• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian

Arimbi Ngadeg Ratu merupakan salah satu lakon dalam pementasan Wayang Golek yang dipentaskan ketika awal masa reformasi. Lakon ini merupakan lakon Wayang Carangan yang dipentaskan oleh Dalang Asep Sunandar Sunarya dan merupakan sempalan dari cerita Mahabarata. Lakon ini mengambil seting cerita ketika para Pandawa sedang dalam masa pengembaraan setelah percobaan pembunuhan terhadap Pandawa oleh para Kurawa, jauh sebelum perang besar Baratayudha dimulai.

Lakon Wayang Arimbi Ngadeg Ratu merupakan sebuah lakon Wayang Golek yang menceritakan kisah dibalik penobatan Arimbi sebagai seorang Ratu di kerajaan Pringgandani. Sebagai lakon Wayang Carangan alur cerita dari lakon ini mengambil seting cerita yang mirip dengan kejadiaan pada masa pemilihan presiden Indonesia ke-4 pada masa awal reformasi.

Bagian awal lakon ini menceritakan Abiyasa, Raja Astina yang telah menyerahkan kekuasaannya dan telah menjadi pendeta yang kedatangan cucunya yaitu Bima dan Arjuna. Kedatangan Bima dan Arjuna adalah untuk memberi kabar bahwa mereka berhasil selamat dari percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh para Kurawa. Pada awal bagian lakon juga diceritakan bahwa Bima telah menikah dengan seorang Ratu Raksasa yang bernama Arimbi. Kedatangan mereka juga untuk mengabarkan bahwa kakak tertua Pandawa yaitu Yudistira atau Wijakangka sudah menikah dengan seorang

(2)

putri kerajaan Cempalareja yaitu Dewi Drupadi sebagai hasil dari memenangkan sayembara yang diadakan oleh Raja Cempalareja Prabu Drupada (Sumber teks).

Namun kedatangan Bima dan Arjuna yang sebenarnya adalah untuk meminta ijin kepada Abiyasa sebagai kakek dari Pandawa dan Kurawa untuk menuntut balas atas percobaan pembunuhan yang dilakukan Kurawa terhadap Pandawa. Pada bagian ini berisi mengenai nasihat-nasihat bahwa manusia tidak boleh mengikuti nafsu balas dendam. Pada bagian ini juga mengandung nasihat yang menjelaskan bagaimana seharusnya para pemimpin memimpin sebuah Negara. Dijelaskan pula bagaimana akibat yang akan terjadi jika para pemimpin Negara saling berperang dan dampak yang akan ditimbulkan bagi rakyatnya. Pada akhir nasihat Abiyasa menerangkan bahwa seorang pemimpin haruslah dinobatkan oleh Rakyat (Sumber teks).

Bagian ke-dua dari lakon ini ditandai dengan kedatangan Purbakesa sebagai utusan dari Arimbi. Pada bagian ini sudah masuk ke arah inti dari cerita lakon Arimbi Ngadeg Ratu. Awal kedatangan Purbakesa ke pertapaan Abiyasa bertujuan untuk memberitahukan kepada Bima bahwa Arimbi sedang mengandung anaknya dan mengundang Bima untuk menghadiri upacara adat dalam menyambut kehamilan (Sumber teks).

Tujuan lain dari kedatangan Purbakesa adalah untuk meminta nasihat kepada Abiyasa sebagai mantan Raja Astina dalam menyelesaikan kekacauan yang terjadi di Negara Pringgandani. Kabar yang disampaikan oleh Purbakesa bahwa sedang terjadi pertarungan politik antara saudara-saudaranya dalam memperebutkan kursi kerajaan yang kosong akibat

(3)

ditinggalkan oleh Raja Arimba yang mati terbunuh ketika bertarung dengan Bima. Hasil pemilihan umum yang seharusnya memenangkan Arimbi sebagai Ratu di Kerajaan Pringgandani, pada akhirnya dikalahkan oleh adanya koalisi yang digagas oleh Panca Braja sehingga akhirnya Brajamusti yang diangkat menjadi Raja di Kerajaan Pringgandani (Sumber teks).

Selain kekacauan yang diakibatkan oleh adanya pemimpin yang tidak dikehendaki oleh rakyat, juga ditambah dengan adanya teror yang dilakukan oleh Rimbana yang merupakan anaknya Arimba yang ingin memisahkan diri dari kerajaan Pringgandani. Rimbana juga ingin membalas dendam kepada Arimbi akibat fitnah yang dilakukan oleh Brajamusti yang menyatakan bahwa Raja Arimba mati dibunuh oleh Bima atas permintaan Arimbi. Purbakesa juga membawa kabar yang mengejutkan bahwa Rimbana memperoleh suplai senjata dari para Kurawa (Sumber teks).

Akhir bagian ini adalah Abiyasa memberikan solusi untuk menangani kakacauan yang terjadi di Negara Pringgandani. Untuk mengakhiri krisis kepemimpinan, caranya adalah dengan meminta langsung para Dewa untuk menobatkan Arimbi sebagai Ratu Pringgandani, maka Bima diutus untuk menghadap para Dewa dan meminta mereka untuk menobatkan Arimbi sebagai Ratu Pringgandani. Sedangkan Arjuna ditugaskan untuk menggagalkan pengiriman senjara oleh para Kurawa kepada Rimbana dan sekaligus menangkap Rimbana. Sedangkan untuk mengalahkan Pancabraja yang terkenal kesaktiannya, harus menunggu anak yang sedang dikandung oleh Arimbi lahir. Karena menurut Abiyasa tidak ada yang akan bisa

(4)

mengalahkan Pancabraja selain anak yang sedang dikandung oleh Arimbi yaitu Gatotkaca (Sumber teks).

Bagian ketiga dari lakon ini dimulai dari pertemuan antara para Kurawa dengan pasukan Rimbana untuk serah terima senjata. Namun ketika pertemuan tersebut berlangsung, serah terima senjata tersebut diintervensi oleh kedatangan Arjuna yang ingin menggagalkan serah terima tersebut. Cerita berlanjut pada pertempuran antara Arjuna dengan para Kurawa yang dilanjutkan antara Arjuna dengan pasukan Rimbana. Pertempuran diakhiri dengan Pertempuran yang terjadi antara Arjuna dan Rimbana yang dimenangkan oleh Arjuna. Pada akhir pertarungan juga terdapat kritik sosial yang disampaikan oleh tokoh Cepot mengenai keadilan yang memihak (Sumber teks).

Akhir dari lakon ini adalah penobatan Arimbi sebagai Ratu kerajaan Pringgandani oleh para Dewa yang disambut gegap gempita Rakyat Pringgandani. Pesan terakhir yang ditutup oleh tokoh Cepot pada lakon ini adalah bagaimana sebagai Rakyat harus bisa berperan serta untuk membangun bangsa dan Negara (Sumber teks).

4.2. Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.2.1 Hasil Penelitian

Data dalam penelitian ini adalah keseluruhan teks Lakon Arimbi Ngadeg Ratu. Data asal teks ini dalam format digital mp3, sehingga peneliti menulis ulang teks tersebut menjadi betuk tertulis. Berikut adalah data teks Lakon Arimbi Ngadeg Ratu :

(5)

1. Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Wacana Kepemimpinan di Dalam Keluarga

Berdasarkan hasil observasi terhadap teks Lakon Wayang Golek Arimbi Ngadeg Ratu, teks-teks di bawah ini mengandung makna yang dapat ditafsiran sebagai konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan di dalam keluarga. Berikut di bawah ini teks-teks yang dimaksud.

Tabel 4.1 Teks Peran dan Kedudukan Perempuan dalam

Keluarga

No Asal Kata/Pemotongan Arti Dalam Bahasa Indonesia 1. Abiyasa :

Heuh sukur, dimana ayeuna inung hedep, adi hidep, jeung lanceuk hidep.

Bima :

Si Nakula, si Sadewa, si Kakang Kontea Wijakangka oge si Ibu aya di Negara Cempalareja. Nyaeta si Kakang Kontea keur bulan madu.

Abiyasa :

Ohh, Wijakangka geus kawin karah teh. Bima : Ingih. Abiyasa : Ka. Bima :

Ka putri raja Negara

Cempalareja nyaeta kaputrina

Abiyasa :

Ia syukur, dimana ibumu, adikmu, dan kakakmu.

Bima :

Nakula, Sadewa, kakak Kontea Wijakakangka berikut Ibu ada di negara Cempalareja. Kak Kontea sedang bulan madu.

Abiyasa :

Oh, Wijakangka sudah menikah. Bima :

Betul. Abiyasa : Dengan. Bima :

Dengan putri raja Cempalareja, yaitu dengan putri Prabu Drupada yang namanya Dewi Drupadi kakek.

(6)

Prabu Drupada anu kakasih Dewi Drupadi eyang. 2. Bima :

Dikersakeun kaula teh

nuturkeun lanak bodas, nyaeta ngadak-ngadak dina keur nguntab-nguntab seuneu kenca katuhu tukang hareup aya lanak anu kaluar kajero tina jero taneuh di tengah-tengah bale. Dikersakeun nyieun liang anu gede, nya inung oge adi oge lanceuk dirawu dibawa kana jero liang.

Bima :

Ditakdirkan saya mengikuti landak putih, mendadak ketika kebakaran kiri, kanan, depan, belakang ada landak putih yang keluar masuk dari dalam tanah ditengah-tengah balai.

Ditakdirkan membuat lubang yang besar, maka ibu juga adik kakak dibawa ke dalam lubang.

3. Bima :

Tidinya kaula teh da emung cicing di tempat awewe, bari jeung diparaban ku awewe, bari aing teu usaha, bisi disebut nyalindung ka gelung. Nya kapaksa we init nyangsara apruk-aprukan, sabab lamun cicing wae di Nagara

Pringgandani bari jeung eweuh gawe bari jeung barang hakan ladang hasil kesang awewe, hukumna nu kitu dayus.

Bima :

Dari sana saya tidak mau diam di tempat istri sambil dikasih makan oleh istri, sambil tidak ada usaha khawatir disebut berlindung sama istri. Maka terpaksa berangkat mengembara sebab jika terus berdiam diri di negara

pringgandani sambil tidak ada kerjaan sambil makan hasil kerja istri, hukumnya dayus.

4. Purbakesa :

Kaula dongkap kadieu teh bade nguningakeun wireh aceuk Arimbi teh ayeuna nuju kakandungan tujuh sasih. Purbakesa :

Maklum ciri sa bumi cara sa desa jawadah tutung biritna

Purbakesa :

Saya datang ke sini mau memberi tahu bahwa kakak Arimbi

sekarang sedang hamil tujuh bulan.

Purbakesa :

Maklum adad tiap daerah berbeda-beda, di Pringgandani

(7)

sacarana-sacarana. Ari dipringgandani mah parantos jadi adat.

Bima : Kumaha. Purbakesa :

Nyaeta dimana parantos

kakandungan tujuh sasih teh sok diayakeun upacara ngadat tujuh sasihan.

Bima :

Upacara adat meuruen. Purbakesa :

Sumuhun tah eta, Nyaeta ngarujak, dipeser ku kenteng meunang ngabuleud-buleud, kitu. Dimanian ku cai belut, kalayan meulah kalapa ading. Oge meupueskeun jajamaran di hotel, aeh di hotel dijalan golecer, tah kitu. Tah dimana-mana upacara adat tujuh sasihan teh hoyong ka palay kasakseni ku salira, kakang mas Bima.

Bima : Ieh. Abiyasa :

Amuing-amuing, heuu wayahna bima kaituh.

Bima :

Iia, aku sing bakal lumampah.

sudah jadi adat.

Bima : Bagaimana Purbakesa :

Yaitu ketika usia kandungan sudah 7 bulan biasa diadakan upacara ngaadat 7 bulan. Bima :

Upacara adat mungkin. Purbakesa :

Ia begitu, yaitu membuat rujak, dibeli dengan genting yang dibuat bulat begitu, dimandikan oleh air belut sambil membelah kelapa ading. Juga memecahkan

jajamaran di hotel, eh di hotel di jalan golecer, begitu. Nah pada saatnya nanti ingin di hadiri oleh kakak Bima.

Bima : Ia

Abiyasa :

Kamu harus kesana Bima. Bima :

Baiklah, saya akan berangkat.

5. Purbakesa :

Pikeun ngarengsekeun kakang Brajamusti sareng

sadulur-Purbakesa :

Untuk mengalahkan kakak Brajamusti dan keluarganya harus

(8)

dulur kedah kumaha. Abiyasa :

Tah, moal bisa kaungkulan kusaha bae oge.

Purbakesa :

Tah geuning eta uninga. Abiyasa :

Tapi ke dimana-mana eta budak anu keur dikandung ku Arimbi medal ka alam dunya, tah eta budak eta anu bakal bisa ngarengsekeun Brajamusti, Brajawikalpa, Lamatan, Denta, jeung Wisesa.

bagaimana. Abiyasa :

Tidak akan bisa dikalahkan oleh siapapun juga.

Purbakesa : Nah itu tahu. Abiyasa :

Tapi ketika anak yang sedang dikandung oleh Arimbi lahir, nah anak itulah yang akan bisa mengalahkan Brajamusti, Brajawikalpa, Lamatan, Denta, dan Wisesa.

6. Cepot :

Bisa jadi Satria Piningit teh masih dikandung euy, masih keneh aya dina wewetengan deuleu yeuh. Emh, heueuh gamaran jalema suci meureunnya euy.

Cepot :

Bisa saja Ksatria Piningit itu masih dalam kandungan, masih ada dalam perut. Betul gambran manusia suci

2. Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Wacana Kepemimpinan di Ruang Publik

Berdasarkan hasil observasi terhadap teks Lakon Wayang Golek Arimbi Ngadeg Ratu, teks-teks di bawah ini mengandung makna yang dapat ditafsiran sebagai konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan di ruang publik. Berikut di bawah ini teks-teks yang dimaksud.

(9)

Tabel 4.2 Teks Peran dan Kedudukan Perempuan di Ruang

Publik

No Asal Kata/Pemotongan Arti Dalam Bahasa Indonesia 1. Bima :

Nya kaluar-kaluar di leuweng Pringgandani, didinya nepi ka kaula meunang jodo nyaeta ka arimbi.

Bima :

Keluar di hutan Pringgandani, disana sampai dapat jodoh, yaitu dengan arimbi.

2. Bima :

Tah kitu eyang, nya kaula teh dirapalan we dibanyu muda di mitoha.

Bima :

Begitu kekek, maka saya di nikahkan di mertua.

3. Bima :

Kaula meunang beja yen di Nagara Cempalareja aya sayembara, nyaeta prabu Drupada nyaembarakeun Dewi Drupadi. Nya tidinya langsung milu sayembara. Nya hasil nateh putri dikawinkeun ka sikakang Kontea.

Bima :

Saya dapat berita bahwa di negara Cempalareja ada

sayembara, yaitu prabu Drupada menyayembarakan Dewi Drupadi, maka langsung ikut sayembara. Hasilnya putri dinikahkan dengan kakak Kontea.

4. Purbakesa :

Harengheng, kuayana

dikantunkeun maot ku kakang Arimba teh kapan teu acan aya raja di nagara Pringgandani ayeuna. Tah kukituna lajeng we di nagara Pringgandani teh pesta demokrasi Pringgandani. Nyaeta pikeun nangtoskeun saha anu kedah jadi ais pangampih di nagara. Lajeng we para saderek sadayana diantawisna kaula,

Purbakesa :

Kacau, oleh sebab ditinggal mati oleh kakak Arimba sekarang belum ada raja di negara Pringgandani. Maka dari itu di negara Pringgandani

mengadakan pesta demokrasi untuk menentukan siapa yang akan jadi pemimpin negara. Maka para saudara diantaranya saya, kakak Kalabendana, kakak Arimbi, kakak Brajamusti,

(10)

kakang Kalabendana, aceuk Arimbi, atuh cenah kakang Brajamusti, kakang

Brajawikalpa, Lamatan, Denta, Wisesa, salapan jalmi teh lajeng ngadegkeun partai sewang-sewangan. Anu kaetang pang seuerna suara teh nyaeta aceuk Arimbi.

kakak Brajawikalpa, Lamatan Denta, Wisesa, sembilan orang mendirikan partai sendiri-sendiri, yang terhitung mendapat suara terbanyak yaitu kakak Arimbi.

5. Semar :

Emh, teu sangka jang, jempe-jempe ge geuningan eta gusti Arimbi teh geuningan seueur masanamah.

Semar :

Tidak disangka jang, diam-diam juga gusti Arimbi ternyata banyak pendukungnya.

6. Narada :

Tah kitu geuning Arimbi, anjeun ayeuna kasakseni ku para juata marasanga juata paralumanten bararubaya, sasat geus

diistrenan sah jadi ratu Pringgandani. Sok sanajan ayeuna Brajamusti aya keneh dikaraton nagara, keun da engke oge bakal munur kusorangan eraeun heu. Arimbi :

Teu pino damel kaulanun. Narada : Bima. Bima : Anda apa. Narada : Rojong ku anjeun. Narada :

Nah Arimbi, kamu telah disaksikan oleh semuanya dinobatkan sah jadi ratu

Pringgadani, walaupun sekarang Brajamusti masih ada di keraton negara biar saja nanti juga akan mundur dengan sendirinya. Arimbi : Betul Narada : Bima Bima : Ada apa. Narada : Dukung olehmu. 7. Cepot :

Kuayana gusti Ratu Arimbi

Cepot :

(11)

diistrenan hayu urang rojong dina sagala rupa widang.

Arimbi mari kita dukung dalam segala bidang.

3. Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Wacana Kepemimpinan di Dalam Politik

Berdasarkan hasil observasi terhadap teks Lakon Wayang Golek Arimbi Ngadeg Ratu, teks-teks di bawah ini mengandung makna yang dapat ditafsiran sebagai konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan di dalam politik. Berikut di bawah ini teks-teks yang dimaksud.

Tabel 4.3 Teks Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Politik

No Asal Kata/Pemotongan Arti Dalam Bahasa Indonesia 1. Purbakesa :

Harengheng, kuayana

dikantunkeun maot ku kakang Arimba teh kapan teu acan aya raja di nagara Pringgandani ayeuna. Tah kukituna lajeng we di nagara Pringgandani teh pesta demokrasi Pringgandani. Nyaeta pikeun nangtoskeun saha anu kedah jadi ais pangampih di nagara. Lajeng we para saderek sadayana diantawisna kaula, kakang Kalabendana, aceuk Arimbi, atuh cenah kakang Brajamusti, kakang

Brajawikalpa, Lamatan, Denta, Wisesa, salapan jalmi teh lajeng ngadegkeun partai

sewang-Purbakesa :

Kacau, oleh sebab ditinggal mati oleh kakak Arimba sekarang belum ada raja di negara Pringgandani. Maka dari itu di negara Pringgandani

mengadakan pesta demokrasi untuk menentukan siapa yang akan jadi pemimpin negara. Maka para saudara diantaranya saya, kakak Kalabendana, kakak Arimbi, kakak Brajamusti, kakak Brajawikalpa, Lamatan Denta, Wisesa, sembilan orang mendirikan partai sendiri-sendiri, yang terhitung mendapat suara terbanyak yaitu kakak Arimbi.

(12)

sewangan. Anu kaetang pang seuerna suara teh nyaeta aceuk Arimbi.

2. Purbakesa :

Tah salajengna anu kaetang pang seeurna suara di nagara Pringgandani teh nyaeta aceuk Arimbi.

Bima :

Atuh meureun jadi ratu si Arimbi.

Purbakesa : Anu mawi henteu. Bima :

Naon sabab. Purbakesa :

Margi dina waktosna gempungan dina waktosna sawala teh kakang Brajamusti, Brajawikalpa, Lamatan, Denta, sareng Wisesa teh oge kakang Kalabendana teh ngayakeun kualisi.

Purbakesa :

Nah selanjutnya yang terhitung paling banyak mendapat suara di negara Pringgandani yaitu kakak Arimbi.

Bima :

Maka jadi ratu Arimbi. Purbakesa :

Tidak. Bima : Sebabnya apa. Purbakesa :

Sebab ketika musyawarah kakak Brajamusti, Brajawikalpa, Lamatan, Denta, dan Wisesa juga kakak Kalabendana mengadakan koalisi.

3. Abiyasa :

Emhh, jadi beuki riweh. Purbakesa :

Timalan, katurub-turub nyaeta putrana kakang Arimba suargi anu kakasih Raden Rimbana ayeunateh jadi buronan nagara. Bima :

Ieuhh, naha. Purbakesa :

Margi kakang Brajamusti teh mangaruhan nu teu puguh. Dina

Abiyasa :

Emhh, jadi tambah kacau. Purbakesa :

Betul, ditambah sekarang anaknya kakak Arimba

almarhum yang namanya Raden Rimbana sekarang jadi buronan negara.

Bima : Kenapa. Purbakesa :

(13)

waktosna kampanye ge kitu we ngagogoreng aceuk Arimbi, pajarkeun teh cenah kakang Arimba maot teh cenah dipaehan ku Arimbi nitah salakina. Atuh rakyat teh seueur anu kapangaruhan.

mempengaruhi yang tak baik, pada waktu kampanye menjelek-jelekan kakak Arimbi,

menurutnya kakak Arimba mati dibunuh oleh Arimbi menyuruh suaminya. Jadinya rakyat banyak yang terpengaruh. 4. Abiyasa :

Upami nguping kana samatawis dongeng anu nembe, eces jentre pertela ngemang boled supados nagara ulah harengheng masyarakat teu parasea wae kumaha ayeunamah langsung we Dewa ti sawarga nyaeta kedah lungsur ngistrenan Arimbi jadi ratu Pringgandani. Purbakesa :

Waduh. Bima :

Emmmhhhh, pan sidik si Brajamusti jadi raja. Abiyasa :

Pokona kitu carana teu aya deui cara.

Purbakesa :

Anumawi eta rencana teh kitu tapi kakang Brajamusti kekeuh nyaeta saurat batu cenah sok saha anu rek bisa nurunkeun aing. Malahan disingsieunan Dewa anu bade lungsur ngistrenan aceuk Arimbi teh kakang Brajamusti nantang sok cenah urang adu kakuatan jeung

Abiyasa :

Jika mendengar cerita barusan, jelas supaya negara tidak kacau, masyarakat tidak bertikai, bagaimana jika langsung saja Dewa dari surga harus turun menobatkan Arimbi jadi ratu Pringgandani.

Purbakesa : Waduh. Bima :

Bukankah sudah jelas Brajamusti jadi raja. Abiyasa :

Pokoknya tidak ada cara lain. Purbakesa :

Sebenarnya begitulah rencananya. Tapi kakak Brajamusti keras kepala, katanya siapa saja yang mau melengserkan saya. Malah ketika ditakut-takuti Dewa yang bakal turun menobatkan kakak Arimbi ditantang adu kekuatan sama kakak Brajamusti, begitu katanya.

(14)

aing, kitu pokna teh. 5. Abiyasa : Bima. Bima : Anda apa. Abiyasa :

Wayahna hidep kaituh init ka Sawarga, heu, hidep init ka Sawarga tepangan Hyang Otipati Jagatnata menta supaya lungsur jeung para Dewa pikeun langsung ngistrenan Arimbi jadi ratu Pringgandani. Abiyasa : Bima. Bima : Ada apa. Abiyasa :

Kamu harus rela berangkat ke Surga, kamu berangkat untuk menemui Hyang Otipati Jagatnata minta agar turun bersama para Dewa untuk langsung menobatkan Arimbi jadi ratu Pringgandani. 6. Abiyasa :

Heuueh kitu, tapi Bima init kadituteh mawa sora rakyat lain dumeh kapamajikan.

Bima :

Ieh, kula init ka Sawarga mawa sora rakyat Pringgandani.

Abiyasa :

Begitu, tapi kamu berangkat membawa aspirasi rakyat bukan karena ke istri.

Bima :

Baik saya berangkat ke Surga membawa aspirasi rakyat Pringgandani.

7. Dalang :

Bima langsung lebet ka Sawarga nepangan ka para Dewa. Atuh para Dewa sadayana pada nyaluyuan kuayana Arimbi kedah diistrenan jadi ratu Pringgandani.

Dalang :

Bima langsung masuk ke Surga menemui para Dewa, maka para Dewa semuanya setuju harus menobatkan Arimbi jadi ratu Pringgandani.

8. Rimbana :

Kaula hayang males pati ka bibi kaula anu ngaran Arimbi. Ari sabab kanjeng rama suargi kanjeng rama Arimba prabu Arimba timasaning pati

Rimbana :

Saya ingin membalas dendam pada bibi saya yang namanya Arimbi. Sebabnya ayah almarhum prabu Arimba mati dibunuh oleh Arimbi menyuruh

(15)

tumakaning perlaya dipaehan ku si Arimbi nitah salakina nyaeta si Bima. Sukur bagja

kumbayangan ayeuna parantos sararumping. Bagja-bagja keur kaula bakal ka hontal cita-cita nyaeta males pati ka si Arimbi. Kaula bakal jadi raja di ieu Pangleburgangsa.

suaminya Bima. Sukurlah sekarang sudah datang, kebahagiaan buat saya akan tercapai cita-cita membalas dendam ke Arimbi, saya bakal jadi raja di Pangleburgangsa.

9. Purbakesa :

Emang moal bisa naon-naon kasep, ayeunamah kumaha ceuk ratu nagara we da pasti ayeuna parantos diistrenan aceuk Arimbi. Arjuna rayi. Arjuna :

Kaula nun. Purbakesa :

Mangga tangtosnage para Dewa parantos kempel di

Pringgandani. Nyaeta pikeun ngistrenan aceuk Arimbi. Manga sami lumampah.

Purbakesa :

Paman tidak bisa melakukan apa-apa, sekarang bagaimana titah ratu negara karena pasti sekarang sudah dinobatkan kakak Arimbi. Adik arjuna. Arjuna :

Saya. Purbakesa :

Mari, pastinya para Dewa sudah berkumpul di Pringgandani untuk menobatkan kakak Arimbi. Mari berangkat bersama.

10. Dalang :

Kacarios nyaeta di Pringgandani Brajamusti, Brajawikalpa, Lamatan, Denta, Wisesa parantos uningaeun para Dewa lumungsur ti Sawarga nyaeta di Bale irung diayakeun gempungan pikeun ngistrenan ratu Arimbi. Atuh Brajamusti, Brajawikalpa, Lamatan, Denta, Wisesa pada budal katawuran nyararumput.

Dalang :

Diceritakan di Pringgandani Brajamusti, Brajawikalpa, Lamatan, Denta, Wisesa sudah mengetahui Dewa turun dari Surga yaitu di Bale irung diadakan kumpulan untuk menobatkan ratu Arimbi. Maka Brajamusti, Brajawikalpa, Lamatan, Denta, Wisesa kabur dan bersembunyi. Malu oleh kegembiraan rakyat. Nanti bakal

(16)

Ajrih ku euyah-euyahannana masyarakat. Mangke sing bakal nuntut dimana parantos medal jabang bayi anu nuju dikandung ku ratu Arimbi, nyaeta Raden Gatotkaca bakal tiasa

nyampurnakeun ieu Pancabraja.

dikalahkan ketika lahir bayi yang dikandung oleh ratu Arimbi, yaitu Raden Gatotkaca yang akan bisa

menyempurnakan Pancabraja.

11. Narada :

Tah kitu geuning Arimbi, anjeun ayeuna kasakseni ku para juata marasanga juata paralumanten bararubaya, sasat geus

diistrenan sah jadi ratu Pringgandani. Sok sanajan ayeuna Brajamusti aya keneh dikaraton nagara, keun da engke oge bakal munur kusorangan eraeun heu. Arimbi :

Teu pino damel kaulanun.. Narada : Bima. Bima : Anda apa. Narada : Rojong ku anjeun. Narada :

Nah Arimbi, kamu telah disaksikan oleh semuanya dinobatkan sah jadi ratu

Pringgadani, walaupun sekarang Brajamusti masih ada di keraton negara biar saja nanti juga akan mundur dengan sendirinya Arimbi : Betul. Narada : Bima. Bima : Ada apa. Narada : Dukung olehmu. 12. Cepot :

Kuayana gusti ratu Arimbi diistrenan hayu urang rojong dina sagala rupa widang.

Cepot :

Dengan dinobatkannya ratu Arimbi mari kita dukung dalam segala bidang.

(17)

4.2.2 Pembahasan

Wayang bukan hanya pergelaran yang menghibur, tetapi juga sarat akan nilai-nilai falsafah hidup. Pergelaran Wayang merupakan sebuah media komunikasi yang digunakan untuk pesan-pesan, sehingga dalam setiap pergelaran Wayang sudah pasti terdapat pesan yang ingin disampaikan baik berupa ajaran agama, pandangan politik, pesan moral, program pemerintah maupun yang lainnya.

Menurut hasil pembicaraan penulis dengan seorang mantan dalang disekitar tempat tinggal penulis, wayang merupakan sidir jeung

siloka. Artinya lakon Wayang Golek menggunakan bahasa yang tidak

langsung dalam penyampaian pesannya dan juga menggunakan perumpamaan-perumpamaan yang disimbolkan dalam bentuk lambang maupun jalan cerita. Sehingga banyak sekali pesan yang ingin disampaikan oleh Dalang (Wawancara). Sebagai contoh untuk menggambarkan kondisi sosial masyararakat di Indonesia dengan kerusakan alam, Dalang melambangkan akan terjadi bencana yang besar di Triloka karena kawah Candradimuka sedang mengamuk. Dalam lakon tersebut di jelaskan bahwa bencana merupakan akibat ulah manusia sendiri yang merusak alam dan mengajak masyarkat untuk merawat alam (Teks Lakon Astrajingga Tiwikrama).

Dalam wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan seorang mantan Dalang, lakon wayang terbagi menjadi 2 bagian yaitu Lakon Wayang Golek Galur dan Lakon Wayang Golek Carangan. Lakon Wayang Golek Galur merupakan lakon yang mengikuti alur cerita yang

(18)

sebenarnya. Contohnya jika sedang mengisahkan kisah Ramayana, maka lakon tersebut akan sama dengan kisah Ramayana dalam Kitab Ramayana karangan Walmiki. Namun, lakon Wayang Golek galur sudah jarang sekali di pentaskan karena para Dalang lebih suka mementaskan Lakon Wayang Golek Carangan. Lakon Carangan merupakan Lakon Wayang Golek hasil dari kreasi Para Dalang (Wawancara).

Dalam lakon carangan ini biasanya dalang mengambil sebagian cerita dari kisah Ramayana maupun Mahabarata, lalu dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi sosial masyarakat yang sedang terjadi. Dalam Lakon Wayang Carangan tentu saja ajaran Islam, adat sunda, dan pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh para Dalang sudah melebur dalam lakon tersebut (Wawancara).

Dalam tesis ini peneliti menggali pesan yang terkandung dalam teks lakon Wayang Golek Arimbi Ngadeg Ratu untuk menemukan konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan dalam lakon tersebut. Sesuai dengan fokus penelitian yang dirumuskan oleh penulis, penelitian ini menggali konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan baik dalam keluarga, ruang publik, dan dalam politik.

Untuk menggali konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan yang terdapat dalam teks. Metode yang digunakan oleh penulis adalah hermeneutika. Sebagai sebuah metode untuk menafsirkan sebuah teks, penulis menggunakan metode

(19)

hermeneutika yang mengikuti prinsip hermeneutika Gadamer. Maka dengan itu penulis dalam menafsirkan teks mengaitkan teks tersebut dengan pengalaman, sejarah, dan tradisi sehingga dapat diperoleh pemahaman konstruksi feminisme dari teks tersebut.

Berdasarkan hasil observasi terhadap teks lakon Wayang Golek Arimbi Ngadeg Ratu yang telah dilakukan oleh penulis, terdapat teks yang dapat ditafsirkan sebagai konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan. Teks yang berkaitan dengan fokus penelitian kebanyakan terdapat dalam percakapan antar tokoh, dan hanya sebagian kecil yang diucapkan oleh Dalang sebagai narasi pengantar cerita.

1. Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Wacana Kepemimpinan di Dalam Keluarga

Dalam kaitannya dengan konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam wacana kepemimpinan di dalam keluarga, data teks Lakon Wayang Golek Arimbi Ngadeg Ratu mengkonstruksikannya dalam beberapa bagian percakapan antar tokoh. Teks mengkonstruksikannya dalam beberapa aspek yaitu peran dan kedudukan perempuan sebagai seorang ibu, peranan dan kedudukan sebagai seorang isteri dan hubungannya sebagai suami istri.

Konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam keluarga yang terdapat dalam teks, digambarkan dalam percakapan Bima dan Abiyasa. Dalam percakapan Abiyasa bertanya kepada Bima dimana

(20)

ayeuna inung hedep, adi hidep, jeung lanceuk hidep. Bima

menjawab si Nakula, si Sadewa, si kakang Kontea Wijakangka oge

si ibu aya di negara cempala reja.. Nyaeta sikakang Kontea keur bulan madu. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, Abiyasa

bertanya di mana sekarang ibumu, adikmu, dan kakakmu. Kemudian Bima menjawab Nakula, Sadewa, Kakak Kontea, juga Ibu ada di Negara Cempala Reja, yaitu Kakak Kontea sedang berbulan madu.

Seperti pada data hasil penelitian yang dikutif penulis di atas, Abiyasa yang bertanya kepada Bima mengenai kabar keluarganya mendahulukan kabar ibunya terlebih dahulu, lalu berurutan ke kakak, lalu adiknya. Walaupun jawaban Bima urutannya tidak dari ibu, tetapi urutan jawaban Bima dimulai dari yang paling kecil, kakaknya lalu ibunya. Hal ini tidak menjadikan peran dan kedudukan ibu menjadi lebih rendah, karena urutannya yang dibalik dari adik yang paling kecil.

Keutamaan seorang ibu diperkuat pada cerita Bima ketika menyelamatkan keluarganya dari api yang membakar mereka di Bale Sigala-gala. Bima berkata

dikersakeun kaula teh nuturkeun lanak bodas, nyaeta ngadak-ngadak dina keur nguntab-nguntab seuneu kenca katuhu tukang hareup aya lanak anu kaluar kajero tina jero taneuh di tengah-tengah bale. Dikersakeun nyieun liang anu gede, nya inung oge adi oge lanceuk dirawu dibawa kana jero liang, liang lanak tea. Jeung aneh na barang abus kana jero eta liang ngadak-ngadak teneuh linta deui.

Yang artinya ditakdirkan saya mengikuti landak putih, ketika api sudah membesar di kanan, kiri, depan, belakang, ada landak

(21)

yang keluar masuk dari dalam tanah di tengah-tengan balai. Ditakdirkan membuat lubang yang besar, ibu, juga adik, juga kakak diselamatkan kedalam lubang, yaitu lubang landak. Dan anehnya ketika masuk kedalam lubang, tanah kemudian tertutup kembali.

Dari kedua teks tersebut terlihat bagaimana konstruksi peran dan kedudukan seorang ibu dalam keluarga, tidak hanya dari sudut pandang seorang anak yang diwakili dialog Bima tetapi juga dari sudut pandang umum yang diwakili oleh dialog Abiyasa. Walaupun dalam kasus ini tidak bisa penulis bandingkan bagaimana perbandingan peran dan kedudukan antara ayah dan ibu, mengingat keberadaan ayahnya para Pandawa sudah meninggal dunia. Tetapi jika melihat pada perkembangan Wayang Golek yang dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, tentu saja bisa dikomparasi bagaimana ajaran agama Islam memandang peran dan kedudukan perempuan sebagai seorang ibu.

Ajaran agama Islam mengajarkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Terlebih kepada seorang ibu, Nabi Muhammad SAW mengajarkan dalam hadisnya untuk berbuat baik kepada seorang ibu. Hal ini ditunjukan dengan menyebutkan “ibumu” sebanyak tiga kali baru kemudian “ayahmu”. Dalam hadis lain yang terkenal juga bagaimana disebutkan bahwa “surga berada dibawah telapak kaki ibu” (Badawi, 2008 Hal 11).

Begitu juga dalam adat istiadat Sunda, kedudukan ibu lebih tinggi dari pada bapak. Menurut H. Hasan Mustapa dalam bukunya

(22)

Adat istiadat Sunda, dalam adat istiadat Sunda lebih kuat mengangap (menghormati) ibu dari pada bapak, tandanya segala panutan (sesuatu yang dianggapnya lebih, disebut indung dan tidak disebut bapak). Siapa yang mendidik anak dari kecil, sekalipun bukan manusia harus disebut indung. Kalau menghitung sesuatu,

indung didahulukan, katanya indung bapa (Mustapa, 2010 Hal 50).

Sejalan dengan adat istiadat Sunda, dalam teks pun juga didahulukan indung baru yang lain.

Peran dan kedudukan mulia perempuan sebagai ibu bahkan terdapat dalam teks asli Mahabarata yang kental dengan ideologi patriarkal. Dalam sebuah percakapan dengan seorang Resi, Yudistira pernah berkata, apakah ada yang lebih mengagumkan dari pada kesabaran dan kesucian seorang perempuan, ia melahirkan anak, setelah menanti dan menjaganya selama sembilan bulan ia melahirkan ke dunia dengan rasa sakit dan kecemasan yang luar biasa, setelah itu satu-satunya hal yang ia pikirkan hanyalah kesehatan dan kebahagian si anak (Rajagopalachari, 2011 Hal 191).

Dalam sebuah percakapan lain dalam teks asli Mahabarata juga memperlihatkan kemuliaan seorang ibu. Ketika Yudistira ditanya apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada Bumi. Yudistira menjawabnya seorang ibu. Menurut Yudistira hanya seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya yang lebih mulia dan lebih memberi kehidupan yang lebih besar dari pada Bumi ini (Rajagopalachari, 2011 Hal 212).

(23)

Sehingga dapat dilihat konstruksi kebudayaan Wayang Golek meninggikan peran dan kedudukan perempuan dalam keluarga sebagai seorang ibu. Dengan dipengaruhi oleh ajaran Islam dan adat Sunda yang meninggikan peran dan kedudukan perempuan sebagai seorang ibu, maka teks Wayang Golek Lakon Arimbi Ngadeg Ratu pun juga memperlihatkan bagaimana tingginya peran dan kedudukan perempuan sebagai seoarang ibu.

Dalam konteks kepemimpinan, peran dan kedudukan perempuan sebagai seorang ibu tidak muncul dalam teks. Namun jika melihat adat sunda yang menjadikan indung sebagai sosok yang mulia dan ditinggikan kedudukannya, maka peran dan kedudukan perempuan dalam konteks kepemimpinan sebagai seorang ibu adalah pengasuh. Seorang ibu yang akan melahirkan, mengasuh, dan mendidik para ksatria sehingga mereka mampu menjadi pemimpin-peminpin yang berhasil.

Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan Abiyasa dan Cepot dalam teks, menanggapi kehamilan Arimbi. Dalam perebutan kekuasaan antara Arimbi dengan Panca Braja yang terkenal karena kesaktiannya Abiyasa menyatakan bahwa hanya anaknya Arimbi yang masih dalan kandungan yang akan bisa megalahkan Panca Baja. Menurut Abiyasa, tapi ke dimana-mana eta budak anu keur

dikandung ku Arimbi medal ka alam dunya, tah eta budak eta anu bakal bisa ngarengsekeun Brajamusti, Brajawikalpa, Lamatan, Denta, jeung Wisesa. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia,

(24)

ketika anak yang dikandung oleh Arimbi lahir, anak tersebut akan mampu mengalahkan Brajamusti, Brajawikalpa, Lamatan, Denta, dan Wisesa.

Begitu juga dengan Cepot mendengar pernyataan Abiyasa tentang anak yang akan mampu mengalahkan Panca Braja. Cepot mengatakan bisa jadi satria piningit teh masih dikandung euy,

masih keneh aya dina wewetengan deuleu yeuh. Artinya bisa jadi

Satria Piningit masih dalam kandungan, masih dalam perut. Pernyataan Abiyasa dan Cepot tersebut menunjukan bahwa peran dan kedudukan perempuan sebagai seorang ibu dalam konteks kepemimpinan adalah melahirkan, mengasuh, dan mendidik para ksatria yang nantinya akan menjadi pemimpi.

Masih dalam peran dan kedudukan perempuan dalam keluarga, perempuan dianggap sebagai pemberi keturunan, pada teks tersebut tergambar secara kodrat perempuan sebagai seorang yang harus mengandung seorang anak. Dalam teks ini, perempuan tidak bisa melepaskan dirinya dari keadaan dan peranannya secara biologis yang harus mengandung seorang anak. Sehingga dalam teks tersebut seorang perempuan di haruskan juga untuk mengikuti adat istiadat yang berlaku. Seperti yang disampaikan oleh Purbakesa yang menyatakan nyaeta dimana parantos kakandungan tujuh sasih

teh sok diayakeun upacara ngadat tujuh sasihan. Yaitu pada ketika

usia kandungan sudah mencapai tujuh bulan biasa diadakan upacara adat.

(25)

Dalam adat istiadat Sunda, ada banyak sekali pantangan-pantangan dan tabu bagi orang yang mengandung sampai melahirkan lebih banyak daripada orang yang tidak mengandung (Mustapa, 2010 Hal 14). Begitu juga yang ditegaskan oleh Purbakesa pada teks tersebut, merupakan adat istiadat yang harus dilakukan oleh seoarang perempuan yang sedang hamil. Semua adat istiadat dan segala pantangan yang harus dilakukan seorang perempuan ini dilakukan, dipercaya bisa menjaga anak yang sedang dikandungnya.

Dari teks tersebut, dikonstruksikan bahwa seorang perempuan tidak bisa menghindari kodratnya secara biologis untuk mengandung seorang anak lalu melahirkannya. Sehingga seorang perempuan pada akhirnya terikat pada adat istiadat yang harus dilakukannya untuk menjaga dan mempersiapkan anaknya yang akan lahir. Namun dari teks selanjutnya, dikonstruksi peran dan kedudukan perempuan untuk melahirkan seorang ksatria yang dianggap mampu menyelesaikan kekacauan dan bahkan dianggap sebagai Satria Piningit atau orang suci.

Jika kita membuat sebuah rangkaian konstruksi peran dan kedudukan perempuan sebagai ibu, teks-teks tersebut yang menunjukan konstruksi bahwa seorang perempuan tidak bisa menghindar dari keadaan biologisnya. Teks ini menjelaskannya dalam hal mengandung dan melahirkan anak, sehingga tidak bisa menghindar juga dari adat istiadat yang mengikutinya. Namum jika

(26)

ditelaah lebih jauh, justru perempuanlah yang sesungguhnya dapat menghasilkan para Ksatria yang nantinya akan menyelesaikan kekacauan dan bahkan dianggap orang suci. Proses inilah yang menjadikan kedudukan perempuan menjadi lebih tinggi sebagai seorang ibu.

Sudut pandang lain dari teks Lakon Wayang Golek Arimbi Ngadeg Ratu mengenai peran dan kedudukan perempuan dalam keluarga adalah peranannya sebagai seorang istri dan hubungannya sebagai suami istri. Dalam teks tergambar keengganan Bima sebagai seorang suami untuk bergantung kepada seorang istri dengan memutuskan untuk pergi dari Pringgandani. Bima menyatakan : emung cicing di tempat awewe, bari jeung diparaban ku awewe.

Bari aing teu usaha, bisi disebut nyalindung ka gelung. Nya kapaksa we init nyangsara apruk-aprukan, sabab lamun cicing wae di nagara Pringgandani bari jeung eweuh gawe bari jeung barang hakan ladang hasil kesang awewe, hukumna nu kitu dayus.

Bima menyatakan keenganannya untuk terus tinggal di pringgandani tanpa memiliki pekerjaan. Bima juga enggan untuk terus bergantung pada penghasilan Istrinya karena menurutnya hukumnya dayus.

Teks tersebut menunjukan sebagai seorang istri, perempuan tidak hanya menggantungkan hidup kepada seorang suami dalam hal mencari nafkah, tetapi justru bisa mandiri dalam hal nafkah dan bahkan mampu menutupi kekurangan suami ketika tidak mampu memenuhi kewajibannya. Teks ini sekaligus mendobrak kultur patriarkal dan mengakui adanya kesetaraan antara laki-laki dan

(27)

perempuan dalam bekerja. Lebih jauh lagi teks ini juga mengajarkan kepada perempuan untuk bisa mandiri secara ekomomi sehingga tidak memiliki ketergantungan kepada siapapun.

Walaupun dalam teks digambarkan keengganan Bima sebagai seorang suami untuk bergantung kepada penghasilan istri, tetapi juga tidak berarti melarang istri untuk mampu mandiri secara ekonomi. Teks ini memberikan pernyataan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hubungannya sebagai suami dan istri. Kesetaraan tersebut juga diakui dalam teks dalam peran dan kedudukan sebagai calon ibu dan calon ayah. Hal ini tergambar dari undangan yang disampaikan oleh Purbakesa kepada Bima untuk menghadiri upacara adat tujuh bulan kehamilan Arimbi. Seperti tergambar dalam teks yang menyatakan tah dimana-mana upacara

adat tujuh sasihan teh hoyong ka, palay kasakseni ku salira, kakang mas Bima. Kesetaraan antara calon ibu dan calon ayah dalam

menyambut kehamilan diperkuat dengan kesanggupan Bima untuk menghadiri upacara adat tersebut.

Dalam teks, baik perempuan sebagai calon ibu, maupun laki-laki sebagai calon ayah memiliki peranan masing-masing. Permintaan Arimbi kepada Bima untuk menghadiri acara adat kehamilan yang dilanjutkan dengan kesediaan Bima untuk menghadiri upacara adat tersebut menunjukan kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam hubungannya sebagai suami dan istri.

(28)

Dalam konteks kepemimpinan, teks menunjukan bahwa pemimpin sebuah keluarga tetap merupakan tanggung jawab laki-laki. Namun dengan demikian tidak berarti perempuan harus selalu berada dibawah perlindungan laki-laki. Teks mengkonstruksikan bahwa ada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dan perempuan juga harus mampu untuk menjadi mandiri. Teks sebagai bagian dari kebudayaan sunda tidak menjadikan perempuan mandiri sebagai seorang kepala keluarga, hal ini tergambar dari keengganan Bima untuk terus bergantung kepada Arimbi. Namun teks mengkonstruksikan kesetaraan antara laki-laki dan peremuan dalam keluarga, dan berbagi peran sebagi suami dan istri maupun sebagai ayah dan ibu.

Konteks ini juga sejalan dengan feminisme Gender yang menyatakan bahwa untuk mencapai kesetaraan perempuan dengan laki-laki dengan tidak menjadikan perempuan harus menjadi maskulin, tetapi perempuan mempertahankan sifat-sifat femininnya, dan laki-laki yang melepaskan bentuk ekstrim dari sifat maskulinnya. Teks mengkostruksikan bahwa seorang perempuan tidak harus menjadi laki-laki untuk menjadi setara tetapi dengan sifat keperempuannya perempuan dituntut untuk mandiri sehingga bisa setara dengan laki-laki.

(29)

2. Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Wacana Kepemimpinan di Ruang Publik

Konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam teks Lakon Wayang Golek Arimbi Ngadeg Ratu dalam kaitannya dengan peran dan kedudukan perempuan di ruang publik, dikonstruksi dalam percakapan yang terjadi antara Abiyasa dengan Bima. Dari teks, peran dan kedudukan perempuan di ruang publik dikonstruksi dalam dua kondisi. Pertama dalam hal kebebasan dalam memperoleh pasangan hidup dan kedua dalam hal kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi.

Konstruksi peran dan kedudukan perempuan di ruang publik terlihat pada kebebasan yang diperoleh Arimbi dalam menentukan pasangan hidup. Walaupun hanya disinggung secara singkat pada teks oleh Bima dalam percakapannya dengan Abiyasa, dimana Bima menyatakan nya kaluar-kaluar di leuweng Pringgandani. Didinya

nepi ka kaula meunang jodo, nyaeta ka Arimbi. Sanajan lanceuk si Arimbi, nya dahuan kaula teu doaeun. Yang jika diartikan ke dalam

Bahasa Indonesia keluar di Hutan Pringgandani. Di sana saya mendapatkan jodoh ke Arimbi, walaupun kakaknya tidak menyukainya.

Tapi teks mengkonstruksikan bahwa Arimbi memperoleh kebebasan yang tidak diperoleh para putri kerajaan dalam menentukan pasangan hidup. Jika disimak dari kalimat yang diungkapkan oleh Bima, kalimat tersebut langsung mengatakan

(30)

bahwa setelah sampai di Pringgandani, Bima mendapatkan jodoh yaitu kepada Arimbi. Hal ini menunjukan bahwa dalam proses yang terjadi ketika Arimbi menentukan pasangan hidupnya, Arimbi bertidak secara mandiri tanpa adanya campur tangan dari orang tua maupun pihak lain. Bahkan Arimbi menentang ketidaksukaan kakaknya yang merupakan Raja Pringgandani.

Hal ini berbanding terbalik dan cukup kontradiktif dengan apa yang terjadi kepada Drupadi. Sebagai putri raja, untuk menentukan pasangan hidupnya Drupadi harus melalui proses sayembara seperti yang terlihat pada teks yang menyatakan :

Kaula meunang beja yen di negara Cempalareja aya saembara, nyaeta prabu drupada nyaembarakeun Dewi Drupadi. Nya tidinya langsung milu saembara. Hasil nateh putri dikawinkeun ka sikakang Kontea.

Dalam teks Bima bercerita bahwa setelah pergi dari Pringgandani mereka mengikuti sayembara yang diadakan oleh Raja Drupada, yang menyaembarakan putrinya Dewi Drupadi. Pada akhirnya hasil dari sayembara tersebut, Dewi Drupadi menikah dengan kakak tertua Pandawa yaitu Kontea atau Yudistira.

Artinya, dalam menentukan pasangan hidupnya Drupadi terikat pada hasil sayembara. Dengan kata lain, Drupadi tidak seperti Arimbi yang memiliki kebebasan dan tidak terikat pada hasil apapun. Walaupun tujuan sayembara adalah untuk memperoleh pasangan yang layak dan sepadan untuk Drupadi, penyelenggara sayembara adalah ayahnya (orang tua).

(31)

Kontradiksi yang dihadirkan dalam teks tersebut membuktikan bagaimana Arimbi sebagai seorang perempuan memiliki kebebasan tersendiri dalam menentukan kehidupannya. Bahkan jika kita tinjau lebih jauh, Arimbi adalah seorang raksasa yang biasanya dikarakterkan sebagai karakter jahat, bisa menikahi Bima dari kalangan manusia yang berkasta ksatria. Hal yang tidak dimiliki oleh para putri yang lain seperti halnya Drupadi. Hal ini tentu saja menjadi sebuah pengecualian dari kisah Mahabarata yang dominasi patriarkalnya kuat.

Kisah kemandirian Arimbi dalam memilih pasangan ini bahkan bukan dari pengaruh ajaran agama Islam maupun kebudayaan Sunda yang sangat berpengaruh pada lakon-lakon yang biasa dipentaskan dalam pementasan Wayang Golek. Karena, kisah Arimbi menikah dengan Bima merupakan cerita asli dari kisah Mahabarata. Modifikasi yang dilakukan para Dalang dalam kisah ini hanya terdapat pada setting tempat saja. Dalam cerita asli setting cerita ini terdapat di sebuah hutan yang dikuasai oleh para raksasa (Sharma, 2013 Hal 150). Sedangkan dalam cerita lakon Wayang Sunda seperti yang menjadi tema, setting diubah menjadi sebuah kerajaan (Sumber teks).

Jika dibandingkan dengan Drupadi yang dalam cerita aslinya menggunakan sayembara untuk menentukan pasangan hidupnya, tetapi pada pernikahannya mendapatkan modifikasi disesuaikan dengan ajaran Islam maupun kebudayaan Sunda. Dari teks

(32)

dijelaskan bahwa Drupadi pada akhirnya menikah dengan Yudistira sebagai kakak tertua Pandawa, walaupun bukan Yudistira yang memenangkan sayembara tersebut (sumber teks). Sedangkan dalam cerita aslinya Drupadi harus menikah dengan kelima Pandawa sebagai akibat dari perintah yang diberikan oleh Kunti, ibu dari Pandawa (Rajagopalachari, 2011: Hal 94).

Cerita Arimbi yang menikah dengan Bima sebagai pilihannya sendiri, menunjukan bahwa Arimbi sebagai seorang perempuan memiliki kebebasan dan terbebas dari keterikatan serta campur tangan dalam memilih pasangan hidupnya. Cerita ini menunjukan bahwa Wayang Golek dan bahkan kisah Mahabarata yang memiliki kultur patriarkal mengajarkan bahwa seorang perempuan memiliki kebebasan dalam menentukan masa depannya sendiri, dan tidak harus terikat kepada kehendak orang tua maupun keluarga, serta tidak terikat dengan tradisi maupun budaya.

Dalam konteks kepemimpinan, bagian ini menunjukan kesamaan dan kontradiksi pada peran dan kedudukan perempuan. Pada teks ini sama-sama menujukan peran dan kedudukan perempuan sebagai bagian dari yang dipimpin, baik ayah sebagai pemimpin keluarga, maupun putri kerajaan yang dipimpin oleh raja. Namun yang membedakan dari teks ini adalah Arimbi memiliki kedudukan untuk bebas menentukan pilihannya, bahkan ketika Raja Pringgandani yang merupakan kakak tertuanya tidak menyetujui dan tidak menyukainya. Sedangkan Drupadi sebagai seorang anak harus

(33)

tunduk dan terikat pada keputusan ayahnya dan juga tunduk kepada adat kebiasaan sayembara untuk menentukan calon suami bagi putri kerajaan.

Jika merujuk pada lakon wayang yang penuh dengan sindir dan siloka, maka penulis menjadikan teks tersebut sebagai lambang dari kesetaraan perempuan dalam peran dan kedudukannya sebagai bagian dari sebuah organisasi, baik itu organisasi keluarga maupun organisasi kerajaan. Teks mengkonstruksikan bahwa perempuan memiliki hak untuk menentukan pilihannya. Dalam teks dicontohkan dengan kebebasan Arimbi dalam memilih suaminya.

Konstruksi peran dan kedudukan perempuan di ruang publik dalam teks Lakon Wayang Golek Arimbi Ngadeg Ratu yang kedua yaitu kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi. Teks menjelaskan bahwa untuk mencari pengganti Raja Arimba yang terbunuh, semua saudara dari Arimba mendirikan partai sendiri-sendiri untuk memperoleh dukungan rakyat. Masih pada teks tersebut, dijelaskan pula bahwa yang memenangkan dukungan rakyat adalah Arimbi.

Berikut yang dijelaskan dalam teks.

Kuayana dikantunkeun maot ku kakang Arimba teh kapan teu acan aya raja di Nagara Pringgandani ayeuna. Tah kukituna lajeng we di Nagara Pringgandani teh pesta demokrasi Pringgandani. Nyaeta pikeun nangtoskeun saha anu kedah jadi ais pangampih di Nagara. Lajeng we para saderek sadayana diantawisna Kaula, Kakang Kalabendana, Aceuk Arimbi, atuh cenah Kakang Brajamusti, Kakang Brajawikalpa, Lamatan, Denta, Wisesa. Salapan jalmi teh lajeng ngadegkeun partai sewang-sewangan. Anu kaetang pang seuerna suara teh nyaeta aceuk Arimbi

(34)

Teks tersebut menjelaskan konstruksi peranan dan kedudukan perempuan di ruang publik terdapat di dalamnya. Didalam teks tersebut sama sekali tidak ada perbedaan yang mengkotak-kotakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi. Kebebasan dalam berkumpul dan berorganisasi ditegaskan langsung dalam teks yang menyebutkan bahwa semua saudara Arimba mendirikan partai masing-masing dan pemenang dukungan masyarakat dimenangkan oleh Arimbi. Sehingga teks secara langsung mendukung kebebasan tersebut dan sama sekali tidak menyangkal kebebasan perempuan dalam berkumpul dan berorganisasi.

Kebebasan berkumpul dan berorganisasi tersebut, juga mendapat dukungan dan penegasan dari teks yang dinyatakan oleh Semar yang menyatakan kekagumannya kepada Arimbi yaitu emh

teu sangka jang, jempe-jempe ge geuningan eta gusti Arimbi teh geuningan seueur masanamah. Sebagai tokoh sesepuh atau yang

paling dihormati dalam cerita Wayang Golek. Semar tidak menyatakan ketidaksetujuannya terhadap aktivitas perempuan dalam berkumpul dan berorganiasi, tetapi juga malah mengungkapkan kekagumannya akan kemampuan Arimbi dalam mendapatkan dukungan dari masyrakat.

Jika merujuk pada momentum Lakon Wayang Golek ini dipetaskan yaitu pada awal-awal era reformasi, konstruksi peran dan kedudukan perempuan yang terdapat dalam lakon ini sesuai dengan

(35)

perkembangan kesetaraan gender di Indonesia. Seperti yang kita ketahui, peran dan kedudukan perempuan di Indonesia pada masa orde baru hanya menjadi organisasi fungsionalis saja dan mendeligitimasi partisipasi perempuan dalam kegiatan politik dan ruang publik. Peranan dan kedudukan perempuan terutama dalam hal berkumpul dan berorganisasi dapat secara bebas diperoleh setelah era reformasi teutama dalam organisasi-organisasi politik. Era reformasi dianggap sebagai tonggak redefinisi peran politik perempuan selama orde baru (Wulan, 2008 : Hal 3-5).

Dalam konteks kepemimpinan Arimbi sebagai seorang yang memiliki hak sebagai salah seorang putri kerajaan memiliki peran dan kedudukan yang setara dengan saudara-saudara laki-lakinya. Arimbi mendirikan partai dan menjadi pemimpin dari partai yang didirikannya. Dalam teori sifat pemimpin menyatakan bahwa kepemimpinan diperoleh dari keturunan dan status sosial. Arimbi yang merupakan putri dan juga merupakan keturunan Raja menunjukan kepemimpinannya dengan mendirikan partai, memimpinnya, lalu memenangkan pemilihan umum.

Teks ini mengkonstruksikan bahwa perempuan memiliki peran dan kedudukan yang sama untuk berkumpul dan berorganisasi. Posisi sebagai perempuan tidak menjadikan haknya terhapuskan untuk mendirikan organisasi ataupun partai dan dengan peran dan kedudukan perempuan yang setara menjadikannya untuk memimpin organisasi yang dibentuknya.

(36)

3. Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Wacana Kepemimpina di dalam Politik

Dalam kaitannya dengan Peran dan kedudukan perempuan dalam politik, Lakon Wayang Golek Arimbi Ngadeg Ratu mengkonstruksikannya dengan sangat jelas dalam alur cerita teks tersebut. Peran dan kedudukan perempuan dalam politik berkaitan dengan pembahasan bagian kedua yaitu peran dan kedudukan perempuan di ruang publik dalam kaitannya dengan kebebasan berorganisasi dan berkumpul. Bahkan teks yang mengkonstruksikan keduanya juga merupakan teks yang sama.

Seperti dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa peran dan kedudukan perempuan di ruang publik tidak dibatasi. Dengan adanya kebebasan dalam hal berkumpul dan berorganisasi, maka pada pembahasan kali ini akan diperdalam lebih jauh mengenai peran dan kedudukan perempuan dalam politik. Seperti yang dapat kita lihat pada teks :

Kuayana dikantunkeun maot ku kakang Arimba teh kapan teu acan aya raja di Nagara Pringgandani ayeuna. Tah kukituna lajeng we di Nagara Pringgandani teh pesta demokrasi Pringgandani. Nyaeta pikeun nangtoskeun saha anu kedah jadi ais pangampih di Nagara. Lajeng we para saderek sadayana diantawisna Kaula, Kakang Kalabendana, Aceuk Arimbi, atuh cenah Kakang Brajamusti, Kakang Brajawikalpa, Lamatan, Denta, Wisesa. Salapan jalmi teh lajeng ngadegkeun partai sewang-sewangan. Anu kaetang pang seuerna suara teh nyaeta aceuk Arimbi.

Purbakesa menyatakan bahwa semua saudara Arimba membentuk partai masing-masing untuk memperebutkan dukungan rakyat. Hal ini menandakan pengakuan terhadap peran dan

(37)

kedudukan perempuan dalam politik. Teks tersebut seperti menjelaskan bahwa dalam aktivitas politik tidak dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin dan gender. Konstruksi peran dan kedudukan perempuan dalam politik dalam teks lebih jauh lagi memperlihatkan bahwa keberadaan perempuan diakui dan dianggap setara. Penegasan-penegasan mengenai pengakuan dan kesetaraan tersebut dapat kita lihat pada teks-teks selanjutnya.

Kesetaraan hak perempuan dalam kegiatan politik diakui dengan adanya kesempatan yang sama yang dimiliki oleh Arimbi dengan saudara-saudara laki-lakinya untuk berpartisipasi dalam mendirikan partai politik. Pengakuan adanya pentingnya peranan perempuan dan kesetaraan peran serta perempuan dalam politik dapat kita lihat dari kemenangan Arimbi dalam perolehan dukungan rakyat. Seperti dinyatakan dalam teks, yang menyatakan bahwa diantara semua saudara Arimba yang mendirikan partai politik, yang memperoleh dukungan terbanyak adalah Arimbi.

Penegasan mengenai peran dan kedudukan perempuan dalam politik yang terdapat pada teks, dapat dilihat pada teks-teks selanjutnya. Pada percakapan selanjutnya antara Bima dan Purbakesa :

Bima :

Atuh meureun jadi Ratu si Arimbi..

Purbakesa :

Anu mawi henteu.

Bima :

Naon sabab.

(38)

Margi dina waktosna gempungan dina waktosna sawala teh Kakang Brajamusti, Brajawikalpa, Lamatan, Denta, sareng Wisesa teh oge Kakang Kalabendana teh ngayakeun kualisi.

Pada teks ini dijelaskan bahwa Arimbi merupakan pemenang Pemilu yang diadakan untuk mencari pengganti Raja Arimba. Namun pada musyawarah yang diadakan sebagai penentu untuk menentukan Raja atau Ratu kerajaan Pringandani, Arimbi dikalahkan oleh saudara-saudaranya yang berkoalisi untuk menjadikan Brajamusti sebagai Raja. Dalam teks tersebut sama sekali tidak ada isu gender untuk menjatuhkan Arimbi agar gagal menjadi Ratu. Malahan yang terjadi justru saudara-saudara Arimbi bekerja sama mengabungkan suara, sehingga pada hasil penentuan Arimbi kalah dan Brajamusti yang menjadi Raja.

Teks dilanjutkan pada dialog berikut : Abiyasa :

Emhh.. jadi.. beuki riweh..

Purbakesa :

Timalan.. katurub-turub nyaeta putrana Kakang Arimba suargi anu kakasih Raden Rimbana ayeunateh jadi buronan Nagara..

Bima :

Ieuhh.. naha..

Purbakesa :

Margi Kakang Brajamusti teh mangaruhan nu teu puguh.. dina waktosna kampanye ge kitu we ngagogoreng Aceuk Arimbi pajarkeun teh cenah Kakang arimba maot teh cenah dipaehan ku Arimbi nitah salakina.. atuh rakyat teh seueur anu kapangaruhan.

Pada teks ini menyatakan penegasan lebih lanjut bahwa isu

gender bukan merupakan isu yang pantas untuk diangkat dalam

kampaye. Teks tersebut merupakan kampanye hitam yang diarahkan kepada Arimbi oleh Brajamusti, bahwa Raja Arimba mati dibunuh

(39)

oleh Bima atas permintaan Arimbi. Dalam kampanye hitam ini isu bahwa perempuan tidak layak untuk dianggkat menjadi pemimpin sama sekali tidak ada.

Pada teks-teks tersebut memperlihatkan bahwa tidak ada bantahan yang bersifat gender dalam memperebutkan dukungan rakyat. Seperti yang dijelaskan dalam teks, untuk mengalahkan Arimbi dalam musyawarah untuk menentukan pemimpin, Arimbi dikalahkan oleh kualisi antara saudara-saudaranya dan sama sekali tidak menggunakan isu gender. Bahkan dalam kampenye hitam sekalipun, isu gender sama sekali tidak disebutkan, seperti dijelaskan dalam teks.

Penegasan peran dan kedudukan perempuan dalam politik juga mendapat penegasan secara hukum. Seperti yang terlihat pada teks berikut :

Abiyasa :

Upami nguping kana samatawis dongeng anu nembe. Eces jentre pertela ngemang boled supados Nagara ulah harengheng

masyarakat teu parasea wae kumaha ayeunamah langsung we Dewa ti Sawarga nyaeta kedah lungsur ngistrenan Arimbi jadi Ratu Pringgandani.

Purbakesa :

Waduh.

Bima :

Emmmhhhh. pan sidik si Brajamusti jadi Raja.

Abiyasa :

Pokona kitu carana teu aya deui cara.

Abiyasa :

Bima.

Bima :

Anda apa.

Abiyasa :

Wayahna hidep kaituh init ka Sawarga.. heu.. hidep init ka Sawarga tepangan Hyang Otipati Jagatnata menta supaya lungsur jeung

(40)

para Dewa pikeun langsung ngistrenan Arimbi jadi Ratu Pringgandani.

Dalang :

Bima langsung lebet ka Sawarga nepangan kapara Dewa. Atuh para Dewa sadayana pada nyaluyuan kuayana Arimbi kedah diistrenan jadi Ratu Pringgandani.

Pada teks di atas, dijelaskan bahwa Abiyasa menyarankan untuk meminta Dewa dalam hal ini Hyang Otipati sebagai Raja Triloka untuk turun langsung menobatkan Aimbi sebagai Ratu Pringandani. Abiyasa meminta Bima untuk langsung menemui Dewa agar turun langsung menobatkan Arimbi. Dan pada monolog dalang, Para Dewa pun menyetujui untuk menobatkan Arimbi.

Teks mengkonstruksi penegasan keabsahan peran dan kedudukan perempuan diakui dan juga disahkan sebagai sebuah hukum. Teks menjelaskan bahwa keabsahan Arimbi sebagai seorang Ratu, walaupun dalam hal ini digagalkan oleh saudaranya yang membentuk kualisi harus disahkan dengan dinobatkan oleh para Dewa. Artinya Dewa sebagai manifestasi kekuasaan tertinggi yang dianggap juga sebagai suara rakyat mengesahkan dan menobatkan Arimbi sebagai Ratu. Dengan demikian secara hukum partisipasi perempuan dalam politik diakui dan sah secara hukum. Penegasan dari teks di atas menjelaskan bahwa peran dan kedudukan perempuan dalam politik tidak bisa dibantah karena sudah mendapat pengakuan dan sudah diakui secara hukum.

Penegasan dan keabsahan tersebut juga diakui dan dijalankan oleh semua orang, baik itu oleh aparatur negara, keluarga, maupun

(41)

masyarakat. Keabsahan oleh aparatur negara dijelaskan dalam teks di bawah ini yang diwakili oleh Purbakesa sebagai salah satu aparat negara Pringgandani yang menyatakan kepada Rimbana Emang

moal bisa naon-naon Kasep, ayeunamah kumaha ceuk Ratu Nagara we da pasti ayeuna parantos diistrenan Aceuk Arimbi.

Purbakesa menyatakan bahwa segala keputusan sekarang berada di tangan Arimbi sebagai Ratu. Pengampuanan dan hukuman hanya bisa dilakukan oleh Ratu Negara yaitu Arimbi. Dengan ini jelas bahwa pemerintahan, hukum, dan peraturan kenegaraan sama sekali tidak memandang gender, tetapi menandang keabsahan pemerintahan. Artinya baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi pemimpin, keputusannya dianggap setara.

Penegasan dari keluarga juga dapat kita lihat pada teks dibawah ini : Narada : Bima.. Bima : anda apa.. Narada : Rojong ku anjeun..

Teks ini mengkonstruksi pengakuan Bima sebagai suami dari Arimbi dijelaskan dengan dukungannya terhadap pemerintahan yang Arimbi. Cukup unik dalam kasus ini, karena biasanya walaupun yang memiliki keturunan ada pada pihak perempuan, biasanya penobatan juga terjadi pada suaminya. Sehingga secara langsung suaminya juga akan menjadi Raja. Tetapi dalam teks ini, sama sekali

(42)

tidak menjadikan Bima otomatis menjadi seorang Raja. Dalam hal ini justru Bima sebagai suami memberikan dukungannya, sehingga apapun keputusan Arimbi sebagai seorang Ratu tidak akan diintervensi oleh siapapun termasuk oleh suaminya sendiri.

Pengakuan mengenai peranan dan kedudukan perempuan dalam politik diungkapkan oleh Cepot sebagai penggambaran dari Rakyat yang menyatakan Kuayana Gusti Ratu Arimbi diistrenan

hayu urang rojong dina sagala rupa widang. Pada teks dapat dilihat

bahwa Cepot sebagai rakyat mengajak kepada sesama masyarakat yang lain untuk mendukung pemerintahan dan mendukung kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Arimbi sebagai Ratu. Penegasan oleh rakyat dalam ini seperti melengkapi dan menegaskan keabsahan dan kesetaraan perempuan dalam politik.

Kosntruksi teks Lakon Wayang Golek Arimbi Ngadeg Ratu, tidak menjadikan perbedaan gender sebagai pembeda dalam urusan politik. Padahal jika kita telusuri lebih jauh keterlibatan perempuan dalam politik bahkan sampai sekarang masih menjadi kontroversi, karena anggapan bahwa perempuan dianggap tidak layak untuk menjadi peminpin. Dalam kisah Mahabarata yang didominasi oleh kultur patriarkal, teks Lakon Arimbi Ngadeg Ratu seperti mendobrak kultur patriarkal tersebut dengan sosok Arimbi.

Jika kita mengenal tokoh-tokoh perempuan dalam kisah Mahabarata yang memiliki peranan penting dalam kisah tersebut, tidak ada satupun dari mereka yang dapat memperoleh kedudukan

(43)

sebagai Ratu yang memiliki kemandirian dalam kekuasaannya. Walaupun kita kenal adanya Drupadi, Kunti, maupun Gandari sebagai seorang Ratu, keberadaan mereka diperoleh hanya karena kedudukan suami mereka sebagai seorang Raja.

Teks ini seperti mendobrak teks asli Mahabarata dalam melihat peran dan kedudukan perempuan dalam politik. Seperti yang dijelaskan oleh Sharma dalam bukunya perempuan-perempuan Mahabarata, tokoh-tokoh perempuan dalam kisah Mahabarata hanya sampai merebut kekuasaan sebatas pada kekuasaan secara de facto dan para suami maupun anak-anak hanya sebagai sarana untuk mencapat tujuan (Sharma, Hal : 149). Tetapi berbeda dengan mereka, teks ini menjadikan Arimbi tidak hanya mampu merebut kekuasaan de facto saja, tetapi juga memperoleh kekuasaan secara

de jure.

Adanya pengaruh budaya Sunda dalam teks ini juga tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi pada Arimbi. Hal ini karena dalam kebudayaan Sunda, kedudukan perempuan begitu dimuliakan pada peranannya sebagai seorang ibu. Sehingga, walaupun perempuan menginginkan berperan dalam politik, yang bisa dilakukannya hanya sebatas pada kekuasaan secara de facto saja. Tetapi jika sampai pada pengakuan secara de jure, peneliti tidak menemukan peran dan kedudukan perempuan dalam kebudayaan Sunda.

Begitu juga dengan pengaruh ajaran Islam tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi pada tokoh Arimbi pada teks ini.

(44)

Walapupun jika kita melihat penelitian yang adil terhadap ajaran Islam, ke dalam sejarah kebudayaan Islam, akan diperoleh bukti bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang setara dalam hak berpolitik (Badawi, 2008 Hal 13). Namun demikian kepemimpinan perempuan tetap saja masih menjadi kontroversi. Walaupun perkembangan jaman sudah membuktikan dan mengakui kemampuan dan kesetaraannya dalam politik (Salenda, 2012 Hal 377). Tidak adanya bantahan partisipasi maupun kepemimpinan perempuan yang mengangkat isu gender dalam teks ini menjelaskan bahwa teks ini tidak menjadikan kontroversi kepeminpinan perempuan dijadikan sebagai penghalang.

Penjelasan paling logis mengapa teks ini mengangkat kisah Arimbi dan menjadikannya mampu memiliki kekuasaan baik secara

de facto maupun de jure, adalah karena adanya kesamaannya

dengan peristiwa yang terjadi pada awal masa reformasi. Pada saat itu, PDIP yang dipimpin oleh Megawati Sukarnoputri yang memenangkan pemilu 1999, tidak mampu menjadi menjadi presiden karena kalah dalam pemilihan presiden akibat adanya koalisi dalam pemilihan presiden di MPR. Sehingga teks ini menjadi seperti terinsprasi bahwa yang menjadikan syarat seseorang menjadi pemimpin adalah ada pada dukungan Rakyat. Adanya perbedaan

gender tidak menjadikan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam

(45)

memikiki kesempatan yang sama dalam mencapai kekuasaan baik secara de facto maupun secara de jure.

Dalam konteks teori kepemimpinan, Arimbi mewakili teori sifat kepemimpinan. Kepemimpinan Arimbi diperoleh karena adanya keturunan dan status sosial. Arimbi sebagai seorang putri raja dan merupakan keturunan dari pemimpin kerajaan Pringgandani tentu memiliki hak dan sifat-sifat kepemimpinan. Namun uniknya Arimbi juga sepertinya mendobrak teori sifat pemimpin yang menyatakan bahwa sifat kepemimpinan dari karakter fisik salah satunya adalah jenis kelamin. Namun pada teks, jenis kelamin tidak menjadi pertimbangan untuk mengangkat seseorang menjadi pemimpin. Teks mengkonstruksikan bahwa orang yang layak untuk diangkat sebagai seorang pemimpin adalah orang yang memperoleh dukungan dari rakyat.

Gambar

Tabel 4.1 Teks Peran dan Kedudukan Perempuan dalam  Keluarga
Tabel 4.2 Teks Peran dan Kedudukan Perempuan di Ruang  Publik
Tabel 4.3 Teks Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Politik

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil observasi keaktifan belajar siswa siklus II pertemuan 1 yang dilakukan oleh observer pada siswa kelas VB mata pelajaran IPA saat proses

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti mengenai komunikasi visual foto pernikahan pada akun instagram Iris Moment Semarang menunjukkan

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan di kelas V SD Negeri Gejayan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang tahun pelajaran 2011/2012 yang berjumlah

Observasi atau pengamatan terhadap kegiatan anak selama kgiatan pembelajaran menggunakan lembar observasi. Observasi tersebut dilakukan oleh peneliti dan hasil dari

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan di kelas V SDN 1 Krobokan Kecamatan Juwangi Kabupaten Boyolali dengan jumlah siswa 31 pada mata pelajaran

Observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi. Kegiatan yang dilakukan adalah mengamati aktivitas guru, aktivitas siswa, dan aktivitas pembelajaran menggunakan

Berdasarkan observasi dan analisis hasil tes pada siklus I pertemuan kedua hari Jumat tanggal 19 April 2013, terdapat 17 siswa yang tuntas dan 2 siswa belum tuntas belajar,

Berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial yang diperoleh serta hasil observasi yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan teknik Kancing