• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI TUMBUHAN BERGUNA DI TAMAN HUTAN RAYA R. SOERJO KOTA BATU, JAWA TIMUR RISA AGUSTINA DEWI ARDIANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI TUMBUHAN BERGUNA DI TAMAN HUTAN RAYA R. SOERJO KOTA BATU, JAWA TIMUR RISA AGUSTINA DEWI ARDIANI"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

RISA AGUSTINA DEWI ARDIANI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

POTENSI TUMBUHAN BERGUNA DI TAMAN HUTAN RAYA

R. SOERJO KOTA BATU, JAWA TIMUR

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

RISA AGUSTINA DEWI ARDIANI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(3)

RISA AGUSTINA DEWI ARDIANI. Potensi Tumbuhan Berguna di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Kota Batu, Jawa Timur. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan ERVIZAL A. M. ZUHUD.

Fungsi dari taman hutan raya menurut Undang-undang No. 5 tahun 1990 adalah sebagai koleksi tumbuhan. Namun, kawasan Taman hutan raya (Tahura) R. Soerjo telah mengalami gangguan yaitu akibat dari pembukaan industri dan perluasan lahan pertanian. Apabila hal ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama maka akan berdampak terhadap hilangnya/punahnya spesies tumbuhan. Keinginan untuk mengkonservasi kawasan Tahura R. Soerjo akan semakin meningkat apabila diketahui manfaat/kegunaan dari spesies-spesies tumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data mengenai komposisi dan keanekaragaman spesies tumbuhan serta potensi tumbuhan berguna yang terdapat di dalam kawasan Tahura R. Soerjo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis vegetasi, pembuatan herbarium dan kajian pustaka. Pustaka yang digunakan dalam mengidentifikasi spesies tumbuhan berguna antara lain Heyne (1987); Lemmens dan Soetjipto (1999).

Berdasarkan hasil analisis vegetasi diperoleh 50 spesies dari 39 famili. Habitus yang paling banyak ditemukan yaitu berupa pohon dengan famili yang mendominasi adalah Euphorbiaceae. Dominansi vegetasi pada tingkat pohon, tiang, pancang, semai dan tumbuhan bawah secara berurutan adalah pasang (Quercus sundaica) dampul (Ficus lepicarpa) kopian (Glochidion macrocarpum) kopian (Glochidion macrocarpum) dan remejun (Euphatorium riparium) dengan Indeks Nilai Penting (INP) untuk masing-masing spesies 78,86%; 42,65%; 34,3%; 51,4%;dan 74,91%. Kemerataan individu spesies (E) pada tingkat pohon sebesar 0,809; tiang 0,873; pancang 0,899; semai 0,829; dan tumbuhan bawah 0,683. Selanjutnya, keanekaragaman spesies (H’) yang terdapat di Tahura R. Soerjo yaitu pada tingkat pohon 2,5; tiang 2,7; pancang dan semai sebesar 2,6; dan tumbuhan bawah 2,2. Dari seluruh spesies yang teridentifikasi 37 spesies (74%) dari 28 famili yang diketahui kegunaannya yaitu dikelompokkan ke dalam 9 kegunaan yaitu tumbuhan obat (16 spesies); tumbuhan pangan (14 spesies); bahan bangunan (15 spesies); tali, anyaman, dan kerajinan (2 spesies); pewarna dan tanin (4 spesies); pestisida nabati (3 spesies); pakan ternak (6 spesies); tumbuhan hias (4 spesies); kayu bakar (2 spesies).

Kesimpulan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa keanekaragaman spesies di Tahura R. Soerjo tergolong sedang. Sedangkan, kemerataan individu spesies pada tingkat pancang lebih merata dibandingkan tingkat tumbuhan lainnya. Spesies tumbuhan berguna yang paling banyak ditemukan adalah untuk tumbuhan obat (16 spesies).

(4)

SUMMARY

RISA AGUSTINA DEWI ARDIANI. Potential of Useful Plants in R. Soerjo Grand Forest Park, Batu City, East Java. Under supervision of AGUS HIKMAT and ERVIZAL A. M. ZUHUD

Function of the grand forest park under the Law number 5 of 1990 about collection of plants. However, the Grand Forest Park (Tahura) R. Soerjo interferenced by open area for industry and expansion of agricultural land. If this takes place in the long term it will have an impact on the loss / extinction of plant species. The desire to conserve the region Tahura R. Soerjo will increase if knew uses of plant species. This research aims to identify the plant species composition and diversity of useful plants as well as the potential contained in the Tahura R. Soerjo. This research was conducted in September 2011. The data collections and analysis of useful plants was conducted by analyzing the vegetations and study literature. The identification of useful plants in Tahura R. Soerjo used reference from Heyne (1987); Lemmens and Soetjipto (1999).

The number of analyzed vegetation species identified comprises of 50 species from 39 families. Habitus was the most commonly found form trees and dominant families was the Euphorbiaceae. Dominance of vegetation on the trees, poles, saplings, seedlings and ground plants in order were pasang (Quercus sundaica); dampul (Ficus lepicarpa); kopian (Glochidion macrocarpum); kopian (Glochidion macrocarpum); and remejun (Euphatorium riparium) with important value index (Indeks Nilai Penting) for each species of 78,86%; 42,65%; 34,3%; 51,4%; and 74,91%. Individual species evenness (E) at the tree level of 0,809; pole 0,873; saplings 0,899; 0,829 seedlings; and ground plants 0,683. Furthermore, species diversity (H’) contained in Tahura R. Soerjo classified as being at the level of the tree that is 2,5; pole 2,7; saplings and seedlings of 2,6; and ground plants 2,2. According to vegetation analyzed, it was found that 37 species (74%) of 28 families was grouped into 9 useful: medicinal plants (16 species); food plants (14 species), building materials (15 species); rope, wicker, and crafts (2 species); dyes and tannins (4 species); pesticide plant (3 species), fodder (6 species), ornamental plants (4 species), firewood (2 species).

Conclusion of the research showed that species diversity in Tahura R. Soerjo was classified as medium with a relatively high value of 2,7 at the pole. Meanwhile, species evenness at saplings is more evenly distributed than the other plants. The useful of the plant were found for medicinal plants (16 species).

(5)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Potensi Tumbuhan Berguna di Taman Hutan Raya R. Soerjo Kota batu, Jawa Timur” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Bogor, Maret 2012

Risa Agustina Dewi Ardiani NIM. E34070079

(6)

Judul Skripsi : Potensi Tumbuhan Berguna di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Kota Batu, Jawa Timur

Nama : Risa Agustina Dewi Ardiani

NIM : E34070079

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud,MS. NIP. 196209181989031002 NIP. 195906181985031003

Mengetahui:

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

NIP 19580915 198403 1 003 Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS

(7)

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulillahirabbilla’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar. Skripsi yang berjudul “Potensi Tumbuhan Berguna di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Kota Batu, Jawa Timur” disusun sebagai suatu syarat untuk memperoleh gelar sarjana bidang kehutanan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk menginventarisasi potensi tumbuhan yang mempunyai berbagai macam kegunaan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi UPT. Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo dalam pengelolaan, pengembangan, pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam hayati khususnya tumbuhan yang berguna bagi kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan Tahura R. Soerjo. Sehingga masyarakat dapat menyadari pentingnya keberadaan kawasan Tahura R. Soerjo dan bersama dengan petugas menjaga sumberdaya alam yang ada di dalamnya supaya tetap terjaga dengan baik.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait terutama kepada UPT. Tahura R. Soerjo, Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Timur dan masyarakat. Penulis mengharapkan saran-saran dan petunjuk serta kritik yang membangun. Terima kasih atas bantuan dan dukungan dari semua pihak.

Bogor, Maret 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malang, Jawa Timur pada tanggal 7 Agustus 1989, sebagai puteri pertama dari empat bersaudara dari orangtua yang bernama Bapak Narto dan Ibu Sumaksih. Penulis memulai pendidikan pada tahun 1993 di Taman Kanak-Kanak Dharma Wanita Sukopuro, tahun 1995 masuk Sekolah Dasar Negeri I Sukopuro dan lulus tahun 2001.Memasuki usia remaja, penulis melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Pakis pada tahun 2001 dan lulus tahun 2004. Penulis melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tumpang pada tahun 2004 dan lulus tahun 2007. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Ujian Seleksi Mahasiswa (USMI) pada Fakultas Kehutanan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

Selama studi di Fakultas Kehutanan IPB, penulis mengikuti kegiatan Praktek Pengenalan ekosistem Hutan (P2EH) di CA Gunung Sawal dan CA Pangandaran pada tahun 2009. Penulis juga mengikuti Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada tahun 2010. Setelah itu, penulis juga mengikuti Praktek kerja lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Meru Betiri, Banyuwangi pada tahun 2011. Penulis mengikuti kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA) periode 2008 – 2011 sebagai anggota dari Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH). Pada periode 2009-2010 menjadi anggota biro kesekretariatan HIMAKOVA.

Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Potensi Tumbuhan Berguna di Taman Hutan Raya R. Soerjo, Kota Batu, Jawa Timur”, dibimbing oleh Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F dan Prof. Dr. Ir. Ervizal A M Zuhud, MSc.

(9)

Alhamdulillahirobbill’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas izin dan segala kemudahan yang diberikan-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Selain itu, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ervizal A M Zuhud, MSc. atas segala bimbingan, arahan, waktu, kesabaran, dan saran yang telah diberikan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Ir. Edhi Sandra, M.Si, selaku ketua sidang dan Ibu Anne Carolina, S.Si, M.Si, selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan pada siding komprehensif penulis.

3. Kepala UPT Tahura R. Soerjo yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

4. Bapak Wanoto dan Bapak Gunadi yang telah membantu dan membimbing penulis selama di lapangan.

5. Bapak dan Ibu Dosen Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan ilmu pengetahuan, pengajaran, dan bimbingan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di IPB.

6. Ibu dan Bapak yang sangat saya sayangi, atas segala doa, kasih sayang, kesabaran, semangat serta segala dukungan, pengorbanan dan bantuannya. 7. Mas Bayu Candra Prasetio yang saya sayangi atas segala dukungan dan

perhatian kepada penulis.

8. Teman-teman yang selama ini telah mendukung penulis (Mettha, Opie, Muti, Rahmi, Woro, Asih dan Neneng).

9. Teman-teman yang ada di Wisma Blobo (Ticul, Nenek, Hence, Rysda, dan Mba Tinul, Mba Nano) yang memberikan bantuan dan dukungan.

10.Teman-teman KSHE 44 “KOAK” yang selama mengalami susah dan senang selama melakukan kuliah.

11.Keluarga besar Himakova yang telah berbagi ilmu dan pengalaman hidup. 12.Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah

(10)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Hutan Raya ... 3

2.2 Tumbuhan Berguna ... 4

2.2.1 Tumbuhan obat ... 4

2.2.2 Tumbuhan hias ... 5

2.2.3 Tumbuhan penghasil pangan ... 6

2.2.4 Tumbuhan aromatik ... 6

2.2.5 Tumbuhan penghasil kayu bakar ... 7

2.2.6 Tumbuhan penghasil bahan bangunan ... 7

2.2.7 Tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan ... 8

2.2.8 Tumbuhan penghasil bahan pewarna dan tanin ... 8

2.2.9 Tumbuhan untuk ritual pestisida nabati ... 9

2.2.10 Tumbuhan penghasil pakan ternak ... 10

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu ... 12

3.2 Bahan dan Alat ... 12

3.3 Jenis Data ... 13

3.4 Metode pengumpulan data ... 13

3.4.1 Data yang dikumpulkan ... 13

(11)

4.2 Keadaan Fisik kawasan ... 19

4.2.1 Letak dan luas kawasan ... 19

4.2.2 Topografi ... 20

4.2.3 Iklim ... 20

4.2.4 Hidrologi ... 20

4.3 Aksesibilitas ... 21

4.4 Keadaan Biologi ... 21

4.5 Keadaan Sosial Budaya Masyarakat ... 22

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Vegetasi di Tahura R. Soerjo ... 23

5.1.1 Komposisi famili... 23 5.1.2 Komposisi spesies ... 24 5.1.3 Komposisi habitus ... 25 5.1.4 Dominansi vegetasi ... 25 5.1.5 Keanekaragaman spesies ... 28 5.1.6 Kemerataan spesies ... 31

5.2 Potensi Tumbuhan Berguna ... 32

5.2.1 Tumbuhan obat ... 32

5.2.2 Tumbuhan penghasil bahan pangan ... 37

5.2.3 Tumbuhan penghasil bahan bangunan ... 39

5.2.4 Tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan... 41

5.2.5 Tumbuhan penghasil bahan pewarna dan tanin ... 42

5.2.6 Tumbuhan penghasil pestisida nabati ... 43

5.2.7 Tumbuhan penghasil pakan ternak ... 45

5.2.8 Tumbuhan hias... 46

5.2.7 Tumbuhan penghasil kayu bakar ... 46

5.3 Rekomendasi Kepada Pengelola Tahura R. Soerjo ... 47

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 49

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Komposisi spesies………...……… 21

2. Nilai INP tertinggi pada masing-masing tingkat tumbuhan………..………... 26

3. Nilai INP tertinggi tingkat tumbuhan bawah……….... 28

4. Hasil rekapitulasi kelompok kegunaan……..………. .. 32

5. Daftar spesies tumbuhan berguna sebagai obat..……….. 33

6. Daftar spesies tumbuhan penghasil pangan………….………... 37

(13)

No. Halaman 1. Peta kawasan hutan di Provinsi Jawa Timur dan lokasi Tahura R.

Soerjo………..……… 14

2. Desain plot contoh dalam analisis vegetasi dengan menggunakan metode kombinasi jalur berpetak ... 15

3. Komposisi famili ... 23

4. Komposisi habitus ... 25

5. Keanekaragaman spesies ... 29

6. Kemerataan spesies ... 31

7. Spesies tumbuhan obat ... 36

8. Spesies tumbuhan penghasil bahan pangan ... 39

9. Spesies tumbuhan penghasil bahan bangunan ... 41

10. Spesies tumbuhan penghasil tali, anyaman, dan kerajinan... 42

11. Spesies tumbuhan penghasil pestisida nabati ... 44

12. Spesies tumbuhan penghasil pakan ternak ... 46

13. Spesies tumbuhan hias ... 46

(14)

DAFTAR LAM PIRAN

No Halaman

1. Daftar spesies tumbuhan di TAHURA R. Soerjo ... 56

2. Daftar nilai INP tingkat pohon ... 59

3. Daftar nilai INP tingkat tiang ... 60

4.Daftar nilai INP tingkat pancang ... 61

5. Daftar nilai INP tingkat semai ... 62

6. Daftar nilai INP tingkat tumbuhan bawah ... 63

7. Daftar spesies tumbuhan berdasarkan famili ... 65

8. Kelompok kegunaan tumbuhan di TAHURA R. Soerjo ... 67

9. Daftar spesies tumbuhan berguna sebagai obat ... 70

10. Daftar spesies tumbuhan penghasil pangan ... 71

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri dari taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya. Pengertian dari taman hutan raya sendiri yaitu kawasan pelestarian alam yang tujuan utamanya adalah untuk koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami ataupun buatan, jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-Undang No. 5 tahun 1990).

Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo adalah kawasan pelestarian alam yang terletak di lima wilayah yaitu Kab. Malang, Kota Batu, Kab. Jombang, Kab. Mojokerto, dan Kab. Pasuruan pada ketinggian kurang lebih 1600 m di atas permukaan laut. Pengelolaan Tahura R. Soerjo berada di bawah Balai Taman Hutan Raya milik Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur. Kawasan Tahura R. Soerjo perlu mendapatkan perhatian berkaitan dengan peningkatan kerusakan yang terjadi pada kawasan tersebut. Kerusakan lingkungan terjadi terutama di wilayah Kota Batu, hal ini merupakan dampak dari berbagai aktivitas masyarakat yang dilakukan di sekitar kawasan tahura seperti pembukaan industri dan perluasan lahan pertanian. Kondisi di sekeliling Tahura R. Soerjo juga sudah mulai berubah menjadi lahan hortikultura. Pembukaan areal hutan yang terus menerus dapat mempercepat laju air ke dalam tanah sehingga akan memperlemah daya rekat akar ke tanah. Selain itu, hal ini juga akan berdampak terhadap berkurangnya spesies-spesies tumbuhan tertentu. Apabila hal ini terjadi dalam waktu yang lama maka akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan yaitu punahnya spesies tumbuhan terutama yang rentan terhadap gangguan yang terjadi di dalam kawasan Tahura R. Soerjo.

(16)

3

Salah satu fungsi dari Tahura R. Soerjo adalah sebagai koleksi tumbuhan. Jika terjadi kepunahan spesies tumbuhan yang ada di dalam kawasan taman hutan raya maka akan terjadi pergeseran fungsi dari taman hutan raya tersebut. Untuk mengantisipasi terjadinya kepunahan maka perlu dilakukan pemantauan secara berkala terhadap kondisi vegetasi di Tahura R. Soerjo. Keinginan untuk melestarikan kawasan tahura akan semakin tinggi jika diketahui manfaat atau kegunaan dari spesies-spesies tumbuhan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, penelitian mengenai potensi tumbuhan berguna di Tahura R. Soerjo ini perlu dilakukan. Diharapkan spesies tumbuhan yang teridentifikasi memiliki kegunaan/manfaat dan dapat dibudidayakan bersama-sama dengan masyarakat sehingga dapat memberikan manfaat dan meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar kawasan Tahura R. Soerjo.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi secara ilmiah tentang :

1) Komposisi vegetasi dan keanekaragaman spesies tumbuhan yang ada di Tahura R. Soerjo.

2) Potensi tumbuhan berguna yang ada di Tahura R. Soerjo.

1.3 Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak pengelola dalam menyusun kebijakan pengelolaan dan program pemanfaatan berkelanjutan sumberdaya alam hayati yang ada di dalam kawasan Tahura R. Soerjo khususnya tumbuhan berguna bagi kesejahteraan masyarakat.

(17)

2.1 Taman Hutan Raya

Menurut Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Hutan Raya (Tahura) dikategorikan sebagai kawasan pelestarian alam. Pengertian kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam dibagi menjadi tiga yaitu taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam. Tahura merupakan kawasan pelestarian alam yang tujuan utamanya adalah untuk koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami ataupun buatan, jenis asli atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.

Kawasan taman hutan raya dikelola oleh pemerintah dan dikelola dengan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Menurut Napitu (2007) kriteria penunjukkan dan penetapan suatu kawasan menjadi taman hutan raya adalah sebagai berikut :

1. Merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah.

2. Memiliki keindahan alam atau gejala alam.

3. Mempunyai luasan yang cukup sehingga memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli.

Beberapa kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan taman hutan raya adalah : 1) Merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistem. 2) Merusak keindahan dan gejala alam. 3) Mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan. 4) Melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang (Napitu 2007).

(18)

4

2.2 Tumbuhan Berguna

Sumberdaya tumbuhan telah dimanfaatkan secara turun-temurun dalam suatu komunitas masyarakat. Menurut Purwanto dan Waluyo (1992) penggunaan tumbuhan dikelompokkan menjadi tumbuhan sebagai bahan sandang, pangan, bangunan, alat rumah tangga dan pertanian, tali-temali, anyaman, perlengkapan upacara adat, obat-obatan dan kosmetik, kegiatan sosial dan lain sebagainya.

2.2.1 Tumbuhan Obat

Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu bahan untuk mengatasi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan ketrampilan yang secara turun temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Definisi tumbuhan obat menurut Departemen Kesehatan RI sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 149/SK/Menkes/IV/1978 adalah sebagai berikut :

1) Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional atau jamu.

2) Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pemula bahan baku obat (prokursor).

3) Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstrak tanaman tersebut digunakan sebagai obat.

Menurut Zuhud et al. (1994) tumbuhan obat adalah seluruh spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat. Tumbuhan obat dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu :

1. Tumbuhan obat tradisional adalah spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional.

2. Tumbuhan obat modern adalah spesies tumbuhan obat yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

(19)

3. Tumbuhan obat potensial adalah spesies tumbuhan yang diduga mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat tetapi belum dibuktikan secara ilmiah medis atau penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit ditelusuri.

Tumbuhan obat tidak hanya dikonsumsi oleh manusia tetapi juga dikonsumsikan kepada satwa yang ada di penangkaran. Hal ini dikarenakan khasiat tumbuhan obat yang telah lama dikenal oleh manusia karena memiliki banyak khasiat sehingga tumbuhan obat diyakini dapat juga digunakan sebagai aditif pakan alami multi fungsi untuk satwa di penangkaran (Ulfah 2006). Penggunaan obat tradisional (tumbuhan obat) secara umum dinilai lebih aman daripada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern (Sari 2006).

Menurut Sitepu & Sutigno (2001) tanaman obat mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat, baik sebagai sumber mata pencaharian dan pendapatan petani sekitar hutan maupun sebagai peluang yang menjanjikan bagi petani mulai dari pra sampai pasca budidaya. Keuntungan majemuk yang dihasilkan oleh pengembangan tanaman obat dalam pengembangan hutan tanaman meliputi : (1) Keberhasilan pengelolaan hutan tanaman melalui penyediaan sumber

pendapatan yang berkelanjutan.

(2) Penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat yang bekerja pada bidang pertanian, industri rumah tangga/kecil atau menengah, perdagangan.

(3) Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. (4) Peningkatan pendapatan asli daerah.

(5) Pengembangan usaha regional.

2.2.2 Tumbuhan hias

Tanaman hias adalah tanaman yang memiliki karakteristik morfologi bernilai estetika dan eksotik terdiri atas tanaman anggrek, tanaman penghasil bunga, tanaman hias berdaun, dan tanaman hias perdu dan pohon. Penggolongan tanaman hias terdiri empat bagian yaitu berdasarkan umur, struktur batang, penggunaan dan penempatan. Tanaman hias berdasarkan umur dibagi menjadi

(20)

6

tanaman semusim, dua musim, dan tahunan. Berdasarkan struktur batang tanaman hias terdiri dari tanaman berbatang basah, berbatang keras, dan berbatang merambat. Penggolongan tanaman hias berdasarkan penggunaan terdiri dari tanaman hias potong, pot, dan tanaman. Penggolongan terakhir yaitu tanaman hias berdasarkan penempatan terdiri dari indoor dan outdoor (Rukmana 1997 diacu dalam Susiarti et al. 2000).

2.2.3 Tumbuhan penghasil pangan

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, selain sandang dan papan. Ada dua macam bahan pangan, yaitu bahan pangan hewani dan nabati (tumbuh-tumbuhan). Bahan pangan nabati ada yang berasal dari tumbuhan rendah dan tumbuhan tingkat tinggi. Bahan pangan yang berasal dari tumbuhan tingkat tinggi dapat diperoleh dari hasil hutan yang berupa buah-buahan,dedaunan, dan biji-bijian (Sunarti et al. 2007). Pangan merupakan kebutuhan utama untuk manusia. Sebagian besar bahan pangan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tumbuhan pangan adalah segala sesuatu yang tumbuh, hidup, berbatang, berakar, berdaun, dan dapat dimakan atau dikonsumsi oleh manusia (jika dapat dikonsumsi oleh ternak maka disebut sebagai pakan.

2.2.4 Tumbuhan aromatik

Tumbuhan aromatik disebut juga sebagai tumbuhan penghasil minyak atsiri. Minyak atsiri merupakan campuran kompleks dari senyawa alkohol yang mudah menguap (volatile), dan dihasilkan sebagai metabolit sekunder pada tumbuhan. Minyak atsiri biasanya menentukan aroma khas tanaman. Minyak atsiri yang dihasilkan dari tanaman aromatik merupakan komoditas ekspor non migas yang dibutuhkan di berbagai industri seperti dalam industri parfum, kosmetika, industri farmasi/obat-obatan, industri makanan dan minuman. Di dalam dunia perdagangan, komoditas ini dipandang punya peran strategis dalam menghasilkan produk primer maupun sekunder, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor (Sukamto 2009). Hampir seluruh tumbuhan aromatik yang tumbuh di Indonesia sudah dikenal oleh masyarakat. Beberapa diantaranya merupakan tumbuhan yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari seperti minyak

(21)

gondopuro, minyak daun cengkeh, minyak adas, minyak kayu lawang, vanili, dan kurkumin (Matsjeh 2004).

Menurut Praptiwi et al. (2002) minyak atsiri mempunyai berbagai manfaat dalam kehidupan sehari-hari antara lain sebagai bahan aromatherapi, bahan

flavouring, kosmetika, dan obat-obatan. Minyak atsiri dari satu tumbuhan memilliki aroma yang berbeda dengan minyak atsiri dari tumbuhan lain karena setiap minyak atsiri memiliki komponen kimia yang berbeda (Agusta 2000 diacu dalam Praptiwi et al. 2002).

2.2.5 Tumbuhan penghasil kayu bakar

Kayu bakar merupakan sumber energy yang masih digunakan sampai saat ini terutama di kawasan pedesaan dan daerah pedalaman. Pada dasarnya semua tumbuhan berkayu atau berbentuk pohon dapat dijadikan sebagai kayu bakar. Kayu bakar merupakan sumber energi yang mudah diperoleh, murah dan mudah terjangkau oleh masyarakat kalangan ekonomi lemah serta merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui (Setyowati 2005).

Menurut Nasendi (1978) yang diacu dalam Sylviani dan Widiarti (2001) menyebutkan bahwa jenis-jenis tanaman kayu bakar harus memenuhi persyaratan antara lain:

1. Jenis yang mempunyai daur pendek. 2. Mudah untuk tumbuh.

3. Dapat ditanam disembarang lokasi. 4. Mempunyai manfaat ganda.

2.2.6 Tumbuhan penghasil bahan bangunan

Di dalam masyarakat adat yang pada umumnya masih menggantungkan kehidupan sehari-harinya dari hutan memanfaatkan tumbuhan penghasil bahan bangunan sebagai bahan untuk membangun rumah. Menurut Kartikawati (2004) masyarakat suku Dayak Meratus menggunakan bahan bangunan utama yang berasal dari pohon-pohon di hutan, rotan, dan bambu. Spesies pohon yang biasanya digunakan adalah sengon (Paraserienthes falcataria), jati (Tectona grandis), ulin (Eusideroxylin zwageri) dan lain sebagainya.

(22)

8

2.2.7 Tumbuhan penghasil tali, anyaman dan kerajinan

Anyaman telah dikenal oleh nenek moyang kita dulu. Hal tersebut dimulai oleh nenek moyang kita dengan membuat keranjang yang digunakan untuk membawa barang-barang. Selanjutnya, nenek moyang kita mulai membuat alat penutup tubuh mereka. Hal ini masih terdapat pada beberapa suku yang ada di Indonesia contohnya yaitu suku di Irian jaya yang membuat baju wanita dari sejenis teki-tekian yang dianyam. Di Indonesia cukup banyak tersedia keanekaragaman tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri kerajinan, antara lain anyaman. Ciri tumbuhan yang biasanya digunakan sebagai bahan anyaman adalah yang memiliki serat panjang dan kuat (Rahayu et al. 2008).

2.2.8 Tumbuhan penghasil bahan pewarna dan tanin

Sebelum kita mengenal pewarna sintetis dari bahan kimia, manusia pada zaman dahulu telah mengenal berbagai jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bahan pewarna. Tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna alami antara lain kunyit (Curcuma domestica), daun suji, dan lain sebagainya. Menurut Hidayat dan Saati (2006) sejumlah tanaman mempunyai kemampuan untuk menghasilkan pigmen dalam jumlah yang tinggi. Tanaman-tanaman tersebut diantaranya adalah bunga mawar, bunga kana, bunga gladiol, kunyit, ubi jalar, dan kayu secang.

Menurut Pitojo dan Zumiati (2009) pewarna nabati adalah pewarna alami yang diperoleh dari tumbuh-tumbuhan atau tanaman. Secara teknis pewarna nabati dapat diperoleh dengan cara yaitu ekstraksi, fermentasi, perebusan, atau melalui perlakuan kimiawi. Pewarna alami dapat diperoleh dengan cara yang sederhana yaitu melalui ekstraksi (pelarutan pewarna dengan air dingin atau melalui perebusan). Namun, cara tersebut hanya dapat dilakukan pada pewarna nabati yang mudah larut dalam air. Adapan kekurangan dalam penggunaan pewarna nabati yaitu:

1. Bahan baku pewarna berjumlah banyak

Untuk mendapatkan pewarna nabati dalam jumlah yang relatif banyak, maka diperlukan bahan baku yang banyak. Cara ekstraksi yang sederhana

(23)

memberikan hasil yang kuranng maksimal karena pewarna alami di dalam bahan tidak dapat terekstraksi secara keseluruhan.

2. Hasil biasanya tidak eksak

Penggunaan pewarna alami sebagai bahan pewarna tidak dapat memberikan hasil warna yang secara pasti. Dapat dikatakan hasil dari penggunaan pewarna alami akan sangat beragam atau tidak konsisten.

3. Peka terhadap pemanasan

Perlakuan pemanasan (pengeringan atau perebusan) pada bahan makanan dapat mengubah sifat fisika dan kimia dari bahan makanan. Perubahan-perubahan tersebut dapat mempengaruhi warna bahan makanan yang sedang diolah. 4. Peka terhadap keasaman larutan

Terdapat beberapa zat pewarna nabati yang dapat terpengaruh oleh kondisi keasaman larutan. Misalnya, yaitu karotenoid yang dapat memberikan warna yang berbeda pada berbagai tingkat keasaman.

5. Kurang ekonomis

Pewarna nabati jika dinilai dengan satuan harga mempunyai harga yang lebih mahal dibandingkan dengan pewarna sintetis. Namun, bahan pewarna alami tersedia di lingkungan sekitar kita atau dapat diperoleh dengan mudah.

Tanin nabati merupakan bahan dari tumbuhan, memiliki rasa yang pahit dan kelat, seringkali tanin berasal dari ekstrak pepagan atau bagian lain terutama daun, buah dan puru (galls). Tanin nabati dapat digunakan untuk proses penyamakan dengan cara pengunaan langsung atau dipekatkan dengan cara mengekstrak kembali bahan taninnya (Lemmens & Soetjipto 1999).

2.2.9 Tumbuhan penghasil pestisida nabati

Pestisida nabati adalah pestisida yang menggunakan senyawa sekunder tanaman sebagai bahan bakunya. Beberapa senyawa sekunder tanaman yang telah berhasil diidentifikasi adalah eugenol, azadirachtin, geraniol, sitronelol, dan tanin. Senyawa ini mampu mengendalikan berbagai jenis hama dan penyakit tanaman sehingga berpotensi untuk dikembangkan (Wiratno 2010).

Menurut Sudarmo (2005) pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman atau tumbuhan. Penggunaan pestisida nabati dapat

(24)

10

mengurangi pencemaran lingkungan dan memiliki harga yang realtif lebih murah dan aman jika dibandingkan dengan pestisida kimia. Pembuatan pestisida nabati dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi tinggi dan dikerjakan dalam skala industri. Namun, dapat dijuga dibuat dengan cara yang sederhana dapat berupa larutan hasil perasan, rendaman, ekstrak, dan rebusan bagian tumbuhan atau tanaman. Bahan pembuatan pestisida nabati dapat berasal dari bagian tumbuhan seperti akar, umbi, batang, daun, biji dan buah. Contoh tanaman yang yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati adalah pacar cina (Aglaia odorata), tembakau (Nicotiana tabacum), sirsak (Annona glabra), dan jarak (Ricinus communis).

Pestisida nabati bekerja sangat spesisfik yaitu (1) merusak perkembangan telur, karva dan pupa, (2) menghambat pergantian kulit, (3) menganggu komunikasi serangga, (4) menyebabkan serangga menolak makanan, (5) menghambat reproduksi serangga betina, (6) mengurangi nafsu makan, (7) memblokir kemampuan makan serangga, (8) mengusir serangga, (9) menghambat patogen penyakit (Sudarmo 2005).

Sejak tahun 1950 penggunaan insektisida nabati tergeser oleh insektisida sintetik. Alasan yang mendasari antara lain insektisida sintetis lebih efektif dan biaya produksinya lebih rendah dibandingkan dengan insektisida alami. Faktor yang lain yaitu insektisida sintetis mudah didapat, praktis aplikasiannya, tidak perlu membuat sediaan sendiri, tersedia dalam jumlah banyak dan tidak perlu membudidayakan sendiri tanaman penghasil insektisida (Kardinan 2002).

2.2.10 Tumbuhan penghasil pakan ternak

Menurut Tillman et al. (1989) diacu di dalam Syamsu (2006) pakan atau makanan ternak dalah bahan yang dapat dimakan, dicerna dan digunakan oleh ternak. Simbaya (2002) diacu di dalam Syamsu (2006) membagi sumberdaya pakan ternak ke dalam empat golongan yaitu hijauan (forages), limbah pertanian, limbah industri pertanian, dan pakan non konvensional. Forages adalah semua jenis hijaun pakan, baik yang sengaja ditanam ataupun yang tidak. Di dalamnya termasuk rumput dan leguminosa, baik leguminosa menjalar, perdu maupun pohon. Sedangkan menurut Hartadi et al. (1993) diacu di dalam Syamsu (2006)

(25)

mengemukakan bahwa hijauan pakan adalah bagian tanaman terutama rumput dan leguminosa yang dipergunakan sebagai pakan ternak.

(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur (Gambar 1). Akses untuk menuju ke lokasi Tahura R. Soerjo dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan motor roda dua maupun kendaraan roda empat atau lebih dari kota/kabupaten malang kemudian ke kota batu yang selanjutnya menuju ke Desa Sumber brantas. Jarak yang ditempuh dari kota/kab. Malang menuju ke lokasi Tahura R. Soerjo ± 38 km.

3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Kegiatan penelitian ini menggunakan bahan dan alat yaitu :

1. Kamera : digunakan untuk dokumentasi penelitian seperti foto spesies-spesies tumbuhan yang ada di lokasi penelitian.

2. Kertas koran : alat untuk membungkus spesies tumbuhan yang akan dibuat herbariumnya.

3. Kantong plastik : alat untuk membungkus spesies herbarium yang sebelumnya telah di bungkus menggunakan koran koran.

4. Tally sheet : daftar data yang akan dicari pada saat dilakukan penelitian/pengambilan data.

5. Meteran gulung : alat yang digunakan untuk mengukur tali tambang 6. Haga : alat yang digunakan untuk mengukur tinggi pohon.

7. Kompas : alat yang digunakan untuk menentukan arah jalur dibuatnya petak/plot penilitian.

8. Tali tambang : alat yang digunakan untuk membuat jalur dan plot penelitian. 9. Meteran jahit : alat yang digunakan untuk mengukur keliling batang pohon

yang berada di dalam plot penelitian.

10. Label gantung : alat yang digunakan untuk memberikan label pada spesies tumbuhan yang akan dibuat herbarium.

(27)

11. Gunting : alat yang digunakan untuk memotong spesies tumbuhan yang akan dijadikan herbarium.

12. Selotip dan double tip : alat yang digunakan untuk menempelkan tulisan berisi tanda batas antara plot-plot kecil yang berukuran 2m x 2m, 5 m x 5 m, 10 m x 10 m, dan 20 m x 20 m sehingga dapat mempermudah melihat batas antar plot pada saat dilakukan penelitian.

13. Alkohol 70% : digunakan untuk mengawetkan spesies tumbuhan yang akan dijadikan herbarium agar tidak cepat busuk atau rusak struktur tumbuhannya. 14. Alat tulis : digunakan untuk mencatat data-data yang berkaitan dengan

penelitian.

15. Komputer beserta perlengkapannya : digunakan untuk mengolah data yang telah didapat dari penelitian dan digunakan untuk proses penyusunan skripsi.

3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan adalah potensi tumbuhan berguna yang ada di Taman Hutan Raya R. Soerjo meliputi nama spesies lokal dan nama ilmiah, famili, habitus, dan kegunaan. Data pendukung yang dikumpulkan yaitu kondisi umum lokasi penelitian meliputi sejarah kawasan, letak dan luas, geologi dan tanah, topografi, iklim, vegetasi dan satwa.

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data yang dikumpulkan

3.4.1.1 Komposisi dan keanekaragaman tumbuhan

Kegiatan pengambilan data tumbuhan dilakukan dengan cara analisis vegetasi menggunakan metode kombinasi jalur dan garis berpetak. Ukuran jalur 20 m x 200 m sebanyak 10 buah dengan arah memotong garis kontur. Penentuan jalur dilakukan dengan cara systematic sampling yaitu penentuan jalur yang dilakukan secara sistematik dengan jarak antara jalur satu dengan yang lainnya sepanjang 100 m. Kemudian jalur dibagi menjadi petak ukur yang berukuran 20 m x 20 m (Gambar 2).

(28)

14 Tahura R. Soerjo

Sumber : http//www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/1311

(29)

20 m

10 m

Gambar 2 Desain plot contoh dalam analisis vegetasi dengan menggunakan metode kombinasi jalur berpetak.

Data yang dikumpulkan meliputi nama spesies, jumlah individu setiap spesies untuk tingkat semai dan pancang sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon yaitu nama spesies, jumlah individu, dan diameter batang. Tumbuhan dikatakan semai apabila tinggi < 1,5 m dan diameter < 3 cm dengan petak ukur 2 m x 2 m (a), tingkat pancang tinggi > 1,5 m dan diameter < 10 cm diukur dengan petak ukur berukuran 5 m x 5 m (b), tingkat tiang memiliki diameter 10 cm - < 20 cm diukur dengan petak ukur berukuran 10 m x 10 m (c), dan tingkat pohon memiliki diameter ≥ 20 cm diukur dengan petak ukur berukuran 20 m x 20 m (d). Ukuran petak untuk masing tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 1.

3.4.1.2 Pembuatan herbarium

Herbarium adalah koleksi spesimen tumbuhan yang terdiri dari bagian-bagian tumbuhan (ranting lengkap dengan daun, kuncup yang utuh, serta kalau ada bunga dan buahnya). Tujuan dibuatnya herbarium adalah untuk memudahkan identifikasi dari spesies yang belum dapat diketahui. Pembuatan herbarium dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1) Mengumpulkan contoh-contoh herbarium dengan panjang maksimal 40 cm. 2) Memberikan label pada spesimen herbarium tersebut. Label gantung berisi

keterangan tentang nomor spesies, tanggal pengambilan, nama lokal, lokasi pengumpulan, dan nama pengumpul/kolektor.

d c b b a a c d

(30)

16

3) Spesimen herbarium tersebut dimasukkan ke dalam kertas koran lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disemprot dengan menggunakan alkohol 70%.

4) Spesimen herbarium tersebut dibawa dan dikeringkan dengan menggunakan panas matahari.

5) Spesimen herbarium yang sudah kering diidentifikasi nama ilmiahnya oleh praktisi dari Herbarium Bogoriense yaitu Bapak Ismail.

3.4.1.3 Identifikasi spesies tumbuhan berguna

Proses identifikasi spesies-spesies tumbuhan berguna dikerjakan dengan melakukan cek silang dengan berbagai literatur/buku, antara lain: Heyne (1987) dan Lemmens & Soetjipto (1999). Data-data yang dikumpulkan dari masing-masing spesies tumbuhan pada setiap lokasi meliputi : nama lokal, nama ilmiah, famili, kegunaan, dan bagian yang digunakan.

3.4.1.4 Kondisi umum kawasan

Pengumpulan data berupa kondisi umum lokasi penelitian dilakukan dengan studi pustaka atau studi literatur. Kegiatan pengumpulan data dilakukan di kantor Balai Taman Hutan Raya R. Soerjo. Data yang dikumpulkan meliputi sejarah kawasan, letak dan luas, geologi dan tanah, topografi, iklim, vegetasi dan satwa.

3.4.2 Analisis Data

3.4.2.1 Indeks Nilai Penting (INP)

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1998) untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi, maka pada masing-masing petak ukur dilakukan analisis kerapatan, frekuensi, dan dominansi untuk setiap jenis tumbuhan. Nilai INP (Indeks Nilai Penting) merupakan parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi/tingkat penguasaan (Mukrimin 2011). Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut :

- Kerapatan (K) (Ind/ha) K =

Frekuensi (F) F =

(31)

- Dominansi (D) D = - Kerapatan Relatif (KR) KR = - Frekuensi Relatif (FR ) FR = - Dominansi Relatif (DR) DR=

- Indeks Nilai Penting (INP) untuk tingkat pancang, semai, dan tumbuhan bawah adalah KR + FR

- Indeks Nilai Penting (INP) untuk tingkat tiang dan pohon adalah KR + FR + DR

3.4.2.2 Tingkat keanekaragaman spesies

Menurut Odum (1998) diacu dalam Abdiyani (2008) untuk menghitung tingkat keanekaragaman spesies digunakan Shannon-wienner index ( H’ ) dengan persamaannya sebagai berikut :

H' =

dimana pi = ni / N

Keterangan :

H’ : Indeks keanekaragaman spesies N : Total INP seluruh spesies Ni : INP suatu spesies

3.4.3.3 Tingkat kemerataan Spesies

Untuk menghitung tingkat kemerataan individu di dalam spesies digunakan indeks kemertaan spesies Evenness (E). Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu di dalam spesies. Menurut Ludwig dan Reynolds (1988) indeks ini dapat dihitung dengan rumus :

E = Keterangan :

E = Indeks kemerataan spesies H’= Indeks Shannon

S = Jumlah Spesies

3.4.2.4 Persentase habitus

Habitus atau perawakan tumbuhan meliputi: pohon, liana, semak dan herba. Rumus yang digunakan dalam menghitung persentase habitus, yaitu sebagai berikut :

(32)

18

3.4.2.5 Persentase potensi tumbuhan berguna

Potensi tumbuhan berguna dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

(33)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Sejarah dan Dasar Hukum

Menurut UPT TAHURA R. Soerjo (2010) kawasan Taman Hutan Raya R. Soerjo ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 tahun 1992 dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1128/Kpts-II/1992 dengan luas 25.000 ha. Taman Hutan Raya R. Soerjo terdiri dari Hutan Lindung Gunung Anjasmoro, Gunung Gede, Gunung Biru, dan Gunung Limas seluas 20.000 ha. Selain itu kawasan Tahura R. Soerjo juga terdiri dari kawasan Cagar Alam Arjuno Lalijiwo sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 250/Kpts/Um/5/1972 tanggal 25 Mei 1972 dengan luas 4.940 ha dan tanah kebun penelitian Universitas Brawijaya seluas 40 ha.

Setelah ditetapkan sebagai kawasan taman hutan raya pada tahun 1992 maka dilakukan penataan batas ulang oleh kanwil kehutanan pada tahun 1997. Dilakukannya penataan ulang batas kawasan Tahura maka terjadi penambahan luas kawasan menjadi 27.868,30 ha. Rincian kawasan Tahura R. Soerjo setelah dilakukan penataan batas ulang adalah Kawasan Hutan Lindung 22.908,3 ha, dan kawasan Cagar Alam Arjuno Lalijiwo (PHPA) 4. 960 ha. Penataan batas tersebut juga telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 80/Kpts-II/2001 pada tanggal 15 Maret 2001.

4.2. Keadaan Fisik Kawasan 4.2.1. Letak dan luas kawasan

Menurut UPT TAHURA R. Soerjo (2010) kawasan Taman Hutan Raya R. Soerjo secara geografis berada di 70 40’ 10’’- 70 49’ 31’’ LS dan 1120 22’ 13’’-1120 46’ 30’’ BT. Kawasan Tahura R. Soerjo memiliki luas 27.868, 30 ha. Secara administratif kawasan Tahura R. Soerjo terletak di lima kabupaten yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang dan Kota Batu. Untuk lebih jelasnya tersaji pada Gambar 1 mengenai peta provinsi jawa timur dan letak Taman Hutan Raya R. Soero. Batas-batas kawasan Tahura R. Soerjo secara administratif adalah sebagai berikut :

(34)

20

• Batas sebelah barat : Kawasan hutan Perum Perhutani KPH Malang dan KPH Jombang

• Batas sebelah utara : Kawasan Hutan Perum Perhutani KPH Pasuruan

• Batas sebelah timur : Kawasan Hutan Perum Perhutani KPH Pasuruan

• Batas sebelah selatan : Kawasan Hutan Perum Perhutani KPH Malang dan APL Kota Batu

4.2.2. Topografi

Menurut UPT TAHURA R. Soerjo (2010) kawasan Taman Hutan Raya R. Soerjo merupakan sebuah dataran tinggi yang membentang dari barat ke timur dan selatan ke utara dengan konfigurasi topografi yang bervariasi yaitu antara datar, berbukit dan bergunung . Ketinggian kawasan Tahura R. Soerjo mulai dari 1000 – 3339 meter di atas permukaan laut.

4.2.3. Iklim

Menurut klasifikasi iklim Schmid dan Ferguson Tahura R. Soerjo termasuk tipe iklim C dan D dengan curah hujan rata-rata 2.500 - 4.500 mm per tahun. Suhu udara di Taman Hutan Raya R. Soerjo berkisar antara 5 0C – 10 0C (UPT TAHURA R. Soerjo 2010).

4.2.4. Hidrologi

Menurut UPT TAHURA R. Soerjo (2010) kawasan Taman Hutan Raya R. Soerjo termasuk dalam wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Terdapat beberapa sumber mata air di kawasan Taman hutan Raya R. Soerjo yaitu sumber mata air sungai brantas yang terletak di Gunung Anjasmoro (wilayah desa Sumber Brantas), sumber mata air yang terdapat di kompleks Gunung Arjuno (sumber mata air di pondok welirang dan di pondok lalijiwo), dan Sumber mata air panas cangar (Gunung Arjuno bagian barat). Terdapat tiga sumber air di sumber mata air panas cangar dan dua diantaranya telah dimanfaatkan sebagai tempat pemandian/tempat rekreasi.

(35)

4.3. Aksesibilitas

Menurut UPT TAHURA R. Soerjo (2010) kawasan Taman Hutan Raya R. Soerjo dapat dicapai melalui beberapa alternatif, antara lain:

1. Malang - Batu - Sumber Brantas, berjarak ± 38 km dan dapat dicapai dengan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi.

2. Mojokerto – Pacet, berjarak ± 30 km dan hanya dapat dicapai dengan kendaraan pribadi.

3. Surabaya - Pandaan - Priden – Tretes, berjarak ± 74 km dan dapat dicapai dengan kendaraan umum, lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Pondok Welirang, Padang rumput Lalijiwo terus ke Gunung Welirang selanjutnya turun ke lokasi dengan waktu perjalanan 14 jam.

Kondisi jalan menuju lokasi sangat baik dengan kondisi aspal yang masih baik. Namun jalan tersebut pada saat hujan rawan longsor dan jalannya licin serta jalannya yang menanjak dan turunan.

4.4. Keadaan Biologi

Menurut UPT TAHURA R. Soerjo (2010) di Tahura R. Soerjo terdapat tiga tipe vegetasi dengan kondisi yang masih baik yaitu :

1. Hutan alam cemara (Casuarina junghuhniana) pada ketinggian 1800 m dpl yang terdapat di gunung Arjuno lalijiwo

2. Padang rumput dengan luas 200 ha yang terdapat di bagian bawah pondok Welirang dengan dominasi tanaman jenis padi-padian dan kolonjono (Panicum repens)

3. Daerah hutan hujan tengah yang terdapat pada ketinggian 2000 – 2700 m dpl yang merupakan hutan campuran tiga tingkatan vegetasi yaitu pohon, semak dan tumbuhan bawah dengan dominasi jenis pasang (Quercus sp.), pohon nyampuh, Sumbung, dan gempur gunung.

4. Jenis-jenis flora yang terdapat di taman hutan raya R. Soerjo berjumlah 136 jenis yang terdiri dari pohon dan tumbuhan bawah. Jenis pohon yang terdapat di Tahura R. Soerjo antara lain cemara gunung (Casuarina junghuhniana), kukrup (Engelhardia spicata), pasang (Quercus sundaicus), treteh (Ficus sp.), anggrung (Trema orientalis), kebek (Ficus padana), cemberit

(36)

22

(Tabernemontana sphaercarpa), putihan (Buddleja asiantica Lour). Sedangkan untuk jenis tumbuhan bawahnya antara lain anggrek (Cymbidium simulans Rofle), Bambu (Bambusa sp), ciplukan (Physalis peruviana), lempuyangan (Globba marantina L), meniran merah (Phyllanthus urinaria), paku gunung (Pteris sp.), Wedusan (Ageratum conyzoides), dan edelweis (Analpalis javanica).

Fauna yang terdapat di Taman Hutan Raya R. Soerjo antara lain monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), elang jawa (Spizaetus bartelesi), kera hitam (Trachypitthesus auratus), landak (Histryx brachura), ular sawa (Python reticulatus), ayam hutan (Gallus Verius), Kutilang (Pycnonotus aurigaster), tupai (Sejuridae), alap-alap jambul (Accipiter trivigatus), dan alap-alap tikus/putih (Elanus hypoleuscus).

4.5 Keadaan Sosial Budaya Masyarakat

Tahura R. Soerjo di wilayah kota Batu berdekatan dengan sebuah desa yaitu Desa Sumberbrantas yang memiliki luas 541,1364 ha. Desa Sumberbrantas merupakan sebuah desa baru yang berasal dari pemekaran wilayah Desa Tulungrejo dan dulunya adalah sebuah dusun yang merupakan bagain dari wilayah Desa Tulungrejo. Jumlah penduduk yang ada di Desa Sumberbrantas berjumlah 4542 jiwa dengan rincian penduduk laki-laki berjumlah 2352 jiwa dan perempuan berjumlah 2190 jiwa. Penduduk yang ada di Desa Sumberbrantas mayoritas memeluk agama Islam dengan jumlah 4435 jiwa, kemudian agama Kristen sebanyak 102 jiwa, dan agama Khatolik sebanyak 5 jiwa. Mayoritas penduduk di Desa Sumberbrantas memiliki pendidikan terakhir yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Masyarakat di Desa Sumberbrantas mayoritas berprofesi sebagai petani dengan komoditas pertanian yang ditanam yaitu kentang wortel dan gubis (kol). Namun ada juga yang berprofesi sebagai buruh, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, dan pedagang. Selain itu masyarakat juga memiliki ternak yang dipelihara di masing-masing rumah dengan komoditas peternakan yang dipelihara yaitu sapi, kambing, ayam, dan kelinci.

(37)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Komposisi Vegetasi di Tahura R. Soerjo 5.1.1 Komposisi famili

Komposisi vegetasi yang terdapat di Tahura R. Soerjo berdasarkan famili dapat dilihat pada Gambar 6 .

Gambar 3 Komposisi Tumbuhan Berdasarkan Famili di lokasi penelitian Tahura R. Soerjo.

(38)

24

Hasil dari analisis vegetasi seperti pada Gambar 3 diketahui 39 famili yang berhasil diidentifikasi di lokasi penelitian Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soerjo. Famili yang paling banyak spesiesnya jika dibandingkan dengan famili lainnya adalah dari Euphorbiaceae dengan 4 spesies yang ditemukan yaitu ketupuk (Claoxylon longifolium), kopian (Glochidion macrocarpum), tutup (Macaranga

sp.), dan patikan emas (Euphorbia hirta). Menurut Partomihardjo (1999) diacu dalam Purwaningsih dan Yusuf (2008) sistem pemencaran biji atau buah dari banyak spesies dalam suku Euphorbiaceae ini memiliki efektivitas yang tinggi dan pada umumnya dapat dipencarkan oleh angin, burung dan mamalia. Selain itu, menurut Riswan (1987) diacu dalam Purwaningsih dan Yusuf (2008) famili Euphorbiaceae merupakan salah satu famili yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan.

Famili selanjutnya yaitu Moraceae teridentifikasi 3 spesies yang terdiri dari dampul (Ficus lepicarpa), kebek (Ficus padana), dan tritih (Ficus sp.). Selain itu famili Rosaceae juga teridentifikasi sebanyak 3 spesies yang terdiri dari spesies baros (Prunus cf. arborea ), ri bandel (Rubus chrysophyllus), dan sebra (Rubus fraxinifolius).

5.1.2 Komposisi spesies

Komposisi spesies tumbuhan yang diperoleh dari hasil analisis vegetasi tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Daftar komposisi spesies berdasarkan tingkatan tumbuhan

No. Tingkat tumbuhan Jumlah spesies

1. Pohon 22

2. Tiang 22

3. Pancang 18

4. Semai 23

5. Tumbuhan bawah 25

Berdasarkan hasil analisis vegetasi seperti yang tersaji pada Tabel 1 tersebut diperoleh hasil 50 spesies dari 39 famili. Namun, hanya 40 spesies (80 %) yang berhasil diketahui sampai dengan spesiesnya sedangkan 10 spesies (20 %) belum berhasil teridentifikasi. Menurut keterangan tabel 1 di atas jumlah spesies yang paling banyak ditemukan adalah pada tingkat tumbuhan bawah sebanyak 25

(39)

spesies. Kemudian secara berurutan adalah semai 23 spesies, Tiang dan Pohon 22 spesies,dan pancang 18 spesies.

5.1.3 Komposisi tumbuhan berdasarkan habitus

Komposisi tumbuhan yang terdapat di Tahura R. Soerjo berdasarkan habitusnya tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Komposisi Tumbuhan Berdasarkan Habitusnya di lokasi penelitian Tahura R. Soerjo.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi tumbuhan yang paling mendominasi di dalam kawasan Tahura R. Soerjo adalah spesies yang berhabitus pohon dengan jumlahnya sekitar 25 spesies (50 %). Spesies tumbuhan selanjutnya adalah berhabitus semak dengan jumlah sekitar 12 spesies (24 %). Kemudian spesies berhabitus terna dengan jumlah sekitar 13 spesies (26 %).

5.1.4 Dominansi vegetasi

Dominansi adalah proporsi antara luas bidang dasar yang ditempati oleh spesies tumbuhan dengan total luas habitat. Nilai dari dominansi spesies ditunjukkan dengan nilai INP (Indeks Nilai Penting) yang merupakan parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominansi tingkat penguasaan (Mukrimin 2011). Menurut Soegianto (1994) diacu dalam Maisyaroh (2010) Indeks Nilai Penting (INP) digunakan untuk menggambarkan tingkat penguasaan yang diberikan oleh suatu spesies terhadap komunitas, semakin besar nilai INP suatu spesies semakin besar tingkat penguasaan terhadap komunitas dan sebaliknya. Menurut Abdiyani (2008) Indeks Nilai Penting menunjukkan peranan

(40)

26

suatu spesies dalam kawasan. Spesies yang memiliki nilai INP paling besar, maka spesies tersebut mempunyai peranan yang penting di dalam kawasan tersebut. Selain itu, spesies ini juga mempunyai pengaruh paling dominan terhadap perubahan kondisi lingkungan maupun keberadaan spesies lainnya dalam kawasan.

Semakin tinggi INP suatu spesies maka spesies tersebut adalah yang paling dominan dari spesies yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang berkaitan dengan persaingan antar spesies yang lain. Persaingan akan meningkatkan daya juang untuk mempertahankan hidup, spesies yang kuat akan menang dan menekan yang lain sehingga spesies yang kalah menjadi kurang adaptif dan menyebabkan tingkat reproduksi rendah dan jumlahnya juga sedikit (Syamsuri 1993 diacu dalam Maisyaroh 2010). INP tertinggi pada spesies tumbuhan tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai INP tertinggi pada masing-masing tingkat tumbuhan

No. Nama jenis INP (%)

Pohon Tiang Pancang Semai

1. Pasang (Quercus sundaica) 78,86 - - -

2. Dampul (Ficus lepicarpa) - 42,65 - -

3. Kopian (Glochidion

macrocarpum) - - 34,30 51,40

4. Nyampuh gunung (Neonauclea

excels) - - - -

5. Endog-endogan (Fagraea blumei) - - - -

6. Tritih (Ficus sp.) - - - -

Berdasakan data pada Tabel 2 spesies yang memiliki nilai INP tertinggi pada tingkat pohon adalah pasang (Quercus sundaica) yaitu sebesar 78,86 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat pohon spesies yang mendominasi adalah pasang (Quercus sundaica). Sedangkan, spesies yang memliki nilai INP terendah pada tingkat pohon adalah cemara gunung (Casuarina junghuhniana) 1,66 %; tutup (Macaranga sp.) 2,20 %; nangkan (Litsea diversifolia) 1,53 %; putihan (Buddleja asiantica) 1,81 %, dan katesan (Macropanax dispermus) 2,11 %.

Pada spesies tumbuhan tingkat tiang yang mendominasi adalah dampul (Ficus lepicarpa) dengan nilai INP sebesar 42,65 %. Spesies yang memiliki INP terendah pada tingkat tiang adalah bima (Symplocos lucida) dengan nilai INP

(41)

sebesar 0,78 %; anggrung (Trema Orientalis) 0,79 %; baros (Prunus cf. arborea) 0,87 %; putihan (Buddleja asiantica) 0,87 %; tutup (Macaranga sp.) 1,68 %.

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai INP untuk tingkat pancang yang tertinggi yaitu kopian (Glochidion macrocarpum) dengan nilai sebesar 34,3 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat pancang, spesies kopian (Glochidion macrocarpum) adalah spesies yang paling dominan. Spesies yang memiliki nilai INP terendah yaitu tutup (Macaranga sp.) 1 %, genitri (Elaeocarpus sphaericus) 1 %, kukrup (Engelhardia spicata) 2 %, kupu ketek (Astronia spectabilis) 4 %, dan ketupuk (Claoxylon longifolium) dengan nilai INP 4,4 %. Menurut Kade et al.

(2006) tingkat pancang dapat dikatakan sebagai komponen permudaan yang sangat penting karena kunci sukses tidaknya proses permudaan tersebut berlangsung dapat dilihat pada fase ini. Banyak jenis pohon sangat sukses dalam memproduksi semai namun secara lambat-laun semai tersebut akan mati karena kondisi lingkungan yang tidak mendukung.

Nilai INP tertinggi untuk tingkat semai dimiliki oleh spesies kopian (Glochidion macrocarpum) dengan nilai 51,40 %, hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut yang mendominasi pada tingkat semai. Selain itu, hal tersebut juga berarti bahwa frekuensi perjumpaan yang sering serta jumlah individu yang lebih banyak dibandingkan spesies yang lain. Berdasarkan data pada Tabel 2 diketahui dominansi spesies pada tingkat semai berbeda dengan tingkat pohon. Spesies yang dominan pada tingkat pohon adalah pasang (Quercus sundaica) sedangkan pada tingkat semai adalah kopian (Glochidion macrocarpum). Keadaan ini dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap regenerasi dari spesies pasang (Q. Sundaica) karena jumlah semainya yang sedikit. Hal tersebut akan mengakibatkan kelangkaan spesies pasang (Q. Sundaica) di Tahura R. Soerjo.

Spesies tumbuhan yang mempunyai nilai INP terendah pada tingkat semai adalah kukrup (Engelhardia spicata) dengan nilai 0,9 %. Menurut Abdurrohim et al. (2004) permudaaan untuk spesies kukrup (Engelhardia spicata) di alam jarang dan tersebar jauh dari pohon induknya oleh karena itu dapat dilakukan permudaan buatan dengan cara menyemaikan biji-biji dari spesies ini. Selanjutnya, spesies yang memiliki INP terendah yaitu nangkan (Litsea diversifolia Blume), lembayungan (Turpinia montana), dan kebek (Ficus padana) dengan nilai 0,9 %.

(42)

28

Selanjutnya, putihan (Buddleja asiantica) dan baros (Prunus cf. arborea) dengan nilai 1,9 %.

Hasil analisis vegetasi tingkat tumbuhan bawah berhabitus semak dan terna diketahui bahwa spesies yang mempunyai nilai INP tertinggi adalah seperti yang tercantum pada Tabel 6.

Tabel 3 Nilai INP tertinggi pada tingkat tumbuhan bawah di lokasi penelitian

No Nama Spesies Nama Ilmiah INP (%)

1 Remejun Euphatorium riparium 74,91

2 Urang-rangan merah Elatostema latifolium 36,78

3 Paku-pakuan Pteris sp. 14,23

4 Jengkon merah Pilea sp. 14,04

5 Suruhan Piper miniatum 12,26

Spesies remejun (Euphatorium riparium) yang berhabitus semak memiliki nilai INP yang paling tinggi yaitu sebesar 74,91 %. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tersebut adalah yang paling dominan dengan jumlah individu lebih banyak dibandingkan spesies tumbuhan bawah lainnya. Setiap spesies tumbuhan mempunyai suatu kondisi minimum, maksimum dan optimum terhadap faktor lingkungan yang ada. Spesies yang mendominasi berarti memiliki batasan kisaran yang lebih luas jika dibandingkan dengan spesies yang lainnya terhadap faktor lingkungan, sehingga kisaran toleransi yang luas pada faktor lingkungan menyebabkan spesies ini akan memiliki sebaran yang luas. Adanya spesies yang mendominasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain persaingan antara tumbuhan yang ada yaitu berkaitan dengan iklim dan mineral yang diperlukan. Apabila iklim dan mineral yang dibutuhkan mendukung maka spesies tersebut akan lebih unggul dan lebih banyak ditemukan (Syafei (1990) diacu dalam Maisyaroh (2010)).

Tumbuhan bawah yang memiliki nilai INP terendah adalah temu ireng (Curcuma aeruginosa), codo (Elaeagnus latifolia), anggrek (Macodes sp.) dengan nilai INP sebesar 0,32%. Selanjutnya yaitu piji (Pinanga sp.) dengan nilai INP 0,67% dan patikan emas (Euphorbia hirta) dengan nilai INP 0,96 %.

5.5 Keanekaragaman spesies (H’)

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh keanekaragaman spesies untuk semua tingkat spesies seperti yang tersaji pada Gambar 5.

(43)

Gambar 5 Keanekaragaman spesies pada semua tingkat tumbuhan di lokasi penelitian Tahura R. Soerjo.

Berdasarkan Gambar 5, menunjukkan besarnya nilai keanekaragaman spesies tumbuhan pada tingkat pohon sebesar 2,5; tiang dengan keanekaragaman spesies sebesar 2,7; pancang dengan keanekaragaman spesies sebesar 2.6; semai yang mempunyai nilai keanekaragaman sebesar 2,6 dan tumbuhan bawah dengan keanekaragaman spesies sebesar 2,2. Apabila derajat keanekaragaman (H’) dalam suatu komunitas <1 maka keanekaragamanya rendah, 1≤ H’ ≤3 keanekaragamannya sedang, dan H’>3 maka keanekaragamannya tinggi (Shannon-Wiener (1963) diacu dalam Fachrul (2008)). Berdasarkan keterangan tersebut, maka keanekaragaman spesies yang terdapat pada lokasi penelitian tergolong memiliki tingkat keanekaragaman spesies yang sedang.

Tingkat keanekaragaman spesies menunjukkan tingkat kestabilan suatu komunitas hutan. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman tersebut maka semakin tinggi pula tingkat kestabilan suatu komunitas (Whitmore 1990 diacu dalam Kade

et al. 2006). Kestabilan yang tinggi juga menunjukkan kompleksitas yang tinggi. Hal ini terjadi akibat adanya interaksi yang tinggi sehingga akan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi gangguan yang terjadi. Menurut Odum (1993) diacu dalam Maisyaroh (2010) keanekaragaman spesies penyusun komunitas tumbuhan pada suatu tempat merupakan hasil interaksi dari beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah waktu, keanekaragaman spesies dalam suatu komunitas tumbuhan merupakan hasil dari evolusi sehingga keanekaragaman spesies tergantung pada panjang waktu. Faktor kedua adalah heterogenitas ruang, komunitas tumbuhan yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang

(44)

30

ada. Semakin heterogen dan kompleks suatu lingkungan maka keanekaragaman spesies penyusun komunitas semakin meningkat. Faktor yang ketiga adalah adanya persaingan diantara individu dalam suatu komunitas yang merupakan salah satu bagian dari seleksi alam. Oleh karena itu, spesies penyusun komunitas yang ada pada suatu waktu merupakan spesies yang mampu bersaing. Faktor yang keempat adalah predasi, adanya spesies tertentu yang dimakan oleh herbivora berarti akan mengurangi persaingan. Pemangsaan dan parasitisme dalam lingkungan akan cenderung untuk membatasi kelimpahan spesies tertentu dan dengan demikian akan mempersulit spesies untuk menambah kerapatan populasinya. Faktor yang kelima adalah stabilitas lingkungan, pada lingkungan yang stabil akan menghasilkan spesies yang lebih banyak. Oleh karena itu, pada daerah tropis yang mempunyai iklim lebih stabil memiliki keanekaragaman spesies yang lebih tinggi daripada daerah yang berilklim sedang dan kutub. Faktor yang keenam adalah produktivitas, faktor ini berhubungan dengan stabilitas iklim. Pada daerah yang mempunyai iklim stabil maka akan mempunyai produktivitas yang tinggi dengan keanekaragaman yang tinggi pula.

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa keanekaragaman spesies di Tahura R. Soerjo khusunya di lokasi penelitian memiliki keanekaragam spesies yang sedang. Kondisi tersebut memungkinkan pada masa yang akan datang Tahura R. Soerjo masih memiliki ketersediaan plasma nutfah. Hal ini dikarenakan pohon-pohon yang ada sekarang masih mempunyai semai yang dapat berguna bagi regenerasi spesies untuk masa kedepannya.

Disisi lain, tumbuhan pada tingkat semai mempunyai kerentanan yang cukup tinggi terhadap gangguan baik dari manusia maupun alam. Gangguan dari alam seperti angin, longsor, dan tumbangnya pohon sehingga menimpa semai yang dapat menyebabkan semai mati. Masyarakat yang tinggal berdekatan dengan kawasan Tahura R. Soerjo sering memanfaatkan rumput dan tumbuh-tumbuhan lain sebagai pakan ternak. Hal ini akan berdampak buruk terhadap kondisi semai di dalam kawasan karena kebanyakan masyarakat dalam mengambil rumput tidak mengerti tentang tumbuhan yang mereka ambil. Oleh karena itu, diperlukan tindakan dari petugas untuk mengambil keputusan yang lebih tegas.

(45)

5.6 Kemerataan individu spesies (Evenness)

Nilai indeks kemerataan individu di dalam spesies (Evenness) untuk masing-masing tingkatan tumbuhan tersaji pada Gambar 6.

Gambar 6 Kemerataan spesies di lokasi penelitian Taman Hutan Raya R. Soerjo.

Indeks kemerataan digunakan untuk mengetahui kemerataan penyebaran individu suatu spesies dalam komunitas. Berdasarkan hasil perhitungan seperti yang tersaji pada Gambar 6 di atas diketahui nilai indeks kemerataan spesies pada setiap tingkat tumbuhan di lokasi penelitian yaitu untuk tingkat pohon sebesar 0.809, tiang sebesar 0.873, pancang 0.899, semai sebesar 0.829, dan tingkat tumbuhan bawah sebesar 0.683. Menurut Krebs (1978) nilai indeks kemerataan yang mendekati satu menunjukkan bahwa suatu komunitas tumbuhan semakin merata, sementara apabila semakin mendekati nol, maka semakin tidak merata. Berdasarkan hal tersebut maka nilai indeks kemerataan yang paling tinggi terdapat pada tingkat pancang sedangkan untuk indeks kemerataan yang paling rendah yaitu pada tingkat tumbuhan bawah. Indeks kemerataan yang paling tinggi menunjukkan bahwa individu-individu spesiesnya lebih merata dibandingkan dengan tingkat tumbuhan yang lain. Sedangkan untuk tingkat tumbuhan yang memiliki nilai indeks kemerataan rendah menunjukkan bahwa penyebaran individu-individu spesiesnya kurang merata dan terkonsentrasi pada beberapa tempat bila dibandingkan dengan tingkat tumbuhan yang lain.

(46)

32

5.2 Potensi Tumbuhan Berguna di Taman Hutan Raya R. Soerjo

Berdasarkan hasil analisis vegetasi teridentifikasi 37 (74 %) spesies dari 28 famili yang telah diketahui kegunaannya yaitu sebagai tumbuhan obat; tumbuhan penghasil pangan; tumbuhan penghasil bahan bangunan; tumbuhan penghasil pakan ternak; tumbuhan hias; tumbuhan penghasil pewarna dan tanin; tumbuhan sebagai tali, anyaman dan kerajinan; tumbuhan penghasil pestisida nabati; dan tumbuhan penghasil kayu bakar seperti yang tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil rekapitulasi kelompok kegunaan

No. Kelompok Kegunaan Tumbuhan Jumlah

(Spesies) Habitus Famili

1. Tumbuhan penghasil obat 16 3 15

2. Tumbuhan sebagai pangan 14 3 12

3. Tumbuhan sebagai bahan bangunan 15 1 13

4. Tumbuhan tali, anyaman dan kerajinan 3 2 3

5. Tumbuhan kayu bakar 2 2 2

6. Tumbuhan penghasil warna dan tannin 4 2 4

7. Tumbuhan hias 4 3 4

8. Tumbuhan sebagai pestisida nabati 3 2 3

9. Tumbuhan penghasil pakan ternak 6 2 6

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa spesies yang ditemukan paling banyak berguna sebagai tumbuhan obat yaitu sebanyak 16 spesies dari 15 famili dan dengan 3 habitus. Sedangkan, spesies yang paling sedikit diketahui kegunaannya yaitu sebagai kayu bakar dengan 2 spesies dari 2 famili dan dari 2 habitus. Hasil dari rekapitulasi ditemukan tumbuhan yang potensial yaitu suatu spesies tumbuhan yang memiliki berbagai macam kegunaan (manfaat) yaitu anggrung (Trema orientalis) dari famili Ulmaceae yang memiliki kegunaan untuk bahan obat, bahan bangunan, pewarna dan tanin, bahan pangan, kayu bakar, untuk anyaman, tali dan kerajinan. anggrung (T. orientalis) juga potensial untuk dikembangkan karena tumbuhan ini merupakan salah satu spesies yang dapat tumbuh dengan cepat.

5.2.1. Tumbuhan obat

Hasil dari analisis vegetasi diperoleh 16 spesies dari 15 famili yang berpotensi mempunyai khasiat sebagai tumbuhan obat. Spesies-spesies tersebut terdiri dari 3 habitus yaitu pohon, semak, dan terna. Pada spesies yang berhabitus pohon tumbuhan yang memiliki khasiat sebagai obat berjumlah 4 spesies yaitu

Gambar

Gambar 1  Peta kawasan hutan di Provinsi Jawa Timur dan lokasi Taman hutan raya R. Soerjo
Gambar 2 Desain plot contoh dalam analisis vegetasi dengan menggunakan  metode kombinasi jalur berpetak
Gambar 3  Komposisi Tumbuhan Berdasarkan Famili di lokasi penelitian  Tahura R. Soerjo
Gambar 4  Komposisi Tumbuhan Berdasarkan Habitusnya di lokasi penelitian  Tahura R. Soerjo
+7

Referensi

Dokumen terkait

penelitian skripsi dengan judul: Akuntabilitas Politik Reses DPRD Dalam Menyerap Aspirasi MayarakatKabupaten Lombok Tengah (Studi Kasus Masa Reses DPRD Kabupaten

Kesenjangan yang terjadi dalam penerapan relasi antara anggota- anggota dewan dengan konstituennya tidak dapat disalahkan pada anggota DPRD sebagai orang terdidik

Selama ini dalam mengajarkan mata pelajaran IPA (1) guru Kelas IV kebanyakan hanya menggunakan metode ceramah, tanya jawab dan penugasan sehingga mengakibatkan kegiatan

Variasi fonologis adalah variasi bahasa yang terdapat dalam bidang fonologi, yang men- cakup variasi bunyi dan variasi fonem (Nadra 2009:23). Variasi tersebut terbentuk karena

Upaya hukum yang dapat dilakukan seorang Pencipta ketika hak-haknya dilanggar dengan melakukan mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa, gugatan ganti rugi,

Berdasarkan hasil penelitian aspek ekologi yang menjadi prioritas pertama dalam pengembangan wisata Pantai Songka serta strategi yang menjadi prioritas

yang terjadi sebelum dan sesudah peserta mendapatkan materi. Seperti kelas pada umumnya konselor membuka kelas dengan salam dan mengajak peserta bermain ice breaking

Guru sebagai ujung tombak dari implementasi kurikulum 2013 ini harus benar-benar memahami muatan dari kurikulum tersebut agar tujuan pendidikan yang tertuang di