• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1) Wujud ketidaksantunan linguistik Tuturan (C4): “Yak yakan!” (Sembrono!)

4.2.5.2 Subkategori Mengancam

Subkategori mengancam pada kategori mebimbulkan konflik ini muncul karena tuturan penutur menyiratkan suatu ancaman kepada mitra tutur. Namun, akibat dari tuturan tidak santun yang sengaja dituturkan oleh penutur membuat mitra tutur tersinggung sehingga menimbulkan konflik antara penutur dan mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori mengancam. Cuplikan tuturan 49

P : “Sapa yang masang sajen di sini?” MT : “Aku.”

P : “Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, tak obrak-abrik!” (E3) (Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, aku porak-porandakan!) (Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 16 tahun, kelas XI SMA. Mitra tutur berumur 57 tahun, sebagai nenek penutur. Tuturan terjadi di rumah saat pagi hari. Penutur akan berangkat sekolah. Penutur melihat ada sesaji yang sengaja diletakkan oleh anggota keluarga di rumahnya. Penutur tidak suka kalau di rumahnya ada sesaji. Penutur mengancam mitra tutur.)

Cuplikan tuturan 53

P : “Bapak wis bilang ta, jangan pulang malem-malem.”

MT : “Wong ya ndak tiap hari kok, Pak. “

P : “Tak grujug Kowe! Sekali bapak ngomong, jangan di sanggah!” (E7) (Saya siram Kamu! Sekali bapak bicara, jangan dibantah!)

(Konteks tuturan: Penutur laki-laki berumur 64 tahun. Mitra tutur perempuan berumur 19 tahun. Penutur adalah ayah mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang makan, saat sore hari menjelang maghrib. Penutur sedang menasihati mitra tutur yang telat pulang ke rumah. Mitra tutur mencoba membela diri. Penutur tidak menerima penjelasan dari mitra tutur.)

Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.

1) Wujud ketidaksantunan linguistik

Tuturan (E3): “Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, tak obrak-

abrik!” (Nanti kalau aku pulang sekolah ada sesajen, aku

porak-porandakan!)

Tuturan (E7): “Tak grujug Kowe! Sekali bapak ngomong, jangan dibantah!” (Saya siram Kamu! Sekali bapal bicara, jangan dibantah!) 2) Wujud ketidaksantunan pragmatik

Tuturan (E3): Penutur berbicara dengan membentak. Penutur berbicara dengan tidak menghiraukan mitra tutur Penutur berbicara dengan ekspresi marah. Penutur berbicara kepada mitra tutur yang berumur lebih tua. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah neneknya.

Tuturan (E7): Penutur berbicara dengan membentak. Penutur berbicara dengan ekspresi marah. Penutur membuat mitra tutur berani melawan. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah anaknya.

3) Penanda ketidaksantunan linguistik

Tuturan (E3): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar. Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Indonesia dan

penyisipan kata “sesajen” dan klausa “tak obrak-abrik” yang merupakan kata

dalam bahasa Jawa. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada

kata “tak obrak-abrik”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi seru.

Tuturan (E7): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar. Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Indonesia yang tidak baku pada kata “ngomong” dan penyisipan kalimat “Tak grujug, kowe!” yang merupakan kata dalam bahasa Jawa. Penutur berbicara dengan nada naik

tinggi. Tekanan pada kata “tak grujug”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi perintah.

4) Penanda ketidaksantunan pragmatik

Konteks tuturan (E3): Penutur perempuan berumur 16 tahun, kelas XI SMA. Mitra tutur berumur 57 tahun, sebagai nenek penutur. Tuturan terjadi di rumah saat pagi hari. Penutur akan berangkat sekolah. Penutur melihat ada sesaji yang sengaja diletakkan oleh anggota keluarga di rumahnya. Penutur tidak suka kalau di rumahnya ada sesaji. Penutur mengancam mitra tutur. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur mengancam mitra tutur supaya membuang yang meletakkan sesaji di rumah. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah komisif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur tutur marah kepada penutur.

Konteks tuturan (E7): Penutur laki-laki berumur 64 tahun. Mitra tutur perempuan berumur 19 tahun. Penutur adalah ayah mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang makan, saat sore hari menjelang maghrib. Penutur sedang menasihati mitra tutur yang telat pulang ke rumah. Mitra tutur mencoba membela diri. Penutur tidak menerima penjelasan dari mitra tutur. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur memperingatkan mitra tutur supaya tidak menyanggah nasihatnya. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah komisif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur menendang kursi yang berada di depannya.

5) Maksud ketidaksantunan penutur

Tuturan (E3): Penutur bermaksud menakut-nakuti mitra tutur supaya tidak meletakkan lagi sesaji di rumahnya.

Tuturan (E7): Penutur bermaksud menakut-nakuti mitra tutur supaya mitra tutur tidak membantah perintah penutur.

4.2.5.3Subkategori Memerintah

Subkategori memerintah pada kategori mebimbulkan konflik terjadi ketika tuturan penutur seolah-olah atau memang bermaksud memberikan perintah kepada mitra tutur. Namun, akibat dari tuturan tidak santun yang sengaja dituturkan oleh penutur, mitra tutur menjadi tersinggung sehingga menimbulkan konflik antara penutur dan mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori memerintah.

Cuplikan tuturan 50 MT : “Mi, buatin susu!”

P : “Wong yang satu masih kok, sana ambil! Itu di dalam sana, heran.” (E4)

(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 35 tahun. Mitra tutur perempuan berumur 4 tahun sebagai keponakan penutur. Tuturan terjadi di depan rumah, saat penutur sedang bersantai di waktu sore. Mitra tutur datang minta dibuatkan susu. Penutur tidak mau membuatkan susu karena susu yang sebelumnya belum habis diminum oleh mitra tutur.)

Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.

1) Wujud ketidaksantunan linguistik

Tuturan (E4): “Wong yang satu masih kok, sana ambil! Itu di dalam sana, heran.”

2) Wujud ketidaksantunan pragmatik

Tuturan (E4): Penutur berbicara dengan volume yang keras. Penutur memaksakan kekendak kepada mitra tutur. Penutur berbicara dengan tidak menghiraukan mitra tutur. Penutur membuat mitra tutur menangis. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah keponakannya.

3) Penanda ketidaksantunan linguistik

Tuturan (E4): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa populer yang merupakan bahasa sehari-hari. Kata fatis yang terdapat pada tuturan (E4) ialah “kok” dan “wong”. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada frasa “sana ambil”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi perintah.

4) Penanda ketidaksantunan pragmatik

Konteks tuturan (E4): Penutur perempuan berumur 35 tahun. Mitra tutur perempuan berumur 4 tahun sebagai keponakan penutur. Tuturan terjadi di depan rumah, saat penutur sedang bersantai di waktu sore. Mitra tutur datang minta dibuatkan susu. Penutur tidak mau membuatkan susu karena susu yang sebelumnya belum habis diminum oleh mitra tutur. Tujuan penutur dari tuturannya ialah menyuruh mitra tutur yang masih balita untuk menghabiskan susu yang telah dibuat sebelumnya. Namun, mitra tutur tidak mau dan semakin merengek sampai hampir menangis. Tindak verbal dari tuturan

penutur ialah direktif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur tutur menangis.

5) Maksud ketidaksantunan penutur

Tuturan (E4): Penutur bermaksud menyuruh atau memerintah mitra tutur untuk menghabiskan minuman yang sudah dibuat sebelumnya.

4.2.5.4Subkategori Mengejek

Subkategori mengejek pada kategori mebimbulkan konflik terjadi karena penutur dengan sengaja mengucapkan tuturan yang bermaksud mengejek atau meremehkan mitra tutur sehingga membuat mitra tutur tersinggung dan timbullah konflik antara penutur dan mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori mengejek.

Cuplikan tuturan 51 P : “Dolan wae, bali!” (Main terus, pulang!) MT : “Yo ben, yo ben.” (E5) (Biarin, biarin!)

P : “Has luweh!” (Has terserah!)

(Konteks tuturan: Penutur anak perempuan berumur 7 tahun, kelas 2 SD. Mitra tutur perempuan berumur 56 tahun. Mitra tutur adalah nenek penutur. Tuturan terjadi di lapangan bola yang berada di dekat rumah penutur, saat mahgrib penutur sedang bermain dengan teman-temannya di lapangan. Mitra tutur menyuruh penutur untuk pulang ke rumah karena sudah maghib. Penutur tidak mau pulang ke rumah.)

Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.

1) Wujud ketidaksantunan linguistik

Tuturan (E5): “Yo ben, yo ben.” (Biarin, biarin.) 2) Wujud ketidaksantunan pragmatik

Tuturan (E5): Penutur berbicara dengan tidak menghiraukan mitra tutur. Penutur seperti menyepelekan mitra tutur. Penutur membuat mitra tutur marah. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah neneknya.

3) Penanda ketidaksantunan linguistik

Tuturan (E5): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar. Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada kata “yo ben”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi berita.

4) Penanda ketidaksantunan pragmatik

Konteks tuturan (E5): Penutur anak perempuan berumur 7 tahun, kelas 2 SD. Mitra tutur perempuan berumur 56 tahun. Mitra tutur adalah nenek penutur. Tuturan terjadi di lapangan bola yang berada di dekat rumah penutur, saat mahgrib penutur sedang bermain dengan teman-temannya di lapangan. Mitra tutur menyuruh penutur untuk pulang ke rumah karena sudah maghib. Penutur tidak mau pulang ke rumah. Tujuan penutur dari tuturannya ialah menolak perintah mitra tutur yaitu neneknya untuk pulang ke rumah. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur tutur tutur marah kepada penutur.

5) Maksud ketidaksantunan penutur

Tuturan (E5): Penutur bermaksud menolak perintah mitra tutur yang menyuruh penutur untuk pulang.

4.2.5.5Subkategori Menolak

Subkategori menolak pada kategori mebimbulkan konflik terjadi karena tuturan penutur menyatakan suatu penolakan terhadap sesuatu. Namun, akibat dari tuturan tidak santun yang sengaja dituturkan oleh penutur, mitra tutur menjadi tersinggung sehingga menimbulkan konflik antara penutur dan mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori menolak.

Cuplikan tuturan 52

MT : “Gek mandi kana, wis sore!” (Segera mandi sana, sudah sore!)

P : “Ah mengko! Karo mas Ardha wae.” (E6) (Ah nanti! Dengan mas Ardha saja.)

MT : “Ya kowe sik, gek uwis!” (Ya kamu dulu, cepat!)

(Konteks tuturan: Penutur anak perempuan berumur 7 tahun, kelas 2 SD. Mitra tutur laki-laki berumur 39 tahun. Penutur adalah anak mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur menyuruh penutur untuk mandi karena sudah sore.)

Cuplikan tuturan 55

MT 1 : “Beliin sabun, Dik!”

P : “Wegah! Mas wae kae lho.” (E9) (Tidak mau! Mas saja itu lho.)

MT 2: “Lha kowe ki ngopo? Garapanku rung rampung!”

(Lha kamu itu sedang apa? Pekerjaanku belum selesai!)

(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 7 tahun. Mitra tutur 1 laki-laki berumur 39 tahun, sebagai ayah penutur. Mitra tutur 2 laki-laki berumur 8 tahun, sebagai kakak penutur. Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat pagi hari. Mitra tutur 1 menyuruh penutur untuk membeli sabun di warung. Mitra tutur 2 sedang mengerjakan PR. Penutur sedang menonton televisi. Penutur tidak mau membelikan sabun karena malas.)

Dari kedua tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.

1) Wujud ketidaksantunan linguistik

Tuturan (E6): “Ah mengko! Karo mas Ardha wae.” (Ah nanti! Dengan mas Ardha saja.)

Tuturan (E9): “Wegah! Mas wae kae lho.” (Tidak mau! Mas saja itu lho.) 2) Wujud ketidaksantunan pragmatik

Tuturan (E6): Penutur berbicara dengan kasar. Penutur berbicara dengan tidak menghiraukan mitra tutur. Penutur membuat mitra tutur marah. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah ayahnya.

Tuturan (E9): Penutur berbicara dengan kasar dan kesal. Penutur berbicara dengan volume yang keras. Penutur membuat mitra tutur kesal. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah adiknya.

3) Penanda ketidaksantunan linguistik

Tuturan (E6): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar. Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada kata “mengko”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi seru.

Tuturan (E9): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar. Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Kata fatis yang terdapat pada tuturan (E9) ialah “lho”. Penutur berbicara dengan nada naik

tinggi. Tekanan pada kata “wegah”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi seru.

4) Penanda ketidaksantunan pragmatik

Konteks tuturan (E6): Penutur anak perempuan berumur 7 tahun, kelas 2 SD. Mitra tutur laki-laki berumur 39 tahun. Penutur adalah anak mitra tutur. Tuturan terjadi di ruang tamu, saat sore hari. Mitra tutur menyuruh penutur untuk mandi karena sudah sore. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur menolak perintah mitra tutur yaitu ayahnya yang menyuruh untuk mandi lebih dulu sebelum kakaknya. Kakak penutur sedang mengerjakan tugas sekolah. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah komisif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur tutur tutur marah kepada penutur. Konteks tuturan (E9): Penutur perempuan berumur 7 tahun. Mitra tutur 1 laki-laki berumur 39 tahun, sebagai ayah penutur. Mitra tutur 2 laki-laki berumur 8 tahun, sebagai kakak penutur. Tuturan terjadi di ruang keluarga, saat pagi hari. Mitra tutur 1 menyuruh penutur untuk membeli sabun di warung. Mitra tutur 2 sedang mengerjakan PR. Penutur sedang menonton televisi. Penutur tidak mau membelikan sabun karena malas. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur ingin melimahkan tugas kepada mitra tutur 2. Tindak verbal dari tuturan penutur ialah komisif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur 2 menimpali tuturan penutur dengan kesal.

5) Maksud ketidaksantunan penutur

Tuturan (E6): Penutur bermaksud menolak perintah mitra tutur yang menyuruhnya mandi lebih dulu.

Tuturan (E9): Penutur bermaksud menolak perintah mitra tutur yang menyuruhnya untuk membeli teh di warung.

4.2.5.6Subkategori Kesal

Subkategori kesal pada kategori mebimbulkan konflik terjadi ketika penutur mengungkapkan ekspresi kekesalan, ketidaksenangan, atau kekecewaan kepada mitra tutur. Akibat dari tuturan tidak santun yang sengaja dituturkan oleh penutur, mitra tutur menjadi tersinggung sehingga timbullah konflik antara penutur dan mitra tutur. Berikut ini contoh tuturan yang termasuk dalam subkategori kesal.

Cuplikan tuturan 54

MT : “Kuwi tinggal garingke.” (Itu hanya kurang dikeringkan)

P : “Senengane nek ngrampungke gawean kok ora tuntas!” (E8)

(Sukanya kalau mengerjakan tugas kok tidak tuntas!) MT : “Has embuh, embuh!”

(Has tidak tahu, tidak tahu!)

(Konteks tuturan: Penutur perempuan berumur 23 tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur. Mitra tutur perempuan berumur 13 tahun. Tuturan terjadi di ruang makan, saat pagi hari. Mitra tutur sedang mengepel lantai. Penutur berjalan melewati mitra tutur. Mitra tutur meminta penutur untuk mengeringkan lantai yang masih basah. Penutur masih memiliki tanggungan pekerjaan rumah yang lain.)

Dari tuturan tersebut, analisis wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud ketidaksantunan penutur dapat diperinci sebagai berikut.

1) Wujud ketidaksantunan linguistik

Tuturan (E8): “Senengane nek ngrampungke gawean kok ora tuntas!” (Sukanya kalau mengerjakan tugas kok tidak tuntas!) 2) Wujud ketidaksantunan pragmatik

Tuturan (E8): Penutur berbicara dengan kasar dan kesal. Penutur berbicara di depan mitra tutur. Penutur membuat mitra tutur kesal. Penutur sadar bahwa mitra tutur adalah adiknya.

3) Penanda ketidaksantunan linguistik

Tuturan (E8): Diksi yang digunakan termasuk dalam bahasa nonstandar. Bahasa nonstandar ditandai dengan penggunaan bahasa Jawa. Kata fatis yang terdapat pada tuturan (E8) ialah “kok”. Penutur berbicara dengan nada naik tinggi. Tekanan pada kata “tuntas”. Intonasi yang digunakan penutur ialah intonasi seru.

4) Penanda ketidaksantunan pragmatik

Konteks tuturan (E8): Penutur perempuan berumur 23 tahun. Penutur adalah kakak mitra tutur. Mitra tutur perempuan berumur 13 tahun. Tuturan terjadi di ruang makan, saat pagi hari. Mitra tutur sedang mengepel lantai. Penutur berjalan melewati mitra tutur. Mitra tutur meminta penutur untuk mengeringkan lantai yang masih basah. Penutur masih memiliki tanggungan pekerjaan rumah yang lain. Tujuan penutur dari tuturannya ialah penutur mengingatkan mitra tutur supaya menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas.

Tindak verbal dari tuturan penutur ialah ekspresif. Tuturan tersebut menyebabkan tindak perlokusi mitra tutur kesal, lalu mengepel dengan asal- asalan.

5) Maksud ketidaksantunan penutur

Tuturan (E8): Penutur bermaksud menyindir mitra tutur yang tidak bisa menyelesaikan tugasnya dengan tuntas.

4.3Pembahasan

Hasil temuan yang telah dianalisis akan dibahas lebih mendalam pada bagian pembahasan ini. Pada bagian ini, pembahasan akan didasarkan pada tiga pokok rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Ketiga rumusan masalah tersebut meliputi wujud ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, penanda ketidaksantunan linguistik dan pragmatik, serta maksud ketidaksantunan penutur. Pembahasan ketiga rumusan tersebut dalam setiap kategori adalah sebagai berikut.