• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interview with mrs: Juliette Surip

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Interview with mrs: Juliette Surip"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs Royal Institute for Southeast Asian and Caribbean Studies

Reuvensplaats 2 2311 BE Leiden Netherlands tel: (+)31 71 - 527 2295; email: kitlv@kitlv.nl

Interview with mrs: Juliette Surip

Transcriptic summary (00:00)

Namaku Surip, umurnya 66, dulu lahir di Suriname, di daerah Moengo. Dulu orangtua yang laki-laki kerja bagian tanam sayur-sayuran, petani sayuran, kalau ibunya jual-jualan sayuran, sayurnya tanam sendiri, kalau bapak kan kerja di kebun sayur, biasanya nanam tayawiri, kacang, bitawiri.

Waktu kecil di Suriname, kalau pagi sekolah, sampai kelas 2. Sekolahnya deket, jalan kaki dari rumah.

Kakak adikku banyak, kakak perempuan satu, kakak laki-laki satu, adikku kembar, dua, terus ada perempuan satu, itu yang kuingat, semua lahir di Suriname. Kakakku dulu sekolah juga, nggak ingat ya kalau kakak sampai kelas berapa. Waktu pulang kesini, cuma aku sendiri, lantaran dibawa sama siwo, dipupu siwone, pakde, pak Mijan itu, dibawa ke Indonesia, siwonya ada anak satu, jadi pulang ke Indonesia berempat siwo, istrinya, aku, anaknya. Saudaraku semua masih di Suriname.

Waktu perjalanan dari Suriname ke Tongar naik kapal satu bulan, siang malam, kapalnya namanya Langkuas, itu sampai di pelabuhan Teluk Bayur, turun di Padang, kesini naik bus. Waktu di kapal, pembagian makannya teratur nampaknya, dipanggili, terus ngambil antri di atas, kalau mau makan itu kan dipanggili ransum gitu, nah itu diatas ngambil nasinya,bawa ke

tempat masing-masing gitu, setelah ambil nasi, (Pak Sarmoedjie : jadi ada palkah atas,

palkah dalam lagi, palkah lagi, mereka tidur di palkah-palkah, ya masing-masing itu dibagi, satu-satu tempat tidurnya, sesuai dengan keluarganya tadi, nanti begitu waktunya sudah makan, ransuuuuum gitu, ngumpul antri).

Waktu di Suriname, masih kecil-kecil gitu lah, pulang sekolah ya disuruh-suruh, ngambil sayur, terus paginya ibu pergi ke pasar, jual. Cuma bantu ngambilin aja, nggak bantu jualan.

(2)

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

(05:19)

Di Moengo nampaknya nggak ada listrik, masih lampu teplok, (Pak Sarmoedjie : adanya

masih di luar pertambangan, Moengo itu sebetulnya area pertambangan, bauksit, mungkon rumahnya Bu Surip itu mungkin agak pinggir kota gitu ya), ya di perkebunan lah, wong kebun pisang banyak lho rasaku di situ, di desanya, bukan di kotanya. Kalau di Aliangsi itu kan mbahku, lain tempat, jauh kalau kesana kan naik boat. Yang pertama ke Suriname itu mbah, orangtua kelahiran Suriname, kalau mbah itu dari Jawa, Magelang, kalau dulu mbah aku cerita bilangnya kenek wereg gitu, ditipu gitu lho, ya bilangnya mbah kan aku dulu orang Magelang, dekat kali Soti bilangnya, terus aku ke pasar kena wereg, diwereg orang terus aku ikut ke Suriname, sudah itu aku ngelahirkan mamakmu disana. Jadi waktu ke Suriname, mbah sudah nikah, pergi ke Suriname laki-laki perempuan yang kenek wereg itu.

Waktu ke Indonesia nggak ada bayangan gimana, kalau rasaku ya kayak di Suriname aja gitu, aku anak kecil waktu itu, 10 tahun, di kapal nggak pernah main, mabuk sebulan, nggak bangun-bangun, mandi aja digendong sama bapak ke atas, dikasih obat, cuma kan nggak mau, makannya itu ibu dari Suriname bawa roti gabin tapi yang di kaleng besar itu kan, persiapan satu bulan itu yang dimakan, makan nasi nggak mau, makan daging-daging itu nggak mau, dibuangnya aja ke laut, mabuk. Anaknya siwo laki-laki nggak mabuk, anaknya siwo Kang

Jarot, lakinya Bu Tuminah itu, (Pak Basar : Pak Mijan ini bawa kang Jarot, itu anaknya,

kemudian nambah ini satu lagi ponakannya), Atmijo anak angkat juga Pak Mijan, saiki ning Tiku, Supar yo ning Jakarta, Supar yo anak angkat podo wae, tapi kan deknen kan ora dierken ngono lho, nak aku kan dierken ngono. Erkene ora eneng, mbiyen bapakku mbuh ning endi, bapakku sing nyimpen, terus bapakku pindah-pindah kan, ora eneng.

(10:34)

Di Tongar,bedenge nomer siji nek gak salah, bedeng A, jejer pabrik-pabrik, berempat itu. Pertama sampai Tongar, sepi toh, di alas kok, ning rimba, alang-alange ya masuk di sela-sela lantai, dindingnya bambu, kalau jam 6 itu orang situ bilangnya jangan keluar-keluar nanti ada macan, tapi nggak pernah keluar memang, takut kan, masih rimba alang-alang, padang lalang. Yo enak di Suriname lah, mamakku aja sampai disini nangis-nangis, kalau tau aku, nggak mau bilangnya, yang disesali itu disini bilangnya payah, masa masuk hutan bilangnya, disana rumah ditinggal, kebun ditinggal gitu aja, nggak dijual, ditinggal-tinggalkan aja, mau dibeli sama orang kita ngga perlu uang, nggak boleh bawa uang dari Suriname bilangnya, emas aja nggak bisa banyak-banyak.

(3)

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Di sini siwo kerja nyari kayu, gergaji, istrinya yo ladang. Siwo dapat tanah 2 hektar, dulu nggak ada ditanami apa-apa, ditanami pisang itu kan, sudah bapak ke luar, terus dia beli

rumah di luar, di Banjar Talang (Pak Basar : Banjar Talang sesudah pasar itu agak kesana,

satu kilo lah), sing omah bulet itu kan mbiyen nggon pak’e kae, disini kan sepi dulu, kerjaan nggak ada, jadi mamak disana mau jualan, di pinggir jalan kan bisa jualan, mamak tuh dagang makan-makanan, kalau hari minggu ke pasar, kalau enggak ya di rumah, makanannya dibikin,

pisang goreng (Pak Basar: peyek, snack-snack). Tanah diluar itu dibeli udah ada 5 tahun

disini, di Tongar, lantaran orang Tongar banyak yang keluar kan cari kerjaan, jadi bapak itu terus keluar beli tanah disana, disini nggak bisa kerja, kalau mamak jualan kan bapak ikut bisa bantu-bantu disana bikin ladang, tanam padi di belakang rumahnya itu. Aku ikut mamak, rumah yang di Tongar ditinggal. Tanah yang dulu dapat 2 hektar dijual, bapak udah tua kan, terus tanahnya itu dijual, sing tuku Yunus, tapi terus balik ke Tongar. Udah nggak bisa kerja itu kan, terus bapak balik lagi ke Tongar, ke rumahnya lagi lah, ini rumahnya di belakang, nah itu peninggalan bapak itu. Yang dijual tanah perkebunan, kan tanah perumahan sendiri, tanah perkebunan sendiri.

(16:17)

Disini sekolah sampai kelas 6, habis itu nggak sekolah lagi, terus periperi [PRRI-red] itu lho, terus bapak bilangnya kan waktu peri-peri itu anak-anak perempuan itu diganggu-ganggu kan

di jalan, diganggu-ganggu d ijalan gitu sama preman-preman (Pak Sarmoedjie : sama

preman-preman, sama tentara dari Medan, diganggunya verbal aja), jadi bapak bilangnya nggak usah sekolah, anak perempuan nanti di jalan-jalan gimana, nah sampai di situ aja. Bojoku adike kang Irul, adikke bojone kang Irul, Wiji jenenge, saiki gek niliki anake ning Solok.

Dulu nggak ikut kesenian-kesenian jawa gitu, wong mau nengok sandiwara, band,, dilarang sama orang tua, kejam orang tuaku dulu, nggak boleh anak perempuan keluar, nonton-nonton itu nggak boleh kalau nggak sama mamaknya, umpamanya mamaknya nyumbang itu ya ikut, bisa ikut, kalau pergi sendirian nggak bisa, nyumbang itu umpamanyan dapat undangan bralek gitu lho. Nggak pernah ikut acara itu, pulang sekolah ya bantu mamak ke ladang. Di Suriname, ning kebonan rasaku yo ra enek tonton-tontonan iku ora enek, durung pernah lah. Aku di Suriname tinggalnya campur, kebanyakan orang India, tetangga mamakku itu orang India, mereka bertani juga.

(4)

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Kalau di Tongar selain sekolah, ya ke ladang itu mbantu ibu, tanam padi, tanam kacang, 3 bulan panen padi kan terus dibajak ditanam kacang, tanam pisang ya iya, tanam padi ya iya,, tanam kacang ya iya, tapi waktu itu nggak laku, kalau padi itu dimakan sendiri, ditumbuk sendiri, dimasak sendiri, belum laku, kacang pun belum laku dulu, kurang laku waktu dulu, nggak kaya sekarang, kalau sekarang ya, apa-apa laku. Tanah yang dibelakang [rumah di Banjir Talang-red] itu 1 hektar lah, tanah sini yang dijual, tanah sana yang dibeli ya 1 hektar lah.

Dulu masih berhubungan sama saudara-saudara di Suriname, tapi sekarang sudah lama nggak, ya kirim surat, kirim surat kemari kan, aku bales kesana, terus ada orang Suriname pulang, aku kirim surat kesana, kirim foto, diterima, ada balasannya dulu,,sekarang nggak ada, mungkin entah pindah entah gimana, aku nggak tau alamatnya, dulu adik yang kirim. Sudah itu kan aku balesi kesana, itu ada lagi balesan lagi, terus aku kirim foto sama sedulure wo Poniyem, aku kirim foto kirim surat karo wonge to, nah dikekke, kakak itu mbalesi mrene, ngomong fotone wis tak tompo, bar iku wis ora ngirim meneh, putus sampai sekarang. Waktu terakhir kirim surat cuma bilangnya mamak udah meninggal, bapak udah meninggal, kakakku perempuan udah meninggal, kakak laki-laki udah meninggal, jadi mamak bapak kakak perempuan laki-laki udah meninggal semua, tinggal adik-adik. Waktu pisah sama saudara-saudaranya, sedih nggak ada keluarga. Balik Suriname ya kepingin sih kepingin, tapi ongkosnya mahal.

(24:40)

Dulu ada anak bapak itu yang di Nederland itu, Kang Herman kan, kae mulih karo mantune sing keri kae, lha kae kan omonge kone le dolan arep dijak ning Neherland, lha anak-anakku akeh lho, yo opo anakke aku dewe mrono, ngko teko kono iyo nak iyo, lha mbiyen anakke kan ning kene. Herman anakke Pak Mijan juga tapi ning Nederland tapi ket cilik deknen ora melu pak Mijan, melu mboke pisah karo mboke, cerai karo pak Mijan ngono, lha terus anakke kui sing jenenge Herman kui melu mboke, waktu isih urip pak’e rene niliki sepisan yo, terus ping pindone wingi pak’e wis ora enek, wis 5 tahun lah, wis putus hubungan. Siwo laki-laki dulu kan punya anak satu yang namanya Herman yang di Nederland, udah itu cerai sama perempuannya, anaknya itu ikut sama mamaknya, nggak ikut sama bapak, lha terus nikah sama siwoku itu, dapat anak satu, itu yang dibawa pulang ke Indonesia.

Saya anaknya delapan, meninggal satu, tapi udah nggak ada yang di rumah, udah mentas semua, sekolah dari SMA semua, di Simpang Empat. Anaknya sekarang ada yang di Solok satu, ada yang di Pekanbaru satu, yang disini empat, yang satu meninggal, ninggal anak dua,

(5)

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

anaknya ikut bapaknya, ya kadang lah kesini, Restini pindah ning omah sekolah, isih dodol ning kono kan, layanan anak sekolah itu tadi lah, nek Yono isih tetep tukang wae, nukang wae ra leren-leren. Suamiku kerjo nukang, yo kui ngerjani masjid iku, bahane kurang terus longo dekne niliki anakke, ngko nek balik bahane wis enek, dikerjani meneh.

Yang berubahnya Tongar ya sekarang jalan-jalan udah dibangun, udah agak rame, kalau dulu kan sepi, jalan setapak, mobil nggak ada, dulu cari makan payah, kalau sekarang mau kerja-kerja di PT nggak mungkin nggak makan, pokoknya mau usaha ya, disini sekarang murah cari makan. Kalau dulu payah, ya cuma kerja di ladang aja, ladangnya sendiri, tanam-tanam sayuran, tanam-tanam kacang, jagung, nanti kalau kacang itu dikupas baru dijual di pasar, nggak gelondongan, kalau sekarang kan baru dicabut aja udah datang pedagang itu tanya kacangnya mau dijual atau enggak, kalau dulu payah, masa baru-baru disini ya sulit cari makan, maka itu orang Tongar banyak yang pergi, ke Pekanbaru, ke Medan, ke Jambi, jadi yang tinggal disini ini orang yang ketinggalan-ketinggalan, pak Sarmoedji aja nggak mau tinggal di Tongar, masih bujang aja udah burr.

(31:31)

Waktu sekolah, aku sakngisore kang iki [Pak Sarmoedjie-red] lho, sekolahnya ya sama juga kan, (Pak Sarmoedjie : masalahnya kita ini dikumpulkan ada yang udah ini, usia segini, jadi di kelas 6 itu, umurnya macam-macam), ada yang muda, ada yang tua, ya campuran dari bermacam-macam daerah. Waktu pertama sekolah, bahasanya beda, ya belajar dulu, gurunya pake bahasa Indonesia. Selain di sekolah belajar bahasa Indonesia ya sama orang-orang sini itu, main sama orang Minang juga. Kang Sarmoedji wis SMP aku isih kelas 4 lho, kang Sarmoedji itu pergi aku masih sekolah disini.

Balik ke tongar lagi [setelah pindah ke Banjir Talang], ya kan tanahnya ada disini, disana cuma beli kan, lantaran untuk usaha bapak bilangnya gitu, kalau disini aja nggak bisa usaha, jadi kita cari tanah di luar biar bisa usaha, lama-lama bapak nggak kuat lagi nggergaji kayu itu kan, nggraji tangan, dulu kan mana ada mesin-mesin, kan nggak enek, jadi deknen kan nyarike nyari kayu di hutan-hutan itu kan, kadung wis tuku tanah ning ngarep, kan dodol, pak’e ngadang-ngadang ning kono, wis ora kerjo meneh, pak’e yo wis tuwo lho seko Suriname.

Suratiyem iku temenku, Suratiyem iku emang ket enom kang, nasibe elek, ditinggal kerjo, rabi karo sing jenenge mbah parman, lha deknen dimadu,, sampe mbah Parman meninggal, sampai sing wedhok meninggal deknen sing ngopeni, nah bar iku Suratiyem karo pak Sapar,

(6)

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

karo Pak Sapar setahun opo durung enek setahun, Pak Sapar loro, stroke,, kan deknen sing ngopeni sampai mati, jadi kesenengan dia itu nggak ada, memang kasihan.

(37:43)

Di Tongar ini sama umpamanya di Bandar Rejo, di Kotabaru itu sama orang Jawa ya, tapi orang luar itu bilangnya kalau orang Tongar ini jiwanya per [fair-red], soalnya nggak mau ngganggu orang, nggak pernah kerengan sama orang, diapa-apakan orang ya diem aja, entah merasa terpencil, orang Jawa dimana-mana ya banyak lho, tapi kalau orang Tongar ini lain sama Juranggo lho, kalau orang Juranggo kan orang keras, ya sama orang Jawa kalau dipikir. Tapi kalau orang Jawa yang dari Suriname ya, biarpun keturunannya, gini gitu itu nggak ada, tapi kalau orang Jawa dari Juranggo, dari Jawa itu, keras-keras itu, mau main tinju itu pemuda-pemudanya, keroyokan gitu, kalau orang Tongar mana, tanya sama kakang itu, nggak ada, kalau asli orang Tongar ya biarpun keturunannya diginikan ya iya, umpamanya kepala

desa bilang gini, ya iya gitu aja, manut, mungkin bawaan dari Suriname (Pak Sarmoedjie :

karena kita biasa hidup menderita), kalau di Juranggo itu yo orang beli mobil satu gitu, semua mau beli mobil, kalau orang Tongar ya situ to, malah seneng kita kalau bisa beli tetangga kita kan, kalau umpamanya nyarter-nyarter dipinjam-pinjam kan bisa gitu, nggak ada wah ikut apa gitu, nggak ada iri gitu. Tolong menolong ada, kalau mau umpama beralek atau mendoa orang meninggal itu rukun lah semua.

(40:00)

Aku nikah umur 17, sesudah itu meninggal suamiku kan, terus menikah dengan adiknya Kak Wagiyem, orang Tongar juga, orang dari Suriname juga, yang suami dulu ya dari Suriname juga, mbiyen anakke Pak Majiran, yo anakke sithok itu, itu anak angkat tapi, ora nduwe anak, Marsinah sing wedhok, mbah Marsinah, sing lanang jenenge Majiran, yo anake sithok, si

Paijan itu thok, anak angkat iku. (Pak Basar : rumah pak Sarmidi dulu kan disana, terus

rumahnya Paeran,nah itu terus omahe Pak Majiran, terus bapakke Khamid ning kono juga dadi siji, mbiyen), sekarang sudah ditanam sawit semua.

Alah dulu payah kok sekolah, ya maklumlah waktu itu ning Tongar koyo ngono lah, ga iso sekolah, awake iso nyekolahke anak sampe SMA kabeh wae seneng wisan, kalau nurut jaman

aku disini ya susah, banyak yang keluar. Waktu dulu nggak ada kerja, mau kerja apa, (Pak

Sarmoedjie : kalau ada di Sasak, ada di Airbangis, mungkin kita nggak jauh-jauh,karena tidak ada, kita larinya ke Pekanbaru, kita ke Medan, sekitar Jambi). (Pak Basar : perkebunan belum ada sama sekali buka disini, persawahan nggak ada, tapi kan kita semua itu ladang berpindah-pindah).

(7)

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

(45:36)

Pertama masuk sini sengsara, nggak kerasan, kita nggak pergi lantaran bapak aja, bapak

nggak mau pergi ya kita tentu nggak pergi-pergi, ya sampai meninggal bapak (Pak Basar &

Pak Sarmoedjie : bapak ini termasuk pengurus juga dalam yayasan, mandor gitulah, kepala kerja, jadi yang ngurusi orang-orang itu kepala grup kerja yang kerja di yayasan, jadi seperti bapak saya kan kerja di yayasan, entah mbabat entah apa, lha itu punya foreman, foremannya termasuk pak Mijan itu, foremannya empat, Mijan, Saji, tidak terstruktur membawahi bidang tertentu, tapi kira-kira seperti itu, untuk bagian kayu Pak Parmin namanya, Pak Parmin itu punya anak namanya Karno, saiki ning Solo, Karno itu pun karena bapaknya tukang, pinter nukang, tamat SMP nukang mbangun rumah dia, rumahnya Sapar disana itu bangunannya Karno itu, Pak Mijan itu foreman, pengawas)

Rejone Tongar itu mbiyen kan paling mung 5 tahun yo, rejo tuh ramenya Tongar, ramenya

orang baru datang kesini itu cuma 5 tahun itu, (Pak Sarmoedjie : datang tahun 54, 5 tahun

kemudian 59, PRRI, bubar), semua udah terjual itu, tanah terjual, habis. (50:28)

Dulu perjanjiannya kan kita sekeluarga bilangnya dapat 5 hektar, nggak dapat, seperumahan ini aja beli, kalau aku yo mungkin nggak dapat, wong bapakku aja nggak dapat, apalagi aku, tapi bapakku dapat 2 hektar. Bapak nggak pernah nanya ke yayasan, nggak berani sama mbah

Harjo, (Pak Sarmoedjie : figur lurah Salikin Hardjo itu betul-betul blas ra piye-piye tapi kita

takut, segan, takut, berwibawa, segala-galanya, nggak jahat tapi berwibawa, jadi segan), apa yang dibilangnya iya, ya iya itu aja, nggih.

Di Suriname, sarapannya ya roti kalau pergi sekolah, siang malam makan nasi, kalau di Suriname memang nggak pernah pagi-pagi makan nasi, minum susu, rotinya dulu untuk sarapan, nanti yang lainnya dibawa ke sekolah, dimasukkan dalam kotak gitu.

Waktu pertama disini, ubi aja beli lho, belum nanam, beli sama orang Bandarejo itu, kadang-kadang beli talas itu aja dipalsu sama orang itu, talas hutan itu dijual, dimakan gatel, talas ditanam sama talas hutan kan lain, lantaran laku kita mau beli kan, itu dijual sama orang,

bentuknya sama, rasanya gatel dimakan. Biasanya dimasak direbus, digoreng (Pak Basar :

pake bravu, bravu bisa talas, pisang, ubi, pisang setengah masak itu enak kalau dijadikan bravu). Yo nangis minta roti, dulu baru-baru disini, payah lho roti itu. Ubi aja itu direbus, kadang-kadang digoreng, kalau mamakku dulu kan seringnya direbus dulu terus digoreng gitu lho.

(8)

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Kalau makan nasi, lauknya beli ikan laut itu, disini ada ikan laut beli di pasar Simpang Empat itu pasar,, Simpang Empat itu, kalau mbiyen anak okeh kan nek tuku iwak cilik-cilik, koyo wader, sakmene-mene kae lho, anak okeh kan iso dibagi, sing penting ruwo kan ngono, masaknya digoreng, disambel gitu, kalau sayur kae sayur tayawiri, kates, bawa bibir dari sana,

kalau tayawiri itu kan cepet, ditanam, hidup (Pak Basar : tahan sebulan, karena pakai umbi

kan, umbinya kan tahan, umbinya bisa dimakan, kaya kentang kecil itu, kayak kimpul, kalau di Jawa gembili), di kapal masukkan dalam peti, kan bawa peti, masukkan dalam plastik, kasih tanah. Keluargaku bawa tayawiri sama bitawiri, bitawiri stek [tanamnya-red], tuncupke gitu kan urip, bawa beras sedikit-sedikit, karena takut nanti sampai dirumah nggak ada beras gitu, bawa sekarung kayaknya, bawa ikan asin. Di Suriname ada ikan asin, malah

kandel-kandel, tebel-tebel, becau (Pak Sarmoedjie : namanya ada becau, dari ikan haring, ikan laut

yang dikeringkan jadi ikan asin becau, lha itu kalau di Belanda becau itu mahal, harganya larang), kandel-kandel kan, nggak enek tulange rasaku, (Pak Basar : kemudian ada ikan panggang, asap, gopung namanya), o iyo iwak gopung, bawa juga, sama pinangsi, pinangsi itu daunnya bulat itu lho, kandel, itu dibawa tampangnya tadi, tampangnya kan bulat-bulat, tampang itu bibit, kan dibawa kering gitu kan, nah sampai disini kan diserakkan gitu, ditaburkan gitu, sekarang ada ning nggone Mbah Siyem, nak mung taewiri kene akeh lho,

sepinas biasanya disup, agak lendir-lendir (Pak Sarmoedjie : jangan diendapkan, kaya bayem

lah, bayem kan kalau diendapkan nggak boleh). (1:01:11)

Kalau ukro, semacam gambas, ya berlendir juga dia itu, tapi bilang orang Suriname itu vitamin, tambah darah ya, nggonku ra eneng ketoke, mati, ukro masaknya dikukus aja, kalau nggak dioseng, makannya pake sambel terasi, nggoreng iwak asin, nggo ikan asin tapi ikan asine sing kandhel kae ta, ora sing tipis, ora enak, nek sing kandhel kan daging tok kan, enak iku.

(1:05:53)

Di Suriname, ada ikan gabus, ada [ikan-red]kuikui, yang sisiknya tulang, dimasak masala, pakai tumbar, yang kayak India, yang kuning itu.

Cucunya banyak, yang satu ada 5, satu ada 3, satu ada 6, ada 4, 20 ada, buyut aja ada lho, 3 buyutnya, kalau hari raya rame, kumpul disini, ya kalau hari raya ya datang kan, sungkem-sungkeman, datang semua cucunya, buyutnya. Sering cerita pengalaman di Suriname ke anak-anak, ke cucu, kadang-kadang kan cucu-cucuku itu kan bandel, dulu aku nggak kaya koe, aku bilang gitu, gini-gini, aah dulu lho nek, nggak sekarang, anak sekarang kan

(9)

bandel-Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

bandel, kalau dulu aku dipendeliki aja sama bapakku udah takut. Mana ada jaman mbiyen anak gadis kaya sekarang kaya cucu-cucuku itu, pulang sekolah tidur main hp, nonton tv, dulu pulang sekolah, [dibilangin-red] nanti kalau pulang sekolah tunggu manuk,jaga burung di sawah, ditanam padi kan, pagi sama sore yang banyak [burung-red]. Kalau punya sapi, bapaknya melihara sapi, ya nanti pulang sekolah ngarit, dulu aku juga, udah pernah dibanting

sapi juga kok, diseruduk sapi, (Pak Basar : ada sapi yang jahat itu, di Tongar dulu sampai

meninggal orangnya karena sapi, Pak Musak Harun, kena tanduknya. Dulu punya 2 sapi, punya bapak, masih ikut punya bapak.

(1:10:32)

Waktu kecil pulang sekolah ya jaga manuk, ngarit, nanti kalau pulang bawa suket segini, ngeri lah pokoknya orang jaman dulu.

(Pak Basar : Musak Harun itu dulu guru ngaji aku ning Suriname, Paramaribo, kui ning

Paramaribo manggone), tapi nek guru gaji seko Surinameterus ke Tongar maune pertamane

kan Mbah Mat Rusdi, Mbah Supar, Mbah Ramin, tiga [gurunya-red],(Pak Sarmoedjie : di

Suriname anak-anak belajar ngaji kalau sore, kalau saya khatam quran di Suriname, besok

sunat malamnya khataman, terus pake terbangan namanya), nek wong jowo terbangan, saiki

rebana, (Pak Basar : masih berlaku, masih ada itu, pake kobok-kobok, ditangisi, masih begitu

juga, didudukin, kayak ada pelaminan kecil), wong adat Jawa ya gitu, nggak ada lagi

sekarang, sudah punah, (Pak Basar : sudah ke mantri, dokter itu sudah, ya sekarang masih ke

mantri tapi masih ada tambah-tambahannya di rumahnya itu ada, jadi tetep ada itu, itu tukang sunat namanya calak itu, sudah disini sampai 5 tahun masih ada sunat pakai calak), wong mbiyen ora sunat dokter, calak iku, sekarang nggak, ke rumah sakit ket Pak Ratun nggak enek to yo, Pak Ratun ke Pekanbaru terus ora enek calak.

(1:16:37)

Kalau disini, kematian sama kayak di Jawa, ada melek berapa hari, tahlilan sampai 7 harian (Pak Basar : nujuh, 40, 100, 1000), biasanya manggil orang, selametan, kenduri. Di makam, ada yang pakai kijing, ada yang nggak, ada yang pake papan biasa, ya macam-macam, tergantung orangnya maunya apa, rata-rata sekarang pakai papan biasa itu aja, lubangnya kan bikin lubang kayak landak saiki modele, di opo jeneng, di rong ngono, umpama sini

lubangnya kan, liang, terus sebelah sini bikin lubang, (Pak Basar : misalnya ini kuburan

digali gini ya, digali lagi untuk memasukkan jenazah, jadi nggak langsung tanah itu menimpa orang yang ninggal itu, ya mungkin untuk keselamatan jenazahnya itu, mungkin nggak

(10)

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

keinjak-injak). Kalau ada yang mati, yang ngurusi kaum, kalau disini ya ditunjuk, dulu Pak Sukron, sekarang Juari.

(1:23:58)

(Pak Sarmoedjie dan Pak Basar : kalau kaum tugasnya di bidang agama saja, pernikahan, doa-dao itu, kematian, kalau sesepuh adat yang dituakan belum ada penggantinya).

(Pak Sarmoedjie : sekarang sudah nggak kalau asalnya sama itu lebih dekat, pokoknya Suriname baik dari Marowijne, Commowijne, Coronie, Nickerie, wis podho-podho seko Suriname, kalau awalnya dulu iyo, di bedeng juga berdasarkan distrik), bedengku semua dari

Moengo, okeh juga kok, lali aku, (Pak Basar & Pak Sarmoedjie :tapi kebanyakan sudah

keluar yang dari Moengo, karena Moengo umumnya kan disana pertambangan bauksit, jadi mereka lebih cocok bekerja sebagai mekanik, ada sopir, bukan petani sawah, jadi kabur semua. Moengo yang terkenal itu pak Wongso, bapakke Samrin yang langsung memimpin

mekanik engineering di Semen Padang, umumnya dari Moengo).

Selama di sini, nggak pernah dapat bantuan pemerintah, rehab rumah ora entuk, ra ngerti sopo sing entuk, itu Budiman sing nggowo,sopo sing disenengi Budiman yo iku sing entuk, isih Budiman jadi kepala desa. Wong pak Hardjo wis ora dadi kepala desa yo, wis ora dadi jorong kene, yo ganti Budiman, Budiman wis ora dadi kepala desa, Kamsuni mantune, arep kutik opo wong masyarakat, wong wekne bapakku lho, arep ngopo ngono terusan, tak omong nak wong Tongar ki manut,ho’o ra. Kepala desa turun temurun, dulu bapaknya, sudah bapaknya terus anaknya, menantunya, terus menantunya lagi, nggak ada yang berani protes, diem aja. (1:28:55)

Nama suamiku Wiji Sarno, (Pak Basar : orangtuanya namanya Sarno, disini kebanyakan

masih pake fam), nama Surinameku Juliette, nama depan, tapi panggilannya Surip. Tanggal lahir suami nggak tahu aku, asalnya Suriname juga, kelahiran Suriname. Pekerjaannya tani sama tukang. Ini kan suami ke dua, PRRI aku during nikah kok, yang nikah pertama, suami dulu, bar PRRI aku terus nikah, tahun 60an lah, suami pertama Paijan, kalau sama yang

sekarang wis lali aku. Sama Paijan ada anak 3 (Pak Basar : 3 aja 6 tahun selisihnya), yang

meninggal itu, yang ikut sini, itu anak Paijan itu. Anakku ada 8, namanya Rosilawati satu, Herman, Murti Haryati, Restini, Yono (Hendroyono), Maryadi, Haryanto. Kelewat Jupri Solok, nomer 4, sebelum Restini, semua kelahiran Tongar, tanggal lahirnya nggak ingat, bapaknya yang ingat, nek bapakke iso kelingan kabeh, aku orang kelingan.

(11)

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Saudaraku disini nggak ada, di Suriname semua, yang laki-laki namanya Sarjimin, kakak perempuan, sopo to, sampai lupa, udah lama, adik aku yang kembar itu Rokhman Rokhim, yang masih hidup kembar sama satu lagi perempuan, Martiyem, ini belum lahir waktu aku di Suriname, semua lahirnya di Suriname.

Iki [menunjuk cucu Bu Surip-red] anakke Yono, mbok’e kuliah menowone mbok’e, lha kan njipuk S1 saiki, ibunya kerja guru SD disini.

Saudaraku di Suriname entah kerja apa, kurang tahu aku, nggak pernah tanya. Bapaknya namanya Sarkum, aslinya dari Jawa bilangnya, tapi Jawanya Jawa mana entah, dulu kerja di perkebunan sayuran, nanam kol, buncis, kalau ibu Leginem, jualan sayur di pasar. Kakek dari bapak Wagiyo, mbah perempuan Rayem, dari Jawa juga, aku cuma satu mbah perempuan itu aja. Bapaknya ibu nggak tau.

(1:37:58)

Bapaknya suami Sarno, (Pak Basar : kalau ibu Ngadiyem, kakeknya Giman namanya, dalang

itu, termasyur dulu disini nama itu, dalang Giman, gurunya pak Ponco itu), neneknya

Ngadinem, kerjanya tani, (Pak Basar : setelah dari sini Pak Sarno dan Bu Ngadiyem ikut

anak-anaknya di Jawa, sekarang dah ninggal semua, anak-anaknya di Jawa, adik ibu [istri Pak Basar-red] yang di Batang Lingkin, ikut itu ke Jawa, antara 2 tahun 3 tahun lah disini, sudah itu pulang ke Jawa, yang tinggal disini, suaminya ini sekarang), sama istrinya abang

ini yang tinggal di sini, (Pak Basar : karna masih sekolah dulu. Dulu ada familinya, jadi

sekarang anak-anaknya disana semua , di Jawa ada, di daerah Jogja,di Prambanan itu, Pak Sarno sama Bu Ngadiyem dulu di situ, tapi meninggalnya kalau ibunya di Jawa, ayahnya di Sulawesi, ikut anaknya yang di Sulawesi, anaknya yang 3 yang saudaranya Wiji ini, 3 di Sulawesi, 4 di Jawa), Wardi omonge bulan 7 arep rene kang, Wardi adiknya suaminya ini

sekarang, saiki Wardi ning Indramayu, (Pak Basar : tapi sejak lahir sampai sekarang belum

pernah ketemu, cuma dari hp, suara. Ada 2 yang sejak lahir belum pernah ketemu, adiknya yang di Jawa itu, dua lahir, sampai sekarang belum pernah ketemu).

(1:42:26)

Waktu tinggal disini, suami ikut sama mbah, (Pak Basar : yang namanya Giman sama

Ngadinem, sudah itu meninggal suaminya ikut saya, saya yang menyunati juga disana, di samping Batanglingkin, sepulang saya dari Pekanbaru, sampai sekarang ada hubungan [dengan saudara di Jawa-red], dulu surat, sekarang kan lewat hp).

(12)

Template interview Javanese migrants 2010-02-15_fs

Aku lahir di Moengo, sampai mau pulang masih di Moengo, tahun 54 sini [Tongar-red] kan, disini saya 5 tahun, terus pindah ke depan, Batanglingkin, ning kono eneng 3 tahunan lah, 3 tahun pak’e ning kono terus loro-loro kan, terus balik rene meneh.

Sekolahe ning kono [Suriname-red] sekolah katolik, swasta (Pak Sarmoedjie : RK itu biasane, Rooms Katolik).

Referensi

Dokumen terkait

Untuk bcnda uji 2 pcncatatan lcndutan yang tcrjadi disajikan pada lampiran 2 Tabel L2.7 dan grafik hubungan beban - lendutan ditampilkan pada Gambar 5.12.. 13 Grafik

Masing-masing jalur pendidikan mempunyai sifat yang berbeda-beda walaupun pada dasarnya mempunyai satu tujuan yang sama yakni menciptakan masyarakat yang cerdas,

1) Keuntungan dan kerugian (cost and benefits)  yang dianalisis jangan semata-mata dipusatkan pada keuntungan dan kerugian bagi  perusahaan, kendati benar bahwa ini

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 96 ayat (4) dan Pasal 97 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6

Hasil penelitian teridentifikasi enam tema yaitu bagi ibu, anak adalah segalanya; gizi buruk bukan prioritas ibu untuk konsultasi kesehatan; mendapat perlakuan tidak

Analisis proses pengambilan keputusan petani dalam penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap identifikasi ( identification ) untuk mengidentifikasi

Dari hasil penelitian yang dilakukan kepada 5 ibu nifas terhadap perilaku ibu dalam memilih tenaga penolong persalinan diketahui bahwa 3 informan utama masih memilih tenaga penolong

PT.CCBI- CJ memiliki media relations yang baik dengan media lokal maupun nasional, sehingga seluruh kegiatan yang dilakukan Coca- Cola dapat diketahui oleh masyarakat