• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2) Subkategori mengancam

4.3.2 Penanda Ketidaksantunan Linguistik dan Pragmatik

Seperti halnya wujud ketidaksantunan, penanda ketidaksantunan juga dibedakan ke dalam bagian linguistik dan pragmatik. Penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan unsur segmental dan suprasegmental suatu kalimat atau tuturan, sedangkan penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut. Sebelum membahas lebih lanjut, berikut ini diperlihatkan tuturan-tuturan dari kelima kategori ketidaksantunan, yaitu melanggar norma, mengancam muka sepihak, melecehkan muka, menghilangkan muka, dan menimbulkan konflik.yang menjadi contoh di dalam pembahasan penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik.

4.3.2.1Kategori Ketidaksantunan Melanggar Norma

Berikut ini adalah contoh tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan melanggar norma.

1) Subkategori menjanjikan

Tuturan (A1): “Bentar ta, Ma! Lagi seru game-nya.”

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur sedang bermain game sampai lupa waktu. Mitra tutur mengingatkan penutur untuk berhenti bermain karena sudah waktunya untuk belajar. Penutur tidak mengindahkan perintah mitra tutur.)

Tuturan (A3): “Kosik ta, iya-iya dilit maneh.” (Sebentar ta, iya-iya sebentar lagi)

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang makan, saat sore hari. Penutur asyik bermain laptop. Mitra tutur mengingatkan penutur untuk mematikan laptop karena sudah waktunya untuk belajar. Penutur tidak mengindahkan perintah mitra tutur.)

2) Subkategori menolak

Tuturan (A2): “Ah males. Pisan-pisan ora ya ra papa ta, Bu.” (Ah malas. Sekali-sekali tidak kan tidak apa-apa, Bu)

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang makan, saat sore hari. Penutur dan mitra tutur sedang makan malam. Di dalam keluarga penutur, ada peraturan bahwa setelah makan, setiap orang harus mencuci piring sendiri-sendiri. Setelah selesai makan, penutur meminta mitra tutur untuk mencucikan piring miliknya. Mitra tutur menolak untuk mencucikan piring pernutur)

3) Subkategori kesal

Tuturan (A4): “Ya ampun, Bu. Lagi jam sanga masak wis malem ta?” (Ya ampun, Bu. Baru jam sembilan masak sudah malam?)

(Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah, saat malam hari. Penutur baru pulang ke rumah. Penutur melihat mitra tutur yang baru saja pulang. Mitra tutur mengingatkan penutur bahwa ia pulang sudah terlalu malam. Mitra tutur memperbolehkan penutur pergi sampai jam delapan malam.)

4.3.2.2Kategori Ketidaksantunan Mengancam Muka Sepihak

Berikut ini adalah contoh tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan mengancam muka sepihak.

1) Subkategori menyindir

Tuturan (B7): “Masalahnya kamu itu ngeyel.”

(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah, saat sore hari. Mitra tutur bertanya kepada penutur mengapa orang tuanya tidak mau membelikan sepeda. Penutur menjawab pertanyaan mitra tutur.)

Tuturan (B8): “Diajari bola-bali kok ra dong-dong!” (Dilatih berkali-kali kok tidak mengerti!)

(Konteks: Tuturan terjadi ruang keluarga, saat sore hari. Mitra tutur meminta bantuan penutur untuk mengajarinya memakai komputer. Penutur sudah berkali-kali mengajari mitra tutur. Mitra tutur tidak bisa mengingat ajaran penutur.)

2) Subkategori memerintah

Tuturan (B2): “Udah-udah sana, karo mama kana!” (Sudah-sudah sana, sama mama sana.)

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat siang hari. Penutur sedang mengerjakan tugas. Mitra tutur mengajak penutur bermain sehingga

mengganggu pekerjaan penutur. Penutur yang merasa terganggu meminta mitra tutur untuk bermain dengan ibunya.)

Tuturan (B5): “Mbah, ngelih Mbah. Cepet ta Mbah, selak laper je Mbah!” (Mbah lapar Mbah, cepat Mbah sudah lapar Mbah.)

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang tamu, saat siang hari. Penutur melihat mitra tutur memasak. Penutur tidak membantu mitra tutur yang memasak.Mitra tutur tidak tahu kalau penutur juga berada di dapur.)

3) Subkategori menjanjikan

Tuturan (B3): “Dipakai-dipakai. Iya sebentar ta, pakai-pakai.”

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat siang hari. Penutur sedang menggendong adik mitra tutur. Mitra tutur meminta penutur untuk memakaikan baju superman. Penutur belum bisa memakaikan baju kepada penutur karena masih menggendong adik mitra tutur.)

4) Subkategori kesal

Tuturan (B4): “Nggak suka mbah kakung.”

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang tamu, saat siang hari. Penutur berbincang dengan mitra tutur 1. Mitra tutur 1 bertanya kepada penutur mengapa takut kepada mitra tutur 2. Mitra tutur 2 mendengar tuturan penutur.)

5) Subkategori mengejek

Tuturan (B6): “Iya, ora kaya kowe kuwi! Isih nganggur wae.” (Iya, tidak seperti kamu itu! Masih menganggur saja.)

(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah, saat sore hari. Mitra tutur menceritakan temannya yang sudah memiliki pekerjaan. Penutur menimpali cerita mitra tutur.)

4.3.2.3Kategori Ketidaksantunan Melecehkan Muka

Berikut ini adalah contoh tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan melecehkan muka.

1) Subkategori kesal

Tuturan (C4): “Yak yakan!” (Sembrono!)

(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah penutur saat siang hari. Mitra tutur sedang bermain dengan anak penutur di tempat yang sama. Mitra tutur tidak sengaja menginjak kaki penutur saat berjalan ke dalam rumah penutur. Penutur menegur mitra tutur yang dianggap tidak memperhatikan jalan.)

Tuturan (C7): “Has luweh! Sak karep omonganmu opo.” (Tidak peduli! Terserah omonganmu apa.)

(Konteks: Tuturan terjadi di dapur, saat malam hari. Mitra tutur sedang memasak. Penutur menemani mitra tutur memasak. Mitra tutur mencoba membuka pembicaraan dengan penutur. Topik pembicaraan yang diangkat oleh mitra tutur tidak berkenan oleh penutur.)

2) Subkategori memerintah

Tuturan (C3): “Ya kana gawe dewe! Wong kowe yang laper.” (Ya sana buat sendiri! Kan kamu yang lapar.)

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang tamu pada saat siang hari. Penutur sedang menerima tamu di rumah. Mitra tutur baru saja pulang dari sekolah. Penutur tidak menyiapkan makan siang, padahal mitra tutur sudah lapar.) Tuturan (C9): “Acara kaya ngono ditonton. Ganti!” (Acara seperti itu

ditonton. Ganti!)

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur datang mendekati mitra tutur karena ingin menonton televisi juga. Mitra tutur menonton sinetron sesukaannya. Mitra tutur tidak suka menonton sinetron.)

3) Subkategori menyindir

Tuturan (C13): “Wis tutuk le dolan?” (Sudah puas yang main?)

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat sore menjelang maghrib. Mitra tutur baru pulang ke rumah setelah pergi selama sepuluh jam. Penutur melihat mitra tutur masuk ke rumah.)

Tuturan (C18): “Rasah-rasah! Gaweanmu wae ra rampung-rampung.” (Tidak usah-tidak usah! Kerjaan kamu saja tidak selesai- selesai.)

(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah, saat sore hari. Penutur sedang memotong sayur untuk dimasak. Mitra tutur bermaksud membantu penutur untuk memotong sayuran. Mitra tutur bertugas mengupas bawang. Mitra tutur belum selesai mengupas bawang.)

4) Subkategori mengejek

Tuturan (C6): “Dasar anake wong edan!” (Dasar anaknya orang gila!) (Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah saat sore hari. Mitra tutur berjalan melewati penutur sambil bernyanyi. Penutur melihat mitra tutur yang berjalan sambil bernyanyi.)

Tuturan (C16): “Percuma punya hape bagus-bagus, tapi nggak bisa pakainya.”

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang ruang keluarga, saat sore hari. Penutur melihat mitra tutur belajar memakai handphone baru. Penutur merasa iri karena mitra tutur punya handphone baru.)

5) Subkategori mengacam

Tuturan (C11): ”Tenane? Awas nek salah, kowe lho!” (Beneran? Awas kalau salah, kamu lho!)

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat malam hari. Penutur sedang belajar. Mitra tutur menenami penutur belajar. Penutur bertanya kepada mitra tutur tentang suatu soal. Penutur merasa jawaban mitra tutur tidak meyakinkan.)

4.3.2.4Kategori Ketidaksantunan Menghilangkan Muka

Berikut ini adalah contoh tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan menghilangkan muka.

1) Subkategori menyindir

Tuturan (D2): “Kalau pas ada ibue, kesete.” (Kalau waktu ada ibunya, malasnya.)

(Konteks: Tuturan terjadi di dalam ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur 1 bertamu di rumah penutur. Mitra tutur 1 bertanya tentang sifat rajin mitra tutur 2. Mitra tutur 2 mengantarkan minuman untuk penutur dan mitra tutur.) Tuturan (D4): “Itu Mbak bapaknya gajinya kurang.”

(Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah, saat sore hari. Penutur sedang berbincang-bincang dengan tetangga di depan rumah dalam keadaan santai. Mitra tutur 1 menghampiri penutur untuk menanyakan nama pemilik rumah yang berada di samping rumah penutur. Penutur menjawab pertanyaan mitra tutur 1. Penutur melihat sang pemilik rumah, mitra tutur 2, berada di luar rumah.)

2) Subkategori mengejek

Tuturan (D3): “Wah nek ibue ki bodho, Mbak.” (Wah ibunya itu bodoh, Mbak.)

(Konteks: Tuturan terjadi di dalam ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur 1 bertamu di rumah penutur. Mitra tutur 1 bertanya tentang pendidikan mitra tutur 2. Mitra tutur 2 ada di luar rumah. Mitra tutur mendengar tuturan penutur.)

Tuturan (D13): “Hpne ibu ki wis jadul.” (Hpnya ibu itu sudah jadul.)

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat sore hari. Penutur meminta handphone baru kepada mitra tutur. Mitra tutur menganjurkan penutur untuk memakai handphone penutur dulu. Penutur tidak mau memakai handphone penutur.)

3) Subkategori menyalahkan

Tuturan (D5): “Ngawur, sembarangan wae, ngawur dudu kuwi!” (Sembrono, sembarangan saja, sembrono bukan itu.)

(Konteks: Tuturan terjadi saat penutur sedang duduk bersantai di luar rumah, sore hari. Penutur bertanya kepada mitra tutur yang baru saja keluar dari rumah. Mitra tutur duduk di sebelah penutur Penutur menganggap jawaban mitra tutur salah.)

4) Subkategori memerintah

Tuturan (D9): “Ayo bali! Dolan wae.” (Ayo pulang! Main terus.)

(Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah, saat siang hari. Mitra tutur bermain di lapangan dekat rumahnya bersama dengan teman-temannya. Penutur hendak pulang ke rumah menggunakan motor. Penutur melihat mitra tutur masih bermain.)

Tuturan (D10): “Kono gawe dewe! Cah wedok masak wae ra iso.” (Sana buat sendiri! Anak perempuan memasak saja tidak bisa.) (Konteks: Tuturan terjadi di luar rumah, saat siang hari. Mitra tutur meminta penutur untuk menggorengkan telur. Penutur tidak mau menggorengkan telur karena menganggap mitra tutur sudah besar dan sudah harus bisa memasak sendiri.)

4.3.2.5Kategori Ketidaksantunan Menimbulkan Konflik

Berikut ini adalah contoh tuturan yang termasuk dalam kategori ketidaksantunan menimbulkan konflik.

1) Subkategori melarang

Tuturan (E1): “Nggak boleh! Dasar kamu, pipis (kata umpatan)!”

(Konteks: Tuturan terjadi saat penutur bermain playstation di rumah setelah pulang sekolah. Penutur tidak mau digangu saat bermain. Penutur tidak memperbolehkan mitra tutur yang ingin meminjam playstation penutur.) Tuturan (E2): “Ndak boleh! Ini buat aku.”

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang bermain yang ada di rumah saat siang hari. Penutur sedang bermain dengan mitra tutur di tempat bermain. Mitra

tutur tiba-tiba merebut mainan mobil-mobilan penutur. Penutur tidak mau kalau mainan mobil-mobilannya direbut.)

2) Subkategori mengancam

Tuturan (E3): “Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, tak obrak-

abrik!” (Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, aku

porak-porandakan!)

(Konteks: Tuturan terjadi di rumah saat pagi hari. Penutur akan berangkat sekolah. Penutur melihat ada sesaji yang sengaja diletakkan oleh anggota keluarga di rumahnya. Penutur tidak suka kalau di rumahnya ada sesaji. Penutur mengancam mitra tutur.)

Tuturan (E7): “Tak grujug Kowe! Sekali bapak ngomong, jangan dibantah!” (Saya siram Kamu! Sekali bapal bicara, jangan dibantah!) (Konteks: Tuturan terjadi di ruang makan, saat sore hari menjelang maghrib. Penutur sedang menasihati mitra tutur yang telat pulang ke rumah. Mitra tutur mencoba membela diri. Penutur tidak menerima penjelasan dari mitra tutur.)

3) Subkategori memerintah

Tuturan (E4): “Wong yang satu masih kok, sana ambil! Itu di dalam sana, heran.”

(Konteks: Tuturan terjadi di depan rumah, saat penutur sedang bersantai di waktu sore. Mitra tutur datang minta dibuatkan susu. Penutur tidak mau membuatkan susu karena susu yang sebelumnya belum habis diminum oleh mitra tutur.)

4) Subkategori mengejek

Tuturan (E5): “Yo ben, yo ben.” (Biarin, biarin.)

(Konteks: Tuturan terjadi di lapangan bola yang berada di dekat rumah penutur, saat mahgrib penutur sedang bermain dengan teman-temannya di lapangan. Mitra tutur menyuruh penutur untuk pulang ke rumah karena sudah maghib. Penutur tidak mau pulang ke rumah.)

5) Subkategori menolak

Tuturan (E6): “Ah mengko! Karo mas Ardha wae.” (Ah nanti! Dengan mas Ardha saja.)

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur menyuruh penutur untuk mandi karena sudah sore.)

Tuturan (E9): “Wegah! Mas wae kae lho.” (Tidak mau! Mas saja itu lho.) (Konteks: Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat pagi hari. Mitra tutur 1 menyuruh penutur untuk membeli sabun di warung. Mitra tutur 2 sedang mengerjakan PR. Penutur sedang menonton televisi. Penutur tidak mau membelikan sabun karena malas.)

6) Subkategori kesal

Tuturan (E8): “Senengane nek ngrampungke gawean kok ora tuntas!” (Sukanya kalau mengerjakan tugas kok tidak tuntas!)

(Konteks: Tuturan terjadi di ruang makan, saat pagi hari. Mitra tutur sedang mengepel lantai. Penutur berjalan melewati mitra tutur. Mitra tutur meminta penutur untuk mengeringkan lantai yang masih basah. Penutur masih memiliki tanggungan pekerjaan rumah yang lain.)

Setelah melihat contoh-contoh tuturan tersebut, pembahasan mengenai penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik adalah sebagai berikut.

Penanda ketidaksantunan dilihat dari kajian linguistik dan pragmatik. Penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan unsur segmental dan suprasegmental suatu kalimat atau tuturan, sedangkan penanda ketidaksantunan pragmatik dapat dilihat berdasarkan konteks yang melingkupi tuturan tersebut.

Pranowo (2009:76) berpendapat bahwa aspek penentu kesantunan dalam bahasa lisan antara lain aspek intonasi (keras lembutnya intonasi ketika seseorang berbicara), aspek nada bicara (berkaitan dengan suasana emosi penutur: nada resmi, nada bercanda atau bergurau, nada mengejek, nada menyindir), faktor pilihan kata, dan faktor struktur kalimat. Sesuai dengan pendapat tersebut, penanda ketidaksantunan linguistik dapat dilihat dari unsur segmental dan unsur suprasegmental kalimat. Unsur segmental dalam kalimat yang akan dikaji sebagai penanda ketidaksantunan linguistik terdiri dari diksi dan partikel atau kata fatis,

sedangkan unsur suprasegmental yang akan dikaji sebagai penanda ketidaksantunan linguistik terdiri dari intonasi, tekanan, dan nada.

Unsur segmental yang pertama adalah diksi. Gorys Keraf (1987) menjelaskan bahwa pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa- nuansa makna dari gagasan yang disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Diksi atau pilihan kata merupakan salah satu penentu kesantunan dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Ketika seorang sedang bertutur, kata- kaata yang digunakan dipilih sesuai dengan topik yang dibicarakan, konteks pembicaraan, suasana mitra tutur, pesan yang disampaikan dan sebagainya (Pranowo, 2009:77). Dengan berdasarkan data tuturan, diksi digunakan untuk mempertegas santun tidaknya maksud suatu tuturan. Pemakaian diksi dalam tuturan tersebut juga dipengaruhi oleh bahasa yang berkembang dalam keluarga atau masyarakat. Penggunaan bahasa yang ditemukan dalam tuturan tidak santun dalam keluarga adalah bahasa nonstandar dan bahasa populer.

Bahasa nonstandar merupakan bahasa yang dipakai untuk pergaulan biasa, tidak dipakai dalam tulisan-tulisan. Kadang-kadang unsur nonstandar dipergunakan juga oleh kaum terpelajar dalam senda-gurau, berhumor, atau untuk

menyatakan sarkasme atau menyatakan ciri-ciri kedaerahan. Bahasa nonstandar yang digunakan yang ditemukan hampir di seluruh tuturan setiap kategori. Penggunaan bahasa nonstandar ini dipengaruhi oleh identitas masyarakat yang semuanya merupakan masyarakat Jawa. Oleh sebab itu, dalam komunikasi sehari- hari angota keluarga juga menggunakan bahasa Jawa.

Pada kategori melanggar norma, tuturan (A1) sampai dengan (A4) memakai bahasa nonstandar. Tuturan (A1) termasuk dalam bahasa nonstandar karena tuturan tersebut memakai kata tidak baku dalam bahasa Indonesia, yaitu kata “bentar” yang seharusnya “sebentar”. Selain itu, tuturan (A1) juga menyisipkan kata “lagi” dalam bahasa Jawa yang berarti “sedang”. Selanjutnya tuturan (A2) dan (A3) termasuk dalam bahasa nonstandar karena kedua tuturan tersebut memakai bahasa Jawa. Seperti halnya tuturan (A2) dan (A3), tuturan (A4) juga termasuk dalam bahasa nonstandar karena tuturan tersebut juga menggunakan bahasa Jawa dan adanya kata tidak baku dalam bahasa Indonesia, yaitu kata “malem” yang seharusnya “malam”.

Pemakaian bahasa nonstandar pada kategori mengancam muka sepihak terdapat pada tuturan (B2), (B4), (B5), (B6), dan (B8). Tuturan (B2) memakai bahasa nonstandar ditandai dengan pemakaian bahasa Indonesia yang disipisi kata dalam bahasa Jawa, yaitu kata “karo” dan “kana” yang berarti “dengan” dan “sana”. Pada tuturan (B4), bahasa nonstandar ditandai dengan pemakaian bahasa kata tidak baku dalam bahasa Indonesia, yaitu kata “nggak” yang seharusnya “tidak”. Selanjutnya untuk tuturan (B5), pemakaian bahasa nonstandar dalam tuturan tersebut ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa dan penyisipan kata

tidak baku dalam bahasa Indonesia, yaitu kata “laper” yang seharusnya kata “lapar”. Selain tuturan (B5), pemakaian bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa juga terdapat dalam tuturan (B6), dan (B8).

Kategori selanjutnya adalah kategori menghilangkan muka. Pada kategori ini bahasa nonstandar ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa yang terdapat pada tuturan (C4), (C6), (C7), (C9), (C11), (C13), dan (C18). Pemakaian bahasa Jawa juga terdapat dapat pada tuturan (C3). Namun, tanda yang membuat tuturan (C3) termasuk dalam bahasa nonstandar adalah adanya pemakaian kata tidak baku dalam bahasa Indonesia, yaitu kata “laper” yang seharusnya “lapar. Tuturan lain yang juga termasuk dalam bahasa nonstandar adalah tuturan (C16). Meskipun tuturan (C16) menggunakan bahasa Indonesia, tuturan ini juga termasuk dalam bahasa nonstandar karena pemakaian kata tidak baku, yaitu kata “tapi”, “nggak”, dan “pakainya” yang seharusnya “tetapi”, “tidak”, dan “memakainya”.

Pemakaian bahasa nonstandar juga terdapat pada kategori menghilangkan muka. Bahasa nonstandar yang ditandai dengan pemakaian bahasa Jawa terdapat pada tuturan (D3), (D5), (D9), (D10), dan (D13). Selain itu, tuturan (D2) juga termasuk bahasa nonstandar karena tuturan tersebut disisipi kata dalam bahasa Jawa, yaitu kata “kesete” yang berarti “malasnya”. Selain itu, penyisipan kata dalam bahasa Indonesia juga menjadi tanda bahasa nonstandar, seperti pada tuturan (D5) yang memakai kata “sembarangan”.

Kategori selanjutnya adalah kategori menimbulkan konflik. Pada kategori ini, tuturan yang memakai bahasa nonstandar terdapat dapa tuturan (E1), (E3), (E5) s.d. (E9). Bahasa nonstandar pada tuturan (E1) ditandai dengan pemakaian

kata dalam bahasa Indonesia yang tidak baku, yaitu kata “nggak” seharusnya “tidak”. Pada tuturan (E3), bahasa nonstandar ditandai dengan pemakaian frasa dalam bahasa Indonesia, yaitu “tak obrak-abrik” yang berarti “aku porak-

porandakan”. Selanjutnya, tanda bahasa nonstandar pada tuturan (E5), (E6), (E8),

dan (E9) adalah pemakaian bahasa Jawa pada tuturan-tuturan tersebut, sedangkan pada tuturan (E7), bahasa nonstandar ditandai dengan penggabungan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

Selain bahasa nonstandar, bahasa populer juga ditemukan dalam pemakaian diksi pada tuturan yang diperoleh. Kata-kata populer merupakan kata- kata yang selalu digunakan dalam komunikasi sehari-hari, baik antara mereka yang berada di lapisan atas maupun antara mereka yang dilapisan bawah atau antara lapisan atas dan lapisan bawah (Keraf, 1987). Dari tuturan di atas, ditemukan enam tuturan yang terdapat pada tiga kategori. Pertama, kategori mengancam muka sepihak terdapat pada tuturan (B3) dan (B7). Kedua, kategori menghilangkan muka terdapat pada tuturan (D4). Ketiga, kategori menimbulkan konflik terdapat pada tuturan (E2) dan (E4). Keenam tuturan tersebut termasuk dalam bahasa populer karena pada tuturan-tuturan tersebut memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam komunikasi sehari-hari.

Pada syarat kesesuaian pemakaian kata, disebutkan bahwa pemakaian kata jargon dan kata slang hendakya dihindari. Namun, kedua kata tersebut ditemukan pada komunikasi sehari-hari. Kata jargon mengandung makna suatu bahasa, dialek, atau tutur yang dianggap kurang sopan atau aneh, sedangkan kata slang adalah kata-kata nonstandar yang informal, yang disusun secara khas; atau kata-

kata biasa yang diubah secara arbitrer; atau kata-kata kiasan yang khas, bertenaga dan jenaka yang dipakai dalam percakapan (Keraf, 1987). Pada data tuturan yang ditemukan, terdapat dua tuturan yang memakai kata jargon dan slang sebagai

tanda bahasa nonstandar. Pertama, tuturan (C4) menggunakan jargon “yak-

yakan”. Jargon ini dalam bahasa Jawa merupakan ungkapan rasa kesal yang berlebihan dan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai kata “sembrono”. Tuturan kedua terdapat pada tuturan (D13). Tuturan (D13) memakai kata slang “jadul” yang memupakan singkatan dari “jaman dulu”. Singkatan ini termasuk dalam kata slang karena kata “jadul” muncul secara arbitrer dan telah menjadi kata yang khas dan memiliki makna lebih dalam untuk mengungkapkan istilah “kuno”.

Unsur segmental yang kedua yaitu kategori fatis. Kridalaksana (1986:113) mengelompokkan partikel di dalam kategori fatis. Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau megkukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan. Karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non-standar, maka kebanyakan kategori fatis terhadap dalam kalimat-kalimat non-standar yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional.

Kategori fatis berfungsi sebagai penegasan suatu tuturan yang tidak santun. Karena seluruh penutur berasal dari Jawa, kategori fatis yang digunakan pada saat bertutur adalah kategori fatis yang mengandung unsur atau dialek bahasa Jawa. Kategori fatis tersebut adalah sebagai berikut.

1) Kategori fatis ah yang terdapat pada tuturan (A2) dan (E6). Kategori fatis ah menekankan rasa penolakan atau acuh tak acuh. Pada tuturan (A2), penutur menekankan penolakannya terhadap perintah mitra tutur karena malas harus selalu mencuci piring sendiri setalah makan. Sedangkan pada tuturan (E6), penutur acuh tak acuh terhadap perintah mitra tutur yang menyuruh penutur segera mandi.

2) Kategori fatis ayo yang terdapat pada tuturan (D9) menekankan suatu ajakan. 3) Kategori fatis ya yang terdapat pada tuturan (A4) dan (C3). Kategori fatis ya

pada tuturan (A4) dan (C3) bertugas mengukuhkan atau menegaskan ekspresi kekecewaan dan pemberian perintah kepada mitra tutur.