• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN TENTANG TRANSAKSI ELEKTRONIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III TINJAUAN TENTANG TRANSAKSI ELEKTRONIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TINJAUAN TENTANG TRANSAKSI ELEKTRONIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008

Seperti telah disebutkan dalam pendahuluan bahwa salah satu perubahan yang sangat besar dari berkembangnya teknologi informasi yaitu dalam bidang ekonomi. Perkembangan teknologi informasi secara signifikan telah mengubah sistem ekonomi konvensional menjadi sistem ekonomi digital. Sistem digital ini memungkinkan dunia usaha melakukan suatu transaksi dengan menggunakan media elektronik yang lebih menawarkan kemudahan, kecepatan dan efisiensi. Transaksi-transaksi yang dilakukan melalui media elektronik ini dikenal dengan transaksi elektronik.

Media elektronik yang di bicarakan dalam penulisan ini difokuskan dalam hal penggunaan media internet, mengingat penggunaan internet yang saat ini paling populer digunakan oleh masyarakat. Penggunaan internet dipilih oleh kebanyakan orang sekarang ini karena keunggulan yang dimiliki oleh jaringan internet itu sendiri yaitu biaya yang murah, pemakaian yang lebih efektif dan efisien dengan akses yang mudah dan cepat, menggunakan data elektronik sebagai media penyampaian pesan/data sehingga dapat dilakukan pengiriman dan penerimaan informasi secara mudah dan ringkas, baik dalam bentuk data elektronik analog maupun digital.

Jika berbicara mengenai transaksi, maka sebenarnya membicarakan tentang hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak ( Pasal 1338 jo Pasal

(2)

1320 KUHPerdata ). Mengenai keabsahan suatu transaksi maka akan selalu dikaitkan pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan syarat sahnya perjanjian ada 4 ( empat ), yakni :

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; 3. suatu hal tertentu ;

4. suatu sebab yang halal.

Suatu perjanjian atau transaksi dapat dikatakan sah bila telah memenuhi keempat syarat ini. Pasal 1320 KUHPerdata tidak mensyaratkan bentuk dan jenis media yang digunakan dalam bertransaksi. Oleh karena itu, pada dasarnya transaksi dapat dilakukan secara langsung maupun secara elektronik.77

KUHPerdata juga ada menganut asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, dimana para pihak bebas menentukan dan membuat suatu perikatan atau perjanjian dalam suatu transaksi yang dilakukan dengan itikad baik. Jadi, apapun bentuk dan media dari kesepakatan tersebut, kesepakatan tersebut tetap berlaku dan mengikat para pihak karena perikatan tersebut merupakan undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya.78

Oleh karena itu, keberadaan ketentuan-ketentuan hukum mengenai perikatan terhadap transaksi elektronik sebenarnya tetap valid karena ketentuan-ketentuan ini mencakup semua media yang digunakan untuk melakukan transaksi tersebut, baik dengan media kertas maupun dengan media sistem elektronik. Namun, sampai sekarang ini dalam praktek masyarakat sering salah paham bahwa

77 Sri Hariningsih, www. legalitas. org., Keabsahan Transaksi Elektronik dan Aspek Hukum Pembuktian Terhadap Data Elektronik di Indonesia, 16 Maret 2009.

(3)

yang namanya transaksi harus dilakukan secara “ hitam di atas putih “ atau di atas kertas, dan harus bermaterai, padahal hal tersebut sebenarnya dimaksudkan agar ia lebih mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

Pada dasarnya, suatu permasalahan dapat timbul dari suatu transaksi apabila ada dari salah satu pihak yang ingkar janji. Penyelesaian permasalahan tersebut pada akhirnya selalu dikaitkan dengan apa yang menjadi bukti dari transaksi tersebut. Permasalahan yang lebih rumit dapat timbul dalam transaksi yang menggunakan sarana elektronik, hal ini karena penggunaan dokumen atau data elektronik sebagai akibat transaksi melalui media elektronik belum secara khusus diatur dalam hukum acara yang berlaku, baik dalam hukum acara perdata maupun dalam hukum acara pidana. Namun dengan dibentuknya UU ITE maka penggunaan dokumen atau data elektronik sebagai bukti dari suatu transaksi elektronik telah diterima secara sah dalam hukum Indonesia. Seperti dikatakan dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) UU ITE :

“ Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. “

Hal ini dipertegas lagi dengan ketentuan pada Pasal 5 ayat ( 2 ) UU ITE bahwa : “ Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. “

Dan sebenarnya, sebelum dibentuknya UU ITE mengenai penggunaan dokumen atau data elektronik sebagai bukti dari suatu transaksi elektronik telah diatur secara tegas dalam Pasal 15 ayat ( 1 ) UU No. 8 Tahun 1997 yang menyatakan bahwa dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam mikrofilm atau media

(4)

lainnya maupun hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Dan selanjutnya bila diperhatikan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1997 mengenai pengertian dokumen dan dikaitkan juga dengan ketentuan Pasal 12 ayat ( 1 ) dan ( 2 ) UU No. 8 Tahun 1997 mengenai pengalihan bentuk dokumen perusahaan jo Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian, maka transaksi melalui media elektronik adalah sah menurut hukum.

Lingkup keperdataan khususnya dalam aspek perikatan akan merujuk kepada semua jenis dan mekanisme dalam melakukan hubungan hukum secara elektronik mencakup jual beli, lisensi, asuransi. Lelang dan perikatan-perikatan lainnya yang berkembang sesuai dengan perkembangan mekanisme perdagangan di masyarakat. Transaksi elektronik ini pada prakteknya dalam masyarakat sering digunakan dalam aspek perdagangan yang dikenal dengan istilah transaksi e-commerce yang banyak menghasilkan kontrak-kontrak elektronik. Maka transaksi elektronik yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah transaksi elektronik yang terjadi dalam e-commerce. E-commerce pada dasarnya merupakan suatu kontrak transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Jadi, proses pemesanan barang, pembayaran transaksi hingga pengiriman barang dikomunikasikan melalui internet, dan pusat e-commerce yang tidak diragukan lagi adalah adanya kontrak.

Oleh karena itu, dalam bab ini akan diuraikan mengenai transaksi elektronik yang merupakan suatu kesepakatan elektronik dimana kesepakatan tersebut melahirkan bukti elektronik dalam pelaksanaannya dan dihubungkan dengan hukum kontrak elektronik.

(5)

A. Pengertian Transaksi Elektronik

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta, transaksi merupakan istilah dagang yang diartikan sebagai pemberesan pembayaran dalam perdagangan atau persetujuan jual beli dalam perdagangan.79

Dalam pengertian umum transaksi diartikan sebagai perjanjian jual beli antara para pihak yang bersepakat tersebut. Sedangkan dalam lingkup hukum sendiri, transaksi dapat diartikan sebagai penamaan terhadap keberadaan suatu perikatan ataupun hubungan hukum yang terjadi di antara para pihak. Dan dalam lingkup ilmu komunikasi ataupun teknologi sistem komunikasi, keberadaan transaksi dipahami sebagai suatu perikatan ataupun hubungan hukum antarpihak yang dilakukan dengan cara saling bertukar informasi untuk melakukan perdagangan Sementara itu transaksi elektronik diartikan sebagai setiap transaksi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih melalui jaringan komputer atau media elektronik lainnya, dengan menggunakan sistem informasi elektronik yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak yang bertransaksi.

Dalam perkembangannya sekarang ini, transaksi elektronik yang sering disebut sebagai “ online contract “ sebenarnya merupakan perikatan atau hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan sistem informasi berbasiskan komputer, dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan jasa telekomunikasi dimana transaksi elektronik ini difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global internet. Oleh karena itu,

79 W.J.S., Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hlm. 1089.

(6)

syarat sahnya perjanjian juga akan bergantung kepada inti dari sistem elektronik sebagai wujud bertemunya teknologi informasi, media dan telekomunikasi mencakup keberadaan content dari informasi itu sendiri, computing sebagai sistem informasinya, communication sebagai sarana pertukaran informasi serta community sebagai penggunanya, sehingga transaksi elektronik tersebut hanya dapat dikatakan sah bila dapat dipercaya dan/atau berjalan dengan seharusnya.80

Dalam UU ITE pada Pasal 1 angka 2, dikatakan bahwa :

“ Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. “

Dengan kemudahan berkomunikasi secara elekronik, maka perdagangan pada saat ini mulai merambat ke dunia elektronik. Transaksi dapat dilakukan dengan kemudahan teknologi informasi, tanpa adanya halangan jarak.

Sebelum melakukan transaksi elektronik, maka para pihak menyepakati terlebih dahulu sistem elektronik yang akan digunakan untuk melakukan transaksi tersebut. Setelah itu, transaksi elektronik baru terjadi jika ada penawaran yang dikirimkan oleh penawar kepada penerima dan ada persetujuan untuk menerima penawaran tersebut setelah penawaran diterima secara elektronik. Persetujuan dalam suatu transaksi elektronik harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.

B. Informasi, Dokumen dan Tanda Tangan Elektronik dalam Suatu Transaksi Elektronik

80 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika Suatu Kompilasi Kajian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 255.

(7)

1. Informasi Elektronik

Yang dimaksud dengan informasi elektronik dalam suatu transaksi elektronik dapat berupa catatan elektronik, dokumen elektronik, kontrak elektronik, surat elektronik, atau tanda tangan elektronik, juga meliputi informasi elektronik tertentu yang merupakan rujukan dari suatu informasi elektronik. Informasi elektronik tersebut memiliki makna tertentu atau menjelaskan isi atau substansi yang dimaksud oleh penggunanya. Dalam bab terdahulu telah disebutkan bahwa dalam UU ITE diberikan defenisi dari Informasi elektronik yaitu dalam Pasal 1 angka 1 UU ITE. Dari defenisi tersebut, termuat 3 ( tiga ) makna dari suatu informasi elektronik :

1. Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik 2. Informasi elektronik memiliki wujud diantaranya tulisan, suara, gambar 3. Informasi elektronik memiliki arti dan dapat dipahami.

Jadi, informasi elektronik dalam suatu transaksi elektronik adalah data elektronik yang memiliki wujud dan arti. Informasi elektronik yang tersimpan di dalam suatu media penyimpanan bersifat tersembunyi. Informasi elektronik dapat dikenali dan dibuktikan keberadaannya dari wujud dan arti dari informasi elektronik itu sendiri. Misalnya, si A mengaku kepada si B bahwa ia memiliki informasi elektronik yang disimpan dalam harddisk, agar si B dapat mempercayai bahwa si A memiliki informasi elektronik tersebut maka si A harus mampu menunjukkan keberadaan informasi elektronik tersebut, artinya informasi elektronik itu harus dapat diakses dan ditampilkan misalnya melalui monitor komputer. Informasi elektronik yang ditampilkan di monitor komputer tersebut

(8)

tentunya memiliki wujud, yaitu berupa tulisan. Dengan demikian si B dapat percaya dengan keberadaan informasi elektronik yang dimaksud oleh si A dengan melihat wujud dari informasi elektronik yang tampil di monitor komputer. Lalu, si B mencoba untuk mengenali informasi elektronik dengan mencoba memahami arti dari informasi elektronik yang dimaksudkan oleh si A, si A juga harus menjelaskan arti dari informasi elektronik tersebut kepada si B. Bila si A tidak dapat menunjukkan informasi elektronik yang dimaksud dan juga tidak mampu menjelaskan artinya maka si B dapat tidak mempercayai informasi elektronik yang dimaksudkan oleh si A.

Penentuan waktu kejadian merupakan salah satu pertimbangan penting secara hukum. Oleh karena itu, dalam pengaturan teknologi informasi, penentuan masalah waktu pengiriman dan penerimaan harus diatur secara khusus agar dapat tercipta kepastian yang berkaitan dengan waktu kejadian. Hal ini mengingat bahwa suatu informasi yang dikirimkan belum tentu langsung dibaca, dilihat atau didengar oleh penerima. Oleh karena itu, suatu informasi elektronik dalam suatu transaksi elektronik dianggap telah dikirim apabila informasi tersebut telah dikirimkan ke alamat yang benar oleh pengirim ke suatu sistem elektronik yang digunakan oleh penerima dimana pesan berada di luar kendali pengirim setelah informasi memasuki sistem tersebut. Sementara suatu informasi dianggap telah diterima apabila informasi tersebut telah memasuki sistem elektronik dibawah kendali atau sistem elektronik yang telah ditunjuk oleh penerima yang dituju. Namun peraturan ini dapat dikesampingkan oleh pengirim atau penerima bila

(9)

mereka telah melakukan perjanjian untuk mempermudah komunikasi mereka.81 Jika terdapat dua atau lebih sistem informasi yang digunakan dalam pengiriman ataupun penerimaan informasi elektronik dalam suatu transaksi elektronik, maka waktu pengiriman adalah ketika informasi elektronik memasuki sistem informasi pertama yang berada diluar kendali pengirim dan waktu penerimaan adalah ketika informasi elektronik memasuki sistem informasi terakhir yang berada di bawah kendali penerima.82

2. Dokumen Elektronik

Pengaruh globalisasi ekonomi dan informasi yang demikian luas saat ini karena perkembangan perekonomian dan perdagangan baik nasional maupun internasional yang bergerak cepat mengakibatkan meningkatnya penggunaan dokumen, sehingga mengharuskan dunia usaha memanfaatkan kemajuan teknologi untuk meningkatkan kemampuannya secara efektif dan efisien khususnya dalam pengelolaan dokumen perusahaan, sebab yang dipandang sering sekali melakukan suatu transaksi dalam perdagangan adalah perusahaan. Selain itu kewajiban perusahaan untuk menyimpan dokumen yang mereka miliki antara 10 ( sepuluh ) sampai dengan 30 ( tiga puluh ) tahun, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan dewasa ini. Selain ketentuan wajib menyimpan dokumen perusahaan juga wajib memiliki tata cara penyimpanan, pemindahan, pemusnahan dan penyerahan arsip yang tentu saja menimbulkan beban yang berat bagi perusahaan karena pelaksanaannya memerlukan ruangan yang luas, tenaga,

81 Ahmad M. Ramli,dkk, op cit, hlm. 15. 82 Ibid., hlm. 15.

(10)

waktu, perawatan dan biaya yang besar. Oleh karena itulah pemanfaatan teknologi IT yang berkembang saat ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mengalih mediakan dokumen yang berupa kertas ( hard copy ) menjadi dokumen elektronik ( soft copy ) sehingga manajemen kearsipan di perusahaan akan menuju ke era paperless yang tentu saja akan memudahkan pihak perusahaan dalam menata, mengatur dan merawat dokumen yang mereka miliki.

Dalam konsideran UU RI No. 8 tahun 1997 huruf f disebutkan bahwa kemajuan teknologi memungkinkan catatan dan dokumen yang dibuat di atas kertas dialihkan ke dalam media elektronik atau dibuat secara langsung dalam media elektronik. Hal ini selanjutnya lebih diperjelas dalam Pasal 15 UU No. 8 Tahun 1997 tersebut dengan menyebutkan :

(1) Dokumen perusahaan yang dimuat dalam microfilm atau media lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat ( 1 ) dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.

(2) Apabila dianggap perlu dalam hal tertentu dan untuk keperluan tertentu dapat dilakukan legalisasi terhadap hasil cetak dokumen perusahaan yang telah dimuat dalam microfilm atau media lainnya.

Dalam pendahuluan juga telah dijelaskan sekilas mengenai pengertian dari dokumen elektronik. Selain pengertian dokumen elektronik dalam pasal 1 angka 4 UU ITE, dokumen elektronik itu sendiri dapat disebut sebagai sesuatu materi atau isi yang disimpan dalam struktur yang dikenal, bermedia elektronik, dapat dimengerti yang dimaksud untuk digunakan dalam bentuk elektronik, tanpa dicetak walaupun pencetakan dimungkinkan untuk dilakukan. Media elektronik

(11)

yang dapat dipakai untuk menyimpan dan menampilkan dokumen elektronik tersebut yaitu komputer, dapat berupa komputer pribadi dengan sebuah monitor atau layar komputer, laptop atau komputer portabel, maupun sebuah Personal Digital Assistant. Adapun bentuk-bentuk dokumen elektronik ini dapat berupa file-file dalam program komputer, seperti tulisan, gambar, spreadsheet, video, suara, mikrofilm, e-mail, kontrak elektronik dan tanda tangan elektronik.

Dalam penerapannya terdapat hal-hal yang mendukung maupun yang kurang mendukung penggunaan dokumen elektronik dalam suatu transaksi elektronik.83

Hal-hal yang mendukung penggunaan dokumen elektronik dalam suatu transaksi elektronik, yaitu :

1. adanya online trading dalam kegiatan bursa efek,

2. pengakuan mikrofilm sebagai media penyimpanan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 15 UU No. 8 Tahun 1997,

3. adanya UU ITE yang mendukung penggunaan dokumen elektronik,

4. diterbitkannya Keputusan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor : 56/KEP/M.KOMINFO/12/2003 tentang Panduan Manajemen Sistem Dokumen Elektronik tanggal 29 Desember 2003 sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003,

5. dengan adanya teknologi yang cukup canggih, dokumen yang sengaja atau tidak sengaja terhapus dapat dilacak atau dikembalikan,

(12)

6. peranti lunak dokumen elektronik memudahkan kinerja banyak profesi, misalnya spreadsheet ( Excel ) untuk proses akuntansi, visio drawing juga autocad untuk menggambar atau untuk bidang-bidang arsitektur.

Hal-hal yang kurang mendukung penggunaan dokumen elektronik dalam suatu transaksi elektronik, yaitu :

1. dokumen elektronik sangat mudah untuk diduplikasikan sehingga tidak diketahui lagi data mana yang asli,

2. dokumen elektronik sebagai alat bukti dikhawatirkan dapat dipalsukan dan nantinya akan timbul masalah tentang keotentikan dari dokumen elektronik tersebut.

3. Tanda Tangan Elektronik

Mengingat transaksi elektronik sangat mudah disusupi atau diubah oleh pihak-pihak yang tidak berwenang, maka sistem keamanan dalam bertransaksi menjadi sangat penting untuk menjaga keaslian data tersebut, hal ini dapat dicapai dengan penggunaan tanda tangan elektronik.

Tanda tangan elektronik merupakan salah satu isu spesifik dalam e-commerce. Tanda tangan elektronik pada prinsipnya berkenaan dengan jaminan integritas untuk “ message integrity “ yang menjamin bahwa si pengirim pesan (sender ) adalah benar-benar orang yang berhak dan bertanggung jawab untuk itu. Hal ini berbeda dengan tanda tangan biasa yang berfungsi sebagai pengakuan dan penerimaan atas isi pesan/dokumen.

Tanda tangan elektronik merupakan sebuah item data yang berhubungan dengan sebuah pengkodean pesan digital yang dimaksudkan untuk memberikan

(13)

kepastian tentang keaslian data dan memastikan bahwa dokumen tidak termodifikasi. Tanda tangan elektronik sebenarnya bukan merupakan tanda tangan seperti yang dikenal selama ini, melainkan didasarkan dari isi pesan/dokumen itu sendiri. Sebuah tanda tangan elektronik harus mampu memberi jaminan integritas dari suatu dokumen elektronik. Adapun jaminan integritas terhadap dokumen elektronik ini dapat dicapai dengan menggunakan teknik kriptografi yaitu suatu teknik pengamanan serta penjaminan keotentikan data yang terdiri dari dua proses yaitu enkripsi dan deskripsi. Enkripsi adalah suatu proses yang dilakukan untuk membuat suatu data menjadi tidak dapat terbaca oleh pihak yang tidak berhak karena data-data tersebut telah dikonversikan ke dalam bahasa sandi atau kode-kode tertentu. Sedangkan, Deskripsi merupakan kebalikan dari enkripsi, yaitu merupakan proses menjadikan suatu data atau informasi yang telah dienkripsi menjadi dapat terbaca oleh pihak yang berhak. 84

Ada beberapa keuntungan yang ditawarkan dari penggunaan tanda tangan elektronik dengan menggunakan teknik kriptorafi ini, yaitu antara lain :85

1) Authenticity ( Ensured )

84 www. kholil. staff. uns. ac.id., Isu-isu Hukum dalam E-commerce dan E-contract.

(14)

Dengan menggunakan tanda tangan elektronik maka dapat ditunjukkan dari mana data/dokumen elektronik tersebut sesungguhnya berasal. Penerima pesan dapat mengetahui dan mempunyai kepastian siapa pengirim pesan dan bahwa benar pesan tersebut dikirim oleh si pengirim pesan. Hal ini juga berhubungan dengan suatu proses verifikasi terhadap identitas seseorang. Integritas pesan terjamin karena adanya digital certificate yang diperoleh berdasarkan aplikasi yang disampaikan kepada certification authority oleh user/subscriber. Adapun digital certificate ini berisi informasi mengenai pengguna, antara lain : identitas, kewenangan, kedudukan hukum dan status dari user/pengguna. Dengan keberadaan digital certificate ini maka pihak ketiga yang berhubungan dengan pemegang digital sertificate tersebut dapat merasa yakin bahwa pesan yang diterimanya adalah benar dan berasal dari pengguna tersebut.

2) Integrity

Penggunaan tanda tangan elektronik dapat menjamin bahwa pesan atau dokumen elektronik yang dikirimkan tersebut tidak mengalami suatu perubahan atau modifikasi oleh pihak-pihak yang tidak berwenang. Jaminan integrity ini dapat dilihat dari adanya fungsi hash yaitu suatu fungsi yang memetakan suatu dokumen asli ke suatu dokumen hasil pemetaannya, dalam sistem tanda tangan elektronik dimana penerima pesan/dokumen dapat melakukan pembandingan digest-nya.86 Digest atau yang disebut juga dengan

message data merupakan hasil pemetaan fungsi hash dari suatu data atau

86 Budi Agus Riswandi, Aspek Hukum Internet Banking, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 67.

(15)

pesan elektronik.87 Jika digest-nya sama dan sesuai maka pesan tersebut benar-benar otentik, tidak termodifikasi sejak dikirimkan sehingga terjamin keasliannya.

3) Non-Repudiation

Pengirim pesan tidak akan dapat menyangkal bahwa ia telah mengirimkan pesan tersebut. Ia juga tidak dapat menyangkal isi pesan tersebut. Hal ini disebabkan tanda tangan elektronik menggunakan enskripsi asimetris yang melibatkan kunci privat dan kunci publik. Suatu pesan yang telah di enskripsi dengan menggunakan kunci privat hanya dapat dibuka atau di deskripsi dengan kunci publik milik si pengirim.

4) Confidentiality

Dengan mekanisme tanda tangan elektronik yang sedemikian rupa maka akan dapat terjamin kerahasiaan dari suatu pesan yang dikirimkan. Hal ini dimungkinkan karena tidak semua orang dapat mengetahui isi pesan/data/dokumen elektronik yang telah di-sign dan dimasukkan dalam amplop digital ( digital envelope ) yang berfungsi menjamin kerahasiaan pesan.

87 Ibid., hlm 68.

(16)

Pada prinsipnya suatu tanda tangan elektronik dalam transaksi elektronik harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut :88

1. otentik; 2. aman;

3. interoperabilitas dari perangkat lunak, maupun jaringan dari penyedia jasa; 4. konfidensialitas;

5. hanya sah untuk dokumen tersebut saja atau kopinya yang sama persis; 6. dapat diperiksa dengan mudah;

7. divisibilitas, berkaitan dengan spesifikasi praktis transaksi baik untuk volume besar maupun transaksi skala kecil.

Tanda tangan elektronik menggunakan gabungan dua teknik kriptografi, yaitu hash dan kriptografi asimetris. Kriptografi asimetris disebut juga kriptografi kunci publik yaitu suatu fungsi yang melakukan enkripsi dan deskripsi dengan menggunakan dua buah kunci yaitu kunci publik dan kunci privat. Disebut asimetris karena ia memiliki sifat jika suatu dokumen dienkripsi menggunakan kunci publik, dokumen hasil enkripsinya hanya dapat dideskripsi menggunakan kunci privat, begitu juga sebaliknya. Kunci privat biasanya disimpan dan dirahasiakan oleh pengirim, sedangkan kunci publik disebarluaskan kepada calon-calon penerima. 89

88 Ahmad M. Ramli,dkk, op cit, hlm. 51. 89 Budi Agus Riswandi, op cit, hlm. 69.

(17)

Dokumen yang akan ditandatangani terlebih dahulu dibuat digest-nya, setelah itu digest tersebut dienkripsi dengan teknik kriptografi asimetris menggunakan kunci privat, hasilnya adalah tanda tangan elektronik. Dokumen asli dan tanda tangan elektronik tersebut kemudian dikirim secara bersamaan. Dokumen dan tanda tangan elektronik yang diterima tersebut kemudian diverifikasi. Tanda tangan elektronik yang diterima tersebut mula-mula dideskripsi menggunakan kunci publik yang dimiliki oleh si penerima. Hasil dari deskripsi tersebut adalah digest disebut D1 ( digest yang diperoleh dari tanda tangan elektronik ). Langkah selanjutnya adalah membuat digest dari dokumen yang diterima hasilnya disebut D2 ( digest yang diperoleh dari dokumen ). Langkah terakhir adalah membandingkan keduanya, yaitu, D1 dan D2 yang kesemuanya ini harus sama. Maksud dari keduanya sama mengandung dua pengertian. Pertama, dokumen yang diterima terbukti otentik. Jika tanda tangan elektronik yang diterima dapat dideskripsi dengan kunci publik pengirim ( telah disebarluaskan kepada penerima ), pasti sebelumnya telah dienkripsi menggunakan kunci privat pengirim dan kunci privat tersebut hanya dimiliki oleh si pengirim. Kedua, dokumen yang diterima terbukti isinya tidak diubah di tengah jalan pada waktu dikirim. Jika

(18)

dokumen tersebut diubah ditengah jalan, D1 dan D2 tidak akan sama.90

Tanda tangan elektronik ini terbatas masa berlakunya, di Amerika Serikat misalnya, kebanyakan penyelenggara Certification Authority ( CA ) memberi batas waktu 1 ( satu ) tahun untuk masa berlakunya suatu tanda tangan elektronik. Dengan demikian dokumen yang dibubuhi tanda tangan elektronik yang telah habis masa berlakunya tidak dapat diterima. Pembatasan masa berlaku tanda tangan elektronik dilakukan dengan time-stamp atau stempel waktu digital. Oleh karena itu, setiap kontrak elektronik harus didaftarkan untuk dibubuhi dengan stempel waktu digital pada saat ditandatangani. Dengan pembubuhan stempel waktu digital, maka tanda tangan elektronik ini dapat berlaku sampai berakhirnya masa berlaku tanda tangan elektronik tersebut. Apabila masing-masing pihak memegang salinan dari stempel waktu digital tersebut, maka masing-masing pihak dapat membuktikan bahwa kontrak tersebut ditandatangani dengan kunci yang sah. Pada prakteknya, stempel waktu digital ini dapat menjadi bukti keabsahan kontrak elektronik meskipun salah satu kunci dari penanda tangan mengalami perubahan setelah penandatanganan kontrak elektronik tersebut. Setiap kontrak

90 Ibid., hlm. 70.

(19)

yang ditandatangani secara elektronik dapat dibubuhi stempel waktu digital, untuk menjamin bahwa tanda tangan elektronik yang dibubuhkan di kontrak tersebut dapat diverifikasi setelah kunci masing-masing penanda tangan habis masa berlakunya.

C. Prinsip-prinsip Hukum Kontrak Elektronik

Sekalipun online contracting adalah fenomena baru, tetapi semua negara tetap memberlakukan prinsip dan peraturan hukum kontrak yang telah dianutnya. Kontrak elektronik dalam suatu transaksi elektronik harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan kontrak konvensional. Oleh sebab itu kontrak elektronik harus juga mengikat para pihak dan memperhatikan syarat sahnya perjanjian. Prinsip-prinsip hukum kontrak selain berlaku untuk kontrak konvensional, berlaku juga untuk kontrak-kontrak elektronik, karena pada dasarnya tidak ada perbedaan antara kontrak konvensional dengan kontrak elektronik, yang membedakan keduanya hanyalah media dari kontrak tersebut. Kontrak konvensional dilakukan dengan media kertas sedangkan kontrak konvensional dilakukan melalui internet.

Oleh karena itu, berikut ini penulis akan menguraikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum kontrak elektronik baik yang diatur dalam KUHPerdata maupun UU ITE.

1. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek ) Dalam KUHPerdata, sebenarnya tidak ada diatur mengenai prinsip dalam kontrak elektronik, tetapi telah dijelaskan sebelumnya bahwa kontrak

(20)

konvensional tidak berbeda dengan kontrak elektronik kecuali medianya, maka prinsip-prinsip hukum kontrak yang diatur dalam buku III KUHPerdata juga berlaku bagi kontrak-kontrak elektronik. Prinsip-prinsip yang paling mendasar dalam hukum kontrak ada 5 ( lima ) yaitu :

a. prinsip kebebasan berkontrak

Kebebasan berkontrak adalah salah satu prinsip dalam hukum umum yang berlaku di seluruh dunia. Prinsip kebebasan berkontrak atau yang sering juga disebut dengan sistem terbuka adalah adanya kebebasan yang seluas-luasnya yang diberikan oleh undang-undang kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian atau kontrak tentang apa saja, diatur dengan cara apa saja dan perjanjian atau kontrak tersebut akan mengikat kepada para pihak sebagaimana halnya undang-undang, asalkan hal tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Hal ini diatur dalam Pasal 1338 ayat ( 1 ) KUHPerdata.

Para pihak pembuat kontrak bebas untuk membuat kontrak dengan isi apa saja. Peraturan hukum yang tersirat dalam KUHPerdata hanya bersifat sebagai pelengkap dan akan berlaku bagi para pihak jika pihak-pihak yang membuat kontrak tersebut tidak mengaturnya sendiri di dalam kontrak, kecuali ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa yang memang wajib dan harus dipatuhi.

Prinsip kebebasan berkontrak ini juga berlaku bagi kontrak elektronik, para pihak bebas untuk membuat kontrak elektronik tentang sesuatu hal dengan bentuk yang bebas pula dan kebebasan berkontrak juga dapat dilihat dalam suatu kontrak atau transaksi elektronik dimana para pihak bebas untuk memilih hukum

(21)

yang berlaku bagi transaksi elektronik Internasional yang dibuatnya dan para pihak juga bebas untuk menentukan forum pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang untuk menangani sengketa yang mungkin saja timbul dari suatu transaksi elektronik Internasional yang dibuatnya.

b. prinsip konsensualisme

Dalam hukum perjanjian dikenal adanya prinsip konsensualisme yang berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Prinsip konsensualisme dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat ( 1 ) KUHPerdata. Dalam pasal ini ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan antara kedua belah pihak. Prinsip konsensualisme merupakan prinsip yang menyatakan bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian tersebut telah sah jika telah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan lagi formalitas.

Di dalam kontrak elektronik dikenal juga prinsip konsensulisme, namun berbeda dengan prinsip konsensualisme yang berlaku pada kontrak konvensional, dimana kata sepakat diperoleh bila para pihak telah bertemu dan sepakat untuk membuat suatu perjanjian, dalam suatu kontrak elektronik kata sepakat diperoleh apabila salah satu pihak telah menyetujui penawaran pihak lain dengan mengklik tombol “ OK “ atau menelepon atau mengirim e-mail ke si penawar. Sebagai contoh :

Si A membuka website dari sebuah provider dan dia membaca “ welcome to XXX.com. We are delighted you have visited our site. By visiting here, you have

(22)

been entered as a subscriber to our newsletter “ XXXNews “, which will be sent to you electronically every week at a cost of $ 5.00 per week. We will send you an invoice every month. You may cancel your subscription at any time... “

“...For a subscription, clik the “ OK “ button, or For a subscription, call 1-800-345-4444 and give your name and address at the tone, or send e-mail with the

words “ aaa “ to subscribe@XXX.com “91

Pesan di atas berisikan suatu penawaran ( offer ) dari pihak XXX.com dengan ketentuan mengenai cara penerimaan, cara pembayaran dan penghentian kontrak serta kewajiban pihak pertama dan pihak kedua. Dalam hal ini pihak pertama adalah XXX.com dan pihak kedua adalah si A. Kesepakatan diterimanya penawaran kontrak akan terjadi bilamana A melaksanakan pesan di atas yaitu dengan menekan tombol “ OK “ atau dengan menelepon nomor yang telah diberikan pada pesan tersebut ataupun dengan mengirim e-mail ke alamat e-mail yang telah diberikan. Bila A tidak memberi respon apapun terhadap pesan yang berisi penawaran tersebut maka penerimaan ( acceptance ) tersebut tidak terwujud dan kesepakatan tidak tercapai.

c. prinsip itikad baik

Pasal 1338 ayat ( 3 ) KUHPerdata menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik ( tegoeder trouw ). Prinsip itikad baik merupakan salah satu sendi penting dalam hukum perjanjian. Artinya, dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Selain itu, setiap pihak yang membuat dan

(23)

melaksanakan perjanjian juga harus selalu melandasinya dengan niat baik. Jika kemudian hari ditemukan pelaksanaan yang dapat dikatakan sebagai hal yang wanprestasi ( ketiadaan prestasi ) terhadap kontrak, pihak yang melakukan hal tersebut telah melanggar prinsip itikad baik.

Dalam pelaksanaan suatu kontrak elektronik juga diterapkan prinsip itikad baik. Pihak-pihak yang membuat kontrak tersebut harus dilandasi dengan niat yang baik dalam memuat hal-hal yang diperjanjikan. Misalnya penawar harus mengindahkan norma kepatutan dan kesusilaan dalam menawarkan produknya, dan pihak penawar juga tidak boleh berbohong kepada konsumen mengenai produknya tersebut. Demikian pula dengan pihak yang menerima penawaran, bila ia telah menyetujui suatu penawaran dan telah memperoleh suatu produk maka ia juga harus memenuhi kewajibannya. Prinsip itikad baik dalam suatu kontrak elektronik ini sangat penting sekali mengingat dalam suatu transaksi elektronik para pihak tidak harus bertatap muka satu sama lain untuk dapat melakukan suatu transaksi, sebab transaksi tersebut dapat dilakukan melalui media elektronik. Dan bila nantinya salah satu pihak menemukan bahwa pihak yang lain tidak mempunyai itikad baik dalam melaksanakan suatu kontrak maka pihak yang dirugikan tersebut dapat menggugat pihak lain tersebut ataupun kontrak dapat dibatalkan.

d. prinsip kepastian hukum

Prinsip kepastian hukum atau yang dikenal juga dengan istilah pacta sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 ayat ( 1 ) KUHPerdata. Pasal ini menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

(24)

pihak yang membuatnya. Dengan demikian, pasal tersebut juga menyatakan tentang kekuatan perjanjian, yaitu bahwa kekuatan perjanjian adalah sama dengan undang-undang dan kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah.

Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak pembuatnya. Dengan kata lain, para pihak pembuat kontrak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat. Dalam hal ini, fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya. Demikian pula dalam suatu kontrak elektronik dimana kontrak yang telah dibuat oleh para pihak tersebut mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang telah membuat kontrak melalui internet tersebut.

e. prinsip kepribadian

Prinsip kepribadian adalah prinsip yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat suatu kontrak adalah hanya untuk kepentingan perseorangan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340 KUHPerdata.

Pasal 1315 KUHPerdata menyatakan :

“ Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri. “ Pasal 1340 KUHPerdata menyatakan :

“ Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya. “

(25)

pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya, tidak berlaku bagi pihak ketiga atau pihak-pihak diluar perjanjian tersebut. Namun, ada pengecualian dari ketentuan tersebut, sebagaimana yang dapat pada Pasal 1317 KUHPerdata.

Pasal 1317 KUHPerdata menyatakan :

“ Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seseorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu.

Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya. “

Prinsip kepribadian ini tidak hanya berlaku bagi kontrak-kontrak konvensional tapi juga berlaku bagi kontrak elektronik dimana kontrak elektronik tersebut hanya berlaku bagi pihak-pihak yang membuatnya, dalam hal ini pihak penawar dan pihak yang menerima penawaran tersebut. Kontrak elektronik tersebut mereka perbuat untuk kepentingan mereka sendiri dan mengikat mereka selaku para pihak dalam kontrak elektronik tersebut.

2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008

Selain prinsip-prinsip kontrak yang terdapat dalam buku III KUHPerdata, UU ITE sendiri juga mengatur beberapa prinsip-prinsip dalam kontrak elektronik, walaupun tidak diatur secara jelas tetapi beberapa pasal dalam undang-undang ini secara tersirat mengatur mengenai prinsip-prinsip kontrak dalam suatu transaksi elektronik.

a. prinsip kepastian hukum

Dalam Pasal 18 ayat ( 1 ) UU ITE disebutkan bahwa :

(26)

mengikat para pihak. “

Suatu transaksi elektronik mengikat pihak-pihak yang saling terkait di dalamnya, artinya suatu kontrak elektronik merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, apabila ada salah satu pihak yang melanggar kontrak elektronik tersebut maka pihak yang lain dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang melanggar kontrak tersebut.

b. prinsip itikad baik

Sama halnya seperti dalam KUHPerdata dalam UU ITE juga ada diatur mengenai prinsip itikad baik dalam melakukan suatu kontrak elektronik. Hal ini diatur dalam Pasal 17 ayat ( 2 ) UU ITE. Pasal ini menyatakan:

“ para pihak yang melakukan transaksi elektronik wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung. “

Prinsip itikad baik berarti para pihak yang bertransaksi tidak bertujuan untuk secara sengaja mengakibatkan kerugian kepada pihak lainnya tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut. Seperti telah disinggung sebelumnya dalam prinsip itikad baik dalam suatu kontrak elektronik menurut KUHPerdata, bahwa para pihak yang membuat suatu kontrak haruslah mempunyai itikad baik dalam melaksanakan kontrak elektronik tersebut, sebab dalam suatu kontrak elektronik para pihak dapat membuat suatu kontrak tanpa harus bertemu terlebih dahulu, hanya melalui perantaraan media elektronik. Dalam suatu kontrak elektronik para pihak tidak boleh mempunyai niatan yang buruk, pihak penawar harus jujur mengenai produknya dan produk yang diperjanjikan tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, norma kepatutan maupun

(27)

norma kesusilaan. Dalam suatu transaksi atau kontrak elektronik dilarang adanya tindakan yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen, hal ini diatur dalam Pasal 28 ayat ( 1 ) UU ITE, apabila hal ini terjadi maka pihak atau orang yang melakukannya dapat dikenai pidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan atau dikenai denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah ) sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat ( 2 ) UU ITE. Dan bilamana pihak yang menerima penawaran tidak memiliki itikad baik dalam melaksanakan suatu kontrak, pihak penawar dapat mengajukan gugatan.

c. prinsip konsensualisme

Dalam UU ITE dalam Pasal 20 diatur mengenai kapan suatu transaksi elektronik dikatakan terjadi.

Pasal 20 UU ITE ayat ( 1 ) menyatakan :

“ Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima. “

Pasal 20 UU ITE ayat ( 2 ) menyatakan :

“ Persetujuan atas penawaran transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. “

Dari Pasal ini dapat dilihat bahwa dalam UU ITE juga diatur mengenai prinsip konsensualisme dalam melakukan kontrak elektronik, dengan penerapan yang berbeda dengan kontrak konvensional, dimana dalam kontrak elektronik kesepakatan terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim oleh pengirim diterima dan disetujui oleh penerima, dan persetujuan akan kesepakatan tersebut

(28)

harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik, misalnya dengan mengirimkan e-mail konfirmasi.

d. prinsip keterbukaan atau transparansi

Mengenai prinsip keterbukaan atau transparansi dalam suatu kontrak elektronik dalam UU ITE diatur dalam Pasal 9 yang menyatakan :

“ Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. “

Dengan adanya prinsip ini maka suatu perusahaan atau pihak yang menawarkan produk harus terbuka atas produk yang dikeluarkan dan isi kontrak yang dibuat tidak boleh mengandung unsur yang merugikan konsumen, bila hal ini dilakukan maka perusahaan atau pihak penawar tersebut dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 45 ayat ( 2 ) UU ITE.

e. prinsip kebebasan kontrak yang terbatas

Para pihak dalam melakukan kontrak dengan cara apa saja, dalam hal kontrak elektronik kontrak dibuat dengan menggunakan media elektronik dalam hal ini internet. Para pihak juga bebas membuat kontrak tentang apa saja, dan perjanjian atau kontrak tersebut akan mengikat kepada para pihak sebagaimana halnya undang-undang. Ini juga berlaku dalam kontrak elektronik hanya saja dalam kontrak elektronik ada barang-barang tertentu yang tidak boleh diperjualbelikan, seperti misalnya hewan. Ada juga barang-barang yang tidak dapat diperjualbelikan melalui transaksi elektronik, seperti tanah. Karena disyaratkan bahwa jual beli tanah harus dituangkan dalam akta, yaitu akta Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ). Dari sini tampak adanya prinsip kebebasan

(29)

kontrak yang terbatas.

Pasal yang menjadi dasar hukum prinsip kebebasan berkontrak yang terbatas ini adalah Pasal 18 ayat ( 1 ) dan Pasal 19 UU ITE.

Bunyi dari Pasal 18 ayat ( 1 ) UU ITE ini adalah :

“ Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak. “

Pasal 19 menyatakan bahwa :

“ Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati. “

Dari kedua pasal ini diberikan kebebasan kepada para pihak untuk dapat melakukan transaksi elektronik ke dalam kontrak elektronik dengan bentuk apa saja tetapi kontrak elektronik atau transaksi elektronik tersebut juga dibatasi, dimana para pihak harus menggunakan sistem elektronik yang telah disepakati.

Adapun perjanjian atau kontrak yang dinyatakan sah adalah suatu perjanjian atau kontrak yang memenuhi keempat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa syarat sahnya perjanjian ini tidak hanya berlaku bagi perjanjian atau kontrak konvensional saja tapi juga bagi kontrak-kontrak elektronik.

1) Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya

Suatu kesepakatan selalu diawali dengan adanya suatu penawaran oleh suatu pihak dan dilanjutkan dengan adanya tanggapan berupa penerimaan oleh pihak lain. Jika penawaran tersebut tidak mendapat tanggapan oleh pihak lain maka tidak akan ada kesepakatan. Dan untuk melahirkan suatu kesepakatan

(30)

diperlukan adanya dua pihak. Kesepakatan dalam kontrak adalah perasaan rela atau ikhlas di antara pihak-pihak yang membuat kontrak tersebut mengenai hal-hal yang dituangkan dalam kontrak. Kesepakatan dinyatakan tidak ada jika kontrak dibuat atas dasar penipuan, kesalahan, paksaan dan penyalahgunaan keadaan.

Pada kontrak konvensional kesepakatan dapat dengan mudah diketahui karena kesepakatan dapat langsung diberikan baik secara lisan maupun tulisan. Akan tetapi, dalam transaksi elektronik, kesepakatan dalam kontrak diberikan tidak secara langsung melainkan melalui media elektronik dalam hal ini adalah internet.

Dalam suatu transaksi elektronik, khususnya transaksi e-commerce, pihak yang memberikan penawaran adalah pihak penjual yang menawarkan barang dagangannya melalui website. Semua pihak pengguna internet yang disebut dengan netter dapat dengan mudah masuk untuk melihat barang-barang yang ada pada toko virtual tersebut ataupun untuk membeli barang yang mereka inginkan. Jika pembeli tertarik pada satu barang, ia hanya perlu mengklik barang yang sesuai dengan keinginannya. Biasanya setelah pesanan tersebut sampai di tempat penjual, maka penjual akan mengirim e-mail atau melalui telepon untuk mengkonfirmasi pesanan tersebut kepada konsumen dalam hal ini pihak pembeli. Dalam transaksi e-commerce, tidak ada proses tawar menawar seperti halnya pada transaksi jual beli secara langsung. Barang dan harga yang ditawarkan terbatas dan telah ditentukan oleh penjual. Jika pembeli tidak setuju atau tidak sepakat maka pembeli bebas untuk tidak melakukan transaksi, dan pembeli dapat mencari

(31)

website atau toko virtual lainnya yang lebih sesuai dengan keinginannya. Kesepakatan dihasilkan dalam suatu transaksi e-commerce jika pembeli menyepakati barang dan harga yang ditawarkan oleh penjual.

Mengenai kesepakatan dalam transaksi e-commerce, negara-negara yang tergabung dalam masyarakat ekonomi Eropa telah memberikan garis-garis petunjuk kepada para negara anggotanya, dengan memberlakukan sistem “ 3 klik “. Adapun cara kerja sistem ini, yaitu setelah calon pembeli melihat di layar komputer ada penawaran dari calon penjual ( klik pertama ), si calon pembeli memberikan penerimaan terhadap penawaran tersebut ( klik kedua ). Dan kemudian masih disyaratkan adanya peneguhan dan persetujuan dari calon penjual kepada pembeli perihal diterimanya penerimaan dari calon pembeli ( klik ketiga ). Sistem “ 3 klik “ ini dipandang jauh lebih aman dari sistem “ 2 klik “, karena dalam sistem “ 2 klik “ penjual dapat mengelak dengan menyatakan kepada calon pembeli bahwa ia tidak pernah menerima penerimaan dari calon pembeli, dimana hal ini tentunya akan merugikan pembeli.92 Mengenai ketentuan semacam ini di Indonesia belum ada diatur, tapi penulis yakin seiring dengan semakin berkembangnya transaksi e-commerce dan perlunya perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna e-commerce, pemerintah akan lebih berusaha lagi membentuk peraturan-peraturan yang memberikan kepastian atau jaminan hukum terhadap konsumen sehubungan dengan transaksi-transaksi elektronik ini.

Transaksi e-commerce sebagai suatu kontrak atau perjanjian juga dapat dibatalkan. Pembeli yang telah menyepakati barang dan harga masih memiliki

(32)

kesempatan untuk membatalkan perjanjian jual-beli dengan fasilitas “ cancel an order “, tetapi dengan catatan bahwa barang belum masuk dalam tahap pengiriman. Penjual juga dapat membatalkan perjanjian bila ternyata yang melakukan transaksi terbukti tidak cakap atau ternyata ada unsur penipuan, kesalahan, paksaan dan penyalahgunaan keadaan

2) Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan

Orang-orang yang yang akan mengadakan transaksi haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh UU. Orang yang cakap atau mempunyai wewenang dalam melakukan suatu perbuatan hukum dalam hal ini perikatan atau transaksi adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan dalam hukum perdata adalah orang yang telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Dalam KUHPerdata Pasal 1330 ada juga diatur mengenai orang yang tidak cakap membuat suatu perikatan, yaitu :

1. anak di bawah umur,

2. orang yang di taruh di bawah pengampuan ( gila, dungu, lemah akal dan pemboros ), dan

3. istri.

Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum yang dalam hal ini adalah perikatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo SEMA No. 3 Tahun 1963.

Dalam transaksi e-commerce sangat sulit menentukan seseorang yang melakukan transaksi, telah dewasa atau tidak berada di bawah pengampuan karena

(33)

proses penawaran dan penerimaan tidak dilakukan secara langsung melainkan melalui media virtual yang rawan akan tindakan penipuan. Dan jika pada akhirnya diketahui bahwa ternyata orang yang melakukan transaksi adalah orang yang tidak cakap, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut agar transaksi dibatalkan. 3) Suatu Hal Tertentu

Hal tertentu mempunyai maksud bahwa objek yang diatur dalam kontrak harus jelas atau setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi, tidak boleh mengambang atau samar-samar. Hal ini sangat penting dilakukan untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada para pihak dalam membuat dan melaksanakan kontrak. Selain itu, juga untuk mencegah munculnya kontrak fiktif. Misalnya, dalam jual beli sebuah sepeda motor harus jelas merek, tahun pembuatan, warna, nomor mesin, dan hal lain yang berkaitan dengan motor yang akan dijual tersebut. Hal yang harus dihindari adalah lupa mendefenisikan objek yang menjadi kesepakatan yang tertuang dalam suatu kontrak. Misalnya, sewa menyewa sebuah rumah tanpa menyebutkan tipe, luas tanah, letak, fasilitas yang didapat di rumah tersebut dan spesifikasi lainnya. Sehubungan dengan pokok perikatan yang justru menjadi isi dari kontrak, maka suatu kontrak harus mempunyai pokok atau objek barang yang setidak-tidaknya dapat ditentukan jenisnya. Sementara itu, mengenai jumlah dari objek kontrak tersebut dapat tidak ditentukan pada saat dibuatnya kontrak, asal nantinya dapat dihitung dan ditentukan jumlahnya ( Pasal 1333 KUHPerdata ). Dan perlu pula diingat bahwa suatu kontrak harus berisi objek yang dapat ditentukan agar kontrak mudah dilaksanakan tanpa perlu mengaturnya kembali, dan jika objek dari kontrak tidak dapat ditentukan maka kontrak tersebut menjadi

(34)

tidak sah atau batal demi hukum.

Hal tersebut di atas juga berlaku dalam kontrak-kontrak elektronik hanya saja dalam transaksi atau kontrak elektronik ada barang-barang tertentu yang tidak boleh diperjualbelikan, seperti misalnya hewan. Ada juga barang-barang yang tidak dapat diperjualbelikan melalui transaksi online ini, seperti tanah. Karena disyaratkan bahwa jual beli tanah harus dituangkan dalam akta, yaitu akta Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT ). Untuk saat ini proses pembuatan akta tersebut tidak dimungkinkan di buat secara online sehingga harus dilakukan secara langsung dihadapan pejabat yang berwenang, kecuali jika dalam perkembangannya ada undang-undang yang mengatur bahwa semua pembuatan akta dapat dilakukan melalui media elektronik.93

4) Suatu Sebab yang Halal

Suatu sebab yang halal berarti bahwa kesepakatan yang tertuang dalam suatu kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Misalnya, perjanjian jual beli narkoba adalah tidak sah karena bertentangan perundang-undangan dan ketertiban umum. Mengenai suatu sebab yang halal dapat ditemukan di beberapa pasal dalam KUHPerdata, terutama Pasal 1336 KUHPerdata yang menyatakan “ bahwa jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi terdapat sesuatu sebab yang halal ataupun jika ada suatu sebab lain yang dinyatakan, maka kontrak sebagaimana diatur demikian adalah sah “. Kontrak yang tanpa sebab menjadi kontrak yang sah jika terdapat sesuatu yang diperbolehkan.

93 Ibid., hlm. 268.

(35)

Ketentuan mengenai suatu sebab yang halal ini juga berlaku dalam transaksi atau kontrak-kontrak elektronik, bahwa isi dari kontrak elektronik tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan, bila demikian maka kontrak elektronik tersebut tidak sah.

(36)

KEDUDUKAN DAN PELAKSANAAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK PADA PERKARA PERDATA

Meskipun istilah e-commerce itu sendiri baru saja muncul di Indonesia, sebenarnya e-commerce telah muncul dalam dua puluh tahun belakangan ini dalam bentuk yang beraneka ragam. E-commerce muncul seiring dengan populernya teknologi Electronic Data Interchange ( EDI ) dan Electronic Funds Transfer ( EFT ) yang pertama kali dikenal pada akhir tahun 1970-an. Pada tahun 1980-an mulai diperkenalkan penggunaan Credit Cards, Automated Teller Machines, dan Telephone Banking. Jadi, sebenarnya masyarakat telah lama mengenal bahkan melakukan transaksi e-commerce tetapi istilahnya saja yang baru muncul.

Adapun beberapa prinsip utama yang terdapat dalam UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, sehubungan dengan suatu transaksi elektronik adalah sebagai berikut :94

1. Segala informasi elektronik dalam bentuk data elektronik dapat dikatakan memiliki akibat hukum, keabsahan ataupun kekuatan hukum.

2. Dalam hukum mengharuskan adanya suatu informasi dalam bentuk tertulis, suatu data elektronik dapat memenuhi syarat untuk itu.

3. Dalam hal tanda tangan, suatu tanda tangan elektronik merupakan tanda tangan yang sah. Transaksi elektronik dapat dilakukan dengan tanda tangan digital atau tanda tangan elektronik. Tanda tangan elektronik

120

(37)

adalah pendekatan yang dilakukan oleh teknologi encryption terhadap kebutuhan akan adanya suatu tanda tangan atau adanya penghubung antara satu dokumen/data/messages dengan orang yang membuat atau menyetujui dokumen tersebut.

4. Dalam hal kekuatan pembuktian dari data bersangkutan, data message memiliki kekuatan pembuktian.

Berkenaan dengan format dan keabsahan kontrak dalam BAB III Model Law ini dikatakan bahwa : “ suatu penawaran dan penerimaan tawaran tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk data message, dan jika data tersebut digunakan sebagai format dari suatu kontrak, kontrak tersebut tidak dapat ditolak keabsahannya dan kekuatan hukumnya dimana data tersebut digunakan, dan dalam hal pihak-pihak yang melakukan offer dan acceptance dikatakan sebagai originator yaitu sebagai pihak yang melakukan suatu pengiriman data dan pihak yang menerima data dikatakan sebagai addressee. “95

Dalam transaksi elektronik yang berlangsung dengan menggunakan media elektronik, transaksi dilakukan tanpa tatap muka di antara para pihak. Bukti atas transaksi yang dilakukan tersimpan dalam bentuk dokumen atau data elektronik yang terekam dalam sistem penyimpanan dokumen di komputer. Mengenai alat-alat bukti dalam transaksi elektronik, Michael Chissick dan Alistair Kelman menyatakan ada tiga tipe pembuktian yang dibuat oleh komputer, yaitu :96

1. Real Evidence ( bukti nyata )

Real evidence atau bukti nyata meliputi hasil rekaman langsung dari

95 www. santoslolowang. com, Uncitral Model Law on Electronic Commerce, 8 April 2009.

(38)

aktivitas elektronik seperti rekaman transaksi, kalkulasi-kalkulasi atau analisa-analisa yang dibuat oleh komputer itu sendiri melalui pengaplikasian

software dan penerima informasi dari devise lain seperti yang built-in

langsung dalam komputer atau remote sender. Bukti nyata ini muncul dari berbagai kondisi. Jika sebuah komputer bank secara otomatis mengkalkulasi ( menghitung ) nilai pembayaran pelanggan terhadap bank berdasarkan tarifnya, transaksi-transaksi yang terjadi dan credit balance yang dikliring secara harian, maka kalkulasi ini akan digunakan sebagai sebuah bukti nyata.

2. Hearsay Evidence ( bukti yang berupa kabar dari orang lain )

Termasuk pada hearsay evidence adalah dokumen-dokumen atau data yang diproduksi oleh komputer yang merupakan salinan dari informasi yang diberikan ( dimasukkan ) oleh seseorang ke dalam komputer. Cek yang ditulis dan slip pembayaran yang diambil dari sebuah rekening bank juga termasuk hearsay evidence.

3. Derived Evidence

Yang dimaksud dengan derived evidence adalah informasi yang mengkombinasikan antara bukti nyata ( real evidence ) dengan informasi yang dimasukkan oleh seseorang ke komputer dengan tujuan untuk membentuk sebuah dokumen atau data yang tergabung. Contoh dari derived evidence adalah tabel dalam kolom-kolom harian sebuah statement bank karena tabel ini diperoleh dari real evidence ( yang secara otomatis membuat tagihan bank ) dan hearsay evidence ( check individu dan entry

(39)

pembayaran lewat slip-paying in ).

Dengan dilakukannya ketiga pendekatan tersebut terhadap bukti elektronik maka akan membantu hakim dalam memutuskan suatu perkara.

Mengenai pembuktian isi dari dokumen itu sendiri memang tidak mudah untuk dibuktikan. Sifat yang ingin dibuktikan adalah sifat integrity. Sifat ini dapat terjaga dan dibuktikan jika digunakan tanda tangan elektronik untuk mengesahkan dokumen tersebut. Dengan tanda tangan elektronik perubahan satu huruf saja dari suatu dokumen elektronik akan dapat menunjukkan bahwa dokumen tersebut telah mengalami perubahan. Tanpa tanda tangan elektronik akan sulit melakukan suatu pembuktian, namun bukan berarti tidak dapat dilakukan.

UU ITE akhirnya mencantumkan informasi elektronik atau dokumen elektronik atau hasil cetaknya sebagai alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku sebagaimana termuat dalam Pasal 5 undang-undang ini. Dengan adanya pasal tersebut, akhirnya mengakhiri perdebatan ahli dan praktisi hukum mengenai e-mail serta dokumen elektronik lainnya tergolong dalam alat bukti yang sah menurut undang-undang. Hal ini membuat para hakim tidak ragu untuk mengkategorikan informasi elektronik,dokumen elektronik, bahkan tanda tangan elektronik sebagai alat bukti.

Pasal 9 UU ITE menegaskan bahwa pelaku usaha harus memberikan informasi yang benar mengenai produk atau barang dan jasa yang ditawarkan. Sebab tidak dipungkiri lagi bahwa transaksi melalui dunia maya atau e-commerce memungkinkan terjadinya ketidaksesuaian barang yang diterima oleh pembeli dengan informasi yang diberikan oleh penjual atau pelaku usaha. UU ITE sendiri

(40)

tidak menjelaskan sanksi yang diberikan seandainya pelaku usaha melakukan pelanggaran dengan memberikan informasi yang tidak benar atas barang maupun jasanya. Akan tetapi, bukan berarti pelaku usaha tersebut tidak dapat dikenai sanksi dan lolos dari jeratan hukum apabila melakukan hal tersebut diatas. Peraturan perundang-undangan hukum acara yang telah ada.

A. Kedudukan dan Kekuatan Hukum Informasi, Dokumen dan Tanda Tangan Elektronik sebagai Alat Bukti

Telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa hukum pembuktian mengandung segala aturan pokok pembuktian dalam perkara-perkara perdata. Pembuktian dilakukan terhadap suatu sengketa di depan persidangan. Dimana para pihak dapat mengemukakan fakta atau peristiwa yang dijadikan dasar untuk menetapkan atau membantah hak dan kewajiban dirinya atau orang lain. Sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia seperti yang diatur menurut Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 284 RBg/164 HIR, alat-alat bukti yang sah terdiri dari bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Apabila dilihat dari kelima macam alat bukti dalam Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 284 RBg/164 HIR, dokumen elektronik termasuk dalam kategori alat bukti tulisan. Hal ini dikarenakan pada hakikatnya dokumen elektronik ini merupakan tulisan yang dituangkan dalam sebuah surat elektronik, dimana tujuan dari pembuatan tulisan tersebut adalah untuk mewujudkan suatu kejadian yang telah terjadi dan menyatakan perbuatan hukum yang harus dilakukan oleh seseorang. Keberadaan dokumen elektronik juga dimaksudkan

(41)

untuk mengutarakan maksud seseorang atau kedua belah pihak dalam bentuk surat elektronik yang disetujui bersama.

Pengakuan catatan transaksi elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan telah dirintis oleh UNCITRAL yang mencantumkan dalam Model Law on E-Commerce ketentuan mengenai transaksi elektronik diakui sederajat dengan tulisan di atas kertas sehingga tidak dapat ditolak sebagai bukti pengadilan. Mengacu pada ketentuan UNCITRAL, ada peluang bagi Indonesia untuk menempatkan bukti elektronik dalam bentuk informasi, dokumen maupun tanda tangan elektronik sebagai alat bukti yang sah, sepanjang ditetapkan dalam undang-undang yang khusus mengatur mengenai transaksi elektronik dan hal ini direalisasikan oleh pemerintah dengan dibentuknya UU ITE. Dalam Pasal 5 dan 6 UNCITRAL Model Law on E-Commerce dinyatakan bahwa transaksi yang dilakukan dengan memanfaatkan media elektronik memiliki nilai yang sama dengan tulisan atau akta yang dibuat secara konvensional, sehingga pada prakteknya, tidak dapat ditolak suatu bukti transaksi yang dilakukan secara elektronik.

Alat bukti tulisan dalam hukum acara perdata merupakan alat bukti yang paling krusial dalam pembuktian perkara atau sengketa perdata. Berkenaan dengan bukti surat, dalam hukum acara perdata dibagi lagi dalam akta dan tulisan bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan. Kekuatan pembuktian dengan akta otentik lebih kuat dibanding dengan akta di bawah tangan karena mempunyai kekuatan pembuktian lahir, pembuktian formal dan pembuktian material. Hal ini mengingat dalam Pasal 284

(42)

RBg/164 HIR dan Pasal 1866 KUHPerdata yang menyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum yang berwenang untuk itu. Dari sini timbul suatu pertanyaan apakah informasi dan dokumen elektronik termasuk dalam bentuk tulisan bukan akta atau termasuk dalam bentuk akta, dan jika memang informasi dan dokumen elektronik termasuk dalam akta, apakah termasuk dalam kategori akta di bawah tangan ataukah akta otentik. Untuk menjawab pertanyaan ini maka haruslah kembali diperhatikan defenisi dari dokumen elektronik dalam Pasal 1 angka 4 UU ITE. Dari defenisi tersebut dapat dikatakan bahwa bentuk informasi dan dokumen elektronik sangat beraneka ragam tergantung pada maksud penggunaan dari dokumen itu sendiri. Apabila informasi dan dokumen elektronik tersebut hanya berupa informasi biasa maka dokumen tersebut termasuk dalam tulisan bukan akta atau surat biasa atau juga termasuk akta di bawah tangan karena memang dokumen tersebut dibuat seadanya dan tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat bukti nantinya. Dengan demikian informasi atau dokumen elektronik disini merupakan bukti bebas yang penilaiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim. Akan tetapi, jika informasi dan dokumen tersebut dimaksudkan sebagai dokumen yang otentik, maka dokumen tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan, persyaratan utama agar suatu informasi dan dokumen elektronik dapat dinyatakan sebagai alat bukti yang sah adalah penggunaan sistem elektronik yang telah mendapatkan sertifikasi elektronik dari pemerintah. Persyaratan lainnya, yaitu informasi dan dokumen elektronik tersebut harus dibubuhi dengan tanda tangan elektronik, atau juga dituangkan dalam bentuk kontrak elektronik yang baku. Dengan begitu informasi

(43)

atau dokumen elektronik tersebut merupakan suatu bukti yang sempurna. Dengan demikian kedudukan informasi dan dokumen elektronik sesungguhanya merupakan perluasan dari alat bukti tulisan sebagaimana dikemukakan baik dalam Pasal 284 RBg/164 HIR maupun Pasal 1866 KUHPerdata. Terhadap kekuatan pembuktian dokumen tertulis dalam hukum pembuktian perdata sangat bergantung pada bentuk dan maksud dari dibuatnya dokumen tersebut. Informasi dan dokumen elektronik dapat disebut sebagai akta otentik apabila telah mendapatkan sertifikasi dari pemerintah dan memenuhi persyaratan sebagai suatu kontrak elektronik yang sah. Sebaliknya, apabila sistem elektronik yang digunakan belum mendapat sertifikasi maka setiap informasi dan dokumen yang telah dibuat dianggap tidak sah. Pemahaman ini sangat penting mengingat praktek perdagangan akhir-akhir ini mulai menggunakan media internet dalam pembuatan dokumen-dokumen perjanjian. Salah membuat suatu informasi maupun dokumen elektronik akan mengakibatkan kesalahan fatal pada kekuatan pembuktian informasi ataupun dokumen elektronik tersebut sebagai alat bukti yang sah.97

Berdasarkan hal tersebut di atas, jika dicermati lebih lanjut, keberadaan suatu informasi yang dihasilkan oleh suatu sistem elektronik bersifat netral, yakni sepanjang sistem tersebut berjalan baik tanpa gangguan, input dan output yang dihasilkan terlahir sebagaimana mestinya. Menurut Edmon Makarim, suatu informasi atau dokumen elektronik sekiranya dihasilkan oleh suatu sistem elektronik yang telah dilegalisasi atau dijamin oleh pihak-pihak yang berwenang untuk itu, jika tetap berjalan sebagaimana mestinya, sepanjang tidak dibuktikan

97 Hwian Christianto, www. GagasanHukum., Alat Bukti Dokumen Elektronik dalam Perkara Perdata, 20 Desember 2008.

(44)

lain oleh para pihak, semestinya dapat diterima sebagaimana layaknya akta otentik, bukan akta di bawah tangan. Hal ini mengingat bahwa keberadaan informasi atau dokumen tersebut semestinya tidak dapat disangkal lagi dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak tersebut.98

Dalam e-commerce, tidak ada alat bukti lain yang dapat digunakan selain informasi dan dokumen elektronik yang ditransmisikan kedua belah pihak yang melakukan perdagangan. Adapun saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah, pada prakteknya sangat sulit untuk diajukan sebagai alat bukti karena tidak didapatkan dari suatu transaksi e-commerce. Selain itu, apabila disamakan sebagai tulisan, apalagi akta otentik, kekuatan pembuktiannya sempurna, dalam arti tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Akta otentik juga mengikat, apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim, harus dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Agar dapat diklasifikasikan dalam bentuk tertulis ada beberapa cara yang dapat dilakukan, salah satu yang lazim dilakukan adalah membuat suatu print out atau copy dari informasi atau dokumen yang masih berbentuk elektronik. Seperti halnya diatur dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) UU ITE bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Hal ini penting untuk diperhatikan karena bila terjadi suatu perubahan bentuk dari suatu informasi atau dokumen, harus dapat dibuktikan bahwa perubahan bentuk tersebut tidak merubah isi dari informasi atau dokumen yang diubah bentuknya tersebut. Konsekuensi hukumnya, kekuatan pembuktian dari bentuk ubahan tersebut harus

(45)

sama sesuai dengan kekuatan pembuktian dari bentuk asalnya. Dalam UU No. 8 Tahun 1997 juga diatur mengenai pengalihan bentuk dokumen perusahaan dan legalisasinya pada Bab III dari Pasal 12 sampai dengan Pasal 16. Ketentuan yang ada dalam pasal-pasal tersebut menyebutkan, bahwa suatu bentuk tertulis nyata, dalam hal ini segala tulisan yang dibuat berkenaan dengan kegiatan perusahaan, dapat diubah ke bentuk lain, misalnya mikrofilm atau CD, setelah sebelumnya dilakukan suatu verifikasi dan legalisasi yang dalam hal ini dilakukan oleh pimpinan perusahaan atau pejabat yang ditunjuk di lingkungan perusahaan dengan dibuatkan suatu berita acara. Setelah ada verifikasi dan legalisasi bahwa kedua bentuk dokumen tersebut isinya sama secara keseluruhan maka sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 ayat ( 1 ) UU No. 8 Tahun 1997 maka media hasil transformasi tersebut dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah.

Pengakuan terhadap informasi dan dokumen elektronik dapat dilakukan dengan :99

1) Didasarkan atas kemampuan komputer untuk menyimpan data, dimana informasi dan dokumen elektronik tersebut dapat diakui tanpa adanya keterangan, jika sebelumnya telah ada sertifikasi terhadap metode bisnis yang dilakukan dan menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengakuan ini sering digunakan dalam praktek bisnis maupun non-bisnis untuk menyetarakan dokumen elektronik dengan dokumen konvensional

99 Rapin Mudiardjo, www. bebas. vlsm. org., Data Elektronik sebagai Alat Bukti Elektronik Masih Dipertanyakan, 21 Desember 2008.

(46)

2) Menyandarkan pada hasil akhir sistem komputer. Misalnya, dengan output dari sebuah program komputer yang hasilnya tidak didahului dengan campur tangan secara fisik. Contohnya, rekaman telepon dan transaksi ATM. Artinya, dengan sendirinya bukti elektronik tersebut diakui sebagai bukti elektronik dan memiliki kekuatan hukum. Kecuali bila dibuktikan lain, informasi, dokumen atau data tersebut dapat dikesampingkan.

3) Perpaduan dari dua metode di atas, yaitu pengakuan terhadap informasi dan data elektronik tersebut dilihat dari proses penyimpanan informasi dan dokumen tersebut serta hasil akhir dari informasi atau dokumen elektronik tersebut.

Suatu informasi dan dokumen elektronik sebagai bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses, dan dapat ditampilkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang yang mengajukan suatu bukti elektronik harus dapat menunjukkan bahwa informasi dan dokumen yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang terpercaya. Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat ( 2), Pasal 6 dan Pasal 7 UU ITE.

Sehubungan dengan standar penyelenggaraan sistem elektronik yang baik, maka secara tidak langsung akan dibedakan dua jenis kekuatan pembuktian yaitu valid dan tidak valid, atau layak atau tidak layak untuk dipercaya. Hal ini akan mengarah kepada aspek akuntabilitas dari penyelenggaraan sistem itu sendiri. Jika

(47)

memenuhi semua kriteria standar, sepanjang tidak dapat dibuktikan lain oleh para pihak, sistem telah dapat dijamin berjalan sebagaimana mestinya dan output informasi atau dokumen elektronik dapat dinyatakan valid dan otentik secara substansial sehingga informasi dan dokumen tersebut dapat diakui di persidangan dan selayaknya diterima sebagai alat bukti tulisan.

Alat bukti elektronik dapat dipercaya jika dilakukan dengan cara :100

1. menggunakan peralatan komputer untuk menyimpan dan memproduksi print-out,

2. proses data seperti pada umumnya dengan memasukkan inisial dalam sistem pengelolaan arsip yang dikomputerisasikan, dan

3. menguji data dalam waktu yang tepat, setelah data dituliskan oleh seseorang yang mengetahui peristiwa hukumnya.

Syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi bagi pihak-pihak yang ingin menggunakan informasi dan dokumen elektronik,yaitu :101

1. mengkaji informasi yang diterima untuk menjamin keakuratan data yang dimasukkan,

2. metode penyimpanan data dan tindakan pengambilan data untuk mencegah hilangnya data pada waktu disimpan,

3. penggunaan program komputer yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan untuk memproses data,

4. mengukur uji pengambilan keakuratan program, dan 5. waktu dan persiapan model print-out komputer.

100 Ahmad M. Ramli,dkk, op cit, hlm. 43. 101 Ibid., hlm. 43.

Referensi

Dokumen terkait

Tugas akhir Penulisan Hukum dengan judul : PENCEGAHAN SERTA PENANGGULANGAN PENEBANGAN HUTAN SECARA LIAR (ILLEGAL LOGGING) OLEH POLISI KEHUTANAN (Studi di Kabupaten

Kekuatan Hukum Tanda Tangan Digital Dalam Transaksi Bisnis adalah Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Perilaku moralis Indonesia yang membiarkan lautnya dieksplorasi serta fakta bahwa laut Indonesia memiliki potensi sedemikian besar dinilai telah membuat Amerika Serikat

Penyempitan atau penyumbatan pada pembuluh arterikoroner dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri.. alam kondisi yang aliran darah ke

Atas kehendak-Nya penyusunan skripsi dengan judul “APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAME TOURNAMENT (TGT) UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI LOMPAT JAUH

Potensi agowisata di kawasan wisata bukit Piantus kecamatan Sejankung merupakan produk wisata unggulan yang dapat dikembangkan sesuai dengan pola pemanfaatan lahan yang sejalan

Tingkat kontrol RMKL dan RMKP pada pengembalian dana bantuan pinjaman kredit mikro, seperti pada tingkat kontrol RMKL dan RMKP pada dana BLM untuk bantuan fisik dan bantuan

Terdapat hasil dari peneliti yang mendukung pada penelitian ini yakni yang menjelaskan adanya hu- bungan dari pemahaman yakni peraturan perpajakan terhadap kepatuhan WP pada