• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1) Wujud ketidaksantunan linguistik Tuturan (C4): “Yak yakan!” (Sembrono!)

4.2.4.3 Subkategori Menyalahkan

Subkategori menyalahkan dalam kategori menghilangkan muka muncul akibat penutur yang merasa bahwa mitra tutur telah melakukan suatu kesalahan. Namun, akibat dari tuturan tidak santun yang sengaja dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur tersinggung dan malu. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori menyalahkan.

Cuplikan tuturan 37

P : “Mak, prajurit sing klambine ireng-ireng kae jenenge apa?”

(Mak, prajurit yang bajunya hitam-hitam itu namanya apa?) MT : “Sik endi? Prajurit ireng pa?”

(Yang mana? Prajurit ireng kah?)

P : “Ngawur, sembarangan wae, ngawur dudu kuwi!” (D5) (Sembrono, sembarangan saja, sembrono bukan itu.)

(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 35 tahun, sebagai anak dari mitra tutur. Mitra tutur seorang perempuan berumur 58 tahun. Penutur sedang duduk bersantai di luar rumah, saat sore hari. Penutur bertanya kepada mitra tutur yang baru saja keluar dari rumah. Mitra tutur duduk di sebelah penutur Penutur menganggap jawaban mitra tutur salah.)

Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.

1) Wujud ketidaksantunan linguistik

Tuturan (D5): “Ngawur, sembarangan wae, ngawur dudu kuwi!” (Sembrono, sembarangan saja, sembrono bukan itu.)

2) Wujud ketidaksantunan pragmatik

Tuturan (D5): Penutur memberikan sangkalan dengan kasar. Penutur berbicara sangat dekat dengan mitra tutur. Penutur berbicara kepada orang tua. Penutur telah membuat mitra tutur malu.

3) Penanda ketidaksantunan linguistik

Tuturan (D5): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar. Bahasa nonstandar ditandai dengan penyisipan kata “sembarangan” yang merupakan kata dalam bahasa Indonesia. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada kata “ngawur”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi seru.

4) Penanda ketidaksantunan pragmatik

Konteks tuturan (D5): Penutur perempuan berumur 35 tahun, sebagai anak dari mitra tutur. Mitra tutur seorang perempuan berumur 58 tahun. Penutur sedang duduk bersantai di luar rumah, saat sore hari. Penutur bertanya kepada mitra tutur yang baru saja keluar dari rumah. Mitra tutur duduk di sebelah penutur. Penutur menganggap jawaban mitra tutur salah. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur menyangkal jawaban mitra tutur. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur berpikir ulang dan berbicara dengan volume suara yang lebih kecil.

5) Maksud ketidaksantunan penutur

Tuturan (D5): Penutur bermaksud mengungkapkan rasa kesalnya kepada mitra tutur yang memberikan jawaban salah.

4.2.4.4Subkategori Memerintah

Subkategori memerintah dalam kategori menghilangkan muka terjadi ketika tuturan penutur seolah-olah atau memang bermaksud memberikan perintah kepada mitra tutur. Namun, akibat dari tuturan tidak santun yang sengaja dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur tersinggung dan malu. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori memerintah.

Cuplikan tuturan 41

P : “Ayo bali! Dolan wae.” (D9) (Ayo pulang! Main terus.) MT : (diam saja)

(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 40 tahun. Mitra tutur laki-laki berumur 9 tahun. Penutur adalah ayah dari mitra tutur. Tuturan terjadi di luar rumah, saat siang hari. Mitra tutur bermain di lapangan dekat rumahnya bersama dengan teman-temannya. Penutur hendak pulang ke rumah menggunakan motor. Penutur melihat mitra tutur masih bermain.)

Cuplikan tuturan 42

MT : “Mbah, buatin mie goreng!”

P : “Kono gawe dewe! Cah wedok masak wae ra iso.” (D10) (Sana buat sendiri! Anak perempuan memasak saja tidak bisa.) MT : (diam saja)

(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 58 tahun. Mitra tutur perempuan berumur 12 tahun. Penutur adalah nenek dari mitra tutur. Tuturan terjadi di luar rumah, saat siang hari. Mitra tutur meminta penutur untuk menggorengkan telur. Penutur tidak mau menggorengkan telur karena menganggap mitra tutur sudah besar dan sudah harus bisa memasak sendiri.)

Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.

1) Wujud ketidaksantunan linguistik

Tuturan (D9): “Ayo bali! Dolan wae.” (Ayo pulang! Main terus.)

Tuturan (D10): “Kono gawe dewe! Cah wedok masak wae ra iso.” (Sana buat sendiri! Anak perempuan memasak saja tidak bisa.) 2) Wujud ketidaksantunan pragmatik

Tuturan (D9): Penutur beribicara dengan berteriak. Penutur berbicara dengan menunjukan ekspresi marah. Penutur telah membuat mitra tutur malu dan takut. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah anaknya.

Tuturan (D10): Penutur berbicara dengan volume yang keras. Penutur tidak menghiraukan mitra tutur. Penutur dengan sengaja berbicara seperti meremehkan mitra tutur. Penutur telah membuat mitra tutur malu dan tersinggung. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah anaknya.

3) Penanda ketidaksantunan linguistik

Tuturan (D9): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar. Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Kata fatis yang terdapat dalam tuturan (D9) ialah “ayo”. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada frasa “ayo bali”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi perintah.

Tuturan (D10): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar. Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Penutur

berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada kata “kana”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi perintah.

4) Penanda ketidaksantunan pragmatik

Konteks tuturan (D9): Penutur laki-laki berumur 40 tahun. Mitra tutur laki- laki berumur 9 tahun. Penutur adalah ayah dari mitra tutur. Tuturan terjadi di luar rumah, saat siang hari. Mitra tutur bermain di lapangan dekat rumahnya bersama dengan teman-temannya. Penutur hendak pulang ke rumah menggunakan motor. Penutur melihat mitra tutur masih bermain. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur menyuruh pulang mitra tutur. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah direktif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur diam saja karena malu diteriaki oleh penutur. Konteks tuturan (D10): Penutur perempuan berumur 58 tahun. Mitra tutur perempuan berumur 12 tahun. Penutur adalah nenek dari mitra tutur. Tuturan terjadi di luar rumah, saat siang hari. Mitra tutur meminta penutur untuk menggorengkan telur. Penutur tidak mau menggorengkan telur karena menganggap mitra tutur sudah besar dan sudah harus bisa memasak sendiri. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur menolak untuk menggorengkan telur. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah direktif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur diam saja, lalu masuk ke dalam rumah.

5) Maksud ketidaksantunan penutur

Tuturan (D9): Penutur bermaksud menyuruh atau memerintahkan mitra tutur untuk segera pulang ke rumah.

Tuturan (D10): Penutur bermaksud memotivasi mitra tutur supaya bisa memasak sendiri.

4.2.5 Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik

Bousfield (2008:3) berpandangan bahwa ketidaksantunan dalam berbahasa dipahami sebagai, ‘The issuing of intentionally gratuitous and conflictive face-threatening acts (FTAs) that are purposefully perfomed.’ Bousfield memberikan penekanan pada dimensi ‘kesembronoan’ (gratuitous), dan konfliktif (conflictive) dalam praktik berbahasa yang tidak santun. Jadi, apabila perilaku berbahasa seseorang itu mengancam muka, dan ancaman terhadap muka itu dilakukan secara sembrono (gratuitous), hingga akhirnya tindakan berkategori sembrono demikian itu mendatangkan konflik, atau bahkan pertengkaran, dan tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan (purposeful), maka tindakan berbahasa itu merupakan realitas ketidaksantunan.

Suatu tuturan dalam kategori menimbulkan konflik terjadi bila penutur secara sengaja mengucapkan suatu tuturan yang dapat menimbulkan konflik di antara penutur dan mitra tutur. Hal inilah yang membuat suatu tuturan dalam kategori ini menjadi tidak santun.

Tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik ditemukan sembilan tuturan. Kesembilan tuturan tersebut terbagi dalam enam subkategori, yaitu subkategori melarang, mengancam, memerintah, mengejek, menolak, dan kesal. Berikut ini wujud dari kesembilan tuturan tersebut.