• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Eksposur Kekerasan di Televisi dengan Jenis Perilaku Agresif Siswa Kelas XI SMK SARASWATI Salatiga T1 132009100 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Eksposur Kekerasan di Televisi dengan Jenis Perilaku Agresif Siswa Kelas XI SMK SARASWATI Salatiga T1 132009100 BAB II"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1Eksposur kekerasan di televisi

2.1.1 Pengertian Media Televisi

Televisi adalah sebuah media telekomunikasi terkenal yang berfungsi

sebagai penerima siaran gambar bergerak beserta suara, baik itu yang monokrom

(hitam-putih) maupun berwarna. Kata “televisi” merupakan gabungan dari kata tele (jauh) dari bahasa Yunani dan visio (penglihatan) dari bahasa latin, sehingga

televisi dapat diartikan sebagai “alat komunikasi jarak jauh yang menggunakan

media visual/penglihatan (Sofiah, 1993). Televisi menciptakan suasana yang

berbeda, penyampaian isi pesan seolah-olah langsung antara komunikator dan

komunikan. Informasi yang disampaikan oleh televisi sangat mudah dimengerti

karena jelas terdengar secara audio dan terlihat secara visual (Kuswandi, 1996).

2.1.2 Jenis-jenis tayangan di televisi

Televisi sebagai salah satu media komunikasi massa mempunyai berbagai

ragam bentuk tayangan dengan format yang berlainan. Naratama (2004)

mendeskripsikan format acara televisi yang akan menjadi landasan kreativitas dan

desain produksi yang akan terbagi dalam berbagai kriteria utama yang disesuaikan

(2)

Format acara televisi menurut Naratama (2004) dibagi dalam tiga kategori,

yaitu:

1) Drama (fiksi)

Sebuah format acara televisi yang diproduksi dan dicipta melalui imajinasi

kreatif dari kisah-kisah drama atau fiksi yang direkayasa dan dikreasi ulang.

Contoh drama (fiksi) adalah dalam bentuk tragedy, aksi, komedi, cinta,

legenda, dan horror.

2) Non drama (non fiksi)

Sebuah format acara televisi yang diproduksi dan dicipta melalui proses

pengolahan imajinasi kreatif dan realistis kehidupan sehari-hari tanpa harus

menginterpretasi ulang dan tanpa harus menjadi dunia khayalan. Contoh non

drama adalah music, talk show, variety show, reality show, game show, dan

kuis.

3) Berita

Sebuah format acara televisi yang diproduksi berdasarkan informasi dan fakta

atas kejadian dan peristiwa yang berlangsung pada kehidupan masyarakat

sehari-hari. Contoh berita adalah news dan sport.

2.1.3 Dampak tayangan kekerasan di televisi

Kekerasan merupakan salah satu yang sering ditayangkan di layar televisi.

Adegan kekerasan ini menyebar dalam berbagai jenis program acara. Apakah itu

berita, animasi anak, drama dewasa, drama sinetron, olah raga, reality show. Jadi,

(3)

masyarakat. Masyarakat tidak pernah mengetahui apakah tayangan itu berbahaya

atau tidak. Bagi masyarakat, tayangan kekerasan di televisi hanyalah sebuah

hiburan dan tidak membahayakan. Memang benar, itu hanyalah sebuah tayangan

dan sama sekali tidak berbahaya. Namun, dibalik tayangan kekerasan itu, kita bisa

saja mencontoh apa yang dilakukan oleh pelaku-pelaku kekerasan di

televisi. Terutama bagi anak-anak, mereka akan merasa terbiasa dengan tindak

kekerasan. Hal itu memungkinkan anak-anak melakukan tindak kekerasan tanpa

adanya rasa takut.

Tidak hanya itu, tayangan pemberitaan kriminal pun bisa saja

menimbulkan akibat yang sama. Hampir setiap hari di hampir setiap stasiun

televisi yang ada di negeri ini, selalu menampilkan tayangan tentang berbagai

kasus kriminal. Entah bertujuan untuk menunjukkan betapa negeri ini sudah aman

dengan aparat yang sungguh sigap atau justru sebaliknya, yaitu menunjukkan

bahwa hidup kita semakin terancam, tetapi yang pasti tercatat pada Buser

(SCTV), Investigasi (Trans TV), Patroli (Indosiar), Redaksi Sore (Trans7), Halo

Polisi (Indosiar), Sergap (RCTI) dan beberapa tayangan lain sejenis. Masing -

masing tayangan di rancang secara khusus, meski tak jarang materi berita (kasus)

yang disampaikan sama.

Selain memiliki efek terhadap individu, media massa juga menghasilkan

efek terhadap masyarakat dan budayanya. Efek dalam pengertian ini umumnya

mengacu pada suatu efek jangka panjang yang tidak langsung. Efek juga bukan

(4)

keseluruhan sistem pesan (Bushman dan Bonacci ,2002 dalam Gunter, Furnham

& Pappa, 2005).

Tayangan kekerasan di televisi dapat memberi efek yang tidak baik bagi

masyarakat (Gunter, Furnham & Pappa, 2005). Beberapa efek tayangan kekerasan

di televisi diantaranya:

1)Pelajaran baru tindakan kekerasan

Anak-anak dapat belajar tindakan-tindakan yang agresif dan kompleks

yang baru benar-benar melalui pengamatan terhadap tindakan yang ditampilkan

oleh seorang model dalam sebuah tayangan televisi.

2)Dorongan perbuatan agresi

Teori pembelajaran sosial (dan akal sehat) menyatakan bahwa kita tidak

benar-benar menampilkan sesuatu yang kita pelajari dari peniruan. Penampilan

perilaku akibat belajar itu tergantung pada banyak faktor, keterampilan motorik

dari orang yang belajar, peluang untuk menampilkan tindakan itu, dan motivasi.

Agresi dalam kehidupan sesungguhnya tidak sama dengan agresi atau kekerasan

yanng meyakinkan di televisi. Dorongan terjadi dengan adanya penguatan untuk

tindakan kekerasan itu. Oleh karena itu, penguatan akan mempermudah agresi ini.

Penguatan agresi dapat terjadi karena individu mengamati seorang model ; hal ini

dapat juga karena demi orang lain dengan melakukan tindakan agresi yang

ditayangkan di televisi yang diamatinya diberikan alasan pembenar atau diberikan

(5)

3)Penguatan sebelum pengamatan

Prinsip umum dari teori pembelajaran adalah bahwa kita lebih mungkin

melakukan tindakan-tindakan yang pernah diberikan ganjaran di masa lalu,

sementara tindakan-tindakan yang pernah dihukum cenderung tidak dilakukan.

Anak-anak yang terdorong agresif lebih condong telah diperkuat atas tindakannya

itu di masa lalu atau mereka mungkin berasal dari lingkungan sosial yang

memberikan kelonggaran terhadap agresi.

4)Penguatan karena orang lain

Menurut teori pembelajaran sosial, kita mempelajari perilaku tidak hanya

ketika kita secara langsung diberikan penguatan terhadap dilakukannya perilaku

itu melainkan juga karena pengamatan terhadap akibat-akibatnya bila orang lain

melakukan tindakan itu.

5)Penguatan setelah pengamatan

Sebuah prinsip dasar teori pembelajaran sebagaimana yang kita lihat

adalah bahwa tanggapan-tanggapan cenderung dilakukan dan dipelajari bila hal

itu diberikan ganjaran. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa anak-anak lebih

cenderung menampilkan tanggapan agresif yang dipelajari ketika mereka

dijanjikan ganjaran atau ketika mereka benar-benar memperoleh ganjaran

terhadap dilakukannya tanggapan itu.

2.1.4 Pengertian Eksposur Kekerasan

Komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan

(6)

cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak

dan sesaat.

Eksposur terhadap media massa dapat menjadi kebiasaan, dan dapat

merusak perilaku seseorang. Salah satu pengaruh merusak dari media massa

adalah agresi. Agresi sebagai efek media dapat ditelaah dari teori belajar social

Bandura. Menurut teori ini, orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya.

Stimuli yang diamati menjadi keadaan untuk perilakunya. Bila seseorang

mengamati kekerasan di media, maka orang tersebut akan mengimitasi apa

yang dilihatnya di dalam media (Krahe, 2005).

Berdasarkan telaah diatas, dalam penelitian ini eksposur kekerasan

didefinisikan sebagai frekuensi dan intensitas seseorang menyaksikan

kekerasan media sehingga ia mengimitasi agresi yang dilihatnya.

2.1.5 Aspek - aspek Eksposur Kekerasan

Aspek yang digunakan untuk mengukur eksposur televisi diambil dari

aspek yang dikembangkan oleh Anderson dan Dill (2000), yang kemudian juga

digunakan oleh Gentile (2004). Aspek-aspek tersebut adalah frekuensi individu

menyaksikan tayangan tertentu di televisi dan kekerasan yang diekspresikan

oleh individu pada tayangan tersebut.

2.1.6 Pengaruh Eksposur terhadap Agresivitas

Secara teoritis, agresi dipelajari melalui proses belajar observasional.

(7)

yang ditunjukkan pada percobaan boneka bobo Bandura. Padahal , media

televisi dan video games banyak menggambarkan kekerasan. Villani (2000)

menyatakan bahwa anak-anak mempelajari nilai-nilai hidup dari tayangan

media, sehingga apabila media sarat dengan muatan kekerasan, maka

anak-anak berpeluang mengimitasi agresi tersebut.

Beberapa penelitian membuktikan pengaruh eksposur kekerasan pada

media terhadap agresi. Frekuensi menonton televisi, khususnya program

bermuatan kekerasan pada anak terbukti berpengaruh pada tingkat agresi

(Sumarno & Waji, 2003)

Anderson & Dill (2000) membuktikan bahwa subjek menunjukkan

peninggalan agresivitas secara kognitif maupun afektif. Setelah terpapar

kekerasan media bermuatan kekerasan di laboratorium. Krahe & Moller (2004)

mencoba menjelaskan mekanisme yang melatarbelakangi penemuan Anderson

& Dill (2000) tersebut. Dalam studinya terbukti bahwa makin sering subjek

terekspos pada kekerasan, subjek secara kognitif, makin mudah memandang

agresi sebagai suatu hal yang normatif. Penelitian Funk, Baldacci, Pasold, &

Baumgardner (2004) menemukan hasil yang senada. Eksposur kekerasan di

film menyebabkan efek desentisisasi. Dengan kata lain, subjek yang

mendapatkan eksposur kekerasan terbukti memiliki tingkat empati yang lebih

rendah terhadap target kekerasan. Artinya, agresi tidak dipandang sebagai

(8)

2.2Perilaku agresif

2.2.1 Pengertian agresif

Agresivitas merupakan salah satu bentuk perilaku yang dimiliki oleh

setiap orang. Freud, Mc Dougall, dan Lorenz (dalam Ekawati,2001)

mengemukakan bahwa manusia mempunyai dorongan bawaan atau naluri untuk

berkelahi. Sebagaimana pengalaman fisiologis rasa lapar, haus, atau bangkitnya

dorongan seksual, maka dibuktikan bahwa manusia mempunyai naluri bawaan

untuk berperilaku agresi.

Agresifitas menurut Baron (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003), adalah

tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan individu

lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Sedangkan

menurut Hawadi dan Akbar (2001), agresi adalah tingkah laku yang meliputi fisik

maupun verbal yang bertujuan menyakiti orang lain, dan tingkah laku agresi ini

merupakan perilaku yang normal bagi seseorang karena hal ini sebagai

kesiapsiagaan seseorang untuk melindungi dirinya agar aman.

Buss (1961 dalam Gasa, 2005) menyebutkan bahwa suatu perilaku disebut

agresif bila individu memberikan stimulus yang berbahaya secara fisik maupun

moral kepada individu lain. Setiap perilaku yang ditujukan untuk menyakiti pihak

lain, baik secara langsung seperti memukul atau secara tidak langsung seperti

menyebarkan berita bohong mengenai seseorang dapat disebut sebagai agresi.

Krahe (2005) menambahkan bahwa suatu perilaku dapat digolongkan

sebagai perilaku agresif bila dilakukan dengan niat menimbulkan akibat negative

(9)

menghasilkan sesuatu. Spesifikasi ini mengesampingkan perilaku yang

mengakibatkan sakit ataupun cedera yang terjadi di luar kehendak, misal yang

terjadi secara kebetulan atau akibat kecerobohan, ataupun agresi yang diarahkan

pada diri sendiri.

Lebih lanjut, menurut Buss dan Perry (dalam Gasa, 2005) agresifitas

terdiri dari empat aspek, yakni agresi fisik, agresi verbal, kemarahan, dan

permusuhan. Dari pengertian-pengertian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa

agresivitas sebagai suatu perilaku yang bertujuan untuk menyakiti makhluk hidup

lain yang dimotivasi oleh persaingan, kemarahan, atau kekejaman yang berakibat

pada tersakitinya, hancurnya, ataupun kekalahan pihak lain dan terkadang diri

sendiri, serta meliputi empat aspek, yakni agresi verbal, agresi fisik, kemarahan,

dan permusuhan.

2.2.2 Faktor - faktor Perilaku Agresif

Menurut Martono dan Joewana (2006), ada faktor-faktor penyebab

timbulnya agresi, antara lain:

1)Faktor Pribadi

Remaja dituntut menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di lain pihak,

ia harus mengembangkan identitas diri secara positif. Ia harus beralih dari reaksi

kekanak-kanakan ke pertimbangan yang lebih rasional dan dewasa. Oleh karena

itu, remaja perlu memiliki pedoman tata nilai yang jelas. Jika tidak, terjadi

kekaburan nilai. Apalagi jika tidak ada tokoh yang dapat dijadikan panutan atau

(10)

diri remaja. Tidak tercapainya identitas diri yang positif, menimbulkan

ketegangan (stress) dan kecemasan pada remaja. Kekerasan merupakan sikap

agresi sebagai pelampiasan rasa frustrasi. Mereka mengambil identitas negatif dan

terjerumus pada kenakalan remaja. Bagi mereka, lebih baik daripada

terombangambing dalam ketidaktahuan diri.

2)Faktor Lingkungan Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang utama dan pertama

bagi anak. Jika Suasana keluarga kurang mendukung, pasti terjadi gangguan

perkembangan kejiwaan anak. Sumbernya, antara lain rumah tangga kacau, orang

tua sibuk dan kurang memerhatikan kebutuhan kasih sayang bagi anak, orang tua

terlalu memanjakan anak, kurangnya perhatian terhadap pendidikan anak, perilaku

orang tua yang “tidak dewasa” dan menyimpang.

3)Faktor Lingkungan Kelompok Sebaya

Jika kondisi di rumah kurang menunjang, anak mencari perhatian dan

indentitas diri diluar. Pengaruh kelompok sebaya sangat besar. Remaja ingin

diterima kelompok sebayanya sehingga mau mengikuti peraturan dan norma yang

ditetapkan kelompok. Ada rasa bangga karena banyak kawan dan merasa diri

popular. Ukuran popularitas adalah kemewahan, kekuatan fisik, kelihaian, dan

sebagainya.

4)Faktor Lingkungan Sekolah

Kondisi sekolah yang tidak menguntungkan proses pendidikan pada anak,

keadaan guru dan sistem pengajaran yang tidak menarik, menyebabkan anak cepat

(11)

rasa tidak puasnya, mereka meninggalkan sekolah atau membolos dan bergabung

dengan kelompok anak-anak yang tidak sekolah, yang pekerjaannya hanya

berkeliaran tanpa tujuan yang jelas. Jumlah siswa yang terlalu besar, kesenjangan

sosial-ekonomi, baik antara para pelajar maupun antara pelajar dan guru, disiplin

dan tata-tertib sekolah yang rendah, kurangnya sarana dan prasarana sekolah,

memahami didaktik atau metodik mengajar, kurangnya kegiatan ekstrakurikuler,

merupakan faktor-faktor penyebabnya.

5)Faktor Lingkungan Masyarakat

Kondisi sosial ekonomi, besarnya jurang antara kelompok yang „punya‟ dan yang „tidak punya‟, kurangnya sarana transportasi, lingkungan fisik perkotaan yang tidak mendukung perkembangan diri anak dan remaja, situasi politik yang

tidak menentu, lemahnya penegakan hukum, rendahnya disiplin masyarakat, dan

pengaruh media massa merupakan penyebab meningkatnya budaya kekerasan.

2.2.3 Jenis Perilaku Agresif

Menurut Deaux (Priliantini, 2008), ada dua jenis perilaku agresi yaitu:

1) Agresi secara fisik meliputi tingkah laku seperti memukul teman, menarik

baju teman dengan kasar, meninju teman, menyikut teman, melempar teman

dengan benda, berkelahi, merusak barang milik teman, mengganggu teman,

mengancam teman dengan mengacungkan tinju, membuang barang milik

teman, mencakar teman, memaksa teman memenuhi keinginannya, melukai

(12)

2) Agresi secara verbal meliputi tingkah laku seperti mengejek teman,

menghina teman, mengeluarkan kata-kata kotor, bertengkar mulut,

menakut-nakuti teman, memanggil teman dengan nada kasar, mengancam dengan

kata-kata mengkritik, menyalahkan, dan menertawakan.

Buss (1961 dalam Gasa, 2005) mengaplikasikan teori belajar Thorndike

dan Skinner pada perilaku agresif. Menurut Buss, agresif adalah perilaku yang

dipelajari, sama halnya dengan instrument behavior lain, lewat reward dan

punishment. Menurut Buss, suatu perilaku disebut agresif apabila individu

memberikan stimulus yang berbahaya secara fisik maupun moral kepada individu

lain. Menurutnya, agresi instrumental meliputi :

1)Agresi fisik, yakni tindakan agresi yang menyakiti individu lain secara

fisik.

2)Agresi verbal, yakni berupa respon vocal yang menyampaikan stimulus

yang menyakiti mental dalam bentuk penolakan dan ancaman.

3)Agresi aktif, meliputi respon instrumental yang menyampaikan stimulus

yang berbahaya secara fisik ataupun mental pada korban.

4)Agresi pasif, yakni agresi yang melibatkan tindakan menghalangi korban

untuk mencapai tujuannya.

5)Agresi langsung apabila tindak agresi dilakukan dan ditujukan pada saat

korban hadir.

6)Agresi tak langsung, yakni tindakan menyakiti korban dari jarak yang

jauh, missal menyebarkan gossip yang tidak benar, atau

(13)

Buss dan Perry (1992) mengembangkan sebuah kuisioner untuk mengukur

agresivitas. Dalam kuisionernya tersebut Buss dan Perry menyebutkan empat

aspek agresivitas. Aspek pertama agresi fisik, yakni tindakan agresi yang

menyakiti individu lain secara fisik. Kedua agresi verbal berupa respon vocal

yang menyampaikan stimulus yang menyakiti mental dalam bentuk penolakan

dan ancaman. Dan aspek ketiga adalah kemarahan, yakni emosi negatif yang

disebabkan oleh harapan yang tidak terpenuhi dan bentuk ekspresinya dapat

menyakiti orang lain serta diri sendiri (Santrock, 2000). Aspek terakhir adalah

hostility atau permusuhan, yakni tindakan yang mengekspresikan kebencian,

permusuhan, antagonisme ataupun kemarahan yang sangat kepada pihak lain.

Berdasarkan kesimpulan diatas maka penelitian ini membatasi jenis-jenis

bentuk perilaku agresi, yaitu:

1) Agresi verbal/nonfisik meliputi tingkah laku seperti mengejek dan memaki

yang menyebabkan lawan bicara tersinggung.

2) Agresi nonverbal/fisik meliputi tingkah laku seperti menampar, memukul,

menendang, merusak fasilitas umum (mencoret halte dan tembok pagar).

3) Agresi berupa kemarahan meliputi rasa benci, amarah, sedih dan

kekecewaan

4) Agresi hostility atau permusuhan meliputi tidak suka berteman, rasa iri hati

(14)

2.2.4 Agresivitas sebagai Efek Komunikasi Massa : Teori Belajar Bandura

Menurut teori belajar Bandura, individu cenderung meniru perilaku yang

diamatinya. Artinya, stimuli menjadi teladan untuk perilakunya. Maka dari itu,

stimuliberupa eksposur kekerasan yang ditayangkan I televisi dapat pula menjadi

teladan agresivitas bagi pemirsanya. Adegan kekerasan seperti pembunuhan,

perusakan, dan perilaku lain yang mencelakakan dan menyakiti orang lain adalah

bagian yang umumnya dianggap menarik dalam suatu tayangan. Adegan-adegan

tersebut digemari penonton dan produser, sehingga frekuensi serta intensitas

kemunculannya makin meningkat (Rakhmat,2003).

Teori belajar sosial memberikan sebuah kerangka teoritis untuk melihat

pengaruh eksposur kekerasan di media terhadapagresivitas. Dalam teori belajar

sosial, agresivitas adalah suatu perilaku yang harus dipelajari individu. Respon

agresif, sama halnya dengan perilaku-perilaku sosial lainnya, didapatkan dengan

cara mengalami secara langsung ataupun mengamati perilaku orang-orang lain di

sekitar individu yang berperan sebagai model. Model dapat berupa orang lain

yang ada di sekitar individu ataupun karakter-karakter yang disaksikan individu di

televisi, film maupun video games (Baron, dkk, 2006).

Teori belajar Bandura menyatakan bahwa, faktor-faktor sosial dan

kognitif, serta perilaku, memainkan peran penting dalam pembelajaran. Ketiga

faktor tersebut dinyatakan Bandura dalam kerangka model determinisme

(15)

Perilaku

Faktor Individu /

Lingkungan

Kognitif

Gambar 1. Model Determinasi resiprokal Bandura Sumber : Santrock, 2009, hal. 324

Pada model determinisme resiprokal yang ditunjukkan pada gambar 1

tersebut dapat dilihat bahwa faktor lingkungan mempengaruhi perilaku,

selanjutnya perilaku kembali mempengaruhi faktor lingkungan, faktor kognitif

mempengaruhi perilaku, dan perilaku kembali mempengaruhi faktor kognitif.

Faktor kognitif dan lingkungan pun saling mempengaruhi (Santrock, 2009).

Konsep Bandura yang terkait erat dengan konsep determinisme resiprokal

tersebut adalah konsep belajar observasional. Belajar observasional yang kerap

kali disebut imitasi atau modeling terjadi ketika seseorang mengobservasi dan

meniru perilaku orang lain. Lewat observasi, proses pembelajaran dapat

berlangsung lebih efektif ketimbang pada pembelajaran trial- error sehingga

prosesnya lebih cepat ketimbang pada pengkondisian operan (Santrock, 2009).

Konsep belajar observasional diselidiki Bandura lewat eksperimen boneka

bobo. Sebuah eksperimen klasik Bandura (1965) mengilustrasikan bagaimana

(16)

model yang tidak diperkuat atau dihukum. Eksperimen tersebut juga

mengilustrasikan perbedaan antara pembelajaran dan pelaksanaan.

Anak-anak TK dipilih secara acak dengan jumlah yang sama dan

ditetapkan untuk menonton salah satu dari tiga film dimana seorang (model)

memukuli sebuah mainan plastic berukuran orang dewasa yang dinamakan

boneka Bobo. Pada film pertama, model diberi penguat berupa permen, minuman

ringan dan pujian untuk perilaku agresif. Pada film kedua, model mendapat

hukuman, dikritik dan dipukuli untuk perilaku agresif. Pada film ketiga model

tidak menerima konsekuensi apapun untuk perlikau agresif.

Kemudian setiap ditinggalkan di dalam ruangan yang berisi

mainantermasuk sebuah boneka Bobo. Hasilnya, anak yang melihat model

mendapatkan penguat atau tidak mendapatkan konsekuensi apapun, cenderung

melakukan tindakan yang lebih agresif ketimbang anak yang melihat model

mendapatkan hukuman. Beberapa point penting dari hasil eksperimen ini adalah :

1) Belajar observasional terjadi dengan baik saat model mendapat penguat

atau tidak mendapat konsekuensi apapun dari perbuatannya.

2) Terdapat perbedaan antara belajar dan bertindak. Ketika pembelajaran

tidak memberikan respon, bukan berarti ia tidak belajar. Ketika anak tidak

memberikan respon tampak, ia mungkin mempelajari suatu model dalam

bentuk kognitif.

Dalam belajar observasional, terdapat beberapa hal yang penting yakni

atensi, retensi, reproduksi motorik, dan penguat (motivasi). Sebelum dapat

(17)

didapat kemudian diretensi oleh anak dan disimpan di dalam memori sehingga

dapat dipergunakan kembali di masa mendatang. Kemudian, memori tersebut

dapat diwujudkan lewat reproduksi motorik, meskipun pada tahap yang mungkin

tidak sesempurna model. Ketika anak dapat mengimitasi model, anak yang diberi

penguatan lebih terdorong melakukan hal sama kembali (Santrock, 2009).

Sementara itu Rakhmat (2003) menyatakan bahwa efek kekerasan dalam

televisi mempengaruhi agresivitas melalui tiga tahap, yakni :

1) Mula-mula penonton mempelajari metode agresivitas setelah melihat contoh

(observational learning).

2) Selanjutnya kemampuan penonton untuk mengendalikan dirinya berkurang

(disinhibition) dan,

3) Akhirnya mereka tidak lagi merasa tersentuh oleh apa yang dialami orang

yang menjadi korban agresi (desensitization).

Jadi, tayangan kekerasan mengajarkan agresi, mengurangi kendali moral

penontonnya, dan menumpulkan perasaan mereka.

Teori lain yang dapat melengkapi teori belajar sosial untuk menjelaskan

hubungan tayangan kekerasan dengan perilaku agresif anak adalah teori

desentisisasi. Ketika seseorang dipaparkan pada tayangan kekerasan secara

berulang-ulang, respon negatif tersebut akan terhabituasi, dan orang tersebut akan

“terdesensiasi”. Asumsi yang mengikuti teori ini adalah, berkurangnya respon negatif terhadap kekerasan juga mengindikasikan respon yang netral terhadap

perencanaan ataupun pemikiran kekerasan, yang pada gilirannya berpeluang

(18)

2.3Contoh kasus dampak tayangan di televisi

Perilaku agresi remaja akhir-akhir ini yang pernah terjadi adalah tawuran

antar pelajar SMA yang memakan satu korban meninggal di antara siswa tersebut.

Dalam acara Reportase (Trans tv) dan Topik pagi (ANTV) tawuran antar pelajar

kembali berlangsung di sekitar flyover Tanah Abang, Jati baru, Jakarta. Disinyalir

tawuran ini berlangsung akibat balas dendam salah satu sekolah yang tidak terima

diejek oleh sekalah lain, tawuran ini berlangsung cukup lama dan selesai setelah

salah satu pihak dipukul mundur oleh pihak yang lain.Tidak hanya itu, contoh

perilaku agresi akibat menonton film kekerasan yang terjadi yakni pada kasus

kejahatan yang dilakukan remaja yang bernama Andrew Conley, ia mencekik

adiknya yang bernama Conner berusia 10 tahun hingga tewas. Conner dicekik

selama 20 menit dan setelah meninggal tubuhnya dibungkus dengan tas sampah

dan dibuang di tempat parkir dekat rumah mereka di Rising Sun, India. Setelah

pembunuhan itu, Andrew menyetir mobil ke rumah pacarnya untuk menonton

sebuah film. Andrew mengaku membunuh sang adik karena ingin meniru karakter

Dexter pada pemeriksaan polisi seperti dilansir Dailymail pada tanggal 16

September 2010. Andrew mengidentifikasikan dirinya sebagai Dexter Morgan

yang dalam filmnya diperankan oleh Michael C. Hall. Dexter adalah film seri

televisi Amerika yang diadaptasi dari novel Darkly Dreaming Dexter yang ditulis

Jeff Lindsay. Film ini mengisahkan Dexter, seorang polisi ahli forensik di kantor

(19)

pembunuh berantai ( movie.detikhot.com ). Film dan tayangan kekerasan yang

ditonton oleh kalayak ternyata memiliki hubungan dengan perilaku seseorang.

2.4Temuan lain yang relevan

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Proborini (2012) mengenai

hubungan eksposur dalam video game dengan perilaku agresivitas memiliki

hubungan yang signifikan (p = 0,041 < 0,05). Berlawanan dengan hasil penelitian

Nando (2011) yang menyatakan bahwa perilaku menonton film kekerasan tidak

memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku agresi remaja (p = 0,256 >

0,05).

Penelitian Arnett (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2001) juga

menambahkan bahwa perilaku agresif yang terkait dengan konflik dalam

keluarga, ketidakstabilan mood, dan tindakan - tindakan berisiko terlibat dalam

perkelahian paling sering muncul pada tahap remaja.

2.5Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka penyusunan hipotesis

penelitian ini adalah:

Diduga ada hubungan yang signifikan antara eksposur kekerasan di

televisi terhadap jenis agresivitas yang dilakukan siswa kelas XI SMK N 2

Salatiga.

Gambar

Gambar 1. Model Determinasi resiprokal Bandura

Referensi

Dokumen terkait

perilaku yang dilakukan oleh individu secara sengaja untuk menyakiti orang lain. baik secara fisik, verbal, amarah dan permusuhan (Buss dan

dengan informasi yang dimiliki, siswa tidak ragu untuk tidak melakukan hal. yang sama dengan teman sebaya

Tindakan kekerasan atau violence umumnya dilakukan oleh setiap orang laki-laki atau perempuan, anak atau orang dewasa, dengan bentuk yang berbeda.. Dulu konsep kekerasan hanya

melukai dan melanggar hak orang yang dilakukan secra fisik. b) Agresi verbal adalah perilaku yang bertujuan untuk menyerang,. melukai dan melanggar hak orang lain berupa

eksposur kekerasan dalam video game dengan perilaku agresif siswa kelas VIII. SMP Negeri 1 Suruh Kabupaten Semarang maka penelitian ini sejalan

Hasil analisis : Ada hubungan yang signifikan dengan arah positif antara eksposur kekerasan dalam video game dengan perilaku agresif siswa kelas VIII SMP Negeri

kekerasan dalam video game dengan perilaku agresif siswa kelas VIII SMP.. Negeri I Suruh

kekerasan pada televisi karena pada hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara intensitas menonton tayangan. kekerasan pada