HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITATIF DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU DELINKUENSI PADA SISWA
SMK NEGERI 5 KAB. TANGERANG
OLEH : TRI PUJI ASTUTI
80 2010 086
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITATIF DENGAN
KECENDERUNGAN PERILAKU DELINKUENSI PADA SISWA SMK
NEGERI 5 KAB. TANGERANG
Tri Puji Astuti Berta Esti Ari P. Heru Astikasari S.M.
Progam Studi Psikologi
F
AKULTASP
SIKOLOGIU
NIVERSITASK
RISTENS
ATYAW
ACANAS
ALATIGAAbstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan yang signifikan antara pola asuh otoritatif dengan kecenderungan perilaku delinkuensi siswa
SMK Negeri 5 Kab. Tangerang. Penelitian ini dilakukan di SMK Negeri 5 Kab. Tangerang dengan subjek 288 orang. Variabel pola asuh otoritatif diukur dengan
menggunakan skala P arenting Practices Questionnaire Constructs (PPQC) C.C. Robinson, et al (1995) terdiri dari 27 item. Variabel kecenderungan perilaku delinkuensi menggunakan skala modifikasi dari Delinquent Activities Scale (DAS) berdasarkan Self-Report Delinquency (SRD) Reavy, Stein, Paiva, Quina & Rossi, (2012) yang terdiri dari 40 item. Data dianalisis menggunakan teknik analisis Spearman’s-Rho. Koefisien korelasi yang diperoleh sebesar -0,053 dengan sig. = 0,372 (p < 0.05). Hasil tersebut menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh otoritatif dengan kecenderungan perilaku delinkuensi pada siswa SMK Negeri 5 Kab. Tangerang.
Abstract
The purpose of this study was to determine the existence of a significant relationship between authoritative parenting style with behavioral tendencies juvenile delinquency students of SMK Negeri 5 Kab. Tangerang. This research was conducted in SMK Negeri 5 Kab. Tangerang with 288 subjects. Authoritative parenting variables were measured using a scale of Parenting Practices Questionnaire Constructs (PPQC) CC Robinson, et al (1995) consists of 27 items. Variable behavioral tendencies juvenile delinquency using a scale modification of Delinquent Activities Scale (DAS) based on the Self-Report delinquency (SRD) Reavy, Stein, Paiva, Quina & Rossi, (2012) which consists of 40 items. Data were analyzed using analysis techniques Spearman's-Rho. The correlation coefficient of -0.053 obtained with sig. = 0.372 (p < 0.05). The results showed no significant relationship between authoritative parenting style with behavioral tendencies juvenile delinquency in students of SMK Negeri 5 Kab. Tangerang.
3
PENDAHULUAN
Masalah perilaku delinkuensi (juvenile delinquency) atau biasa disebut dengan kenakalan remaja merupakan tindakan pelanggaran hukum atau peraturan oleh remaja dan sudah banyak terjadi di masyarakat baik di negara maju maupun negara berkembang.
Banyak tindakan delinkuensi di Indonesia, seperti tawuran antar pelajar, membolos, kebut-kebutan, seks bebas, kasus perkosaan serta menggunakan obat-obatan terlarang
(Paulus, 2008).
Juvenile delinquency mengarah pada pelanggaran yang dilakukan oleh remaja. Dalam kehidupan sehari-hari remaja cenderung menunjukkan perilaku yang tidak sesuai
dengan usianya, misalnya menggunakan obat-obatan terlarang, alkohol dan seks bebas sehingga membuat orang tua dan guru khawatir (Brandt, 2006). Juvenile delinquency
remaja juga merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja dibawah usia 22 tahun yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan tingkah laku yang menyimpang (Kartono, 2013). Istilah juvenile delinquency merujuk pada berbagai perilaku, mulai dari pelaku yang tidak dapat diterima secara sosial seperti berbuat onar disekolah, status pelanggaran seperti melarikan diri dari
rumah hingga tindakan kriminal seperti pencurian (Santrock, 2007).
Berita yang biasa disimak melalui media elektronik seperti televisi, radio dan internet serta melalui media cetak seperti koran, tabloid dan majalah menunjukkan
gambaran dari perilaku delinkuensi. Misalnya dalam satu liputan di harian Merdeka.com
(2013) - Usai melaksanakan Ujian Nasional (UN), tiga pelajar SMP 7 Kota Tangerang
menjadi korban penyerangan sekelompok pelajar SMP lain yang belum diketahui berasal dari sekolah mana. Akibatnya, seorang pelajar kelas III bernama Teddy tewas, sedangkan dua orang rekannya masih kritis. Masih di daerah Tangerang, kurang lebih ada 30 siswa
4
Jatiuwung Kota Tangerang, Rabu (15/1/2014). Pasalnya, terlihat sekumpulan siswa sekolah SMK sedang kumpul di area dekat pom bensin sedang membawa benda tajam (parang, samurai dan gergaji) kemudian petugas mendekatinya guna untuk
mengetahuinya (http://www.detaktangsel.com).
Dalam Surat Kabar Elektronik Tangerang, Kabar6.com (2012) – disebutkan bahwa Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat sebanyak 2.008 kasus kriminalitas yang dilakukan anak usia sekolah terjadi di sepanjang kuartal pertama 2012. Jumlah itu meliputi berbagai jenis kejahatan seperti pencurian, tawuran, dan
pelecehan seksual yang dilakukan siswa SD hingga SMA. Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait mengatakan, angka kriminalitas yang dilakukan anak usia sekolah
cenderung meningkat setiap tahunnya. Dari data yang diperoleh Komnas PA, pada 2010 terjadi 2.413 kasus kriminal anak usia sekolah. Jumlah itu kemudian meningkat di 2011, yakni sebanyak 2.508 kasus. Masalah tersebut juga banyak mendapatkan perhatian baik
dalam bentuk peyelenggaraan seminar, diskusi maupun penyusunan program yang berorientasi pada upaya pemahaman serta pemikiran alternatif penanggulangannya (Paulus, 2008).
Pelanggaran yang biasanya seorang pelajar lakukan adalah membolos sekolah, berbohong, di lingkungan sekolah tidak memakai atribut seragam dengan lengkap, tidak
mengerjakan tugas yang diberikan guru serta melakukan tawuran. Walaupun sepertinya tawuran antar pelajar sudah mereda pada saat ini bukan berarti tidak ada tindakan-tindakan lain yang dilakukan remaja. Dengan adanya pemberitaan tentang kasus tindak
kriminal membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan remaja digolongkan sebagai tindakan diluar batas norma sosial atau bahkan dapat dikatakan melanggar norma hukum
5
ungkapan-ungkapan bebas dan ringan dari ketidakpatuhan (Bandura dalam Gunarsa, 2008).
Konflik dan tekanan yang dialami remaja sehingga terjadi perilaku delinkuensi
membawa berbagai dampak seperti stres, frustasi, rendah diri dan bingung dalam memposisikan diri di masyarakat. Beberapa remaja mengabaikan peraturan dan
hukum-hukum yang diharapkan untuk dipatuhi dan beberapa lainnya tidak mampu mempelajari apa yang benar dan apa yang salah. Menyadari banyaknya tuntutan dan harapan lingkungan terhadap remaja. Spranger (dalam Gunarsa, 2008) mengemukakan bahwa
pada masa ini remaja sangat memerlukan pengertian dari orang lain. Bantuan dapat diberikan melalui pemahaman tentang diri remaja.
Penyebab terjadinya perilaku delinkuensi adalah remaja yang berasal dari status ekonomi rendah, remaja yang tinggal di dalam komunitas yang tinggi tingkat kriminalitasnya dan beberapa karakteristik dari sistem dukungan keluarga juga berkaitan
dengan kenakalan remaja. Pengawasan dari orang tua terhadap remaja adalah hal yang penting untuk menentukan apakah seorang remaja akan terlibat dalam kenakalan atau tidak (Laird dalam Santrock, 2012).
Keluarga berperan penting dalam kehidupan sosial anak, karena keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak dan orang tualah yang pertama melatih dan
mengajarkan anak bertingkahlaku dan bersikap sesuai dengan tatacara yang ada. Ki Hajar
Dewantara (dalam Shochib, 2000) menyatakan bahwa keluarga merupakan “pusat
pendidikan” yang pertama dan terpenting. Orang tua mempunyai peran sangat penting
dalam kehidupan seorang anak terutama dalam pembentukan kepribadian anak. Tanggung jawab dan kepercayaan orang tua yang dirasakan oleh anak akan menjadi
6
Pola asuh merupakan serangkaian tindakan mendidik, mengajarkan dan mengarahkan yang diberikan oleh orang tua kepada anak, dimana orang tua adalah sumber pertama yang memberikan contoh perilaku dan anak adalah objek yang menerima
atau meniru perilaku tersebut. Hal ini tergantung pada pemahaman anak tentang tujuan perilaku yang diberikan oleh orang tua. Positif atau negatifnya sebuah penilaian atau
pemahaman terhadap pola asuh tersebut, akan tergantung pada bagaimana anak mempersepsikan pola asuh yang di integrasikan oleh orang tuannya (Kastutik & Setyowati, 2014).
Masing – masing orang tua memiliki perlakuan yang berbeda-beda dalam mengasuh dan membimbing anaknya. Dalam keluarga ada cara mendidik anak secara
diktator militer, ada yang demokratis dimana pendapat anak juga diterima oleh orang tua. Tetapi ada juga orang tua yang acuh tak acuh dengan pendapat setiap anggota keluarganya. Berbicara mengenai pola pengasuhan orang tua, (Baumrind dalam Santrock,
2007) menyatakan ada tiga jenis pengasuhan orang tua yang berhubungan dengan perilaku sosial remaja yaitu autoritarian, autoritatif, mengabaikan dan memanjakan.
Pengasuhan autoritarian adalah gaya yang bersifat menghukum dan membatasi
dimana orang tua sangat berusaha agar remaja mengikuti pengarahan yang diberikan dan menghormati pekerjaan dan usaha-usaha yang telah dilakukan orang tua. Orang tua yang
outoritarian menetapkan batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan orang tua yang bersifat lalai berkaitan dengan perilaku remaja yang tidak kompeten secara sosial, khususnya kurangnya pengendalian
diri. Kemudian pengasuhan memanjakan adalah suatu pola dimana orang tua sangat terlibat dengan remaja namun hanya memberikan sedikit tuntutan atau kendali terhadap
7
Dalam penelitian ini, pola pengasuhan yang digunakan oleh peneliti adalah pola pengasuhan otoritatif atau biasa yang di kenal dengan pola asuh demokratis karena berdasarkan penelitian Istianah (2008) bahwa pola asuh yang paling ideal dan dapat
diterapkan orang tua (ayah dan ibu) dalam pengasuhan remaja adalah pola asuh demokratis, Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang banyak diterapkan oleh orang
tua pada masa sekarang dan merupakan pola asuh yang dirasakan orang tua baik untuk diterapkan kepada anaknya (Rinestaelsa dalam Chartika, 2012). Dimana pola ini mendorong remaja agar mandiri namun masih membatasi dan mengendalikan aksi-aksi
mereka. Orang tua dengan gaya pengasuhan otoritatif memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk berdialog secara verbal. Disamping itu orang tua juga bersikap
hangat berkata” Kamu tahu, seharusnya kamu tidak melakukan hal itu. Mari kita
bicarakan tentang bagaimana caranya kamu mampu menangani situasi semacam itu dengan lebih baik.” Pengasuhan ini berkaitan dengan perilaku remaja yang kompeten
secara sosial. Para remaja dari orang tua otoritatif biasanya mandiri dan memiliki tanggung jawab sosial (Santrock, 2007).
Kemudian Purwandari (2011) mengatakan bahwa iklim keluarga yang baik
terjadi ketika orang tua melakukan supervisi, komunikasi dan mau melibatkan serta anak merasa terlibat dalam aktivitas kebersamaan dengan orang tua menjadi faktor yang dapat
mencegah terbentuknya delinkuensi. Kedekatan orang tua terhadap anaknya penting untuk dilakukan terutama pada anak laki-laki. Dengan adanya perilaku delinkuensi ini membuat perhatian orang tua lebih tertuju pada remaja mereka dengan harapan perhatian
yang diberikan orang tua pada anaknya dapat mencegah delinkuensi. Selain itu, orang tua juga mengawasi dan mengamati dengan siapa remajanya berteman (Lim, J.C, Hasbullah,
8
SMK Negeri 5 Kab. Tangerang merupakan sekolah yang masih terletak diwilayah perkampungan dan beberapa siswanya mempunyai sikap-sikap yang melanggar tata tertib, dan bertingkah laku kurang sopan baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun
masyarakat. Siswa-siswi di SMK ini masih ada yang tidak menghiraukan tata tertib di sekolah sehingga banyak sekali perilaku delinkuensi yang dilakukan. Berdasarkan hasil
wawancara dan observasi yang dilakukan tanggal 01 September 2014 pukul 12.45 WIB oleh peneliti dengan siswa-siswa SMK Negeri 5 Kab. Tangerang, guru BP yang bernama pak Schohib mengatakan bahwa masalah kenakalan-kenakalan yang ada disekolah masih
tergolong biasa dilakukan para siswa pada umumnya seperti mencontek, dan kebanyakan siswa dari kelas X-XII bermasalah pada absensi, tidak memakai seragam dengan rapi,
terkadang ada yang tidak mengerjakan tugas, keluar kelas jika guru tidak datang, kemudian siswa pamit dari rumah untuk berangkat sekolah tetapi tidak sampai ke sekolah, ada siswa yang sering kabur dari rumah karena masalah keluarga, dan adapula
ada siswa yang tidak sopan dengan gurunya sehingga waktu jam pelajaran berlangsung siswa tersebut di keluarkan dari kelas kemudian untuk masalah tawuran dan perkelahian disekolah jarang terjadi.
Adanya penelitian yang dilakukan oleh Diah (2014) menunjukkan adanya perbedaan perilaku kenakalan remaja yang sangat signifikan (sig = 0,000 < 0,01) ditinjau
dari persepsi pola asuh orang tua pada siswa sekolah menengah, dimana siswa yang mempersepsi pola asuh otoriter memiliki perilaku kenakalan dalam kategori tinggi, sedangkan siswa yang mempersepsi pola asuh demokratis memiliki perilaku kenakalan
dalam kategori rendah. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatchurahman dan Herlan (2012) berdasarkan hipotesis analisis regresi antara pola asuh
9
yang menunjukkan bahwa pola asuh demokrasi orang tua tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kenakalan remaja di SMK Muhammadiyah 2 Malang.
Berdasarkan fenomena dan latar belakang masalah di atas, maka akan dilakukan penelitian mengenai hubungan pola asuh otoritatif dengan kecenderungan perilaku delinkuensi siswa SMA Negeri 5 Kab. Tangerang.
Perilaku Delinkuensi
Juvenile delinquency mengarah pada pelanggaran yang dilakukan oleh remaja. Dalam kehidupan sehari-hari remaja cenderung menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan usianya, misalnya menggunakan obat-obatan terlarang, alkohol dan seks bebas
sehingga membuat orang tua dan guru khawatir (Brandt, 2006)
Juvenile delinquency juga merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja dibawah usia 22 tahun yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka mengembangkan tingkah laku yang menyimpang (Kartono, 2013). Santrock (2007) membuat dua jenis pembedaan perilaku delinkuensi
yaitu index offenses yang merupakan tindakan kriminal yang dilakukan oleh remaja ataupun orang dewasa. Tindakan kriminal tersebut meliputi perampokan, serangan yang
menimbulkan kerugian, pemerkosaan dan pembunuhan. Kemudian offenses status yang merupakan tindakan kurang serius meliputi melarikan diri, membolos dari sekolah, mengonsumsi minuman keras meskipun masih dibawah umur, melakukan hubungan
seksual dan tidak dapat dikendalikan. Antesenden kenakalan remaja meliputi konflik otoritas, tindakan tertutup, tindakan agresi yang tertutup, identitas, distorsi kognitif,
kendali diri, usia, jenis kelamin, harapan pendidikan dan nilai sekolah, peran pengasuhan orang tua (kurang pengawasan, kurang memperoleh dukungan dan penerapan disiplin yang tidak efektif), relasi dengan saudara kandung dan kualitas dengan lingkungan
10
Reavy, Stein, Paiva, Quina & Rossi, (2012) juvenile delinquency juga merupakan suatu prediktor perilaku pada remaja yang berhubungan dengan tindakan pelanggaran, penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol yang dilakukan dalam jangka panjang. Perilaku
tersebut termasuk dalam pola gangguan perilaku atau conduct disoreder (CD) yang terdiri dari agresi fisik, penipuan, pelanggaran hingga tindakan kriminal lainnya. Ada empat
jenis perilaku yang sudah ditetapkan dalam DAS, yaitu:
- predatory aggression (misalnya menggunakan senjata)
- stealing and generalized delinquency (misalnya melarikan diri dari rumah setiap malam)
- DAS-alcohol factor (stealing and generalized delinquency, and predatory aggression; misalnya memukul atao mengancam.).
- DAS- marijuana factor (stealing and generalized delinquency, and drug dealing and aggressive behavior; misalnya mencuri dan berkeinginan menjual kokoain).
Penyebab perilaku delinkuensi meliputi konflik otoritas, tindakan agresi yang
tertutup, identitas, distorsi kognitif, kendali diri, usia, jenis kelamin, harapan pendidikan dan nilai sekolah, peran pengasuhan orang tua (kurang pengawasan, kurang memperoleh dukungan dan penerapan disiplin yang tidak efektif), relasi dengan saudara kandung dan
kualitas dengan lingkungan rumah (Santrock, 2007).
Pola Asuh Otoritatif
Pola asuh otoritatif merupakan pola pengasuhan yang mendorong remaja agar mandiri namun masih membatasi dan mengendalikan aksi-aksi mereka. Orang tua dengan gaya pengasuhan otoritatif memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk
11
perilaku remaja yang kompeten secara sosial. Para remaja dari orang tua otoritatif biasanya mandiri dan memiliki tanggung jawab sosial (Santrock, 2007).
Gaya pengasuhan otoritatif orang tua menunjukkan perilaku yang membantu
remaja mengembangkan keterampilan sebagai kedewasaan secara psikososial, mampu bekerjasama dengan teman sebaya dan orang dewasa, kebebasan yang bertanggung jawab
serta berhasil secara akademik. Pengasuhan otoritatif memiliki 4 unsur yaitu kehangatan dan keterlibatan (warmth and involvement), pengalasan/induksi (reasoning/induction), pengikutsertaan yang demokratis (democratic participation), serta bersifat baik dan lembut hati (good natured/easy going) Baumrind (C.C Robinson, Barbara M., S.F Olsen & Craig H. Hart, 1995).
Orang tua otoritatif mencapai keseimbangan yang baik antara pengendalian dan otonomi, memberikan peluang kepada anak-anak dan remaja untuk mengembangkan kemandirian dengan memberikan standar, batasan, serta bimbingan yang diperlukan oleh
anak-anak (Reuter & Konger dalam Santrock, 2007). Kehangatan dan keterlibatan yang diberikan oleh orang tua yang otoritatif membuat anak lebih bersedia menerima
pendidikan orang tua (Sim dalam Santrock, 2007).
Kerangka Berpikir
Gaya pengasuhan otoritatif ialah model komunikasi interaksi antara orang tua dengan anak, dimana orang tua melibatkan anak dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut dirinya dengan keluarga, maka orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk menanyakan alasan tugas-tugas yang diberikan kepadanya. Orang tua dengan
12
membimbing anak dan tetap memiliki komunikasi yang hangat terhadap anak. Orang tua selalu memberikan kesempatan kepada anak untuk membuat perencanaan-perencanan kegiatan, meskipun keputusan tetap ada pada orang tua. Dan orang tua akan
mendengarkan alasan-alasan anak dalam merencanakan suatu kegiatan yang dilakukan anak. Kualitas gaya pengasuhan otoritatif diyakini dapat lebih menstimulir keberanian,
motivasi dan kemandirian remaja menghadapi masa depannya. Gaya pengasuhan ini mendorong tumbuhnya kemampuan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial pada remaja, dan memiliki pengedalian diri dalam mengelola
kemampuan-kemampuan untuk tidak bertindak anarkis Baumrind (dalam Lubis, 2011).
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Hoeve, Blockland, Dubas, Loeber, Gerris
& Laan (dalam Diah, 2014) menunjukkan bahwa peran orang tua penting dalam munculnya kenakalan pada remaja. Beberapa penelitian yang meneliti tentang pola asuh menjelaskan bahwa tipe pola asuh yang diterapkan oleh orang tua akan berhubungan
dengan perkembangan anak remajanya, termasuk keterlibatan remaja dalam delikuensi atau kenakalan. Menurut Fatchurahman & Herlan (2012) gaya pengasuhan otoritatif atau
demokratis yang dilandasi kasih sayang, sikap terbuka kedisiplinan, pemberian hadiah berkaitan dengan prestasi belajar, pemberian hukuman jika anak melakukan pelanggaran, pemberian keteladanan, penanaman sikap dan moral, perlakuan yang adil terhadap anak,
dan pembuatan peraturan berkaitan dengan tugas-tugas perkembangan anak. Hal ini sangatlah penting bagi anak supaya dapat mengembangkan perilaku positif. Sebaliknya
bila tidak diberikan dengan pola asuh otoritatif atau demokratis maka anak diasumsikan akan mengalami kesulitan dalam hubungan sosial dan mengakibatkan timbulnya perilaku
13
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diah (2014) menunjukkan adanya perbedaan perilaku kenakalan remaja yang sangat signifikan (sig = 0,000 < 0,01) ditinjau dari persepsi pola asuh orang tua pada siswa sekolah menengah, dimana siswa yang
mempersepsi pola asuh otoriter memiliki perilaku kenakalan dalam kategori tinggi, sedangkan siswa yang mempersepsi pola asuh demokratis memiliki perilaku kenakalan
dalam kategori rendah. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatchurahman dan Herlan (2012) berdasarkan hipotesis analisis regresi antara pola asuh demokratis orang tua dengan kenakalan remaja diperoleh hasil r = 0,132. Koefisien
korelasi sebesar 0,132 dengan taraf signifikansi 0,190 atau lebih besar dari toleransi 0,05 yang menunjukkan bahwa pola asuh demokrasi orang tua tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan kenakalan remaja di SMK Muhammadiyah 2 Malang.
Berdasarkan penjabaran diatas tersebut, hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh otoritatif dengan kecenderungan perilaku
delinkuensi.
METODE Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa SMK Negeri 5 Kab. Tangerang yang
berusia antara 15-20 tahun, masih bersekolah dan tinggal bersama orang tua. Untuk menentukan jumlah sampel yang akan diambil, peneliti menggunakan rumus
14 sehingga sampel dalam penelitian ini berjumlah 288 orang.
Prosedur Sampling
Sample adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2013). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan cluster random sampling yaitu melakukan randomisasi terhadap kelompok, bukan terhadap subjek secara individual (Azwar, 2010). Dalam hal ini, sampel diambil tidak melalui
randomisasi terhadap siswa secara individual, melainkan melalui randomisasi terhadap kelas.
Pengukuran
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala. Skala ini
15
Perilaku Delinkuensi dari Delinquent Activities Scale (DAS) yang berdasarkan pada Self Reported Delinquency (SRD) Reavy, et al (2012).
1) Pola Asuh Otoritatif
Skala pola asuh otoritatif dengan Parenting Practices Questionnaire Constructs (PPQC) C.C. Robinson, et al (1995). PPQC terdiri dari 27 item yang berdasarkan konsep tipologi otoritatif Baumrind dengan 4 unsur yaitu kehangatan
dan keterlibatan (warmth and involvement), pengalasan/induksi (reasoning/induction), pengikutsertaan yang demokratis (democratic participation), serta bersifat baik dan lembut hati (good natured/easy going). Pengukuran ini menggunakan model skala Likert dengan jawaban Tidak Pernah (TP), Pernah tapi jarang (P), Kadang-Kadang (KK), Sering (SR) dan Selalu (SL),
dimana jawaban dari 27 item tersebut diberi skor tertinggi untuk Selalu (SL) 5 dan terendah untuk Tidak Pernah (TP) 1.
Berdasarkan uji daya diskriminasi item yang telah dilakukan sebanyak dua
kali terhadap 27 item angket pola asuh otoritatif, 25 item bertahan sedangkan 2 item dinyatakan gugur. Item-item tersebut mempunyai koefisien daya
diskriminasi item sebesar 0,260 – 0,431. Kemudian, pengujian terhadap reliabilitas alat ukur ini dengan menggunakan cronbach’s alpha. Dari uji reliabilitas didapatkan hasil koefisien reliabilitas sebesar 0,805. Maka, alat ukur
pola asuh otoritatif termasuk dalam kategori reliabel. Dalam alat ukur pola asuh otoritatif, semua aspek terwakili oleh 25 item yang bertahan.
2) Kecenderungan Perilaku Delinkuensi
Skala kecenderungan perilaku delinkuensi menggunakan Delinquent Activities Scale (DAS) yang berdasarkan pada Self Reported Delinquency (SRD) Reavy, et al
16
- predatory aggression (misalnya menggunakan senjata)
- stealing and generalized delinquency (misalnya melarikan diri dari rumah setiap malam)
- DAS-alcohol factor (stealing and generalized delinquency, and predatory aggression; misalnya memukul atao mengancam.).
- DAS- marijuana factor (stealing and generalized delinquency, and drug dealing and aggressive behavior; misalnya mencuri dan berkeinginan menjual kokoain).
Skala ini terdiri dari 40 item yang telah dimodifikasi oleh peneliti sesuai dengan keperluan yang ada dalam penelitian. Pengukuran ini menggunakan model
skala Guttman dengan jawaban Ya – Tidak. Untuk jawaban Ya diberi nilai 1 dan untuk jawaban Tidak diberi nilai 0.
Dari pengujian daya diskriminasi item yang telah dilakukan sebanyak tiga
kali terhadap 40 item angket kecenderungan perilaku delinkuensi, 27 item bertahan sedangkan 13 item dinyatakan gugur. Item-item tersebut mempunyai
koefisien daya diskriminasi item sebesar 0,250 – 0,506. Setelah itu dilakukan uji reliabilitas yang menggunakan cronbach’s alpha. Dari pengujian tersebut,
didapatkan hasil koefisien reliabilitas alat ukur ini sebesar 0,832. Hal tersebut menunjukkan bahwa alat ukur kecenderungan perilaku delinkuensi termasuk
dalam kategori reliabel.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Sebelum pengambilan data, terlebih dahulu peneliti meminta surat ijin di Fakultas Psikologi UKSW. Setelah
17
sehingga pengambilan data hanya dilakukan satu kali. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan hasil try out yang telah dilakukan sebagai bahan dalam menganalisis data. Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian diolah menggunakan bantuan
program komputer SPSS 16.0 for windows.
Uji Analisis otoritatif yang berada pada kategori tinggi dengan persentase 30,5%, 188 siswa memiliki
skor pola asuh otoritatif yang berada pada kategori sedang dengan persentase 65,27%, 13 siswa memiliki skor pola asuh otoritatif yang berada pada kategori rendah dengan presentase 4,16%. Berdasarkan rata-rata sebesar 91,77, dapat dikatakan bahwa rata-rata
pola asuh otoritatif berada pada kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 25 sampai dengan skor maksimum sebesar 125 dengan standard
18
sedang dengan persentase 43,75%, dan 157 siswa memiliki skor kecenderungan perilaku delinkuensi yang berada pada kategori rendah dengan presentase 54,51%. Dengan rata-rata sebesar 8,41, dapat dikatakan bahwa rata-rata-rata-rata kecenderungan perilaku delinkuensi
berada pada kategori rendah. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 0 sampai dengan skor maksimum sebesar 23 dengan standard deviasi 5,330.
Uji Normalitas
Data dikatakan normal bila memiliki nilai signifikasi lebih besar dari 0,05 (p > 0,05).
Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogrov-Smirnov, diperoleh hasil skor pola asuh otoritatif berdistribusi normal, dapat dilihat dari besarnya nilai K-S-Z sebesar 1,125 dengan nilai sign. = 0,159 (p > 0,05). Lain halnya dengan kecenderungan perilaku
delinkuensi yang tidak berdistribusi normal, dapat dilihat dari besarnya nilai K-S-Z sebesar 1,551 dengan nilai sign= 0,016 (p < 0,05).
Uji Linearitas
Dari hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda sebesar 1,952 dengan signifikansi p = 0,164 (p > 0.05) yang menunjukan hubungan antara variabel pola asuh otoritatif dengan
kecenderungan perilaku delinkuensi adalah linear.
Hasil Analisis Data
Perhitungan data analisis dilakukan setelah uji asumsi yang meliputi uji
normalitas dan uji linearitas. Perhitungan dalam analisis ini menggunakan koefisien korelasi Spearman's rho dihitung dengan SPSS versi 16 for windows. Hasil korelasi antara pola asuh otoritatif dengan kecenderungan perilaku delinkuensi dapat dilihat pada
19
Tabel 3.
Hasil Uji Korelasi antara Pola Asuh Otoritatif dengan Kecenderungan Perilaku Delinkuensi
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi Spearman's rho antara pola asuh otoritatif dengan kecenderungan perilaku delinkuensi -0,053 dengan sig. = 0,372 (p > 0.05). Hasil tersebut menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh otoritatif dengan kecenderungan perilaku delinkuensi pada siswa SMK
Negeri 5 Kab. Tangerang.
Pembahasan
Dari hasil perhitungan uji korelasi antara variabel pola asuh otoritatif dengan
kecenderungan perilaku delinkuensi didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut dengan besar korelasi -0,053 dengan signifikansi 0,372 (p > 0,05). Hal ini menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh
otoritatif dengan kecenderungan perilaku delinkuensi siswa SMK Negeri 5 Kab. Tangerang. Dengan demikian, dinyatakan dalam penelitian ini H0 diterima dan H1
ditolak.
20
signifikan dengan kenakalan remaja walaupun hal ini sangatlah penting bagi anak supaya dapat mengembangkan perilaku positif. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor keberfungsian keluarga dalam menerapkan pola asuh yang diberikan oleh orang tua
kepada anaknya. Pola asuh yang diterapkan orang tua berbeda-beda, tergantung pada status sosial orang tua dalam masyarakat, status sosial ekonomi orang tua, budaya tempat
tinggal, status anak dalam keluarga dan keutuhan keluarga itu sendiri. Pola asuh yang diterapkan orang tua merupakan usaha untuk mendidik dan membimbing anaknya agar dikemudian hari menjadi pribadi yang mampu bertahan di situasi sosial, realitas sosial
dan relasi sosial.
Timbulnya kenakalan remaja bukan karena murni dari remaja itu sendiri, tetapi
kenakalan itu merupakan efek samping dari hal-hal yang tidak dapat ditanggulangi oleh remaja dalam keluarganya. Bahkan orang tua itu sendiripun tidak mampu mengatasinya, akibatnya remaja menjadi korban keadaan keluarganya Soekanto (dalam Diah, 2004)
Penyebab perilaku delinkuensi meliputi konflik otoritas, tindakan agresi yang tertutup, identitas, distorsi kognitif, kendali diri, usia, jenis kelamin, harapan pendidikan dan nilai sekolah, peran pengasuhan orang tua (kurang pengawasan, kurang memperoleh
dukungan dan penerapan disiplin yang tidak efektif), relasi dengan saudara kandung dan kualitas dengan lingkungan rumah (Santrock, 2007). Menurut Tannebaum (Sarwini,
21
Dalam pergaulan sehari-hari sebagai makhluk sosial, maka baik penjahat maupun anak delinkuen itu hidup di tengah-tengah masyarakat bersama-sama dengan suatu kelompok tertentu. Kalau seseorang yang normal mungkin tidak mengalami kesulitan
menyesuaikan dirinya dengan kelompoknya. Namun tidak demikian kalau seseorang itu dalam kondisi atau keadaan tidak normal, ia akan mengalami kesulitan menyesuaikan
dirinya dengan kelompok yang lebih besar. Kelompok dimana seseorang hidup dan melangsungkan kegiatannya dapat berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Apalagi jika seseorang itu masih termasuk dalam kelompok anak yang masih labil kepribadiannya dan
masih dalam tahap pencarian jati dirinya. Mereka inilah yang dengan mudah dapat dipengaruhi ataupun diprovokasi oleh hal-hal negatif yang menjurus pada pelanggaran,
baik pelanggaran norma hukum maupun pelanggaran norma yang lain (Sarwini, 2011). Kurangnya pengetahuan para orang tua, para pendidik, dalam memahami kondisi psikologis remaja sehingga cara pengasuhan yang diberikan justru akan mendorong para
remaja untuk melawan, membuat kelompok serta norma atau nilai-nilai sendiri yang tidak jarang mengantarkan mereka pada perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma agama dan sosial. Para orang tua dan pendidik selama ini masih menggunakan cara
pengasuhannya pada pemberian doktrin, perintah, tanpa memberi ruang untuk bertanya, harus melakukan apa yang diperintahkan orang tua, orang tua lebih tau segalanya, dan
sementara itu seiring dengan perkembangan remaja pada ranah fisik, kognitif, sosial, psiko-seksual, dan emosi telah terjadi banyak pergeseran (Lubis, 2011).
Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Diah
(2014) menunjukkan adanya perbedaan perilaku kenakalan remaja yang sangat signifikan (sig = 0,000 < 0,01) ditinjau dari persepsi pola asuh orang tua pada siswa sekolah
22
demokratis memiliki perilaku kenakalan dalam kategori rendah. Dan penelitian ini juga bertolak belakang dengan penelitian Ninik (2011) didapatkan hasil bahwa orang tua remaja di RW V Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo dengan uji Spearman's rho
diperoleh nilai Sig. (2-tailed) atau pvalue 0,000 (karena pvalue < 0,05) maka H0 ditolak
dan H1 diterima yang artinya “ada hubungan pola asuh orang tua dengan kenakalan
remaja di RW V Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo”. Nilai koefisien korelasi
spearman sebesar 0,668 yang artinya menunjukkan bahwa arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi kuat. Namun dengan demikian, hasil penelitian tersebut tidak
terdukung dalam penelitian ini.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara pola asuh otoritatif dengan kecenderungan perilaku
delinkuenisi pada siswa SMK Negeri 5 Kab. Tangerang.
Saran Orang Tua
Karena dalam penelitian ini pola asuh otoritatif tidak berkaitan dengan perilaku delinkuensi anak, orang tua tidak hanya mengetahui apa yang dilakukan anak tetapi diharapkan memberikan wadah pada delinkuen terkait dengan efek atau dampak negatif
agar mereka tidak terjerumus kepada perilaku yang bersifat kriminal.
Guru
23
dengan perilaku delinkuensi serta adanya intermilasi antar orang tua, guru dan masyarakat.
Penelitian Selanjutnya
Bagi peneliti berikutnya dapat menggunakan metode penelitian yang berbeda, misalnya menggunakan metode kualitatif. Karena perilaku delinkuensi disebabkan oleh beberapa
24
DAFTAR PUSTAKA
2.008 Kasus Kriminal Dilakukan Anak-anak. (2012). Surat Kabar Elektronik Tangerang. Retrieved from http://www.kabar6.com/nasional/pendidikan/3682-2008-kasus-kriminal-dilakukan-anak-anak.html
Azwar, S. (2010). Metode penelitian. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Brandt, D. (2006). Delinquency, Development, and Social Policy. Yale University Press. London.
Cegah Aksi Tawuran, Polisi Amankan Senjata Tajam. (2014). Retrieved from
http://www.detakserang.com/today/item/1100-cegah-aksi-tawuran-polisi-amankan-senjata-tajam .
Chartika, E.D.P. (2012). Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Perkembangan Sosial Anak Usia Sekolah Di SDN Kledokan Depok Sleman Yogyakarta. Naskah Publikasi Universitas Respati Yogyakarta. Retrieved from https://www.scribd.com/doc/183340325/Jurnal-Charthika-Elisthinna-Dewi
Diah, R. N. (2014). Kenakalan Remaja Ditinjau dari Persepsi Pola Asuh Orang Tua Pada Siswa Sekolah Menengah. Jurnal Online Psikologi. 02 (01). Retrieved from http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=161316
Fatchurahman, M. & Herlan, P. (2012). Kepercayaan Diri, Kematangan Emosi, Pola Asuh Orang Tua Demokratis dan Kenakalan Remaja. Persona, Jurnal
Istianah R. A.(2008). Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Asuh Demokratis Ayah dan Ibu dengan Perilaku Disiplin Remaja. Jurnal Lentera Pendidikan, 11
(1). 69-82. Retrieved from
25
Kartono, K. (2013). Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
Kastutik & Setyowati, Rr. N. (2014). Perbedaan Perilaku Antisosial Remaja Ditinjau Dari Pola Asuh Orang Tua Di SMP NEGERI 4 Bojonegoro. Jurnal Kajian Moral dan Kewarganegaraan. 1 (2). 174-189. Retrieved from
http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-pendidikan-kewarganegaraa/article/view/6699/baca-artikel
Lim, J.C, Hasbullah, M., Ahmad, S., & Wu Shin Ling. (2013). Parental Attachment, Peer Attachment, and Delinquency among Adolescence in Selangor, Malaysia.
Asian Social Science. 9 (15), 214-219. Retrieved from
Paulus, H. (2008). Delinkuensi Anak. Malang: Banyumedia Publishing.
Purwandari, E. (2011). Keluarga, Kontrol Sosial, Dan “Strain”:Model Kontinuitas
Delinquency Remaja. Jurnal Humanitas. VIII (1), 32-48.
Reavy, R., Stein, L. A. R., Paiva, A., Quina, K., & Rossi, J.S. (2012). Validation of The Delinquent Activities Scale for Incarcerated Adolesents. Addictive Behaviors. 37, 875-879. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3356453/
_________________. (2012). Delinquent Activities Scale.
http://www.midss.org/content/delinquent-activities-scale-das
Robinson, C.C, Barbara, M, Olsen, S. F & Hart, C. H. (1995). Authoritative, Authotitarian, and Permissive Parenting Practice : Development Of a New Measure. 77, 819-830.
26
__________. (2012). Life – Span Development 13th edition. Alih Bahasa : Benedictine Widyasinta. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sarwini. (2011). Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency) : Kualitas dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Perspektif. XVI (4). 244-250. Retrieved from http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201209442514478516/5.pdf
Schohib, M. (2000). Pola Asuh Orangtua untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: PT Rineka Cipta.