• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta."

Copied!
300
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Marwati, Valentina Tris. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga di Lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, (2) mendeskripsikan penanda-penanda ketidaksantuan linguistik dan pragmatik, serta (3) mendeskripsikan maksud yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah berbagai macam cuplikan tuturan yang semuanya diambil secara natural dalam praktik-praktik perbincangan dalam ranah keluarga. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ialah petunjuk wawancara (daftar pertanyaan, pancingan, dan daftar kasus) dan blangko pengamatan dengan bekal teori ketidaksantunan berbahasa. Metode pengumpulan data yang digunakan, yaitu (1) metode simak dengan teknik dasar berupa teknik rekam dan teknik catat, serta (2) metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kontekstual.

(2)

ABSTRACT

Marwati, Valentina Tris. 2013. Impoliteness of Linguistics and Pragmatics at the Family Domain in Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research discusses impoliteness linguistic and pragmatic at the family domain in Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. The purpose of this research are (1) to describe the form of linguistics and pragmatics impoliteness, (2) to describe a sign of linguistics and pragmatics impoliteness, and (3) to describe the underlaying purpose of using impolite language forms at the family domain in Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.

Type of this research is descriptive qualitative. The data of this research is the various kinds of speech excerpts of which were taken naturally in conversation practices in family domain. The instrument used in this research are the interviews instructions (questionnaires, inducement, and a list of cases) and the observations form with language impoliteness theory as it is basic. Data collection method used in this research, consist of (1) observation method with recording techniques and record techniques as the basic, and (2) conversation method with provoke techniques as the basic. Analysis of the data in this research was conducted using contextual method.

(3)

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK

DALAM RANAH KELUARGA

DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN

YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh: Valentina Tris Marwati

091224088

POGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

i

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK

DALAM RANAH KELUARGA

DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN

YOGYAKARTA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Disusun oleh: Valentina Tris Marwati

091224088

POGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(5)

ii SKRIPSI

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK

DALAM RANAH KELUARGA

DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN

YOGYAKARTA

Disusun oleh: Valentina Tris Marwati

091224088

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

(6)

iii SKRIPSI

KETIDAKSANTUNAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK

DALAM RANAH KELUARGA

DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN

YOGYAKARTA

Dipersiapkan dan disusun oleh: Valentina Tris Marwati

091224088

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 17 Desember 2013 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih ... Sekretaris : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ... Anggota : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ... Anggota : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ... Anggota : Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum. ...

Yogyakarta, 17 Desember 2013

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(7)

iv MOTTO

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”

(Matius 6:33)

“Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu:

sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya.” ( Yohanes 6:27)

“Oleh karena itu, jangan merasa cemas karena kamu tidak bisa mempercepatnya. Jika kamu berjalan perlahan, kamu akan mencapai lebih dari mereka

(8)

v

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan skripsi ini untuk:

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria terkasih yang selalu memberkati, menyertai , dan melindungi dalam setiap langkah saya.

2. Orang tua tercinta, Bapak Valerianus Maryoso dan Ibu Theresia Widyaningsih yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan kesabaran bagi saya.

3. Adikku tersayang, Angela Yubiliana, yang selalu memberikan doa dan hiburan setiap saat.

4. Mbah Bu, Mbah Putri, Mbah Kakung yang terlebih dulu bertemu dengan Yesus, terima kasih sudah memberikan banyak hal dari masa kecil hingga remaja saya.

5. Simbah Kakung yang selalu memperhatikan dan memberikan dukungan kepada saya. 6. Teman-teman seperjuangan Clara Dhika Ninda Natalia, Katarina Yulita Simanulang,

Nuridang Fitra Nagara, dan Catarina Erni Riyanti yang mempunyai impian, doa, dan usaha yang sejalan dengan saya. Kebersamaan dengan kalian tidak akan pernah terlupakan

(9)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 17 Desember 2013 Penulis

(10)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Valentina Tris Marwati

Nomor Mahasiswa : 091224088

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

KETIDAKSANTUAN LINGUISTIK DAN PRAGMATIK DALAM RANAH

KELUARGA DI LINGKUNGAN KADIPATEN PAKUALAMAN

YOGYAKARTA

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 17 Desember 2013 Yang menyatakan

(11)

viii ABSTRAK

Marwati, Valentina Tris. 2013. Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga di Lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

Penelitian ini membahas ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, (2) mendeskripsikan penanda-penanda ketidaksantuan linguistik dan pragmatik, serta (3) mendeskripsikan maksud yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah berbagai macam cuplikan tuturan yang semuanya diambil secara natural dalam praktik-praktik perbincangan dalam ranah keluarga. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ialah petunjuk wawancara (daftar pertanyaan, pancingan, dan daftar kasus) dan blangko pengamatan dengan bekal teori ketidaksantunan berbahasa. Metode pengumpulan data yang digunakan, yaitu (1) metode simak dengan teknik dasar berupa teknik rekam dan teknik catat, serta (2) metode cakap dengan teknik dasar berupa teknik pancing. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kontekstual.

(12)

ix ABSTRACT

Marwati, Valentina Tris. 2013. Impoliteness of Linguistics and Pragmatics at the Family Domain in Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This research discusses impoliteness linguistic and pragmatic at the family domain in Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. The purpose of this research are (1) to describe the form of linguistics and pragmatics impoliteness, (2) to describe a sign of linguistics and pragmatics impoliteness, and (3) to describe the underlaying purpose of using impolite language forms at the family domain in Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.

Type of this research is descriptive qualitative. The data of this research is the various kinds of speech excerpts of which were taken naturally in conversation practices in family domain. The instrument used in this research are the interviews instructions (questionnaires, inducement, and a list of cases) and the observations form with language impoliteness theory as it is basic. Data collection method used in this research, consist of (1) observation method with recording techniques and record techniques as the basic, and (2) conversation method with provoke techniques as the basic. Analysis of the data in this research was conducted using contextual method.

(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat dan pernyertaan–Nya , skripsi yang berjudul Ketidaksantuan Linguistik dan Pragmatik dalam Ranah Keluarga di Lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi sesuai dengan kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (JPBS), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Caecilia Tutyandari, S.Pd., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Dr. Yuliana Setiyaningsih, selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

4. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

5. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, menasihati, dan memotivasi penulis selama proses penyusunan hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

6. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan pendampingan dan pengajaran yang bermanfaat bagi penulis selama proses perkuliahan.

(14)

xi

8. Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis.

9. K.G.P.A.A Paku Alam IX yang berkenan memberikan izin penelitian bagi penulis di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.

10. Bapak Valerianus Maryoso dan Ibu Theresia Widyaningsih, selaku orang tua penulis, serta Angela Yubiliana, selaku adik penulis yang telah memberikan kepercayaan, dukungan, doa, dan semangat.

11. Clara Dhika Ninda Natalia, Katarina Yulita Simanulang, Nuridang Fitra Nagara, dan Catarina Erni Riyanti yang telah mau berjuang bersama untuk menyelesaikan skripsi ini.

12. Rosalina Anik Setyorini, Cicilia Verlit Warasinta, Yuli Astuti, Agatha Wahyu Wigati, Bernadeta Febri, Risa Ferina, Jati Kurniawan, Ade Henta Hermawan, Ambrosius Bambang Sumarwanto, Yudha Hening Prinandito, Ignatius Satrio Nugroho, Dedi Setyo Heru Utomo, Yohanes Marwan Setiawan, Reinaldus Aldo Agasi, Fabianus Angga Renato, dan semua sahabat di Prodi PBSID angkatan 2009 yang telah memberikan berbagai bantuan, dukungan, doa, dan semangat bagi penulis.

13. Dyah Tri Wahyuni dan Putra Damara Subhan yang telah telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

14. Seluruh kerabat Pakualam, staf, dan warga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta yang bersedia membantu dan menjadi sumber data penelitian ini.

15. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Namun, penulis tetap berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan memberikan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.

Yogyakarta, 17 Desember 2013 Penulis

(15)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

HALAAN PERSEMBAHAN iv

HALAMAN MOTTO v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vii

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

KATA PENGANTAR x

DAFTAR ISI xii

DAFTAR BAGAN xvii

DAFTAR TABEL xviii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1Latar Belakang Masalah 1

1.2Rumusan Masalah 6

1.3Tujuan Penelitian 6

1.4Manfaat Penelitian 7

1.5Batasan Istilah 7

1.6Sistematika Penyajian 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA 10

2.1Penelitian yang Relevan 10

2.2Pragmatik 15

2.3Fenomena Pragmatik 17

2.3.1 Praanggapan 17

2.3.2 Tindak Tutur 18

(16)

xiii

2.3.4 Deiksis 21

2.3.5 Kesantunan 22

2.3.6 Ketidaksantunan 23

2.4Teori-teori Ketidaksantunan 24

2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher 24 2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfield 26 2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper 27 2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Terkourafi 29 2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and

Watts 31

2.5Konteks 33

2.6Unsur Segmental 42

2.6.1 Diksi 42

2.6.2 Gaya Bahasa 48

2.6.3 Kategori Fatis 50

2.7Unsur Suprasegmental 52

2.7.1 Nada 53

2.7.2 Tekanan 54

2.7.3 Intonasi 55

2.8Teori Maksud 56

2.9Kerangka Berpikir 58

BAB III METODE PENELITIAN 61

3.1Jenis Penelitian 61

3.2Data dan Sumber Data 62

3.3Metode dan Teknik Pengumpulan Data 63

3.4Instrumen Penelitian 65

3.5Metode dan Teknik Analisis Data 65

3.6Sajian Hasil Analisis Data 67

(17)

xiv

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 68

4.1 Deskripsi Data 68

4.1.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 70 4.1.2 Kategori KetidaksantunanMengancam Muka Sepihak 71 4.1.3 Kategori KetidaksantunanMelecehkan Muka 71 4.1.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 72 4.1.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik 73

4.2 Analisis Data 74

4.2.1 Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 74

4.2.1.1Subkategori Menjanjikan 75

4.2.1.2Subkategori Menolak 78

4.2.1.3Subkategori Kesal 80

4.2.2 Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak 82

4.2.2.1Subkategori Menyindir 82

4.2.2.2Subkategori Memerintah 85

4.2.2.3Subkategori Menjanjikan 89

4.2.2.4Subkategori Kesal 90

4.2.2.5Subkategori Mengejek 92

4.2.3 Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka 94

4.2.3.1Subkategori Kesal 95

4.2.3.2Subkategori Memerintah 98

4.2.3.3Subkategori Menyindir 101

4.2.3.4Subkategori Mengejek 104

4.2.3.5Subkategori Mengancam 107

4.2.4 Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 109

4.2.4.1Subkategori Menyindir 110

4.2.4.2Subkategori Mengejek 113

4.2.4.3Subkategori Menyalahkan 116

4.2.4.4Subkategori Memerintah 118

4.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik 121

(18)

xv

4.2.5.2Subkategori Mengancam 125

4.2.5.3Subkategori Memerintah 128

4.2.5.4Subkategori Mengejek 130

4.2.5.5Subkategori Menolak 132

4.2.5.6Subkategori Kesal 135

4.3 Pembahasan 137

4.3.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik 137 4.3.1.1Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 138 4.3.1.2Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak 140 4.3.1.3Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka 143 4.3.1.4Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 147 4.3.1.5Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik 150 4.3.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik 153 4.3.2.1Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 153 4.3.2.2Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak 154 4.3.2.3Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka 155 4.3.2.4Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka 157 4.3.2.5Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik 158

4.3.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur 183

4.3.3.1Maksud Menolak 184

4.3.3.2Maksud Memprotes 186

4.3.3.3Maksud Bercanda 187

4.3.3.4Maksud Memberikan Pengertian 189

4.3.3.5Maksud Mengancam 190

4.3.3.6Maksud Ketidaksenangan 190

4.3.3.7Maksud Menyindir 191

4.3.3.8Maksud Mengejek 192

4.3.3.9Maksud Kesal 193

4.3.3.10Maksud Meminta Tolong 194

4.3.3.11Maksud Menegur 194

(19)

xvi

4.3.3.13Maksud Melarang 196

4.3.3.14Maksud Menyalahkan 197

4.3.3.15Maksud Membandingkan 197

4.3.3.16Maksud Meremehkan 198

4.3.3.17Maksud Menakut-nakuti 199

BAB V PENUTUP 201

5.1Simpulan 201

5.1.1 Wujud Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik 201 5.1.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik 203

5.1.3 Maksud Ketidaksantunan Penutur 207

5.2Saran 208

5.2.1 Bagi Peneliti Lanjutan 208

5.2.2 Bagi Keluarga 209

DAFTAR PUSTAKA 210

LAMPIRAN 212

(20)

xvii

DAFTAR BAGAN

(21)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan 68 Tabel 2. Persentase Jumlah Data Tuturan berdasarkan Subkategori

Ketidaksantunan 69

Tabel 3. Data Tuturan Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma 70 Tabel 4. Data Tuturan Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka

Sepihak 71

(22)

1 BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penelitian.

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi. Komunikasi dilakukan supaya manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya. Definisi komunikasi menurut Onong Uchyana yang dikutip oleh Bungin (2006:31) mengatakan bahwa komunikasi sebagai proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa berupa gagasan, informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benak komunikator. Perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, keraguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Dengan demikian, bahasa sebagai alat komunikasi dapat diartikan juga sebagai alat penghubung sosial antara para penuturnya untuk berbagai kepentingan.

(23)

dalam bahasa tersebut, sedangkan makrolinguistik adalah bidang-bidang yang mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa (Nikelas, 1988:14). Di dalam perkembangannya, cabang ilmu linguistik yang menjadi objek kajian mikrolinguistik adalah fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, sedangkan objek yang termasuk dalam kajian makrolinguistik, yaitu pragmatik, sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, neurolinguistik, dan etnolinguistik.

Dari berbagai objek kajian makrolinguistik, kajian tentang pragmatik saat ini sedang menjadi topik hangat untuk dikembangkan dan diperdalam. Pragmatik menjadi menarik untuk dikaji lebih dalam karena tidak hanya melibatkan bagaimana orang saling memahami secara linguistik, tetapi studi ini juga mengharuskan kita untuk memahami orang lain dan apa yang ada dalam pikiran mereka. Ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Jadi, pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara eksternal dan makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks (Rahardi, 2003:16).

(24)

Bungin (2006:49–50) menyatakan bahwa strata sosial masyarakat mempengaruhi kebahasaan dalam berkomunikasi. Secara umum, strata sosial di masyarakat melahirkan kelas-kelas sosial yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu atas (upper class), menengah (middle class), dan bawah (lower class). Kelas atas mewakili kelompok elite di masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas. Kelas menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja, wiraswastawan, pedagang, dan kelompok fungsional lainnya, sedangkan kelas bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan semacamnya. Secara khusus, kelas sosial ini terjadi pada lingkungan-lingkungan khusus pada bidang tertentu sehingga content varian strata sosial sangat spesifik berlaku pada lingkungan itu. Strata sosial yang terdapat dalam masyarakat tentunya tidak hanya berpengaruh terhadap cara berkomunikasi di lingkungannya, tetapi juga akan mempengaruhi cara berkomunikasi di dalam keluarga.

(25)

berkomunikasi yang kurang baik. Pragmatik menyebut hal ini sebagai kesantunan dan ketidaksantunan berbahasa.

Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur atau penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Kesantunan dalam berkomunikasi tidak hanya tercermin dari tuturan saja, tetapi juga dari sikap atau perilaku penuturnya. Contoh sikap yang tidak santun, yaitu ketika seorang anak berbicara dengan orang tuanya dengan tetap bermain handphone, anak ini secara tidak langsung telah berperilaku tidak santun kepada orang tuanya.

Perbedaan strata sosial hanyalah salah satu faktor penyebab santun tidaknya suatu proses komunikasi. Faktor keadaan lingkungan dan kebudayaan masyarakat juga memberikan andil bagi terjadinya proses komunikasi yang santun. Cara berkomunikasi keluarga yang ada di lingkungan berbudaya Jawa, akan berdeda dengan cara berkomunikasi pada lingkungan berbudaya Batak, Sunda, Betawi, atau Bali.

(26)

kraton Pakualaman. Kebudayaan yang ada pada masyarakat di lingkungan Pakualaman tentu akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya.

Kesopanan dan keramahan yang ada pada masyarakat Yogyakarta tidak hanya ditunjukkan dengan tindakan, tetapi juga melalui bahasa. Kesopanan dan keramahan berbahasa tersebut akan semakin terlihat pada masyarakat yang tinggal di lingkungan kraton Pakualaman. Cara berbahasa warga di lingkungan kraton atau Pakualaman mungkin akan lebih santun karena terbiasa dengan cara berbahasa keluarga kraton yang termasuk keluarga bangsawan. Namun, dibalik kesantunan yang dijunjung oleh keluarga dan warga kraton atau Pakualaman, mungkin dapat terjadi bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa ketika berkomunikasi dengan para anggota keluarganya. Bentuk-bentuk ketidaksantunan ini muncul akibat mulai lunturnya kebudayaan bersopan santun dan ketidaktahuan santun tidaknya suatu tuturan saat berkomunikasi di dalam keluarga.

(27)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Wujud ketidaksantuan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang terdapat dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta? 2) Penanda ketidaksantuan linguistik dan pragmatik apa sajakah yang digunakan

oleh keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta?

3) Maksud apa sajakah yang mendasari orang menggunakan bentuk-bentuk kebahasaan yang tidak santun dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan wujud-wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik dalam ranah keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. 2) Mendeskripsikan penanda-penanda ketidaksantuan linguistik dan pragmatik

yang digunakan oleh keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.

(28)

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hasil dan manfaat bagi berbagai pihak. Manfaat-manfaat tersebut antara lain sebagai berikut.

1) Manfaat teoretis

a) Penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu bahasa, khususnya pragmatik di Prodi PBSI.

b) Berbagai kajian teori yang digunakan di dalam penelitian ini dapat memperluas kajian dan memperkaya wawasan teoretis tentang ketidaksantunan dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik baru. 2) Manfaat praktis

a) Penelitian ini dapat digunakan oleh para penutur dalam lingkup keluarga untuk mempertimbangkan bentuk-bentuk ketidaksantunan berbahasa yang harus dihindari dalam berkomunikasi.

b) Penelitian ini diharapkan dapat memperkuat pendidikan karakter dalam lingkup keluarga yang merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.

1.5 Batasan Istilah

1) Ketidaksantunan berbahasa

Penggunaan bahasa penutur yang dianggap tidak berkenan oleh mitra tutur.

2) Linguistik

(29)

3) Pragmatik

Studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks tuturannya (Levinson 1983 dalam Rahardi, 2003:13–14).

4) Ketidaksantunan linguistik

Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari aspek-aspek linguistik suatu tuturan.

5) Ketidaksantunan pragmatik

Ketidaksantunan berbahasa yang dikaji dari konteks situasi yang menyertai suatu tuturan.

6) Keluarga

Ibu dan bapak beserta anak-anaknya; orang seisi rumah yang menjadi tangungan; satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat (Depdiknas, 2008:659)

1.6 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I adalah bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian.

(30)

ketidaksantunan, (5) konteks, (6) unsur segmental, (7) unsur suprasegmental, (8) teori maksud, dan (9) kerangka berpikir.

Bab III berisi metode penelitian yang memuat tentang cara dan prosedur yang akan digunakan oleh peneliti untuk memperoleh data. Bab III berisi urai (1) jenis penelitian, (2) data dan sumber data, (3) metode dan teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan teknik analisis data, (6) sajian hasil analisis data, dan (7) trianggulasi hasil analisis data.

(31)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tentang tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, fenomena pragmatik, teori ketidaksantunan, konteks, unsur segmental, unsur suprasegmental, dan teori maksud. Kerangka berpikir berisi tentang acuan teori yang berdasarkan pada penelitian yang relevan dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah.

2.1Penelitian yang Relevan

(32)
(33)

menghilangkan muka yakni penutur mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang.

(34)

menghilangkan muka, mempermalukan mitra tutur di depan banyak orang, dan e) mengancam muka, menyebabkan ancaman pada mitra tutur.

(35)

muka yakni penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok.

(36)

candaannya tersebut dapat menimbulkan konflik, (4) makna penanda ketidaksantunan menghilangkan muka adalah penutur membuat mitra tutur benar-benar malu di hadapan banyak orang, dan (5) makna penanda ketidaksantunan mengancam muka adalah penutur memberikan ancaman atau tekanan kepada mitra tutur yang menyebabkan mitra tutur terpojok dan tidak memberikan pilihan bagi mitra tutur.

Keempat penelitian di atas merupakan penelitian yang mengkaji ketidaksantunan berbahasa linguistik dan pragmatik. Oleh karena itu, keempat penelitian ketidaksantunan berbahasa tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk mengkaji fenomena ketidaksantunan berbahasa yang juga dikaji dalam penelitian ini. Hal yang membedakan penelitian ini dengan keempat penelitian tersebut adalah ranah penelitiannya. Keempat penelitian tersebut meneliti ketidaksantunan berbahasa dalam ranah pendidikan, sedangkan penelitian ini meneliti ketidaksantunan berbahasa dalam ranah keluarga, khususnya keluarga di lingkungan Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.

2.2Pragmatik

(37)

lingkup yang tercakup dalam pragmatik. Pertama, pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Kedua, pragmatik adalah studi tentang makna kontekstual. Ketiga, pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan. Keempat, pragmatik adalah studi tentang ungkapan dari jarak hubungan. Jadi, pragmatik itu menarik karena melibatkan bagaimana orang saling memahami satu sama lain secara linguistik.

Rahardi (2003:16) menjelaskan bahwa ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan sosial-budaya tertentu. Pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara eksternal dan makna yang dikaji dalam pragmatik bersifat terikat konteks. Selain Rahardi, Yan Huang (2007:2) juga memberikan pendapatnya mengenai definisi pragmatik yaitu pragmatics is the systematic study of meaning by virtue, or dependent on, the use of language. The central topics of inquiry o pragmaticts include implicature, presupposition, speech acts, and diexis. Pragmatik adalah studi sistematis makna berdasarkan atau tergantung pada penggunaan bahasa. Topik-topik utama kajian pragmatik memuat implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan dieksis.

(38)

dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut [penekanan ditambahkan].

Levinson (1983 dalam Rahardi, 2003:13–14) mendefinisikan sosok pragmatik sebagai studi perihal ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks tuturannya. Batasan ilmu bahasa pragmatik dari Levinson itu selengkapnya dapat dilihat pada kutipan berikut. Pragmatics is the study of thoose relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language (Lenvinson, 1983:9).

Berdasarkan berbagai pendapat dari para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pragmatik adalah bagian dari studi linguistik yang mengkaji penggunaan bahasa. Pengkajian bahasa dalam pragmatik akan selalu terikat dengan koteks dari pengguna bahasa tersebut.

2.3Fenomena Pragmatik

Pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang berkembang telah mengkaji enam fenomena, yaitu praanggapan, tindak tutur, implikatur, dieksis, kesantunan, dan ketidaksantunan. Keenam fenomena tersebut akan dijelasakan lebih lanjut sebagai berikut.

2.3.1 Praanggapan

(39)

telah memiliki persamaan informasi. Fenomena mengenai suatu informasi yang dianggap penutur sudah diketahui oleh mitra tutur ini, dalam pragmatik disebut praanggapan.

Yule (2006:43) mendefinisikan praanggapan atau pesupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yule membagi presupposisi menjadi enam jenis, yaitu eksistensial, faktif, non-faktif, leksikal, struktural, dan konterfaktual atau faktual tandingan. Wijana dalam Nadar (2009:65) menyatakan sebuah kalimat dalam tuturan dinyatakan mempresuposisikan kalimat yang lain jika ketidakbenaran kalimat yang kedua (kalimat yang dipresuposisikan) mengakibatkan kalimat pertama (kalimat yang mempresuposisikan) tidak dapat dikatakan benar atau salah.

2.3.2 Tindak Tutur

Aktivitas bertutur disebut juga sebagai tindak tutur. Saat bertutur, setiap tuturan selalu mengandung tiga tindakan sekaligus. Ketiga tindakan tersebut adalah lokusi, ilokusi dan perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuat dengan maksud dan fungsi yang tertentu pula. Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada diri sang mitra tutur (Rahardi, 2003:71–72).

(40)

1) Deklarasi adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Pernyataan deklarasi, misalnya berpasrah, memecat, membaptis, memberi nama, mengangkat, mengucilkan, dan menghukum (Rahardi, 2006:71). Pada waktu menggunakan deklarasi, penutur mengubah dunia dengan kata-kata.

2) Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian tentang sesuatu yang diyakini oleh penutur. Pada waktu menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).

3) Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Rahardi (2003:71) menambahkan pernyataan ekspresif tersebut, seperti berterima kasih, memberi selamat, meminta maaf, menyalahkan, memuji, dan berbelasungkawa. Tindak tutur itu mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman penutur.

(41)

permohonan, pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif.

5) Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengaitkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Pada waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan kata-kata (lewat penutur).

2.3.3 Implikatur

Di dalam sebuah pertuturan yang sesungguhnya, si penutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan yang dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan yang tidak tertuis, bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu sudah saling dimengerti dan saling dipahami. Grice (1975) dalam Rahardi (2003) menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan semacam itu disebut implikatur percakapan (Rahardi, 2006:85).

(42)

dikatakan bahwa implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Yule (2006) membedakan implikatur menjadi lima jenis, yaitu implikatur percakapan, implikatur percakapan umum, implikatur berskala, implikatur percakapan khusus, dan implikatur konvensional.

2.3.4 Deiksis

Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang dilakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut ungkapan deiksis (Yule, 2006:13). Yule (2006) membagi deiksis menjadi tiga, yaitu deiksis persona untuk menunjuk orang, deiksis spasial untuk menunjuk tempat, dan deiksis temporal untuk menunjuk waktu.

Penafsiran deiksis tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-ungkapan itu mengungkapan jarak hubungan. Diberikannya ukuran kecil dan rentangan yang sangat luas dari kemungkinan pemakainya, ungkapan-ungkapan deiksis selalu menyampaikan lebih banyak hal daripada yang diucapkan (Yule, 2006:26)

(43)

tergantung pada pemahaman deiksis yang dipergunakan oleh seorang penutur (Nadar, 2009:4–5).

2.3.5 Kesantunan

Bahasa merupakan cermin kepribadian setiap orang. Dengan adanya bahasa verbal maupun nonverbal, setiap orang dapat menilai baik atau buruk orang lain. Pranowo (2009:3) mendefinisikan bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak gerik tubuh, sikap atau perilaku.

Bahasa dan tindakan yang perlu dikembangkan adalah kepribadian yang baik dan santun. Seorang yang berkepribadian baik dan santun tentu mampu menjaga harga dirinya dan dapat menghormati orang lain. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Fenomena kesantunan dalam masyarakat ini telah menjadi kajian tersendiri dalam ilmu pragmatik. Adanya fenomena kesantunan berbahasa telah memunculkan berbagai teori kesantunan dari para ahli.

Pranowo dalam bukunya yang berjudul “Berbahasa secara Santun

(44)

komunikasi), act sequen (pesan yang ingin disampaikan), key (kunci), instrumentalities (peranti), norms (norma), dan genre (kategori). Kedua ialah Grice (1978) yang mengidentifikasi kesantunan harus memperhatikan empat prinsip kerja sama, yaitu prinsip kualitas, prinsip kuantitas, prinsip relevansi, dan prinsip cara. Ketiga adalah Leech (1983) dengan tujuh maksim kesantunannya. Ketujuh maksim tersebut adalah maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, maksim simpati, dan maksim pertimbangan. Keempat ialah Pranowo (2005) yang mengemukakan enam indikator kesantunan. Angon rasa, adu rasa, empan papan, sifat rendah hati, sikap hormat, dan sikap tepa selira merupakan indikator kesantunan tersebut.

2.3.6 Ketidaksantunan

Kaidah yang selama ini disosialisaikan kepada masyarakat adalah kaidah bahasa yang baik dan benar. Padahal, ketika berkomunikasi, penggunaan bahasa yang baik dan benar saja belum cukup. Seseorang yang mampu berbahasa secara baik berarti sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan situasi, sedangkan berbahasa yang benar adalah berbahasa sesuai dengan kaidah tertentu. Namun, masih ada satu kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan. Ketika seorang sedang berkomunikasi, hendaknya di samping baik dan benar juga santun (Pranowo, 2009:4–5).

(45)

suatu permasalahan dalam masyarakat. Permasalahan ini kemudian menjadi fenomena baru dalam studi pragmatik. Sebelum fenomena ketidaksantunan ini muncul, pragmatik telah mengkaji lima fenomena yang menjadi bagian kajian pragmatik, seperti dipaparkan pada bagian sebelumnya. Oleh karena itu, fenomena ketidaksantunan yang berkembang di masyrakat, khususnya dalam lingkungan keluarga, menjadi fenomena baru yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Karena kajian pragmatik selalu terikat pada konteks, ketidaksantunan juga akan dikaji dengan melmperhatikan konteks situasi pengguna tuturan.

2.4Teori-teori Ketidaksantunan

Penelitian ini mengkaji fenomena ketidaksantuan berbahasa dalam lingkungan keluarga. Oleh karena itu, berikut ini akan dikemukakan beberapa teori ketidaksantunan berbahasa yang diungkapkan oleh para ahli dalam buku Impoliteness in Language: Studies on its Interplay with Power in Teory and Practice yang disusun oleh Bousfield dan Locher (2008) dan telah diartikan oleh

Rahardi (2012) dalam presentasinya “Penelitian Kompetensi: Ketidaksantunan

Pragmatik dan Linguistik Berbahasa dalam Ranah Keluarga (Family Domain)”.

2.4.1 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher

Miriam A Locher (2008) berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dapat dipahami sebagai berikut, ‘…behaviour that is face-aggravating in a particular context.’ Maksudnya, ketidaksantunan berbahasa itu menunjuk

(46)

berkaitan dengan definisi Locher terhadap ketidaksantunan berbahasa ini adalah bahwa tindakan tersebut sesungguhnya bukanlah sekadar perilaku ‘melecehkan muka’, melainkan perilaku yang ‘memain-mainkan muka’. Jadi, ketidaksantunan

berbahasa dalam pemahaman Miriam A. Locher adalah sebagai tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka, sebagaimana yang dilambangkan

dengan kata ‘aggravate’ itu.

Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

1) Situasi:

Keluarga sedang melakukan persiapan untuk menghadiri undangan pesta ulang tahun salah satu kerabat. Sang kakak yang telah selesai berias, memperhatikan penampilan adiknya yang hanya mengenakan kaos yang dirasa tidak pantas dipakai dalam acara tersebut.

2) Wujud tuturan:

a) Kakak : “Dik, nggak ada baju lain apa?” b) Adik : “Emangnya kalau pakai ini kenapa?”

c) Kakak : “Nggak pantes ah! Kayak mau ke pasar tau! Ganti sana! Udah gede kok nggak bisa dandan.”

(47)

Dengan memperhatikan ilustrasi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher ini menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk menyinggung mitra tuturnya.

2.4.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Bousfiled

Bousfield (2008:3) berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ (gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful), maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan.

Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

1) Situasi:

Pada siang hari, kakak hendak beristirahat. Namun, sang adik yang sedang bermain dengan teman-temannya terlalu mengganggu istirahat kakaknya. 2) Wujud tuturan:

(48)

b) Adik : “Ye... yang mau tidur kan Mbak, kok yang ribet aku? Kalau mau tidur, ya tinggal tidur ta. Gitu aja kok repot.”

Dari percakapan tersebut, dapat diketahui bahwa sang kakak berusaha menegur sang adik dan teman-temannya supaya tidak berisik. Teguran ini dapat dilihat pada kalimat a) yang dituturkan dengan nada tegas. Tuturan a) tersebut ingin menegaskan bahwa sang adik perlu memberikan ketenangan supaya sang kakak bisa tidur siang. Namun, sang adik tidak mengindahkan teguran kakaknya melainkan memberikan komentar yang membuat sang kakak merasa jengkel. Komentar tersebut dapat dilihat pada kalimat b) yang menandakan tuturan disampaikan dengan sembrono. Dengan hal itu, tuturan sang adik tersebut dapat menimbulkan konflik dengan sang kakak yang bertindak sebagai penutur dan mitra tutur.

Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield (2008) ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud selain untuk melecehkan dan menghina mitra tuturnya dengan tanggapan semaunya secara sengaja sehingga dapat memungkinkan adanya konflik diantara penutur dan mitra tutur.

2.4.3 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Culpeper

(49)

Dia memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau ‘kehilangan muka’—kalau dalam bahasa Jawa mungkin konsep itu dekat dengan konsep ‘kelangan rai’ (kehilangan muka). Culpeper memberikan penekanan pada fakta ‘face loss’ atau fakta ‘kehilangan muka’ untuk menjelaskan konsep ketidaksantunan dalam

berbahasa. Sebuah tuturan akan dianggap sebagai tuturan yang tidak santun jika tuturan itu menjadikan muka seseorang hilang. Jadi, ketidaksantunan (impoliteness) dalam berbahasa itu merupakan perilaku komunikatif yang diperantikan secara intensional untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss), atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka.

Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

1) Situasi:

Pada suatu kesempatan, seluruh anggota keluarga sedang menonton televisi di ruang keluarga. Ketika acara televisi menayangkan sebuah drama percintaan, sang ibu bertanya kepada anak perempuannya yang belum mempunyai kekasih sehingga menarik perhatian anggota keluarga yang lain.

2) Wujud tuturan:

a) Ibu : “Nduk, kamu tu kapan mau cari pacar?”

b) Anak : “Sabar aja ta Bu.”

c) Ibu : “Udah umur 22 kok masih belum punya pacar. Jangan-

jangan kamu ndak normal, Nduk. Ndak suka sama laki-laki ya?” (anggota

keluarga lain tertawa)

(50)

Dari ilustrasi percakapan di atas, dapat diketahui bahwa sang ibu ingin menggoda anak perempuannya yang belum juga memiliki kekasih di usianya ke-22. Namun, dalam percakapan tersebut terdapat sebuah tuturan yang tidak santun, yaitu pada tuturan d). Meskipun kalimat tuturan tersebut dikatakan dengan nada santai dan dalam konteks bergurau, kalimat tersebut dapat menyinggung perasaan dan membuat malu (kehilangan muka) sang anak sebagai mitra tutur di depan anggota keluarga yang lain.

Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk mempermalukan mitra tuturnya.

2.4.4 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Tekourafi

Terkourafi (2008:3–4) memandang ketidaksantunan sebagai, ‘impoliteness occurs when the expression used is not conventionalized relative to

the context of occurrence; it threatens the addressee’s face but no

face-threatening intention is attributed to the speaker by the hearer.’ Jadi, perilaku

(51)

Konsep mengenai perilaku ketidaksantunan berbahasa ini dapat diilustrasikan dengan situasi berikut.

1) Situasi:

Suatu ketika, keluarga mendapatkan kunjungan dari teman kantor sang bapak. Di ruang lain, sang anak sedang asyik menonton televisi. Karena jarak ruang menonton televisi hanya berada di sebelah ruang tamu, suara televisi dan teretawa sang anak terdengar jelas dari ruang tamu, sehingga mengganggu percakapan bapak dan tamunya.

2) Wujud tuturan.

a) Bapak : “Dik, Mbok suara televisinya ki dikecilkan! Bapak lagi ada tamu.”

b) Anak : “Apa Pak? Nggak kedengeran.”

c) Bapak : “Suaranya itu lho dikecilin!” (mendekati sang anak)

d) Anak : “Ih, Bapak mah lagi lucu ki lho. Kan tamunya juga nggak merasa tertanggu ta.” (cemberut)

(52)

tanggapan anaknya, tetapi sang anak tidak menyadari kalau tanggapannya membuat sang bapak tersinggung.

Berdasarkan ilustrasi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa teori ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi (2008) ini lebih menitikberatkan pada bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk mengancam muka sepihak mitra tuturnya tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur.

2.4.5 Teori Ketidaksantunan Berbahasa dalam Pandangan Locher and Watts

Locher and Watts (2008:5) berpandangan bahwa perilaku tidak santun adalah perilaku yang secara normatif dianggap negatif (negatively marked behavior) karena melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kedua ahli tersebut juga menegaskan bahwa ketidaksantunan merupakan peranti untuk menegosiasikan hubungan antarsesama (a means to negotiate meaning). Selengkapnya pandangan mereka tentang ketidaksantunan tampak berikut ini, ‘…impolite behaviour and face-aggravating behaviour more generally is as much as this negation as polite versions of behavior.’ (cf. Lohcer and Watts, 2008:5).

(53)

1) Situasi:

Saat masuk ke kamar anaknya, ibu melihat kamar anaknya sangat berantakkan. Ibu menjadi marah karena keluarga sudah bersepakat bahwa kebersihan kamar menjadi tanggung jawab pemilik kamar.

2) Wujud tuturan:

a) Ibu : “Dik, kenapa kamarmu berantakan sekali?”

b) Anak : “Hehe, belum aku beresin.”

c) Ibu : “Ibu pokoknya nggak mau tahu, cepet beresin kamar kamu. Ibu

nggak mau bersihin, wong itu kamar kamu.” d) Anak : “Males ah, Bu. Ibu aja deh yang beresin.”

e) Ibu : “Nggak mau. Udah ada kesepakatannya, kebersihan kamar jadi

tanggung jawab pemilik kamar.”

Percakapan di atas memperlihatkan bahwa sang anak tidak merasa bersalah dengan tidakannya. Pertanyaan ibu pada kalimat a) dijawab dengan santai tanpa rasa bersalah oleh sang anak pada kalimat b). Tuturan pada kalimat d) menunjukkan bahwa sang anak tidak menghiraukan kesepakatan yang telah dibuat bersama dengan anggota keluarga lainnya. Tuturan tersebut merupakan tuturan yang tidak santun karena telah mengacuhkan dan melanggar kesepakatan yang telah menjadi peraturan dalam keluarga tersebut.

(54)

Dari teori-teori ketidaksantunan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa (1) dalam pandangan Miriam A. Locher ketidaksantunan berbahasa merupakan tindak berbahasa yang melecehkan muka dan memain-mainkan muka sehingga membuat mitra tutur tersinggung, (2) ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield adalah perilaku berbahasa yang mengancam muka dan dilakukan secara sembrono (gratuitous) sehingga dapat menimbulkan konflik antara penutur dan mitra tutur, (3) ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper merupakan perilaku berbahasa yang dapat membuat orang benar-benar kehilangan muka (face loss) atau setidaknya orang tersebut ‘merasa’ kehilangan muka, (4) ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi merupakan bentuk penggunaan ketidaksantunan tuturan oleh penutur yang memiliki maksud untuk mengancam muka sepihak mitra tuturnya, tetapi di sisi lain penutur tidak menyadari bahwa perkataannya menyinggung mitra tutur, dan (5) ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts adalah perilaku berbahasa yang secara normatif dianggap negatif, lantaran melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Kelima teori ketidaksantunan berbahasa tersebut akan digunakan sebagai landasan untuk melihat praktik ketidaksantunan berbahasa yang terjadi di dalam keluarga.

2.5Konteks

Pada tahun 1923, Malinowsky telah memunculkan istilah konteks,

khususnya konteks yang berdimensi situasi atau ‘context of situation’.

(55)

spoken or written languages, a word without linguistics context is a mere figment and stands for nothing by itself, so in the reality of a spoken living tongue, the utterance has no meaning except in the context of situation.’ Jadi, di dalam

pandangannya sesungguhnya dinyatakan bahwa kehadiran konteks situasi menjadi mutlak untuk menjadikan sebuah tuturan benar-benar bermakna (Rahardi, 2012).

Sesuai dengan pandangan Malinowsky tersebut, para ahli linguistik dan pragmatik berpendapat bahwa studi pragmatik akan selalu terikat dengan kontek. Pragmatik adalah studi ilmu bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks situasi tuturan yang ada di dalam masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahinya. Konteks situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada aneka macam kemungkinan latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh si penutur maupun oleh mitra tutur, serta aspek-aspek non-kebahasaan lainnya yang menyertai, mewadahi, serta melatarbelakangi hadirnya sebuah tuturan (Rahardi, 2003: 18).

Konteks dalam istilah Leech (1983) disebut ‘speech situation’. Leech (1983) dalam Wijana (1996:10−13) mengemukakan sejumlah aspek yang

senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik, sehubungan dengan bermacam-macamnya maksud yang dikomunikasikan oleh penuturan sebuah tuturan. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut.

1) Penutur dan lawan tutur

(56)

latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.

2) Konteks tuturan

Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back gorund knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.

3) Tujuan penutur

Bentuk-bentk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Ada perbedaan yang mendasar antara pandangan pragmatik yang bersifat fungsional dengan pandangan gramatika yang bersifat formal. Di dalam pandangan yang bersifat formal, setiap bentuk lingual yang berbeda tentu memiliki makna yang berbeda.

4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas

(57)

semantik, dan sebagainya, pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini, pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.

5) Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Sebagai contoh, kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang? Dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini, dapat ditegaskan ada perbedaan yang mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.

(58)

1) ‘The utterer’ dan ‘The Interpteter’

Pembicara dan lawan bicara, penutur dan mitra tutur, atau ‘the utterer’ and ‘the interpreter’ adalah dimensi paling signifikan dalam

pragmatik. Dalam hal ini, ‘pembicara’ atau ‘penutur’ (utterer) itu memiliki banyak suara (many voices), sedangkan mitra tutur atau mitra wicara atau interpreter, lazimnya dikatakan memiliki banyak peran. Penutur atau pembicara, atau yang lazim disebut ‘the speaker’ dan ‘the utterer’, memang memiliki banyak kemungkinan kata. Bahkan ada kalanya pula, seorang penutur atau ‘utterer’ dapat berperan sebagai ‘interpreter’. Jadi, dia sebagai penutur atau pembicara, tetapi juga sekaligus dia sebagai pengintepretasi atas apa yang sedang diucapkannya itu.

Hal lain lagi yang juga mutlak harus diperhatikan dan diperhitungkan dalam kaitan dengan ‘utterer’ dan ‘interpreter’ atau ‘pembicara’ dan ‘mitra wicara’ adalah jenis kelamin, adat-kebiasaan, dan

semacamnya. Hal tersebut adalah perihal ‘the influence of numbers’ alias ‘pengaruh dari jumlah’ orang yang hadir dalam sebuah pertutursapaan.

(59)

2) Aspek-aspek Mental ‘Language Users’

Dalam konteks pragmatik, aspek kepribadian atau ‘personality’ dari penutur dan mitra tutur, ‘utterer’ dan ‘interpreter’, ternyata mengambil peranan yang sangat dominan. Selain dimensi ‘personality’, aspek yang harus diperhatikan dalam kaitan dengan komponen penutur dan mitra tutur ini adalah aspek warna emosinya (emotions). Seseorang yang memiliki warna emosi dan temperamen tinggi, cenderung akan berbicara dengan nada dan nuansa makna yang tinggi pula. Akan tetapi, seseorang yang warna emosinya tidak terlampau dominan, dia cenderung akan berbicara sabar. Selain dimensi ‘personality’ dan ‘emotions’, terdapat pula dimensi ‘desires’ atau ‘wishes’,

dimensi ‘motivations’ atau ‘intentions’, serta dimensi kepercayaan atau

‘beliefs’ yang juga harus diperhatikan dalam kerangka perbicangan konteks

pragmatik ini.

Dimensi-dimensi mental ‘language users’ berpengaruh besar terhadap dimensi kognisi dan emosi penutur dan mitra tutur dalam pertuturan sebenarnya. Dengan demikian harus dikatakan pula, bahwa dimensi mental penutur dan mitra tutur tidak bisa tidak harus dilibatkan dalam analisis pragmatik karena semuanya berpengaruh terhadap warna dan nuansa interaksi dalam komunikasi .

3) Aspek-aspek Sosial ‘Language Users’

(60)

kultur atau budaya tertentu tersebut harus dilibatkan di dalamnya. Aspek-aspek sosial, atau dapat pula diistilahkan sebagai ‘social setting’ alias seting sosial atau oleh Verschueren (1998) disebut ‘ingredient of the communicative context’ harus diperhatikan dengan benar-benar baik dalam analisis

pragmatik. Aspek kultur juga merupakan satu hal yang sangat penting sebagai penentu makna dalam pragmatik, khususnya yang berkaitan dengan aspek ‘norms and values of culture’ dari masyarakat bersangkutan.

Dimensi-dimensi sosial lain yang harus diperhatikan dalam pragmatik, khususnya dalam kaitan dengan konteks pragmatik, dalam pandangan Verschueren (1998:92) adalah: ‘…social class, ethnicity and race, nationality, linguistic group, religion, age, level of education, profession, kinship, gender, sexual preference…’. Verschueren melibatkan tingkat sosial,

etnisitas dan ras, kebangsaan, kelompok linguistik, religi, usia, tingkat pendidikan, profesi, kekerabatan, jenis kelamin, preferensi seksual. Begitu kompleks dimensi-dimensi sosial yang harus dilibatkan dalam konteks pragmatik.

4) Aspek-aspek Fisik ‘Language Users’

(61)

perbincangan konteks pragmatik ini, semuanya harus diperhatikan dan diperhitungkan dengan benar-benar baik dan cermat.

Deiksis persona, lazimnya menunjuk pada penggunaan kata ganti orang, misalnya saja dalam bahasa Indonesia kurang ada kejelasan kapan harus digunakan kata ‘kita’ dan ‘kami’. Kejanggalan lain juga ditemukan pada pemakaian antara ‘saya’ dan ‘kami’. Adapun ‘attitudinal deixis’ berkaitan sangat erat dengan bagaimana kita harus memperlakukan panggilan-panggilan persona seperti yang disampaikan di depan itu dengan tepat sesuai dengan referensi sosial dan sosietalnya. Deiksis-deiksis dalam jenis yang disampaikan di depan itu semuanya merupakan aspek fisik ‘language users’, yang secara sederhana dimaknai sebagai ‘penutur’ dan ‘mitra tutur’, sebagai ‘utterer’ dan ‘interpreter’.

Selanjutnya masih berkaitan dengan persoalan diksis pula, tetapi yang sifatnya temporal, harus diperhatikan misalnya saja, kapan harus digunakan ucapan ‘selamat pagi’ atau ‘pagi’ saja dalam bahasa Indonesia. Masalah tersebut berkaitan dengan deiksis waktu (temporal deixis). Perhatian juga harus diberikan tidak saja pada dimensi waktu atau ‘temporal reference’ seperti yang ditunjukkan di depan tadi, khususnya dalam kaitan dengan deiksis-deiksis waktu, tetapi juga pada dimensi tempat atau dimensi lokasi, atau yang oleh Verschueren (1998:98) disebut sebagai ‘spatial reference’. Konsep ‘spatial reference’ menunjuk pada konsepsi gerakan atau ‘conception of motion’, yakni gerakan dari titik tempat tertentu ke dalam titik tempat yang

(62)

Aspek-aspek fisik konteks lain di luar apa yang disebutkan di depan itu adalah ihwal jarak spasial atau ‘space distance’. Pengaturan distansi atau jarak dalam pengertian bertutur dilakukan bukan oleh ‘utterer’ saja, atau ‘interpreter’ saja, melainkan oleh kedua belah pihak secara bersama-sama.

Terdapat semacam pengaturan ‘motion’ untuk menentukan ‘jarak’ atau ‘distansi’ dalam bertutur.

Jika Verschueren (1998) menjelaskan mengenai empat dimensi konteks yang mendasar untuk memahami sebuah tuturan, Hymes menggunakan istilah ‘komponen tutur’ dalam menjelaskan tentang konteks. Hymes dalam Sumarsono

(2008:325−334) menuturkan bahwa ada enam belas komponen tutur, yaitu (1)

bentuk pesan (message form), (2) isi pesan (message content), (3) latar (setting), (4) suasana (scene), (5) penutur (speaker, sender), (6) pengirim (addressor), (7) pendengar (hearer, receiver, audience), (8) penerima (addressee), (9) maksud-hasil (purpose-outcome), (10) maksud-tujuan (purpose-goal), (11) kunci (key), (12) saluran (channel), (13) bentuk tutur (forms of speech), (14) norma interaksi (norm of interaction), (15) norma interpretasi (norm of interpretation), dan (16) kategori wacana (genre). Namun, dalam Nugroho (2009:119), Hymes meringkas keenam belas komponen tutur tersebut menjadi delapan komponen tutur yang

disingkat menjadi ‘SPEAKING’. Kedelapan komponen tutur tersebut meliputi

(63)

Selain itu, ada empat hal penting yang dicatat oleh Nugroho (2009:122) mengenai konteks. Pertama, konteks merupakan konsep yang dinamis. Kedua, Konteks terdiri dari tiga unsur, yaitu konteks situasi, konteks pengetahuan, dan koteks. Ketiga, konteks berorientasi pada pengguna. Keempat, konteks digunakan untuk memahami semua faktor yang berperan dalam produksi dan komprehensi tuturan (Jumanto, 2008:31 dalam Nugroho).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bawa konteks merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan situasi dan kondisi penutur dan mitra tutur dengan latar belakang pengetahuan yang sama terhadap sesuatu yang dituturkan dan dimaksudkan oleh penutur. Konteks juga disertai dengan komponen-komponen tuturan yang sangat mempengaruhi tuturan seseorang. Jadi, kehadiran konteks berhubungan dengan produksi dan penafsiran dari tuturan.

2.6Unsur Segmental

Unsur segmental adalah unsur yang ada dalam kalimat tertulis. Oleh sebab itu, unsur segmental digunakan untuk mewujudkan tuturan lisan menjadi tulisan. Unsur segmental terdiri dari diksi, gaya bahasa, dan kategori fatis. Berikut ini adalah penjelasan dari ketiga unsur tersebut.

2.6.1 Diksi

(64)

suatu situasi. Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa.

Pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu pertama, ketepatan pemilihan kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan, dan kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata tadi. Berikut persyaratan ketepatan diksi (Keraf, 1987:73–75).

1) Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi.

Denotasi dan konotasi merupakan makna yang terkandung dalam suatu kata. Kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan disebut denotasi, sedangkan makna kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, nilai rasa tertentu di samping arti yang umum, dinamakan konotasi.

Gambar

Tabel 4. Data Tuturan Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka
Tabel 1. Jumlah Data Tuturan berdasarkan Kategori Ketidaksantunan
Tabel 2. Persentase Jumlah Data Tuturan berdasarkan Subkategori
Tabel 3. Data Tuturan Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma
+4

Referensi

Dokumen terkait

integrating evidence, such as Bayesian approaches, can be used for incorporating 21st century science into all elements of risk assessment..

a) Guru meminta siswa membaca teks qira’ah dalam hati. b) Guru mengartikan mufrodat baru di papan tulis dan siswa mencatatnya. c) Guru membimbing siswa untuk menemukan

Analisis tersebut dikenal dengan analisis Z-Score yang dapat memprediksi secara akurat tentang kinerja perusahaan.Perusahaan mampu diliat potensi kemungkinan kondisi

Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti maka tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui proses internalisasi KI 1 dan KI 2 dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen pada pembelian kopi oven Buriyah di Jember, (2) Untuk

Dengan kata lain, hal ini berarti bahwa secara bersama-sama variabel-variabel bebas yang meliputi tingkat inflasi, dan pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh yang

pembelajaran kimia materi unsur transisi sebagai sumber belajar mandiri peserta didik kelas XII SMA/MA, diharapkan peserta didik/pembaca dapat.6. 4 memperoleh

Tugas akhir dengan judul “Rancang Bangun Aplikasi Toko Buku Online Menggunakan Framework Laravel” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang strata