Jurnal IMAJI | 4 Jurnal IMAJI | 5
Edisi 6 No. 1 Juli 2013 Edisi 6 No. 1 Juli 2013
Mengubah Tradisi Budaya Lokal
Sebuah studi kasus melibatkan pengaruh media TV
RM Soenarto
soenartorm@yahoo.co.id
Abstrak
Dari awal abad ke dua puluh, komunikasi elektronik berkembang cepat, menghasilkan perubahan di berbagai bidang. Di Abad ke dua puluh satu, terjadi perubahan lebih cepat sampai paling ujung dan menunjukkan berbagai tanda pada ramalan-ramalan yang jelas dan menetapkan perkiraan-perkiraan sebelumnya.
Meskipun demikian seringkali sesuatu ketidakpastian pada komunikasi elektronik berjalan konstan atau berpeluang seperti biasa terjadi pada perekonomian yang berhadapan dengan tehnologi mutakhir. Di sisi lain perkembangan pada seni kreatif mengikuti perkembangan perangkat keras. Drama dan penulis iksi mengangkat kehidupan sehari-hari. Sedangkan ilm dokumenter mempunyai arti sebagai interpretasi kehidupan yang nyata.
Abstract
From its inception in the twentieth century, electronic communication has been rapidly developing, expanding, and changing ield. In the twenty irst century, changes occur faster, reach farther , and show few signs of a preditctably clear and predetermined path. Despite the sometimes unsetting nature of the changes in electronic communication, there are some constant or presistent tendencies, such as economic and technological convergence.
On the other hand the progress of the creative art followes the hardware. Writing is very demanding profession. Drama and narative are ictional art forms that have a basis in everyday life. he documentary has been deined as the creative interpretation of reality.
Kata Kunci
Budaya lokal, Televisi
Keyword
Tradisional culture, Television
Pendahuluan
Memperhatikan judul dalam tulisan ini, yaitu “Mengubah Tradisi Budaya Lokal” mau tidak mau harus melibatkan perkembangan perilaku manusia di abad dua puluh dan di abad dua puluh satu. Perkembangan itu dipacu oleh peranan media televisi yang bisa memberi provokasi nyata. Kalau pada tahun 1962, TVRI hanya dapat dilihat di Jakarta dan sekitarnya.
Tetapi sejak tahun 1965, TVRI Daerah, dalam hal ini Yogyakarta dapat menyaksikan acara siaran bernuansa budayanya sendiri. Masyarakat Yogya secara berkelompok ataupun sendiri-sendiri menunjukkan kemampuan berkesenian di layar kaca televisi Yogyakarta. Di sisi lain mereka ada yang membatalkan atau setidaknya menunda kehadirannya di siaran televisi. Karena harus mempertimbangkan kebiasaan yang mempergelarkan lakonnya dengan pakem klasik.
Sedangkan media televisi hanya menyediakan waktu siarannya terbatas. Pakem kesenian klasik biasa dilakukan dalam waktu yang panjang, bahkan bisa berjam-jam. TVRI Yogya mencoba memberi beberapa alternatif, upamanya acara yang panjang tersebut dipilah-pilah menjadi beberapa episode. Namun perhatian penonton dipaksa untuk jeda dengan menunggu kelanjutan pada waktu berikutnya, sehingga membuat mereka merasa tidak nyaman.
Problematik waktu yang terbatas dengan pagelaran kesenian klasik yang panjang itu menggugah perhatian untuk mempertemukan pakem klasik dengan memodernisir pertunjukan tanpa mengerdilkan pakemnya.
Pembahasan
TVRI Yogya adalah TVRI Daerah pertama yang di udara sejak 17 Agustus 1965. Jangkauan siarannya terbatas di sekitar Yogyakarta, yang berada di bawah pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Masyarakat Yogya yang merasa dilahirkan dan dibesarkan di sana mengakui bahwa mereka ikut handarbeni (memiliki) pemerintahan Kesultanan Ngayogyokarto. Hal ini terbukti pada saat ada upacara-upacara tradisional kerajaan, seperti ulang tahun Sultan, perkawinan agung putra-putri Sultan, Ngabekten syawalan, Maulid Nabi, dll. Yang secara emosional mengalap berkah (mohon berkah) kebesaran Sultan.
Secara Antropoligis, masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling berinteraksi. Dengan kata lain suatu kesatuan masyarakat dapat memiliki prasarana yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi. Kesatuan manusia yang berinteraksi di Yogya ini adalah masyarakat yang mempunyai ikatan khusus, yaitu antara Sultan dan orang-orang yang tinggal di Yogyakarta. Sedangkan ikatan (keluarga, kerabat) yang menyebabkan suatu kesatuan manusia menjadi suatu masyarakat adalah pola (pattern) tingkah laku yang menyangkut semua aspek kehidupan dalam batas kesatuan tersebut, yaitu sifatnya khas, mantap, dan berkesinambungan, sehingga menjadi Adat Istiadat.
Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pelajar, karena banyak mahasiswa yang datang dari luar Yogya. Bahkan hampir seluruh dari kawasan Republik Indonesia menimba pendidikan tinggi di sini. Itulah maka Yogya dapat juga disebut kota multikultural.
Kehadiran televisi di sini mengalami ‘kegaduhan’ kebudayaan tradisional yang menganggap merusak kehidupan mereka turun temurun. Di bidang pertanian para petani gamang, tidak percaya tentang cara baru penggunaan pupuk urea. Mereka biasa mempergunakan pupuk kandang. Petugas penyuluh pertanian secara intensif menganjurkan untuk mengalihkan pengolahan tanah dengan pupuk kandang ke pupuk urea melalui Siaran Pedesaan TVRI Yogya. Bahkan Menteri Perdagangan Prof Soemitro (pada waktu itu) menyampaikan sendiri bahwa dengan pupuk urea, petani dapat meningkatkan panennya. Menurut informasi, pupuk itu sudah didistribusikan ke koperasi-koperasi desa. Sehingga pada saat petani mulai tertarik untuk mencobanya, justru pupuk urea yang dijanjikan pemerintah tidak ada di mana-mana. Lalu kembalilah petani menggunakan pupuk kandang. Itu sebuah dilematis yang tumbuh di masyarakat.
Di bidang kesenian menuai pergeseran. Stereotipe seni tradisi ke kontemporer yang oleh para pemuka seni tradisional tidak
menghendakinya mempertimbangkan perkembangannya di kemudian hari.
Kalau kita tengok perkembangan seni pertunjukan di abad ke-18 (delapan belas), kehidupan tari klasik di istana kerajaan Yogyakarta dan Surakarta berkembang sangat maju. Itu dikarenakan peranan raja sangat dominan. Raja ingin sesuatu yang baru, yang menghasilkan pakem lain. Sultan Hamengkubuwono I dari Yogyakarta dan Pangeran Adipati Arya Mangkungoro I dari Surakarta menciptakan drama tari dalam bentuk ‘wayang wong’ (wayang orang). Ceritanya diambil dari epos Mahabharata atau Epos Ramayana.
Jurnal IMAJI | 6 Edisi 6 No. 1 Juli 2013
pergeseran pembaharuan menghasilkan pakem yang baru dan dipergunakan oleh siapapun yang akan memainkan lakon tertentu.
Bagong Kusudiarjo, seniman panggung yang sangat paham tentang pakam-pakem seni pertunjukan pernah kesulitan dalam memperpendek waktu pertunjukan yang biasa dilakukan berjam-jam. Pemendekan waktu pertunjukan berarti menyingkat pula jalannya cerita. TVRI Yogya berharap benar agar beliau dapat menyesuaikan keterbatasan waktu yang dipunyai oleh televisi. Televisi minta meskipun waktunya terbatas, namun hendaknya pakem cerita tetap tidak berubah. Dan terjadilah kemudian suatu peristiwa yang mengagumkan. Seni pertunjukan Ketoprak Saptamandala yang dipimpin oleh Pak Bagong menghasilkan pementasan ketoprak di TVRI Yogya dengan waktu tidak lebih dari 1 (satu) jam dalam format serial cerita. Judulnya “Tanah Perdikan”. Jika dalam penyusunan plot kebiasaan pertunjukan ketoprak tradisional disusun pada saat awal adegan selalu dilakukan dialog bertembang (menyanyi) yang berisi saling menyapa, saling kabar kinabaran. Maka adegan semacam ini ditiadakan. Diganti dengan aksi perang tanding antara yang protagonis dengan yang antagonis. Itu menarik penonton. Dialog-dialog yang berkepanjangan dengan melagukan kata atau kalimat-kalimatnya dikurangi. Sehingga waktu pertunjukan bisa diperpendek namun tidak mengurangi roh pakem cerita.
Prof.Umar Kayam, selaku Peneliti Kebudayaan dan Perubahan Sosial UGM (Universitas Gajah Mada) mengapresiasi perkembangan peradaban seni budaya pertunjukan ketoprak itu dengan gaya yang baru. Pak Bagong mendapat perhatian masyarakat, tanpa menimbulkan konlik budaya. Bahkan pernah dicoba untuk pertunjukan ketoprak berbahasa Indonesia. Tetapi usaha itu tidak diteruskan, karena masyarkat meng-complain -nya. Model mempersingkat waktu pertunjukan tanpa mengurangi pakem ceritanya terus bergulir tanpa hambatan.
Simpulan
Perubahan budaya lokal di daerah dalam hal ini Yogyakarta berjalan tanpa banyak kendala. Tetapi tetap mempertahankan pakem plot cerita yang tidak merusak tradisi budaya sebelumnya. Media Televisi menjadi ajang percobaan atas proses pembaharuan seni budaya klasik. Peranan pemangku empu kesenian dan kebudayaan sangat mempunyai arti dalam merubah pertunjukan tersebut. Mereka sangat berhati-hati dan penuh ketelitian dalam mengubah suatu adegan tanpa mempengaruhi rohnya isi cerita. Dan penonton dapat menerimanya dengan legowo. Kebudayaan memang tidak mandeg menjadi museum tradisional tetapi berjalan mengikuti perkembangan jaman.
Daftar Pustaka
Awuy, Tommy F. Teater Indonesia, Konsep, sejarah, problem,Dewan Kesenian Jakarta, 1999.
Achmad, A.Kasim. Mengenal Teater Tradisional di Indonesia. Dewan Kesenian Jakarta
Ciptoprawiro, Abdullah, dr. Filsafat Jawa, Balai Pustaka, th 2000
Kuncaraningrat, Prof. Pengantar Antropologi – 1, Rineka Cipta, Jakarta, 1996
Kuncaraningrat, Prof. Kebudayaan Jawa, Balai Pustaka Jkt, th 1994
Soenarto, RM, Televisiana, FFTV Press, 2000
Musburger, Robert B; Gorham Kindem, Introduction to Media Production he Path to Digital Media Production fourth Edition. Focal Press, Copyright 2009.