• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Guru dalam Upaya Pembentukan Moral Anak Usia 4-6 Tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 272012023 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peranan Guru dalam Upaya Pembentukan Moral Anak Usia 4-6 Tahun di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga T1 272012023 BAB II"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Untuk mendukung serta memberikan arah yang jelas bagi terlaksananya penelitian ini, perlu adanya teori-teori yang dapat dijadikan sebagai acuan. Secara jelas, sebuah penelitian tidak akan kuat apabila tidak ada teori–teori pendukung yang kuat. Rakhmat (2000) mengatakan bahwa sebuah penelitian membutuhkan teori- teori pendukung yang relevan dengan penelitian. Oleh karena itu, tahapan ini menghadirkan teori-teori pendukung sesuai topik atau aspek-aspek yang dibahas. Berikut ini adalah teori-teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini.

2.1. Moral

Salah satu hal mendasar manusia yang dapat membentuk serta memberi arah bagi perkembangan kehidupannya ke depan adalah bagaimana manusia itu hidup dalam suatu tatanan kehidupan yang baik. Dalam hal ini, manusia akan mampu bertahan hidup serta berada dalam berbagai kondisi kehidupan apabila hidupannya

mencerminkan budi pekerti yang baik, akhlak serta karakter yang berkualitas khususnya ketika bersosialisasi dengan lingkungannya. Selain kemampuan kognitif yang sempurna, moralitas yang baik menjadi acuan yang memberi arah atau petunjuk

hidup. Moral yang baik dan berkualitas adalah kunci bagi individu untuk menapaki hidupnya sehari-hari. Apa itu moral dan seberapa pentingnya aspek ini bagi kehidupan dapat dilihat pada poin-poin pembahasan berikut.

2.1.1 Pengertian Moral

(2)

merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang patut dan tidak patut dilakukan. Selain itu moral juga merupakan seperangkat keyakinan dalam suatu masyarakat berkenaan dengan karakter atau kelakuan dan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.

Dalam Ensiklopedia Pendidikan, moral diartikan sebagai nilai atau dasar dalam masyarakat untuk menentukaan baik atau buruknya suatu tindakan yang pada akhirnya menjadi adat istiadat suatu kelompok. Hurlock (2007) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan moral adalah tata cara, kebiasaan dan adat di mana dalam perilaku dikendalikan oleh konsep-konsep moral yang memuat peraturan yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan dalam perilaku yang diharapkan oleh seluruh anggota kelompok tersebut. Sedangkan Hurlock (dalam Ali dan Asrori, 2010), mengatakan bahwa moral adalah sopan santun, kebiasaan, adat istiadat dan aturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya.

Ahli lain seperti Rogers (dalam Ali dan Asrori, 2010) mendefinisikan moral sebagai kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, seimbang dan adil. Perilaku moral ini diperlukan demi

terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, keharmonisan dan ketertiban. Sedangkan menurut Gunarsa (dalam Ali dan Asrori, 2010) moral adalah rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. Istilah moral sendiri berasal dari kata mores yang berarti tata cara dalam kehidupan, adat istiadat atau

kebiasaan. Sementara itu, Wantah (2005) mendefinisikan moral sebagai sesuatu yang harus dilakukan dan tidak ada hubunganya untuk menentukan siapa yang benar dan perilaku yang baik dan buruk.

(3)

2.1.2 Tahapan Perkembangan Moral

Kohlberg, seorang ahli perkembangan moral dalam Haditono (1999), membagi perkembangan moral ke dalam 3 (tiga) tingkatan yang masing-masing dibagi ke dalam 2 (dua) stadium sehingga terdapat 6 stadium, sebagai berikut:

 Tingkatan I, Penalaran moral yang pra-konvensional

Tingkatan ini mendasarkan pada objek di luar individu sebagai ukuran benar atau salah. Stadiumnya adalah sebagi berikut:

Stadium 1: Orientasi patuh dan takut pada hukum, artinya suatu tingkah laku dinilai benar apabila tidak dikenakan hukuman dan salah apabila dikenakan hukuman. Di sini, hukum sebagai otoritas harus dipatuhi karena hukum berkuasa.

Stadium 2: Orientasi naif egoistis/hedonisme instrumental. Stadium ini mendasarkan

pada orang atau kejadian di luar diri individu dengan memperhatikan alasannya melakukan sesuatu. Sebagai contoh, mencuri dinilai salah, tetapi masih bisa dimaafkan jika alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya atau orang lain yang disenangi.

 Tingkatan II, Penalaran moral yang konvensional.

Tingkatan ini berdasar pada pengharapan sosial di mana suatu perbuatan dianggap benar jika sesuai dengan peraturan dalam masyarakat. Stadiumnya sebagai berikut: Stadium 3: Orientasi anak atau person yang baik. Anak menilai perbuatan dikatakan

baik jika suatu perbuatan menyenagkan orang lain Jika seorang anak dapat melakukan apa yang diharapkan oleh orang lain atau masyarakat, maka ia dipandang sebagai anak yang bermoral baik. Jika tidak, ia tidak akan dianggap sebagai anak yang baik.

Stadium 4: Orientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial, artinya, anak memandang aturan sosial sebagai sesuatu yang perlu dijaga atau dilestarikan. Apabila seseorang “melakukan tugasnya”, maka ia dipandang bermoral sehingga dapat melestarikan aturan dan sistim sosial.

(4)

Tingkatan ini memandang bahwa aturan-aturan dalam masyarakat tidak absolut tetapi relatif; dapat diganti dengan yang lain.

Stadium 5: Orientasi kontrol legalistis, memahami bahwa aturan-aturan dalam masyarakat merupakan kontrol (perjanjian) antara diri orang dan masyarakat. Di sini, individu dituntut untuk memenuhi kewajibannya, sedangkan masyarakat dituntut pula untuk menjamin kesejahteraan individu. Peraturan dalam masyarakat bersifat subjektif.

Stadium 6: Orientasi yang berdasar pada prinsip serta konsensia sendiri. Dalam stadium ini, peraturen dan norma hingga batasan-batasannya dianggap subjektif dan tidak pasti. Dengan demikian, ukuran penilaian tingkah laku moral adalah konsensia masing-masing pribadi. Prinsipnya sendiri lepas dari segala norma yang ada. Kohlberg menganggap prinsip ini sebgai prinsip moral yang universal di mana suatu norma moral yang dasarnya ada pada konsensia orang itu sendiri.

2.1.3 Faktor-Faktor Penyebab Timbulnya Krisis Moral

Adapun yang menjadi akar masalah penyebab timbulnya krisis moral dalam masyarakat cukup banyak, yang terpenting diantaranya adalah:

Pertama, krisis moral terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama

yang menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari dalam (self-control). Selanjutnya alat pengontrol perpindahan kepada hukum dan masyarakat. Namun karena hukum dan masyarakat juga sudah lemah, maka hilanglah seluruh alat kontrol. Akibatnya manusia dapat berbuat sesuka hati dalam melakukan pelanggaran tanpa ada yang menegur.

(5)

Ketiga, krisis moral terjadi karena derasnya arus budaya hidup materialistik, hedonistik dan sekularistik. Derasnya arus budaya yang demikian didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dengan memanfaatkan para remaja tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral para generasi penerus bangsa.

Keempat, krisis moral terjadi karena belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk memperbaiki moral hidup bangsa. Kekuasaan, dana, tekhnologi, sumber daya manusia, peluang dan sebagainya yang dimiliki pemerintah belum banyak digunakan untuk melakukan pembinaan akhlak bangsa. Hal ini semakin diperparah dengan ulah penguasa yang semata- mata mengejar kedudukan, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara yang tidak mendidik, sepeati adanya praktek korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN).

Krisis moral pun dapat terjadi terjadi karena pendidikan moral tidak terjadi seperti yang diharapkan. Pembinaan moral seharusnya terjadi sejak anak masih dini. Pembinaan ini pun harus memperhatikan usia serta kemampuannya. Alasannya adalah anak belum bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Anak

pun belum benar-benar memahami batas-batas dan ketentuan-ketentuan moral yang berlaku di lingkungan tempat ia tinggal. Jika anak tidak diperkenalkan dengan sikap-sikap yang dianggap baik untuk pertumbuhan moralnya, maka anak akan tumbuh

menjadi dewasa tanpa mengenal moral itu sendiri.

(6)

segala sesuatu untuk memuaskan hawa nafsu mereka. Mereka gampang dibujuk untuk melakukan hal-hal yang tentu saja merusak moralitas mereka sendiri.

Hal terakhir selain yang tidak disebutkan dalam tulisan ini adalah kurangnya yang menghambat pertumbuhan moral adalah kurangnya kesadaran untuk mengatur waktu luang dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat dengan cara yang baik dan sehat. Hal tersebut mendorong anak-anak untuk memikirkan hal-hal lain yang tidak membangun yang tentunya merusak pertumbuhan moral mereka. Oleh karena itu, memperhatikan kelemahan-kelemahan tersebut di atas, perlu adanya langkah-langkah atau tindakan-tindakan yang nyata agar dapat membimbing anak-anak menghindarinya. Pembenahan yang secara terus-menerus dilakukan mulai dari lingkungan keluarga, diri anak sendiri dan lingkungan yang lebih besar pastinya akan sangat bermanfaat dan memberi solusi positif bagi pembentukan moral mereka.

2.2. Anak Usia Dini (AUD)

Usia dini merupakan salah satu tahapan usia pertumbuhan dan perkembangan seorang individu. Masa ini disebut sebagai masa emas atau golden age karena pada masa ini otak menerima dan menyerap berbagai macam informasi, tidak melihat baik dan buruk. Itulah masa-masa di mana perkembangan fisik, mental maupun spiritual anak mulai terbentuk. Cerminan kehidupan masa depan anak dapat dilihat serta terbentuk pada masa ini. Oleh karena itu, pembentukan kepribadian anak sangat penting dilakukan pada usia tersebut.

2.2.1. Pengertian Anak Usia Dini

Kehidupan seseorang tidak pernah terlepas dari masa anak. Masa anak-anak menjadi masa awal kehidupan seseorang yang tidak bisa diulangi. Manusia dewasa bisa kembali dalam dunia anak- anak namun anak- anak tidak mampu menjadikan dirinya sebagai sosok seorang manusia dewasa sehingga masa ini menjadi hal yang mempunyai peranan yang krusial dalam menentukan kehidupan seseorang di masa mendatang. Oleh sebab itu, masa ini biasanya disebut dengan masa

(7)

Menurut Isjoni, (2009), anak usia dini adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Anak usia dini merupakan anak yang berusia 0-6 tahun. Mereka adalah individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan. Karena itulah, maka usia dini dikatakan sebagai usia emas, yaitu usia yang sangat berharga dibanding usia-usia selanjutnya.

Anak usia dini memiliki potensi genetik dan siap untuk dikembangkan melalui pemberian berbagai rangsangan. Sehingga pembentukan perkembangan selanjutnya dari seorang anak sangat ditentukan pada masa-masa awal perkembangan anak. Masa kanak-kanak merupakan masa saat anak belum mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Mereka cenderung senang bermain pada saat yang bersamaan, ingin menang sendiri dan sering mengubah aturan main untuk kepentingan diri sendiri. Dengan demikian, dibutuhkan upaya pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan, baik perkembangan fisik maupun perkembangan psikis. Potensi anak yang sangat penting untuk dikembangkan.

2.2.2. Tahapan Perkembangan Anak Usia Dini (AUD)

Perkembangan anak menurut Piaget ditinjau dari aspek kognitif. Piaget

membagi perkembangan kognitif anak kedalam 4 tahapan yaitu

a) Tahap Sensori motor

(8)

b) Tahap Praoperasional

Usia 2-7 tahun masuk didalam tahap praoperasional. Pada tahapan ini, anak- anak mulai menggunakan simbol dan bahasa dimana melalui simbol dan bahasa, anak mulai dapat memikirkan sesuatu yang tidak terjadi sekarang melainkan sesuatu yang sudah berlalu. Bahasa juga membantu anak menggungkapkan sesuatu yang lebih luas dari pada sesuatu yang sekedar dijamah dan dilihat olehnya. Sikap anak- anak pada tahapan ini juga masih bersifat egosentris dimana pikiran mereka hanya terfokus pada diri sendiri dan bukan orang lain. Sehingga, penanaman nilai moral mulai dapat dilakukan oleh orang dewasa melalui bahasa yang singkat dan tepat.

c) Tahap Operasional Kongkret

Anak- anak usia 7-11 tahun pada tahapan ini sudah mulai berpikir transformasi reversible (dapat dipertukarkan) dan kekekalan. Anak sudah mulai mengerti adanya perpindahan benda, mulai dapat membuat klasifikasi, namun dasarnya masih pada hal yang kongkret. Anak juga mengerti persoalan sebab akibat. Sehingga, dalam penanaman dan pengembangan moral sudah dapat dikenalkan suatu tindakan dengan akibat yang baik maupun tidak.

d) Tahap Operasional Formal

Pada tahap ini, anak usia 11 tahun ke atas sudah mulai berpikir formal dan abstrak. Anak sudah mulai dapat membatasi pikirannya pada yang sekarang dan juga

dapat berpikir tentang yang akan datang dan sesuatu yang diandaikan. Anak pada tahap ini juga sudah dapat diajak untuk menyadari apa yang dibuatnya dengan alasannya. Untuk itu, pada tahapan ini anak sudah mulai dapat diajak untuk berdiskusi menemukan nilai yang baik dan yang tidak baik.

2.2.3 Karakteristik Anak Usia Dini (AUD)

Memahami karakter anak usia dini (AUD) sangatlah penting sebelum

(9)

a. Usia 0-1 tahun

Pada masa bayi perkembangan fisik mengalami kecepatan luar biasa, paling cepat dibanding usia selanjutnya. Berbagai karakteristik usia bayi diantaranya mempelajari keterampilan motorik mulai dari berguling, merangkak, duduk, berdiri, dan berjalan, menggunakan panca indera dan mulai mempelajari komunikasi sosial.

b. Usia 2-3 tahun

Anak pada usia ini memiliki karakteristik yang sama dengan usia selanjutnya, secara fisik anak mengalami pertumbuhan yang pesat. Anak sangat aktif mengeksplorasi benda-benda yang ada disekitarnya, mulai mengembangkan kemampuan berbahasanya serta mulai mencoba mengembangkan emosi.

c. Usia 4-6 tahun

Karakteristik anak pada usia ini yang berkaitan dengan perkembangan fisik yaitu anak mulai sangat aktif melakukan beragam kegiatan. Perkembangan bahasa anak semakin baik dan perkembangan kognitifnya pun sangat pesat. Namun, bentuk permainan anak pada usia ini masih bersifat individu.

Fokus penelitian ini adalah anak-anak prasekolah (AUD) yang berusia 4-6 tahun. Mereka adalah anak-anak yang sementara mempersiapkan diri untuk memasuki jenjang pendidikan berikutnya (sekolah). Oleh karena itu, pembentukan

moral bagi anak-anak di usia tersebut perlu menjadi prioritas yang semestinya dilakukan oleh guru sebagai pendidik. Secara jelas, anak pada usia ini sangat aktif dalam melakukan berbagai kegiatan khususnya kegiatan-kegiatan yang berkaitan denga fisik. Hal tersebut tentunya bermanfaat bagi perkembangan otot mereka.

(10)

Karakteristik di atas memberi gambaran mengenai bagaimana agresifitas anak pada usia ini teristimewa dalam memahami hal-hal baru dalam kehidupannya. Meskipun demikian, sifat individualistik mereka juga nampak seperti yang terdapat pada poin terakhir. Karena itu, akan sangat tepat jika anak pada usia ini mendapatkan penekanan khususnya dalam pembentukan pertumbuhan moralnya ke depan.

2.2.4. Aspek-Aspek Perkembangan Anak Usia Dini

Banyak aspek – aspek perkembangan anak usia dini. Secara internasional, ada beberapa aspek – aspek perkembangan pada anak usia dini yaitu

a. Perkembangan fisik motorik, baik fisik motorik kasar maupun fisik motorik halus. Motorik kasar merupakan gerakan tubuh yang merupakan otot – otot besar, sebagian besar atau seluruh anggota tubuh. Sedangkan motorik halus adalah kemampuan yang berhubungan dengan otot – otot kecil dan koordinasi mata dan tangan.

b. Perkembangan emosional dan sosial. Perkembangan emosional berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan perasaan anak. Sedangkan perkembangan social berkaitan dengan interaksi anak dengan lingkungan di sekitar anak.

c. Perkembangan kognitif/intelektual. Perkembangan kognitif/intelektual berkaitan dengan perkembangan anak untuk menggunakan bahasa.

Namun, ketiga aspek perkembangan tersebut tidak mutlak. Ketiga aspek ini digunakan atau menjadi acuan dalam menentukan aspek – aspek perkembangan anak,

baik itu dalam menyusun program belajar bagi anak maupun menjadi pedoman untuk bersama mendidik anak usia dini. Sedangkan menurut Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan RI (2014) tentang Kurikulum 2013 yang mengatur tentang pendidikan anak usia dini terdapat 4 kompetensi dasar perkembangan anak usia dini yang meliputi

(11)

2. Kompetensi inti sosial, perkembangan yang meliputi kemampuan anak untuk memiliki perilaku hidup sehat, rasa ingin tahu, kreatif dan estetis, percaya diri, disiplin, mandiri, peduli, mampu menghargai dan toleran kepada orang lain, mampu menyesuaikan diri, tanggungjawab, jujur, rendah hati dan santun dalam berinteraksi dengan keluarga, pendidik, dan teman

3. Kompetensi inti pengetahuan, dimana anak-anak mengenali diri, keluarga, teman, pendidik, lingkungan sekitar, agama, teknologi, seni, dan budaya di rumah, tempat bermain dan satuan PAUD dengan cara: mengamati dengan indera (melihat, mendengar, menghidu, merasa, meraba); menanya; mengumpulkan informasi; menalar, dan mengomunikasikan melalui kegiatan bermain

4. Kompetensi inti keterampilan, kemampuan anak untk menunjukkan yang diketahui, dirasakan, dibutuhkan, dan dipikirkan melalui bahasa, musik, gerakan, dan karya secara produktif dan kreatif, serta mencerminkan perilaku anak berakhlak mulia

2.2.5. Perkembangan Moral Anak Usia Dini

1). Perkembangan Moral Anak Menurut Psikologi Agama

Menurut penelitian Ernest Harms seperti dikutip dalam Sari (2010), tingkatan

perkembangan agama anak dimulai dengan The Fairy Tale Stage (tingkat dongeng yaitu pada usia 3-6 tahun. Pada fase ini, pengenalan mereka tentang Tuhan dipengaruhi oleh tingkat fantasi dan emosi mereka sendiri. Mereka banyak dipengaruhi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Sifat agama mereka sebagai berikut:

a. Unreflective (Tidak mendalam)

Mereka menerima setiap ajaran agama tanpa melakukan kritik sedikit pun. Mereka kadang merasa puas dengan keterangan yang tidak masuk akal.

b. Egosentris

(12)

masalah-masalah yang berkaitan dengan agama. Kekurangan kasih sayang akan membuat seorang anak menjadi kenak-kanakan serta rendahnya sifat ego mereka. Hal tersebut tentunya menghambat perkembangan moral keagamaannya.

c. Imitatif

Pada dasarnya anak-anak meniru apa yang mereka lihat dari orang dewasa. Kondisi yang mereka lihat dari lingkungan adalah sesuatu yang sangat berguna bagi mereka untuk ditiru. Anak perempuan merupakan peniru yang hebat. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi pembelajaran agama bagi mereka.

d. Rasa Heran

Rasa kagum pada anak sangatlah berbeda dengan rasa kagum pada orang dewasa karena mereka belum memilki sifat kritis dan kreatif. Hal tersebut memberi ruang agar dapat memotivasi anak-anak untuk mengalami hal-hal yang baru (new experiences). Rasa kagum mereka bisa disalurkan melalui rasa kagum.

2). Perkembangan Moral Menurut Psikologi Perkembangan Adapun teori mengenai jiwa keagamaan anak, yaitu:

a. Rasa Ketergantungan (Sense of Dependable).

Ada 4 kebutuhan manusia ketika dilahirkan ke dunia; keinginan untuk perlindungan (security), keinginan untuk pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapatkan tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal (recognition). Keempat hal tersebut menandakan bahwa sejak lahir, anak memilki rasa ketergantungan yang tinggi. Rasa keagamaan mereka akan timbul ketika mereka merasakan pengalaman-pengalaman yang baru.

b. Instink keagamaan

Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya insting belum sempurna. Oleh

(13)

2.3. Pendidikan

Pendidikan adalah salah satu hak mendasar yang dimiliki oleh setiap orang dan harus didapatkan sejak lahir. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan terus-menerus berkembang. Secara umum, pendidikan adalah proses pengembangan diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupannya. Setiap individu yang berpendidikan akan mampu menunjukan pengaruh positif teristimewa dalam berprilaku, bersosialisasi serta hidup berdampingan dengan orang lain dilingkungan sekitarnya. Pendidikan juga mencerminkan kehidupan seseorang yang berakhlak dan bertanggung jawab bagi masa depannya secara individu serta kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

2.3.1. Pendidikan Anak Usia Dini

Salah satu tujuan dari pembangunan Nasional yang tercantum dalam pembukaan undang-undang 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa agar menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, bertanggung jawab, maju dan mandiri sesuai dengan tatanan kehidupan masyarakat yang berdasarkan pancasila. Hak yang tercantum juga di dalam undang-undang adalah bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan. Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (1989) tentang undang-undang nomor 2 mengenai sistem pendidikan nasional, mengatakan bahwa peranan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia pacasila yang memiliki kualitas pendidikan yang tinggi dan memiliki kemampuan untuk berkarya sendiri dan mendukung perkembangan bangsa.

Dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2003) tentang undang-undang nomor 20 tahun mengenai system pendidikan nasional menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi

dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

(14)

yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Menyadari pentingnya pendidikan dalam kehidupan, maka dalam UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1, Pasal 1, Butir 14 juga menyatakan bahwa ”Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Sebagai tingkatan yang paling dasar dalam penerapan pendidikan di Indonesia, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) perlu mendapatkan perhatian serius terutama dalam membentuk karakter anak yang adalah penerus masa depan bangsa. Prinsip yang mendasarinya adalah karena pada tingkatan usia ini, seluruh instrumen manusia terbentuk bukan hanya kecerdasan saja tetapi juga kecakapan psikis anak, sehingga masa ini disebut sebagai masa emas perkembangan (golden age of development).

Dalam hubungannya dengan kecerdasan dan kecakapan, perkembangan anak pada tahun- tahun pertama sangat penting karena perkembangan tersebut menentukan

kualitas hidupnya di masa depan. Selain merupakan individu yang berbeda, unik, dan memiliki karakteristik sendiri sesuai dengan tahapan usianya, anak dilahirkan dengan potensi yang mampu berkembang secara baik termasuk di dalamnya perkembangan karakter yang tidak terlepas dari aspek-aspek perkembangan lainnya. Karakter anak akan sangat menentukan kehidupan mereka di tahun-tahun berikutnya di mana mereka banyak dipengaruhi oleh lingkungan sosial baik keluarga sebagai lingkup social yang terkecil hingga lingkungan masyarakat sebagai lingkupa yang terbesar.

(15)

kesuksesan seorang anak di masa depan. Namun, hal tersebut merupakan satu diantara banyak hal penting yang harus diperhatikan. Karena kematangan pendidikan sejak usia dini sangat berpengaruh bagi perkembangan anak dari berbagai aspek kecerdasan. Selain itu dengan Pendidikan Anak Usia Dini, anak akan menjadi lebih matang dan siap dalam menghadapi dunia sekolah.

Pendidikan anak usia dini merupakan tempat yang tepat dan cukup dibutuhkan anak untuk menghadapi masa depannya. Pendidikan anak usia dini akan memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya, yang paling dekat adalah menghadapi masa sekolah. Pendidikan anak usia dini tidak sekedar berfungsi untuk memberikan pengalaman belajar kepada anak, tetapi yang lebih penting berfungsi untuk mengoptimalkan perkembangan otak. Pendidikan anak usia dini sepatutnya juga mencakup seluruh proses stimulasi psikososial dan tidak terbatas pada proses pembelajaran yang terjadi dalam lembaga pendidikan. Artinya, pendidikan anak usia dini dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja seperti halnya interaksi manusia yang terjadi di dalam keluarga, teman sebaya, dan dari hubungan kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan anak usia

dini.

Hal penting yang menjadi fokus utama dalam pendidikan serta dalam penelitian ini adalah kecakapan yang berhubungan dengan karakter atau moral.

Permendikbud 146 tahun 2014 pada lampiran pertama menyatakan bahwa moral juga merupakan karakteristik dari kurikulum perkembangan pendidikan anak usia dini ini. Hal tersebut disamping aspek lain yang terintergral dalam empat kompetensi dasar yaitu kompetensi dasar spiritual, kompetensi dasar sosial, kompetensi dasar pengetahuan dan kompetensi dasar keterampilan.

(16)

sepenuhnya mengenal aturan dan tata cara berprilaku serta cara bersikap dengan orang lain mulai belajar bergaul dan memahami orang lain.

Hal ini berarti bahwa pembentukan karakter perlu didasarkan pada bagaimana menanamkan secara menyeluruh aspek-aspek tersebut di atas menjadi suatu kesatuan yang kuat sebagai pedoman perkembangan anak dalam dunia pendidikan. Seorang ahli bernama Lickona menjelaskan bahwa karakter terdiri atas 3 bagian yang saling terkait yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling) dan perilaku bermoral (moral behavior). Artinya, manusia yang berkarakter adalah individu yang mengetahui tentang kebaikan (knowing the good), menginginkan dan mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (acting the good).

2.3.2. Pendidikan Moral

Berusaha untuk mengembangkan suatu pola perilaku seseorang sesuai dengan nilai- nilai dan kehidupan moralitas dan kesusilaan nyata yang ada di dalam masyarakat. Untuk itu, pendidikan moral berguna untuk mengambil keputusan moral yang terbaik bagi dirinya dan masyarakat. Seperti pernyataaan yang sangat terkenal dari Meno yaitu “apakah pendidikan moral diartikan dengan pendidikan tentang moral atau apakah moral itu dimaksudkan agar manusia belajar menjadi manusia yang bermoral?” dari pernyataan tersebut dengan sendirinya membuka kesadaran akan pentingnnya moral dan pendidikan moral bagi manusia. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana isi pendidikan dan metode penyajian serta bagaimana tanggung jawab sekolah dalam masyarakat dalam pengembangan pendidikan moral tersebut.

(17)

bermasyarakat. Sedangkan menurut Ramli (2003), pendidikan moral memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan karakter dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik pula. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.

Pendidikan moral sangatlah luas sehingga dibutuhkan suatu kegiatan dari guru, orang tua, masyarakat dan negara untuk membantu dan melakukan pelayanan ekstra dalam membantu pencapaian tujuan pendidikan moral. Guru dapat mengaitkan semua bentuk pembelajaran dengan moral. Begitupula kepala sekolah dan orang tua dimana keduanya dapat berbuat sesuatu dalam kaitannya dengan masalah moral. Meskipun lingkungan masyarakat seperti keadilan, keamanan, kemakmuran dan kesetiakawanan ssosial dan lainnya yang akan mempengaruhi penentuan sikap dan pertimbangan moral seseorang. Dengan begitu pendidikan moral menuntut adanya tanggung jawab dari semua pihak terhadap keberhasilan pendidikan moral.

Ada beberapa substansi dari pendidikan moral atau budi pekerti seperti yang disampaikan oleh Rianto dalam Zuriah (2007) yang meliputi sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan, sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan

(18)

Tabel 2.1 Integritas Sikap dan Perilaku serta Nilai-nilai karakter moral atau budi pekerti (Samani & Hariyant, 2012).

Jangkauan atau Integritas Sikap

dan Perilaku Nilai-nilai Karakter Sikap dan perilaku dalam

hubungannya dengan Tuhan

Berdisiplin, beriman, bertaqwa, berfikir jauh ke depan, bersyukur, jujur, mawas diri, pemaaf, pemurah, pengabdian.

Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan diri sendiri

Bekerja keras, berani memikul resiko, berdisiplin, berhati lembut, berempati, berfikir matang, berfikir jauh ke depan, bersahaja, bersemangat, bersikap konstruktif, bertanggung jawab, bijaksana, cerdik, cermat, dinamis, efisien, gigih, hemat, jujur, berkemauan keras, mandiri, mawas diri, menghargai orang lain, toleransi, menghargai waktu, menghargai kesehatan, tangguh, ulet, susila, sportif, terbuka, adil, hormat, produktif, aktif, ramah tamah, kasih sayang, rela berkorban, amanah, pemaaf, pemurah, pengabdian, menghargai karya orang lain, kukuh hati, lugas, pengendalian diri, pengabdian, tekun, tegas, tertib.

Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan keluarga

Bekerja keras, berfikir jauh kedepan, rela berkorban, mawas diri, lugas, cerdik, cermat, jujur, bijaksana, tertib, pemaaf, menghargai waktu, menghargai kesehatan, ramah tamah, pengabdian, setia, sabar, pemurah, rasa kasih sayang, amanah, terbuka

Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan masyarakat dan bangsa

Bekerja keras, berfikir jauh kedepan, toleransi, bijaksana, cerdik, cermat, jujur, berkemauan keras, lugas, setia, menghargai, tertib, sportif, susila, tegas, rela berkorban, amanah, terbuka, ramah tamah, rasa kasih sayang, pemurah, pengabdian, adil

Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan alam sekitar

Bekerja keras, berfikir jauh ke depan, pengabdian, menghargai kesehatan

[image:18.612.117.537.142.615.2]
(19)

dalam penelitian ini berkaitan dengan bagaimana guru membenahi dan mengoptimalkan perkembangan moral anak usia 4-6 hun melalui peran mereka.

2.4. Guru

Unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan adalah guru. Guru adalah

tokoh yang berperan penting dalam upaya menciptakan pendidikan yang utuh. Guru menjadi acuan dimulainya proses pendidikan di sekolah dan juga acuan bagi terciptanya keseluruhan keberhasilan suatu program pendidikan. Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2003) tentang undang-undang nomor 20 mengenai system pendidikan nasional, guru merupakan pendidik professional yang bertugas untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi dari peserta didik. Karena memegang peranan yang penting dalam pendidikan maka tugas dan tanggung jawab mendasar dari seorang guru harus benar- benar dipahami dan diterapkan. Guru harus mampu menciptakan pendidikan yang berkualitas dan memiliki energi kuat serta berdaya mengembangkan kebaikan.

Guru adalah tokoh yang memberikan keberhasilan sangat besar di sekolah yang tidak bisa digantikan oleh apa pun. Banyak aspek manusiawi yang dimiliki seperti sistem nilai, sikap, perasaan, motivasi, kebiasaan serta keteladanan dalam suatu proses pembelajaran yang hanya bisa didapatkan dari seorang guru. Oleh karena itu, kehadiran guru memberi kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan anak didik termasuk kepribadiannya.

2.4.1. Peran Guru Sebagai Pendidik

(20)

keteladanan yang diharapkan dalam prosem belajar yang tentunya unik dan hanya dapat dilihat dan dicapai melalui peran seorang guru sebagai pendidik.

Secara umum, seorang pendidik hadir untuk membantu dan mengupayakan perkembangan peserta didiknya agar mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki. Ada beberapa kondisi atau syarat untuk menjadi seorang pendidik menurut Ramayulius (2006), sebagai berikut:

1) Kewibawaan yaitu pengaruh positive yangau bertujuan untuk membantu orang lain ataupun anak didik agar berkembang sebaik mungkin. Peserta didik akan percaya kepada pendidik dan dengan sendirinya patuh jika pendidik memiliki kewibawaan yang baik dan dapat diteladani.

2) Pendidik harus mengenal secara pribadi peserta didiknya.

3) Pendidik harus mengetahui bahwa peserta didiknya adalah “aku” yang berpribadi dan ingin bertanggung jawab serta menentukan diri sendiri.

Sedangkan menurut imam Al Ghazali dalam Syaefuddin (2005; 124-127), memberi delapan batasan yang ketat bagi profesi pendidik yang harus dipenuhi, sebagai berikut:

1) Pendidik harus memiliki rasa kasih sayang terhadap anak didik serta menganggap mereka seperti anak sendiri

2) Pendidik tidak melakukan komersialisasi dunia pendidikan

3) Memberi nasehat dan arahan yang baik bagi peserta didik

4) Mampu mengarahkan peserta didik kepada hal-hal yang positif dan menghindari hal-hal yang sifatnya destruktif yang akan merusak moral dan kepribadian peserta didik itu sendiri.

5) Mengenali tingkat naluri dan intelektualitas anak didik. Pendidik harus mampu mengidentifikasi kemampuan anak sebagai peserta didik.

6) Pendidik harus mampu menumbuhkan motivasi anak serta kegairahannya terhadap ilmu yang dipelajari tanpa menimbulkan sikap apriori terhadap ilmu lain.

(21)

Kelompok usia dini lebih tepat diberi ilmu praktis tanpa argumentasi yang berat dan melelahkan mereka.

8) Pendidik harus mampu memberi teladan kepada anak didiknya.

Apabila peranan tersebut mampu dilakukan dengan baik, seorang pendidik tentunya akan menjadi pribadi yang berhasil dalam mengembangkan anak didiknya menjadi potensi yang besar di masa yang akan datang bagi kemajuan bangsa. Peserta didik sendiri akan tumbuh menjadi probadi-pribadi yang bertanggung jawab dan memiliki potensi serta kompetensi yang bermanfaat. Selain itu, mereka pastinya memiliki pertumbuhan moral yang baik karena transfer positif yang diperoleh dari guru sebagai pendidik mereka.

2.4.2. Peran Guru dalam Pembentukan Moral Anak

Sebagai tokoh yang secara langsung berhubungan dengan anak didik, guru memiliki peran yang besar dalam membimbing serta membentuk moral anak didiknya. Untuk mencetak generasi yang bermoral, guru perlu memperhatikan serta melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk membantu proses pembentukan peserta didik yang bermoral baik di masa depan.

Dalam dunia pendidikan, Ki Hadjar Dewantara dalam Hartono (2011) sebagai pelopor dan bapak pendidikan Indonesia menetapkan beberapa tugas pokok seorang guru yang tertanam dalam makna slogan pendidikan Indonesia dan terkenal dengan sebutan “Tutwuri Handayani.” Di dalam slogan ini terdapat tiga tugas pokok penting seorang guru yaitu:

1. Ing Ngarso Sungtulodo, berarti seorang guru harus mampu menjadi contoh

atau model bagi siswanya baik sikap maupun pola pikirnya. Anak akan

melakukan apa yang dicontohkan oleh gurunya. Bila guru memberikan teladan yang baik maka anak pun akan menjadi baik dalam sikap serta pola

pikirnya.

2. Ing Madya Mangunkarso, berarti bahwa guru selalu berada di antara

(22)

memberikan semangat kepada siswanya, maka siswa akan lebih giat karena merasa diperhatikan dan selalu mendapat pikiran-pikiran positif dari gurunya. Hal ini biasanya berkaitan dengan pemberian reward pada anak untuk membangkitkan semangat mereka.

3. Tut Wuri Handayani, berarti guru selalu memberikan dorongan pada anak

agar mampu mengembangkan dan mengoptimalkan setiap potensi yang

dimilikinya. Guru diharapkan mampu memberikan kesempatan pada anak

untuk mengeksplor setiap hal positif yang dapat membangun dirinya dengan

terus memberi dorongan dan juga semangat pada anak.

Selain ketiga tugas pokok guru menurut Ki Hadjar Dewantara di atas, ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli (dalam Sardiman, 2001) yaitu:

1. Prey Katz menggambarkan peran guru sebagai komunikator, sahabat yang dapat memberikan nasihat-nasihat, motivator sebagai pemberi inspirasi dan dorongan, pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkah laku serta nilai-nilai orang yang menguasai bahan yang diajarkan.

2. Havighurst menjelaskan bahwa peran guru di sekolah adalah sebagai pegawai

(employee) dalam hubungan kedinasan, sebagai bawahan (subordinate) terhadap atasannya, sebagai kolega dalam hubungannya dengan anak didik, sebagai pengatur disiplin, dan pengganti orang tua.

3. James W. Brown mengemukakan bahwa tugas dan peran guru antara lain: menguasai dan menggambarkan materi pelajaran, merencanakan dan mempersiapkan palajaran sehari-hari, mengontrol dan mengevaluasi kegiatan siswa.

Ada pula beberapa peran guru menurut Sari (2010), sebagai berikut: 1). Guru sebagai ahli instruksional

(23)

2). Guru sebagai motivator

Siswa akan memiliki semangat belajar yang tinggi apabila memiliki motivasi yang tinggi pula. Motivasi yang ada tentunya dari dalam maupun dari luar diri siswa itu sendiri. Motivasi dari luar berasal dari guru seperti memberi dorongan agar peserta didik semakin giat dalam belajar serta memberi tugas kepada siswa sesuai tingkat kemampuan mereka.

3). Guru sebagai model

Guru harus bisa menjadi teladan dan pusat perhatian bagi muridnya Guru harus mampu menunjukan kharisma yang tinggi, dan juga berusaha agar semua perkataan, sikap dan tindakannya memancar kepada murid-muridnya.

Untuk itu, dalam penelitian ini, ada 3 peranan yang diadopsi dari pendapat para ahli di atas mengenai peran guru yang akan digunakan sebagai pedoman untuk meneliti sejauh mana peranan guru dalam upaya membentuk moral anak di TK Kristen 03 Eben Haezer Salatiga. Ketiga peranan dimaksud adalah guru sebagai model, guru sebagai motivator dan guru sebagai pembimbing bagi anak didiknya.

Sebagai model, guru berkewajiban memberi contoh bagi anak didiknya dalam berpikir, bersikap serta berperilaku yang tentunya dapat diikuti dan dicontohi oleh anak didiknya. Guru perlu menjaga sikap serta wibawanya sebagai seorang yang

menjadi panutan agar anak bisa mengikuti serta meneladani. Menurut kamus besar Indonesia (2008) model merupakan pola, contoh atau acuan dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Berdasarkan pendapat tersebut, guru harus mampu menginspirasi ata menjadi acuan bagi anak untuk melakukan hal-hal yang patut dilakukan dalam bersosialisasi dengan lingkungan serta sesamanya yang beguna bagi masa depannya. Sikap serta perilaku guru tentunya akan menjadi pedoman serta pegangan bagi anak dalam menjalani kehidupannya ke depan.

(24)

dan berperilaku. Guru dituntut untuk kreatif membangkitkan motivasi belajar pada anak sehingga terbentuk perilaku yang efektif.

Sedangkan sebagai pembimbing, guru diharapkan mampu membimbing dan menuntun anak kepada hal-hal positif dan membangun dirinya. Guru harus berusaha membimbing anak agar dapat menemukan berbagai potensi yang dimilikinya dan dapat mencapai dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan mereka. Melalui ketercapaian itu, anak dapat tumbuh dan berkembang sebagai individu yang memiliki sikap dan perilaku yang baik.

2.4.3. Langkah-Langkah Guru dalam Penanaman Nilai Moral pada Anak Usia Dini

Menurut Darmadi (2009), penanaman nilai-nilai serta pembentukan moral pada Anak Usia Dini (AUD) oleh guru dapat dilakukan melalui beberapa metode. Metode-metode tersebut sebagai berikut:

1) Metode bermain

Metode bermain dapat membantu anak untuk bersosialisasi dengan orang lain.

Melalui permainan anak mendapatkan kesenangan serta mereka dapat menuangkan imajinasi mereka secara bebas. Nilai-nilai sosial dan norma yang dapat diajarkan kepada anak-anak, sebagai berikut:

a) Mengajarkan anak untuk dapat bersosialisasi dan mampu bekerja sama dengan teman-teman sepermainan.

b) Mengajarkan kepada anak agar memiliki sikap tenggang rasa, menolong sesama dan saling membutuhkan.

c) Mengajarkan kepada anak untuk mau berbagi dengan teman serta memiliki rasa peduli kepada orang lain.

d) Mengajarkan tata bicara yang sopan, baik dan benar kepada anak-anak.

e) Memperkenalkan kepada anak berbagai macam aturan yang baik yang ada di keluarga, lingkungan sekitar, sekolah maupun di jalan.

(25)

g) Mengajarkan kepada anak untuk belajar menerima konsekuensi atau akibat jika melanggar peraturan.

2) Metode bercerita

Dengan metode ini pesan-pesan atau informasi moral yang dapat menambah pengetahuan anak tentang nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat. Pesan-pesan moral yang dapat disampaikan seperti sikap rendah hati, jujur, tidak boleh membantah, menyayangi serta mendengar nasehat dari orang tua, toleransi, membatu orang tua, saudara, teman, tetangga yang membutuhkan. Selain itu, menanamkan rasa cinta terhadap orang lain.

3) Metode pemberian tugas

Melalui metode ini, nilai moral yang dapat dibagikan dalam pemberian tugas secara individu antara lain melatih kesabaran seorang anak dan mengajarkannya untuk memiliki sikap bertanggung jawab terhadap apa yang telah menjadi tugasnya. Selain itu, melatih anak untuk belajar menaati aturan yang telah disepakati bersama. Di sisi lain, secara kelompok memberi kesempatan kepada anak untuk berlatih bekerja sama dan menyelesaikan tugas bersama. Hal ini juga membantu

menumbuhkan kemauan anak serta melatih mereka untuk bersosialisasi dengan orang lain.

4) Metode bercakap-cakap

Metode ini sangatlah penting karena dapat meningkatkan kemampuan komunikasi anak dengan orang lain. Dengan bercakap-cakap dapat memberi banyak pengetahuan karena banyak sekali pegetahuan yang diperoleh anak karena pada dasarnya anak-anak sangat suka bertanya. Melalui metode ini, pendidik memiliki kesempatan untuk mengajarkan aturan nilai dan norma yang ada di masyarakat. Hal-hal yang bisa dipelajari anak adalah sebagai berikut;

a) Memberi salam kepada orang lain b) Mencium tangan orang yang lebih tua c) Mengucapkan salam

(26)

Gambar

Tabel 2.1 Integritas Sikap dan Perilaku serta Nilai-nilai karakter moral atau

Referensi

Dokumen terkait

Edwards (dalam Putu, 2008) mengartikan motivasi berprestasi sebagai suatu kebutuhan untuk berbuat lebih baik dari orang lain, yang mendorong individu untuk

Pada tabel 4.1 yaitu tabel hasil sebaran kecerdasan musikal juga dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa (55,4%) memiliki kecerdasan musikal yang tinggi dan dari

Mereka menyatakan bahwa di China, anak–anak biasanya patuh kepada orang tua mereka, akan tetapi timbul keinginan mereka untuk lepas dari orang tuanya yang meningkat

[r]

tentang tingkah laku anak fase falik, tindakan orang tua dalam.. menghadapi anak pada fase falik, kesiapan orang

[r]

Hal yang dapat disimpulkan yaitu MPMBS merupakan bagian dari Manajemen Berbasis Sekolah yang berfokus pada peningkatan

Sesuai mengidentifika si dan menentukan rancangan pembelian kebutuhan sarana prasarana pendidikan serta mengadakan sarana prasarana pendidikan. Pengadaan dilakukan