outer cortex 0.75 0.25 0.66 0.16 0.09

Lessonia nigrescens 0.38 0.62 0.19 0.43 0.19

Ecklonia maxima 0.45 0.55 0.22 0.32 032

Macrocystis pyrifera 0.39 0.61 0.16 0.38 0.23

Durvillea antarctica 0.29 0.71 0.15 0.57 0.14

Ascophyllum nodosum, fruiting body 0.10 0.90 0.04 0.84 0.06

Ascophyllum nodosum, old tissue 0.36 0.64 0.16 0.44 0.20

Asam alginat merupakan kopolimer biner yang terdiri dari residu β

-D-mannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang

membentuk rantai linier (Grasdalen, et al., 1979). Kedua unit tersebut berikatan

pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu

(MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al.,

1980).

Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam

(21)

dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan

penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium

tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel dengan ion kalsium, disebabkan oleh

adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat

pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai

rantai poliguluronat yang menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih

besar (Morris, et al., 1980).

Gambar 2.6 Struktur Alginat (a) monomer alginat (b) ikatan antar monomer (c) gambaran blok monomer alginat

Asam alginat bersifat asam, dan sering digunakan dalam granulasi asam

atau netral. Jika digunakan dalam garam basa atau garam asam organik, zat ini

cenderung membentuk alginat yang larut atau tidak larut yang mempunyai sifat

(22)

konsentrasi 1% sampai 5%, sedangkan natrium alginat digunakan antara 2,5%

sampai 10%. Asam alginat dan garamnya merupakan suatu kombinasi yang baik

dengan pengembangan yang cukup dengan kelekatan minimal dan konsentrasi

serendah mungkin antara 4% sampai 5% sudah memadai dalam memberikan sifat

pengembangan tersebut (Siregar dan Wikarsa, 2010).

Kelarutan alginat dalam air ditentukan dan dibatasi oleh tiga parameter

berikut, antara lain:

(i) pH pelarut merupakan parameter penting karena akan menentukan

adanya muatan elektrostatik pada residu asam uronat.

(ii) Kekuatan ionik total zat terlarut juga berperan penting (terutama efek

salting-out kation-kation non-gelling), dan

(iii) Kandungan dari ion-ion pembentuk gel dalam pelarut membatasi

kelarutan (Draget, et al., 2005).

Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada

jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air

meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium

alginat kurang dari 500, sedangkan pH dibawah 3 terjadi pengendapan. Secara

umum, alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai pengemulsi

dengan viskositas yang rendah (Zhanjiang, 1990).

Dilaboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU dalam beberapa

tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam lambung.

Dimana cangkang kapsul tersebut dibuat dengan bahan dasar berupa natrium

alginat dengan kalsium klorida menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa

(23)

(pH 1,2). Utuhnya cangkang kapsul alginat di dalam medium lambung buatan pH

1,2 disebabkan komponen penyusun cangkang kapsul alginat yaitu kalsium

guluronat masih utuh (Bangun, dkk., 2005).

2.9 Uji Disolusi

Pelepasan obat dari bentuk sediaan dan absorbsi dalam tubuh dikontrol

oleh sifat fisika kimia dari obat dan bentuk yang diberikan, serta sifat-sifat fisika

kimia dan fisiologis dari sistem biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air,

ukuran molekul, bentuk kristal, ikatan protein, dan pKa adalah faktor-faktor fisiko

kimia yang harus dipahami untuk mendesain sediaan pelepasan terkontrol

(controlled release) atau terkendali (sustained release). Lepasnya suatu obat dari bentuk sediaan meliputi faktor disolusi atau difusi (Martin, dkk., 2008).

Disolusi merupakan percobaan secara in vitro yang mengukur kecepatan

dan tingkat kelarutan suatu obat di dalam medium air dimana di dalam obat

mengandung satu atau lebih bahan tambahan lainnya. Masalah bioavailabilitas

dapat ditemukan dalam metode disolusi ini. Akan tetapi, dalam percobaan disolusi

dapat dinyatakan masalah bioavailabilitas yang berbeda untuk setiap formulasi

obat (Shargel dan Yu, 1998).

Sejumlah metode untuk menguji disolusi secara in vitro telah dilakukan.

Bila suatu sediaan obat dimasukkan ke dalam beaker glass yang berisi air atau

dimasukkan ke dalam saluran cerna (saluran gastrointestin), obat tersebut mulai

masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Disintegrasi, deagregasi dan

disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari

bentuk dimana obat tersebut diberikan. Tahapan-tahapan ini dapat dilihat pada

(24)

Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu:

a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:

i. Efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama

dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju

disolusi yang cepat.

ii. Efek ukuran parrtikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas

permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi

akan meningkat.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:

i. Efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila

dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan

penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada

bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah. Sedangkan

bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi. Hal ini

kaitannya dengan kelarutan bahan tambahan yang digunakan.

(25)

ii. Efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju

disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang

bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif

dan dapat menambah laju disolusi.

c. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi:

i. Tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai

pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat

menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat meningkatkan proses

penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul

konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang

sukar larut dengan penambahan surfaktan ke dalam medium disolusi.

ii. Viskositas medium. Semakin tinggi viskostas medium, semakin kecil laju

disolusi bahan obat.

iii. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit

lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu akan mempercepat

laju disolusi (Gennaro, 2000).

United States Pharmacopeia (USP) XXI memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan uji pelarutan yaitu:

a. Metode Keranjang (Basket)

Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh

tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat

yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang

bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi

(26)

kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat

operasi telah dipenuhi.

b. Metode Dayung (Paddle)

Metode dayung terdiri dari suatu dayung yang dilapisi bahan khusus, yang

berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung

diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang

terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat

yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat

ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode

basket dipertahankan pada suhu 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan

dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung. Pada

beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat

mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan

untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan.

c. Metode Disintegrasi yang Dimodifikasi

Metode ini dasarnya memakai disintegrasi USP “Basket and Rack” dirakit untuk uji pelarutan. Bila alat ini dipakai untuk uji pelarutan maka cakram

dihilangkan. Saringan keranjang juga diubah sehingga selama pelarutan partikel

tidak akan jatuh melalui saringan. Metode ini jarang digunakan dan dimasukkan

dalam USP untuk suatu formulasi obat lama. Jumlah pengadukan dan getaran

membuat metode ini kurang sesuai untuk uji pelarutan yang tepat (Shargel dan

Gambar

gambar di bawah ini.
Gambar 2.2 Berbagai metode pendekatan sediaan Gastro Retentive
Gambar 2.3 Anatomi lambung (Arunachalam, et al., 2011)
Gambar 2.4 Pola motilitas saluran pencernaan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan rata-rata ABI pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah diberikan tindakan konvensional sesuai standar rumah sakit di dapatkan nilai

Dalam hal ini, madrasah tidak lagi hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan atau lembaga penyelenggara kewajiban belajar, tetapi sudah merupakan

Jika Anda meninggalkan headphone dalam keadaan menyala tetapi di luar jangkauan ponsel yang dipasangkan selama 120 menit, headset akan menghemat daya baterai dengan beralih ke

Kemahiran TMK yang saya perolehi melalui kursus yang dianjurkan oleh KPM, yang dikendalikan oleh unit ICT JPN dan PPD serta Bahagian Teknologi Pendidikan

Peralatan monitoring dibuat dengan menggunakan mikrokontroler Arduino Mega untuk memproses perhitungan flicker dari data tegangan urutan waktu yang diperoleh dari sensor

mcrupa1ta.n suatu program ltomputer yang cukup besar ya.ng dapat, iricn,jangla~~i Lvl~ih.. bi~nyak perrn,?sahan

Sesuai dengan judul maka kompetensi yang dibahas lebih dalam adalah kompetensi yang sosial.Kompetensi sosial adalah kemampi~an guru dalam berkomunikasi secara

У јуну 2005 године, Google је званично представио Google Maps API , који је омогућио да се користе и комбинују Googlе-ови подаци са просторним