EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN
DEWASA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP
RSUD Dr. MOEWARDI PADA TAHUN 2014
NASKAH PUBLIKASI
Oleh:
ISTI SETIA HAPSARI
K100110003
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
1 EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN
DEWASA DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI PADA TAHUN 2014
EVALUATION OF ANTIBIOTICS IN ADULT PATIENTS WITH TYPHOID FEVER HOSPITALIZED Dr. MOEWARDI AT 2014
Isti Setia Hapsari dan Nurul Mutmainah Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jl. Ahmad Yani Tromol Pos I, Pabelan Kartasura Surakarta 57102
ABSTRAK
Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi. Terjadi peningkatan angka kejadian demam tifoid setiap tahun. Penatalaksanaan terapi demam tifoid dengan diberikan antibiotik dan keberhasilan terapi demam tifoid tergantung pada ketepatan penggunaan antibiotik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ketepatan penggunaan antibiotik pada pasien dewasa demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta tahun 2014. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode penelitian observasional (non eksperimental) dengan sifat penelitian retrospektif. Populasi yang digunakan adalah pasien dewasa demam tifoid pada rawat inap di RS Moewardi surakarta. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling. Kriteria sampel adalah pasien umur 19-65 tahun dan pasien dengan diagnosis demam tifoid tanpa penyakit penyerta. Hasil penelitian menunjukkan 59 kasus masuk dalam kriteria inklusi. Hasil dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif dengan membandingkan standar Depkes RI tahun 2006. Antibiotik yang digunakan pada pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta adalah seftriakson 76%, siprofloksasin 14%, dan levofloksasin 5%. Analisis ketepatan penggunaan antibiotik meliputi tepat indikasi sebanyak 59 pasien (100%), tepat obat sebanyak 54 pasien (92%), tepat dosis sebanyak 30 pasien (51%), dan tepat pasien sebanyak 59 pasien (100%). Kerasionalitasan antibiotik pada pasien dewasa demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi adalah 30 kasus (51%).
Kata kunci : demam tifoid, antibiotik, instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi
ABSTRACT
Typhoid fever is a disease caused by the bacterium Salmonella typhi. An increase in the incidence of typhoid fever each year. Management of typhoid fever therapy with antibiotics and typhoid fever therapy success depends on careful use of antibiotics. The purpose of this study was to determine the accuracy of the use of antibiotics in adult patients with typhoid fever inpatient Hospital Dr. Moewardi Surakarta in 2014. This type of research is a qualitative research method observational (non-experimental) by the retrospective nature of the study. The population used is typhoid fever in adult patients hospitalized in the Hospital Moewardi Surakarta. The sampling method is done by purposive sampling method. Sample criteria were patients aged 19-65 years and patients with a diagnosis of typhoid fever without comorbidities. The results showed 59 cases entering the inclusion criteria. Results were analyzed using descriptive analysis method by comparing the standard MOH in 2006. Antibiotics are used in patients with typhoid fever inpatient Hospital Dr. Moewardi Surakarta is ceftriaxone 76%, 14% ciprofloxacin and levofloxacin 5%. Analysis of the accuracy of the use of antibiotics includes the right indications as many as 59 patients (100%), the right drug as many as 54 patients (92%), the right dose of 30 patients (51%), and the right of patients as many as 59 patients (100%). Kerasionalitasan antibiotics in adult patients with typhoid fever inpatient Hospital Dr. Moewardi was 30 cases (51%).
2 PENDAHULUAN
Tahun 2000, diperkirakan bahwa lebih dari 2.1600.000 angka kejadian demam tifoid di seluruh dunia. Lebih dari 90% morbiditas dan mortilitas demam tifoid terjadi di Asia (Ochiai et al., 2008). Insiden tertinggi demam tifoid dapat ditemukan di Asia, khususnya wilayah selatan dan tenggara yang diperkirakan 100 kasus/100.000 populasi tiap tahun (Raffatellu et al,. 2008). Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011) demam tifoid merupakan penyakit nomer tiga tertinggi penyakit rawat inap di rumah sakit pada tahun 2010, CFR demam tifoid pada tahun 2010 adalah 0,67%. Angka kematian demam tifoid pada pasien usia dewasa (18-60) di Indonesia adalah 28,3% (Chen et al., 2007).
Penatalaksanaan terapi demam tifoid adalah dengan diberikan antibiotik dan keberhasilan terapi demam tifoid tergantung pada ketepatan penggunaan antibiotik. Antibiotik untuk demam tifoid yang ideal harus tersedia dalam bentuk oral dan intravena untuk orang dewasa dan anak-anak, dapat menurunkan suhu tubuh hingga normal dan perbaikan klinis dalam 3-7 hari, hasil negatif pada kultur darah dan feses selama dan setelah pengobatan, mencegah kekambuhan setelah pengobatan dilakukan, dan meminimalkan efek samping yang ditimbulkan. Kloramfenikol dipilih sebagai obat pilihan untuk pengobatan demam tifoid sejak tahun 1948, namun prevalensi resistensi terhadap kloramfenikol pada tahun 2002-2004 di Asia Selatan 23% dan lebih dari 80% di Vietnam dan Indonesia (Butler, 2011).
Studi yang dilakukan pada tahun 2010 di lima negara di Asia (Cina, India, Indonesia, Pakistan, dan Vietnam) yang merupakan endemik demam tifoid melaporkan prevalensi multidrug-resistant typhoid fever mulai dari 7% hingga 65% (Zaki dan Karande, 2011). Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan resiko terjadi kekebalan bakteri dan meningkatkan biaya pengobatan di rumah sakit. Hal ini mengakibatkan semakin banyak ditemukan pasien penderita demam tifoid yang diberi antibiotik pilihan namun tidak juga sembuh dikarenakan bakteri penyebab demam tifoid mengalami resistensi terhadap antibiotik tersebut (Leeser dan Samuel, 2001).
3 kasus (9,17%) tepat dosis (Marhamah, 2013).
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai ketepatan penggunaan antibiotik meliputi tepat dosis, tepat obat, tepat pasien dan tepat indikasi pada pengobatan demam tifoid di RSUD Dr. Moewardi. Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Moewardi karena pada tahun 2012 demam tifoid masuk dalam 10 besar penyakit rawat inap.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Dalam penelitian digunakan alat yang berupa lembar pengumpulan dan data penggunaan antibiotik untuk demam tifoid yang sesuai dengan pedoman penggunaan antibiotik. Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa data rekam medis pasien dewasa demam tifoid di instalasi rawat inap di RSUD Dr. Moewardi selama periode 1 Januari sampai 31 Desember 2014.
Jalannya penelitian
Langkah awal penelitian yaitu dengan:
a. Persiapan pembuatan proposal. Proposal dibuat dan dikonsultasikan kepada dosen pembimbing. Proposal yang telah disetujui dosen pembimbing digunakan untuk mengurus perizinan sebagai syarat pengambilan data.
b. Perizinan diperlukan untuk syarat pengambilan data di RSUD Dr. Moewardi. Syarat untuk mendapatkan izin pengambilan data di RSUD Dr. Moewardi berupa proposal yang telah disetujui oleh dosen pembimbing dan surat perizinan penelitian yang ditujukan untuk Direktur Utama RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Perizinan pengambilan data rekam medik di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dilakukan dengan pembuatan Ethical Clearance di bagian diklat RSUD Dr. Moewardi dan pembayaran administrasi, kemudian akan dikeluarkan pengantar penelitian untuk diberikan kepada bagian rekam medik sebagai syarat pengambilan data.
4 dosis, jenis antibiotik yang digunakan), sedangkan kriteria eksklusi yang berupa pasien dengan penyakit infeksi lain selain demam tifoid tidak diambil datanya dikarenakan akan menyebabkan hasil yang bias pada evaluasi penggunaan antibiotik. d. Analisis data berdasarkan standar penggunaan antibiotik oleh Depkes RI tahun 2006.
Analisis data yang dilakukan meliputi analisis ketepatan obat, ketepatan indikasi, ketepatan dosis, dan ketepatan pasien. Hasil analisis yang didapat kemudian dibandingkan dengan standar Depkes RI tahun 2006.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Pasien
Karakteristik pasien meliputi jenis kelamin, umur, diagnosis, lama rawat inap dan kondisi keluar rumah sakit.
1. Jenis Kelamin
Hasil penelitian didapatkan bahwa pasien yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak terjangkit demam tifoid. Jumlah pasien perempuan sebanyak 33 pasien (56%) dari 59 pasien penderita demam tifoid.
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa jumlah pasien perempuan lebih banyak terdiagnosis demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014 yaitu 33 pasien (56%) dari 59 pasien dibandingkan pasien laki-laki yaitu 26 pasien (44%). Hal ini sesuai dengan laporan kementerian kesehatan republik indonesia (2011) menjelaskan bahwa demam tifoid ditemukan lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki. Hasil penelitian lain juga menyebutkan bahwa pasien demam tifoid lebih banyak perempuan daripada laki-laki karena perempuan kemungkinan menjadi carrier 3 kali lebih besar dibandingkan laki-laki (Mayasari, 2009).
Tabel 1. Karakteristik Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Pada Tahun 2014 Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Pasien Presentase
Laki-laki 26 44%
Perempuan 33 56%
Jumlah 59 100%
2. Umur
5 dewasa karena kebiasaan jajan makanan di luar rumah, cuci tangan sebelum makan menggunakan sabun, riwayat demam tifoid dan penggunaan air bersih dalam kehidupan sehari-hari.
3. Lama Rawat Inap dan Kondisi Keluar Rumah Sakit
Hasil penelitian menunjukkan pasien yang dirawat inap paling cepat adalah 2 hari, menurut teori pasien demam tifoid harus tirah baring minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih 14 hari (Mansjoer, 2001). Menurut penelitian Nurjannah (2012) hubungan lama rawat inap yang cepat disebabkan karena pasien telah memenuhi anjuran untuk istirahat, pengobatan dan mendapat nutrisi yang baik sehingga akan mempercepat lama rawat inap.
Kondisi keluar rumah sakit merupakan keadaan pasien demam tifoid sesuai dengan yang tercatat di kartu rekam medik yang dikategorikan menjadi:
a. Pulang berobat jalan b. Rujuk
c. Pulang paksa d. Meninggal dunia
Tabel 2. Karakteristik Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Pada Tahun 2014 Berdasarkan Kondisi Keluar Rumah Sakit dan Lama Rawat Inap
Kondisi Keluar Rumah Sakit
Lama Rawat Inap Jumlah Pasien Persentase
Pulang berobat jalan 2 hari, 3 hari, 4 hari, 5 hari, 6
6 4. Penyakit Penyerta Non Infeksi
Penyakit penyerta non infeksi pada 59 pasien demam tifoid meliputi: hipertensi, skhizofrenia, stroke, gagal ginjal, dan hepatitis yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakteristik Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Pada Tahun 2014 Berdasarkan Penyakit Penyerta Non Infeksi
Penyakit Penyerta Non Infeksi Jumlah Pasien Persentase
Hipertensi 1 2%
Skhizofrenia 1 2%
Stroke 1 2%
Hepatitis 1 2%
Komplikasi yang sering dijumpai pada demam tifoid adalah hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya (Nelwan, 2012).
A. Karakteristik Obat
1. Terapi Antibiotik
Antibiotik yang diberikan secara tepat dan efektif untuk pasien demam tifoid akan berperan penting dalam kesembuhan penyakit. Antibiotik yang diberikan untuk pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014 bervariasi dari berbagai macam antibiotik. Jenis antibiotik yang digunakan dapat dikelompokkan berdasarkan nama antibiotik dan golongan antibiotik, yaitu flouroquinolon (siprofloksasin dan levofloksasin), golongan sefalosporin generasi ketiga (seftriakson), dan golongan penicilim (Amoksisilin). Antibiotik diberikan kepada pasien melalui iv agar antibiotik memberikan efek yang cepat bagi tubuh. Jenis antibiotik yang digunakan pasien demam tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Karakteristik Obat Untuk Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Pada Tahun 2014 Berdasarkan Terapi Antibiotik
Nama Antibiotik Golongan Jumlah Peresepan %Terhadap Jumlah Pasien
Siprofloksasin Flouroquinolon 9 15%
Levofloksasin 5 9%
Seftriakson Sefalosporin 45 76%
Jumlah 59 100%
7 untuk infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi (Parry et al., 2007). Levofloksasin memiliki khasiat klinis 100% untuk pengobatan demam tifoid (Nelwan et al., 2006).
2. Terapi Non Antibiotik
Pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014 selain mendapatkan terapi antibiotik juga mendapatkan non antibiotik. Menurut Depkes RI 2006, pasien demam tifoid perlu mendapat terapi penunjang (terapi simtomatik dan terapi suportif). Terapi simtomatik untuk penghilang gejala penyakit demam tifoid yang timbul, sedangkan terapi suportif untuk mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
Terapi non antibiotik untuk pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014 dikelompokkan menjadi cairan infus, analgetik antipiretik, antitukak, antiemetik, dan suplemen (IONI, 2008).
Tabel 5. Karakteristik Obat Untuk Pasien Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Pada Tahun 2014 Berdasarkan Terapi Non Antibiotik
Kelompok Terapi
Analgetik,Antipiretik Paracetamol 59 100%
Antitukak Ranitidin, Antasid 59 100%
Antiemetik Ondansetron, Metoklopramid, 43 73%
Suplemen Vitamin B Complex 35 56%
Antiinflamasi Triamcinolone Acetonide 1 2%
Psikotropika Benzodiazepin 1 2%
Antihipertensi Nifedipine 1 2%
Hepatitis Telbivudin 1 2%
Nootropik Piracetam 1 2%
Jumlah Pasien 59
Pasien demam tifoid umumnya mengalami dehidrasi (ditandai dengan haus, badan lemas, mata cekung, bibir kering, dan tubuh terasa panas), gangguan keseimbangan cairan tubuh, dan penurunan nafsu makan sehingga kesulitan untuk mendapat nutrisi makanan. Cairan infus diberikan karena pasien harus mendapat cairan yang cukup melalui oral atau parenteral. Cairan parenteral digunakan untuk pasien dengan penyakit berat, komplikasi, penurunan kesadaran, dan sulit untuk makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal (Depkes RI, 2006). Hasil penelitian terhadap 59 pasien (100%) cairan infus diberikan kepada seluruh pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014.
8 digunakan pada pasien demam tifoid karena untuk mengatasi demam yang dialami oleh pasien (Tjay dan Rahardja, 2002).
Pasien demam tifoid instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014 mendapat terapi dengan antitukak sebanyak 59 pasien. Antitukak diberikan pada pasien demam tifoid untuk mengurangi gejala dispepsia yang dialami pasien demam tifoid (Berardy & Lynda., 2005).
Antiemetik diberikan kepada pasien demam tifoid karena untuk mengurangi gejala mual, muntah, dan perut kembung yang dialami oleh pasien (Rampengan, 2007). Sebanyak 43 pasien (73%) mendapatkan terapi dengan antiemetik seperti ondansetron dan metoklopramid (Tabel 5).
Suplemen atau vitamin diberikan untuk perbaikan keadaan umum pasien demam tifoid (Depkes RI, 2006). Hasil penelitian pada pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014 sebanyak 33 pasien (56%) mendapat suplemen atau vitamin. Suplemen atau vitamin yang digunakan untuk pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014 adalah vitamin B complex dan curcuma.
B. Analisis Ketepatan Antibiotik
Antibiotik yang diberikan secara tepat dan efektif pada pasien demam tifoid berperan penting dalam kesembuhan penyakit. Ketepatan antibiotik yaitu pengobatan yang dilakukan dapat tercapai, efektif, dan aman. Perhitungan persentase ketepatan antibiotik dilakukan pada 59 kasus pasien selama menjalani rawat inap di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014.
Analisis ketepatan antibiotik pada pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014 meliputi: tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, dan tepat pasien yang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Analisis Ketepatan Antibiotik
Analisis Ketepatan Jumlah Kasus Persentase
Tepat indikasi 59 100%
Tepat obat 54 92%
Tepat dosis 30 51%
Tepat pasien 59 100%
1. Tepat Indikasi
9 indikasi karena seluruh pasien demam tifoid mendapat terapi dengan antibiotik, antara lain: siprofloksasin, levofloksasin, dan seftriakson. Hasil penelitian sesuai dengan standar Depkes RI tahun 2006, antibiotik segera diberikan bila diagnosis klinis demam tifoid telah ditegakkan. Antibiotik digunakan untuk pengobatan demam tifoid karena patofisiologi infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia (Merdjani., 2008).
2. Tepat Obat
Tepat obat adalah ketepatan pemberian obat sesuai dengan drug of choice untuk penyakit pasien sesuai dengan standar pengobatan yang ditetapkan oleh Depkes RI 2006. Tabel 7. Ketepatan Obat Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Pada Tahun 2014
Berdasarkan Tabel 7, pada pasien dewasa demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi pada tahun 2014, sebanyak 45 pasien (76%) mendapat pengobatan dengan seftriakson (sefalosporin), 9 pasien (15%) mendapat pengobatan dengan antibiotik siprofloksasin, 5 pasien (9%) dengan antibiotik levofloksasin sehingga 54 pasien (92%) tidak tepat obat. Menurut standar Depkes, bila pemberian antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif maka diganti dengan antibiotik lini kedua (seftriakson, cefixime, dan quinolon). Kloramfenikol tidak digunakan di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi sebagai obat pilihan pertama untuk pasien demam tifoid dimungkinkan karena, kloramfenikol memiliki kekurangan yaitu apabila diberikan dalam dosis kecil tidak akan menimbulkan efek, sedangkan apabila diberikan dalam dosis besar menimbulkan efek yang merugikan yaitu kerusakan sumsum tulang dan terjadi gangguan pada pembentukan eritrosit sehingga dapat menyebabkan anemia aplastik (Tjay dan Rahardja, 2002). Penelitian Nelwan et al., (2006) menunjukkan bahwa levofloksasin dapat menurunkan demam secara signifikan, namun levofloksasin bukan merupakan obat pilihan untuk demam tifoid berdasarkan standar Depkes RI tahun 2006 sehingga levofloksasin tidak tepat obat.
3. Tepat Dosis
10 Analisis ketepatan dosis dinilai berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Depkes RI 2006. Dosis suatu obat sangat berperan penting karena menentukan obat tersebut dapat memberikan efek optimal atau tidak.
Tabel 8. Ketepatan Dosis Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Pada Tahun 2014
Dosis Antibiotik Standar
(Depkes RI, 2006)
Dosis Pemakaian No Kasus Ketepatan Tepat Tidak Tepat
11 menggunakan antibiotik tertentu, maka pasien tersebut akan kebal bila dosis antibiotik yang diberikan kecil untuk penyakit ringan (Tjay dan Rahardja, 2002). Durasi penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan bakteri resistensi terhadap antibiotik tersebut. Menurut Utami (2011) ketidaktepatan dosis antibiotik disebabkan karena penggunaan antibiotik yang terlalu singkat dan dosis penggunaan antibiotik yang terlalu rendah.
4. Tepat Pasien
Tepat pasien adalah ketepatan pemberian obat sesuai dan tidak kontraindikasi dengan pasien. Evaluasi ketepatan pasien didasarkan atas hasil laboratorium ClCr untuk fungsi ginjal dan SGOT/SGPT untuk fungsi hati. Peringatan bagi pasien dengan gagal ginjal dan penurunan fungsi hati yang berat diterapkan terhadap pasien yang mendapat terapi dengan antibioitik seftriakson, siprofloksasin, dan levofloksasin (BNF, 2009). Dosis seftriakson harus diturunkan pada pasien dengan gagal ginjal berat (dibawah 10 ml/menit/1,73 m2)
(BNF, 2009), karena seftriakson dapat menginduksi pasien gagal ginjal sehingga dapat menyebabkan hemolisis (Lucida et al., 2011). Dosis siprofloksasin harus diturunkan pada pasien dengan gagal ginjal (dibawah 20 ml/menit/1,73 m2) (BNF, 2009), dosis diturunkan untuk menghindari peningkatan kadar obat dalam darah yang akan memperberat kerja ginjal (Lucida et al., 2011). Penelitian pada pasien demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi, 12 pasien memiliki nilai ClCr dibawah 60 ml/menit/1,73 m2 (kerusakan ginjal sedang) dan 59 pasien memiliki nilai SGOT/SGPT normal. Menurut Lucida (2011) antibiotik yang digunakan pada pasien gagal ginjal stadium rendah sampai stadium sedang tidak memerlukan penyesuaian dosis, sehingga hasil penelitian menunjukkan 59 pasien (100%) tepat pasien karena pemberian obat sesuai dan tidak kontraindikasi dengan pasien.
C. Rasionalitas Antibiotik
12 seftriakson (76%), siprofloksasin (15%) dan levofloksasin (9%). Evaluasi ketepatan antibiotik di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi meliputi tepat indikasi sebanyak 59 pasien (100%), tepat obat sebanyak 54 pasien (92%), tepat dosis sebanyak 30 pasien (51%), dan tepat pasien sebanyak 59 pasien (100%). Kerasionalitasan antibiotik pada pasien dewasa demam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Dr. Moewardi adalah 30 kasus (51%).
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lain untuk mengetahui gambaran penggunaan antibiotik pada penyakit yang sama pada pasien anak demam tifoid. Perlu ketelitian dan kebijakan dalam memberikan dosis atau terapi yang sesuai untuk pasien agar terhindar dari ketidakrasionalan terapi dengan antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Berardy, R., & Lynda, S., 2005, Peptic Ulcer Disease dalam Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, Sixth Edition, McGraw-Hill, Medical Publishing Division by The McGraw-Hill Companies, 629–648.
BNF, 2009, 49th ed, British National Formulary, United Kingdom, BMJ Group and RPS Publishing.
BPOM, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
13 Chen, X., Stanton, B., Pach, A., Nyamete, A., Ochiai, R. L., Kaljee, L., et al., 2007,
Adults’ Perceived Prevalence of Enteric Fever Predicts Laboratory-Validated
Incidence of Typhoid Fever in Children. Journal of Health, Population and Nutrition, 25 (4), 469–478.
Depkes RI., 2006, Pedoman Pengendalian Demam Tifoid, 15-18, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Fitriyah, H., 2011, Kajian Penggunaan Antibiotik Pada Penderita Demam Typhoid Dewasa Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta Tahun 2010. Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Hammad, O., Hifnawy, T., Omran, D., Anwar, M., Tantawi, E., & Girgis, N., 2011, Ceftriaxone versus Chloramphenicol for Treatment of Acute Typhoid Fever, Life Science Journal, 8 (2), 100–105.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Profil Kesehatan Indonesia 2010, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Leeser, C., & Samuel, I., 2001, Harrison’s Principles of Interna Medicine, Edisi 15, McGraw-Hill Companies, New York.
Lucida, H., Trisnawati, R., & Suardi, M., 2011, Analisis Aspek Farmakokinetika Klinik Pasien Gagal Ginjal Pada IRNA Penyakit Dalam RSUP DR. M. Djamil Padang, Jurnal Sains Dan Teknologi Farmasi, 16 (2), 144–155.
Mansjoer, A., 2001, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Marhamah, 2010, Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Demam Tifoid Dewasa Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Pambalah Batung Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan Tahun 2009, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Merdjani, A., & Syoeib, A., 2008, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis, Edisi Kedua, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta.
Nainggolan, R. N. F., 2009, Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat Inap Di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematangsiantar Tahun 2008, Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara.
Nelwan, R. H. H., Chen, K., Nafrialdi., & Paramita, D., 2006, Open Study On Efficacy And Safety of Levofloxacin in Treatment of Uncomplicated Typhoid Fever. The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 37 (1), 126–130. Nelwan, R. H. H., 2012, Tata Laksana Terkini Demam Tifoid, Continuing Medical
14 Nurjannah, H., 2012, Faktor Yang Berhubungan Dengan Lama Hari Rawat Inap Pasien Demam Tifoid Di Ruang Rawat Inap RSUD Pangkep. Skripsi, Fakultas Ilmuu Keperawatan, STIKES Nani Hasanuddin Makassar.
Ochiai, R. L., Acosta, C. J., Danovaro holliday, M. C., Baiqing, D., Bhattacharya, S. K., Agtini, M. D., et al., 2008, A Study of Typhoid Fever in Five Asian Countries: Disease Burden and Implications for Controls, Bulletin of The World Health Organization, 86 (4), 260-268.
Parry, C. M., Ho, V. A., Phuong, L. T., Van Be Bay, P., Lanh, M. N., Tung, L. T., et al., 2007, Randomized Controlled Comparison of Ofloxacin, Azithromycin, and an Ofloxacin-Azithromycin Combination for Treatment of Multidrug-Resistant and Nalidixic Acid-Resistant Typhoid Fever. Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 51 (3), 819–825.
Raffatellu, M., Wilson, R. P., Winter, S. E., & Bäumler, A. J., 2008, Clinical Pathogenesis of Typhoid Fever, J Infect Developing Countries, 2(4), 260–266.
Rakhman, A., Humardewayanti, R., & Pramono, D., 2009, Faktor–Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Demam Tifoid Pada Orang Dewasa. Berita Kedokteran Masyarakat, 25 (4), 167–175.
Rampengan, T. H., 2007, Penyakit Infeksi Tropik pada Anak, Edisi Kedua, EGC, Jakarta. Tjay, H., & Rahardja, K., 2002. Obat-Obat Penting, Khasiat Penggunaan dan Efek
Samping, Edisi Kelima, Elex Media Computindo Gramedia, Jakarta.