• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.3 Fenomena Pragmatik

2.3.2 Tindak Tutur

Aktivitas bertutur disebut juga sebagai tindak tutur. Saat bertutur, setiap tuturan selalu mengandung tiga tindakan sekaligus. Ketiga tindakan tersebut adalah lokusi, ilokusi dan perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Tindak ilokusi adalah tindak melakukan sesuat dengan maksud dan fungsi yang tertentu pula. Tindak perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada diri sang mitra tutur (Rahardi, 2003:71–72).

Yule (2006:92–94) mengklasifikasikan tindak tutur menjadi 5 jenis fungsi umum, yaitu deklaratif, representatif, ekspresif, direktif, dan komisif. Berikut ini adalah penjelasan dari setiap jenis tersebut.

1) Deklarasi adalah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Penutur harus memiliki peran institusional khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat. Pernyataan deklarasi, misalnya berpasrah, memecat, membaptis, memberi nama, mengangkat, mengucilkan, dan menghukum (Rahardi, 2006:71). Pada waktu menggunakan deklarasi, penutur mengubah dunia dengan kata-kata.

2) Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur kasus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan pendeskripsian tentang sesuatu yang diyakini oleh penutur. Pada waktu menggunakan sebuah representatif, penutur mencocokkan kata-kata dengan dunia (kepercayaannya).

3) Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian, kesenangan, atau kesengsaraan. Rahardi (2003:71) menambahkan pernyataan ekspresif tersebut, seperti berterima kasih, memberi selamat, meminta maaf, menyalahkan, memuji, dan berbelasungkawa. Tindak tutur itu mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau pendengar, tetapi semuanya menyangkut pengalaman penutur.

4) Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan,

permohonan, pemberian saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif.

5) Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk mengaitkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak tutur ini dapat berupa janji, ancaman, penolakan, dan ikrar. Pada waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan dunia dengan kata-kata (lewat penutur).

2.3.3 Implikatur

Di dalam sebuah pertuturan yang sesungguhnya, si penutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mereka berdua memiliki semacam kesamaan yang dipertuturkan itu. Di antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan yang tidak tertuis, bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu sudah saling dimengerti dan saling dipahami. Grice (1975) dalam Rahardi (2003) menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan semacam itu disebut implikatur percakapan (Rahardi, 2006:85).

Jika seorang pendengar mendengar ungkapan dari seorang penutur, dia harus berasumsi bahwa penutur sedang melaksanakan kerja sama dan bermaksud untuk menyampaikan informasi. Informasi itu tentunya memiliki makna yang lebih banyak daripada kata-kata yang dikeluarkan oleh penutur. Makna itulah yang disebut dengan implikatur (Yule, 2006:61). Dengan demikian, dapat

dikatakan bahwa implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Yule (2006) membedakan implikatur menjadi lima jenis, yaitu implikatur percakapan, implikatur percakapan umum, implikatur berskala, implikatur percakapan khusus, dan implikatur konvensional.

2.3.4 Deiksis

Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa Yunani) untuk salah satu hal mendasar yang dilakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut ungkapan deiksis (Yule, 2006:13). Yule (2006) membagi deiksis menjadi tiga, yaitu deiksis persona untuk menunjuk orang, deiksis spasial untuk menunjuk tempat, dan deiksis temporal untuk menunjuk waktu.

Penafsiran deiksis tergantung pada konteks, maksud penutur, dan ungkapan-ungkapan itu mengungkapan jarak hubungan. Diberikannya ukuran kecil dan rentangan yang sangat luas dari kemungkinan pemakainya, ungkapan- ungkapan deiksis selalu menyampaikan lebih banyak hal daripada yang diucapkan (Yule, 2006:26)

Selain Yule, Nadar (2009) juga membagi deiksis menjadi tiga. Seorang penutur yang berbicara dengan lawan tuturnya seringkali menggunakan kata-kata yang menunjuk baik pada orang, waktu, maupun tempat. Kata-kata yang lazim disebut dengan deiksis tersebut berfungsi menunjukkan sesuatu, sehingga keberhasilan suatu interaksi antara penutur dan lawan tutur sedikit banyak akan

tergantung pada pemahaman deiksis yang dipergunakan oleh seorang penutur (Nadar, 2009:4–5).

2.3.5 Kesantunan

Bahasa merupakan cermin kepribadian setiap orang. Dengan adanya bahasa verbal maupun nonverbal, setiap orang dapat menilai baik atau buruk orang lain. Pranowo (2009:3) mendefinisikan bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan, sedangkan bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak gerik tubuh, sikap atau perilaku.

Bahasa dan tindakan yang perlu dikembangkan adalah kepribadian yang baik dan santun. Seorang yang berkepribadian baik dan santun tentu mampu menjaga harga dirinya dan dapat menghormati orang lain. Struktur bahasa yang santun adalah struktur bahasa yang disusun oleh penutur/penulis agar tidak menyinggung perasaan pendengar atau pembaca (Pranowo, 2009:4). Fenomena kesantunan dalam masyarakat ini telah menjadi kajian tersendiri dalam ilmu pragmatik. Adanya fenomena kesantunan berbahasa telah memunculkan berbagai teori kesantunan dari para ahli.

Pranowo dalam bukunya yang berjudul “Berbahasa secara Santun

(2009:100–104) menjelaskan empat teori kesantunan yang berbeda dari empat ahli. Pertama adalah Dell Hymes (1978) dengan istilah SPEAKING yaitu suatu akronim dari komponen penentu kesantunan. Komponen penentu kesantunan tersebut terdiri dari setting and scene (latar), participants (peserta), ends (tujuan

komunikasi), act sequen (pesan yang ingin disampaikan), key (kunci), instrumentalities (peranti), norms (norma), dan genre (kategori). Kedua ialah Grice (1978) yang mengidentifikasi kesantunan harus memperhatikan empat prinsip kerja sama, yaitu prinsip kualitas, prinsip kuantitas, prinsip relevansi, dan prinsip cara. Ketiga adalah Leech (1983) dengan tujuh maksim kesantunannya. Ketujuh maksim tersebut adalah maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesetujuan, maksim simpati, dan maksim pertimbangan. Keempat ialah Pranowo (2005) yang mengemukakan enam indikator kesantunan. Angon rasa, adu rasa, empan papan, sifat rendah hati, sikap hormat, dan sikap tepa selira merupakan indikator kesantunan tersebut.

2.3.6 Ketidaksantunan

Kaidah yang selama ini disosialisaikan kepada masyarakat adalah kaidah bahasa yang baik dan benar. Padahal, ketika berkomunikasi, penggunaan bahasa yang baik dan benar saja belum cukup. Seseorang yang mampu berbahasa secara baik berarti sudah mampu menggunakan bahasa sesuai dengan ragam dan situasi, sedangkan berbahasa yang benar adalah berbahasa sesuai dengan kaidah tertentu. Namun, masih ada satu kaidah lagi yang perlu diperhatikan yaitu kesantunan. Ketika seorang sedang berkomunikasi, hendaknya di samping baik dan benar juga santun (Pranowo, 2009:4–5).

Kenyataan yang ada dalam masyarakat, kesantunan kadang dilupakan dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Hal inilah yang memunculkan pemakaian bahasa yang tidak santun. Pemakaian bahasa yang tidak santun ini merupakan

suatu permasalahan dalam masyarakat. Permasalahan ini kemudian menjadi fenomena baru dalam studi pragmatik. Sebelum fenomena ketidaksantunan ini muncul, pragmatik telah mengkaji lima fenomena yang menjadi bagian kajian pragmatik, seperti dipaparkan pada bagian sebelumnya. Oleh karena itu, fenomena ketidaksantunan yang berkembang di masyrakat, khususnya dalam lingkungan keluarga, menjadi fenomena baru yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Karena kajian pragmatik selalu terikat pada konteks, ketidaksantunan juga akan dikaji dengan melmperhatikan konteks situasi pengguna tuturan.