• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Organ Perseroan Terbatas dalam Kasus-Kasus Kepailitan T2 322010010 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Organ Perseroan Terbatas dalam Kasus-Kasus Kepailitan T2 322010010 BAB II"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

27 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepailitan

1. Sejarah dan Pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia

Hukum kepailitan di Indonesia menurut sejarahnya diatur

dalam 4 (empat) peraturan perundang-undangan secara

berurutan. Pertama kali, hukum kepailitan diatur dalam

Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisement Verordening) Stb. 1905 No. 217 jo. Stb. 1906 No. 348 yang merupakan produk perundang-undangan Belanda

seringkali juga disebut sebagai Hukum Kepailitan Lama23. Sehubungan dengan goncangnya perekonomian Indonesia

di tahun 199824, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998

(selanjutnya disebut Perpu No. 1 Tahun 1998) yang

selanjutnya dikuatkan menjadi Undang-Undang No. 4

Tahun 1998 (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 1998).

Apabila diperhatikan lebih jauh, UU No. 4 Tahun 1998 ini

hanya mengubah, menambah dan memperjelas

Faillisement Verordening, sehingga secara yuridis formal,

23 Sunarmi, Hukum Kepailitan, 2010, Jakarta: PT. Softmedia, hal. 1

(2)

28

peraturan kepailitan yang lama masih berlaku25. UU No. 4 Tahun 1998 tersebut disempurnakan dengan

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya

disebut UU No. 37 Tahun 2004) yang berlaku hingga saat

ini.

Bagan 1.

Sejarah Hukum Kepailitan dalam 4 (empat) peraturan perundang-undangan

Dalam Ketentuan Peralihan Pasal 305 UU No. 37 Tahun

2004 dinyatakan bahwa

“semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisement Verordening) yang diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 1998 yang ditetapkan menjadi undang-undang berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998, pada saat ini (UU No. 37 Tahun 2004 – catatan penulis) diundangkan, masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan undang-undang ini (No. 37 Tahun 2004 – catatan penulis).

Dari pasal tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

pengaturan kepailitan dalam peraturan

perundang-undangan sebelum UU No. 37 Tahun 2004 diundangkan,

(3)

29

masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan/atau

belum diganti oleh UU No. 37 Tahun 2004.

Pengaturan tentang kepailitan diatur dalam 5 (lima)

peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang

tentang Kepailitan (Faillisement Verordening), Perpu No. 1 Tahun 1998 yang ditetapkan menjadi undang-undang

berdasarkan UU No. 4 Tahun 1998, UU No. 37 Tahun 2004

dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007.

UU No. 37 Tahun 2004 terdiri dari 7 (tujuh) Bab dan 308

Pasal. Berikut isi dari setiap Bab dalam UU No. 37 Tahun

2004:

BAB I : Ketentuan Umum

BAB II : Kepailitan

BAB III : Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

BAB IV : Permohonan Peninjauan Kembali

BAB V : Ketentuan lain-lain

BAB VI : Ketentuan Peralihan

BAB VII : Ketentuan Penutup

Selain diatur di dalam UU No. 37 Tahun 2004, Kepailitan

juga diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas khususnya tentang Tanggung Jawab

Pribadi Pemegang Saham, Anggota Direksi dan Anggota

Dewan Komisaris jika terjadi kepailitan terkait

kesalahan/kelalaian Anggota Organ tersebut (Pasal 104

(4)

30

mengenai tanggung jawab terbatas Pemegang Saham

(Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 40 Tahun 2007).

Bagan 2. Pengaturan Hukum Kepailitan dalam 5 (lima) peraturan perundang-undangan

2. Perkembangan Konsep Kepailitan

Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah ‘failite’ artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Sedangkan dalam bahasa

Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure26.

(5)

31

Di negara-negara yang berbahasa Inggris, untuk

pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah “bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap debitor Perseroan

yang berada dalam keadaan tidak mampu membayar

hutang-hutangnya disebut “insolvency”27.

Dalam Black Law Dictionary diketahui bahwa “bankrupt”

adalah:

the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, multicipality who is unable to pay its debt as they are, or became due’. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt”.

Dari pengertian “bankrupt” yang diberikan oleh Black’s Law Dictionary di atas, diketahui bahwa pengertian ‘pailit’

dihubungkan dengan ketidakmampuan membayar

(insolvency) dari debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan untuk membayar

(insolvency) tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan telah jatuh

tempo.

Konsep kepailitan tersebut senada dengan Pasal 1

Faillisement Verordening (Peraturan Kepailitan Lama) yang menyatakan bahwa:

“Setiap pihak yang berutang (debitor) yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan Putusan Hakim, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berutangnya (kreditornya), dinyatakan dalam keadaan pailit.”

(6)

32

Parafrase “yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya” menunjukkan bahwa konsep yang dianut

oleh Failisement Verordening mengandung persyaratan

insolvency untuk dapat memailitkan debitor.

Definisi untuk mengukur bahwa seorang debitor secara

teknis telah berada dalam keadaan insolvent pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 47 KUH Dagang yang

menyatakan sebagai berikut:

“Apabila bagi para pengurus ternyata bahwa Perseroan menderita kerugian sebesar lima puluh persen dari modalnya, maka hal ini harus mereka umumkan dalam register-register yang diselenggarakan untuk itu di kepaniteraan Pengadilan Negeri, dan dalam Berita Acara. Jika kerugian tadi sebesar tujuh puluh lima persen, maka Perseroan tersebut demi hukum bubar.”

Maksud dari Pasal 47 KUH Dagang adalah apabila

Perseroan mengalami kerugian lebih dari 50% dari

modalnya, maka Direksi harus mengumumkan hal

tersebut dalam register pada Pengadilan Negeri. Jika

maksud Pasal tersebut dihubungan dengan maksud dari

Pasal 1 ayat (1) Failisement Verordening maka akan terlihat korelasi yang menggambarkan pentingnya pembuktian

secara teknis oleh pemohon pailit dengan cara insolvency test bahwa debitor berada dalam keadaan insolvency. Korelasi tersebut adalah apabila Direksi Perseroan yang

mengalami kerugian 50% tersebut tidak mengumumkan

kondisi keuangannya tersebut maka apabila Perseroan

tersebut dipailitkan, maka Pemohon Pailit (dalam hal ini

Pemohon Pailit yang dimaksud adalah kreditor sebagai

(7)

33

bahwa Perseroan tersebut berada dalam keadaan

insolvency dengan cara melakukan insolvency test.

Menurut Ricardo Simanjuntak, seorang praktisi hukum

kepailitan, insolvency test hampir mustahil dilakukan, mengingat alat pembuktian keadaan insolvent dari debitor Perseroan adalah berdasarkan laporan keuangannya28, maka dalam hal Perseroan tersebut adalah Perseroan

tertutup maka secara teknis hukum akan sangat sulit

memastikan kreditor dapat menggunakan laporan

keuangan tersebut, karena sifatnya rahasia (confidential). Kalaupun kreditor mendapatkannya dari pihak lain secara

diam-diam, sifat tertutup dari Perseroan tersebut akan

menimbulkan terjadinya permasalahan hukum dari sisi

kerahasiaan dokumen, apabila bukti laporan keuangan

yang diperoleh secara diam-diam tersebut dihadirkan

sebagai bukti di Pengadilan. Hal tersebut menjadi salah

satu alasan yang menurut beliau, menjadikan Failisement Verordening tidak efektif.

Ketidakefektifan Failisement Verordening juga, menurut beliau, terletak pada penggunaan waktu yang diukur dengan parafrase “selekas-lekasnya” yang menyebabkan pemeriksaan permohonan pailit tidak ada bedanya dengan

jangka waktu yang digunakan untuk mengadili kasus

perdata.

(8)

34

Kedua alasan tersebut yang menjadi dasar pertimbangan

pentingnya reformasi UU Kepailitan agar UU tersebut

dapat mencerminkan perwujudan asas peradilan yang

cepat, sederhana, efisien, transparan, adil dan

berkepastian hukum. Perubahan substansial pun

dilakukan terutama pada persyaratan untuk dapat

dipailitkannya seorang debitur dengan tidak adanya

keharusan untuk terlebih dahulu membuktikan bahwa

debitur berada dalam keadaan insolvent. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat (1) Failisement Verordening yang mensyaratkan debitor harus berada “dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya”, diubah menjadi ”debitor yang terbukti memiliki minimum dua kreditur dimana tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih” dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 4 Tahun 199829.

Selain mengenai definisi kepailitan, hal penting yang diatur

secara tegas dalam UU No 4 Tahun 1998 adalah mengenai

jangka waktu pembacaan putusan kepailitan diukur dari

waktu pengajuan permohonan pailit. Sebelumnya, dalam

Failisement Verordening, hanya diukur dengan kata “selekas-lekasnya”.

(9)

35

Beberapa pokok perubahan yang dilakukan dalam UU No.

40 Tahun 2007 adalah terhadapa UU No. 4 Tahun 1998

adalah mengenai30:

a. Pengertian “utang” diberikan batasan secara tegas, agar

tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam undang-undang ini. Demikian juga mengenai pengertian “jatuh waktu” (vide Sub Bab Syarat-Syarat Agar Permohonan Pernyataan Pailit Dapat Diterima)

b. Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan

pernyataan pailit dan permohonan penundaan

kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya

pemberian kerangka waktu secara pasti bagi

pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau

penundaan pembayaran utang (vide Sub Bab Prosedur

dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit Per Tingkat Peradilan)

Matriks 3.

Perbandingan Konsep Kepailitan

Indikator Failisement

Verordening

UU No. 4 Tahun

1998

UU No. 37 Tahun

2004 Syarat mengajukan permohonan pailit Mensyaratkan debitor dalam keadaan

insolvent melalui

Tidak mensyaratan debitor dalam keadaan Tidak mensyaratkan debitor dalam

keadaan insolvent

30 Penjelasan Umum UU No. 40 Tahun 2007 dalam Rahayu Hartini, Penyelesaian

(10)

36 Indikator Failisement

Verordening

UU No. 4 Tahun

1998

UU No. 37 Tahun

2004 pernyataan “Debitor berada dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya”

insolvent karena

hanya mensyaratkan debitor: “terbukti memiliki minimum dua kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya

satu utang yang

telah jatuh

tempo dan dapat ditagih”

karena hanya

mensyaratkan

debitor:

mempunyai dua

atau lebih kreditor

dan tidak

membayar lunas

sedikitnya satu

utang yang telah

jatuh waktu dan dapat ditagih” Waktu pengajuan permohonan pailit Tidak diatur dengan jelas karena hanya berpedoman pada kata “selekas -lekasnya”

Diatur dengan

jelas

Diatur dengan

jelas

3. Definisi Kepailitan

Definisi kepailitan tertulis dalam Pasal 1 ayat 1 UU No. 37

Tahun 2004 sebagai berikut:

(11)

37

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini (UU No. 37 Tahun 2004 –catatan penulis)”

Berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur dari definisi

kepailitan.

a. Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit

Sita umum atas semua kekayaan debitor pailit

merupakan pengejawantahan dari Pasal 1131 KUH

Perdata yaitu:

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan.”

Sita umum yang dimaksud meliputi seluruh kekayaan

debitor (Pasal 21 UU No. 37 Tahun 2004) sehingga

semua kekayaan debitor menjadi boedel pailit, kecuali benda dan jasa yang diatur dalam Pasal 22 UU No. 37

Tahun 2004.

Jika debitor hanya berutang kepada seorang kreditor

saja, maka seluruh harta kekayaannya menjadi

jaminan bagi pelunasan hutang tersebut, sehingga

dalam pelaksanaannya tidak diperlukan pranata

hukum kepailitan. Namun, jika ternyata debitor

memiliki lebih dari 1 (satu) orang kreditor maka harta

kekayaan debitor haruslah dibagi menurut prinsip di

bawah ini31, sehingga untuk itu diperlukan pranata hukum kepailitan:

(12)

38

Pari passu, yaitu kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang

didahulukan; dan

Pro rata atau proporsional, yaitu dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing

kreditor dibandingkan dengan piutang para kreditor

secara keseluruhan sehingga memperoleh

prosentase tertentu, prosentase itulah yang menjadi

bagiannya dari jumlah seluruh harta kekayaan

debitor tersebut.

Prinsip pari passu dan pro rata tercantum dalam Pasal 1132 KUH Perdata, yaitu:

“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.”

Oleh karena harta kekayaan debitor pailit harus dibagi

secara pari passu dan pro rata kepada masing-masing kreditor (dalam hal ini kreditor konkuren) kecuali para

kreditor tersebut mempunyai alasan-alasan yang sah

untuk didahulukan (dalam hal ini kreditor preferen

dan kreditor separatis32),maka kekayaan debitor harus diletakkan di bawah sita umum.

(13)

39

Golongan kreditor ada 3 (tiga) yaitu kreditor konkuren,

kreditor preferen dan kreditor separatis33 yaitu sebagai berikut:

1) Kreditor konkuren

Kreditor konkuren ini diatur dalam Pasal 1132

KUH Perdata. Kreditor konkuren adalah para

kreditor yang mendapatkan pelunasan setelah hak

dari kreditor separatis dan kreditor preferen telah

terpenuhi. Kreditor konkuren mendapatkan

pelunasan berdasarkan prinsip pari passu dan pro rata, artinya para kreditor secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang

didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada

besarnya piutang masing-masing dibandingkan

terhadap piutang mereka secara keseluruhan,

terhadap seluruh kekayaan debitur tersebut.

Dengan demikian, para kreditor konkuren

mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan

utang dari harta debitur tanpa ada yang

didahulukan.

2) Kreditor preferen

Kreditor preferen (yang diistimewakan), yaitu

kreditor yang oleh undang-undang, semata-mata

karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan

terlebih dahulu. Kreditor preferen merupakan

kreditor yang mempunyai hak istimewa, yaitu

suatu hak yang oleh undang-undang diberikan

(14)

40

kepada seorang yang berpiutang sehingga

tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang

lainnya, semata-mata berdasarkan sifat

piutangnya (Pasal 1134 KUH Perdata). Kreditor

preferen terdiri atas kreditor preferen umum dan

kreditor preferen khusus.

a) Kreditor preferen khusus

Kreditor preferen khusus adalah kreditor yang

piutang-piutangnya diistimewakan menurut

preferensi khusus (Pasal 1139). Preferensi

khusus tersebut antara lain:

(1) Biaya perkara yang semata-mata disebabkan

oleh suatu penghukuman untuk melelang

suatu benda bergerak maupun tidak

bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan

penjualan benda tersebut terlebih dahulu

dari semua piutang lainnya yang

diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula

daripada gadai dan hipotik;

(2) Uang sewa dari benda-benda tidak bergerak,

biaya-biaya perbaikan yang menjadi

kewajiban si penyewa, beserta segala apa

yang mengenai kewajiban memenuhi

persetujuan sewa;

(3) Harta pembelian benda-benda bergerak yang

belum dibayar;

(4) Biaya yang telah dikeluarkan untuk

(15)

41

(5) Biaya untuk melakukan pekerjaan suatu

barang, yang masih harus dibayar kepada

tukang;

(6) Apa yang telah diserahkan oleh seorang

pengusaha rumah penginapan sebagai

demikian sebagai seorang tamu;

(7) Upah-upah pengangkutan dan biaya-biaya

tambahan;

(8) Apa yang harus dibayar kepada tukang

batu, tukang kayu dan lain-lain tukang

untuk pembangunan, penambahan dan

perbaikan benda-benda tidak bergerak, asal

saja piutangnya tidak lebih tua dari tiga

tahun dan hak milik atas persil yang

bersangkutan masih tetap pada si berutang;

(9) Penggantian serta pembayaran yang harus

dipikul oleh pegawai yang memangku suatu

jabatan umum, karena segala kelalaian,

kesalahan, pelanggaran, dan kejahatan yang

dilakukan dalam jabatannya.

b) Kreditor preferen umum

Kreditor preferen umum adalah kreditor yang

piutang-piutangnya diistimewakan atas semua

benda bergerak dan tidak bergerak yang disebut

preferensi umum (Pasal 1149 KUH Perdata).

Adapun preferensi umum didasarkan pada

urutan sebagai berikut:

(1) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata

(16)

42

penyelesaian suatu warisan; biaya-biaya ini

didahulukan daripada gadai dan hipotek;

(2) Biaya-biaya penguburan, dengan tidak

mengurangi kekuasaan hakim untuk

menguranginya, jika biaya itu terlampau

tinggi;

(3) Semua biaya perawatan dan pengobatan

dari sakit yang penghabisan;

(4) Upah para buruh selama tahun yang lalu

dan upah yang sudah dibayar dalam tahun

yang sedang berjalan, beserta jumlah uang

kenaikan upah menurut Pasal 1602 q34; (5) Piutang karena penyerahan bahan-bahan

makanan yang dilakukan kepada si

berutang beserta keluarganya, selama waktu

enam bulan yang terakhir;

(6) Piutang-piutang para pengusaha sekolah

berasrama, untuk tahun yang penghabisan;

(7) Piutang anak-anak yang belum dewasa dan

orang-orang yang terampu terhadap sekalian

wali dan pengampu mereka.

3) Kreditor separatis (secured creditor)

Kreditor separatis (secured creditor) yaitu kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yaitu gadai,

hipotek, hak tanggungan dan fidusia35. Hak

34 Telah diatur kemudian dalam Pasal 95 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

35 Ibid., hal. 7. Pengaturan tentang hak jaminan kebendaan tersebut adalah sebagai berikut:

(17)

43

penting yang dipunyai kreditor separatis adalah

hak untuk dengan kewenangan sendiri

menjual/mengeksekusi objek agunan, tanpa

putusan pengadilan (parate eksekusi).

Golongan kreditor tersebut mendapat pembagian hasil penjualan boedel pailit menurut urutan haknya. Menurut Ricardo Simanjuntak36 hak para kreditor untuk mendapatkan pembagian dari hasil penjualan

boedel pailit, dapat dibagi dalam 7 (tujuh) tingkat

mulai dari hak yang paling tinggi hingga hak yang

paling rendah sebagai berikut:

1) Hak retensi (retain) merupakan hak yang dimiliki oleh kreditor atas kewenangan yang diberikan

kepadanya untuk melakukan perbaikan ataupun

penambahan nilai dari boedel pailit. Kreditur

pemilik tagihan ini berhak untuk menahan (retain) benda (boedel pailit) yang berada di bawah

kekuasaannya sebelum biaya perbaikan terhadap

seorang pemberi gadai (debitur) wajib melepaskan penguasaan atas benda yang akan dijaminkan tersebut kepada penerima gadai (kreditor).

b. Hipotek diatur dalam Pasal 1162 s.d 1232 Bab XXI KUH Perdata, yang pada saat ini hanya diberlakukan untuk kapal laut yang berukuran minimal 20 m3 dan sudah terdaftar di Syahbandar serta pesawat terbang.

c. Hak Tanggungan diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di atas tanah.

d. Fidusia yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotek dan hak tanggungan.

36 Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik

(18)

44

boedel pailit tersebut terlebih dahulu dilunasi37, serta biaya perkara yang dikeluarkan untuk

pelelangan dan penyelesaian warisan38;

2) Hak istimewa atas tagihan negara merupakan hak yang dimiliki kantor pajak untuk

mendapatkan pembayaran dari boedel pailit lebih

dahulu dari kreditur lainnya39;

3) Hak preferensi separatis bagi kreditor separatis (secured creditor) merupakan hak yang dimiliki oleh kreditur-kreditur yang memegang jaminan dalam

bentuk hak tanggungan, hipotek, gadai dan fidusia

(tersebut di atas);

4) Hak istimewa buruh40;

5) Hak preferensi khusus bagi kreditor preferen khusus berdasarkan Pasal 1139 KUH Perdata

(tersebut di atas);

6) Hak preferensi umum bagi kreditor preferen umum berdasarkan Pasal 1149 KUH Perdata

(tersebut di atas);

37 Pasal 61 UU No. 37 Tahun 2004 bandingkan dengan Pasal 21 ayat (3)b UU No. 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang; selanjutnya disebut UU No. 16 Tahun 2009),

38 Pasal 21 ayat (3)c UU No. 16 Tahun 2009 jo. Pasal 1139 ayat (1) dan Pasal 1149 ayat (1)

39 Pasal 21 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2009 jo Pasal 21 ayat (3a) UU No. 16 Tahun 2009 jo. Pasal 1134 KUH Perdata jo. Pasal 1137 KUH Perdata. Dalam kacamata pajak, hak istimewa ini bahkan lebih tinggi (mendahului) daripada hak yang dimiliki oleh kreditur separatis.

(19)

45

7) Hak umum bagi kreditor konkuren untuk dibayarkan secara pro rata berdasarkan Pasal 1132 KUH Perdata (tersebut di atas).

b. Pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator

Pengurusan dan pemberesan dalam kepailitan berbeda

dengan pengurusan dan pemberesan dalam likuidasi.

Mekanisme kepailitan pada intinya sama dengan

mekanisme likuidasi yaitu adanya verifikasi utang dan

verifikasi debitor. Namun dalam pelaksanaannya

likuidasi dilakukan oleh likuidator dimana direksi

dapat menjadi likuidator apabila disepakati dalam

RUPS. Sedangkan dalam kepailitan, pengurusan dan

pemberesan hanya bisa dilakukan oleh kurator.

c. Di bawah pengawasan hakim pengawas

Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh

pengadilan dalam putusan pailit atau putusan

penundaan kewajiban pembayaran utang41. Fungsinya adalah untuk mengawasi jalannya pengurusan dan

pemberesan oleh kurator.

4. Syarat-Syarat Agar Permohonan Pernyataan Pailit Dapat Diterima

Ada 4 (empat) syarat agar pengajuan permohonan pailit

dapat diterima yaitu:

(20)

46 a. Adanya debitor

Syarat “adanya debitor” merupakan syarat materil

terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004:

Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”

Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena

perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di

muka pengadilan42. Debitor bisa berupa perorangan (natuurlijk persoon; human being) atau badan hukum (rechts persoon; artificial person). Perseroan Terbatas termasuk dalam kategori badan hukum.

b. Adanya dua kreditor atau lebih (concursus creditorum)

Syarat “adanya dua kreditor atau lebih” merupakan

syarat materil terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun

2004. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang

karena perjanjian atau undang-undang yang dapat

ditagih di muka pengadilan43.

“Adanya dua kreditor atau lebih” memiliki makna bahwa untuk dapat mengajukan permohonan pailit

kepada seorang kreditor, maka kreditor tersebut harus

mempunyai minimal 2 (dua) kreditor.

(21)

47

c. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih

Syarat “tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” merupakan syarat materiil, sebagai lanjutan dari syarat kedua,

terkait Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Syarat “tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” memiliki makna bahwa agar dapat mengajukan permohonan

permohonan pailit, maka dari dua kreditor atau lebih,

minimal ada satu hutang kepada salah satu kreditor

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

Yang dimaksud dengan “sudah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan,

karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana

diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda

oleh instansi yang berwenang, maupun karena

putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase44. Definisi “utang” tercantum dalam Pasal 1 butir 6 UU

No. 37 Tahun 2004 sebagai berikut:

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor

(22)

48

untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur.”

Dari definisi utang tersebut di atas terutama dari parafrase “kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang”, maka secara jelas definisi utang harus ditafsirkan secara luas, bahwa utang bukan hanya meliputi “utang yang timbul dari perjanjian utang-piutang atau pinjam-meminjam” tetapi juga “utang yang timbul karena undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang”.

d. Pembuktian sederhana (summarily proving)

Syarat ini merupakan syarat formil terkait Pasal 8 ayat

(4) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa:

“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta dan kenyataan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.”

Parafrase “fakta dan kenyataan terbukti secara sederhana” (summarily proving) dalam Pasal 8 ayat 4 UU No. 37 Tahun 2004 tersebut di atas berarti bahwa

keberadaan utang yang dimaksudkan oleh pemohon pailit tidak dipersengketakan lagi. Dengan kalimat lain,

keberadaan utang yang secara pembuktian telah

sangat kuat dan jelas keberadaannya tersebut

membuat langkah pembuktian terhadapnya – dalam

hal debitur mencoba mengingkarinya – cukup

(23)

49

pembuktian terhadap utang tersebut tidak dapat

dilakukan secara sederhana, maka penyelesaian

sengketa utang-piutang tersebut bukan kewenangan

Pengadilan Niaga. Sengketa utang-piutang tersebut

diselesaikan melalui jalur gugatan perdata pada

pengadilan negeri.

Selain itu, menurut penulis perlu ditambahkan, dalam

hal subjek hukum yang dipailitkan adalah Perseroan,

syarat mengenai siapa debitor harus dapat dibuktikan secara sederhana. Syarat mengenai siapa debitor

adalah mengenai apakah subjek hukum yang berutang

adalah Perseroan atau pribadi anggota Organ

Perseroan.

Bagan 3.

Empat Syarat agar Permohonan Pernyataan Pailit dapat Diterima

Keempat syarat tersebut harus dipenuhi agar permohonan

(24)

50 5. Pemohon Pailit

Pemohon pailit adalah pihak yang mengajukan

permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga.

Permohonan pernyataan pailit bisa diajukan oleh debitor

sendiri (voluntary petition) atau oleh pihak ketiga (involuntary petition), Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, maupun Menteri Keuangan,

sebagai berikut:

a. Atas Permohonan Debitor Sendiri (Voluntary Petition)

UU No. 37 Tahun 2004 memungkinkan seorang

kreditor untuk mengajukan permohonan pernyataan

pailit atas dirinya sendiri45. Tujuannya agar masalah kesulitan keuangan yang dihadapinya dapat segera

diselesaikan oleh pengadilan melalui kurator kepada

para kreditor.

b. Atas Permohonan Pihak Ketiga (Involuntary Petition)

Permohonan pernyataan pailit dapat juga diajukan oleh

seorang kreditor atau lebih, termasuk di dalamnya

kreditor konkuren, kreditor preferen maupun kreditor

separatis46.

45 Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitor yang masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Lihat Pasal 4 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004

(25)

51 c. Kejaksaan

Permohonan pernyataan pailit terhadap debitur juga

dapat diajukan oleh kejaksaan demi kepentingan

umum47.

d. Bank Indonesia

Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Bank

Indonesia dalam hal debitornya adalah bank.48

e. Pengawas Pasar Modal

Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Badan

Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam hal debitor

adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring

dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan

Penyelesaian.49

f. Menteri Keuangan

Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Menteri

Keuangan dalam hal debitor adalah Perusahaan

Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau

Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang

kepentingan publik.50

47 Pasal 2 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004. Pengertian kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:

a. Debitor melarikan diri;

b. Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;

c. Debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat;

d. Debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas;

e. Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau

f. Dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum 48 Pasal 2 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004

(26)

52

6. Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit per Tingkat Peradilan

Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit terdiri atas Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit pada tingkat pertama, tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali.

a. Prosedur dan Time-Frame Pengajuan Permohonan Pailit pada Tingkat Pertama

Permohonan pernyataan pailit pada tingkat pertama

diajukan melalui Pengadilan Niaga di wilayah hukum

debitor Termohon Pailit (Pasal 3 ayat (1) UU No. 37 Tahun

2004. Prosedur pengajuan permohonan pernyataan pailit di

Pengadilan Niaga dari proses pendaftaran permohonan

sampai putusan dibacakan memerlukan waktu 60 (enam

puluh) hari (Pasal 6-9 UU No. 37 Tahun 2004).

Bagan 4

(27)

53

b. Prosedur dan Time-Frame Kasasi Perkara Kepailitan

Permohonan kasasi perkara kepailitan diajukan melalui

Pengadilan Niaga. Prosedur pengajuan permohonan kasasi

proses pendaftaran permohonan kasasi di Pengadilan Niaga

sampai putusan dibacakan oleh hakim Mahkamah Agung

(Pasal 10-12 UU No. 37 Tahun 2004) memerlukan waktu

sekitar 74 (tujuh puluh empat hari. Berikut ini time-frame

pengajuan permohonan kasasi Perkara Kepailitan di

Pengadilan Niaga:

Bagan 5

Time-frame Pengajuan Permohonan Kasasi Perkara Kepailitan

(28)

54

c. Prosedur dan Time-Frame Peninjauan Kembali Perkara Kepailitan

Permohonan Peninjauan Kembali (PK) perkara kepailitan

diajukan melalui Pengadilan Niaga. Menurut Pasal 195 UU No.

37 Tahun 2004, terdapat 2 (dua) alasan Permohonan

peninjauan kembali yaitu:

1) setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di

Pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan; atau

2) dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.

Tenggang waktu untuk pengajuan PK dengan alasan “ditemukannya bukti baru” adalah 180 (seratus delapan puluh hari) sejak putusan atas permohonan kasasi memperoleh

kekuatan hukum tetap. Sedangkan tenggang waktu pengajuan PK dengan alasan “terdapat kekeliruan yang nyata” adalah 30 (tiga puluh hari).

Prosedur pengajuan permohonan kasasi proses pendaftaran

permohonan kasasi di Pengadilan Niaga sampai putusan

dibacakan oleh hakim Mahkamah Agung memerlukan waktu

sekitar 30 (tiga puluh) hari (Pasal 295-298 UU No. 37 Tahun

(29)

55 Bagan 6.

Time-frame Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Perkara Kepailitan ke Mahkamah Agung

(30)

56

Dari ketiga bagan jangka waktu (time-frame) pengajuan permohonan pernyataan pailit, pengajuan kasasi dan

pengajuan permohonan peninjauan kembali kasus kepailitan

yang telah dijelaskan di atas, perkiraan jangka waktu ( time-frame) penyelesaian perkara kepailitan adalah 212 hari

(diperhitungkan dengan perkiraan jangka waktu pembacaan

putusan per tingkat peradilan sampai dengan pengajuan

permohonan per tingkat peradilan). Jangka waktu ini jauh

lebih singkat dari pada jangka waktu (time-frame) pengajuan perkara perdata yang memakan waktu 4-6 tahun dari tingkat

pertama pada Pengadilan Negeri sampai dengan tingkat

Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Dengan demikian,

pilihan untuk menyelesaikan sengketa hutang-piutang dengan

menggunakan pranata hukum kepailitan melalui Pengadilan

Niaga lebih mudah dan lebih sederhana dibanding

menggunakan pranata hukum perdata melalui Pengadilan

Negeri.

(31)

57

B. Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate Governance) Sebagai Suatu Keniscayaan Dalam Mencegah Terjadinya Kepailitan

Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) merupakan keniscayaan dalam suatu Perseroan. Amartya Sen51, mengibaratkan keberadaan Tata

Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate Governance) tersebut sebagai “oksigen”bagi “kehidupan” Perseroan, dimana manfaat kehadirannya lebih dipahami ketika ia tidak hadir:

A basic code of good business behavior (Good Corporate Governance - penulis) is a bit like oxygen: we take an interest in its presence when it is absent!

Sebuah penelitian terkait Good Corpororate Governance yang dilakukan oleh Duff and Phelps menyatakan bahwa para

responden baik di AS maupun di Eropa, pada umumnya

sependapat bahwa tuntutan tata kelola Perseroan (Good Corpororate Governance) yang baik merupakan dampak dari berbagai skandal korporasi: WorldCom, Enron, Adelphia dan

Parmalat. Survey membuktikan 72% responden berpendapat

bahwa tuntutan pelaksanaan tata kelola Perseroan yang baik

(Good Corpororate Governance) tersebut bahkan menjadi salah satu faktor pendorong kenaikan permintaan pendapat

kewajaran (fairness opinion)52 oleh Perseroan.

51 Amartya Sen, The 1998 Nobel laureate in Economic Science dalam Saiful M. Ruky, Fairness Opinion: Pendapat Kewajaran Transaksi Korporasi, Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2010, hal. 17

(32)

58

Dari hal tersebut di atas, penulis mengasumsikan Pelaksanaan

Prinsip Tata Kelola Perseroan yang Baik (Good Corporate Governance) merupakan suatu keniscayaan dalam pengelolaan Perseroan.

1. Pelaksanaan Prinsip Tata Kelola Perseroan (Corporate

Governance) Sebagai Suatu Keniscayaan dalam

Mencegah Terjadinya Kepailitan

Pelaksanaan prinsip Tata Kelola Perseroan (Corporate Governance) yaitu Prinsip Transparansi (Transparency), Akuntabilitas (Accountability), Prinsip Responsibilitas (Responsibility), Prinsip Independensi (Independency), Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness) harus tercermin dalam pengelolaan Perseroan agar kepailitan

dapat tercegah.

Tata Kelola Perseroan (Corporate Governance) berkaitan dengan pengambilan keputusan efektif yang bersumber

pada etika bisnis, budaya Perseroan, etika, nilai, sistem,

proses bisnis, kebijakan dan struktur organisasi yang

bertujuan untuk mendorong dan mendukung:

perkembangan Perseroan; pengelolaan sumber daya dan

risiko secara lebih efisien serta efektif;

(33)

59

pertanggungjawaban Perseroan terhadap pemegang

saham dan stakeholders lainnya53.

Menurut Price Waterhouse Coopers, Tata Kelola Perseroan adalah sebagai berikut:

Corporate Governance is about effective decision making. It is founded upon organizational culture, ethics, value, system, processes, policies and structures which are aimed at fostering and promoting: business prosperity; efficient and effective management of resources and risk; corporate accountability and the stakeholders.54

Menurut Parijs55, ditinjau dari sisi badan kepengurusan Perseroan, dalam hal Tata Kelola Perseroan (Corporate Governance) dikenal 2 sistem badan kepengurusan (governing body) yaitu: 1) sistem yang menganut kepengurusan dengan 1 (satu) lapis dewan pimpinan (one tier board system), sistem ini diterapkan di negara-negara yang menganut tradisi hukum Anglo Saxon, 2) sistem dengan 2 (dua) lapis dewan pimpinan (two tier board system), sistem ini banyak diterapkan di negara-negara yang menganut tradisi hukum Eropa Kontinental

termasuk Indonesia. Perseroan dengan 1 lapis sistem

badan kepengurusan (one governing body); the board of director (BOD) terdiri dari Eksekutif dan Non-Eksekutif Direktur atau biasa disebut dengan Inside dan Outside Director. Mereka dipilih oleh pemegang saham dan

53 Kemal Azis Stamboel, Good Corporate Governance: Menyeimbangkan Antara

Kinerja Perusahaan dengan ketaatan, Makalah, Jakarta: The Indonesian Instritute for Corporate Governance, 2000

54 Price Waterhouse Coopers, Conceptual Model for Corporate Governance

Definition, Makalah, Jakarta: BPPN Workshop for Recapitalized, 2000

dalam Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance, Jakarta: Program Pasca Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hal.37

(34)

60

membuat keputusan serta mengendalikan perusahaan.

Direktur Non-Eksekutif biasanya merupakan Direktur

paruh waktu dan tugas utamanya melakukan supervise

kepada Direktur Eksekutif.

Perseroan dengan 2 sistem badan kepengurusan, terdiri

atas Dewan Manajemen/Eksekutif (Management Board, Indonesia: Direksi) dan Dewan Pengawas (Supervisory Board, Indonesia: Dewan Komisaris). Direksi bertugas atas pengelolaan Perseroan sehari-hari, sedangkan

Dewan Komisaris mengawasi dan memonitor Direksi

dalam melaksanakan tugas pengelolaan sehari-hari,

termasuk memberikan nasihat dan ratifikasi terhadap

keputusan Direksi yang bersifat strategis, sebagaimana

diatur dalam anggaran dasar Perseroan56.

Keputusan untuk meminjam sejumlah uang terhadap

pihak ketiga (debitor) merupakan keputusan yang bersifat

strategis, sehingga dalam membuat keputusan tersebut,

Direksi harus terlebih dahulu meminta nasihat dan

ratifikasi dari Dewan Komisaris.

Dalam beberapa kasus yang akan diulas dalam Bab III,

kepaillitan seringkali disebabkan karena adanya utang

yang telah jatuh tempo, yang setelah ditelusuri ternyata

perjanjian hutang-piutangnya tidak diratifikasi oleh

Dewan Komisaris. Dalam hal ini terjadi pelampauan

wewenang dalam proses perjanjian dengan pihak ketiga

menyangkut keputusan strategis yaitu Direksi tidak

(35)

61

meminta nasihat dan ratifikasi dari Dewan Komisaris.

Pelampauan wewenang ini merupakan pelanggaran

terhadap prinsip Tata Kelola Perseroan yang baik, dimana

Direksi tidak menyertakan fungsi dari Dewan Komisaris

untuk memberikan nasihat dan melakukan ratifikasi

terhadap keputusan Perseroan yang sifatnya strategis.

Kepailitan seharusnya bisa dicegah apabila Direksi

menyertakan fungsi Dewan Komisaris pada saat hendak

memutuskan hal-hal yang bersifat strategis. Penyertaan

fungsi tersebut merupakan salah satu upaya Direksi

untuk mengelola Perseroan (termasuk di dalamnya

keuangan Perseroan) secara hati-hati (duty of care).

2. Lima Prinsip Good Corporate Governance yang harus dilaksanakan dalam Pengelolaan Perseroan untuk mencegah terjadinya Kepailitan

Untuk mencegah terjadinya kepailitan, ada 5 (lima)

prinsip yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan

Perseroan. Menurut Organization For Economic Cooperation and Development (OECD) prinsip-prinsip Tata Kelola Perseroan (Good Corporate Governance) tersebut adalah sebagai berikut:

a. Prinsip Transparansi (Transparency) b. Prinsip Akuntabilitas (Accountability) c. Prinsip Responsibilitas (Responsibility) d. Prinsip Independensi (Independency)

(36)

62

Berikut uraian dari masing-masing prinsip tersebut:

a. Prinsip Transparansi (Transparency)

Prinsip Transparansi (Transparency) mengandung unsur keterbukaan yang harus diterapkan dalam setiap aspek

di perusahaan yang berkaitan dengan kepentingan publik

atau pemegang saham. Transparansi dalam GCG adalah

wujud pengelolaan Perseroan secara terbuka dan

pengungkapan fakta yang aktual secara tepat waktu

kepada para pemangku kepentingan.

Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance57, Prinsip Dasar Transparansi (Transparency) adalah untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis,

perseroan harus menyediakan informasi yang material

dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan

dipahami oleh pemangku kepentingan. Perseroan harus

mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya

masalah yang disyaratkan oleh peraturan

perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk

pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur

dan pemangku kepentingan lainnya.

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan berdasarkan Prinsip Transparansi (Transparency):

1) Perseroan harus menyediakan informasi secara tepat

waktu, memadai, jelas, akurat dan dapat

57 Komite Nasional Kebijakan Governance, Pedoman Umum Good Corporate

(37)

63

diperbandingkan serta mudah diakses oleh

pemangku kepentingan sesuai dengan haknya.

2) Informasi yang harus diungkapkan meliputi, tetapi

tidak terbatas pada, visi, misi, sasaran usaha dan

strategi perseroan, kondisi keuangan, susunan dan

kompensasi pengurus, pemegang saham pengendali,

kepemilikan saham oleh anggota Direksi dan anggota

Dewan Komisaris beserta anggota keluarganya dalam

perseroan dan perseroan lainnya, sistem manajemen

risiko, sistem pengawasan dan pengendalian internal,

sistem dan pelaksanaan GCG serta tingkat

kepatuhannya, dan kejadian penting yang dapat

mempengaruhi kondisi perseroan.

3) Prinsip keterbukaan yang dianut oleh perseroan tidak

mengurangi kewajiban untuk memenuhi ketentuan

kerahasiaan perseroan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan, rahasia jabatan, dan hak-hak

pribadi.

4) Kebijakan perseroan harus tertulis dan secara

proporsional dikomunikasikan kepada pemangku

kepentingan.

b. Prinsip Akuntabilitas (Accountability)

Prinsip Akuntabilitas (Accountability) merupakan suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan

keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan visi dan misi

perusahaan, untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran

yang telah diterapkan58.

(38)

64

Prinsip Dasar Akuntabilitas (Accountability)59: Perseroan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara

transparan dan wajar. Untuk itu perseroan harus dikelola

secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan

perseroan dengan tetap memperhitungkan kepentingan

pemegang saham dan pemangku kepentingan lain.

Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan

untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut Prinsip Akuntabilitas (Accountability):

1) Perseroan harus menetapkan rincian tugas dan

tanggung jawab masing-masing organ perseroan dan

semua karyawan secara jelas dan selaras dengan visi,

misi, nilai-nilai perseroan (corporate values), dan strategi perseroan.

2) Perseroan harus meyakini bahwa semua organ

perseroan dan semua karyawan mempunyai

kemampuan sesuai dengan tugas, tanggung jawab,

dan perannya dalam pelaksanaan GCG.

3) Perseroan harus memastikan adanya sistem

pengendalian internal yang efektif dalam pengelolaan

perseroan.

4) Perseroan harus memiliki ukuran kinerja untuk

semua jajaran perseroan yang konsisten dengan

sasaran usaha perseroan, serta memiliki sistem

penghargaan dan sanksi (reward and punishment system).

(39)

65

5) Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya,

setiap organ perseroan dan semua karyawan harus

berpegang pada etika bisnis dan pedoman perilaku

(code of conduct) yang telah disepakati.

c. Prinsip Responsibilitas (Responsibility)

Prinsip Responsibilitas (Responsibility) mencakup hal-hal yang terkait dengan pertanggungjawaban yang sesuai

dengan peraturan perundang-undangan kepada para

pemegang saham maupun para pemangku kepentingan

serta pemenuhan kewajiban sosial perusahaan60.

Prinsip Dasar Akuntabilitas (Accountability)61: Perseroan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta

melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan

lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan

usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan

sebagai good corporate citizen.

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut Prinsip Responsibilitas (Responsibility):

1) Organ perseroan harus berpegang pada prinsip

kehati-hatian dan memastikan kepatuhan terhadap

peraturan perundang-undangan, anggaran dasar dan

peraturan perseroan (by-laws).

2) Perseroan harus melaksanakan tanggung jawab sosial

dengan antara lain peduli terhadap masyarakat dan

kelestarian lingkungan terutama di sekitar perseroan

60 Misahardi Wilamarta, Op.cit., hal. 70

(40)

66

dengan membuat perencanaan dan pelaksanaan yang

memadai.

d. Prinsip Independensi (Independency)

Prinsip Dasar: untuk melancarkan pelaksanaan asas

GCG, perseroan harus dikelola secara independen

sehingga masing-masing organ perseroan tidak saling

mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak

lain.

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut Prinsip Independensi (Independency):

1) Masing-masing organ perseroan harus menghindari

terjadinya dominasi oleh pihak manapun, tidak

terpengaruh oleh kepentingan tertentu, bebas dari

benturan kepentingan (conflict of interest) dan dari segala pengaruh atau tekanan, sehingga pengambilan

keputusan dapat dilakukan secara obyektif.

2) Masing-masing organ perseroan harus melaksanakan

fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar

dan peraturan perundang-undangan, tidak saling

mendominasi dan atau melempar tanggung jawab

antara satu dengan yang lain.

e. Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)

Prinsip Dasar: Dalam melaksanakan kegiatannya,

perseroan harus senantiasa memperhatikan kepentingan

pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya

(41)

67

Pedoman Pokok Pengelolaan Perseroan menurut Prinsip Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness):

1) Perseroan harus memberikan kesempatan kepada

pemangku kepentingan untuk memberikan masukan

dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan

perseroan serta membuka akses terhadap informasi

sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup

kedudukan masing-masing.

2) Perseroan harus memberikan perlakuan yang setara

dan wajar kepada pemangku kepentingan sesuai

dengan manfaat dan kontribusi yang diberikan

kepada perseroan.

3) Perseroan harus memberikan kesempatan yang sama

dalam penerimaan karyawan, berkarir dan

melaksanakan tugasnya secara profesional tanpa

membedakan suku, agama, ras, golongan, gender dan

kondisi fisik.

Dengan melaksanakan kelima prinsip Tata Kelola Perseroan

(42)

68 C. Kepailitan Perseroan Terbatas

Salah satu subjek hukum yang dapat dipailitkan adalah

Perseroan Terbatas62. Untuk dapat memahami kepailitan Perseroan Terbatas, penulis membuat perbandingan antara

Kepailitan Perseroan Terbatas dengan kebangkrutan

Perseroan, pembubaran Perseroan dan likuidasi Perseroan.

1. Perbandingan Antara Kepailitan Perseroan Terbatas dengan Kebangkrutan Perseroan, Pembubaran Perseroan Dan Likuidasi Perseroan

Kepailitan Perseroan Terbatas adalah keadaan hukum

yang ditetapkan oleh Pengadilan Niaga63 dimana sebuah Perseroan yang memiliki minimal dua kreditor dan terbukti

tidak membayar paling sedikit satu hutang yang telah

jatuh tempo dan dapat ditagih. Sebagai konsekuensi

hukum dari kepailitan tersebut semua aset Perseroan

sebagai debitor pailit tersebut berada dalam sita umum

(public attachment) yang dilakukan pengurusan dan pemberesannya oleh seorang atau lebih kurator yang

berada di bawah pengawasan hakim pengawas yang

diangkat bersama kurator oleh Pengadilan Niaga.

62 Subjek hukum yang dapat dipailitkan selain Perseroan Terbatas yaitu subjek hukum perorangan, bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Re-asuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara. Lihat Pasal 2 ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004.

(43)

69

Kata “tidak membayar” yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) memberikan pengertian bahwa UU No. 37 Tahun 2004

tidak mempertimbangkan apakah tidak dibayarnya utang

yang terbukti secara sederhana telah jatuh tempo dan

dapat ditagih tersebut disebabkan karena Perseroan

sebagai debitor pailit tersebut tidak mau membayar

(unwilling to pay debt) atau tidak mampu membayar utang (unable to pay debt/insolvent)tersebut kepada kreditornya64. Artinya, tidak dibedakan apakah keuangan Perseroan sebagai debitor pailit tersebut masih dalam

keadaan sehat atau tidak, asalkan syarat dalam Pasal 2

ayat 1 UU No. 37 Tahun 2004 tersebut terpenuhi, maka

debitor tersebut akan dinyatakan pailit oleh Pengadilan

Niaga.

Oleh karena itu, status pailit belum secara otomatis

menyatakan bahwa Perseroan sebagai debitor pailit

tersebut berada dalam keadaan tidak mampu untuk

membayar utang-utangnya (unable to pay debt/insolvent). Dapat saja Perseroan sebagai debitor pailit merupakan

Perseroan besar dan memiliki keuangan yang sehat,

namun dipailitkan karena tidak membayar utangnya

(walaupun jumlah utangnya lebih kecil daripada jumlah

asetnya ketika dipailitkan) yang telah terbukti jatuh tempo

dan dapat ditagih.

Ketika Perseroan sebagai debitor pailit tersebut sebenarnya

masih cukup mampu untuk melunasi utang-utangnya

64 Ricardo Simanjuntak SH, LLM, ANZIIF, CIP, Hukum Kontrak: Teknik

(44)

70

kepada kreditornya, maka debitor pailit tersebut dapat

mengajukan usulan perdamaian berdasarkan Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004) dimana bila usulan perdamaian

yang diajukan oleh debitor pailit disetujui oleh seluruh

kreditornya, maka apabila perdamaian tersebut

diwujudkan, akan mengakibatkan berakhirnya status pailit

dari debitor seperti yang diatur dalam Pasal 156 UU No. 37

Tahun 2004 dengan dilakukannya rehabilitasi berdasarkan

Pasal 205 UUK65.

Akan tetapi sebaliknya, bila usulan perdamaian tersebut

ditolak oleh para kreditornya, atau Perseroan sebagai

debitor pailit tersebut tidak mengajukan usulan

perdamaian, maka berdasarkan Pasal 178 UU No. 37

Tahun 2004 barulah debitor tersebut dinyatakan insolvent.

Sejak Perseroan sebagai debitor pailit dinyatakan insolvent, kurator mulai melakukan pemberesan terhadap aset-aset

debitor agar dapat digunakan untuk membayar seluruh

kewajiban dari debitor pailit baik dalam bentuk biaya

kepailitan ataupun kewajiban-kewajiban kepada

kreditornya66.

Kebangkrutan Perseroan adalah keadaan dimana

Perseroan mengalami krisis keuangan sehingga total

kewajiban (liability) melebihi total aktiva (asset)67. Krisis

65 Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan pada Pengadilan Niaga

Jakarta: Kumpulan Makalah Seri Workshop Kepailitan I-IV, 2005, hal. 184 66Loc.cit.

(45)

71

keuangan dapat terlihat melalui insolcency test yang terdiri dari cashflow test dan balance sheet test68.

Pada beberapa pembuktian ketidakmampuan membayar utang, “balance sheet test” disamakan dengan “cashflow test” karena sama-sama menggambarkan laporan kondisi keuangan Perseroan seperti dinyatakan oleh Ian Fletcher69 berikut ini:

“Balance sheet” insolvency sometimes referred to as a “cash flow” crisis, where the sum total of debt-present, future and contingent- exceeds the total value of all assets.

Tetapi sejatinya “balance sheet” dan “cashflow” merupakan

laporan keuangan yang berbeda.

Menurut Professor Goode70, cash flow test relatif lebih mudah untuk diaplikasikan dalam praktek, agar

pengadilan dapat melihat kegiatan aktual Perseroan,

namun sebenarnya cash flow bukanlah fakta pembayaran utang yang telah jatuh tempo sebagai prasyarat untuk

menyatakan Perseroan tersebut dalam keadaan insolvent:

“The cashflow test is relatively easy to apply in practice, for the court looks at what the company is actually doing; if it is not in fact paying its debts as they fall due it is assumed to be insolvent”

Berdasarkan pendapat Professor Goode tersebut, penulis

menyimpulkan bahwa krisis keuangan yang menunjukkan

keadaan bankrutnya Perseroan bukanlah krisis cashflow

68 R. M Goode, Principle of Corporate Insolvency Law, London: Sweet and Maxwell, 1990, hal. 26

(46)

72

(pengeluaran lebih banyak daripada pemasukan)

melainkan merujuk pada ketidakseimbangan posisi

balance sheet. dimana total kewajiban (liability) melebihi total aktiva (asset).

Pentingnya membedakan antara krisis cashflow dan ketidakseimbangan posisi balance sheet adalah karena bisa jadi, cashflow Perseroan berada dalam kondisi tidak minus (pemasukan lebih besar daripada pengeluaran)

tetapi ternyata sumber pemasukan tersebut berasal dari

utang yang sebenarnya berposisi sebagai kewajiban

(liability). Untuk mempermudah memahami posisi balance sheet, perhatikan contoh balance sheet berikut:

Gambar 3.

Neraca (balance sheet)71

Aset Lancar Kewajiban Lancar

Kas dan Sekuritas Utang

Piutang Utang jangka panjang

Persediaan

+ +

Aset Tetap Kewajiban Jangka Panjang

Aset berwujud +

Aset tidak berwujud Ekuitas Pemegang Saham

Dalam neraca (Balance Sheet) tersebut, utang Perseroan terhadap pihak ketiga tercakup dalam kewajiban (liabilities) pada bagian kanan. Dalam pembuktian keadaan insolvent

dari suatu Perseroan dapat dianalisis dari balance sheet

tersebut, yaitu dengan melihat perbandingan antara

71 Brealey Myers Marcus, Dasar-dasar Manajemen Keuangan Perusahaan, 2008, Jakarta: Erlangga, hal.58

[image:46.516.83.445.155.606.2]
(47)

73

kewajiban (liabilities) dan modal (equity)72. Jika liabilities > equity (jumlah utang lebih besar daripada modal), maka Perseroan tersebut dikategorikan memiliki kemampuan

yang rendah dalam membayar utang. Apalagi jika equity = 0, atau liabilities = 100%, maka Perseroan tersebut dikategorikan memiliki risiko tinggi (high risk), karena jika kreditor meminta pelunasan utang, maka jalan keluar

satu-satunya adalah dengan mencairkan aset yang dimiliki

oleh Perseroan tersebut. Inilah salah satu73 asal-muasal keadaan insolvent debitor dalam membayar hutangnya.

Kebangkrutan (bankruptcy) memiliki persamaan arti dengan keadaan ketidakmampuan membayar

hutang-hutangnya (insolvency). Kebangkrutan (bankruptcy) dan ketidakmampuan membayar utang (insolvency)

mempunyai persamaan arti, yaitu keadaan

ketidakmampuan membayar utang karena krisis keuangan

dalam Perseroan. Perbedaannya dikemukakan oleh Ian

Fletcher74, bahwa insolvency adalah kondisi faktual, sedangkan bankruptcy adalah status hukum:

Distinction between “insolvency” and “bankruptcy”, “insolvency” as a factual condition and “bankruptcy” as a legal condition status.

72Liabilities dan equity sama-sama merupakan sumber modal Perseroan. Bedanya,

liabilities merupakan modal yang bersumber kreditor dalam bentuk pinjaman/utang (payable), sedangkan equity merupakan modal yang bersumber dari investor berupa saham (stock). Wawancara dengan Marwata, SE, MSi. Ph.D, Dosen Akuntansi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2 Mei 2012

73 Selain ketidakmampuan untuk membayar utang (unable to pay), kepailitan bisa juga terjadi karena ketidakmauan debitor untuk utang (unwilling to pay)

(48)

74

Menurut penulis, dalam pranata hukum kepailitan

Indonesia, fungsi balance sheet test dalam pranata hukum kepailitan di Indonesia, bukan sebagai pembuktian untuk

memperkuat argumen mengenai utang yang telah jatuh

tempo dan dapat ditagih, melainkan untuk pembuktian

dalam usulan perdamaian bahwa Perseroan sebagai

debitor pailit berada dalam keadaan mampu membayar

utang-utangnya (able to pay/solvent).

Pembubaran Perseroan (dissolution) merupakan penghentian kegiatan usaha perseroan yang tidak

mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum

sampai dengan selesainya likuidasi dan

pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau

pengadilan75 atau pertanggungjawaban kurator diterima oleh hakim pengawas76. Dengan demikian, kepailitan merupakan salah satu penyebab bubarnya Perseroan77.

Likuidasi (liquidation) merupakan pemberesan penyelesaian dan pengakhiran urusan Perseroan setelah

bubarnya Perseroan, apakah bubarnya Perseroan

disebabkan karena jangka waktu yang diatur dalam

Anggaran Dasar telah berakhir, atau karena adanya

keputusan baik keputusan RUPS maupun penetapan

75 Pasal 143 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007)

76 Pasal 142 ayat (2) huruf a UU No. 37 Tahun 2004. Likuidasi dilakukan oleh kurator dalam hal Pembubaran terjadi karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi. Lihat: Pasal 142 ayat (1) huruf e UU No. 37 Tahun 2004

(49)

75

pengadilan.78 Dalam hal pembubaran disebabkan oleh karena Perseroan telah dinyatakan pailit maka kuratorlah

yang melakukan likuidasi. Pemberesan oleh kurator

disebut likuidasi khusus79.

2. Tujuan Hukum Kepailitan Perseroan di Indonesia: Perbandingan dengan Hukum Kepailitan Amerika Serikat

Menurut David Milman dan Christopher Durrant80, tujuan utama (basic aims) Hukum Kepailitan Perseroan di Amerika Serikat:

a. To protect creditors – e.g., by providing facilities and procedures designed to allow them to enforce their claims against the company;

b. To balance the interests of competing groups on corporate insolvency;

c. To control or punish directors responsible for the financial collapse of the company.

Jika dibuat perbandingan dengan tujuan hukum di

Amerika Serikat, maka tujuan hukum kepailitan Perseroan

di Indonesia:

a. Dalam tujuan pertama, tujuan hukum kepailitan

Indonesia dan AS cenderung sama yaitu bertujuan

untuk melindungi kepentingan kreditor. Hal ini terlihat

dari syarat untuk mengajukan permohonan pailit (Pasal

2 ayat 1) yang sederhana sehingga memudahkan

78 Bandingkan dengan Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, 2011, Griya Media, Salatiga, hal. 236

79 Lihat Penjelasan Pasal 142 ayat (2) huruf a.

80David Milman dan Christopher Durrant, Corporate Insolvency:Law and

(50)

76

kreditor untuk mempailitkan debitor demi

mendapatkan pelunasan atas piutangnya;

b. Dalam tujuan kedua, tujuan hukum kepailitan

Indonesia dan AS cenderung sama yaitu untuk

menyeimbangkan pembagian hasil boedel pailit

diantara para kreditor, dalam hal ini kreditor konkuren,

setelah kreditor separatis dan kreditor preferen

mendapatkan pemenuhan haknya terlebih dahulu

(Pasal 1132);

c. Dalam tujuan ketiga, tujuan hukum kepailitan

Indonesia dan AS berbeda. Tujuan hukum kepailitan

AS adalah untuk mengontrol atau menghukum Direksi

atas jatuhnya kondisi keuangan Perseroan, sedangkan

di Indonesia, pranata hukum kepailitan tidak sampai

menghukum Direksi atas kepailitan Perseroan. Hal ini

terbukti dari isi putusan Pengadilan Niaga yang tidak

pernah menghukum anggota Direksi Perseroan atas

kep

Gambar

Neraca (Gambar 3. balance sheet)71
Tabel 5 Rekapitulasi Doktrin Tertransplantasi terkait

Referensi

Dokumen terkait

Dalam tesis ini akan disajikan analisis mengenai variasi pertimbangan hakim dan tanggung jawab Organ Perseroan terkait 5 (lima) doktrin tertransplantasi dalam 6

Tanggung jawab organ perseroan pada dalam kepailitan. didasarkan pada batas Tanggung Jawab

dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. 3) Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggungjawab secara pribadi atas kerugian. perseroan apabila yang bersangkutan

Kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup

komisaris berwenang untuk memasuki kantor perseroan, mendapatkan laporan direksi, memeriksa dokumen perseroan, menyetujui atau tidak menyetujui suatu tindakan

• Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan

Namun, anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, dan dia telah melakukan pengurusan dengan itikad

Kelalaian Direksi dalam mengelola Perseroan Terbatas hingga menyebabkan Perseroan Terbatas Pailit adalah Direksi yang tidak melakukan tindakan dengan itikad baik untuk mencapai tujuan