• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V UPAYA-UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA BALI. telah diupayakan sebagaimana tertuang dalam penjelasan Bab XV pasal 36 UUD 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V UPAYA-UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA BALI. telah diupayakan sebagaimana tertuang dalam penjelasan Bab XV pasal 36 UUD 1945"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

UPAYA-UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA BALI

Upaya-upaya pemertahanan bahasa dalam hal ini bahasa Daerah secara yuridis telah diupayakan sebagaimana tertuang dalam penjelasan Bab XV pasal 36 UUD 1945 sebelum diamandemen, dirumuskan bahwa bahasa-bahasa daerah yang masih dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya, bahasa-bahasa itu dipelihara juga oleh Negara. Karena bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup, termasuk juga dengan bahasa Bali. Melalui GBHN 1993 menginstruksikan agar keberadaan bahasa-bahasa daerah dibina dan dikembangkan sebagai suatu produk budaya, yang dapat difungsikan sebagai penopang dan memperkaya kebudayaan nasional, sesuai dengan situasi dan kondisi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hoetomo (2005: 578) mengatakan upaya adalah usaha, jalan, melakukan sesuatu atau mengambil tindakan supaya sesuatu itu tetap ada dan bertahan. Upaya-upaya pemertahanan Bahasa Bali pada bagian ini dipahami sebagai cara, tindakan, atau pun sikap yang dapat menunjang penggunaan Bahasa Bali serta kebertahanannya dari berbagai pengaruh perubahan sosial yang ada dalam hidup bermasyarakat. Upaya-upaya pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar dapat diuaraikan sebagai berikut.

5.1 Upaya Pemertahanan Bahasa Bali dalam Keluarga

Fashri (2007: 30), mengatakan bahwa penggunaan bahasa lebih ditekankan sebagai parole yaitu apa yang dituturkan seseorang pada saat dan tempat tertentu. Berkaitan

(2)

dengan pandangan Fashri tersebut, upaya pemertahanan Bahasa Bali tidak terlepas dari parole dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Bali. Bahasa secara umum berfungsi sebagai alat komunikasi dalam interaksi masyarakat. Bahasa Bali sebagai bahasa daerah masyarakat Bali, juga memiliki fungsi yang sama dengan bahasa pada umunya, yaitu sebagai alat komunikasi khususnya dalam interaksi masyarakat Bali umumnya dan khususnya masyarakat multikultural di Kota Denpasar. Cakupan pembahasan pada bagian ini meliputi bahasa Bali sebagai bahasa pengantar dalam berkomunikasi, kegiatan keagamaan, dan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan adat masyarakat multikultural Kota Denpasar. Pada fungsinya demikian, Bahasa Bali dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam interaksi masyarakat, maupun sebagai alat komunikasi dalam keluarga.

Keluarga, dalam kaitannya dengan konteks di atas, dipahami sebagai wadah bagi anggotanya untuk berkomunikasi, karena keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang untuk belajar tentang sesuatu (yang berhubungan dengan kehidupan bersama). Dengan komunikasi anggota keluarga dapat saling memahami antara orang tua dengan anak, atau sebaliknya antara anak dengan orangtua, juga antara anggota satu keluarga dengan anggota keluarga lain. Keluarga akan menjadi ‘gersang’ tanpa komunikasi. Dengan komunikasi suasana keluarga menjadi akrab. Situasi demikian tampak dalam suasana keluarga Nyoman Alit yang beralamat jalan Veteran nomor 72 Denpasar. Berikut adalah komunikasi yang dilakukan oleh keluarga Nyoman Alit suami dari Kadek Setiari, yang direkam pada tanggal 10 Oktober 2009, dalam situasi santai dengan menggunakan bahasa Bali sebagai berikut.

“Nyoman Alit (kepala Keluarga) : Dek, “Gaenang beli kopi abesik! Kadek Setiari (istri Nyoman Alit) : Kopi susu napi kopi selem?

(3)

Dede (anak dari pasangan suami istri Nyoman Alit dengan Kadek Setiari) : Kopi susu mek, anak ento dedemenane I Bapa”.

Percakapan di atas diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut. “Nyoman Alit (kepala keluarga) : Dek, “Buatkan kakak (beli) kopi satu! Kadek Setiari (istri Nyoman Alit) : Kopi susu atau kopi hitam?

Dede (anak dari pasangan suami istri Nyoman Alit dengan Kadek Setiari) : Kopi susu Bu, itu kesukaannya ( Ayah).”

Selain digunakan dalam situasi santai, bahasa Bali juga digunakan dalam situasi menuntun anak-anak dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah seperti kegiatan yang dilakukan oleh keluarga Ni Made Puspawati yang beralamat di jalan Penamparan, Padangsambian, Denpasar Barat pada tanggal 29 Nopember 2009 , yang kutipan dialognya sebagai berikut.

“Deva (anak Ni Made Puspawati) : Mek, “ada busung?

Ni Made Puspawati (Ibu Deva) : Ada. Lakar anggon gena nakonang busung? Deva : Ajahin tiang ngulat tipat, tundena ngulat tipat taluh buin mani

ulangan praktekne.

Ni Made Puspawati : Gediang lidin busunge, gae cara lingkaran dadua liune, lantas celepang muncukne, lebaang gisiangane totonan. Jani jemak bongkol

busunge celepin kaumahne tenenan, to,o dadi suba ya tipat, tipat taluh”.

Arti dialog tersebut dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut. .

“Deva (anak Ni Made Puspawati) : Bu, “ada janur?

Ni Made Puspawati (Ibu Deva) : Ada. Untuk apa nanya janur?

Deva : Ajari saya membuat ketupat, disuruh membuat ketupat (tipat taluh) besok ulangan praktiknya.

Ni Made Puspawati : Buang lidi janurnya, lalu anyam buat seperti lingkaran sebanyak dua buah dan masukan ujung janurnya, lepas pegangan janur itu.

Sekarang ambil ujungnya yang satu (bongkol) masukan ke rumah anyamannya yang sudah tersedia, ini jadilah dia ketupat (tipat taluh)”.

Dialog di atas tampak adanya hubungan yang akrab dan kasih sayang antara ibu dan anak dalam keluarga. Hubungan kasih sayang tersebut tampak dalam keingin-tahuan anak tentang cara membuat ketupat melalui ibunya. Ibu juga dengan sabar melayani

(4)

kemauan baik anaknya. Relasi harmonis dengan penuh kasih sayang dalam dialog di atas, dibangun atau dimanifestasi dalam struktur bahasa daerah (bahasa Bali).

Konteks dialog keluarga di atas menunjukkan bahwa Bahasa Bali merupakan alat komunikasi yang dapat digunakan dalam kehidupan berkeluarga. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Adiel (http//www.adiel/87,blogspot.mtl.com/2008/12/hakekatsosioling-uistik) bahwa sosiolinguistik memiliki objek kajian yaitu bahasa. Bahasa sebagai parole dipandang sebagai perangkat tingkah laku yang telah ditransmisikan secara budaya atau dipakai oleh sekelompok individu.

Strukturalisme memandang produksi makna sebagai efek dari struktur bahasa yang termanifestasi di dalam fenomena budaya tertentu atau dalam diri manusia yang bertutur. Strukturalisme memperluas jangkauannya dari “kata-kata” sampai pada bahasa tanda budaya secara umum, sehinggaa hubungan antar manusia, objek dan gambaran material dianalisis melalui struktur tanda. Levi-Strauss mendeskripsikan sistem kekerabatan yang menyerupai bahasa. Hubungan keluarga distrukturkan oleh organisasi internal (Barker, 2006: 17-18).

Uraian di atas menunjukkan bahwa keluarga (etnis Bali) merasa bahwa bahasa Bali merupakan sarana komunikasi yang masih relevan dalam keluarga di era modern ini. Bahasa Bali dikatakan demikian, karena selain memiliki nilai budaya, warisan leluhur, juga bernuansa akrab dan kekeluargaan. Keluarga sungguh merasa sebagai orang Bali bila menggunakan bahasa Bali sebagai pilihan sarana komunikasi dalam keluarga. Keluarga dalam konteks uraian di atas merupakan salah satu kekuatan dalam upaya pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar.

(5)

5.2 Upaya Pemertahanan Bahasa Bali di Pasar Tadisional

Bahasa Bali, dalam fungsinya sebagai alat komunikasi sebagaimana fungsi bahasa pada umumnya, merupakan bahasa pengantar dalam interaksi masyarakat Kota Denpasar, baik pada lingkup usaha (pasar) maupun dalam hidup berkeluarga.

Kecuali itu, bahasa Bali juga digunakan sebagai alat berinteraksi di tempat umum seperti komunikasi yang dilakukan antara penjual dan pembeli, baik di toko maupun di pasar tradisional. Hal tersebut tampak ketika penjual menawarkan barang dagangannya kepada pembeli yang menggunakan Bahasa Bali dalam berinteraksi. Mereka (penjual dan pembeli) menunjukkan prilaku berbahasa yang sopan (sesuai etika berbahasa) seperti dialog di bawah ini. Dialog berikut dalam situasi seorang pedagang elektronik bernama Lina yang beretnis Cina melayani seorang ibu yang mau membeli tape recorder di Toko Agency Jaya Abadi Denpasar Utara pada 12 September 2009. Lina menyuruh karyawannya yang bernama Agung (beretnis Bali) untuk mengambilkan pembeli sebuah tape recorder. Berikut adalah kutipan dialog yang disaksikan penulis.

“Lina : Agung, “ Ambilin sebentar ibu niki tape di lantai atas nggih!” (Agung, “Ambilkan sebentar ibu ini tape di lantai atas ya!) Agung : nggih..

(ya).

Lina : Tiang coba dumun, nggih bu. (Saya coba dulu, ya bu.)”

Kecuali itu, Bahasa Bali merupakan sarana komunikasi dalam interaksi masyarakat di pasar tradisional. Kebanyakan antara penjual dan pembeli khususnya yang beretnis Bali menggunakan bahasa Bali dalam melakukan transaksi. Masyarakat Bali merasa akrab dan kekeluargaan bila berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Bali dalam tawar menawar jualan. Hal ini sangat jelas dalam interaksi masyarakat Bali di Pasar

(6)

Kumbasari Denpasar. Pasar Kumbasari merupakan tempat transaksi barang-barang lokal dan penjualnya kebanyakan orang Bali.

Hasil pengamatan penulis terhadap pasar tradisional Kumbasari menunjukkan bahwa yang berkomunikasi menggunakan bahasa Bali dalam transaksi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat Bali, tetapi juga masyarakat etnis lain (luar Bali) seperti etnis Jawa, Lombok dan daerah lain. Hal ini sering dipakai oleh etnis non-Bali sebagai salah satu cara agar harga barang yang mau dibeli bisa ditawar atau diturunkan. Akan tetapi, terlepas dari maksud pembeli seperti itu, satu hal yang perlu dikemukakan dalam hal ini adalah fungsi bahasa Bali sebagai sarana komunikasi di pasar tradisonal.

Fakta di atas menunjukkan bahwa Bahasa Bali merupakan bahasa pengantar dalam interaksi masyarakat sehari-hari. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Chaer (2007 : 53) bahwa bahasa adalah satu-satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu, sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Itu berarti bahwa tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai oleh bahasa. Malah dalam bermimpi pun manusia menggunakan bahasa.

Bertitik tolak pada paparan di atas, dapat dilihat bahwa kegiatan di pasar tradisional merupakan peluang dalam upaya pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar.

5.3 Upaya Pemertahanan Bahasa Bali dalam Kegiatan Keagamaan

Bahasa Bali, selain sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan umum dalam masyarakat, ia (Bahasa Bali) juga merupakan bahasa pengatar dalam berbagai kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan dengan Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar dalam

(7)

hal ini adalah kegiatan keagamaan Hindu. Agama Hindu adalah agama yang dianut masyarakat Bali.

Masyarakat Bali adalah masyarakat yang berlandaskan agama (Hindu) Bali. Dalam melakukan kegiatan keagamaan masyarakat Bali tidak terlepas dengan Bahasa Bali sebagai alat komunikasi dengan Sang Pencipta (Ida Sanghyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa). Dengan demikian, Bahasa Bali tidak hanya sebagai alat komunikasi antar masyarakat, tetapi juga dengan Tuhan. Manusia-manusia Bali adalah manusia yang religius; manusia Bali selalu disibukkan dengan ritual agama (Panca Yadnya) yang sangat kompleks. Kendatipun jauh lebih sibuk melaksanakan ritual dibandingkan memahami ajaran agama, namun manusia Bali memiliki emosi religius internal yang kuat dan kokoh Pitana (ed.) (1994: 50).

Kegiatan keagamaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Keagamaan secara sosiologis dilihat sebagai salah satu unsur pembentuk masyarakat. Hal itu berarti, kegiatan keagamaan tidak hanya sebagai salah satu unsur pembentuk masyarakat tetapi juga sebagai cirikhas hidup bermasyarakat itu sendiri. Hal tersebut sangat jelas seperti yang dikemukakan oleh Anom Ranuara seorang seniman dan budayawan ketika diwawancarai penulis pada 30 Nopember 2009 sebagai berikut.

“Bahasa Bali pinaka piranti rikalaning ngemargiang upacara (agama Hindu). Nangken ngemargiang upacara nenten lempas ring nganggen bahasa Bali tutur wiadin sesuratan. Pemargin bahasa Bali tutur makadi rikalining Ida padanda ngawentenang Dharma Wacana ring umat (agama Hindu). Nanging basa sesuratan kamargiang sekadi weda-weda sane kasurat ring lontar-lontar.”

Kutipan di atas diterjemahkan dalam bahasa Indonesia seperti di bawah ini.

Bahasa Bali merupakan sarana yang sangat penting dalam kegiatan keagamaan. Setiap kali masyarakat Bali khususnya umat beragama Hindu merayakan hari raya keagamaan, Bahasa Bali selalu dipergunakan, baik secara lisan maupun tulisan. Penggunaan Bahasa Bali secara lisan misalnya pada saat Pedanda mengadakan

(8)

wejangan bagi umat Hindu. Sedangkan tulisan seperti isi Kitab Suci yang dituliskan dalam daun lontar.

Kebiasaan masyarakat Bali khususnya yang beragama Hindu, sebelum melaksanakan kegiatan besar terlebih dahulu umat yang melakukan kegiatan tersebut mengadakan ziarah ke Pura yang telah ditentukan. Misalnya menjelang ujian nasional (UN) siswa mengadakan doa bersama di Padmasana Sekolah bahkan berziarah ke Pura Besakih, memohon kepada Sang Hyang Widhi agar memberikan kesabaran, pengertian dan kesuksesan bagi siswa yang akan mengikuti UN. Kegiatan tersebut menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa pengantar terutama pada saat uapacara keagamaan dimulai.

Kebiasaan masyarakat Bali serta ungkapan informan di atas tampak bahawa Bahasa Bali dapat dikatakan sebagai bahasa agama, khususnya agama Hindu. Dengan demikian, Bahasa Bali selain sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan keagamaan, juga merupakan bahasa agama. Hal tersebut sesuai pendapat Duija dalam Suastra (2008: 29) bahwa bahasa Bali masih sangat kental dipakai untuk pelestarian pustaka suci yang mengandung filsafat kerohanian, mabebasan (Nyastra), dharma wacana, dharma tula, saa, dan lain-lain. Teori sosiolinguistik juga membicarakan hal senada dengan konsep di atas, bahwa bahasa sebagai salah satu kegiatan sosial merupakan bagian dari kebudayaan. Kebudayaan menurut Taylor (1971: 1) adalah suatu keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat istiadat, dan kebiasaan. Pada tataran ini, kegiatan keagamaan merupakan salah satu unsur budaya, yaitu kepercayaan. Bertitik tolak dari uraian di atas, jelas bahwa Bahasa Bali merupakan bahasa pengantar dalam kegiatan keagamaan, bahasa agama baik lisan maupun tulisan, dan bahkan merupakan bahasa pengantar budaya yang ada dalam masyarakat Bali. Budaya dan agama Hindu di Bali merupakan bagian yang merupakan satu kesatuan (tidak dapat

(9)

dipisahkan). Oleh sebab itu, Bahasa Bali digunakan sebagai bahasa pengantar budaya masyarakat Bali, dalam kapasitas yang sama Bahasa Bali juga merupakan bahasa pengantar dalam kegiatan keagamaan.

Uraian di atas menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Bali dalam kegiatan keagamaan memiliki nilai ganda yang saling menguat. Nilai-nilai tersebut adalah bahwa Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan keagamaan. Peranan bahasa Bali yang sangat sentral dalam kegiatan keagamaan sekaligus merupakan kekuatan dalam upaya pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar.

5. 4 Upaya Pemertahanan Bahasa Bali dalam Kegiatan Adat

Adat adalah suatu kegiatan, perbuatan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala, cara kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990: 5). Hidup sebagai masyarakat, tidak terlepas dari adat dan kebiasaan yang sudah lazim dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Masyarakat Bali pada umumnya dikenal sebagai masyarakat yang sangat konsisten dengan kegiatan adat istiadat dalam keseharian hidupnya. Masyarakat Kota Denpasar sebagai bagian dari masyarakat Bali, juga tidak terlepas dari kegiatan adat istiadat dan kebiasaan yang sudah lazim dipraktikan. Misalnya sangkep desa dan peminangan.

Sangkep adalah kegiatan adat yang bertujuan untuk mempersatukan pemikiran atau ide-ide antar warga sedesa dalam lingkup desa adat tertentu untuk mencapai kata sepakat. Dalam kegiatan sangkep tersebut bahasa Bali sangat komunikatif digunakan oleh pemimpin sangkep maupun anggota desa adatnya. Hal tersebut nampak dalam kegiatan

(10)

sangkep ngepud Desa Adat Kesiman Petilan Denpasar Timur pada tanggal 08 Nopember 2009 yang penulis rekam sebagai berikut.

“Made Karim (Bendesa Adat) : Sadurunge titiang matur, ngiring sinareng sami ngaturang pangastungkara “OM Swastyastu”. Angayubagia aturang titiang ring ida dane sareng sami duaning sangkaning pasuecan Ida Sanghyang Widhi Wasa, iraga prasida mapupul masadu arep ring galahe sane becik puniki. Uleman sinamian sane wangiang titiang, mungguing paruman sane mangkin nenten wenten tios maosang ngeninin indik pamargin parikrama yadnya tigang paletan sane sampun kamargiang, siosan ring paos punika taler jagi ngatur uningayang pariindik padreben desa, lan pikolih sane kamolihang sane sampun ngeranjing ring desa, taler jagi meligbagan indik pidabdab ring sajeroning nem sasih sane jagi rauh”.

Kutipan di atas diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

“Made Karim (Kelihan Desa Adat). Sebelum rapat saya mulai mari kita mengucapkan panganjali “ OM Swastyastu”. Rasa syukur saya panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya kita dapat berkumpul pada kesempataan yang baik ini. Para undangan yang saya hormati, pertemuan ini tiada lain membahas tentang pelaksanaan proses upacara tiga tahapan yang sudah dilaksanakan, selain hal tersebut juga pembahasan tentang aset-aset desa serta hasil yang didapat yang sudah masuk ke kas desa, juga membahas program yang perlu dipersiapkan untuk enam bulan kedepan”.

Kutipan komunikasi yang dilakukan oleh Made Karim selaku Bendesa Adat Kesiman Petilan yang menggunakan bahasa Bali menunjukkan bahwa Bahasa Bali merupakan bahasa pengantar dalam kegiatan adat masyarakat Kota Denpasar. Bahasa Bali selain digunakan secara lisan untuk berkomunikasi dalam kelompok desa adat, juga dipakai secara verbal untuk berkomunikasi dalam urusan keluarga yang akan menikah.

Sebelum pernikahan terjadi, orang tua kedua belah pihak (calon suami-isteri) berembug (berdiskusi bersama) untuk mencapai suatu kesepakatan. Pada tahap ini, kedua belah pihak (keluarga laki-laki dan keluarga perempuan) menggunakan juru bicara (jubir) khusus untuk menyampaikan pikiran atau pun niat mereka. Hal tersebut sangat jelas dari apa yang diungkapkan oleh Anom Ranuara yang selalu dipercayai warga

(11)

banjarnya untuk menjadi jubir bila ada urusan nganten (perkawinan). Berikut adalah ungkapan pengalaman pribadinya ketika diwawancarai penulis pada 30 Nopember 2009.

“Saya sering menjadi jubir dalam kegiatan adat. Dalam kegiatan adat, apa pun bentuk kegiatannya, harus menggunakan Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar. Orang Bali pada umumnya selalu menggunakan Bahasa Bali dalam rapat di Banjar, kegiatan subak, bahkan rapat desa adat. Demikian juga dalam urusan nganten (perkawinan). Saya sering dipercaya oleh masyarakat untuk menjadi jubir dalam urusan nganten. Dalam kegiatan seperti itu, jubir harus menggunakan bahasa Bali, baik jubir dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan yang akan menikah. Istilah-istilah dalam pembicaraan sangat kena (sangat bermakna) jika diungkapkan dengan menggunakan Bahasa Bali daripada menggunakan bahasa Indonesia.”

Ungkapan informan tersebut menunjukkan bahwa betapa pentingnya peran Bahasa Bali sebagai sarana komunikasi yang tepat dalam berbagai kegiatan adat yang ada dalam masyarakat Kota Denpasar. Kecuali itu, Bahasa Bali berperan dalam memaknai kegiatan adat, sehingga masyarakat yang terlibat di dalamnya merasakan keakraban, kekeluargaan. Hal tersebut sesuai pendapat Suteja (2006: 1) bahwa bahasa Bali menduduki peran sangat penting dalam ranah adat seperti rapat desa, banjar, subak, dan lain-lain, penutur masih sangat konsisten memakai bahasa Bali sebagai alat untuk menyampaikan suatu ide atau pendapat. Dengan demikian, kegiatan adat merupakan kekuatan dalam upaya pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar.

5.5 Upaya Pemertahanan Bahasa Bali dalam Pementasan Kesenian (Wayang Kulit, Arja, Pasantian)

Kegiatan Kesenian Tradisional merupakan sebuah kegiatan hiburan yang dilatari oleh budaya lokal Bali. Dalam kapasitasnya yang demikian, kesenian juga merupakan sarana pelestarian bahasa Bali. Kesenian tradisional dalam hal ini dilihat sebagai sarana untuk pemertahanan sekaligus pengembangan bahasa Bali. Hal tersebut tampak dalam

(12)

penggunaan bahasa Bali pada setiap pementasan kesenian tradisional, seperti wayang kulit dan arja.

Wayang Kulit dikenal masyarakat Bali pada umumnya sebagai seni dengan tema-tema klasik seputar sastra Hindu dengan lelucon-lelucon sang dalang yang bisa dinikmati oleh penontonnya dengan santai sebagai hiburan rakyat. Wayang kulit adalah suatu pertunjukkan yang menggunakkan sarana wayang yang dimainkan oleh ki dalang. Wayang juga identik dengan nama “parbwayang” , aringgit (Wicaksana,1997: 38). Pementasannya tidak memerlukan gedung yang megah, cukup di tempat yang ada tempat lowong untuk tempat penonton. Tempat dalang dan crew-nya dibuat agak tinggi agar penonton bisa jelas menonton pertujukkan waang tersebut.

Wayang kulit dalam tulisan ini tidak hanya sebagai seni pertunjukkan, tetapi yang lebih ditekankan pada bagian ini adalah bahwa wayang kulit tidak semata pertunujukan untuk menghibur, tetapi juga sebagai sarana sosialisasi sekaligus pelestari nilai-nilai budaya lokal. Berkaitan dengan hal itu, wayang kulit pada bagian ini merupakan sarana sosialisasi, pelestari, dan pemberdayaan penggunaan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural Kota Denpasar.

Uraian di atas sangat jelas dalam ungkapan Dewa Nyoman Sayang, seorang dalang wayang kulit yang tinggal di Jl. Ratna Denpasar ketika diwawancarai penulis pada 29 Nopember 2009 seperti berikut.

“Bahasa Bali pinaka sarana komunikasi sane pinih utama rikalaning ngigelang wayang (wayang kulit). Sahantukan pementasan wayang kulit maiketan ring kawigunan ipun pinaka wali, bebabli tur balih-balihan. Bantang-bantang satua sane kanggit sajeroning wayang kulit wantah madasar ring sastra Hindu. Ngigelang wayang majalarang antuk bahasa daerah (Bali) banget ngawantu rikalaning iraga pacang nyobiahang daging-daging budaya Bali miwah kawentenan aab jagate majeng ring para janane “.

(13)

Terjemahan kutipan di atas dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

“Bahasa Bali merupakan sarana komunikasi utama dalam pementasan wayang kulit. Karena pementasan wayang kulit di Bali tidak bisa dilepaskan dengan fungsi seni sebagai bebali, wali, dan hiburan. Ketiga fungsi seni tersebut sangat bermakna jika disampaikan dengan bahasa Bali. Lakon yang dipentaskannyapun sebagian besar bersumber dari sastra Hindu. Melalui Bahasa Bali pula ki dalang mampu mensosialisasikan nilai-nilai budaya lokal beserta perubahannya secara komunikatif dalam kehidupan bermasyarakat “.

Ungkapan informan di atas menunjukkan bahwa antara wayang kulit dan bahasa Bali memiliki hubungan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Wayang kulit turut menentukan pemertahanan bahasa Bali satu pihak, dan pada pihak lain, bahasa Bali dapat melesatrikan dan memaknai pementasan wayang kulit dalam masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat multikutural Kota Denpasar pada khususnya. Hal tersebut sesuai teori linguistik Greenberg (1968: 3) yang menggunakan istilah ‘antropolinguistik’ yang berarti mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan kebudayaan umat manusia. Karena bahasa dan kebudayaan suatu umat manusia bisa berkembang dan berbeda dengan makhluk lain yang tanpa bahasa dan budaya.

Barker (200: 69) mengetengahkan bahwa arti penting bahasa bagi pemahaman kebudayaan dan konstruksi pengetahuan telah mencapai puncak agenda di dalam cultural studies dan ilmu sosial humaniora, karena dua alas an penting, yaitu, pertama, bahasa adalah media istimewa di mana makna budaya dibangun dan dikomunikasikan; kedua, bahasa adalah sarana dan media di mana kita membangun pengetahuan tentang diri kita dan tentang dunia sosial. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa adalah pembangun nilai-nilai, makna dan pengetahuan. Bahasa menstrukturkan makna mana yang dapat dan tidak dapat digunakan pada situasi tertentu oleh objek yang bertutur. Memahami kebudayaan

(14)

berarti mengeksplorasi bagaimana makna dihasilkan secara simbolis melalui praktik-praktik pemaknaan bahasa.

Hal senada diungkapkan oleh Halim (1976: 3) bahwa kesadaran akan pentingnya fungsi sosial-kultural bahasa, baik bahasa lokal maupun bahasa Indonesia masih sangat kurang. Fungsi perekat persatuan, fungsi simbolik guyub kultur dan etnik, sarana primodial yang erat kaitannya dengan kebudayaan lokal, jati diri, di sisi sarana komunikasi intraetnik. Pendapat Halim ini bertitik tolak pada hipotesis Sapir dan Whorf bahwa bahasa adalah alat berfikir dan sumber daya kultural (Mbete dalam Astra, dkk. (ed.) 2003: 470).

Kesenian sebagai wahana pemertahanan bahasa Bali, tidak hanya dalam bentuk wayang kulit. Ada juga upaya pemertahanan bahasa Bali misalnya melalui Arja. Arja adalah pementasan kesenian dengan menggunakan orang sebagai medianya. Dalam pementasan arja menggunakan bahasa Bali sebagai sarana komunikasi utama, yang dikemas dalam bentuk puisi dan dilagukan atau ditembangkan. Seorang informan yang bernama Karmini tinggal di Perumnas Monang-Maning Denpasar Barat adalah orang yang sering berperan sebagai Galuh dalam pementasan kesenian arja, mengungkapkan kepada penulis ketika diwawancarai pada 2 Desember 2009 sebagai berikut.

“Bahasa Bali punika sampun leket ring dewek titiang.sahantukan titiang gede ring Bali tur geginan titiange taler tan nyidayang lempas ring basa Bali.Yen ngigel arja punika iraga nuutin lelampahannyane, mangda prasida kauningan satuan arjane sane kaigelang, ring gending-gendinge punika sampun masatua ya.

Kutipan di atas, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.

“Bahasa Bali itu sudah menyatu dengan diri saya karena saya lahir di Bali dan terkait dengan pekerjaan saya sebagai penari Arja yang tidak bisa lepas dengan penggunaan bahasa Bali. Kalau menari arja kita mengikuti alur ceritanya, lalu alur cerita diungkapkan melalui tembang yang dilantumkan, sehingga dapat mengetahui cerita yang sesungguhnya dalam pementasan.”

(15)

Apa yang diungkapkan informan di atas menunjukkan ‘kedekatan’ antara bahasa Bali sebagai sarana dalam pementasan arja dengan nilai-nilai yang ada dalam cerita. Hal ini berarti bahwa tanpa penggunaan bahasa Bali dalam pementasan arja, dapat mengurangi nilai-nilai (makna) yang terkandung dalam pementasan tesebut. Begitu pun sebaliknya, bahwa dengan pementasan arja, dapat menunjang pemertahanan bahasa Bali melalui seni pentas. Hal tersebut sesuai dengan teori sosiolinguistik Firth yang bersumber pada pendapat Malinowski dalam bukunya yang berjudul The Problem of Meaning In Primitive Language yang mengemukakan konsep makna budaya dan situasi yang berkaitan erat dengan studi bahasa. Teori konteks situasi tersebut adalah, a. bahasa merupakan kegiatan yang penuh makna; b. setiap tingkat analisis bahasa mengarah kepada makna; c. setiap fungsi dapat dibatasi sebagai pemakai bentu-bentuk dalam hubungannya dengan konteks situasi; d. makna adalah keseluruhan fungsionalisasi dari wacana dan komponen-komponennya, Halliday yang dikutip oleh Aron Meko Mbete dalam Astra, dkk. (ed.) (2003: 477)

Berkaitan dengan teori tersebut, pementasan arja merupakan suatu kegiatan tradisional yang penuh makna. Dalam artian ini, bahasa Bali merupakan sarana yang dapat mengungkapkan makna yang tertera dalam tembang yang dilantunkan dalam pementasan arja. Dengan demikian, penggunaan bahasa Bali dalam pementasan arja mengarah pada makna. Makna tersebut sesuai dengan konteks situasi yang tersirat dalam alur cerita arja. Upaya mengungkapkan makna dalam pementasan arja merupakan peran penting bahasa Bali dalam pementasan tersebut. Dengan demikian, makna budaya dan situasi sangat erat kaitannya dengan penggunaan bahasa Bali dalam pementasan arja.

(16)

Selain wayang kulit dan arja, upaya pemertahanan bahasa Bali dalam kesenian adalah pesantian. Pasantian kata dasarnya “santi” mendapat imbuhan berupa awalan pa- dan akhiran –an (imbuhan dalam bahasa Bali). Kata Santi berarti damai, sejahtera, penolak bahaya (Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Bali 1988 : 279). Perkembangan kata Pasantian pada era sekarang lebih menonjolkan suatu perkumpulan yaitu Sekaa pasantian yang bermakna orang-orang yang mencari kedamaian perasaan melalui mempelajari sastra khususnya sastra Bali yang sangat erat berkaitan dengan agama Hindu. Pasantian merupakan wadah pelestarian bahasa Bali karena didalam kegiatan pesantian terdapat tradisi nyastra. Nyastra adalah suatu tradisi mlajah sambilang magending, magending sambilang mlajah. Ungkapan tersebut secara hurufiah berarti belajar sambil bernyanyi, bernyanyi sambil belajar. Hal tersebut mengandung makna bahwa nilai-nilai kehidupan dapat diungkapkan melalui nyanyian dan dengan bernyanyi orang merasa dirinya terhibur serta dapat memahami nilai-nilai kehidupan, sekaligus nilai-nilai tersebut memotivasi dirinya untuk berbuat yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat.

Kegiatan pasantian seperti yang diuraikan di atas, tak terlepas dari penggunaan bahasa Bali seperti yang terdapat dalam lontar-lontar maupun kitab suci. Dalam kegiatan pasantian lontar maupun kitab suci sering didiskusikan yang dikenal dengan istilah “mabebasan”. Dengan kata lain, mabebasan merupakan suatu kegiatan membaca dan menterjemahkan serta mendiskusikan isi dari tulisan baik yang terdapat dalam kitab suci maupun lontar. Dalam mabebasan, ada yang ngwacen (membaca) Sekar Alit, Sekar Madia, Sekar Agung, dan ada yang ngartos (menterjemahkan dengan bahasa Bali Kepara).

(17)

Kegiatan pesantian seperti yang diuraikan di atas, merupakan suatu kegiatan dalam tradisi masyarakat Bali, yang tak terlepas dari penggunaan bahasa Bali untuk mengungkapkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Misalnya pesantian yang terdapat dalam lontar-lontar maupun kitab-kitab suci. Hal tersebut sangat jelas dalam ungkapan I Gusti Ngurah Arnawa. Ia adalah seorang pemangku pura dadia yang tinggal di jalan Drupadi nomor IV A Denpasar Selatan, ketika diwawancarai penulis pada 2 Desember 2009 mengetengahkan seperti kutipan berikut.

“Pasantian leket pisan ring daging-daging agama utaminipun agama Hindu. Krama Baline mangda sahuninga ring indike punika. Duaning asapunika krama Bali mangda nincapang parikrama sajeroning pasantian. Majalarang antuk ngamargiang parikrama punika akeh daging-daging agama miwah budaya Bali makadi bahasa Bali prasida kalestariang saking kawentenang aabjagate mangkin”. Arti kutipan di atas adalah sebagai berikut.

“Pasantian sangat kental dengan nilai-nilai religius terutama bagi umat Hindu. Masyarakat Bali yang mayoritas Hindu, perlu kiranya menyadari akan hal tersebut. Oleh karena itu, masyarakat Bali harus lebih kreatif dalam karya pementasan seni, termasuk pesantian. Dengan kegiatan seperti itu, ada banyak nilai-nilai budaya dan nilai-nilai tradisi, serta penggunaan bahasa Bali dapat terselamatkan dari berbagai pengaruh globalisasi sekarang ini”.

Ungkapan informan di atas, mengetengahkan bahwa masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu pada umumnya dan masyarakat Kota Denpasar pada khususnya, adalah unsur utama untuk pemertahanan nilai-nilai budaya, nilai-nilai tradisi serta penggunaan bahasa Bali di tengah pengaruh globalisasi dewasa ini. Hal tersebut menunjukkan peneguhan sekaligus kekawatiran akan keberadaan bahasa Bali di tengah kemajuan pada berbagai bidang kehidupan sekarang ini. Hal tersebut sesuai pendapat Sugar (1967:24) bahwa perilaku itu ditentukan oleh empat faktor, yaitu sikap, norma susila, kebiasaan, dan akibat yang mungkin terjadi. Pada tataran demikian, bahasa sebagai bagian bawahan dari kebudayaan (subsistem budaya) akan dipengaruhi pula oleh sistem budaya bahasa

(18)

tersebut yang bila dikaitkan dengan istilah Sugar di atas termasuk dalam norma susila dalam arti yang lebih sempit (Jendra, 2007: 70). Berkaitan dengan uraian tersebut, tampak bahwa pementasan kesenian merupakan kekuatan dalam upaya pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar.

5.6 Upaya Pemertahanan Bahasa Bali dalam Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah daerah Bali terhadap pemertahanan bahasa Bali mengacu pada peraturan pemerintah pusat yang berkaitan dengan budaya nasional. Budaya nasional pada dasarnya lahir dari budaya daerah nusantara. Kekayaan budaya daerah nusantara dalam hal ini dapat dilihat sebagai kekayaan budaya nasional. Salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam membentuk budaya daerah adalah bahasa daerah. Hal ini berarti bahwa bahasa daerah merupakan salah satu unsur budaya nasional.

Undang-Undang Dasar 1945 bab XV pasal 36 dalam penjelasannya menyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya dihargai dan dipelihara oleh negara oleh karena bahasa-bahasa itu adalah bagian daripada kebudayaan Indonesia yang hidup. Isi dan penjelasan UUD 1945 tersebut sangat jelas dan tegas mempertahankan eksistensi bahasa daerah sebagai bagian daripada budaya nasional. Dengan demikian, bahasa Bali sebagai bahasa daerah Bali secara Undang-Undang dihargai dan dipelihara baik oleh Negara maupun oleh masyarakat pemakainnya dalam hal ini adalah masyarakat Bali.

Peraturan Daerah Tingkat I Bali No. 3 Tahun 1992 mengetengahkan tentang pelestarian bahasa, aksara, dan kesustraan Bali. Peraturan daerah tersebut secara eksplisit

(19)

memelihara dan melestarikan bahasa Bali secara keseluruhan, yaitu bahasa, aksara dan kesusastraan. Isi Peraturan Daerah Tingkat I Bali tersebut, juga ditetapkan dalam Lembaran Daerah Propinsi Bali Tahun 1992, No.385 Seri G. No.3799.

Surat Edaran Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali, No.01/1995, tentang aturan menulis menggunakan huruf Bali yang ditaruh di bawah huruf latin dalam pembuatan papan nama instansi pemerintah/kantor swasta. Surat edaran tersebut sangat jelas bahwa huruf bahasa Bali atau aksara Bali dilestarikan melalui pembuatan papan nama instansi baik instansi pemerintah maupun swasta.

Bertitik tolak pada Undang-Undang 1945 serta Peraturan Daerah Tingkat I Bali seperti yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah baik pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah Tingkat I Bali merupakan salah satu upaya pemertahanan bahasa Bali dalam masyarakat multikultural di Kota Denpasar.

(20)

. .

Referensi

Dokumen terkait

Objective: To analyze the diagnostic accuracy of VAS compared to PNIF in measurement of nasal obstruction in patients with persistent allergic rhinitis. Method: This

Sehubungan dengan penelitian skripsi program sarjana (S1) program studi Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, saya memerlukan informasi

Di dalam penerapan hukum masyarakat Baduy pun dibedakan, antara masyarakat Baduy luar, Baduy dalam dan pengunjung atau masyarakat umum.Hal tersebut dibedakan karena

Analisa Gambar 1 dan 5 menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat kepadatan penduduk dengan rata-rata sisa sampah ditempat penampungan sampah sementara.Volume sisa

U nastavku je prikazan Projekt rekonstrukcije HE Zakučac kroz njegove faze životnog ciklusa od iniciranja projekta i ciljeva koji će se ostvariti, detaljnog planiranja kako

Berdasarkan jurnal penelitian yang ditulis oleh Dwi Kartini (2017), Metode Jaringan Syaraf Tiruan mampu menghasilkan akurasi 99% menggunakan layer input 4, 1 hidden layer dengan

Hasil ini bisa dipahami bahwa variabel bauran pemasaran jasa yang berupa harga (X 2 ) secara linier sangat berkaitan dan terbukti lebih besar pengaruhnya