• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tarian

Menurut Ross (2007), tarian ialah suatu fenomena yang kompleks dan indah. Bagian yang indah dari tarian ialah ketika menari, sang penari tidak terlalu memperhatikan elemen dan detail dari tarian tetapi lebih merasakan “kesempurnaan diri” di dalam tarian tersebut sehingga dia mampu memahami dan menginterpretasikan apa yang dialaminya dari tarian tersebut (Blasing, 2010). Sedangkan Landsdale (1994) menyatakan bahwa tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diubah oleh imajinasi dan diberi bentuk melalui media gerak sehingga menjadi bentuk gerak yang simbolis dan sebagai ungkapan kepada Sang Pencipta. Menurut Wardhana (1990), seni tari memiliki beberapa fungsi, yaitu:

1. Seni tari sebagai sarana upacara.

Tari dapat digunakan sebagai sarana upacara. Jenis tari ini banyak jenisnya, seperti tari untuk upacara keagamaan dan upacara penting dalam kehidupan manusia.

2. Seni tari sebagai hiburan.

Tari sebagai hiburan harus bervariasi. Oleh karena itu, jenis ini menggunakan tema-tema yang sederhana, diiringi lagu yang enak dan mengasyikkan. Kostum dan tata panggungnya juga dipersiapkan dengan cara yang menarik.

3. Seni tari sebagai penyaluran terapi.

Jenis tari ini biasanya ditujukan untuk penyandang cacat fisik atau cacat mental. Penyalurannya dapat dilakukan secara langsung bagi penderita cacat tubuh, penderita tuna wicara, tuna rungu, dan secara tidak langsung bagi penderita cacat mental.

(2)

4. Seni tari sebagai media pendidikan.

Kegiatan tari dapat dijadikan media pendidikan, seperti mendidik anak untuk bersikap dewasa dan menghindari tingkah laku yang menyimpang. Nilai-nilai keindahan dan keluhuran pada seni tari dapat mengasah perasaan seseorang.

5. Seni tari sebagai media pergaulan.

Seni tari adalah kolektif, artinya penggarapan tari melibatkan beberapa orang. Oleh karena itu, kegiatan tari dapat berfungsi sebagai sarana pergaulan.

6. Seni tari sebagai media pertunjukkan.

Tari bukan hanya menjadi sarana upacara atau hiburan, tetapi tari juga bisa berfungsi sebagai pertunjukkan yang sengaja dipertontonkan. Tari yang dipentaskan lebih menitikberatkan pada segi artistiknya dan penggarapan koreografi yang mengandung ide, interprestasi konsepsional yang memiliki tema dan tujuan.

7. Seni tari sebagai media katarsis.

Katarsis berarti pembersihan jiwa. Seni tari sebagai media media katarsis lebih mudah dilaksanakan oleh orang yang telah mencapai taraf atas dalam penghayatan seni.

2.2. Dance Movement Therapy

2.2.1. Definisi Dance Movement Therapy

Dance Movement Therapy (DMT) secara resmi didefinisikan sebagai psikoterapi yang menggunakan gerakan sebagai proses yang lebih lanjut dari emosional, kognitif, integrasi sosial dan fisik individu (American Dance Therapy Association) dalam Goodill (2005). DMT adalah disiplin khusus di bidang kesehatan mental, bersama dengan terapi seni kreatif lain (seni, musik, drama, puisi dan psikodrama terapi).

(3)

Menurut Chaiklin (2009), tujuan umum dari DMT ini adalah, antara lain: 1. Meningkatkan integrasi dari kognitif, afektif dan pengalaman fisik

2. Meningkatkan kemampuan ekspresif 3. Meningkatkan kesadaran diri.

Penilaian dan teknik klinis keduanya canggih dan fleksibel, sehingga terapi disesuaikan dengan kebutuhan dari berbagai populasi. Dance Movement

Therapy menekankan keselarasan dan koneksi antara verbal dan

nonverbal dari cara berekspresi. Namun, penilaian dan terapi dapat dilanjutkan sepenuhnya di bidang nonverbal gerakan, sentuh, irama, dan interaksi spasial, sehingga pendekatan cocok dengan kebutuhan orang yang tidak dapat berpartisipasi dalam psikoterapi yang berorientasi dalam bentuk lisan (Chaiklin, 2009).

Menurut Payne (2006) definisi dari Dance Movement Therapy (DMT) yang diadopsi oleh The Association for Dance Movement Therapy (ADMT) dan Standing Committee for Arts Therapies Professions (SCATP) mewujudkan dua prinsip mendasar:

Dance Movement Therapy adalah penggunaan gerakan ekspresif dan menari sebagai alat dimana seorang individu dapat terlibat dalam proses integrasi pribadi dan pertumbuhan. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa ada hubungan antara gerak dan emosi serta dengan mengeksplorasi kosakata yang lebih bervariasi dari gerakan, seseorang yang akan menjadi lebih seimbang dan mudah beradaptasi. Melalui gerakan dan menari, batin setiap orang menjadi nyata, individu berbagi banyak simbolisme pribadi mereka dan hubungan kebersamaan sewaktu menari menjadi terlihat. Dance Movement terapis menciptakan sebuah lingkungan dimana perasaan dapat dengan aman dinyatakan, diakui dan dikomunikasikan.

(4)

2.2.2. Mekanisme Dance Movement Therapy

Menurut Chaiklin (2009), DMT dibagi atas dua model yang berfokus pada kapasitas kreativitas yang tiada akhir dan kualitas estetik dari tubuh yang bergerak sebagai suatu fundamental yang unik dan spesifik untuk proses terapi, yaitu :

1. The Intra-Actional System

Sistem ini berhubungan dengan individu dan persepsi tubuh dan dirinya (spesifiknya, sikap tubuh dan konsep diri sendiri).

2. Interactional System

Sistem ini lebih mengarah pada individu dan kapasitas mereka yang berhubungan dengan dunia sebagai mahluk sosial (spesifiknya, komunikasi dan dinamika interpersonal).

Sumber : Chaiklin (2009)

(5)

2.2.3 Program Dance Movement Therapy

Adapun program DMT ini terdiri dari 12 sesi, yaitu 6 sesi asosiasi bebas dan 6 sesi tari terstruktur. Remaja berpartisipasi 6 kali seminggu satu sesi per hari. Empat puluh lima menit pertama setiap sesi adalah sesi tari terstruktur berupa pop

dance yang dikoreograferi oleh instruktur tari yang profesional. Peneliti, yang

juga fasilitator gerakan tari dan program intervensi, dapat menerima pelatihan dari instruktur tari untuk memfasilitasi sesi tari terstruktur.

Kaban (2003) menyatakan bahwa kebutuhan anak-anak atau remaja yang akan berpartisipasi dalam tarian dan gerakan intervensi program akan terus-menerus berubah sehingga program intervensi tiap sesi DMT harus fleksibel. Oleh karena itu, walaupun setiap sesi memiliki tema tertentu dan setiap sesi terdiri dari aspek-aspek tertentu, peneliti/fasilitator harus fleksibel dan siap untuk menyesuaikan sesi untuk kebutuhan remaja. Untuk meningkatkan partisipasi kelompok dan eksplorasi tema tertentu, beberapa aspek tertentu dari setiap sesi harus terstruktur dan sebagian lagi lebih fleksibel.

Aspek yang terstruktur dari setiap sesi ditujukan untuk menciptakan rutinitas selama periode dua minggu, yang mana memberikan rasa stabilitas, kontrol dan konsistensi pada para peserta. Peneliti/fasilitator memilih untuk mengimplementasikan program intervensi dalam format grup untuk meningkatkan hubungan interpersonal serta keterampilan sosial peserta dan memberikan kesempatan pada para peserta untuk mendukung satu sama lain. (Kaban, 2003).

1. Sesi Asosiasi Bebas

Gerakan kreatif atau sesi asosiasi bebas dan sesi tari terstruktur memiliki sesi pemanasan dan pendinginan. Sesi ini memungkinkan para peserta untuk meregangkan otot-otot mereka, dengan demikian mencegah cedera, dan memungkinkan mereka untuk rileks dan menenangkan diri sebelum dan sesudah setiap gerakan kreatif atau tari terstruktur.

(6)

Sesi pemanasan dan pendinginan ini dilakukan karena penelitian sebelumnya telah membuktikan hal tersebut sangat efektif dalam mendukung program DMT (Carter, 2004; Kaban 2003 ; Jeppe, 2006).

Sesi pertama setiap hari ialah ekspresi emosional yang kreatif dan sesi kedua, gerakan tari terstruktur. Pada sesi pertama setiap harinya, sesi pemanasan dan pendinginan masing-masing dilakukan selama 7 menit yang terdiri dari peregangan dan latihan untuk meningkatkan relaksasi serta pernafasan peserta . Relaksasi tidak hanya menyebabkan pengurangan tingkat stres tetapi juga mempengaruhi respon endokrin seseorang sehingga sistem saraf otonomnya lebih stabil. (Choi et al., 2008).

Pada sesi kedua, sesi pemanasan dilakukan selama sepuluh menit dan pendinginan lima menit lama. Bagian ini termasuk peregangan dan latihan pernapasan.

Tabel 2.1 : Sesi Free Association Dance and Movement (Merwe, 2010)

Sesi Tema Aktivitas

1 Attachment Introduction

Mirroring exercise

2 Relationships Mirroring exercise

3 Feelings Exploration of emotion

Jumping exercise

4 Control and Helplessness Personal space activity

Body control activity Improvisation exercise

5 Grief, loss and rejection Exploration of negative emotion

6 Fears, hopes and dreams Exploration of positive emotion

Urutan di mana tema-tema ini disajikan, dipilih berdasarkan yang tebaik untuk proses terapi (Egan, 2007).

(7)

Tema dalam dua sesi awal, attachment and relationships, ditujukan untuk membangun hubungan dan rasa nyaman dalam kelompok. Dua sesi ini berfokus pada pembangunan hubungan, kepercayaan dan rapor.(Gibson et al. 2002).

Tema pada sesi ketiga adalah feeling. Ini adalah tema yang relatif luas di mana emosi positif dan negatif dieksplorasi. Hal ini memungkinkan para peserta lebih banyak waktu untuk merasa nyaman ketika membahas tema ini. (Gibson et al. 2002)

Sesi keempat dan kelima adalah dua tema secara emosional paling sulit, control and helplessness, dieksplorasi. Sesi terakhir memiliki tema lebih positif yaitu, fears, hopes and dreams. (Gibson et al. 2002)

Latihan khusus yang terkait dengan setiap tema sekarang akan dibahas:

Sesi pertama, dengan tema attachment, adalah sesi pendahuluan dan selama sesi ini dihabiskan peserta dan peneliti/fasilitator untuk mengenal satu sama lain. Selama sesi ini, peneliti/fasilitator menjelaskan prosedur yang akan dijalani para peserta dan memberikan kesempatan pada peserta untuk bertanya.

Latihan mirroring dilakukan pada tema awal ini. Mirroring adalah tari konstruktif dengan gerakan yang mengikuti gerakan kelompok lain (Kaban, 2003). Mirroring meningkatkan pengembangan attachment dan pembangunan kepercayaan (Kaban, 2003).

Sumber : Static news (2010) Gambar 2.2. Gerakan Mirroring

(8)

Pada awal pelaksanaan, peneliti/fasilitator melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu dan mendorong seluruh kelompok untuk mengikutinya. Lalu kelompok dibagi menjadi pasangan dan melakukan mirroring bergiliran untuk melaksanakan gerakan. Selama latihan ini, peserta didorong untuk tidak berbicara agar fokus pada gerakan pasangannya. Untuk memotivasi remaja untuk terus bergerak, peneliti/fasilitator terus mengubah musik, irama dan gerakannya sehingga para peserta mengikutinya. (Kaban, 2003).

Tema sesi kedua ialah relationship, latihan mirroring ini sekali lagi dilakukan. Peserta saling berpasangan di mana salah satu peserta diminta untuk bergerak dan peserta pasangannya mengikuti pergerakan tersebut sambil diiringi musik. Pada saat musik berhenti secara acak, peserta harus berhenti dan bertukar posisi. Pada saat musik mulai lagi, peserta melakukan mirroring kembali. (Payne, 2006).

Tema sesi berikutnya adalah feeling. Pertama, seorang peserta mengambil kertas yang berisi tulisan emosi yang berbeda dari topi secara acak dan peserta tersebut menggambarkan emosi yang tertulis ke grupnya menggunakan gerakan dan tari. Teman sekelompoknya harus menebak emosi apa yang digambarkan. Setelah sesi ini selesai, peserta ditanya mengenai emosi apa yang mereka sulit gambarkan pada teman sekelompoknya. (Payne, 2006)

Pada sesi keempat dengan tema, control and helplessness. Para peserta harus mengulurkan tangan dan kakinya dan bergerak di sekitar kamar khayalannya, menjelajahi ruang pribadi mereka dan ruang pribadi orang lain (Kaban, 2003).

Tema sesi akhir yang akan dieksplorasi adalah hopes and dreams. Peserta diminta mengeksplorasi apa yang membuat mereka merasa takut, mendengarkan musik yang dapat menyebabkan seseorang merasa takut, dan bergerak secara bebas sesuai musik. Mereka diberitahu bahwa mereka bisa menggambarkan suatu peristiwa dan bergerak sesuai emosi mereka.

(9)

Pada akhir sesi mereka diizinkan untuk menggunakan musik, menyanyi, berbicara untuk menggambarkan harapan mereka. (Kaban, 2003)

2. Sesi Gerakan terstuktur

Sesi gerakan terstruktur ini bermanfaat untuk pemahaman para peserta mengenai tema dari tarian setiap sesi. Waktu yang dibutuhkan untuk tiap sesi tarian yang terstruktur ini adalah tiga puluh menit. Berdasarkan pertimbangan usia peserta maka sesi tari terstruktur ini adalah pop dance. (Kaban, 2003)

Waktu untuk rutinitas pop dance adalah satu setengah menit. Peneliti/fasilitator menekankan bahwa tidak penting bagi para peserta untuk melakukan gerakan dengan sempurna melainkan meminta mereka menikmati setiap gerakan yang mereka lakukan. (Kaban, 2003)

2.3. Stres

2.3.1. Definisi Stres

Menurut American Institute of Stress (2010), tidak ada definisi yang pasti untuk stres karena setiap individu akan memiliki reaksi yang berbeda terhadap stres yang sama. Stres bagi seorang individu belum tentu stres bagi individu yang lain. Adapun pendapat beberapa ahli dan institusi mengenai stres, seperti :

1. Menurut Hans Seyle (1978) menyatakan bahwa stres bukanlah perubahan kondisi fisiologis yang sama dan spesifik akibat pengalaman dari stres, tetapi stres ialah intensitas yang dibutuhkan oleh seseorang untuk menyesuaikan diri dengan relevan dan tidak memperdulikan apakah stres itu bersifat menyenangkan (eustress) atau tidak menyenangkan (distress). 2. Menurut National Association of School Psychologist (1998), stres

adalah perasaan yang tidak menyenangkan dan diinterpretasikan secara berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya.

(10)

3. Menurut Menurut Lazarus (1999) bahwa stres adalah keadaan internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya.

4. Menurut Feldman (2007), stres adalah suatu proses yang menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada tingkat fisiologis, emosional, kognitif, dan perilaku.

5. Menurut Taylor (2009) bahwa stres merupakan suatu pengalaman emosional negatif yang disertai dengan perubahan biokimia, fisiologi, kognitif dan perilaku yang dapat diramalkan di mana diarahkan baik terhadap usaha untuk mengubah kejadian stres ataupun mengakomodasikan efek dari stres tersebut.

6. Menurut Sarafino (2011), stres merupakan keadaan psikologis yang timbul jika ada ketidakseimbangan antara persepsi individu mengenai tuntutan yang harus dihadapi dibandingkan dengan kemampuan mereka untuk mengatasi tuntutan tersebut.

2.3.2. Penggolongan Stres

Menurut Selye (1978) dalam Rice (1998), stres dibagi menjadi dua golongan. Penggolongan ini didasarkan atas persepsi individu terhadap stres yang dialaminya :

a) Distress (Stres Negatif)

Selye menyebutkan distress merupakan stres yang merusak atau bersifat tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya.

(11)

b) Eustress (Stres Positif)

Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat menyenangkan dan merupakan pengalaman yang memuaskan. Eustress dapat meningkatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi, dan performansi individu. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu.

2.3.3. Klasifikasi Stres

Berdasarkan etiologinya, Rice (1998) mengklasifikasikan stres atas beberapa bagian, yaitu :

1. Stres Kepribadian (Personality Stress).

Stres kepribadian adalah stres yang dipicu oleh masalah dari dalam diri seseorang. Berhubungan dengan cara pandang pada masalah dan kepercayaan atas dirinya. Orang yang selalu bersikap positif akan memiliki risiko yang kecil terkena stres keperibadian.

2. Stres Psikososial (Psychosocial Stress).

Stres psikososial adalah stres yang dipicu oleh hubungan dengan orang lain di sekitarnya ataupun akibat situasi sosialnya. Contohnya stres ketika mengadaptasi lingkungan baru, masalah keluarga, stres macet di jalan raya dan lain-lain.

3. Stres Bio-ekologi (Bio-Ecological Stress).

Stres bio-ekologi adalah stres yang dipicu oleh dua hal. Hal yang pertama adalah ekologi atau lingkungan seperti polusi serta cuaca. Sedangkan hal yang kedua adalah kondisi biologis seperti menstruasi, demam, asma, jerawatan, dan lain-lain.

4. Stres Pekerjaan (Job Stress).

Stres pekerjaan adalah stres yang dipicu oleh pekerjaan seseorang. Persaingan di kantor, tekanan pekerjaan, terlalu banyak kerjaan, target yang terlalu tinggi, usaha yang diberikan tidak berhasil, persaingan bisnis adalah beberapa hal umum yang dapat memicu munculnya stres akibat karir pekerjaan.

(12)

5. Stres mahasiswa (Student stress).

Stres mahasiswa itu dipicu oleh dunia perkuliahan. Sewaktu perkuliahan terdapat tiga kelompok stresor yaitu stresor dari segi personal dan sosial, gaya hidup dan budaya, serta stresor yang dicetuskan oleh faktor akademis kuliah itu sendiri.

2.3.4. Stresor

Menurut Lazarus & Folkman (Lazarus, 1999), kondisi fisik, lingkungan dan sosial yang merupakan penyebab dari kondisi stres disebut dengan stressor. Istilah stresor diperkenalkan pertama kali oleh Seyle (Rice, 1998). Stresor dapat berwujud, seperti polusi udara dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial, seperti interaksi sosial. Pikiran ataupun perasaan individu sendiri yang dianggap sebagai suatu ancaman baik yang nyata maupun imajinasi dapat juga menjadi stressor (Rice, 1998).

Lazarus & Cohen (Lazarus, 1999) mengklasifikasikan stresor ke dalam tiga kategori, yaitu :

1. Peristiwa Dahsyat (Cataclysmic events)

Fenomena besar atau tiba-tiba terjadi, kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi banyak orang, seperti bencana alam.

2. Stresor Pribadi (Personal stressors)

Kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi sedikit orang atau sejumlah orang tertentu, seperti krisis keluarga.

3. Stresor Dasar (Background stressors)

Pertikaian atau permasalahan yang biasa terjadi setiap hari, seperti masalah dalam pekerjaan dan rutinitas pekerjaan.

Ada beberapa jenis-jenis stresor psikologis (Rice, 1998), yaitu : 1. Tekanan

Tekanan terjadi karena adanya suatu tuntutan untuk mencapai sasaran atau tujuan tertentu maupun tuntutan tingkah laku tertentu. Secara umum, tekanan mendorong individu untuk meningkatkan performa, mengintensifkan usaha atau mengubah sasaran tingkah laku.

(13)

Tekanan sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki bentuk yang berbeda-beda pada tiap individu. Tekanan dalam kasus tertentu dapat menghabiskan sumber-sumber daya yang dimiliki dalam proses pencapaian sasarannya, bahkan bila berlebihan dapat mengarah pada perilaku maladaptive serta menimbulkan stres (Sarafino, 2011). Tekanan dapat berasal dari dua sumber, yaitu:

a. Sumber internal

Sumber tekanan yang berasal dari dalam diri seseorang, antara lain adalah konsep diri dan komitmen personal.

b. Sumber eksternal

Sumber tekanan eksternal banyak berkaitan dengan tekanan waktu, peran yang dijalani, juga berkaitan dengan tuntutan-tuntutan orang lain, misalnya, seorang siswa yang mengejar target agar lulus dalam ujian masuk perguruan tinggi favorit atau dapat berupa tuntutan orang tua.

2. Frustrasi

Frustrasi adalah situasi apa pun di mana individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Frustrasi dapat terjadi apabila usaha individu untuk mencapai sasaran tertentu mendapat hambatan atau hilangnya kesempatan dalam mendapatkan hasil yang diinginkan. Frustrasi dapat juga diartikan sebagai efek psikologis terhadap situasi yang mengancam, seperti misalnya timbul reaksi marah, penolakan maupun depresi (Santrock, 2010).

3. Konflik

Konflik merupakan munculnya dua kecenderungan yang bertentangan secara simultan. Konflik dapat muncul karena adanya kebutuhan internal atau motif yang bertentangan, karena tuntutan eksternal yang bertentangan, atau karena motif internal yang berlawanan dengan tuntutan eksternal. Keadaan dimana terdapat dua atau lebih motif yang

(14)

tidak terpuaskan karena motif-motif itu saling berkaitan satu sama lain (Rice, 1998). Konflik berkaitan erat dengan konsep frustrasi. Psikologi menggunakan ‘pendekatan’ dan ‘penghindaran’ dalam usaha menghadapi konflik. Dalam hal ini, kita akan ‘mendekati’ sesuatu yang kita harapkan dan ‘menghindari’ sesuatu yang tidak kita harapkan. Menurut Miller (1959) dalam Sarafino (2011), ada empat jenis utama dari konflik yang meliputi ‘pendekatan’ dan ‘penghindaran’, yakni :

a. Konflik mendekat-mendekat (Approach-approach conflict)

Konflik ini terjadi pada saat seseorang diharuskan memilih dua alternatif yang sama-sama menarik tapi saling bertentangan serta ingin dipenuhi pada saat yang bersamaan. Misalnya, seseorang harus memilih diantara dua tawaran pekerjaan yang diberikan kepadanya, dimana kedua pekerjaan ini sama-sama baik, bergengsi dan dengan gaji yang cukup layak.

b. Konflik menghindar-menghindar (Avoidance-avoidance conflict) Konflik ini muncul pada saat seseorang terjebak dalam dua pilihan yang tidak diinginkan, namun pilihan harus tetap ditentukan. Misalnya, seorang remaja yang harus memilih presentasi di depan kelas atau tidak datang dan mendapat nilai nol.

c. Konflik mendekat-menghindar (Approach-avoidance conflict) Konflik ini terjadi apabila seseorang menerima suatu tujuan yang positif yang juga akan menghasilkan satu akibat yang negatif. Misalnya, seorang siswa SMA yang akan melanjut ke perguruan tinggi yang terletak di luar kota, tapi harus meninggalkan keluarganya.

d. Berbagai konflik mendekat-menghindar (Multiple approach-avoidance conflict)

Konflik yang menginginkan individu untuk memilih diantara dua pilihan, di mana masing-masing memiliki dampak yang positif dan konsekuensi yang negatif. Misalnya, pilihan antara masuk ke tim basket yang terkenal, menjadi langganan juara, tetapi pelatih dan

(15)

beberapa pemain dalam tim itu tidak kamu sukai. Atau masuk ke tim basket yang tidak terkenal, sering melakukan permainan yang memalukan, tetapi pelatih dan pemain timnya kamu sukai.

2.3.5. Fisiologi Stres

Sistem stres manusia terdiri dari hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA)

axis dan sistem saraf simpatik (Tsatsoulis et al. 2006). Kedua sistem ini bekerja

secara koordinasi untuk memberi respon "fight or flight" terhadap anggapan ancaman. Respon tersebut dapat mengajukan peningkatan tekanan arteri, perpindahan darah dari viseral ke otot aktif dan otak, peningkatan kadar metabolisme selular, peningkatan glikolisis, peningkatan kekuatan otot, peningkatan aktivasi mental dan peningkatan kadar koagulasi darah (Guyton, 2006). Tubuh manusia memberi respon-respon tersebut karena terjadinya pembebasan neurotransmiter dan hormon-hormon yang khusus. HPA axis bertanggung jawab untuk mengaktivasi pelepasan glukokortikoid, di mana 95% dalam bentuk kortisol (juga dikenali sebagai hidrokortison) dari korteks adrenal (Guyton, 2006). Efek dari kortisol adalah mobilisasi protein dari otot dan asam lemak yang berasal dari sel adipose, peningkatan lemak di hepar, dan juga sebagai suatu respon anti-inflamasi (Guyton, 2006).

Sistem saraf simpatis bertanggung jawab untuk menstimulasi simpatis baik secara langsung ataupun tidak langsung yaitu dengan aktivasi pelepasan katekolamin dari medula adrenal (Guyton, 2006). Seperti epinefrin dan non-epinefrin, hormon ini juga memberi efek kepada target organ dengan cara yang sama yaitu peningkatan nadi jantung, inhibisi fungsi sistem pencernaan, dilatasi pupil dan respon lain yang berkaitan dengan aktivasi simpatis (Guyton, 2006). Kedua cabang simpatis dan parasimpatis sistem saraf otonom diaktivasi secara terus-berterusan dan kronis akan menyebabkan terjadinya degenerasi dan disfungsi. Jika stres tersebut bersifat kronis, bahan kimia termasuk neurotransmiter dan hormon akan menetap di aliran darah. Stres yang berkepanjangan boleh menyebabkan nyeri kepala, penurunan fungsi sistem imun,

(16)

lelah, kelainan jantung, depresi dan gangguan mental emosional yang lain (Carruthers, 2006).

Sumber : Guyton et al. 2006 Gambar 2.3. Fisiologi Stres

2.3.6. Reaksi terhadap Stres

Menurut Sarafino (2011), reaksi seseorang terhadap stres yang dihadapinya dipengaruhi dua aspek, yaitu :

1. Aspek Biologis

Walter Canon (Sarafino, 2011) memberikan deskripsi mengenai bagaimana reaksi tubuh terhadap suatu peristiwa yang mengancam. Ia menyebut reaksi tersebut sebagai fight-or-flight response karena respon fisiologis mempersiapkan individu untuk menghadapi atau menghindari situasi yang mengancam tersebut.

Fight-or-flight response menyebabkan individu dengan cepat dapat merespon terhadap situasi yang mengancam. Namun arousal stres yang terus menerus tinggi dapat membahayakan kesehatan individu. Seyle (Sarafino, 2011) mempelajari akibat yang diperoleh jika stresor terus

(17)

menerus muncul. Lalu ia mengemukakan istilah General Adaptation

Syndrome (GAS), yang terdiri dari rangkaian tahapan reaksi fisiologis

terhadap stresor, yakni :

a. Alarm Reaction

Tahapan pertama ini mirip dengan fight-or-flight response. Pada tahap ini arousal yang terjadi pada tubuh organisasi berada di bawah normal yang untuk selanjutnya meningkat di atas normal. Pada akhir tahapan ini, tubuh melindungi organisme terhadap stresor. Tetapi tubuh tidak dapat mempertahankan intensitas arousal dari alarm reaction dalam waktu yang sangat lama.

b. Stage of Resistance

Arousal masih tinggi, tubuh masih terus bertahan untuk melawan

dan beradaptasi dengan stresor. Respoon fisiologis menurun, tetapi masih tetap lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi normal.

c. Stage of Exhaustion

Respon fisiologis masih terus berlangsung. Hal ini dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan menguras energi tubuh sehingga terjadi kelelahan pada tubuh. Stresor yang terus terjadi akan mengakibatkan penyakit dan kerusakan fisiologis dan dapat menyebabkan kematian.

2. Aspek Psikologis

Reaksi psikologis terhadap stres dapat meliputi : a. Kognisi

Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam aktivitas kognitif (Sarafino, 2011). Stresor berupa kebisingan dapat menyebabkan defisit kognitif pada anak-anak (Sarafino,2011).

b. Emosi

Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunaka keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian kognitif dapat mempengaruhi stres dan pengalaman emosional (Sarafino, 2011). Reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut,

(18)

phobia, kecemasan, depresi, perasaan sedih dan rasa marah (Lazarus, 1999).

c. Perilaku sosial

Stres dapat mengubah perilaku individu terhadap orang lain (Sarafino, 2011). Individu dapat berperilaku menjadi positif maupun negatif.

2.3.7. Penanggulangan Stres

Setiap individu memberi respon yang berbeda terhadap stres. Penanggulangan stres merupakan pikiran dan perilaku yang dibutuhkan untuk mengelola permintaan secara internal dan eksternal yang ditafsirkan sebagai stres (Folkman & Moskowitz, 2004).

Hubungan antara penanggulangan stres dengan kejadian stres adalah suatu proses dinamik (Folkman & Moskovitz, 2004). Jadi, penanggulangan stres bukan aksi yang berlaku sekali saja tetapi merupakan peristiwa yang berlangsung dari waktu ke waktu di mana individu dengan lingkungan saling mempengaruhi. Kepribadian seseorang dapat berpengaruh terhadap cara bagaimana individu tersebut menanggulangi peristiwa yang stres. Karakteristik ini disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Terdapat empat tipe metode penanggulangan stres yaitu kognitif, emosional, perilaku dan fisik.

Tabel 2.2. Metode Penanggulangan Stres (Bernstein & Nash, 2006) Tipe metode Penjelasan

Kognitif Menganggap stresor sebagai tantangan dan mengelakkan dirinya dari perfeksionisme.

Emosional Mencari dukungan sosial dan mendapat nasehat dari yang lain. Perilaku Melaksanakan rencana manajemen waktu dan berusaha untuk

mengubah pola hidup untuk eliminasi stresor.

(19)

2.4. Remaja

2.4.1. Definisi Remaja

Masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. (Sadock & Sadock, 2007)

Sadock & Sadock (2007) membagi remaja menjadi tiga tahap, yaitu: 1. Remaja awal

Dari usia 12-14 tahun. Pada tahap ini, remaja mulai mengkritik kebiasaan-kebiasaan di keluarga, mempunyai kesadaran yang lebih tinggi terhadap penampilan, dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya.

2. Remaja pertengahan

Dari usia 14-16 tahun. Pada tahap ini, remaja berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan mereka secara mandiri, perilaku seksual meningkat, bergaul dengan teman yang memiliki ketertarikan yang sama, sering terjadi konflik dengan orang tua menyangkut otonomi remaja.

3. Remaja lanjut

Dari usia 17-19 tahun. Pada tahap ini, minat remaja meningkat pada fungsi intelektual, prestasi akademik, berpartisipasi dalam aktivitas olahraga dan mengambil tanggung jawab dalam suatu kelompok sosial.

2.4.2. Karakteristik Masa Remaja

Menurut Sadock & Sadock (2007), ciri-ciri masa remaja antara lain : 1. Masa remaja sebagai periode penting

Remaja mengalami perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting dimana semua perkembangan itu memerlukan penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.

2. Masa remaja sebagai perode peralihan

Peralihan merupakan perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya, yang juga dapat diartikan bahwa apa yang

(20)

telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang, serta mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Perubahan fisik yang terjadi dengan pesat diikuti dengan perubahan perilaku dan sikap yang juga berlangsung pesat. Perubahan fisik menurun sehingga perubahan sikap dan perilaku juga menurun.

4. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Setiap periode mempunyai masalahnya masing-masing, namun masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan.

5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standard kelompok lebih penting daripada bersikap individualistis. Penyesuaian diri dengan kelompok pada remaja awal masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri yang berbeda dengan orang lain.

6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotype budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.

7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja pada masa ini melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistik cita-citanya, ia akan semakin menjadi marah.

(21)

Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri. 8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotype belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka beranggapan bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan.

2.4.3. Penyebab stres pada remaja

Menurut Sadock & Sadock (2007) ada empat faktor yang dapat membuat remaja menjadi stres, yaitu penggunaan obat-obat terlarang, kenakalan remaja, pengaruh negatif, dan masalah akademis.

Menurut Walker (2002), ada tiga faktor yang dapat menyebabkan remaja menjadi stres, yaitu:

1. Faktor biologis, seperti sejarah depresi dan bunuh diri di dalam keluarga, penggunaaan alkohol dan obat-obatan di dalam keluarga, siksaan secara seksual dan fisik di dalam keluarga, penyakit yang serius yang diderita remaja atau anggota keluarga, sejarah keluarga atau individu dari kelainan psikiatri seperti skizofrenia, maniak depresif, gangguan perilaku dan kejahatan, kematian salah satu anggota keluarga, ketidakmampuan belajar atau ketidakmampuan mental atau fisik, perceraian orang tua, dan konflik dalam keluarga.

2. Faktor kepribadian, seperti tingkah laku impulsif, obsesif, dan ketakutan yang tidak nyata, tingkah laku agresif dan antisosial, penggunaan dan ketergantungan obat terlarang, hubungan sosial yang buruk dengan orang lain, menyalahkan diri sendiri dan merasa bersalah, dan masalah tidur atau makan.

(22)

3. Faktor psikologis dan sosial, seperti kehilangan orang yang dicintai, seperti kematian teman atau anggota keluarga, putus cinta, kepindahan teman dekat atau keluarga, tidak dapat memenuhi harapan orang tua, seperti kegagalan dalam mencapai tujuan, tinggal kelas, dan penolakan sosial, tidak dapat menyelesaikan konflik dengan anggota keluarga, teman sebaya, guru, pelatih, yang dapat mengakibatkan kemarahan, frustrasi, dan penolakan, pengalaman yang dapat membuatnya merasa rendah diri dapat mengakibatkan remaja kehilangan harga diri atau penolakan, dan pengalaman buruk seperti hamil atau masalah keuangan.

Sedangkan menurut Needlmen (2004), beberapa sumber stres yang dialami remaja, yaitu :

1. Stres Biologis (Biological Stress)

Tubuh remaja berubah secara cepat, remaja merasa bahwa semua orang melihat dirinya. Jerawat juga dapat membuat remaja stres, terutama bagi mereka yang mempunyai pikiran sempit tentang kecantikan yang ideal. Saat yang sama, remaja menjadi sibuk di sekolah sehingga dapat membuat remaja kekurangan tidur.

2. Stres Keluarga (Family Stress)

Salah satu sumber stres utama pada remaja adalah hubungannya dengan orang tua, karena remaja merasa bahwa mereka ingin mandiri dan bebas, tetapi di lain pihak mereka juga ingin diperhatikan.

3. Stres di sekolah (School Stress)

Tekanan dalam masalah akademis cenderung tinggi pada dua tahun terakhir di sekolah, keinginan untuk mendapat nilai tinggi, atau keberhasilan dalam bidang olahraga, di mana remaja selalu berusaha untuk tidak gagal, ini semua dapat menyebabkan stres.

4. Stres pada teman sebaya (Peer Stress)

Stres pada teman sebaya cenderung tinggi pada pertengahan tahun sekolah. Remaja yang tidak diterima oleh teman-temannya biasanya akan tertutup dan mempunyai harga diri yang rendah. Pada beberapa remaja,

(23)

agar dapat diterima oleh teman-temannya, mereka melakukan hal-hal negatif, seperti merokok, minum alkohol, dan menggunakan obat terlarang.

5. Stres Sosial (Social Stress)

Remaja tidak mendapat tempat pada pergaulan orang dewasa, karena mereka tidak diberikan kebebasan mengungkapkan pendapat mereka, tidak boleh membeli alkohol secara legal.

Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1995), mahasiswa yang berada di masa remaja lanjut menghadapi berbagai kesulitan penyesuaian dan tidak semua mampu mengatasinya sendiri sehingga cenderung untuk mengalami stres.

Kesulitan penyesuaian tersebut berkisar pada:

1. Perbedaan sifat pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dengan Perguruan Tinggi (PT)

a. Kurikulum

Isi kurikulum PT biasanya lebih sedikit tetapi lebih mendalam. Jika kebetulan senang dengan bidang yang dipilih, kelanjutan dan kegairahan belajar akan lebih lancar. Sebaliknya jika tidak sesuai, kegairahan akan menurun, bahkan bisa menimbulkan gangguan pada kepribadian.

b. Disiplin

Di PT biasanya tidak sedisiplin di SLTA karena dianggap sudah lebih dewasa dan tanggung jawab diserahkan kepada mahasiswa yang bersangkutan. Hal ini mengubah cara belajar dan bisa menyebabkan kesulitan tersendiri.

c. Hubungan dosen mahasiswa

Pola hubungan sangat berbeda dibandingkan ketika di SLTA. Dialog langsung pada tingkat awal yang jumlah mahasiswanya besar, cenderung jarang dilakukan di ruangan. Karena itu mahasiswa harus menyesuaikan cara dosen memberi kuliah yang masih banyak mempergunakan cara tradisional yakni dosen menerangkan tanpa memperdulikan apakah mahasiswa mengerti atau tidak.

(24)

2. Hubungan sosial

Pada remaja lanjut, pola pergaulan sudah bergeser dari pola pergaulan yang homoseksual ke arah heteroseksual sehingga masalah pergaulan bisa menjadi masalah yang penting, baik mengenai percintaan, kesulitan penyesuaian diri, dan keterlibatan terhadap pengaruh kelompok pergaulan yang bisa bersifat negatif.

3. Masalah ekonomi

Sekalipun mahasiswa sudah bisa melepaskan diri dari ketergantungan psikis, ketergantungan ekonomi masih ada karena pada umumnya belum berpenghasilan. Kelonggaran untuk mempergunakan uang tidak sebebas menetukan tingkah laku dan sikap.

4. Pemilihan jurusan

Antara bakat dan minat dengan kesempatan sering tidak sejalan sehingga merasa salah pilih jurusan. Tahap mencoba-coba dan memilih jurusan sesuai dengan keinginan orang tua sering dialami mahasiswa tahun pertama.

(25)

2.5. Hassles Assessment Scale for Student in College (HASS/Col)

Stres merupakan suatu konsep yang sulit diartikan bahkan lebih sulit untuk menilainya. Meskipun demikian, berdasarkan bukti yang ada, stres memiliki hubungan yang moderat dengan kesehatan dan merupakan salah satu dari banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit (Sarafino, 2011).

HASS/Col adalah suatu skala yang terdiri dari kejadian umum yang tidak menyenangkan bagi para mahasiswa (Sarafino, 2011).

Setiap kejadian tersebut diukur berdasarkan frekuensi terjadinya dalam satu bulan, dalam bentuk skala sebagai berikut:

1. Tidak pernah diberi skor 0 2. Sangat jarang diberi skor 1 3. Beberapa kali diberi skor 2 4. Sering diberi skor 3

5. Sangat sering diberi skor 4 6. Hampir setiap saat diberi skor 5

Semua penilaian diakumulasikan, kemudian disesuaikan dengan tingkatan stres. Skor kurang dari 75 menunjukkan seseorang mengalami stres lebih rendah, skor 75-135 menunjukkan seseorang mengalami stres menengah, skor lebih dari 135 menunjukkan seseorang mengalamin stres lebih tinggi. (Sarafino, 2011)

Gambar

Gambar 2.1.  Model Dance Movement Therapy
Tabel 2.1 : Sesi Free Association Dance and Movement (Merwe, 2010)
Tabel 2.2.  Metode Penanggulangan Stres (Bernstein & Nash, 2006)  Tipe metode  Penjelasan

Referensi

Dokumen terkait

24 Penelitian yang dilakukan adalah penelitian terhadap putusan hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang

salah satu surah yang ada dalam al-Qur’an al-Qur’an adalah salah satu kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad pada bab ini kamu mempelajari rukun iman supaya kamu

Insidensi tumor pada kelompok perlakuan ekstrak dosis 250 mg/kg BB mencapai 4/10 dalam waktu 16 minggu, artinya hanya 4 ekor tikus yang terkena tumor mamae (n=10).. Adapun

zerumbet sebagai feed additive yang dapat menekan kejadian salmonelosis pada ayam broiler, sehingga ayam broiler yang terinfeksi serovar Salmonella spp tetap

yang dibangun dari blok-blok training data , dan melakukan klasifikasi dengan cara voting terhadap hasil prediksi yang dibuat oleh masing-masing base classifier ,..

Penerapan Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menghadapi tantangan yang cukup berat, terutama dalam penerapan berbagai ketentuan baru terutama

Upaya pelestarian Rusa Sambar Di Pusat Penangkaran Rusa Di Desa Api-Api Kecamatan Waru Kabupaten Penajam Paser Utara ( Ditinjau Dari Peraturan Pemerintah Nomor 7