• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARKEOLOGI SEJARAH ISLAM DI PESISIR SELATAN PULAU SERAM MALUKU TENGAH Archaeological History of Islam in Coastal South Seram Island, Centre of Maluku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ARKEOLOGI SEJARAH ISLAM DI PESISIR SELATAN PULAU SERAM MALUKU TENGAH Archaeological History of Islam in Coastal South Seram Island, Centre of Maluku"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Kapata Arkeologi, 12(1), 79-90 ISSN (cetak): 1858-4101 ISSN (elektronik): 2503-0876 http://kapata-arkeologi.kemdikbud.go.id

ARKEOLOGI SEJARAH ISLAM DI PESISIR SELATAN PULAU

SERAM MALUKU TENGAH

Archaeological History of Islam in Coastal South Seram Island,

Centre of Maluku

Wuri Handoko

Balai Arkeologi Maluku - Indonesia JL. Namalatu-Latuhalat Ambon 97118

wuri_balarambon@yahoo.com

Naskah diterima: 14/09/2016; direvisi: 21/11 - 08/12/2016; disetujui: 15/12/2016 Publikasi ejurnal: 30/12/2016

Abstract

The history of Islamization in the region Seram Island Maluku until recently only records the Kingdom Hoamoal as the center of Islamization in the region. However, the formation of customary lands inhabited by the Muslim community is appealing to uncover where Islam originated and how it goes. This research is focused to see Islamization networks formed on indigenous lands in the southern coastal areas of the island of Seram by conducting the archaeological research that adopted survey method and oral history interviews to discover traces of the presence of Islam. This study found that Islamization in the southern coastal areas of the island of Seram, arised from the central region of Islam in the Maluku Islands; with another possibility that have been introduced from Java and the homeland of Islam, Arab and Persia. The study also found the formation process of political networks in the spread of Islam to get to the southern coastal areas of the island of Seram.

Keywords: deployment, Islam, network, politics, coastal Seram Abstrak

Dalam sejarah Islamisasi di wilayah Pulau Seram Maluku sejauh ini, hanya menyebut Kerajaan Hoamoal sebagai pusat Islamisasi di wilayah tersebut. Meski demikian, terbentuknya negeri-negeri adat yang dihuni komunitas muslim, menarik untuk diungkap dari mana Islam berasal dan bagaimana perkembangannya. Penelitian ini difokuskan untuk melihat jaringan Islamisasi yang terbentuk pada negeri-negeri adat di wilayah pesisir selatan Pulau Seram. Melalui penelitian arkeologi, dengan metode survei serta wawancara untuk menelusuri sejarah lisan jejak kehadiran Islam. Penelitian ini menemukan bahwa Islamisasi di wilayah pesisir selatan Pulau Seram, berasal dari wilayah pusat kekuasaan Islam di Kepulauan Maluku, juga kemungkinan dari Jawa dan tanah asal Islam dari Arab dan Persia. Penelitian ini juga menemukan bagaimana terbentuknya jaringan politik dalam proses penyebaran Islam hingga sampai ke wilayah pesisir selatan Pulau Seram.

Kata Kunci: Islamisasi, jaringan, politik, Seram

PENDAHULUAN

Pulau Seram termasuk salah satu pulau terbesar di wilayah Kepulauan Maluku dengan luas 18.625 km2. Informasi sejarah Islam dan penyebarannya di wilayah Pulau Seram, terutama wilayah pesisir selatan, sampai saat ini masih minimal. Sejauh ini penelitian arkeologi, berdasarkan data sekunder, menitik beratkan penelitiannya di wilayah yang dianggap sebagai pusat peradaban Islam. Di wilayah Maluku, pesisir selatan Pulau Seram sejauh ini tidak

banyak termuat dalam historiografi Islam. Dalam banyak catatan, wilayah penyebaran Islam di wilayah Pulau Seram, lebih dititikberatkan di wilayah Seram Bagaian Barat yakni bukti-bukti peninggalan Kerajaan Hoamoal. Sejarah mencatat, Ternate dan Tidore adalah dua kerajaan di wilayah Maluku Utara yang dapat dipresentasikan sebagai wilayah pusat kekuasaan Islam di wilayah Maluku Utara. Ternate, pengaruhnya ke wilayah selatan Maluku, meliputi Pulau Ambon, Haruku,

(2)

Saparua, Buru, Seram Bagian Barat dan Tengah. Sementara itu Tidore meluaskan pengaruhnya ke wilayah pesisir utara Pulau Seram dan wilayah kepulauan di sisi paling timur Pulau Seram, yakni Gorom dan Seram Laut hingga ke wilayah Kepulauan Raja Ampat Irian Jaya (Leirissa, 2001: 8; Putuhena, 2001; Jaffar, 2006; Amal, 2010).

Bukti arkeologis untuk memberikan dukungan terhadap informasi sejarah menyangkut Islamisasi di wilayah Pulau Seram sebelum ini masih nihil. Sejauh ini penelitian arkeologi, berdasarkan data sekunder, baru menitikberatkan penelitian arkeologi Islam di wilayah yang dianggap sebagai pusat peradaban Islam. Sementara itu, wilayah pesisir selatan Pulau Seram tidak banyak termuat dalam historiografi Islam di wilayah Maluku. Di satu sisi, kajian ini juga akan melengkapi informasi sejarah tersebut. Dari informasi sejarah, kita tidak memperoleh gambaran jelas bagaimana proses perkembangan Islam di daerah-daerah ekspansi Islam yang dimaksudkan dalam teks sejarah.

Fakta-fakta arkeologis, menghadirkan bagaimana proses bertumbuh dan berkembangnya Islam di daerah-daerah ekspansi kekuasaan Islam dimaksud. Oleh karenanya lokasi kajian ini, ditujukan di wilayah-wilayah yang menjadi perluasan Islam sebagaimana dimaksud dalam teks sejarah, sekaligus dari itu diperoleh gambaran lebih utuh tentang Islam di Maluku. Adanya komunitas-komunitas muslim di wilayah yang menempati negeri-negeri tua atau negeri-negeri adat menarik untuk ditelusuri bagaimana awal perkembangan Islam, dari mana pengaruh Islam berasal, bagaimana karaktersitik Islam yang berkembang, agar informasi tentang sejarah dan budaya masyarakat dapat diungkap. Penelitian ini untuk mengungkap penyebaran pengaruh Islam di wilayah pesisir selatan Pulau Seram. Hingga saat ini belum diketahui dari mana jalur masuk Islamisasi di wilayah tersebut. Selain itu juga belum adanya potensi data arkeologi Islam yang ditemukan, mengakibatkan wilayah ini masih belum bisa diangkat dalam teks historiografi Islam di Wilayah Maluku. Berdasarkan catatan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian arkeologi Islam di wilayah ini, dapat diuraikan sebagai berikut: pertama, dari mana jalur masuknya Islam di wilayah tersebut dan dari mana perkembangan Islam berasal? Kedua,

bagaimana perkembangan Islam di wilayah negeri-negeri Islam di pesisir selatan Pulau Seram?

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini tidak hanya terfokus pada penelitian arkeologi, tetapi juga bertendensi sejarah. Kajian historis mencoba mempelajari dan mengkaji sejarah tutur berkaitan dengan agenda Islamisasi dan perdagangan di wilayah tersebut. Penelitian ini hendak menjelaskan perkembangan Islam di wilayah negeri-negeri Islam di wilayah pesisir selatan Pulau Seram. Selain itu juga bermaksud menggambarkan dan menjelaskan pengaruh Islamisasi di wilayah tersebut, jalur masuknya dan asal wilayah penyebar Islam di daerah tersebut, serta menjelaskan dinamika dan karakteristik budaya Islam yang berkembang.

Hingga saat ini, teori tentang jalur Islamisasi di Kepulauan Maluku (Provinsi Maluku dan Maluku Utara) masih terus dikaji. Beberapa pendapat yang mengemukakan teori masuknya Islam di wilayah ini diantaranya oleh Mailoa (1977), bahwa Islam berkembang di Maluku Utara diduga berasal dari Malaka, Kalimantan, atau Jawa. Prodjokusumo (1991), mengemukakan bahwa Banjar dan Giri atau Gresik cukup besar pengaruhnya dalam sosialisasi Islam di Maluku Utara, sebelum terjadi arus balik, yakni penyebaran Islam dari Maluku ke arah barat yakni Buton dan daerah

lain di Sulawesi Selatan (Mailoa dan

Prodjokusumo dalam Ambary, 1998:153).

Meski demikian, penting dicatat, Islam dianggap

masuk ke wilayah Maluku pada sekitar abad 14, seperti yang terkandung dalam tradisi lisan yang menyebutkan Raja Ternate XII akrab dengan pedagang Islam (Ambary, 1996:6). Berdasarkan hal tersebut Ambary (1998), mengemukakan kemungkinan lain bahwa Islam masuk melalui jalan Cina Selatan dan tidak melalui Selat

Malaka. Pada abad 15, Ternate merupakan pusat

kekuatan utama penghasil rempah-rempah. Diantara kerajaan besar lainnya, seperti Tidore, Jailolo dan Bacan,Ternate menjadi pusat untuk memimpin aliansi empat kerjaan tersebut (Ambary, 1998:153-154).

Berdasarkan cerita lisan, Islam mencapai Maluku pada pertengahan abad 15 Masehi. Tahun 1460 raja Ternate Vongi Tidore telah memeluk Islam dan mengambil istri seorang keturunan bangsawan Jawa. Namun raja Ternate yang betul-betul memeluk Islam adalah Zainal

(3)

Abidin (1486-1500 M). Raja ini belajar Islam di Giri. Dari sinilah penyiaran Islam dilakukan diseluruh Maluku, berawal oleh pendatang dari Jawa (Sahusilawane, 1996: 3). Leiriza (1975) menuliskan secara historis Islam di Maluku berkaitan erat dengan andil para saudagar Arab, India dan Samudra Pasai. Pungkasan abad 14 disinyalir sebagai tonggak awal Islam diterima sebagai agama resmi di Ternate. Selain Ternate terdapat Kerajaan Tidore, Bacan dan Jailolo. Diantara empat kerajaan tersebut, Ternate merupakan yang terbesar (Leiriza, 1975 dalam Leiriza, 2001:7 ).

Dapat dianggap kedua wilayah kesultanan itu saling bersaing meluaskan kekuasaannya hingga keluar wilayah geografisnya ke wilayah pulau-pulau diseberang lautan. Selain pelebaran sayap kekuasaan yang bertendensi politis, kerajaan-kerajaan besar tersebut juga menyebarkan dan mengembangkan paham-paham bertendensi religi dan kultural. Salah satunya adalah penyebaran dan pengembangan agama Islam di wilayah-wilayah kekuasaan tersebut. PengIslaman ‘wilayah seberang’ kesultanan Ternate, tidak lepas dari peranan pusat kekuasaaan itu sendiri (Putuhena, 2001:62).

Perbincangan tentang hubungan antara Islamisasasi dan perdagangan, merupakan salah satu isu yang terus diperbincangkan. Perdagangan di satu sisi dan Islamisasi di sisi lain tampaknya seperti dua mata keping uang yang saling bersinggungan. Meskipun diantara para ahli ada pula perbedaan pendapat soal itu. Ricklefs (2008) menuliskan bahwa antara Islam dan perdagangan tampaknya ada semacam kaitan, meskipun banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab, mengingat perdagangan oleh orang-orang muslim telah ada beberapa abad sebelum masa pengIslaman Nusantara yang baru terjadi pada abad XIII dan terutama XIV dan XV (Ricklefs, 2008:37-38). Penjelasan tersebut memberikan gambaran bahwa proses perdagangan di wilayah Nusantara berlangsung jauh sebelum Islam berkembang, sehingga jika Islamisasi berlangung sejak dimulainya era perdagangan oleh bangsa-bangsa penyebar Islam, semestinya Islam tumbuh dan berkembang sejak masa itu. Namun, satu hal yang tak dapat dipungkiri bahwa proses perdagangan yang berlangsung telah memperkuat eksistensi Islam di Nusantara. Tjandrasamita memperkuat dengan penjelasan

bahwa munculnya jalur perdagangan sejak masa awal telah memicu terjalinnya jaringan perdagangan dan pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan, dengan kota-kota bandarnya sejak abad XIII- XVIII (Tjandrasamitha, 2009:39).

Di Maluku dalam hal ini Pulau Ambon, Pulau Seram dan pulau-pulau sekitarnya merupakan satu kesatuan historis dalam perkembangan Islam di wilayah Kepulauan Maluku. Bukti-bukti diperlukan untuk memperkuat historiografi Islam di Kepulauan Maluku. Yang penting dicatat seperti halnya kolonial, kedatangan Islam juga menyebar di hampir seluruh wilayah di Kepulauan Maluku. Dalam hal ini Kerajaan Hitu, merupakan representasi dari pusat kekuasaan Islam di wilayah Pulau Ambon dan Seram. Berbagai data penelitian, sejarah tutur, teks-teks sejarah seperti

Hikayat Tanah Hitu. Penelitian arkeologi mutakhir menunjukkan Hitu sebagai pusat Islamisasi di kawasan tersebut (Tim Penelitian, 2012: 84). Perkembangan Kerajaan Hitu, tampaknya dapat menjadi salah satu kunci untuk melihat perkembangan Islam di wilayah lainnya di Maluku.

METODE

Peneitian ini difokuskan pada beberapa negeri di wilayah pesisir selatan Pulau Seram, dalam hal ini di wilayah Negeri Haya dan Negeri Tamilow. Kedua Negeri, adalah negeri adat yang dihuni oleh masyarakat Muslim, sekaligus menjadi representasi eksistensi agama Islam di wilayah pesisir selatan Pulau Seram. Dipilihnya negeri tersebut, berasal dari informasi awal yang diterima penulis, bahwa di wilayah pesisir selatan tepatnya di Negeri Tamilow, terdapat naskah Al Qur’an kuno, menarik untuk ditindaklanjuti melalui penelitian arkeologi yang sistematis untuk menemukan berbagai bukti sejarah Islamisasi di wilayah tersebut. Sementara itu, Negeri Haya, adalah negeri adat dengan karakteristik sebagai negeri yang dihuni komunitas muslim yang lokasinya dekat dengan negeri Tamilow.

Penelitian ini menerapkan tahapan penelitian arkeologi seperti yang disarankan oleh Deetz (1976), yakni tahap pengumpulan data, tahap analisis dan interpretasi. Pada tahap pengumpulan data, metode yang digunakan meliputi: Pertama: Survei/Observasi Lapangan, survei ini dimaksukan untuk memperoleh

(4)

bukti-bukti budaya bendawi dari masyarakat pendukung pada masa lampau. Survei ini untuk melihat sebaran data arkeologi. Kedua:

Wawancara, menggali informasi dari masyarakat. Hal ini penting untuk memperoleh informasi dari masyarakat yang masih memiliki ingatan tradisi tutur tentang sejarah setempat.

Ketiga: Studi Pustaka, dalam tahap ini, penggalian informasi perlu dilakukan dengan mengumpulkan dan mempelajari sumber-sumber tertulis (literatur) tentang sejarah dan budaya masyarakat di wilayah Maluku, khususnya di Negeri Tamilouw dan Haya, Maluku Tengah.

Pada dasarnya analisis ini menekankan pada analisis kwalitatif dan kuantitatif serta kontekstual, melihat data arkeologi dalam satu himpunan (assemblage) yang saling berhubungan untuk mengidentifikasi aspek fungsi, teknologi, sosial dari masyarakat pembuatnya. Sementara itu dalam tahap eksplanasi dan interpretasi, selain berdasarkan sintesa data arkeologi yang telah dianalisis juga dilakukan analogi sejarah. Menurut Sharer dan Ashmore (1980) upaya rekonstruksi arkeologi yang hanya bersandarkan data artefaktual sangat terbatas keterandalannya, sebab kita tidak mengamatinya secara langsung. Arkeologi hanya mencoba merekonstruksi masa lampau berdasarkan bukti-bukti meterial yang ditinggalkannya. Dalam posisi demikian, maka untuk mengurangi kesenjangan informasi masa lalu, diperlukan suatu pendekatan metodologis, yakni melalui analogi (Sharer dan Ashmore, 1980:445). Dalam konteks penelitian ini, maka analogi yang digunakan adalah analogi historis, baik bersumber dari catatan sejarah tertulis maupun berdasarkan sejarah lisan. Dari analogi sejarah inilah kemudian ditarik interpretasi, penafsiran data arkeologi yang dikonfirmasi dengan catatan sejarah untuk membuat penjelasan (eksplanasi) dan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menemukan dua hal penting yang dapat memberikan penjelasan tentang pengaruh Islam di wilayah pesisir selatan Pulau Seram. Kedua hal tersebut adalah berdasarkan bukti-bukti arkeologis dan sejarah tutur masyarakat, sebagai hasil penelitian ini yaitu:

Pertama, Islam dan perkembangannya di wilayah pesisir selatan Pulau Seram. Perkembangan Islam yang paling jelas dapat

diamati dari wilayah pesisir selatan Pulau Seram adalah di wilayah Negeri Haya dan Tamilow, yang menjadi lokasi dari penelitian ini. Kedua, Jaringan dan pendekatan politik Islamisasi di pesisir selatan Pulau Seram, menjelaskan diantaranya soal jalur lintasan asal usul Islam yang berkembang dan penyebaran di wilayah pesisir selatan Pulau Seram.

Perkembangan Islam di Pesisir Selatan Pulau Seram

Masuknya Islam di Negeri Tamilow dan Negeri Haya, tampaknya sama halnya dengan informasi di wilayah lain di Maluku, pada umumnya mengungkapkan bahwa Islam pertama kali diperkenalkan di suatu negeri, awalnya ketika masyarakat masih menghuni kawasan perbukitan yang disebut negeri lama. Di Negeri Haya, awalnya Islam diperkenalkan di Negeri Lama Haya yang disebut dengan Leisilala.

Gambar 1. Jalan Masuk menuju Negeri Lama Tohia, di Desa Haya

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Di Negeri Haya, survei utamanya difokuskan di Negeri Haya, yakni di negeri pesisir pantai yang dihuni sekarang ini. Di negeri tersebut ditemukan indikasi arkeologis berupa lokasi bekas berdirinya masjid kuno dan makam. Lokasi bekas makam berada di lokasi yag dipercaya sebagai lokasi negeri lama dari Negeri Haya sekarang. Letaknya tidak jauh dari desa sekarang, berjarak sekitar 200 m di belakang desa. Lokasi situs tersebut berada pada bukit kecil, yang masih masuk dalam areal pemukiman desa sekarang. Untuk menuju ke lokasi tersebut, terdapat jalan setapak untuk naik ke bukit yang oleh masyarakat disebut Tohia,

(5)

lokasi pusat negeri. Di puncak areal tersebut terdapat areal datar yang tidak luas, sekitar 50 m2 dengan ketinggian sekitar 85 mdpl.

Daerah ini dipercaya penduduk sebagai lokasi pertama kali ditempati, setelah turun gunung dan bermukim di pesisir. Di lokasi tersebut, untuk pertama kalinya mereka hidup bermukim di pesisir dengan jumlah penduduk yang masih sedikit. Lambat laun ketika jumlah penduduk semakin banyak, mereka turun dan bermukim di pesisir pantai yang datarannya luas, sementara bukit kecil itu ditinggalkan, dan kondisi sekarang sebagian dimanfaatkan sebagai kebun masyarakat. Namun areal di mana lokasi bekas masjid kuno dan makam, masih disakralkan atau dikeramatkan. Di lokasi tersebut juga banyak ditemukan sebaran keramik dan juga gerabah dengan kuanitas yang minim. Tampaknya, meskipun skala situsnya kecil dengan jumlah penduduk masih sedikit, namun dari jejak-jejak arkeologi, memperlihatkan lokasi tersebut pada masa lampau digunakan sebagai aktivitas bermukim ataupun peribadatan.

Berdasarkan luasan situs dan minimnya bukti-bukti artefaktual, kemungkinan situs ini pada masa lampau, digunakan sebagai lokasi peribadatan, saat mereka pertama kali turun di pesisir. Tampaknya tradisi mensakralkan daerah tinggi atau bukit masih berlanjut seperti pada masa mayarakat tinggal di negeri lama di daerah pegunungan. Pada masa turun ke pantai agama Islam juga baru dikenal, sehingga tradisi masa lampau masih bertahan. Oleh karena itu, penempatan masjid di daerah tinggi, merupakan bagian interaksi simbolik masyarakat dengan simbol kesucian sebagai bagian kepercayaan dan penghormatan masyarakat terhadap leluhur. Mereka melakukan ritual atau peribadatan di tempat yang lebih tinggi dari lokasi desa, hal ini karena masih adanya pengaruh kosmologi kepercayaan masyarakat masa lampau, bahwa bukit atau daerah yang tinggi, lebih sakral dan lebih dekat dengan arwah suci leluhur, sebagai kepercayaan lokal masyarakat sebelum mengenal Islam.

Bukti-bukti fisik arkeologi yang dapat menjelaskan tentang perkembangan Islam di Negeri Haya, antara lain bekas struktur pondasi masjid kuno, makam kuno dan sebaran keramik dan gerabah. Bukti-bukti arkeologi ini kemudian dikonfirmasi dengan sejarah tutur kehadiran Islam, sehingga diperoleh penjelasan tentang perkembangan Islam di lokasi penelitian.

Dari survei arkeologi di Negeri Haya, ditemukan data lapangan, berupa tumpukan batu pipih berwarna hitam yang disusun rapi membentuk persegi. Sebagian struktur batu tersebut dalam kondisi yang yang sudah runtuh. Melihat bentuk strukturnya, susunan batu itu dibentuk secara sengaja dan dikerjakan oleh masyarakat dengan teliti. Kemungkinan tumpukan batu pipih itu adalah struktur pondasi masjid. Tinggi susunan batu dari permukaan tanah mencapai 60 cm, mungkin lebih rendah dari ukuran yang sebenarnya, karena dari yang ada sekarang, kemungkinan tidak lagi menampakkan susunan batu itu secara utuh.

Gambar 2. Bekas Pondasi Masjid Kuno di Desa Haya

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Belum diketahui bagaimana bentuk masjid pada masa itu, apakah pondasi itu langsung menyatu dengan tiang masjid dan permukaan tanah sebagai lantai atau bentuk masjid gantung (panggung) yang sering disebut

surau, sebagaimana beberapa bentuk masjid kuno atau surau di Jawa, atau bentuk masjid yang ada di wilayah Leihitu, Maluku Tengah yakni masjid Hasan Sulaeman pada abad 17 (Tim Penelitian, 2012).

Di Negeri Haya, hampir tidak ada ciri yang dapat dikenali bahwa masjid kuno di Haya berbentuk surau. Dari sisa-sisa reruntuhan susunan batu tampaknya masjid kuno di Negeri Haya pada masa lampau, berukuran kecil. Hasil pengukuran bagian yang terlihat hanya sekitar ±6-8 m2. Pengukuran ini dilakukan berdasarkan kondisi permukaan tanah dan jejak-jejak runtuhan susunan batu yang dapat diamati. Ini menandakan bahwa pada masa lampau, tidak

(6)

banyak menampung jumlah penduduk yang melakukan shalat. Meski demikian, temuan bekas struktur pondasi masjid, membuktikan bahwa Islam awal di Negeri Haya, menjadi bukti paling valid, perkembangan Islam. Hal ini karena, masjid dapat dianggap sebagai ikon utama, atau penanda paling spesifik dan paling jelas, bagaimana Islam tumbuh dan berkembang di wilayah Maluku (Handoko, 2012: 39). Masjid dapat dianggap sebagai ikon atau ciri utama sebuah situs Kerajaan Islam, hal ini karena dalam tradisi Islam sejak Nabi Muhammad SAW pendirian kerajaan Islam senantiasa didahului dengan pembangunan masjid serta dianggap sebagai pusat kegiatan dalam segala aspek kehidupan umat (Salam, 1960: 19; Gazalba, 1966; Mahmud, 2003: 40).

Gambar 3. Makam Kuno di Negri Lama Tohia, Desa Haya

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Data arkeologi lainnya yang ditemukan berasosiasi dengan bekas masjid kuno adalah makam kuno. Makam ini dilihat dari keletakannya berada di sebelah barat makam, ini artinya makam kuno ini berada di depan mihrab msjid kuno. Keletakan seperti ini menandai ciri masjid kuno pada umumnya di Maluku dan juga Nusantara, makam tokoh tertentu biasanya dimakamkan di depan mihrab masjid. Dari keterangan penduduk, makam ini adalah makam Imam pertama sewaktu penduduk sudah memeluk Islam dan sudah turun dari pemukiman lama di gunung dan bermukim di pesisir. Tidak disebutkan nama tokoh yang dimakamkan. Namun dari keterangan penduduk, makam ini cukup penting peranannya dalam proses syiar

Islam di Negeri Haya. Ada beberapa makam tokoh penting menurut keterangan penduduk, yakni makam putra dari Maulana Idris Bayanullah Maulana Buraya, namun menurut penduduk, makam tersebut berada di Negeri Lama di puncak gunung yang sulit terjangkau dan posisi keletakannya sudah sulit dicari, karena daerah gunung itu merupakan daerah hutan.

Informasi penduduk yang menyebutkan bahwa makam tersebut adalah makam dari Imam pertama, mungkin dapat dihubungkan dengan nama tokoh Maulana Zainal Arifn yang mengajarkan Islam untuk pertama kalinya ketika masyarakat bermukim di pantai. Berdasarkan informasi tutur, tidak ada keterangan yang berkesuaian dengan hal tersebut. Namun melihat keletakan makam, dapat dipastikan tokoh tersebut besar peranannya dalam proses syiar Islam di Negeri Haya.

Morfologi makam, berupa makam dengan tanda kubur atau nisan tunggal yang tampaknya diletakkan di bagian tengah dari jirat makam yang terdiri dari susunan batu pipih berwarna hitam, jenis batu yang sama yang ada pada susunan batu pondasi masjid kuno di sebelahnya. Melihat letak nisan yang berada di tengah jirat susunan batu, ini sangat berbeda dengan makam kuno Islam lainnya yang biasanya di letakkan di bagian kepala. Bentuk makam seperti ini, tampaknya memberi kesan adanya pengaruh Islam dari wilayah Maluku Utara, karena dalam penelitian disana, ditemukan makam berbentuk bulat dengan nisan berada di tengah di wilayah Galela dan Kao, Halmahera Utara (Tim Penelitian, 2014). Melihat bentuknya, nisan maupun jirat susunan batu, tersusun dari jenis batu yang sama. Bahan ini sama juga seperti susunan batu pondasi masjid. Asal usul dapat diketahui berasal dari wilayah setempat, karena sepanjang survei di kawasan ini, banyak dijumpai bahan batu serupa di beberapa area, baik area sungai maupun di areal pemukiman penduduk. Susunan batu jirat makam berukuran cukup besar yakni 3x2 m, dengan ukuran nisan yang relatif kecil dibanding besarnya jirat.

Selain kedua fitur yang sudah diauraikan di atas, temuan artefaktual yang ditemukan di lokasi situs itu adalah gerabah dan keramik. Jumlah gerabah sangat minim dibandingkan temuan keramik yang terbilang banyak. Tampaknya jenis keramik menunjukkan kronologi yang sesuai dengan kronologi

(7)

masuknya Islam sesuai cerita dari masyarakat yakni akhir abad 17. Jenis keramik kebanyakan jenis keramik produk China dari masa Dinasti Qing.

Gambar 4. Temuan berbagai Jenis keramik China abad 17-19 M

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Di Negeri Tamilow, keberadaan masjid kuno yang sekarang sudah berganti dan diperbaharui menjadi masjid modern, tidak bisa dipisahkan dari peran Tamagola, sebagaimana disebutkan dalam informasi tutur. Masjid Kuno dibangun sebagai representasi bahwa negeri secara remi telah menjadi Islam sebagai agama publik. Berdasarkan informasi tutur, masjid di bangun tahun 1830 dan selesai dibangun tahun 1842. Tampaknya informasi tersebut kemungkinan merujuk pada perubahan pertama kali bentuk masjid pada saat membangun kembali masjid. Kemungkinan jika berdasarkan historiografi Islam lokal, perkembangan Islam di Pulau Seram berlangsung pada abad 17, oleh karena itu tidak menutup kemungkinan masjid kuno di Tamilouw pertama kali di bangun pada masa itu, meskipun dalam bentuk yang masing sangat sederhana. Ini sesuai juga berdasakan informasi tutur bahwa pada awal dibangun masjid masih sangat sederhana berbentuk mushola atau surau yang dibuat dari bahan ramuan setempat yang mudah lapuk. Selanjutnya menyangkut pembangunan masjid tahun 1842, kemungkinan adalah pembangunan masjid pada masa selanjutnya dan sudah mengenal bahan-bahan yang lebih permanen. Akibat bencana yang disebut “Bahaya Seram”, sekitar tahun 1899 sudah tidak tersisa lagi bentuk asli masjid kuno. Sekarang yang dapat dilihat adalah masjid dengan gaya masjid modern yang menempati lokasi bekas masjid kuno.

Meskipun masjid kuno sudah hancur, namun alat-alat kelengkapan masjid, beberapa diantaranya masih tersimpan, yakni naskah-naskah kuno berupa Al Qur’an kuno dan Lempengan Kayu berupa naskah primbon. Kedua naskah milik koleksi Ahmad Tamagola. Al Qur’an kuno terbuat dari kertas Eropa, terdiri dari 30 juz. Berbeda dengan jenis Al Qur’an kuno lainnya yang pernah ditemukan di Maluku, Al Qur’an ini setiap juz terpisah satu sama lain tidak dalam satu jilid penuh. Jadi setiap juz dijilid terpisah-pisah. Dalam lembaran naskah tidak ditemukan gambar illustrasi dan illuminasi naskah. Ukuran naskah, panjang 21 cm dan lebar 16 cm, sedangkan pada halaman kertas, ukuran naskah panjang 16, dan lebar 11 cm. Kondisi naskah sudah lapuk dan tampak kurang terawat, beberapa bagian lembaran naskah banyak yang rusak dan tak terbaca.

Gambar 5. Naskah Al Qur’an Kuno Koleksi Ahmad Tamagola, Desa Tamilouw

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Selain Al Qur’an kuno, data naskah kuno Islam lainnya yang penting adalah sejenis naskah primbon yang dituliskan di atas lempengan kayu yang berbentuk seperti cermin, berbentuk bundar, dengan diameter lingkaran 30 cm dan diberi gagang dengan panjang gagang 13 cm. Lempengan kayu itu terdiri dari dua sisi, yang ditangkupkan, menyerupai cermin. Jika dibuka, terlihat bagian dalam permukaan kayu terdapat tulisan Arab Jawi (huruf Arab, berbahasa Melayu). Bagian permukaan luar, terlihat ukir-ukiran, dan bagian dalam polos, di bagian itu tertulis hurub Arab Pegon, berupa catatan yang kurang dipahami, semacam primbon ramalan-ramalan dan pertanggalan. Pada satu lempeng di dalamnya memuat

(8)

semacam ramalan-ramalan dan di lempeng yang lainnya memuat pertanggalan.

Gambar 6. Lempeng I Naskah Peratanggalan Kuno ditulis diatas lempengan terbuat dari kayu

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Gambar 7. Lempeng II Naskah Peratanggalan Kuno ditulis diatas lempengan terbuat dari kayu

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Dari dua sisi lempeng, masing-masing lempeng bagian dalamnya berisi catatan yang berbeda. Lempeng I, berupa lingkaran konsentris yang dibagi rata menjadi 30 bagian yang sama besar, setiap bagian itu ditandai oleh tulisan yang berisi nama-nama binatang mungkin simbol ramalan tertentu dan simbol-simbol angka yang tidak dipahami. Nama nama binatang yang tertera diantaranya yang dapat baca adalah kambing, jaran (bahasa Indonesia: kuda), ikan,

kujang (kijang?), sapi, kerbau, gajah dan lain lain. Di bawah yang tertera nama-nama binatang terdapat lingkaran-lingkaran kecil berjumlah 5-6 yang disusun ke bawah, mungkin menyimbolkan jumlah hari tertentu. Catatan ini sulit dipahami maksudnya, tetapi mungki berhubungan dengan ramalan-ramalan atau primbon yang berasal dari Jawa. Pada Lempeng II,catatan yang tertera berupa nama-nama hari, yang disusun tidak berurut.

Terdapat satu buah timbangan kuno zakat fitrah. Terbuat jenis kayu berbahan keras, yakni kayu bintanggur, seperti kebanyakan alat-alat

perlengkapan masjid kuno di Maluku. Ukuran timbangan terdiri dari panjang tangkai 67 cm dan panjang timbangan 71 cm. Sebagi pemberat terbuat dari batu andesit, menjadi pemberat timbangan zakat fitrah 2,5 kg.

Gambar 8. Timbangan zakat fitrah dan batu timbangannya di Negeri Tamilouw

(Sumber: Tim Penelitian, 2013)

Jaringan dan Politik Islamisasi di Pesisir Selatan Pulau Seram

Di wilayah pesisir selatan Pulau Seram dengan lokasi Negeri Haya dan Tamilou tampaknya dapat memberikan andil dalam mnyumbangkan informasi tentang jaringan Islamisasi di wilayah Pulau Seram khususnya dan di Maluku pada umumnya. Dari catatan sejarah yang ada dan setelah dikonfirmasi dengan informasi tutur setidaknya terdapat kesesuaian tentang peran-peran kerajaan Islam besar di wilayah Maluku dalam mendukung proses penyebaran Islam.

Jaringan Islamisasi dari Jawa kemudian ke Hitu, Banda dan Kei, Papua kemudian masuk ke pesisir selatan Seram sebagaimana dituturkan oleh masyarakat di Negeri Haya, kemudian informasi dari Tamilouw menyangkut adanya peran Ternate dan Hitu sebagai rantai penyebaran Islam di wilayah tersebut, dengan salah satu bukti adanya marga Pelu yang masuk dalam aliansi Tiga Opu Guru bersama marga Tamagola dan Waelisa dari Ternate dan Pelu dari Hitu.

Menurut informasi setempat proses penyebaran Islam di wilayah itu datang secara bertahap dan bergelombang. Para penyiar Islam datang ke wilayah pesisir selatan Seram, termasuk Tamilouw, menyebarkan Islam, kemudian meninggalkan lokasi, namun beberapa

(9)

tetap tinggal di lokasi dan melanjutkan syiar Islam dan menyatu dengan penduduk, bahkan menikah dengan penduduk setempat, menghasilkan keturunan, dan secara turun temurun melahirkan marga-marga sampai sekarang. Beberapa marga yang ada di Tamilouw sekarang ini berasal dari banyak tempat asal-usul dari kedatangan para penyiar Islam dari berbagai wilayah. Paling banyak adalah marga Tamagola, Wailisa, dan Pelu. Tiga marga ini konon berasal dari para penyiar Islam atau guru, yang berasal dari Maluku Utara (Tamagola dan Wailisa) serta Pelu yang bersal dari Hitu. Tamagola, Wailisa, dan Pelu ini kemudian disatukan sebagai marga-marga adat atau marga asli negeri Tamilouw. Tiga marga ini berasal dari nama penyiar Islam, dikenal dengan

Tiga Opu Guru, yang kemudian melahirkan aliansi atau kekerabatan tiga marga besar di Tamilouw. Selain marga-marga tersebut di Tamilouw juga ada marga-marga yang asal– usulnya dari pendatang atau penyiar Islam dari kerajaan-kerajaan Islam Jawa dan Buton. Marga yang berasal dari Buton memiliki nama marga Hatani.

Dalam proses penyebaran Islam, masyarakat negeri Tamilouw juga mengenal tokoh penyebar Islam yang berasal dari Arab bernama Syekh Muhammad Ali Hanafi. Kedatangan Muhammad Ali Hanafi tidak banyak diceritakan, namun informasi sekilas bahwa kedatangannya ke pesisir selatan bersamaan dengan para pedagang atau penyiar Islam Nusantara lainnya. Keturunan marga dari Arab ini juga tidak disinggung, hal ini mungkin karena proses syiar Islam dilakukan dengan datang bergelombang dan silih berganti. Beberapa penyiar Islam yang kemudian menurunkan marg-marga yang hidup sekarang ini, adalah karena penyiar Islam itu tetap tinggal di lokasi atau tidak kembali ke negeri asalnya.

Pada masa itu datang seorang penganjur Islam, bernama Maulana Idris Bayanullah dan seorang pengawalnya bernama Hula Puti. Hula Puti menurut informasi tutur merupakan seorang nahkoda yang mengiringi Maulana Idris dalam melakukan perjalanan syiar Islam hingga sampai ke wilayah pesisir selatan Pulau Seram ini. Konon menurut sumber tutur, Maulana Idris datang dari Persia, yang masuk ke Indonesia melalui selat Malaka. Dari keterangan masyarakat hadirnya Islam di pesisir selatan Pulau Seram termasuk di Negeri Haya,

merupakan bagian dari jaringan Islamisasi yang hadir melalui jalur selatan yakni Jawa, Sunda kecil, Sulawesi dan Maluku.

Menyangkut nama Maulana Idris Bayanullah seperti yang sudah disinggung sebelumnya merupakan penyebar Islam dari Persia yang melakukan perjalanan Syiar Islam diiringi seorang Nahkoda bernama Hula Puti serta diiringi oleh 25 penumpang, yang melakukan perjalanan mulai dari Sumatra Utara pada tahun 1612. Sampai di Maluku masuk melalui Hitu, tahun 1649. Sebelum sampai di Maluku, saat singgah di Jawa, salah seorang diantara 25 orang itu yakni Maulana Malik Ibrahim, menyebarkan Islam. Ketika sampai di pesisir selatan Pulau Seram, Maulana Idris Bayanullah memperkenalkan Islam ke penduduk dan meresmikan atau mendirikan negeri (kerajaan) Islam di Haya.

Di Maluku, perjalanannya sampai ke Haya, dimulai dari Hitu, Banda, Kei, Papua kemudian masuk ke Pulau Seram. Dalam keterangan penduduk, Islam masuk di pesisir selatan Seram, pada tahun 1697. Pada masa itu penduduk masih bermukim di negeri tua atau negeri lama di gunung. Dari informasi tetua adat, ada beberapa negeri tua pada masa itu yakni: Lesilala, Halana, Yanua, Manapa, Munia dan Ailatu. Setelah masuknya agama Islam dan diterima masyarakat, tak lama kemudian wafatlah Maulana Idris Bayanullah, kemudian syiar Islam dilanjutkan oleh Maulana Zaenal Arifin, seorang ulama yang mengajarkan Islam, setelah masyarakat bermukim di pesisir.

Dari data arkeologi yang ditemukan mekipun masih sangat minim, dapat menambah penjelasan tentang bagaimana jaringan Islamisasi dan perdagangan terbentuk. Jika berdasarkan infromasi penduduk, menyangkut jalur selatan melalui Jawa, Hitu hingga ke Pulau Seram, tampaknya terdapat kesesuaian. Di Tamilouw, pengaruh Islam berasal dari Jawa maupun daerah lainnya cukup kuat. Konversi Islam yang berlangsung di Tamilouw, salah satunya dicirikan proses konvesri Islam yang bersifat top-down. Proses tersebut dicirikan oleh elit masyarakat mengadopsi dan mengkonversi Islam selanjutnya diikuti oleh masyarakat pengkutnya, konversi bersifat top-down, pada dasarnya berhubungan dengan kekuasaan dan politik (Reid, 1995; Lape, 2000a, 2000b Lape, 2000c). Dengan demikian, penyebaran pengaruh Islam di pesisir selatan Pulau Seram

(10)

berhubungan pula dengan determinasi kekuasaan. Hal ini karena dalam berbagai penelitian arkeologi Islam, tampaknya memberikan penjelasan bahwa di wilayah Maluku, penyebaran Islam, sangat kuat dianggap karena dukungan letak geografis, sumberdaya alam dan kekuasaan politik kerajaan-kerajaan Islam. Di wilayah Maluku, perdagangan, kekuatan (power) dan kekuasaan politik kerajaan-kerajaan pusat Islam turut mempengaruhi luas dan cepatnya perkembangan Islam, bahkan kemungkinan Islamisasi mengikut proses ekspansi kekuasaan (Putuhena; 2001:62; Handoko, 2010: 10; Handoko, 2009a: 3-4).

Dalam proses politik, seorang raja tentu memiliki otoritas dan pengaruh besar dalam proses konversi Islam masyarakatnya. Pada saat seorang raja memeluk Islam, maka rakyat juga akan berlomba mengikuti jejak pemimpinnya untuk mengkonversi Islam. Ikatan primordial dan feodal menciptakan masyarakat Nusantara memiliki ketaatan dan kepatuhan yang tinggi terhadap seorang raja yang menjadi panutan bagi rakyatnya. Setelah raja dan rakyat memeluk agama Islam, maka kepentingan politik dilakukan dengan cara perluasan wilayah kerajaan, yang diikuti dengan penyebaran agama Islam. Di wilayah Maluku, bukti-bukti arkeologi dan historis secara jelas memperlihatkan adanya integrasi pemerintahan, kekuasaan dan politik Islam diantara daerah-daerah pusat dan wilayah kekuasaan Islam (Handoko, 2009:4). Bagi banyak orang Maluku, Islam memberikan kerangka ideologis untuk melawan pengaruh budaya dan kontrol politik Eropa dan sebagai alat pemersatu dari entitas politik yang berbeda (Andaya, 1993; Reid, 1993b: 147; Lape, 2000c). Islam adalah alat politik yang digunakan oleh para pemimpin untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka dalam bentuk monarki yang sesuai dalam doktrin Islam dan melemahkan lawan mereka dalam usaha mengontrol perdagangan dan politik (Johns, 1995; Reid, 1995; Ricklefs, 1979; Lape, 2000c).

Dalam konteks politik Islamisasi, penyebaran Islam secara politis, dapat ditinjau dari data yang ditemukan di Negeri Tamilouw. Di Tamilouw, informasi menyangkut penyebar Islam sebagai utusan Kesultanan Ternate, yakni Gimelaha Gumbi (Tamagola) dapat mengkonfirmasi adanya jejak syiar Islam melalui proses politik. Gimelaha Gumbi diangap

tokoh yang secara resmi menjadikan Islam sebagai agama kerajaan atau negeri Tamilouw dengan menyatukan marga-marga di Tamilouw untuk masuk Islam dan mendirikan masjid sebagai representasi Islam resmi menjadi agama kerajaan (negeri). Selain proses itu, mengikut pula jejaring dan aktifitas niaga, melalui pertukaran komoditi. Produk asing yang dipertukarkan misalnya keramik, di wilayah pesisir selatan Seraam cukup marah dipertukarkan dnegan komoditi setempat misalnya cengkeh. Temuan sebaran keramik di negeri-negeri seperti Haya dan Tamilou dalam penelitian ini member bukti bahwa perdagangan cukup intensif, bersamaan dengan terbentuknya jaringan Islamisasi di pesisir selatan Pulau Seram.

Di Tamilouw juga dikenal kelompok kekerabatan dengan nama Rajawane Latu, yang berasal dari kumpulan raja dan wali. Pada masa lampau pada saat syiar Islam banyak wali atau penyebar Islam yang berintegrasi, membangun kerukunan dan kekerabatan dengan raja, sehingga dibentuk institusi atau kelembagaan bernama Rajawane Latu tersebut. Selain marga-marga yang berasal dari keturunan para penyiar Islam, di Tamilouw juga terdapat beberapa marga yang asli keturunan atau berasal marga masyarakat setempat atau pribumi yakni Husalenu, Wawain, Samano, Walite dan Lessi. Berdasarkan kelompok marga, di wilayah Negeri Tamilouw masyarakatnya terdiri dari dua kelompok yakni marga Patasiwa dan Patalima, dan masing-masing marga memiliki rumah pusaka yang memberi arti pada simbol kekerabatan marga tersebut.

Menyangkut nama Tamagola sebagai penyiar Islam di wilayah pesisir selatan Seram, masyarakat menyebut bahwa tokoh tersebut, berhubungan dengan masalah politik dan kekuasaan, karena Tamagola sesungguhnya utusan khusus Ternate yang memang ditempatkan di wilayah Tamilouw. Dalam keterangan masyarakat, utusan Ternate tersebut bernama Gimelaha Gumbi (Tamagola), yakni utusan Sultan Ternate yang ditempatkan di wilayah seberang dalam hal ini Tamilouw dan wilayah-wilayah pesisir selatan Seram lainnya. Di Tamilouw, Tamagola dianggap tokoh yang menyatukan masyarakat Tamilouw. Hal ini karena Tamilouw terdiri dari beberapa anak desa, yang masing-masing di huni oleh tiap-tiap marga yang berbeda. Pada masa itu Tamagola

(11)

pertama kali datang di Wapotih, negeri lama di pesisir sebelum pindah ke Tamilouw sekarang ini. Pada masa itu, setelah dari Wapotih, Tamagola sempat meninggalkan negeri itu dan pergi ke Banda. Karena ada bencana wabah kolera di Banda, Tamagola kembali ke Tamilouw, dan menyatukan penduduk ke dalam negeri Tamilouw dan secara resmi menjadikan Islam sebagai agama resmi penduduk.

KESIMPULAN

Hasil penelitian arkeologi memberikan gambaran adanya pengaruh dan jaringan Islamisasi di wilayah pesisir selatan Pulau Seram, yang selama ini minim disebut dalam histroriografi Islam di Maluku. Dari berbagai informasi yang diporeh baik dari tradisi tutur maupun data arkeologi, paling tidak menambah informasi yang selama ini kurang lengkap. Data arkeologi dapat memberikan bukti atau mengkonfirmasi teks-teks sejarah yang selama ini menjadi catatan utama.

Berdasarkan penelitian ini kiranya dapat disimpulkan beberapa hal yakni: pertama,

indikasi Islamisasi melalui jalur selatan dan masuk ke wilayah selatan Ulau Seram cukup kuat dan intensif hal ini dibuktikan dnegan berbagai informasi data arkeologi maupun informasi tutur. Perkembagan agama Islam cukup kuat hadir di wilayah pesisir selatan dengan adanya negeri-negeri adat berkarakter Islam, serta kronologi Isalmisasi yang cukup tua, hadir di wilayah pesisir selatan Pulau Seram. Bukti-bukti arkeologi adanya pengaruh Islam dengan temuan makam-makam kuno dan masjid kuno mengindikasikan hal itu. Selain itu bukti perkembangan Islam juga mengintegrsikan masyrakat-masyarakat lokal pada masa lampau dengan secara bersama mengkonversi agama Islam. Kedua, berdasarkan bukti-bukti arkeologi dan sejarah lisan masyarakat setempat, maka penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa jaringan Islamisasi yang terbentuk di wilayah pesisir selatan Pulau Seram, selain berasal dari tanah asal Islam, yakni Arab dan Persia, juga berasal dari Jawad dan pusat-pusat kekuasaan Islam di Kepulauan Maluku, yakni Hitu dan Ternate. Pengaruh Ternate, khususnya berhubungan dengan politik kekuasaan Islam, yang menempatkan wakil kekuasaan Islam di Ternate, secara politis membentuk jaringan ekspansi Islam di wilayah tersebut.

Rekomendasi penting untuk penelitian tindak lanjut adalah jangkauan peneitian perlu diperluas lagi mencakup kesleuruhan kawasan pesisir selatan Pulau Seram serta upaya pencarian bukti-bukti arkeologis di bawah tanah untuk memperkuat penjelasan menyakut aktifitas dan perkembangan Islam.

***** DAFTAR PUSTAKA

Amal,Adnan M. (2010). Kepulauan Rempah-rempah

Perjalalanan Sejarah Maluku Utara

1250-1950. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia.

Ambary, Hasan Muarif. (1998). Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Logos. Wacana Ilmu.Jakarta.

Ambary, Hasan Muarif, Sugeng Riyanto, Max Manuputty. (1996). Survei Arkeologi Islam di Ternate dan Tidore Provinsi Maluku. Ambon. Proyek Penelitian Purbakala.

Deetz, James. (1967).Invitationto Archeology. New York:TheNaturalHistoryPress.

Handoko, Wuri. (2007).Peran Strategis Wilayah Kepulauan Gorom dalam Kontak Awal Budaya, Perkembangan Perdagangan dan Budaya Islam di Maluku.Berita Penelitian Arkeologi (BPA)Vol. 2 Nomor 4 Tahun 2007. Balai Arkeologi Ambon.

Handoko, Wuri. (2009a). Ekspansi dan Rivalitas Kekuasaan Islam : Pengaruhnya di Wilayah Negeri Siri Sori Islam, Pulau Saparua, Maluku Tengah. Kapata Arkeologi.Volume 5 Nomor 8 Juli 2009.

Handoko, Wuri. (2010). Konversi Islam dan Determinasi Kekuasaan. Studi Arkeologi di Kawasan Teluk Waru, Kabupaten Seram Bagian Timur. Kapata Arkeologi. Vol. 6. Nomor 10. Ambon. Balai Arkeologi Ambon.

Lape, P. V. (2000a). Contact and colonialism in the Banda Islands, Maluku, Indonesia. Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association 20(4): 48–55.

Lape, P. V. (2000b).Contact and Conflict in the Banda Islands, Eastern Indonesia, 11th–17th

Centuries. Ph.D. Dissertasi. Brown University. Lape, P. V. (2000c). Political dynamics and religious

change in the late pre-colonial Banda Islands, Eastern Indonesia. World Archaeology 32(1).

Leirizza. (2001). Jalur Sutera: Integrasi Laut-Darat dan Ternate sebagai Bandar di Jalur Sutera.

Dalam M.J. Abdulrahman, et.al. Ternate: Bandar Jalur Sutera, Ternate: LinTas (Lembaga Informasi dan Transformasi Sosial).

(12)

Sharer, dan Ashmore. (1980). Fundamentals Of Archaeology. London: The Benjamin Cummings Publishing Company.

Ricklefs, M.C. (2008).Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta. PT Serambi Ilmu Semesta. Tjandrasasmitha, Uka. (2009).Arkeologi Islam

Nusantara. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Putuhena, Shaleh. (2001). Proses perluasan agama Islam di Maluku Utara. Dalam M.J. Abdulrahman, et.al. Ternate: Bandar Jalur Sutera, Ternate: LinTas (Lembaga Informasi dan Transformasi Sosial).

Gambar

Gambar 1.  Jalan Masuk menuju Negeri Lama  Tohia, di Desa Haya
Gambar 2. Bekas Pondasi Masjid Kuno di Desa  Haya
Gambar 3. Makam Kuno di Negri Lama Tohia,  Desa Haya
Gambar 5. Naskah Al Qur’an Kuno Koleksi Ahmad  Tamagola, Desa Tamilouw
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan penalaran adaptif pada siswa kelas VIII SMP Negeri 2 Lubuklinggau yang

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari badan atau perwakilan dari Negara asing dan organisasi internasional yang

merupakan dasar yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. a) Dengan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka Pancasila merupakan

Tabel 4.3 menunjukkan nilai F hitung sebesar 142,968 dengan signifikansi F sebesar 0,000 < α 0,05; hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan kerja dan komitmen organisasi

Melihat pengertian tasawuf dimulai dari pembersihan diri yang bertujuan untuk mencapai hakikat yang tingggi oleh karena Allah SWT itu adalah Nur dan Maha Suci, maka hamba yang

V65 GROSSWTHS Kumulatif Berat Kotor contin numeric V66 NETWTHS Berat Bersih per HS contin numeric V67 CIFHSUSD Nilai CIF per HS contin numeric V68 FOBHSUSD Nilai FOB per HS

• Masyarakat sehat dan bergizi baik dapat dicapai melalui pembangunan ketahanan pangan dan gizi daerah dengan tersedianya pangan yang cukup bagi seluruh masyarakat untuk

Jadwal kegiatan disusun dalam bentuk bar chart untuk rencana pengabdian kepada masyarakat yang diajukan dan sesuai dengan format pada Lampiran 3..