BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Kemampuan Berpikir Kritis
i. Pengertian Kemampuan Berpikir Kritis
Menurut Santrock (2014) berpikir adalah memanipulasi dan mengubah
informasi dalam memori seperti bentuk konsep, alasan, berpikir kritis, membuat
keputusan, berpikir kreatif dan memecahkan masalah. Ia juga mendefinisikan
berpikir kritis yaitu berpikir reflektif, produktif dan mengevaluasi bukti.
Menurut McPeck (1981, dalam Kuswana 2013) mendefinisikan berpikir
kritis sebagai “ketepatan penggunaan skeptis reflektif dari suatu masalah, yang dipertimbangkan sebagai wilayah permasalahan sesuai dengan disiplin materi.
Dalam rangka mengembangkan keahlian dalam materi ilmu yang dibutuhkan
Smith (2002) berpendapat bahwa berpikir kritis tentang beberapa hal yang
dipikirkan tentang isi dari materi tertentu.
Bailin (1998, dalam Kuswana 2012) mengidentifikasi dua jenis
pendekatan untuk berpikir kritis yaitu pendekatan psikologis (deskripsi) yang
berfokus pada keterampilan proses dan prosedur serta pendekatan filosofis
(normatif) yang fokus pada praktik kritis.
Ennis (1989) mendefinisikan berpikir kritis adalah wajar, berpikir reflektif
yang difokuskan pada memutuskan apa yang harus dipercaya atau dilakukan.
Sedangkan menurut Glaser (1941) berpikir kritis adalah sikap untuk
mempertimbangkan masalah dengan metode penyelidikan logis dan penalaran
dengan keterampilan dalam menerapkan metode.
ii. Indikator Kemampuan Berpikir Kritis
Wajar, berpikir reflektif yang difokuskan pada memutuskan apa yang
harus dipercaya atau dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut Ennis membuat
indikator berpikir kritis sebagai berikut:
a. Merumuskan pokok permasalahan
b. Mengungkapkan fakta yang dibutuhkan dalam permasalahan
c. Memilih argument logis, relevan dan akurat
e. Menentukan kesimpulan dari pernyataan yang diambil
Berdasarkan indikator di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis
memiliki lima konsep kunci dan karakteristik yaitu praktis, reflektif, moderat,
keyakinan dan tindakan.
Glaser mendefinisikan berpikir kritis sebagai: (1) suatu sikap mau berpikir
secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berbeda dalam
jangkauan pengalaman seseorang, (2) pengetahuan tentang metode-metode
pemeriksanaan dan penalaran yang logis dan (3) semacam suatu keterampilan
untuk menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya keras
untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti
pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjut yang diakibatkannya.
Berdasarkan definisi di atas dapat diturunkan maka digolongkan indikator
[image:2.595.72.526.162.759.2]berpikir kritis pada tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Indikator Berpikir Kritis
No. Indikator Sub Indikator Penjelasan
1. Suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berbeda dalam jangkauan pengalaman
seseorang,
a. Mengenal masalah b. Menemukan
cara-cara yang dipakai untuk menangani masalah-masalah c. Berpikir secara
berbeda
a. Memahami yang dimaksudkan dalam soal
b. Saat mengetahui soal langsung dapat
memunculkan cara-cara yang digunakan dalam menyelesaikan soal
c. Menggunakan cara atau pandangan lain dari buku 2. Pengetahuan tentang
metode-metode pemeriksanaan dan penalaran yang logis
d. Mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan e. Mengenal
asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan
f. Memahami dan
menggunakan
bahasa yang tepat, jelas, dan khas g. Menganalisis data h. Menilai fakta dan
d. Mengumpulkan sumber-sumber yang ada kemudian menyimpulkannya e. Mengenal
pernyataan-pernyataan yang tidak dinyatakan dalam jawaban f. Menjawab dengan
menggunakan bahasanya sendiri
mengevaluasi pernyataan-pernyataan
i. Mengenal adanya hubungan yang logis antara masalah-masalah
dimengerti oleh orang lain
g. Menganalisis apakah jawaban sudah sesuai yang ada pada sumber
dan yang
ditanyakan pada soal
h. Mengevaluasi pernyataan yang diberikan
i. Dapat
menghubungan permasalahan yang satu dengan yang lain
3. Semacam suatu
keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut
j. Menarik
kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan k. Menguji
kesamaan-kesamaan dan
kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil l. Menyusun kembali
pola-pola keyakinan seseorang
berdasarkan
pengalaman yang lebih luas
m. Membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
j. Menarik
kesimpulan dari informasi dan pemikiran yang di dapat
k. Menilai kesamaan pendapat dan kesimpulan milik orang lain
l. Menyusun pandangan seseorang berdasarkan
pengalaman yang lebih luas
m. Membuat penilaian berdasarkan
kualitas apa yang telah di jawab
2. Perbedaan Gender
Pada proses kegiatan pembelajaran di kelas banyak siswa yang terlibat baik
siswa laki-laki maupun siswa perempuan dimana setiap siswa memiliki kesempatan
yang sama untuk memperoleh informasi tentang materi pelatihan dari guru. Secara
biologis laki-laki dan perempuan berbeda. Perbedaan itu terlihat jelas pada alat
hormon yang berbeda antara laki-laki dengan perempuan. Dengan adanya perbedaan
ini berakibat pada perlakuan yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Selain
faktor biologis, faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah faktor
[image:4.595.75.524.160.590.2]psikologis. Faktor psikologis terkait dengan intelegensi, bakat dan motivasi.
Tabel 2.2 Perbedaan Faktor Psikologis
Perbedaan Laki-Laki Perempuan
Intelegensi
Laki-laki lebih aktif, akan tetapi keaktifan laki-laki ini kemudian menyebabkan laki-laki menjadi lebih sulit untuk diatur. Hal inilah yang menyebabkan laki-laki memiliki prestasi belajar yang lebih rendah daripada perempuan.
Perempuan lebih pendiam dan lebih memperhatikan pembelajaran sehingga perempuan lebih fokus dalam pembelajaran.
Bakat
Laki-laki memiliki bakat dalam bidang eksakta.
Perempuan memiliki bakat dalam bidang sastra dan ekonomi rumah tangga.
Motivasi
Laki-laki kurang termotivasi dan bekerja rajin dalam mengerjakan pekerjaan sekolah.
Perempuan lebih
termotivasi dan bekerja
lebih rajin dalam
mengerjakan pekerjaan sekolah. Motivasi dan keterampilan organisasi yang lebih tinggi pada
perempuan memberi
mereka keuntungan dalam pekerjaan yang ikut diperhitungkan dalam ujian selanjutnya daripada kemampuan perempuan pada masa lalu.
Menurut Susento (2006) perbedaan gender bukan hanya berakibat pada
perbedaan kemampuan dalam pengetahuan matematika, tetapi cara memperoleh
pengetahuan matematika. Keitel (1998) menyatakan “Gender, social, and cultural dimensions are very powerfully interacting in conceptualization of mathematics
education,...” yang berarti “gender, sosial dan budaya berpengaruh pada pembelajaran Matematika…”. Yoenanto (2002) juga menjelaskan bahwa siswa pria lebih tertarik dalam pelajaran matematika dibandingkan dengan siswa wanita, sehingga siswa
wanita lebih mudah cemas dalam menghadapi matematika dibandingkan dengan
pembelajaran matematika. Perubahan proses pembelajaran matematika yang
menyenangkan dengan memperhatikan perbedaan jenis kelamin sehingga siswa
laki-laki dan perempuan tidak lagi takut atau cemas dalam pelajaran matematika.
3. Persamaan Garis Lurus 1) Garis Lurus
Garis lurus adalah himpunan titik-titik dengan jarak yang berdekatan.
2) Karakteristik Garis Lurus
Garis lurus memiliki karakteristik yaitu suatu garis miring yang disebut dengan
gradien. Gradien adalah perbandingan antara jarak vertikal dengan jarak
horizontal dari dua buah titik yang dilalui garis lurus.
3) Persamaan garis lurus
Persamaan garis lurus merupakan persamaan linear yang mengandung dua
variabel dan berpangkat satu. Persamaan garis lurus dirumuskan dengan
dengan c adalah konstanta dan m adalah gradien. Pada gambar 2.3 terlihat
[image:5.595.75.527.127.640.2]bahwa persamaan garis lurus memotong di garis y pada titik (0,c)
Gambar 2.1
Grafik Persamaan Garis Lurus
B. Penelitian Relevan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hasratuddin (2010) tentang
peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa SMP melalui pendekatan matematika
realistik. Temuan yang didapat dalam penelitian tersebut adalah diketahui banyak subjek
laki-laki 58 orang dengan rata-rata peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa sebesar
peningkatan kemampuan berpikir kritis 11,87. Pada pengambilan data mengenai
perbedaan kemampuan berpikir kritis berdasarkan gender dibuat hipotesis yaitu tidak
terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran
matematika yang dilakukan dengan pendekatan matematika realistik terhadap perbedaan
gender. Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
berpikir kritis siswa berdasarkan gender dalam pembelajaran matematika realistik yang
dilakukan karena rata-rata penigkatan kemampuan berpikir kritis siswa perempuan lebih
tinggi dari siswa laki-laki.
Penelitian yang dilakukan oleh Zubbaidah (2013) tentang perspektif gender dalam
pembelajaran matematika. Temuan yang didapat dalam penelitian tersebut adalah adanya
perbedaan gender dalam pembelajaran matematika yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Siswa perempuan juga berprestasi dalam menyelesaikan soal matematika, namun cara
yang perbedaannya terletak pada cara menyelesaikan soal matematika. Siswa perempuan
pengalaman spatial diluar sekolah yang lebih rendah daripada anak laki-laki, banyak anak
perempuan tidak pernah menggali potensinya untuk berpikir secara spatial kecuali jika