• Tidak ada hasil yang ditemukan

COVER. (lihat contoh) Mohon Lengkapi: 1. Kata Pengantar 2. Profil Penulis dalam bentuk kalimat deskriptif. 3. Nama Punulis lengkap dengan gelar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "COVER. (lihat contoh) Mohon Lengkapi: 1. Kata Pengantar 2. Profil Penulis dalam bentuk kalimat deskriptif. 3. Nama Punulis lengkap dengan gelar"

Copied!
228
0
0

Teks penuh

(1)

COVER

Mohon Lengkapi:

1. Kata Pengantar

2. Profil Penulis dalam bentuk kalimat deskriptif (lihat contoh)

3. Nama Punulis lengkap dengan gelar

(2)

Perilaku Kerja Inovatif, Budaya Organisasi dan Kinerja Karyawan: Konsep dan

Aplikasi dalam Penelitian

(3)

UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4

Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.

Pembatasan Pelindungan Pasal 26

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap:

i Penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual;

ii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian ilmu pengetahuan;

iii Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran, kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan

iv Penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(4)

dan Kinerja Karyawan: Konsep dan Aplikasi dalam Penelitian

Dr. Made Astrama, SE, MM

Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE, MS Dr. Desak Ketut Sintaasih, SE, MSi

Penerbit

CV. MEDIA SAINS INDONESIA Melong Asih Regency B40 - Cijerah

Kota Bandung - Jawa Barat www.penerbit.medsan.co.id

(5)

Penelitian

Dr. Made Astrama, SE, MM Prof. Dr. Ni Nyoman Kerti Yasa, SE, MS

Dr. Desak Ketut Sintaasih, SE, MSi

Desain Cover:

Rintho Rante Rerung

Tata Letak:

Karisma Tanan Proofreader:

Rintho Rante Rerung Ukuran:

A5 Unesco: 15,5 x 23 cm Halaman:

vi, 192 ISBN:

978-623-6068-14-4 Terbit Pada:

Januari 2021

Hak Cipta 2021, Pada Penulis Isi diluar tanggung jawab penerbit

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit atau Penulis.

PENERBIT MEDIA SAINS INDONESIA (CV. MEDIA SAINS INDONESIA) Melong Asih Regency B40 - Cijerah Kota Bandung - Jawa Barat www.penerbit.medsan.co.id

(6)

i

KATA PENGANTAR

Kinerja karyawan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kinerja perusahaan secara menyeluruh. Oleh karena itu, kinerja karyawan seharusnya mendapat perhatian utama dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan. Pencapaian kinerja karyawan yang tinggi bisa dipengaruhi oleh beberapa variabel, antara lain: adanya perilaku kerja karyawan yang selalu inovatif, budaya perusahaan yang baik dan kuat yang mampu mendorong terjadinya peningkatan kinerja karyawan. Konsep hubungan antara variabel budaya organisasi, perilaku inovatif, dan kinerja karyawan diaplikasikan pada industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kabupaten Badung. Oleh karena itu, buku ini mengambil judul: Perilaku Kerja Inovatif, Budaya Organisasi, dan Kinerja Karyawan: Konsep dan Aplikasi dalam Penelitian.

Buku ini ditujukan untuk para mahasiswa maupun para pengelola bisnis khususnya pimpinan BPR. Bagi mahasiswa buku ini diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu referensi untuk mempelajari dan memahami tentang aplikasi dari konsep perilaku kerja inovatif, budaya organisasi, dan kinerja karyawan. Juga dapat memberi inspirasi kepada mahasiswa untuk mengembangkan ide-ide penelitian yang berkaitan dengan topik ini. Bagi pimpinan BPR, buku ini bisa digunakan

(7)

ii

untuk mengembangkan strategi bisnis di bidang Manajemen Sumber Daya Manusia.

Akhir kata, semoga buku ini berguna bagi pembaca sekalian dan bagi masyarakat luas. Terima kasih kami haturkan kepada bapak Prof. Dr. I Wayan Gede Supartha, SE, SU atas saran dan motivasinya. Astungkara.

Denpasar, 21 Januari 2021 Tim Penulis

(8)

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

Mengenal “Bank Perkreditan Rakyat (BPR)” ... 1

Kinerja BPR ... 2

Karyawan Sebagai Sumber Daya Strategis ... 4

Evaluasi Karyawan BPR ... 6

Kinerja Karyawan ... 8

Faktor Kinerja Karyawan ... 9

Budaya Organisasi ... 9

Korelasi Budaya Organisasi dengan Kinerja Karyawan ... 11

Perilaku Kerja Inovatif ... 13

Efek Perilaku Kerja Inovatif ... 16

BAB 2 RESOURCE BASED VIEW THEORY DAN HUMAN CAPITAL THEORY ... 19

Resource Based View Theory ... 19

Human Capital Theory ... 24

BAB 3 BUDAYA ORGANISASI ... 27

Unsur-unsur Budaya Organisasi ... 40

Fungsi Budaya Organisasi ... 43

BAB 4 ORGANIZATIONAL CULTURE INVENTORY (OCI) .. 45

Ukuran Organizational Culture Inventory (OCI) ... 47

Hubungan Budaya Organisasi dan Organizational Culture Inventory ... 52

BAB 5 PERILAKU KERJA INOVATIF ... 59

(9)

iv

Inovasi ... 59

Definisi Perilaku Kerja Inovatif (IWB) ... 62

Perilaku Kerja Inovatif dan Kreativitas ... 66

Dimensi Perilaku Kerja Inovatif ... 67

BAB 6 KINERJA KARYAWAN ... 71

Pengertian dan ruang lingkup Kinerja ... 71

Tujuan dan pentingnya Penilaian Kinerja ... 76

Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja Karyawan ... 78

Standar Pengukuran Kinerja Karyawan ... 80

BAB 7 KETERKAITAN ANTAR BUDAYA ORGANISASI, KINERJA KARYAWAN, DAN PERILAKU KERJA INOVATIF ... 85

Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan ... 85

Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Perilaku Kerja Inovatif ... 87

Pengaruh Perilaku Kerja Inovatif terhadap Kinerja Karyawan ... 89

BAB 8 LANDASAN STUDI KASUS ... 91

Kerangka Berpikir Studi Kasus ... 91

Kerangka Konsep Studi Kasus ... 94

Hipotesis Studi Kasus ... 96

A. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan ... 96

B. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Perilaku Kerja Inovatif ... 104

C. Pengaruh Perilaku Kerja Inovatif terhadap Kinerja Karyawan ... 108

(10)

v

D. Peran Perilaku Kerja Inovatif memediasi pengaruh Budaya Organisasi terhadap

Kinerja Karyawan ... 110

BAB 9 TATA LAKSANA STUDI KASUS ... 114

Rancangan Pengujian ... 114

Lokasi dan Waktu Pelaksanaan ... 115

Data Pengujian ... 115

Variabel Pengujian ... 117

Metode Pengumpulan Data... 126

Pengujian Instrumen Studi Kasus ... 128

Teknik Analisis Data ... 130

BAB 10 PELAKSANAAN PENGUJIAN ... 137

Gambaran Umum Lokasi ... 137

Hasil Uji Instrumen ... 142

Karakteristik Responden ... 144

Deskripsi Variabel Pengujian ... 150

A. Deskripsi variabel Budaya Organisasi ... 151

B. Deskripsi variabel Perilaku Kerja Inovatif ... 157

C. Deskripsi variabel Kinerja Karyawan ... 159

Analisis Model Pengujian Dengan Teknik Analisis PLS ... 161

A. Evaluasi Outer Model (Model Pengukuran) .... 161

B. Pengujian Model Struktural (Inner Model) ... 169

Hasil Uji Statistik Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan Pengaruh Total Antar Variabel ... 171

Pengujian Hipotesis ... 173

BAB 11 HASIL STUDI KASUS ... 177

(11)

vi

Pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja

karyawan ... 177 Pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku kerja inovatif ... 181 Pengaruh perilaku kerja inovatif terhadap

kinerja karyawan ... 184 Peran perilaku kerja inovatif memediasi

pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja

karyawan ... 186 Temuan, Implikasi, dan Kesimpulan Studi

Kasus ... 188 DAFTAR PUSTAKA ... 193

(12)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

ersaingan di berbagai sektor perekonomian yang terus meningkat akibat globalisasi memacu para pelaku industri harus menyesuaikan perilaku, metode, dan strategi usahanya agar mampu mempertahankan eksistensi dan keberlanjutan usaha. Adaptif menyikapi perubahan lingkungan baik internal maupun eksternal mutlak diperlukan mengingat lingkungan merupakan faktor dominan yang menentukan keberlanjutan dan keunggulan bersaing perusahaan (Porter, 1979; Mohant dan Rath, 2012). Persaingan yang terjadi saat ini tanpa kecuali juga dirasakan oleh usaha sektor perbankan.

Mengenal “Bank Perkreditan Rakyat (BPR)”

Salah satu usaha di sektor perbankan yang berkembang di Indonesia adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Perkembangan BPR di Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang, diawali pada abad ke-19 saat para petani ingin melepaskan dirinya dari jeratan para rentenir yang memberikan pinjaman modal kerja dengan bunga tinggi.

Saat ini, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang selanjutnya diperbaharui melalui Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, secara

P

(13)

2

tegas BPR dinyatakan sebagai bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. Ada juga BPR didasarkan prinsip Syariah yang kegiatannya tidak memberikan jasa dalam transaksi pembayaran. Kegiatan usaha BPR terutama ditujukan untuk melayani usaha- usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan.

Di Provinsi Bali terdapat 135 BPR yang tersebar di sembilan kabupaten/kota, ada sebanyak 52 BPR beroperasi di Kabupaten Badung yang terbagi ke dalam tiga wilayah koordinator kecamatan, yaitu di Kecamatan Kuta (29 BPR), di Kecamatan Abiansemal (6 BPR), dan di Kecamatan Mengwi (17 BPR). Badung merupakan salah satu kabupaten di Bali yang memiliki kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sehingga keberadaan BPR juga menjadi tumpuan dan harapan bagi para pelaku usaha kecil dan mikro dalam menunjang pertumbuhan usaha mereka.

Kinerja BPR

Bila dibandingkan dengan standar (best practises) yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kinerja BPR di Kabupaten Badung dalam 3 tahun terakhir menunjukkan perkembangan yang cukup baik melampaui best practise standar. Hal itu dikatakan dari beberapa indikator keuangan, antara lain: Capital Adequacy Ratio (CAR), Loan to Deposit Ratio (LDR), Return on Asset (ROA), Kualias Aktiva Produktif (KAP), Biaya

(14)

3

Operasional Pendapatan Operasional (BOPO), dan Cash Ratio (CR). Namun perkembangan yang kurang baik terjadi pada indikator Non Performing Loan (NPL), seperti yang disampaikan pada Tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1

Kinerja BPR di Kabupaten Badung Tahun 2015-2017 (dalam persen)

Tahun

Indikator Kinerja BPR

NPL CAR LDR ROA KAP BOPO CR

2015 3,9 20,6 78,5 3,7 4,6 84,1 27,3

2016 7,5 22,2 79,8 3,0 4,7 84,1 26,9

2017 9,8 23,0 77,7 2,9 7,3 86,0 27,7

Standar

OJK ≤ 5 ≥ 8 ≤ 94,75 ≥ 1,215 ≤ 10,35 ≤ 93,15 ≥ 4,05

Sumber: OJK, diolah, 2017

Berdasarkan data pada Tabel 1.1 dapat diketahui kinerja BPR di Kabupaten Badung, Provinsi Bali secara umum lebih baik dibandingkan dengan standar yang ditetapkan OJK. Tetapi kredit bermasalah (NPL) hampir dua kali lipat dari ketentuan yang telah ditetapkan (≤ 5 persen). NPL atau kredit bermasalah merupakan salah satu kunci dalam menilai kualitas kinerja bank. NPL merupakan indikasi adanya masalah dalam bank tersebut, yang mana jika tidak segera ditangani akan berdampak pada tingkat kesehatan bank. Banyaknya kredit bermasalah akan menyebabkan permodalan bank berkurang yang dapat

(15)

4

dilihat dari rasio kecukupan modalnya (Septiarini dan Ramantha, 2014).

Keberhasilan sebuah organisasi seperti BPR tidak terlepas dari kinerja karyawannya. Dimana tujuan suatu organisasi akan tercapai dengan baik apabila mempuyai karyawan atau sumber daya manusia yang berkualitas.

Sumber daya merupakan sumber energi, tenaga, kekuatan (power) yang diperlukan untuk menciptakan daya, gerakan, aktivitas, kegiatan, dan tindakan. Maka dalam menciptakan kinerja yang baik dalam organisasi tergantung pada kinerja karyawan yang bergerak menjalankan tujuan organisasi tersebut. Karyawan bukan hanya menjadi objek dalam pencapaian keberhasilan sebuah organisasi namun juga sebagai pelaku keberhasilan organisasi tersebut.

Karyawan Sebagai Sumber Daya Strategis

Upaya yang bisa dijadikan alternatif solusi dari permasalahan tersebut adalah mengedepankan peran sumber daya manusia, yaitu karyawan. Karyawan sebagai salah satu sumber daya strategis BPR, merupakan faktor penentu pada industri perbankan yang mengedepankan pelayanan jasa-jasa keuangan. Kinerja karyawan akan sangat menentukan kinerja BPR di Kabupaten Badung, mengingat jumlah nasabah BPR yang harus mereka layani. Karyawan merupakan unsur terpenting dalam sebuah organisasi. Penurunan kualitas karyawan sangat

(16)

5

mempengaruhi kemajuan dan kemunduran organisasi.

Hal ini dikarenakan karyawan merupakan penggerak organisasi. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana seseorang bekerja dan apa saja yang mempengaruhinya untuk menghasilkan kinerja yang optimal. Beberapa perilaku yang sering dilakukan karyawan saat bekerja misalnya masih banyak pegawai yang cenderung menganggur dan tidak mengerjakan tugas sebagaimana mestinya sesuai dengan waktu yang diberikan, tidak mau bekerjasama dengan karyawan lain, kurang persiapan untuk menghadapi rapat maupun presentasi, sering datang terlambat dan absen, tidak bersedia dan sering mengeluh bila harus bekerja lebih lama dari waktu yang seharusnya, serta kurangnya usaha untuk menampilkan kinerja yang terbaik (Manopol dan Banirestu, 2011).

Keberadaan sumber daya manusia dalam suatu perusahaan sangat strategis, terutama dalam menghadapi persaingan yang sangat ketat dewasa ini. Hal ini tentu berlaku juga untuk bisnis perbankan, dimana salah satu bagian dari tantangan intern bisnis perbankan dalam menghadapi globalisasi adalah kualitas sumber daya manusia yang dimiliki. Sumber daya manusia yang berkualitas sangat diperlukan dalam bisnis yang memerlukan tingkat etos kerja yang tinggi seperti bisnis perbankan, sebab bisnis perbankan adalah bisnis yang sangat mengandalkan kepercayaan. Masyarakat akan

(17)

6

mempercayakan urusan finansialnya, baik meminjam maupun menyimpan uang, pada bank yang mempunyai reputasi baik, termasuk reputasi para pengelolanya.

Reputasi baik ini tentunya menyangkut kinerja (performance) yang dihasilkan oleh suatu bank sebagai suatu organisasi atau perusahaan. Dalam upaya untuk meningkatkan kinerja karyawan, pihak perusahaan harus memiliki strategi yang tentunya sesuai dengan tujuan organisasi. Indikator-indikator yang dapat membangun kinerja karyawan menurut McNeese dan Smith (1996), meliputi: tingkat kualitas hasil kerja, tingkat keuletan dan daya tahan kerja, tingkat disiplin dan absensi, tingkat kerja sama antar rekan sekerja, tingkat kepedulian akan keselamatan kerja, tingkat tanggung jawab akan hasil pekerjaannya, dan tingkat inisiatif/kreatifitas yang dimiliki.

Evaluasi Karyawan BPR

Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan terhadap karyawan BPR di Kabupaten Badung diketahui bahwa mayoritas karyawan tidak mampu memenuhi target yang telah ditetapkan dalam hal penyaluran kredit (lending) dan penggalian dana pihak ketiga (funding), dalam hal ini peran direksi menjadi lebih dominan, sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas hasil kerja karyawan rendah. Kondisi ini dapat ditunjukkan dari data lima BPR sebagai sampel untuk semester I Tahun 2016 sebagai berikut.

(18)

7 Tabel 1.2

Target dan Realisasi Produk BPR

No Produk Target (Rp) Realisasi (Rp) Selisih (%) 1. Kredit 16.947.415.913 15.234.473.105 10,10 2. Tabungan 3.134.503.660 2.641.543.820 15,72 3. Deposito 9.371.115.299 9.054.094.168 3,38

Sumber: BPR Kabupaten Badung, diolah, 2016

Berdasarkan data pada Tabel 1.2 nampak rata-rata target yang ditetapkan untuk kredit Rp.16.947.415.913,- sedangkan realisasinya sebesar Rp.15.234.473.105,-. Hal ini menunjukkan antara target yang ditetapkan dengan realisasi terdapat kekurangan pencapaian sebesar 10,10 persen. Rata-rata target dana pihak ketiga berupa tabungan yang ditetapkan sebesar Rp.3.134.503.660,- sementara itu realisasinya adalah Rp.2.641.543.820,- berarti terdapat kekurangan pencapaian sebesar 15,72 persen. Demikian pula halnya rata-rata target deposito yang ditetapkan sebesar Rp.9.371.115.299,- sedangkan realisasinya sebesar Rp.9.054.094.168,- berarti terdapat kekurangan pencapaian sebesar 3,38 persen.

Berkaitan dengan tidak tercapainya target yang ditetapkan oleh perusahaan, selama ini karyawan tidak menunjukkan keuletan dan daya tahan kerja, misalnya bersedia menambah jam kerja untuk berusaha keras mencari nasabah dan mencapai target yang dibebankan kepada masing-masing karyawan. Selama ini tugas karyawan dalam mencari nasabah hanya berdasarkan

(19)

8

arahan dan petunjuk dari direksi BPR. Hal ini terjadi karena direksi BPR menilai karyawan kurang memiliki inisiatif atau kreatifitas dalam menghimpun data nasabah potensial untuk diprospek agar menjadi nasabah BPR.

Kinerja Karyawan

Penelitian tentang kinerja karyawan mempengaruhi keberhasilan suatu organisasi telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti, Hameed dan Waheed (2011);

Shazadi et al. (2014); Zameer et al. (2014); Iqbal et al.

(2015). Hameed dan Waheed (2011) menyatakan bahwa karyawan adalah sumber daya berharga (asset) organisasi. Keberhasilan atau kegagalan organisasi tergantung pada kinerja karyawan. Oleh karena itu, organisasi berinvestasi dalam jumlah besar uang pada pengembangan karyawan, Shazadi et al. (2014) menegaskan bahwa individu yang bekerja di segmen bisnis mereka termotivasi oleh otonomi, kebebasan dan tanggung jawab yang diberikan dalam menjalankan tugas sesuai posisi yang diberikan oleh manajemen, sementara Zameer et al. (2014) menemukan bahwa jika manajemen puncak menempatkan fokus mereka pada motivasi karyawan, maka akan menyebabkan kinerja karyawan meningkat secara positif, sedangkan Iqbal et al. (2015) menyatakan bahwa perusahaan dengan karyawan terlatih memiliki dampak yang lebih positif pada kinerja karyawan mereka.

(20)

9 Faktor Kinerja Karyawan

Kinerja karyawan dalam suatu perusahaan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah budaya organisasi. Sebagaimana halnya untuk sebuah organisasi terlebih yang bergerak dalam bidang jasa/pelayanan seperti perbankan sangat dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan/

keterampilan khusus dan kejujuran. Disamping itu juga memerlukan lingkungan yang memiliki budaya kerja yang tercermin dari budaya yang berlaku dalam perusahaan atau disebut juga budaya organisasi. Budaya organisasi memiliki peranan yang sangat penting di dalam meningkatkan kinerja organisasi termasuk didalamnya kinerja karyawan. Budaya organisasi dikonseptualisasikan sebagai kepercayaan dan nilai bersama dalam organisasi yang membantu membentuk pola perilaku karyawan (Kotter dan Heskett, 1992).

Gordon dan Cummins (1979) mendefinisikan budaya organisasi sebagai dorongan yang mengakui usaha dan kontribusi anggota organisasi dan memberikan pemahaman holistik tentang apa dan bagaimana pencapaiannya, bagaimana tujuan saling terkait, dan bagaimana setiap karyawan dapat mencapai tujuan.

Budaya Organisasi

Hosftede (1980: 25) merangkum budaya organisasi sebagai proses kolektif dari pikiran yang membedakan

(21)

10

anggota satu kelompok dari kelompok yang lain. Dengan demikian konsep di atas menegaskan bahwa budaya organisasi dapat menjadi sarana untuk menjaga agar karyawan tetap sejalan dengan tujuan organisasi.

Denison dan Misra (1995) menyatakan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja, dasar pernyataan tersebut diperkuat oleh teori-teori dan hasil penelitian sebelumnya dari para ahli yang menyatakan budaya organisasi menjadi pedoman dalam proses adaptasi dalam lingkungan organisasi dan jenis-jenis budaya organisasi dapat menjadi prediktor untuk kinerja dan efektivitas. Budaya organisasi telah didefinisikan dengan berbagai cara dalam literatur, namun kebanyakan definisi cenderung berfokus pada nilai, kepercayaan, norma perilaku, dan artefak yang hadir dalam organisasi (Schein, 1985; Sathe, 1983; Cooke dan Rousseau, 1988).

Penelitian-penelitian terdahulu belum nampak ada peneliti yang menganalisis budaya organisasi dari perspektif OCI (Organizational Culture Inventory). Dalam penelitian ini budaya organisasi dianalisis dari perspektif OCI tersebut. OCI dalam Cooke dan Lafferty’s (1987) mendefinisikan budaya konstruktif, mendorong anggota untuk menjadi fleksibel dan adaptif dalam menanggapi perubahan kondisi lingkungan. Budaya konstruktif adalah budaya dimana para anggota didorong untuk berinteraksi dengan orang lain dan mendekati pekerjaan mereka dengan cara yang akan membantu mereka

(22)

11

memuaskan kebutuhan yang lebih tinggi. Budaya ini dicirikan oleh norma dan harapan untuk perilaku berprestasi, aktualisasi diri, dorongan humanistik, dan afiliatif (Cooke dan Szumal, 1993: 1302). Sementara budaya konstruktif mempromosikan motivasi, kerja sama dan kolaborasi individu, dan kemampuan beradaptasi.

Budaya defensif, sebaliknya, mempromosikan atau secara implisit memerlukan perilaku yang sesuai dengan kemampuan beradaptasi. OCI membedakan antara dua kelompok budaya pasif/defensif dan agresif/defensif.

Budaya pasif/defensif, dimana anggota percaya bahwa mereka harus berinteraksi dengan orang-orang dengan cara yang tidak akan mengancam keamanan mereka sendiri, dicirikan oleh norma dan harapan untuk perilaku yang berorientasi pada Persetujuan, Konvensional, Dependen, dan Penghindaran. Budaya agresif/defensif, dimana anggota diharapkan untuk mendekati tugas dengan cara yang kuat untuk melindungi status dan keamanan mereka, dicirikan oleh norma-norma oppositional, power-oriented, competitive, and perfectionistic (Cooke dan Szumal, 1993).

Korelasi Budaya Organisasi dengan Kinerja Karyawan

Penelitian untuk mengetahui peranan budaya organisasi dan faktor-faktor pendorong dalam menentukan kinerja organisasi telah dilakukan. Salah satunya adalah

(23)

12

penelitian Ahmad (2012), bertujuan untuk memperluas basis pengetahuan dan menguji secara empiris hubungan antara komponen budaya organisasi dengan praktik manajemen kinerja pada Institut Teknologi Informasi COMSATS di Pakistan. Hasil penelitiannya menemukan bahwa budaya organisasi memiliki hubungan positif dan signifikan dengan kinerja. Penelitian yang dilakukan di Pakistan oleh Ng’ang’a dan Nyongsea (2012) membahas tentang budaya kelembagaan, pengukuran budaya kelembagaan, pengukuran kinerja kelembagaan dan pengaruh budaya institusional terhadap kinerja. Hasil penelitiannya menemukan bahwa faktor yang sangat berperan dalam membangun budaya yang kuat adalah:

Pendiri atau pemimpin yang menetapkan nilai yang diinginkan, komitmen yang tulus dan berdedikasi untuk menjalankan bisnis institusi, dan nilai yang diinginkan dan kepedulian yang tulus terhadap kesejahteraan pemangku kepentingan institusi. Dari pembahasan di atas diyakini bahwa jenis budaya yang berlaku di sebuah institusi sangat berpengaruh terhadap kinerjanya.

Penelitian yang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari variabel budaya organisasi terhadap kinerja karyawan juga dilakukan oleh Ojo (2009), Koesmono (2011), Indriani dan Waluyo (2012), dan Darto et al. (2015). Keempat hasil penelitian ini menyatakan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Namun beberapa penelitian

(24)

13

lain menemukan hasil yang berbeda, yaitu terdapat pengaruh yang tidak signifikan antara budaya organisasi terhadap kinerja karyawan. Yuan dan Lee (2011) menemukan bahwa budaya organisasi memiliki korelasi yang lemah terhadap kinerja karyawan. Lim (1995) menemukan tidak terdapat hubungan antara budaya dengan kinerja karyawan. Satwika dan Himam (2014) juga menemukan bahwa budaya organisasi berorientasi karyawan tidak secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Hasil penelitian Syauta et al. (2012) menunjukkan bahwa budaya organisasi tidak berpengaruh langsung terhadap kinerja karyawan.

Budaya organisasi mampu mempengaruhi kinerja jika dimediasi oleh kepuasan kerja.

Perilaku Kerja Inovatif

Berdasarkan kesenjangan yang terjadi dari beberapa penelitian seperti tersebut di atas, maka penting dianalisis variabel lain yang menjadi pemediasi antara budaya organisasi dengan kinerja karyawan. Selain variabel budaya organisasi, masih ada variabel lainnya yang mampu mempengaruhi pencapaian kinerja perusahaan termasuk didalamnya kinerja karyawan. Dalam konsep manajemen strategi dinyatakan bahwa untuk mencapai hasil kinerja yang tinggi, perusahaan-perusahaan termasuk bank membutuhkan alternatif strategi baru untuk menghadapi persaingan yang sangat kompetitif.

Konsep baru ini diharapkan dapat memenuhi berbagai

(25)

14

jenis kebutuhan di pasar yang dinamis, dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan melalui karyawan mereka, salah satunya adalah perilaku kerja inovatif.

Perilaku kerja inovatif adalah suatu perilaku kerja yang bertujuan untuk menghasilkan, memperkenalkan dan menerapkan hal-hal baru yang bermanfaat bagi perusahaan (West dan Farr, 1989). Hal-hal baru yang dimaksud pada konteks perilaku kerja inovatif meliputi ide, proses, prosedur maupun produk baru. Perilaku kerja inovatif ini dapat tercapai melalui pemanfaatan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki individu guna menghasilkan suatu ide, proses maupun solusi baru (Amabile, 1998).

Setiap perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa seperti bank harus menyediakan beberapa komoditas atau jasa yang mampu berkontribusi terhadap kebutuhan ekonomi dan atau sosial masyarakat. Oleh karena itu kecenderungan untuk berinovasi adalah salah satu dari beberapa cara suatu organisasi untuk dapat merespon secara proaktif pasar yang sangat kompetitif (Kushluvan, 2003). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa karyawan bukan hanya mitra unik dalam proses inovasi, tetapi juga ide-ide inovatif mereka dapat menghasilkan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan bagi organisasi (Spiegelaere, 2014). Perusahaan juga perlu untuk menempati pasar yang unik untuk bertahan di dunia bisnis yang sangat kompetetitf. Salah satu kemungkinan

(26)

15

untuk menciptakan pangsa pasar yang unik adalah inovasi (Stoffers et.al.2014) Keharusan untuk mempromosikan inovasi tetap kuat di semua sektor meskipun iklim ekonomi yang terjadi seperti saat ini (Patterson et al. 2009).

Penentu keberhasilan implementasi inovasi di perusahaan meliputi modal manusia dan kompetensi manajer dan karyawan. Penelitian yang dilakukan oleh Dul dan Ceylan (2014) menemukan bahwa perusahaan dengan budaya pendukung kreatifitas mampu menghasilkan lebih banyak produk inovatif, dan lebih berhasil menerapkannya. Agar inovasi berhasil terjadi, manajer harus memiliki keahlian dalam domain yang ada, serta kompetensi khusus (Woszczyna dan Pikiewicz, 2014).

Boyatzis (1982) mendefinisikan kompetensi secara luas sebagai karakteristik fundamental yang penting, yang menghasilkan pemenuhan tugas profesional dan/atau lebih baik. Menurutnya, kompetensi profesional mewakili potensi, kemampuan untuk melakukan sesuatu. Satu set kompetensi individu mencerminkan kemampuan seseorang. Ini termasuk motif, kualitas pribadi, keterampilan, citra diri sendiri atau peran sosial seseorang, pengetahuan yang digunakan seseorang, dan seseorang dapat menyadari keberadaan dan kepemilikan kualitas ini atau tidak. Selain itu, Armstrong (1998) membedakan antara konsep "kompeten" dan

"kompetensi". Menurutnya, "kompeten" menggambarkan

(27)

16

apa yang orang perlu lakukan untuk melakukan pekerjaan dengan baik, "kompetensi", sebaliknya, didefinisikan dalam istilah yang mengacu pada dimensi perilaku yang berada di belakang kinerja yang kompeten.

Ini sering disebut sebagai kompetensi perilaku, karena ini dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana orang berperilaku saat melakukan pekerjaan mereka. Untuk mencapai kinerja yang baik memerlukan kompetensi perilaku yang memadai agar dapat menciptakan perilaku kerja yang inovatif. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Stoffers et al. (2015) dimana terdapat korelasi yang sangat signifikan antara budaya organisasi dengan perilaku kerja inovatif dalam organisasi. Eskiler.et al. (2016) hasil penelitiannya menemukan bahwa terdapat hubungan antara budaya organisasi dan perilaku kerja inovatif dan bahwa budaya organisasi secara signifikan memprediksi perilaku kerja inovatif.

Efek Perilaku Kerja Inovatif

Perilaku kerja inovatif mencerminkan kemampuan individu untuk beradaptasi secara efektif dengan pekerjaannya dengan memodifikasi diri mereka sendiri atau lingkungan kerja melalui inovasi (Janssen et al.,2004). Sebagian besar penelitian menemukan bahwa menjadi kreatif di tempat kerja cenderung memungkinkan karyawan untuk meningkatkan kinerja pribadi mereka (Gilson 2008; Gong et al., 2009). Penelitian yang menunjukkan bahwa perilaku kerja inovatif memiliki efek

(28)

17

positif terhadap kinerja individu dilakukan Dorner (2012) hasil penelitiannya menemukan bahwa perilaku kerja inovatif berhubungan positif dengan kinerja tugas. Balkar (2015), dimana penelitiannya menjelaskan bahwa perilaku inovatif mereka dapat meningkatkan kinerja guru menjadi lebih produktif. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Winarti dan Suharnomo (2015), menemukan bahwa perilaku inovatif dan sikap loyal berpengaruh positif terhadap kinerja dosen. Perilaku inovatif yang kuat berpengaruh positif terhadap kepuasan karir dengan kinerja dosen sebagai variabel intervening.

Selain itu, sikap loyal berpengaruh positif terhadap kepuasan karir dengan kinerja dosen sebagai variabel intervening. Jadi kinerja dosen dibuktikan dalam menjembatani kesenjangan tersebut.

Berdasarkan penelitian empiris, isu bisnis, dan celah penelitian yang berkaitan dengan budaya organisasi, perilaku kerja inovatif, dan kinerja karyawan, maka penulis memandang perlu untuk melakukan pengujian studi kasus lebih lanjut mengenai pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja karyawan dimediasi oleh perilaku kerja inovatif pada industri BPR di Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

(29)

18

(30)

19

BAB 2

RESOURCE BASED VIEW THEORY DAN HUMAN CAPITAL THEORY

Resource Based View Theory

Resource Based View Theory (RBV) merupakan pendekatan dalam menganalisis keunggulan bersaing suatu organisasi berdasarkan pada sumber daya dan kapabilitas suatu organisasi. Bahwa resourced based merupakan salah satu teori yang dapat menjelaskan bagaimana kapabilitas sumber daya dan perusahaan merupakan bagian penting utuk mencapai kinerja karyawan, sehingga terwujud perusahaan yang unggul.

Literatur RBV berfokus pada perspektif perusahaan tentang sumber daya utama dan nilai sumber daya utama dalam hal memberikan keunggulan kompetitif yang tercermin dalam kinerja yang unggul untuk perusahaan (Barney, 1991; Amit dan Shoemaker, 1993).

Sumber daya yang memiliki karakteristik penting yang dirangkum oleh Fahy (2000) sebagai nilai, hambatan untuk duplikasi dan kepantasan, telah diidentifikasi dalam banyak penelitian sebagai aset dan kemampuan yang tidak berwujud (Hall, 1993; Smart dan Wolfe, 2000).

Keunggulan kompetitif yang diperoleh melalui aset dan

(31)

20

kemampuan tidak berwujud ini kemudian tercermin dalam kinerja yang unggul bagi pemilik perusahaan, dengan kinerja yang unggul biasanya diukur dari segi keuangan seperti keuntungan yang lebih tinggi, peningkatan penjualan atau pangsa pasar (Hunt dan Morgan, 1995).

Studi tentang perusahaan berkinerja tinggi di industri jasa keuangan (Clulow et al., 2003), ditemukan bahwa aset tidak berwujud (kepercayaan klien, reputasi, jaringan dan kekayaan intelektual) dan kemampuan (pengetahuan, budaya organisasi, keterampilan dan pengalaman) adalah sumber daya yang berharga, unik, dan kompleks yang menghasilkan ketidakpastian. Nilai aset dan kemampuan tidak berwujud ini dapat disesuaikan oleh perusahaan karena kombinasi unik dari filosofi perusahaan, pengetahuan dan keterampilan karyawan dan kemampuan istimewa lainnya sulit untuk dipisahkan atau dipindahkan. Sebaliknya, aset berwujud adalah barang fisik, seperti tanah, bangunan, mesin, peralatan dan modal, semua aset ini nyata. Sementara memiliki nilai bagi perusahaan, namun tidak sesuai dengan konstruksi

"sumber daya utama" karena mereka ditemukan secara eksplisit mudah ditiru. Mereka tidak memenuhi kriteria fundamental untuk pencapaian keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Selanjutnya, peran strategis manajemen ditemukan menjadi bagian integral dari identifikasi, pengembangan dan penyebaran sumber daya

(32)

21

utama dan dampaknya terhadap keunggulan kompetitif dan kinerja yang unggul.

Menurut Barney (1991) keunggulan bersaing perusahaan dapat bersifat sementara atau berkelanjutan. Keunggulan bersaing sementara adalah keunggulan bersaing yang berlangsung untuk kurun waktu yang sangat singkat.

Pandangan ini menunjukkan bahwa setiap keunggulan bersaing yang diperoleh perusahaan tertentu dengan cepat akan diidentifikasi dan ditiru oleh perusahaan lain.

Sedangkan disisi lain, keunggulan bersaing berkelanjutan dapat bertahan lebih lama.

Pendukung RBV menyatakan jauh lebih layak untuk memanfaatkan peluang eksternal dengan menggunakan sumber daya yang ada dengan cara baru daripada mencoba memperoleh ketrampilan baru untuk setiap peluang yang berbeda. Dalam RBV, sumber daya yang dimiliki perusahaan diberi peran yang utama dalam membantu perusahaan untuk mencapai kinerja tinggi/unggul melalui keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh perusahaan, yang membedakan perusahaan dari perusahaan lain.

Dua asumsi penting RBV adalah bahwa sumber daya juga harus heterogen dan tidak bergerak. Asumsi pertama adalah keterampilan, kemampuan dan sumber daya lain yang dimiliki organisasi berbeda dari satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Jika organisasi memiliki jumlah dan campuran sumber daya yang sama, mereka

(33)

22

tidak akan dapat menggunakan strategi yang berbeda untuk saling bersaing satu sama lain. Apa yang dilakukan oleh satu perusahaan, perusahaan yang lain hanya bisa mengikuti dan tidak ada keunggulan kompetitif yang bisa dicapai. Oleh karena itu, RBV mengasumsikan bahwa perusahaan mencapai keunggulan bersaing dengan menggunakan kumpulan sumber daya mereka yang berbeda. Barney (1991) menyatakan bahwa keunggulan bersaing berkelanjutan tidak bisa dicapai perusahaan apabila sumber daya bisa didistribusikan ke berbagai perusahaan dan mimiliki mobilitas tinggi dalam satu industri atau kelompok. Hubungan antara sumber daya yang dimiliki perusahaan dan kapabilitas dalam mengelola sumber daya terkait dengan keunggulan bersaing, seperti yang ditampilkan dalam Gambar 2.1.

Sumber: Barney (1991)

Gambar 2.1

Resource Based View Theory

(34)

23

Pandangan dari pendukung teori RBV berpendapat bahwa organisasi harus melihat ke dalam perusahaan untuk menemukan sumber keunggulan kompetitif daripada melihat lingkungan yang kompetitif. Pandangan berbasis sumber daya (Resource Based View-RBV) justru mengatakan bahwa sumber daya internal lebih penting bagi perusahaan dalam mempertahankan keunggulan bersaing. Setiap perusahaan berusaha untuk memiliki keunggulan bersaing sebagai sebuah kekuatan agar mampu bertahan dalam dunia bisnis. Keunggulan bersaing dibangun dengan melibatkan kompetensi khusus seperti melakukan berbagai upaya inovasi termasuk di dalamnya berperilaku inovatif untuk dapat membedakan perusahaan dari perusahaan lainnya dan menghasilkan kinerja yang unggul.

Membangun kompetensi khusus dalam diri setiap individu karyawan di setiap perusahaan akan membuat karyawan dapat melakukan pekerjaannya dengan hasil yang unggul, didukung oleh lingkungan tempat bekerja sebagai budaya yang kondusif dapat meningkatkan keunggulan bersaing bagi perusahaan. Pada akhirnya dengan budaya organisasi, dan perilaku inovatif yang baik dapat meningkatkan kinerja karyawan, secara simultan kinerja organisasi juga dapat menjadi lebih baik.

(35)

24 Human Capital Theory

Human Capital (HC) diartikan sebagai representasi dari stock pengetahuan individu yang tertanam pada kapabilitas perusahaan secara kolektif untuk memberikan solusi-solusi terbaik dari para karyawan.

Atau bisa juga dinyatakan sebagai segala kemampuan yang dimiliki oleh karyawan dalam menunjang tugasnya dan dalam mencapai tujuan perusahaan (Bontis,1999 dan 2001).

HC memainkan peran yang sangat vital di tingkat individu dan organisasi dalam hal menciptakan nilai dan merangsang pengetahuan dan inovasi baru, juga sebagai katalis yang mengubah pengetahuan individu menjadi pengetahuan organisasi, dan sebaliknya (McCracken et al.

2017). Bontis et al. (1999:391) mendefinisikan HC sebagai faktor manusia dalam organisasi, gabungan kecerdasan, keterampilan, dan keahlian yang memberikan organisasi ciri khasnya. Elemen manusia dari organisasi adalah mereka yang mampu belajar, mengubah, berinovasi dan memberikan dorongan kreatif yang jika termotivasi dengan baik dapat memastikan kelangsungan hidup jangka panjang organisasi.

Munculnya sumber daya tak berwujud dan modal intelektual pada abad ke-21 telah menyebabkan transisi dari ekonomi produksi ke ekonomi pengetahuan, dan telah terjadi perubahan paradigma dalam cara menilai aset dalam organisasi. Secara tradisional, kepercayaan

(36)

25

lama adalah bahwa aset fisik perusahaan membuka jalan bagi kesuksesan ekonomi, namun seperti yang dijelaskan Becker (1964:1) sumber daya fisik hanya menjelaskan sebagian kecil dari pertumbuhan pendapatan di sebagian besar negara. Dari perspektif manajemen strategis, sumber daya fisik memberi sedikit keuntungan bagi organisasi karena mereka dapat dibeli dan dijual di pasar terbuka dengan mudah (Rothaermel, 2012).

Dalam ekonomi pengetahuan, kemampuan dan keterampilan merupakan aset tidak berwujud yang melekat dalam struktur, rutinitas, sistem organisasi dan proses yang dapat berkontribusi terhadap modal pengetahuan organisasi (Grant 1996, Mahoney dan Kor 2015). Modal pengetahuan ini biasanya disebut sebagai modal intelektual perusahaan (Intellectual Capital). IC perusahaan terdiri dari modal manusia, sosial dan struktural seperti inovasi dan modal proses (Edvinsson dan Malone, 1997). HC dapat diperdebatkan, mewakili tingkat dasar IC. HC tidak hanya memainkan peran penting dalam mengembangkan dan menciptakan gagasan dan pengetahuan baru, juga memfasilitasi modal sosial dan berbagi pengetahuan dan gagasan melalui hubungan internal (Han et al. 2014).

Masalah inheren dengan HC, bagaimanapun bahwa tidak seperti modal organisasi yang dimiliki perusahaan (yaitu, paten, database, dan sebagainya). Oleh karena itu, orang dapat mulai melihat mengapa manajemen dan

(37)

26

pengukuran HC sangat penting dan mengapa HC menjadi isu strategis utama dalam organisasi (Thomas et al. 2013, Ployhart et al. 2014). Selain itu, ada sejumlah besar dan semakin banyak bukti yang menunjukkan hubungan positif antara pengembangan HC dan kinerja baik pada tingkat individu dan organisasi (Crook et al. 2011, Crocker dan Eckardt 2014). Dapat dikatakan bahwa merekrut dan mempertahankan karyawan terbaik menjadi tujuan utama manajemen HC. Organisasi juga harus meningkatkan keterampilan dan kemampuan karyawan dengan mendorong pembelajaran individu termasuk melakukan inovasi dan organisasi juga menyediakan lingkungan yang mendukung di mana pengetahuan dapat dibuat, dibagikan, dan diterapkan.

(38)

27

BAB 3

BUDAYA ORGANISASI

Setiap perusahaan pada umumnya memiliki budaya organisasi yang merupakan nilai-nilai kepercayaan guna menumbuhkan seperangkat praktik manajemen untuk menanggulangi masalah-masalah integrasi internal dan adaptasi eksternal pada perusahaan, dimana aktivitas- aktivitas yang dilakukan tersebut berasal dari nilai-nilai yang dominan ada dalam organisasi. Definisi yang dikemukakan oleh Luthans (2006), bahwa budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku, agar diterima oleh lingkungannya. Teori yang dikemukakan oleh Schein (2009) bahwa budaya organisasi dapat ditemukan dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu tingkatan asumsi, nilai, dan artefak sebagaimana pada Gambar 2.2 berikut.

(39)

28 Sumber: Schein (2009: 21)

Gambar 2.2 Tiga Tingkatan Budaya

Pertama, adalah “Artifak” di mana budaya bersifat kasat mata tetapi seringkali tidak dapat diartikan. Analisis pada tingkat ini cukup rumit karena mudah diperoleh tetapi sulit ditafsirkan. Kedua, adalah “Nilai” yang memiliki tingkat kesadaran yang lebih tinggi daripada artifak. Nilai ini sulit diamati secara langsung, oleh karenanya seringkali perlu untuk menyimpulkan melalui wawancara dengan anggota kunci organisasi atau menganalisa kandungan artifak seperti dokumen. Terakhir, adalah

“Asumsi Dasar” yang merupakan bagian penting dari budaya organisasi. Pada tingkat ini budaya diterima begitu saja, tidak kasat mata dan tidak disadari,

Artifacts Proses dan struktur organisasi yang bisa dilihat (visible)

Espoused values

Strategi, tujuan, filosofi, justifikasi yang mendukung

Asumsi-asumsi

Tidak disadari, diperoleh dari kepercayaan, persepsi, pemikiran, dan perasaan (sumber nilai dan tindakan yang tertinggi)

(40)

29

merupakan reaksi yang bermula sebagai nilai-nilai yang didukung. Bila asumsi telah diterima, maka kesadaran menjadi tersisih, dengan kata lain perbedaan antara asumsi dengan nilai terletak pada apakah nilai-nilai tersebut masih diperdebatkan dan diterima apa adanya atau tidak.

Mangkunegara (2005) berpendapat bahwa “budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal”. Hofstede (2001:9) mendefinisikan budaya sebagai “the collective programming of the mind that distinguishes the members of one group or category of people from another”. Yang dimaksud mind dalam konsep tersebut adalah head, heart, dan hands, yaitu pemikiran (thinking), perasaan (feeling), dan tindakan (acting), dengan konsekuensi terhadap beliefs, attitudes, dan skills. Budaya melibatkan nilai (values), di mana sistem nilai merupakan inti dari budaya, nilai-nilai akan meliputi konsep menyeluruh dari symbol, heroes, dan ritual (Hofstede, 2001:10), sehingga konsep budaya bisa digambarkan dalam diagram ‘onion’

sebagai berikut:

(41)

30 Sumber: Hofstede (2001)

Gambar 2.3

The Onion Diagram: Manifestasi Level Budaya

Gambar 2.3 menunjukkan bahwa budaya merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dipraktikkan dalam bentuk ritual, simbol, dan heroes. Simbol merupakan kata-kata, gestures, gambar, dan obyek yang memiliki makna yang kompleks yang sering dikenal hanya oleh orang yang berbagi budaya tersebut. Misalnya pakaian, bahasa, jargon, gaya rambut, dan sebagainya. Heroes

(42)

31

merupakan orang, sudah meninggal atau masih hidup, nyata atau imajiner, yang memiliki karakteristik yang dihargai dalam sebuah budaya dan dijadikan sebagai model perilaku. Ritual merupakan aktivitas kolektif yang secara teknik tidak perlu untuk pencapaian hal yang diharapkan, tetapi dalam sebuah budaya hal ini menjadi penting dalam pertimbangan sosial, karena bisa menjaga individu untuk tetap terikat dalam norma kolektivitas.

Adapun dimensi budaya organisasi menurut Hofstede (2001:30) meliputi lima dimensi, yaitu:

1) Affectivity (kebutuhan penghargaan) versus affective neutrality (bertahan).

2) Self orientation vs collectivity orientation.

3) Universalism (menerapkan standar umum) versus particularism (mengambil hubungan khusus untuk kasus atau kondisi tertentu).

4) Ascription (menghakimi mereka apa adanya) versus achievement (menghakimi orang lain sesuai dengan apa yang dikerjakan).

5) Specificity (membatasi hubungan dengan orang lain dalam suasana khusus) versus diffisiveness (tidak memprioritaskan adanya pembatasan dalam hubungan yang alami).

Model budaya Denison (1990) menghadirkan saling keterkaitan antara budaya organisasi, praktek-praktek manajemen, kinerja dan efektifitas. Model ini menjelaskan

(43)

32

pentingnya hubungan praktik-praktik manajemen dengan asumsi dasar dan kepercayaan dalam menilai efektivitas budaya organisasi. Denison (1990) membagi dimensi budaya organisasi berdasarkan empat sifat utama (main culture traits) sebagai berikut:

1) Adaptability

Adaptability merupakan kemampuan perusahaan untuk menerjemahkan permintaan lingkungan bisnis ke dalam tindakan. Dengan kata lain adaptability merupakan kemampuan perusahaan untuk menjawab pertanyaan

“Are we listening to the marketplace?”. Adaptability diperlukan dalam organisasi, karena organisasi memegang sistem norma dan keyakinan yang mendukung kapasitas organisasi untuk menerima, menerjemahkan, dan menginterpretasikan sinyal dari lingkungannya ke dalam perubahan perilaku internal yang meningkatkan peluangnya untuk bertahan, tumbuh, dan berkembang.

Denison menyebutkan ada tiga aspek adaptability yang berdampak pada efektivitas organisasi, yaitu: (1) kemampuan untuk mempersepsi dan merespon lingkungan eksternal. Organisasi yang berhasil sangat dititikberatkan pada pelanggan dan pesaing; (2) kemampuan untuk merespon pelanggan internal tanpa memperhatikan tingkatan, departemen, atau fungsi; dan (3) kapasitas untuk merestrukturisasi dan melakukan reinstitutionalize serangkaian perilaku dan proses yang mengijinkan organisasi untuk beradaptasi. Tanpa

(44)

33

kemampuan untuk mengimplementasikan respon yang adaptif, sebuah organisasi tidak bisa efektif. Denison selanjutnya menyusun tiga indikator adaptability sebagai berikut:

a) Creating Change

Organisasi yang berkinerja tinggi menyambut ide baru dan bersedia untuk melakukan pendekatan baru untuk melakukan sesuatu. Oleh karena itu, organisasi yang seperti ini akan melihat bahwa creating change sebagai bagian penting dari cara mereka menjalankan bisnis.

b) Customer Focus

Customer focus merupakan bagian kritis bagi organisasi.

Karyawan mengenali kebutuhan untuk melayani pelanggan, baik internal maupun eksternal. Karyawan ini akan selalu berusaha secara terus menerus mencari cara baru dan diperbaiki untuk memenuhi dan melebihi harapan pelanggan.

c) Organizational Learning

Penuh pemikiran dalam pengambilan risiko sangat didukung dalam organisasi berkinerja tinggi.

Pembelajaran organisasi artinya perusahaan memperoleh pengetahuan dari keberhasilan dan kegagalan. Reaksi pertama ketika melihat kesalahan bukan “who is to blame?”, tetapi “what can we learn?”.

(45)

34 2) Mission

Misi yaitu mendefinisikan arahan jangka panjang yang bermakna bagi organisasi. Dengan kata lain, misi menjawab pertanyaan “Do we know where we are going?”.

Organisasi yang berkinerja tinggi memiliki misi yang memberitahu karyawan mengapa mereka mengerjakan pekerjaan yang saat ini dikerjakan, dan bagaimana pekerjaan tersebut dikerjakan setiap hari dan memberi kontribusi serta mengapa. Dalam hal ini, Denison (1998) menyusun tiga indikator untuk mengukur misi, yaitu:

a) Strategic Direction and Intent

Strategic direction and intent pada dasarnya mengacu pada strategi multi tahun, dengan prioritas yang tinggi yang diselenggarakan untuk operasionalisasi visi.

b) Goals and Objectives

Goals and objectives merupakan tujuan jangka pendek yang ditetapkan untuk membantu setiap karyawan untuk melihat apakah aktivitas hariannya berhubungan dengan visi dan strategi perusahaan.

c) Vision

Visi merupakan alasan yang paling tepat mengapa bisnis dijalankan, tujuan perusahaan, apa yang sesungguhnya ingin dicapai.

3) Involvement

(46)

35

Involvement atau keterlibatan merupakan kemampuan organisasi dalam membangun kemampuan manusia, kepemilikan, dan tanggung jawab. Denison menggambarkan involvement dengan menggunakan pertanyaan “Are our people aligned and engaged?”.

Organisasi yang dikarakteristikkan sebagai "highly involved" dengan kuat meningkatkan keterlibatan dan mengembangkan rasa memiliki dan tanggung jawab.

Karyawan memiliki kerelaan untuk bekerja dalam kondisi informal, sukarela, dan menerapkan sistem pengendalian, bukan formal, eksplisit, dan penuh dengan sistem birokrasi. Dengan adanya rasa memiliki maka akan tumbuh komitmen yang lebih tinggi terhadap organisasi dan meningkatkan kapasitas otonomi. Penerimaan masukan dari anggota organisasi akan meningkatkan kualitas keputusan dan memperbaiki implementasinya.

Denison menyusun pengukuran involvement dengan menggunakan tiga elemen yaitu.

a) Empowerment

Empowerment atau pemberdayaan menunjukkan kemampuan organisasi dalam mengklarifikasi area di mana karyawan dapat membuat keputusan, memperoleh masukan, atau area yang di luar jangkauan tanggung jawab karyawan itu sendiri.

b) Teamwork

(47)

36

Teamwork dalam organisasi ditumbuhkembangkan, sehingga ide kreatif akan tertangkap dan karyawan mendukung satu sama lain dalam menjalankan pekerjaan yang perlu segera diselesaikan.

c) Capability Development

Capability development dipraktikkan dalam banyak cara, termasuk pelatihan, pengajaran, dan memberi tempaan kepada karyawan mengenai aturan dan tanggung jawab baru.

4. Consistency

Konsistensi menekankan bahwa nilai dan sistem menjadi budaya yang kuat. Dalam hal ini Denison menyatakan konsistensi adalah kemampuan organisasi untuk menjawab pertanyaan “Does our system create leverage?”.

Konsistensi menyediakan sumber integrasi utama, koordinasi, dan pengendalian. Organisasi yang konsisten mengembangkan pola pikir dan serangkaian sistem organisasi yang menciptakan sistem tata kelola internal yang mendukung konsensus. Organisasi seperti ini akan memiliki karyawan dengan komitmen tinggi, nilai sentral utama, metode bisnis yang berbeda, tendensi promosi dari dalam, dan serangkaian peraturan yang jelas mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Konsistensi menciptakan budaya yang kuat yang didasarkan pada sistem keyakinan, nilai, dan simbol yang dibagi dan dipahami secara luas oleh anggota organisasi.

(48)

37

Sistem pengendalian secara implisit didasarkan pada nilai-nilai yang diinternalisasi yang dapat lebih efektif dan menjadi sarana untuk mencapai koordinasi dan integrasi dibandingkan sistem pengendalian eksternal yang hanya disampaikan dalam aturan dan tata tertib eksternal.

Kekuatan metode operasi ini secara khusus nampak ketika anggota organisasi melakukan tindakan yang dalam situasi yang tidak biasa. Ini memudahkan individu untuk melakukan reaksi yang lebih baik dalam cara yang bisa diprediksi terhadap lingkungan yang tidak bisa diprediksi dengan melakukan penekanan pada hal yang bersifat umum, prinsip yang didasarkan pada nilai ketika sebuah tindakan dilakukan.

a) Core Values

Organisasi berkinerja tinggi memiliki nilai inti yang jelas yang membantu karyawan dan pemimpin membuat keputusan yang konsisten dan berperilaku dalam perilaku yang konsisten pula.

b) Agreement

Agreement atau kesepakatan bisa dilakukan dengan melakukan dialog dan mendapatkan perspektif ganda di atas meja. Dalam hal ini organisasi yang berkinerja tinggi

(49)

38

akan mampu melakukan kesepakatan ketika isu dan masalah muncul.

c) Coordination and Integration

Karyawan memahami bagaimana pekerjaan dikerjakan dan bagaimana dampaknya terhadap yang lain, dan bagaimana pekerjaan lain juga akan berdampak pada pekerjaannya. Karyawan tidak hanya melempar sesuatu begitu saja, tetapi penuh pemikiran, karena karyawan akan meyakinkan diri bahwa pekerjaannya terkoordinasi dan terintegrasi untuk melayani perusahaan secara keseluruhan.

Kajian yang dilakukan Denison menunjukkan bahwa budaya organisasi yang efektif harus mencerminkan keempat karakteristik sifat utama budaya diatas, sehingga organisasi dapat melakukan integrasi internal dan adaptasi eksternal dengan baik. Budaya organisasi (corporate culture) disusun untuk menciptakan keteraturan perilaku anggota-anggota organisasi menjadi tampak, membuat aturan-aturan yang mengarah ke pencapaian tujuan dan menciptakan suasana atau iklim kerja yang kondusif, sehingga perusahaan dengan budaya organisasi yang unggul akan memiliki perbedaan dengan perusahaan lainnya. Berikut Gambar 2.4 model budaya organisasi menurut Denison (1998).

(50)

39

Sumber: htpp:/www.denisonconsulting.com/

Gambar 2.4

Model Budaya Organisasi Denison

Kesimpulan yang dapat diambil terhadap pendapat tentang teori budaya organisasi yang dikemukakan oleh Hofstede (2001), Schein (2009) dan Denison (1990). Teori Hofstede dan Schein mengenai elemen dalam budaya organisasi dan tingkatan budaya organisasi dapat dikolaborasikan dengan teori Denison, bahwa pada hakikatnya, model budaya organisasi yang dikembangkan dari waktu ke waktu memiliki keterkaitan satu sama lain,

(51)

40

yaitu meliputi keyakinan, nilai, dan norma yang diakui oleh perusahaan, kemudian diwujudkan dalam bentuk pernyataan tujuan, visi, misi, dan strategi yang diyakini harus dicapai. Perwujudan pernyataan tersebut selanjutnya harus dicapai melalui proses nyata yang dipraktikkan dalam perusahaan.

Unsur-unsur Budaya Organisasi

Budaya organisasi memiliki unsur-unsur yang dapat mempengaruhi kesempurnaan dalam pembentukan budaya organisasi. Adapun unsur-unsur budaya organisasi yang dikemukakan oleh Hofstede (1994: 102) yang meliputi:

1. Profesionalisme, merupakan ukuran kecakapan atau keahlian yang dimiliki oleh pekerja dalam organisasi.

Suatu jabatan yang ditempati oleh seorang pekerja yang profesional atau suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh pekerja yang profesional akan membuahkan hasil yang optimal. Dalam organisasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme semua pekerjaan akan mencurahkan perhatiannya pada pekerjaan sebagai bentuk dari tanggung jawab yang harus ditunaikan. Seorang pekerja yang profesional akan menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya tanpa banyak mengeluh, karena ia yakin bahwa ia dapat menyelesaikannya walaupun di bawah tekanan (under pressure), seperti harus memenuhi deadline yang ketat. Untuk keyakinan dan

(52)

41

kemampuannya menyelesaikan tugas, seorang profesional cenderung akan menuntut penghasilan yang lebih baik atau reward yang berbeda dari pekerja lainnya.

2. Kepemimpinan, yaitu tingkat keterlibatan atasan terhadap masalah-masalah di luar pekerjaan yang dialami oleh bawahan. Hubungan antarpribadi yang terbina baik akan memungkinkan terciptanya iklim kerja yang cerah. Adanya hubungan antarpribadi juga dapat mempengaruhi penilaian terhadap pekerja.

Dalam hal melakukan promosi, atau mempertahankan orang-orang yang dinilai baik bagi suatu divisi juga melibatkan hubungan antarpribadi.

Seorang atasan mungkin akan mempertahankan seorang bawahan bagi divisinya yang menurut penilainnya bertipe loyal dan mudah dibina walaupun mungkin potensinya belum tentu lebih baik dari pekerja lainnya.

3. Kepercayaan kepada rekan sekerja, yaitu interaksi yang terbina antar sesama pekerja dalam organisasi.

Sikap yang terbuka, ramah dalam pergaulan dan perilaku yang menunjukkan rasa persaudaraan yang tinggi diantara sesama pekerja, karena merasa senasib dan seperjuangan akan menumbuhkan kepercayaan dan perilaku yang positif. Dengan adanya rasa percaya kepada rekan sekerja yang tertanam dengan baik, masalah-masalah pekerjaan

(53)

42

ataupun masalah pribadi akan dapat diatasi dengan perhatian dari rekan-rekan sekerja yang rela membantu memberikan saran.

4. Keteraturan, yaitu kondisi lingkungan kerja yang menunjukkan adanya aturan-aturan atau ketentuan yang harus dipatuhi oleh anggota organisasi.

Tujuannya adalah untuk menjamin keseragaman dalam pelaksanaan, memudahkan koordinasi dan pengawasan. Adanya aturan yang ditetapkan oleh organisasi harus berlaku sama untuk semua orang atau departemen dalam organisasi, sehingga mencerminkan adanya rasa keadilan.

5. Konflik, yaitu adanya pertentangan dan ketidakharmonisan dalam suatu organisasi yang menimbulkan rasa tidak nyaman dalam bekerja. Ini berpotensi pada penurunan motivasi kerja dan berdampak negatif terhadap perilaku pekerja.

Kompetisi yang tidak sehat antardepartemen dalam suatu organisasi, dimana orang-orang mungkin saling merasa curiga yang menyebabkan terhambatnya komunikasi dan koordinasi serta sulitnya bergaul antar individu. Disamping itu karyawan baru mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi, diterima sebagai anggota organisasi dan merasa nyaman bekerja pada lingkungan barunya tersebut.

(54)

43

6. Integrasi, yaitu iklim yang terbentuk dalam organisasi dimana pekerja merasa memiliki ikatan yang kuat dengan organisasi. Dalam kondisi seperti ini, pekerja akan menunjukkan loyalitas kepada organisasi.

Pekerja akan merasa bangga karena menjadi bagian dari organisasi dan merasa aman dengan pekerjaannya karena merasa dihargai dan dipenuhi kebutuhan hidupnya. Lingkungan kerja yang menyenangkan ini juga didukung oleh kerja sama yang baik di antara sesama pekerja atau sesama departemen.

Fungsi Budaya Organisasi

Budaya memiliki sejumlah fungsi di dalam sebuah organisasi, Robbins (2002) mengemukakan ada lima fungsi budaya organisasi sebagai berikut:

1. Budaya memiliki suatu peran batas-batas penentu, yaitu budaya menciptakan perbedaan antara satu organisasi dengan organisasi yang lain.

2. Budaya berfungsi untuk menyampaikan identitas kepada anggota-anggota.

3. Budaya mempermudah penerusan komitmen hingga mencapai batasan yang lebih luas melebihi batasan ketertarikan individu

4. Budaya mendorong stabilitas sistem sosial. Budaya merupakan suatu ikatan sosial yang membantu mengikat kebersamaan organisasi dengan

(55)

44

menyediakan standar-standar yang sesuai mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh karyawan.

5. Budaya bertugas sebagai pembentuk perilaku serta sikap karyawan.

(56)

45

BAB 4

ORGANIZATIONAL CULTURE INVENTORY (OCI)

unculnya budaya sebagai konsep yang relevan dengan organisasi dan keefektifannya telah menghasilkan banyak isu yang belum terselesaikan mengenai perancangan, pengembangan, dan kajian organisasi. Pertanyaan yang belum terjawab tetap mengenai makna dan isi budaya (Martin dan Siehl, 1983;

Louis, 1983), metode yang harus diukur (Schein, 1984;

Sashkin dan Fullmer, 1985), dan, yang lebih mendasar, kelayakan budaya perubahan dan arah yang harus ditempuh (Business Week, 1984: Uttal, 1983). Sementara perdebatan seputar isu-isu ini berlanjut, budaya telah diterima sebagai fakta kehidupan organisasi oleh para manajer dan telah menjadi aspek integral dari banyak program perubahan organisasi.

Konsep budaya organisasi berasal dari penelitian di bidang perilaku organisasi yang ditandai dengan penggunaan metode kualitatif. Untuk sebagian penggunaan metode ini berasal dari isu-isu yang menarik bagi ilmuwan yang telah mempelajari budaya dalam organisasi: simbolisme, perumusan rasa, dan sosialisasi (Louis, 1980; Martin dan Siehl, 1983; Smircich, 1983).

M

(57)

46

Melibatkan perspektif individu yang unik yang sangat setuju dengan penelitian kualitatif. Namun salah satu strategi paling kuat untuk pengembangan organisasi adalah perubahan berbasis data - sebuah pendekatan yang umumnya bergantung pada penggunaan ukuran kuantitatif (Huse dan Cummings, 1985; Nadler, 1977).

Metode kualitatif dan kuantitatif adalah pendekatan komplementer untuk studi dan penilaian terhadap proses dan atribut organisasi. Kelebihan metode kualitatif mencakup penggunaan istilah unit fokus sendiri untuk menggambarkan dirinya sendiri, informasi intensif dan mendalam yang dapat diperoleh tentang suatu unit, dan kecakapan metode untuk pengujian eksplorasi mengenai isu dan proses tentang informasi. Ada keuntungan metode kuantitatif mencakup kemudahan penilaian dan perbandingan cross-sectional (lintas individu, organisasi, atau sub-unit), replikasi penilaian di berbagai unit dan oleh peneliti lain atau profesional pengembangan organisasi, dan yang umum diartikulasikan. Kerangka acuan untuk menafsirkan data. Meskipun kedua metode tersebut memiliki potensi untuk menghasilkan kumpulan informasi kumulatif untuk penilaian dan pengujian teori, pendekatan kuantitatif mungkin lebih praktis untuk tujuan menganalisis perubahan berbasis data dalam organisasi.

Metode yang dijelaskan di sini adalah pendekatan kuantitatif terhadap penilaian aspek spesifik dari budaya

(58)

47

organisasi yaitu norma dan harapan bersama yang memandu pemikiran dan perilaku anggota. Instrumen pengukuran yang dimaksud adalah Organizational Culture Inventory (Cooke dan Lafferty, 1983, 1986), dirancang untuk digunakan dalam perbandingan intra dan inter organisasional dalam penelitian dan untuk mempromosikan perubahan budaya melalui program pengembangan organisasi yang dipandu oleh survei.

Ukuran Organizational Culture Inventory (OCI)

Organizational Culture Inventory (OCI) adalah instrumen yang dirancang untuk mengevaluasi budaya organisasi dalam hal norma perilaku dan harapan yang terkait dengan kepercayaan dan nilai bersama yang dimiliki oleh anggota organisasi (Cooke dan Lafferty, 1983). OCI mengukur apa yang individu dan kelompok dalam perusahaan seperti yang diharapkan dari mereka dan akan diperkuat dan dihargai. Hal ini juga memungkinkan anggota organisasi untuk mempertimbangkan budaya yang bagi mereka akan ideal untuk memaksimalkan kinerja bisnis, dan jenis perilaku apa yang diharapkan dari mereka dalam budaya ideal itu. Oleh karena itu, perbedaan antara budaya organisasi saat ini dan ideal dari suatu organisasi dapat diukur oleh OCI (Acumen International, 2000).

OCI mengukur 12 set keyakinan normatif dan harapan perilaku bersama yang dapat mempengaruhi pemikiran dan perilaku anggota organisasi, motivasi dan kinerja

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pertahanan tubuh penjamu terhadap invasi bakteri merupakan suatu proses yang rumit yang bertujuan untuk melokalisasi dan mengontrol infeksi

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,

digunakan oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan Loa Bakung Samarinda dalam mensosialisasikan Program Pengembangan Masyarakat Kelurahan Loa Bakung sudah

“Pelaksanaan Pemekaran Desa di Kecamatan Praya Tengah Kabupaten Lombok Tengah Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 Tentang Desa.” Rumusan masalah dalam penelitian ini

Yang dimaksud dengan pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah pekerjaan yang bersifat manusiawi yang memungkinkan pekerja berada dalam kondisi selamat dan sehat, bebas

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah disampaikan, maka rumusan masalah pada penelitian ini, Bagaimana analisis kecepatan rata - rata waktu

Skripsi dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar PKn pada Siswa Kelas