• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Hukum Pidana Terhadap Seseorang Yang Melakukan Pengrusakan Terhadap Barang Kepunyaan Orang Lain Sehingga Tidak Dapat Dipakai Lagi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Implementasi Hukum Pidana Terhadap Seseorang Yang Melakukan Pengrusakan Terhadap Barang Kepunyaan Orang Lain Sehingga Tidak Dapat Dipakai Lagi"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM) | Volume 2, Number 4, 2021 1

Implementasi Hukum Pidana Terhadap Seseorang Yang Melakukan Pengrusakan Terhadap Barang Kepunyaan Orang

Lain Sehingga Tidak Dapat Dipakai Lagi

1Tio Shanjaya, 2Risti Dwi Ramasari

(Fakultas Hukum, Universitas Bandar Lampung, Lampung, Indonesia) Email : tiosanjaya200@gmail.com

Abstract: The destruction of other people's property is very detrimental to the owner of the goods, whether the damaged goods are only partially or completely, so that the owner of the goods cannot use his property anymore. The research problem is how to implement criminal law against someone who destroys property that belongs to someone else. The research method uses normative. Factors that influence a person to commit a crime are psychological and environmental factors. Destruction is ensnared in Article 406 of the Criminal Code that the defendant has destroyed, damaged, made it unusable or lost something, that the destruction and so on had to be done intentionally and against the law and the item must be wholly or partly owned by another person. - Limitations included in the category of criminal acts of vandalism so that the crime of vandalism can be punished.

Keywords: work motivation, work discipline, employee performance

Abstrak: Perusakan barang milik orang lain sangat merugikan pemilik barang,baik barang yang dirusak tersebut hanya sebagian saja atau seluruhnya, sehingga pemilik barang tersebut tidak dapat menggunakan lagi barang miliknya. Permasalahan penelitian bagaimana implementasi hukum pidana terhadap seseorang yang melakukan pengrusakan terhadap barang yang kepunyaannya milik orang lain. Metode penelitian menggunakan normative. Faktor yang memepengaruhi seseorang melaklukan kejahatan yaitu faktor psikologis dan lingkungan. Pengrusakan dijerat dalam Pasal 406 KUHPidana bahwa terdakwa telah membinasakan, merusakkan membuat sehinggatidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barangg , bahwa pembinasaan dan sebagainya itu harus dilakukan dengan sengajadan dengan melawan hukum dan barang itu harus sama sekali atau sebagian kepunyaan oranglain., hukuman pidana memberikan batasan- batasan yang termasuk kategori tindak pidana pengrusakan agar supaya tindak pidana pengrusakan dapat dihukum.

Katakunci : Hukum Pidana ; Tindak Pidana ; Pengrusakan Barang

PENDAHULUAN

Perusakan barang milik orang lain sangat merugikan pemilik barang,baik barang yang dirusak tersebut hanya sebagian saja atau seluruhnya, sehingga pemilik barang tersebut tidak dapat menggunakan lagi barang miliknya. Selain itu barang yang telah dirusak merupakan sesuatu yang bernilai bagi pemiliknya, dengan terjadinya perusakan barang ini sangat mengganggu ketenangan pemilik barang. Perbuatan. merusak barang milik orang lain merupakan suatu kejahatan. Setiap kejahatan atau pelanggaran yang terjadi tidak hanya dilihat dari sudut orang yang melakukan kejahatan, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu juga dapat dilihat dari sudut korban sebagai orang yang dirugikan dalam tindak pidana tersebut.

Salah satu tindak pidana yang diatur dalam KUHP yaitu penghancuran atau perusakahan barang yang diatur dalam Buku Kedua (Kejahatan) Bab XXVII yang berkepala Mnghancurkan atau Merusakkan Barang yang mencakup Pasal 406 sampai dengan Pasal 412. Dalam pasal-pasal tersebut diatur berbagai macam tindak pidana yang secara umum dapat disebut tindak pidana menghancurkan atau merusakkan barang. Salah satu di antaranya, yaitu tindak pidana yang paling pertama-tama akan dicari dan dipelajari jika terjadi tindakan menghancurkan atau merusakkan barang, yaitu tindak pidana (delik) yang diatur dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP yang dapat disebut tindak pidana perusakan barang biasa atau tindak pidana perusakan barang dalam bentuk pokok.

Pasal 406 ayat (1) KUHP ini menentukan bahwa: Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(2)

Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM) | Volume 2, Number 4, 2021 2

Pasal 406 ayat (1) KUHP ini melindungi harta kekayaan orang dari tindakan-tindakan berupa penghancuran, perusakan, membikin tak dapat dipakai, atau menghilangkannya, dari orang lain yang tidak berhak berbuat demikian. Untuk itu ketentuan ini telah menyediakan ancaman pidana penjara maksimum 2 tahun 8 bulan bagi orang yang menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai, atau menghilangkan barang orang lain. Tetapi dalam kenyataan masih saja terjadi tindakan-tindakan perusakan barang dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang pengaturan tindak pidana perusakan barang dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP untuk melihat apakah rumusannya ada kemungkinan menimbulkan kesulitan dalam penrapan Pasal 406 ayat (1) KUHP.

Pengrusakan barang milik orang lain merupakan proses, cara, dan perbuatan merusakkan yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang sehingga menjadi tidak sempurna (baik, utuh) lagi. Sedangkan kata penghancuran termasuk kata benda yang bermakna proses, perbuatan, cara menghancurkan. Sedangkan pengrusakan juga termasuk kata benda yang bermakna proses, perbuatan, cara merusakkan. Maksud dari penghancuran dan perusakan dalam hukum pidana adalah melakukan perbuatan terhadap barang orang lain secara merugikan tanpa mengambil barang itu. Pengrusakan barang sarana umum sangat merugikan, baik barang yang dirusak tersebut hanya sebagian saja atau seluruhnya, sehingga masyarakat tersebut tidak dapat menggunakan lagi sarana yang disediakan oleh pemerintah lagi.(Franciscus Theojunior,2014,p.10). Dalam kasus perusakan barang kedudukan korban atau orang yang dirugikan dalam perkara pidana selama ini seolah dilupakan. Ilmu pengetahuan hukum pidana dan praktek penyelenggaraan hukum pidana hanya menaruh perhatian kepada terdakwa atau orang yang melakukan tindak pidana. Sebagaimana aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 406, hal ini memang merupakan basil pengembangan hukum.

Penghancuran dan pengrusakan yang sering kali terjadi dalam masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan paham seringkali mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat lainnya sehingga dalam hal ini Undang-undang atau aturan yang mengatur hal tersebut sangat diperlukan dalam rangka memberi rasa aman dalam kehidupan sehari-hari. Penghancuran dan pengrusakan diatur dalam kuhp 406-412. Pada kasus pengrusakan pasal yang dipakai sesuai dengan ketentuan pasal 406 KUHP seseorang yang secara melawan hukum menghancurkan, merusakkan barang sesuatu merupakan milik orang lain maka diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Khusus mengenai tindak pidana pengrusakan fasilitas umum, diatur dalam pasal 170 Kitab Undang-undng Hukum Pidana (KUHP), didalamnya secara tegas dinyatakan bahwa “Barangsiapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan”. Dalam proses peradilan, pembuktian merupakan masalah yang mempunyai peranan yang sangat penting terhadap proses pemeriksaan sidang pengadilan, karena dengan pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa.(Kevin, K. B. 2019,p.10) Indonesia adalah negara hukum, yang artinya bahwa segala tindakan serta pola tingkah laku setiap warga negaranya harus sesuai dengan norma-norma hukum yang diatur oleh negara. Dasar dari segala norma-norma hukum tersebut berakar pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD 45). Pasal 28G ayat (1) UUD 45 menyatakan: “Bahwa setiap orang berhak atas perlindugan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.(P.A.F Lamintang,2010,p.5)

Pasal tersebut menegaskan bahwasanya setiap orang berhak atas perlindungan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, sehingga orang lain tidak diperbolehkan mengganggu ataupun merusak barang tersebut. Merusak barang milik orang lain atau fasilitas umum merupakan perbuatan yang sangat merugikan bagi pemilik barang, terlebih lagi jika barang tersebut merupakan bagian dari fasilitas umum yang merupakan milik semua orang. Merusak barang milik orang lain atau fasilitas umum mengakibatkan barang tersebut kehilangan fungsi sebagaimana mestinya sehingga orang lain tidak dapat lagi mempergunakannya, baik barang yang dirusak tersebut hanya sebagian atau seluruhnya. Selain itu barang yang merupakan bagian dari fasilitas umum apabila dirusak akan menimbulkan kerugian bagi banyak orang mengingat fasilitas umum merupakan sarana yang disediakan negara untuk masyarakat luas. Perbuatan merusak barang milik orang lain atau fasilitas umum merupakan suatu kejahatan. Setiap kejahatan ada pidananya.

(3)

Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM) | Volume 2, Number 4, 2021 3

Ancaman pidana bagi pelaku perusakan barang diatur di dalam Pasal 170 ayat (1) dan Pasal 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut dengan KUHP). Pasal 170 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa:“Barang siapa di muka umum, bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.” Pasal 406 KUHP menyatakan bahwa:

1. Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum, menghancurkan, merusakkan, membuat sehingga tak dapat dipakai lagi atau menghilangkan barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.

2. Pidana itu juga dijatuhkan kepada orang, yang dengan sengaja dan dengan melawan hukum membunuh, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan hewan, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain.

Perbedaan dari kedua ketentuan tersebut ialah bahwasanya Pasal 170 ayat (1) KUHP menekankan pelaku tindak pidananya yang lebih dari satu orang, sedangkan Pasal 406 KUHP menekankan pelakunya hanya satu orang. Pengertian tindak pidana perusakan barang dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 406 KUHP. Perusakan barang adalah perbuatan yang dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membuat demikian rupa sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sebagian atau sama sekali menjadi kepunyaan orang lain. Menghancurkan berarti membinasakan sama sekali sehingga tidak dapat dipakai lagi, misalnya membanting gelas hingga pecah dan hancur. Merusakkan berarti membuat tidak dapat dipakai untuk sementara, misalnya membuat sebuah mobil rusak, tetapisetelah diperbaiki mobil tersebut dapat digunakan lagi. Membuat demikian rupa sehingga tidak dapat dipakai lagi berarti membuat kerusakan total pada barang. Menghilangkan berarti membuat barang itu tidak ada lagi, misalnya membakar. Yang dimaksud dengan barang dalam pengertian tersebut bukan hanya barang bergerak, tetapi juga barang tidak bergerak.( R. Sugandhi,1998,p.30)

Pada penulisan proposal ini pengrusakan yang dilakukan merupakan pengrusakan terhadap benda tidak bergerak. Benda tidak bergerak berdasarkan Pasal 506 KUHPerdata misalnya tanah yang artinya segala sesuatu yang melekat atau didirikan di atasnya, atau pohon-pohon dan tanaman- tanaman yang akarnya menancap dalam tanah atau buah-buahan di pohon yang belum dipetik, demikian juga barang-barang tambang.

Benda tidak bergerak karena peruntukannya atau tujuan pemakaiannya (Pasal 507 KUHPer) misalnya pabrik dan barang-barang yang dihasilkannya, penggilingan-penggilingan, dan sebagainya. Juga perumahan beserta benda-benda yang dilekatkan pada papan atau dinding seperti cermin, lukisan, perhiasan, dan lain-lain; kemudian yang berkaitan dengan kepemilikan tanah seperti rabuk, madu di pohon dan ikan dalam kolam, dan sebagainya; serta bahan bangunan yang berasal dari reruntuhan gedung yang akan dipakai lagi untuk membangun gedung tersebut, dan lain-lain. Benda tidak bergerak karena ketentuan undang-undang misalnya, hak pakai hasil, dan hak pakai atas kebendaan tidak bergerak, hak pengabdian tanah, hak numpang karang, hak usaha, dan lain-lain (Pasal 508 KUHPer). Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, kapal-kapal berukuran berat kotor 20 m3 ke atas dapat dibukukan dalam suatu register kapal sehingga termasuk kategori benda-benda tidak bergerak.

Benda tidak bergerak adalah barang yang tidak dapat berpidah atau dipindahkan misalnya tanah dan bangunan di atasnya. Pada saat ini banyak sekali tindak pidana perusakan barang yang terjadi di sekitar kita. Tentunya hal tersebut menjadi perhatian karena akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut beragam. Ada yang mengakibatkan mengganggu ketertiban umum, bahkan ada pula yang sampai menimbulkan korban luka. Di Indonesia sendiri telah banyak kasus semacam itu yang diputuskan dalam persidangan. Putusan persidangan tersebut beragam, ada yang diputus pidana, diputus bebas, bahkan ada yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam hal ini penulis akan membahas mengenai putusan bebas yang berkaitan dengan tindak pidana perusakan barang.(Andi Hamzah,2001,p.28)

Pengaturan tindak pidana perusakan barang dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP merupakan perusakan barang biasa atau dalam bentuk pokok yang unsur-unsurnya:

1. Barang siapa;

2. Dengan sengaja;

3. Dan melawan hukum;

(4)

Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM) | Volume 2, Number 4, 2021 4

4. Menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu;

5. Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain; di mana menurut Wirjono Prodjodikoro banyak kali kesulitan pasal perusakan barang yaitu dalam menentukan mana yang masih merupakan wanprestasi dalam bidang hukum perdata dan mana yang sudah merupakan delik perusakan barang.

Istilah hukum pidana bermakna jamak. Dalam arti obyektif, yang juga sering disebut (jus poenale) meliputi:

1. Perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau pengabaiannya telah ditetapkan sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan negara yang berwenang; peraturan-peraturan yang harus ditaati dan diindahkan oleh setiap orang;

2. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan itu;

3. Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan-peraturan itu pada waktu dan di wilayah negara tertentu.

Disamping itu, hukum pidana dipakai juga dalam arti subyektif yang lazim pula disebut (jus puniendi), yaitu peraturan hukum yang menetapkan tentang penyidikan lanjutan, penuntutan, penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan- larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

Selanjutnya Moeljatno berpendapat bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan tersebut ditujukan pada perbuatannya yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelalaian orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.( C.S.T. Kansil,1999,p.77)

Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Mr.Wirjono Prodjodikoro menjelaskan hukum pidana materil dan hukum pidana formil sebagai berikut. Isi hukum pidana adalah:

1. Penunjukan dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum pidana;

2. Penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar perbuatan itu merupakan perbuatan yang pembuatnya dapat dihukum pidana;

3. Penunjukan orang atau badan hukum yang pada umumnya dapat dihukum pidana; dan 4. Penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan.

Berdasarkan pendapat ahli dan pakar hukum penulis membuat kesimpulan, dan menyatakan hukum pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya berupa larangan maupun keharusan, sedang bagi pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut dikenakan sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara.

Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana atau strafbaarfeit adalah perbuatan yang pelakunya seharusnya dipidana.

Tindak pidana dirumuskan dalam Undang-Undang, antara lain KUHP. Contohnya, Pasal 338 KUHP menentukan bahwa: Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Strafbaarfeit atau tindak pidana terdiri dari tiga kata, yakni:

1. Straf sendiri diterjemahkan dengan pidana dan hukum.

2. Baar diterjemahkan dapat atau boleh.

3. Feit adalah perbuatan, tindak, peristiwa, dan pelanggaran.(Wirjono Prodjodikoro,2003,p.187)

Istilah strafbaarfeit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja

(5)

Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM) | Volume 2, Number 4, 2021 5

dijatuhkan/diberikan oleh Negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai tindak pidana strafbaarfeit. Barda Nabawi Arief mendefinisikan bahwa yang dimaksud tindak pidana adalah “perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana”.(Barda Nawawi Arief. 2002,p.109) Sedangkan Wiryono Projodikoro menyatakan tindak pidana berarti “suatu perbuatan yang berlakunya dapat dikenakan hukum pidana dan berlakunya ini dapat dikenakan subjek pidana.

Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuan dari hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Tujuan utama hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat disebut terhindarnya masyarakat dari perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi. Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana, disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi kekuasaan Negara juga bertujuan untuk mencegah bagi orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana. (Zainal Abidin, Farid, 2010,p.1)

Disamping itu, hukum pidana dipakai juga dalam arti subyektif yang lazim pula disebut (jus puniendi), yaitu peraturan hukum yang menetapkan tentang penyidikan lanjutan, penuntutan, penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan- larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.( Moeljatno,2009,p.10)

Mr. Wirjono Prodjodikoro menjelaskan hukum pidana materil dan hukum pidana formil sebagai berikut.

1. Penunjukan dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum pidana;

2. Penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar perbuatan itu merupakan perbuatan yang pembuatnya dapat dihukum pidana;

3. Penunjukan orang atau badan hukum yang pada umumnya dapat dihukum pidana; dan 4. Penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan.( Leden Marpaung,2014,p.2)

Unsur - Unsur Tindak Pidana

Ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, maka unsur-unsur tindak pidana meliputi beberapa hal. Pertama, perbuatan itu berujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum. Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dengan pengertiannya yang formil maupun yang materil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum.

Unsur - unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudut pandang, yakni dari sudut teoritis dan dari sudut Undang - undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sementara itu, sudut undang- undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.

1. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan) 2. Menurut R.Tresna, unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia)

(6)

Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM) | Volume 2, Number 4, 2021 6

b. Yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan c. Diadakan tindakan penghukuman

4. Menurut Vos, unsur tindak pidana adalah:

a. Kelakuan manusia b. Diancam dengan pidana

c. Dalam Peraturan Perundang-undangan.( Adami Chazawi,2010,p.79)

Definisi Mengenai Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu mekanisme hukum dimana setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang - undang, harus mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Istilah hukum pidana bermakna jamak. Dalam hukum pidana konsep pertanggung jawaban itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan (mens rea). Doktrin (mens rea) dilandaskan pada suatu perbuatan yang mengakibatkan seseorang bersalah sesuai jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan (an azt does not make a person guilty; unless the mind is legally blameworthy).

Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana actus reus, dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.

Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaardheidatau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menetukan apakah seseorang Terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, diharuskan tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur delik yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan- tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan sesuatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam Undang- Undang. Dilihat dari sudut terjadi suatu tindakan yang terlaang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang “mampu bertanggungjawab” yang dapat di pertanggungjawab-pidanakan. Dalam hukum pidana konsep pertanggung jawaban itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan yang mengakibatkan seseorang bersalah sesuai jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an azt does not make a person guilty; unless the mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).(Mahrus Ali, 2012,p.155)

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.

(7)

Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM) | Volume 2, Number 4, 2021 7

Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

Ditinjau dari sudut sebjeknya, penegakan hukum dapat dilakukan oleh subjekyang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum melibatkan semua objek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan berdasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya, penegakan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana mestinya. Dalam memastikan tegaknya suatu aturan hukum, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum diperkenankan untuk menggunakan upaya paksa.

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana atau yang juga disebut (criminal responsibility) artinya: “Orang yang telah melakukan suatu tindak pidana disitu belum berarti ia harus dipidana, ia harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang telah dilakukan”.

Mempertanggungjawabkan atas suatu perbuatan berarti untuk menentukan pelaku salah atau tidak.

Dalam teori hukum pidana dikenal ada 2 (dua) macam kesalahan, yaitu : a. Dolus (kesengajaan)

Untuk menentukan kesengajaan ada dua teori yaitu:

1. Teori kehendak, intinya kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkanunsur-unsur tindak pidana dalam rumusan undang-undang dan tujuan tersebut tercapai yang dikehendaki pembuat.

2. Teori pengetahuan, intinya sengaja berarti dapat dimengerti berdasarkan pemikiran si pembuat atau dapat membayangkan berdasarkan pengetahuannya akan timbul akibat perbuatannya dan ternyata akibat tersebut benar-benar terjadi.

b. Culpa/kealpaan

Yaitu kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan mempunyai arti teknis yaitu suatu macam kesalahan pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan yaitu kurang berhati-hati atau karena kecerobohannya, sehingga berakibat tidak disengaja terjadi.

Berdasarkan dua teori tersebut, ada dua corak/ jenis kesengajaan, yaitu : a) Teori kehendak menghasilkan dua jenis/corak kesengajaan yaitu :

1. Sengaja dengan maksud atau kesengajaan dengan maksud (dolus directus) yaitu si pembuat menghendaki akibat yang memang dituju dan akibattersebut benar-benar terjadi. Dalam rumusan Undang - Undang pidana, jenis kesengajaan tersebut masuk dalam tindak pidana sengaja atau bahkan rencana.

2. Kesengajaan dengan dasar kepastian atau sengaja dengan kepastian (opzetmet noodzakelijkheids bewustzijn) yaitu si pembuat mengetahui dan menyadari akan menimbulkan akibat lain sebelum perbuatan yang dituju tercapai. Dalam rumusan Undang - Undang pidana jenis kesengajaan tersebut masuk dalam tindak pidana dengan pemberatan.

b) Teori pengetahuan

Berdasarkan teori pengetahuan menghasilkan bentuk kesengajaan dengan sadar kemungkinan atau sering disebut sebagai sengaja dengan kemungkinan (dolus eventualis), apabila si pembuat dapat membayangkan atau berdasarkan pengetahuannya kemungkinan akan menimbulkan akibat dari perbuatannya tersebut dan ternyata akibat tersebut benar-benar terjadi.

(Suharto R.M,1996,p.106)

Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang pidana untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.(S.R. Sianturi,1996,p.61) Jadi, di samping orang telah melakukan tindak pidana masih diperlukan kesalahan padanya. Asas pertanggung jawaban pidana berbunyi: “Tiada pidana tanpa kesalahan” asas ini oleh masyarakat Indonesia dijunjung tinggi dan akan dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan jika ada orang tidak bersalah dijatui pidana.

(8)

Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM) | Volume 2, Number 4, 2021 8

c) Teori Pertimbangan Hakim

Teori Pertimbangan Hakim, Putusan hakim merupakan puncak dari suatu perkara yang sedang di periksa dan diadili oleh hakim. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut, keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang di tuduhkan kepadanya. Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat di pidana.

Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat di pidana. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan atau yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Ketentuan hukum yang selalu ketinggalan dibandingkan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat mengharuskan Hakim untuk melakukan sebuah kajian hukum komprehensif yang disebut penafsiran hukum. Berdasarkan teori Ahmad Rifai, Konsepsi hakim dalam melakukan penafsiran hukum dapat dibagi menjadi 2 (dua) teori yaitu teori penemuan hukum yang heteronom dan teori penemuan hukum yang otonom. Perbedaan mendasar dari kedua teori tersebut terletak pada sejauh mana hakim terikat pada ketentuan hukum tertulis. Teori penemuan hukum heteronom lebih menempatkan hakim sebagai corong undang-undang sedangkan teori penemuan hukum otonom menempatkan hakim pada satu kebebasan untuk memahami dan mengkaitkan hukum sesuai perkembangan masyarakat.(Ahmad Rifai,2010,p.19)

Di dalam mengkonstruksi suatu putusan, baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata, Hakim melakukan beragam pendekatan yang oleh Penulis dirangkum ke dalam 6 (enam) Teori Penjatuhan Putusan, sebagaimana disampaikan oleh Mackenzie, yaitu:

1. Teori Keseimbangan Putusan Hakim mempertimbangkan keseimbangan antara syarat- syarat di dalam Undang-Undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara tersebut, misalnya korban, masyarakat, ataupun pihak Penggugat/Tergugat.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intiusi Putusan Hakim lebih mempertimbangkan instink atau intuisi dibanding pengetahuan Hukum, sekalipun di dalam Hukum Acara Pidana dikenal sitem pembuktian secara negatif.

3. Teori Pendekatan Keilmuan Putusan Hakim yang mendahulukan dasar ilmu pengetahuan dibandingkan dengan instik atau intuisi. Biasanya pertimbangan Hakim dalam putusannya dipenuhi oleh berbagai macam teori dan doktrin yang berkaitan.

4. Teori Pendekatan Pengalaman Putusan Hakim yang didasarkan pada pengalaman dan jam terbang seorang Hakim dalam memutus suatu perkara. Semakin tinggi jam terbangnya, maka semakin tinggi pula tingkat pemahaman Hakim akan variasi hukum.

5. Teori Ratio Decidendi Putusan Hakim yang mempertimbangkan landasan filsafat yang mendasar. Dalam hal ini, Hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan perkara tersebut lalu menemukan ketentutan peraturan perundang- undangan yang tepat untuk dijadikan landasan hukum.

6. Teori Kebijaksanaan Putusan Hakim yang pada mulanya berkenaan dengan Perkara Anak.

Teori ini mengandung sebuah pokok pemikiran bahwa di dalam suatu tindak pidana, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga (Orang Tua) juga seharusnya ikut bertanggung jawab dalam membina dan membimbing sang anak, sehingga putusan pemidanaan tidak menjadi relevan untuk dikedepankan.

Menjatuhkan suatu putusan, bagi Hakim adalah sesuatu proses yang kompleks dan sulit.

Paling tidak, sebelum menjatuhkan Putusannya, seorang Hakim terlebih dahulu menganalisis perbuatan pidana, lalu menganalisis tanggung jawab pidana, hingga akhirnya menentukan pidana yang akan dijatuhkan. Begitu pula dalam perkara perdata, Hakim terlebih dahulu akan mengkonstatir (melihat untuk membenarkan ada tidaknya peristiwa konsret yang diajukan kepadanya), lalu mengkualifisir (menggolongkan peristiwa konret tersebut ke dalam kelompok peristiwa hukum yang seperti apa), hingga akhirnya mengkonstituir (menetapkan hukum bagi perisitiwa tersebut).

Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan- hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Apa yang diartikan orang selama

(9)

Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM) | Volume 2, Number 4, 2021 9

ini sebagai penegakan hukum sepertinya hanya tertuju pada tindakan refresif dari aparat penegak hukum dalam melakukan reaksi tegas terhadap penindakan pelaku kriminal.

Pemaknaan penegakan hukum secara demikian itu sangatlah sempit, oleh karena kewenangan penegakan hukum hanya seakan menjadi tanggungjawab aparat hukum semata.

Sebenarnya penegakan hukum dalam konteks yang luas berada pada ranah tindakan, perbuatan atau perilaku nyata atau faktual yang bersesuaian dengan kaidah atau norma yang mengikat. Dalam perspektif akademik, bahwa penegakan hukum diartikan sebagai kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap mengejewantah dari sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan perdamaian pergaulan hidup. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit.

Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.(Soerjono Soekanto, 2005,p.21)

Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan penegakan hukum dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah penegakan peraturan dalam arti sempit.

Tugas utama penegakan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan, karenanya dengan penegakan hukum itulah hukum menjadi kenyataan. Tanpa penegakan hukum, maka hukum tak ubahnya hanya merupakan rumusan tekstual yang tidak bernyali, yang biasa disebut dengan hukum yang mati. Konsep penegakan hukum yang bersifat total, menuntut agar semua nilai yang ada dibalik norma hukum turut ditegakkan tanpa kecuali. Konsep yang bersifat full menghendaki perlunya pembatasan dari konsep total dengan suatu hukum formil dalam rangka perlindungan kepentingan individual.

Tindak Pidana Pengrusakan Barang

Maksud dari perusakan dalam hukum pidana adalah melakukanperbuatan terhadap barang orang lain secara merugikan tanpa mengambilbarang itu. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “ pengrusakan” tidak dapat diartikan sendiri. Namun kata “rusak” berarti sudah tidak sempurna

(baik, utuh) lagi, juga dapat berarti hancur atau binasa. Jadi, pengrusakan bisa berarti proses, cara, dan perbuatan menghancurkan atau merusakkan yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang terhadap barang orang lain sehingga menjadi tidak sempurna (baik, utuh) lagi.

Soesilo memberikan penafsiran mengenai pengrusakan dan memberikanbatasan-batasan yang termasuk kategori tindak pidana pengrusakan agarsupaya tindak pidana pengrusakan dapat dihukum. Soesilo menguraikan unsur-unsur pengrusakan sebagai berikut:

1. Bahwa terdakwa telah membinasakan, merusakkan membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang.

2. Bahwa pembinasaan dan sebagainya itu harus dilakukan dengan sengajadan dengan melawan hukum.

3. Bahwa barang itu harus sama sekali atau sebagian kepunyaan oranglain.(Soesilo. R, 2015,p.27)

(10)

Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM) | Volume 2, Number 4, 2021 10

Dasar Hukum Pengrusakan Barang

Barang yang telah dirusak merupakan sesuatu yang bernilai bagi masyarakat, dengan terjadinya pengrusakan barang ini sangat mengganggu ketenangan masyarakat. Sebagaimana aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 406 KUHPidana, hal ini memang merupakan hasil pengembangan hukum. Masalah sanksi pidana bagi pelaku pengrusakan sarana umum ditinjau menurut hukum pidana, khususnya penerapan Pasal 406 (1) KUHPidana Indonesia ditetapkan bahwa “Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusak, membuat hingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,- (empat ribu limaratus rupiah)”. Bagi pelaku pengrusakan barang tersebut menurut ketentuan KitabUndang-Undang Hukum Pidana Pasal 406 KUHPidana yang mengancam

terdakwa dengan ancaman hukuman 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan penjara.Pasal 406 KUHPidana ini juga menjadi dasar hukum bagi pelaku pengrusakanbarang yang melakukan kejahatan.

Kemudian pengrusakan juga dapat dilihat pada Pasal 170 KUHPidana menentukan bahwa barang siapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan. Pengrusakan ringan jenis tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 407 KUHPidana dengan pengecualian sebagaimana diterangkan dalam Pasal407 KUHPidana ayat (2). Ketentuan Pasal 407 KUHPidana secara tegasmenyatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 406KUHPidana, jika harga kerugian yang disebabkan tidak lebih dari dua puluhlima rupiah, diancam dengan tindak pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah. Pada waktu mengusut perkara pengrusakan ini, polisi senantiasa harus menyelidiki berapakah uang kerugian yang diderita oleh pemilik barang yang telah dirusak itu. Bila tidak lebih dari Rp. 2.500.000,- dikenakan Pasal 407. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan tentang bagaimana implementasi hukum pidana terhadap seseorang yang melakukan pengrusakan terhadap barang yang kepunyaannya milik orang lain. Tujuan penelitian untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis implementasi hukum pidana terhadap seseorang yang melakukan pengrusakan terhadap barang yang kepunyaannya milik orang lain.

METODE

Pendekatan yuridis normatif dengan menelaah kaidah, norma, aturan yg berkaitan dengan permasalah yang akan diteliti. Pendekatan Empiris pendekatan yg dilakukan melalui penelitian secara eksklusif terhadap objek penelitian menggunakan cara observasi & wawancara. Jenis Data Dalam penelitian ini data sekunder, data sekunder terdiri menurut tiga bahan aturan yaitu bahan aturan primer, bahan aturan sekunder , bahan aturan tersier. Prosedur Pengumpulan Data, dilakukan menggunakan studi pustaka & studi dokumen dan wawancara. Jenis Data Dalam penelitian ini data sekunder, data sekunder terdiri dari 3 bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder , bahan hukum tersier.

Prosedur Pengumpulan Data, dilakukan dengan studi pustaka dan studi dokumen serta wawancara. Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan 2 cara yaitu Pengamatan dan wawancara. Analisis data Apabila semua data sekunder telah didapatkan melalui studi pustaka, studi dokumen serta data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara, selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu analisis denga cara menafsirkan data- data yg dikaji menggunakan teori-teori & asas-asas, dan memperhatikan sinkronisasi antara ketentuan peraturan aturan yg satu menggunakan ketentuan peraturan aturan yg lain menggunakan memperhatikan hirarki peraturan Perundang-undangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Implementasi Hukum Pidana Terhadap Seseorang Yang Melakukan Pengrusakan Terhadap Barang Yang Kepunyaannya Milik Orang Lain

Istilah hukum pidana bermakna jamak. Dalam arti obyektif, yang juga sering disebut (jus poenale) meliputi:

1. Perintah dan larangan, yang atas pelanggarannya atau pengabaiannya telah ditetapkan

(11)

Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM) | Volume 2, Number 4, 2021 11

sanksi terlebih dahulu oleh badan-badan negara yang berwenang; peraturan-peraturan yang harus ditaati dan diindahkan oleh setiap orang;

2. Ketentuan-ketentuan yang menetapkan dengan cara apa atau alat apa dapat diadakan reaksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan itu;

3. Kaidah-kaidah yang menentukan ruang lingkup berlakunya peraturan-peraturan itu pada waktu dan di wilayah negara tertentu.

Disamping itu, hukum pidana dipakai juga dalam arti subyektif yang lazim pula disebut (jus puniendi), yaitu peraturan hukum yang menetapkan tentang penyidikan lanjutan, penuntutan, penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan- larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

Selanjutnya Moeljatno berpendapat bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan tersebut ditujukan pada perbuatannya yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelalaian orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.( C.S.T. Kansil,1999,p.77). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Doktrin membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Mr.Wirjono Prodjodikoro menjelaskan hukum pidana materil dan hukum pidana formil sebagai berikut. Isi hukum pidana adalah:

1. Penunjukan dan gambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum pidana;

2. Penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar perbuatan itu merupakan perbuatan yang pembuatnya dapat dihukum pidana;

3. Penunjukan orang atau badan hukum yang pada umumnya dapat dihukum pidana; dan 4. Penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan.

Berdasarkan pendapat ahli dan pakar hukum penulis membuat kesimpulan, dan menyatakan hukum pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya berupa larangan maupun keharusan, sedang bagi pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut dikenakan sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara.

Ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, maka unsur-unsur tindak pidana meliputi beberapa hal. Pertama, perbuatan itu berujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum. Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dengan pengertiannya yang formil maupun yang materil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum.

Unsur - unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudut pandang, yakni dari sudut teoritis dan dari sudut Undang - undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sementara itu, sudut undang- undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.

1. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan

b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

c. Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan) 2. Menurut R.Tresna, unsur tindak pidana adalah:

a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia)

b. Yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan b. Diadakan tindakan penghukuman

3. Menurut Vos, unsur tindak pidana adalah:

a. Kelakuan manusia

(12)

Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM) | Volume 2, Number 4, 2021 12

b. Diancam dengan pidana

c. Dalam Peraturan Perundang-undangan.( Adami Chazawi. 2010,p.79)

Maksud dari perusakan dalam hukum pidana adalah melakukan perbuatan terhadap barang orang lain secara merugikan tanpa mengambilbarang itu. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “ pengrusakan” tidak dapat diartikan sendiri. Namun kata

“rusak” berarti sudah tidak sempurna(baik, utuh) lagi, juga dapat berarti hancur atau binasa. Jadi, pengrusakan bisaberarti proses, cara, dan perbuatan menghancurkan atau merusakkan yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang terhadap barang orang lainsehingga menjadi tidak sempurna (baik, utuh) lagi.

Memberikan penafsiran mengenai pengrusakan dan memberikan batasan-batasan yang termasuk kategori tindak pidana pengrusakan agarsupaya tindak pidana pengrusakan dapat dihukum. Soesilo menguraikan unsur-unsur pengrusakan sebagai berikut:

1. Bahwa terdakwa telah membinasakan, merusakkan membuat sehinggatidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang.

2. Bahwa pembinasaan dan sebagainya itu harus dilakukan dengan sengajadan dengan melawan hukum.

3. Bahwa barang itu harus sama sekali atau sebagian kepunyaan oranglain.(Soesilo. R, 2015,p.15)

Barang yang telah dirusak merupakan sesuatu yang bernilai bagi masyarakat, dengan terjadinya pengrusakan barang ini sangat mengganggu ketenangan masyarakat. Sebagaimana aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 406 KUHPidana, hal ini memang merupakan hasil pengembangan hukum. Masalah sanksi pidana bagi pelaku pengrusakan sarana umum ditinjau menurut hukum pidana, khususnya penerapan Pasal 406 (1) KUHPidana Indonesia ditetapkan bahwa “Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusak, membuat hingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,- (empat ribu limaratus rupiah)”.

Bagi pelaku pengrusakan barang tersebut menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 406 KUHPidana yang mengancamterdakwa dengan ancaman hukuman 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan penjara. Pasal 406 KUHPidana ini juga menjadi dasar hukum bagi pelaku pengrusakanbarang yang melakukan kejahatan. Kemudian pengrusakan juga dapat dilihat pada Pasal 170 KUHPidana menentukan bahwa barang siapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun 6 (enam) bulan. Pengrusakan ringan jenis tindak pidana ini diatur dalam ketentuan Pasal 407 KUHPidana dengan pengecualian sebagaimana diterangkan dalam Pasal 407 KUHPidana ayat (2).

Ketentuan Pasal 407 KUHPidana secara tegasmenyatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 406 KUHPidana, jika harga kerugian yang disebabkan tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam dengan tindak pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak enam puluh rupiah. Pada waktu mengusut perkara pengrusakan ini, polisi senantiasa harus menyelidiki berapakah uang kerugian yang diderita oleh pemilik barang yang telah dirusak itu. Bila tidak lebih dari Rp. 2.500.000,- dikenakan Pasal 407.

SIMPULAN

Implementasi hukum pidana terhadap tindak pidana pengrusakan barang sebagaimana aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 406 KUHPidana, hal ini memang merupakan hasil pengembangan hukum. Masalah sanksi pidana bagi pelaku pengrusakan sarana umum ditinjau menurut hukum pidana, khususnya penerapan Pasal 406 (1) KUHPidana Indonesia ditetapkan bahwa “Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusak, membuat hingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan.

Bagi para hakim sebelum memutus suatu perkara,hendaknya selalu melaksanakan amanat Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa hakim dan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

(13)

Jurnal Penelitian & Pengkajian Ilmiah Mahasiswa (JPPIM) | Volume 2, Number 4, 2021 13

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Karena hakim bukan saja penegak hukum, tetapi juga penegak keadilan. Selain itu, Jaksa Penuntut Umum harus teliti dan cermat dalam menyusun surat dakwaan, mengingat surat dakwaan merupakan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan atau tidak menjatuhkan pidana terhadap pelaku yang dihadapkan di muka persidangan. Diharapkan Majelis Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa dalam suatu perkara hendaknya memperhatikan secara cermat aspek psikologis dari terdakwa sehingga ketika terdakwa kembali ke masyarakat tidak akan mengulangi kembali perbuatannya tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi. 2010. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Pustaka. Jakarta Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta

Barda Nawawi Arief. 2002. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung C.S.T. Kansil. 1999. Pokok-pokok Hukum Pidana. Pradnya Paramita. Jakarta

Franciscus Theojunior. 2014. Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia. Jakarta Timur

Kevin, K. B. 2019. Tindak Pidana Perusakan Barang Dalam Pasal 406 Ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 619 K/Pid/2017).

LexCrimen, Vol.8, No.5

Leden Marpaung. 2014. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Sinar Grafika, Jakarta Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta

Mahrus Ali. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta

R. Sugandhi. 1998. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya. Usaha Nasional, Surabaya

Suharto R.M. 1996. Hukum Pidana Materiil. Sinar Grafika, Jakarta

S.R. Sianturi. 1996. Asas - Asas Hukum Pidana dan Penerapannya. Cetakan IV. Jakarta

Soerjono Soekanto. 2005. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Pers.

Jakarta

Soesilo. R. 2015. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Politea. Bogor Zainal Abidin Farid. 2010. Hukum Pidana 1. Sinar Grafika, Jakarta

Wirjono Prodjodikoro. 2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika Aditama.

Bandung

Referensi

Dokumen terkait

Terdapat banyak jargon untuk dapat memantapkan reputasi suatu organisasi, namun intinya adalah bagaimana relasi yang telah dibangun oleh organisasi terhadap publiknya dapat

Dalam hal ini digunakan rujuka dari penelitian yang dilakukan oleh Pro Deo Et Patria Sembiring (2014) meneliti faktor yang mempengaruhi volume pembelian buah anggur pada

 Sel mikroba secara kontinyu berpropagasi menggunakan media segar yang masuk, dan pada saat yang bersamaan produk, produk samping metabolisme dan sel dikeluarkan dari

!khirakhir ini beberapa pakar tela h men"oba mengungkapkan hubungan antara periodontitis dengan diabetes mellitus, yang difokuskan dan diutamakan pada pengaruh adanya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan komersil yang diinkubasi cairan rumen dengan dosis yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,005) terhadap pertumbuhan dan

Karena itu, untuk mengubah citra negatif birokrasi perijinan usaha dan investasi, Propinsi Jawa Timur menggagas dan melakukan penyederhanaan pelayanan perijinan

Simpulan dari kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah “kemampuan guru-guru SD gugus V Kecamatan Kubu dalam melakukan menyusun proposal PTK telah meningkat,

Dari hasil pcrhitungan sikap dengan model Fishbein didapat bahwa interpretasi sikap terhadap variabel jasa Taksi Blue Bird secara keselumhan berada pada ranking