• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bangunan Utama

Bangunan utama dapat didefinisikan sebagai: “Semua bangunan yang direncanakan di sepanjang sungai atau aliran air untuk memebelokan air ke dalam jaringan saluran irigasi agar dapat di pakai untuk keperluan irigasi, biasanya dilengkapi dengan kantong lumpur agar bisa mengurangi sedimen yang berlebihan serta kemungkinan untuk mengukur dan mengatur air masuk”.(Standar Perencanaan Irigasi KP- 02 Bagian Bangunan Utama)

Yang termasuk bangunan utama adalah:

Waduk, yaitu suatu bangunan yang terbuat dari urugan batu, urugan tanah atau kombinasi dari keduanya, yang berfungsi untuk menyimpan air pada waktu musim penghujan untuk di keluarkan kembali pada saat yang di perlukan. Atau dengan kata lain berfungsi untuk mengatur debit aliran sungai.

Bendung, yaitu suatu bangunan yang melintang pada aliran sungai (palung sungai), yang terbuat dari pasangan batu kali, bronjong, atau beton, yang berfungsi untuk meninggikan muka air agar dapat dialirkan ke tempat yang diperlukan.

Bendung ini dibagi dalam 2 tipe, yaitu: - Bendung Tetap

- Bendung Gerak (Barrage)

Stasiun Pompa, yaitu suatu bangunan yang dilengkapi dengan sejumlah pompa, yang fungsinya mengambil air dari sungai dan dialirkan ke tempat- tempat yang memerlukan. Biasanya bangunan ini didirikan apabila secara teknis dan ekonomis tidak menguntungkan apabila didirikan atau membuat sebuah bendung.                

(2)

Bangunan Pengambilan Bebas, yaitu bangunan yang didirikan di pinggir sungai berfungsi mengalirkan air sungai secara langsung tanpa meninggikan muka air sungai tersebut.

2.1.1 Pengertian Bendung

Sesuai dengan Standar Tata Cara Perencanaan Umum Bendung, Bendung adalah suatu bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun melintang sesuai atau sudetan yang sengaja dibuat untuk meninggikan taraf muka air atau untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke tempat yang membutuhkannya.

Sedangkan, bendung tetap adalah bendung yang terdiri dari ambang tetap, sehingga muka air banjir tidak dapat diatur elevasinya. Dibangun umumnya di sungai- sungai ruas hulu dan tengah.

Bendung berfungsi antara lain untuk meninggikan muka air, agar air sungai dapat disadap sesuai dengan kebutuhan dan untuk mengendalikan aliran, angkutan sedimen dan geometri sungai sehingga air dapat dimanfaatkan secara aman, efektif, efisien dan optimal.

Sesuai konstruksinya, bendung dapat dibedakan menjadi bendung pelimpah dan bendung gerak. Untuk perencaaan ini akan dibahas mengenai bendung pelimpah. Bendung pelimpah yang dibangun melintang sungai, akan memberikan tinggi air minimum kepada bangunan intake untuk keperluan irigasi. Merupakan penghalang selama terjadi banjir dan dapat menyebabkan genangan di udik bendung.

Bendung pelimpah terdiri dari antara lain tubuh bendung dan mercu bendung. Tubuh bendung merupakan ambang tetap yang berfungsi untuk meninggikan taraf muka air sungai. Mercu bendung berfungsi untuk mengatur tinggi air minimum, melewatkan debit banjir, dan untuk membatasi tinggi genangan yang akan terjadi di hulu bendung.

Nama bendung untuk penyebutan suatu bendung yang biasanya diberi nama sama dengan nama sungai atau sama dengan nama kampung atau desa disekitar bendung tersebut.                

(3)

2.1.2 Klasifikasi Bendung

Bendung berdasarkan fungsinya dapat diklasifikasikan menjadi: Bendung Penyadap

Bendung Pembagi Banjir Bendung Penahan Pasang

Berdasarkan tipe strukturnya bendung dapat dibedakan atas: Bendung Tetap

Bendung Gerak Bendung Kombinasi

Bendung Kembang Kempis Bendung Bottom Intake

Ditinjau dari segi sifatnya bendung dapat juga dibedakan menjadi: Bendung Permanen

Bendung Semi Permanen Bendung Darurat

2.1.3 Tata Letak Bendung dan Perlengkapannya

Kompenen utama bendung tetap yaitu:

1. Tubuh bendung; antara lain terdiri dari ambang tetap dan mercu bendung dengan bangunan peredam energinya.

2. Bangunan intake; antara lain terdiri dari lantai/ ambang dasar, pintu dinding banjir, pilar penempatan pintu, saringan sampah, jembatan pelayan, rumah pintu, dan perlengkapan lainnya.

3. Bangunan pembilas; dengan undersluice atau tanpa undersluice, pilar penempatan pintu, pintu bilas, jembatan pelayan, rumah pintu, saringan batu, dan perlengkapan lainnya.

4. Bangunan pelengkap lain yang harus ada pada bendung antara lain yaitu tembok pangkal, sayap bendung, lantai udik dan dinding tirai, pengarah arus tanggul banjir dan tanggul penutup atau tanpa tanggul, penangkap sedimen atau tanpa penangkap sedimen, tangga, penduga muka air, dan sebagainya.                

(4)

Gambar 2.1 Bagian- bagian Bendung

2.2 Lokasi Bendung

Pemilihan lokasi bendung yang dibicarakan yaitu untuk bendung tetap permanen bagi kepentingan irigasi. Dalam pemilihan hendaknya dipilih lokasi yang paling menguntungkan dari beberapa segi. Misalnya dilihat dari segi perencanaan, pengamanan bendung, pelaksanaan, pengoperasian, dampak pembangunan dan lainnya. Tidak semua persyaratan yang dibutuhkan akan terpenuhi, sehingga lokasi bendung ditetapkan berdasarkan persyaratan yang dominan. Pemilihan lokasi harus dipertimbangkan juga terhadap pengaruh timbal balik antara morfologi sungai dan bangunan lain yang ada dan akan dibangun (Erman dan Memed, 2002:26).

2.2.1 Pemilihan Lokasi Bendung

Lokasi bendung dipilih atas pertimbangan beberapa aspek, yaitu: 1. Keadaan topografi dari rencana daerah irigasi yang akan diairi:

 Dalam hal ini semua rencana daerah irigasi dapat terairi, sehingga harus dilihat elevasi sawah tertinggi yang akan diairi,

 Bila elevasi sawah tertinggi yang akan diari telah diketahui maka elevasi mercu bendung dapat ditetapkan,

1. Tembok Pengarah Arus 6. Bangunan Pembilas

2. Tembok Sayap Hulu 7. Mercu Bendung

3. Tembok Pangkal Bendung 8. Kolam Peredam Energi

4. Tembok Sayap Hilir 9. Jembatan

5. Bangunan Pengambilan                

(5)

 Dari kedua hal di atas, lokasi bendung dilihat dari segi topografi dapat diseleksi,

 Disamping itu ketinggian mercu bendung dari dasar sungai dapat pula direncanakan.

2. Kondisi topografi dari lokasi bendung, harus mempertimbangankan beberapa aspek, yaitu:

 Ketinggian bendung tidak terlalu tinggi, bila bendung dibangun di palung sungai, maka sebaiknya ketinggian bendung dari dasar sungai tidak lebih dari tujuh meter, sehingga tidak menyulitkan pelaksanaannya.

 Trace saluran induk terletak di tempat yang baik, misalnya penggaliannya tidak terlalu dalam dan tanggul tidak terlalu tinggi agar tidak menyulitkan saat pelaksanaannya.penggalian saluran ini dibatasi sampai dengan kedalaman delapan meter, dan apabila tidak terpenuhi maka sebaiknya bendung dipindahkan ke tempat lain.

 Penempatan lokasi intake yang tepat dilihat dari segi hidraulik dan angkutan sedimen sehingga aliran ke intake tidak mengalami gangguan dan angkutan sedimen yang akan masuk intake juga dapat dihindari. 3. Kondisi hidraulik dan morfologi sungai di lokasi bendung, termasuk

angkutan sedimennya adalah faktor yang harus dipertimbangkan pula dalam pemilihan lokasi bendung yang meliputi:

 Pola aliran sungai, kecepatan, dan arahnya pada waktu debit banjir, sedang dan kecil,

 Kedalaman dan lebar muka air pada waktu debit banjir, sedang dan kecil,

 Tinggi muka air pada debit banjir rencana,

 Potensi dan distribusi angkutan sedimen.

Bila persyaratan di atas tidak tidak terpenuhi maka dipertimbangkan pembangunan bendung di lokasi lain misalnya di sudetan sungai atau dengan jalan membangun pengendalian banjir.

4. Kondisi tanah fondasi bendung harus ditempatkan di lokasi dimana tanah yang dapat memikul beban dengan baik sehingga bangunan akan                

(6)

stabil.Faktor lain yang harus dipertimbangkan pula yaitu potensi kegempaan, potensi gerusan karena arus dan sebagainya.

5. Biaya pelaksanaan dari beberapa alternatif lokasi harus dipertimbangkan yang selanjutnya biaya pelaksanaan dapat ditentukan dan cara pelaksanaannya, peralatan dan tenaga. Biasanya biaya pelaksanaan ditentukan berdasarkan pertimbangan terakhir.

6. Faktor- faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam memilih lokasi bendung yaitu penggunaan lahan di sekitar bendung, kemungkinan pengembangan daerah di sekitar bendung, perubahan morfologi sungai, daerah genangan yang tidak terlalu luas dan ketinggian tanggul banjir.

2.2.2 Penempatan Bendung di Sudetan Sungai

Penempatan bendung yang dulu dikenal hanya di palung sungai, kini telah berkembang untuk ditempatkan di sudetan sungai. Berpuluh- puluh bendung ditempatkan di sudetan sungai sejak tahun 1970-an, sehingga diperoleh pengalaman dan diketahui untung ruginya. Sudetan sungai yaitu saluran yang dibuat untuk memindahkan aliran sungai dari palung aslinya. Dapat dibuat di daerah yang tidak pernah tersentuh aliran sungai atau pada sudetan sungai.

Keuntungan bendung yang ditempatkan di daerah sudetan sungai adalah:

 Memudahkan pelaksanaan pelaksanaan bendung tanpa gangguan aliran sungai, dan tidak terganggu oleh musim

 Arah aliran menuju bendung dan ke hilirnya akan lebih baik

 Untuk mendapatkan tanah fondasi yang lebih baik

 Penempatan lokasi intake, kantong sedimen dan saluran akan lebih baik. Selain keuntungan di atas, pada pelaksanaannya pasti akan dijumpai kesulitannya, yaitu:

 Harus dibuat tanggul penutup sungai, yang kadangkala cukup tinggi dan berat

 Diperlukan pula bangunan pengelak khusus dalam pelaksanaan pembuatan tanggul penutup tersebut

 Adakalanya perlu menyeberangan saluran induk di atas palung sungai asli.                

(7)

Penempatan bendung langsung di palung sungai sebaliknya dari hal di atas, yaitu pelaksanaan pekerjaan akan terganggu oleh musim banjir, perlu pekerjaan pengeringan yang berat, dan perlu perlengkapan bendung untuk memeratakan aliran menuju bendung seperti pengarah arus dan sebagainya. Tetapi tidak diperlukantanggul penutup sungai, dan saluran induk akan berada di tanah asli, tidak di atas tanggul penutup sungai.

Tata letak yang tepat untuk sudetan bergantung kepada berbagai faktor seperti keadaan geoteknik, topografi, dan lainnya. Dalam pengaturan alur sudetan dan tata letaknya beberapa hal harus dipertimbangkan juga, yaitu:

 Perubahan morfologi sungai diusahakan sedikit mungkin

 Penurunana dasar sungai/ sudetan di hilir bendung akan terjadi sehingga penentuan kedalaman koperan bangunan/ bendung harus dipertimbangkan terhadap hal ini.

2.3 Analisis Hidrologi

Perhitungan analisis hidrologi digunakan untuk mengetahui debit banjir rencana karena bendung yang direncanakan harus mampu bertahan terhadap kemungkinan semua gaya yang bekerja terutama pada tubuh bendungnya. Salah satu gaya yang cukup besar pengaruhnya adalah gaya air, terutama saat banjir. Oleh karena itu perencanaan bendung harus memperhitungkan kemungkinan terjadinya banjir. Perhitungan debit banjir dimulai dengan analisis hidrologi.

2.3.1 Curah Hujan Wilayah

Dari beberapa stasiun hujan yang berpengaruh dan digunakan, harus ditentukan suatu harga sebagai harga rata-rata kawasan yang mewakili suatu daerah pengaliran. Ada beberapa metode pendekatan (SK SNI M-18-1989-F, 1989)untuk menentukan curah hujan rata-rata tergantung keadaan topografi dan luas DAS, antara lain:

               

(8)

A. Cara Rata-rata Arithmatik

Cara ini digunakan apabila stasiun pengamatan terbatas dengan keadaan topografi cenderung datar dan luas DAS < 500 km2. Besar curah hujan rata-rata

dapat dihitung sebagai berikut : 𝑅 = 𝑅1+𝑅2+⋯𝑅𝑛 𝑛 = 𝑅𝑖 𝑛 𝑛 𝑖 (1) Keterangan:

R = Curah hujan rata-rata kawasan Ri = Curah hujan pengamatan ke i n = Jumlah pengamatan

B. Cara Poligon Thiessen

Metode Thiessen dapat memberikan koreksi terhadap kedalaman hujan sebagai fungsi luas daerah yang diwakili namun dalam metode ini pengaruh topografi tidak Nampak. Cara ini digunakan apabila stasiun pengamatan cukup dengan keadaan topografi cenderung datar dan luas DAS 500-5000 km2. Besar curah hujan rata-rata dapat dihitung sebagai berikut :

𝑅 = 𝑅1.𝐴1+𝑅2.𝐴2+⋯𝑅𝑛.𝐴𝑛 𝐴 = 𝑅𝑖.𝐴𝑖 𝐴 𝑛 𝑖 (2) Keterangan:

R = Curah hujan rata-rata Rn = Curah hujan stasiun ke n

An = Luas daerah pengaruh stasiun ke n C. Cara Isohiet

Metode ini dinilai yang paling teliti untuk mendapatkan curah hujan daerah rata-rata. Cara ini digunakan apabila stasiun pengamatan relative lebih padat dengan keadaan topografi cenderung berbukit dan tidak beraturan, dan luas DAS >5000 km2. Besar curah hujan dapat dihitung sebagai berikut :

𝑅 = 𝑅1.𝐴1+𝑅2.𝐴2+⋯𝑅𝑛.𝐴𝑛 𝐴 = 𝑛𝑖 𝑅𝑖.𝐴𝑖 𝐴(3)                

(9)

Keterangan:

R = Curah hujan rata-rata

Rn = Curah hujan rata-rata diantara dua garis isohiet An = Luas daerah pengaruh antara dua garis isohiet

2.3.2 Analisis Frekuensi Curah Hujan

Untuk mengetahui kemungkinan hujan yang terjadi periode ulang tertentu, ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain : Gumbel, Hasspers, dan Der Weduwen (SK SNI M-18-1989-F, 1989).

A. AnalisisCurah Hujan Metode Gumbel Rumus :

Xt = Xa +K. Sx (4)

Keterangan :

Xt = Curah hujan diharapkan dalam T tahun (mm)

t = Periode ulang (tahun)

Xa = Harga curah hujan rata-rata (mm)

K = Faktor frekwensi

Sx = Standar Deviasi

Harga faktor K tergantung dari banyaknya data yang dianalisis dan tergantung dari periode ulang yang dikehendaki, sehingga K dapat dirumuskan sebagai berikut: 𝐾 = 𝑌𝑡−𝑌𝑛 𝑆𝑛 (4.1) 𝑋𝑡 = 𝑋𝑎 +𝑌𝑡−𝑌𝑛 𝑆𝑛 . 𝑆𝑥 (4.2) Keterangan : Yt = Reduced variate Yn = Reduced mean

Sn = Reduced standard deviation

Untuk perhitungan standar deviasi adalah sebagai berikut : Sx = (𝑋𝑖 −𝑋𝑎 )2 𝑛 −1 (4.3)                

(10)

n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 0.4588 0.4690 0.4774 0.4843 0.4902 10 0.4952 0.4996 0.5035 0.5070 0.5100 0.5128 0.5157 0.5181 0.5202 0.5220 20 0.5236 0.5252 0.5268 0.5282 0.5296 0.5309 0.5320 0.5332 0.5343 0.5353 30 0.5362 0.5371 0.5380 0.5388 0.5396 0.5403 0.5410 0.5418 0.5424 0.5430 40 0.5436 0.5442 0.5448 0.5453 0.5458 0.5463 0.5468 0.5473 0.5477 0.5481 50 0.5485 0.5489 0.5493 0.5497 0.5501 0.5504 0.5508 0.5511 0.5515 0.5518 60 0.5521 0.5524 0.5527 0.5530 0.5533 0.5535 0.5538 0.5540 0.5543 0.5545 70 0.5548 0.5550 0.5552 0.5555 0.5557 0.5559 0.5561 0.5563 0.5565 0.5567 80 0.5569 0.5570 0.5572 0.5574 0.5576 0.5578 0.5580 0.5581 0.5583 0.5585 90 0.5586 0.5587 0.5589 0.5591 0.5592 0.5593 0.5595 0.5596 0.5598 0.5599 100 0.5600 Keterangan :

Xi = Harga besaran pada pengamatan tertentu (mm)

n = banyaknya data pengamatan

Tabel 2.1 Hubungan Antara Kala Ulang dengan Faktor Reduksi Yt

Tabel 2.2 Rata- rata Tereduksi (Yn)

Tabel 2.3 Simpangan Baku Tereduksi (Sn)

Kala Ulang Faktor Reduksi

T (Tahun) Yt 1 -2.0000 2 0.3665 5 1.4999 10 2.2504 20 2.9702 25 3.1985 50 3.9019 100 4.6001 200 5.2958 1000 6.9190 n 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 0.7928 0.8388 0.8749 0.9043 0.9288 10 0.9496 0.9697 0.9833 0.9971 1.0095 1.0206 1.0316 1.0411 1.0494 1.0565 20 1.0628 1.0695 1.0755 1.0812 1.0865 1.0915 1.0961 1.1004 1.1047 1.1086 30 1.1124 1.1159 1.1193 1.1226 1.1255 1.1285 1.1313 1.1339 1.1363 1.1388 40 1.1413 1.1436 1.1458 1.1480 1.1499 1.1519 1.1538 1.1557 1.1574 1.1590 50 1.1607 1.1623 1.1638 1.1653 1.1667 1.1681 1.1696 1.1708 1.1721 1.1734 60 1.1747 1.1759 1.1770 1.1782 1.1793 1.1803 1.1814 1.1824 1.1834 1.1844 70 1.1854 1.1863 1.1873 1.1881 1.1890 1.1898 1.1906 1.1915 1.1923 1.1930 80 1.1938 1.1945 1.1953 1.1960 1.1967 1.1973 1.1980 1.1987 1.1994 1.2001 90 1.2007 1.2013 1.2020 1.2026 1.2032 1.2038 1.2044 1.2049 1.2055 1.2060 100 1.2065                

(11)

B. AnalisisCurah Hujan Metode Hasspers

Metode Hasspers ini menggunakan harga-harga curah hujan maksimum pertama dan maksimum kedua (R1 dan R2). Data-data curah hujan yang diperoleh sama dengan metode Gumbel, yaitu pengamatan minimum 10 tahun, metode ini dalam perhitungannya berdasarkan periode tertentu. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut :

Xt = Xa +S. 𝜇 (5)

Keterangan :

Xt = Besar curah hujan dengan periode ulang tahunan (mm)

Xa = Curah hujan rata-rata (mm)

S = Standar deviasi

𝜇 = Standar variabel untuk periode ulang tertentu (dari tabel Hasspers) Sedangkan untuk perhitungan standar deviasinya adalah sebagai berikut : 𝑆 =1 2 𝑅1−𝑋𝑎 𝜇 1 + 𝑅2−𝑋𝑎 𝜇2 ` (5.1) Keterangan :

R1 = Curah hujan maksimum pertama selama 24 jam (mm)

R2 = Curah hujan maksimum kedua selama 24 jam (mm)

Nilai R1dan R2 didapatkan dari stasiun masing-masing pos curah hujan.

               

(12)

Tabel 2.4Standar Variabel Hasspers t Μ T Μ t M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 20 25 30 35 40 45 -1,86 -0,22 0,17 0,39 0,55 0,73 0,88 1,01 1,17 1,26 1,35 1,43 1,50 1,57 1,63 1,89 2,10 2,27 2,41 2,54 2,65 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 2,75 2,86 2,93 3,00 3,08 3,15 3,21 3,27 3,33 3,78 3,43 3,53 3,62 3,70 3,77 3,84 3,91 3,97 4,03 4,09 4,14 220 240 260 280 300 350 400 450 500 600 700 800 900 1.000 5.000 10.000 50.000 80.000 500.000 4,24 4,33 4,42 4,50 4,57 4,77 4,88 5,01 5,13 5,33 5,51 5,56 5,80 5,29 7,90 8,83 11,08 12,32 13,74

C. AnalisisCurah Hujan Metode der Weduwen

Metode Der Weduwen dalam perhitungannya menggunakan harga curah hujan maksimum kedua (R2).

Der Weduwen mengambil dasar perhitungan berdasarkan atas tinggi hujan dengan periode ulang tertentu yang dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya hujan di Jakarta satu kali dalam 70 tahun, hal ini disebabkan metode ini digunakan saat penelitian di Jakarta.

Der Weduwen memberikan rumus untuk curah hujan dengan periode tertentu :

𝑅𝑛 = 𝑋𝑡 =𝑀𝑛

𝑀𝑝. 𝑅2 (6)

Keterangan :

R2 = Curah hujan mkasimum kedua (mm)

Mp = Jumlah pengamatan (p) dalam (tahun) Mn = Index R yang diperlukan (n) dalam (tahun)                

(13)

Tabel 2.5Koefisien Perbandingan Weduwen n/p mn/mp n/p mn/mp n/p mn/mp 1/5 ¼ 1/3 ½ 1 2 3 4 0,238 0,262 0,271 0,336 0,410 0,492 0,541 0,579 5 10 15 20 25 30 40 0,602 0,705 0,766 0,811 0,845 0,875 0,915 50 60 70 80 90 100 125 0,948 0,975 1,00 1,020 1,030 1,050 1,080

2.3.3 Debit Banjir Rencana (Design Flood)

Yang dimaksud dengan banjir rencana (design flood) adalah besarnya debit yang direncanakan untuk melewati bendung pada suatu waktu jangka tertentu. Artinya pada suatu jangka waktu (periode) tersebut, banjir ini akan terjadi lagi. Misalnya banjir 50 tahunan, adalah banjir yang akan terjadi pada tiap 50 tahun sekali, demikian pula banjir 100 tahunan, adalah banjir yang akan terjadi pada tiap100 tahun sekali, Angka 50 tahun dan 100 tahun disebut periode ulang.

Sehingga apabila banjir rencana 50 tahun, artinya bendung itu akan mampu dilewati oleh banjir yang datangnya setiap 50 tahun sekali. Biasanya untuk bendung direncanakan design flood antara Q50 dan Q100 tahun, hal ini tergantung

dari besar kecil serta tingkat keamanan bendung yang dikehendaki.

Sesuai dengan Revisi SNI 03-2415-1991, metode rasional untuk menghitung debit banjir rencana adalah sebagai berikut:

A. Rumus Debit Banjir Melchior 𝑄𝑛 = 𝛼. 𝐹. 𝑞1. 𝑅𝑛 200 (7) 𝐹 = 1970 𝛽−0,12 3960 + 1720β (7.1) 𝑡𝑘 = 1000 𝐿 3600 𝑉 (7.2) 𝑉 = 1,31 𝛽 𝑞 𝐴 𝐼5 2 (7.3) 𝐼 = 𝐻 0,9 𝐿 (7.4) 𝑇 =0,186 𝐿𝑄−0,2𝐼−0,4 (7.5)                

(14)

Keterangan :

Qn = Debit maksimum (m3/det)

𝛼 = 0,42- 0,62 dan disarankan memakai 0,62 = Koefisien aliran 𝛽 = Koefisien reduksi

q = Hujan maksimum (m3/km2/det)

F = Luas daerah aliran sungai (km2)

L = Panjang sungai (km)

V = Kecepatan air rata- rata (m/det)

tk = Waktu konsentrasi (jam)

I = Kemiringan sungai (m)

H = Beda tinggi antara dasar sungai di mulut DAS dengan dasar sungai di titik 0,9 L ke arah hilir (m)

B. Rumus Debit Banjir der Weduwen

𝑄𝑛 = 𝛼. 𝛽. 𝑞. 𝐹 (8) 𝛼 = 1 − (4.1 𝛽. 𝑞 + 7) (8.1) 𝛽 = 120+ 𝑡+1 𝑡+9.𝐹 120+𝐹 (8.2) 𝑞𝑛 = 67.65 𝑡+1,45 (8.3) 𝑡 = 0.25𝐿𝑆. 𝑄−0.125 . 𝐼−0.25 (8.4) Keterangan :

Qn = Debit maksimum (m3/det)

𝛼 = Koefisien aliran

𝛽 = Koefisien reduksi

qn = Hujan maksimum (m3/km2/det)

F = < 50 km2 =Luas daerah aliran sungai (km2)

Ls = Panjang sungai (km) I = Kemiringan sungai (m)                

(15)

C. Rumus Debit Banjir Metode Hasspers 𝑄𝑛 = 𝛼. 𝛽. 𝑞. 𝐹 (9) 𝛼 =1+ 0.012.𝐹0.70 1+ 0.075.𝐹0.70 (9.1) 1 𝛽 = 1 + 𝑡+ 3,70 .10−0.40𝑡 𝑡2+15 . 𝐹0.75 12 (9.2) 𝑞 = 𝑅𝑡 3,6𝑡 (9.3) 𝑅𝑡 =𝑅+ 𝑆𝑥. 𝑌 (9.4) 𝑡 = 0.10𝐿𝑆0.80 . 𝐼−0.30 (9.5) 𝐼 = ∆𝐻 0.9 .𝐿𝑠 (9.6) Untuk t < 2 jam: 𝑅𝑡 = 𝑡𝑅24 𝑡+1−0,0008 (260−𝑅24)(2−𝑡)2 (9.7)

Untuk 2 jam < t < 19 jam: 𝑅𝑡 =𝑡𝑅24

𝑡+1 (9.8)

Untuk 19 jam < t < 30 hari:

𝑅𝑡 = 0,707 𝑅24 𝑡 + 1 (9.9)

Keterangan:

Qn = Debit maksimum (m3/det)

𝛼 = Koefisien aliran

𝛽 = Koefisien reduksi

q = Hujan maksimum (m3/km2/det)

t = Waktu curah hujan (jam)

𝑅 = Curah hujan maksimum rata- rata (mm)

Sx = Simpangan Baku

Y = Variabel simpang untuk kala ulang T tahun

Rt = Curah hujan dengan kala ulang T tahun (mm)

F = Luas daerah aliran sungai atau luas tangkapan hujan didaerah aliran (km2)

Ls = Panjang sungai (km)

I = Kemiringan sungai (m)

𝑅24𝑚𝑎𝑘𝑠= Curah hujan dalam 24 jam (mm)                

(16)

∆𝐻 = selisih tinggi antara titik-titik dan titik sejauh 0.9L dari titik itu ke hulu sungai.

2.4 Perencanaan Hidrolis

Hidrolis bendung adalah komponen-komponen dari tubuh bendung yang berhubungan langsung dengan sifat-sifat hidrolis atau pengaliran air oleh dan pada tubuh bendung tersebut. Dalam hal ini meliputi kebutuhan tekanan air, bentuk pelimpah debit dan peredam energi, serta dimensi-dimensi pintu bilas dan pintu pengambilan sebagai berikut: (KP-02 Bangunan Utama,1986)

2.4.1 Elevasi Mercu dan Tinggi Bendung

Tujuan dari membuat bendung adalah untuk menaikan taraf muka air sungai hingga ke ketinggian tertentu, agar diperoleh tekanan yang cukup untuk mengalirkan air sungai secara gravitasi ke seluruh daerah irigasi yang akan di airi. Sedangkan tinggi tekanan ini ditentukan oleh elevasi mercu dari bendung.

Elevasi mercu bendung ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan: 1. Elevasi sawah tertinggi yang akan diari,

2. Keadaan tinggi air di sawah,

3. Kehilangan tekanan mulai dari intake sampai dengan saluran tersier ditambah kehilangan tekanan akibat exploitasi,

4. Tekanan yang diperlukan agar dapat membilas sedimen di undersluice dan kantong sedimen,

5. Pengaruh elevasi mercu bendung terhadap panjang bendung untuk mengalirkan debit banjir rencana,

6. Untuk mendapatkan sifat aliran sempurna.

Dari penjumlahan faktor- faktor diatas, maka didapat elevasi mercu bendung. Selisih beda tinggi antara elevasi mercu dengan elevasi dasar sungai, maka didapat tinggi mercu (P) seperti terlihat di Gambar 2.2

               

(17)

Gambar 2.2 Mercu Bendung 2.4.2 Tinggi Muka Air Banjir

A. Tinggi Muka Air Banjir di Hilir Bendung

Muka air rencana adalah tinggi air banjir di sungai sebelum ada bendung. Ini akan sama dengan tingginya air banjir dihilir bendung setelah adanyan bendung. Tujuannya adalahuntuk memperhitungkan pengaruh air banjir tersebut baik terhadap konstruksi bendungnya itu sendiri, maupun genangannya terhadap bantaran sungai di hulu bendung agar tidak membanjiri pemukiman sekitar yang berada di lokasi hulu.Dari perhitungan tinggi muka air rencana didapatkan lengkung debit digunakan untuk menyatakan hubungan antara muka air (h) dan debit air (Q), adapun rumus yang digunakan adalah:

Q = A . V (10)

A = (b + mhi)hi (10.1)

O = 𝑏 + 2𝑕𝑖 1 + 𝑚2 (10.2)

R = 𝐴

𝑂 (10.3)

Sedangkan untuk kecepatan aliran dihitung dengan rumus Chezy dan Bazin, sebagai berikut: V = 𝐶 𝑅𝐼 (10.4) C = 87 1+𝛾 𝑅 (10.5) Keterangan: C = koefisien kecepatan V = kecepatan aliran (m/dt)                

(18)

I = kemiringan sungai rata- rata R = jari- jari hidrolis (m)

A = luas penampang basah (m2)

O = keliling basah (m)

hi = tinggi air (m)

b = lebar rata-rata sungai (m)

m = kemiringan talud sungai (m)

ɣ = untuk sungai dapat di ambil 1,5-1,75 Q = debit sungai (m3/dt)

Gambar 2.3 Profil Melintang Rata- rata Sungai

Dimensi sungai didapatkan dari profil melintang sungai, profil sungai yang dipakai adalah rata- rata dari lima profil sungai, yaitu profil sungai di as bendung, dua profil sungai di hulu bendung dan dua profil sungai di hilir bendung sesuai Gambar 2.3

Dengan memilih harga h akan didapatkan hubungan antara h dan Q, titik-titik tersebut digambarkan dalam suatu hubungan antara absis X pada sumbu mendatar sebagai harga Q dan ordinat Y pada sumbu tegak sebagai tinggi air h, sehingga didapat grafik lengkungan debit. Dari grafik didapat tinggi air maksimum dengan debit banjir rencana yang telah didapat sebelumnya.

Profil Rata- rata Profil Asli Profil Asli                

(19)

Gambar 2.4 Lengkung Debit

Gambar 2.5Tinggi Muka Air Banjir di Hilir

B. Tinggi Muka Air Banjir di Hulu Bendung 1. Lebar dan Lebar Efektif Bendung

Lebar bendung adalah jarak antara pangkal- pangkalnya (abutmen), dan sebaiknya sama dengan lebar rata- rata sungai pada bagian yang stabil. Dibagian ruas bawah sungai, lebar rata- rata ini dapat diambil pada debit penuh (bankfull disharge), di bagian ruas atas mungkin sulit untuk menentukan debit penuh.Dalam hal ini banjir rata- rata tahunan dapat diambil untuk menentukan lebar rata- rata bendung. Lebar maksimum bendung hendaknya tidak lebih dari 1,2 kali lebar rata- rata sungai pada ruas yang stabil.

hi hi                

(20)

Lebar efektif bendung adalah lebar bendung yang bermanfaat untuk melewatkan debit. Untuk sungai- sungai yang mengangkut bahan- bahan yang berat, lebar bendung tersebut harus lebih disesuaikan lagi terhadap lebar rata- rata sungai, yaitu jangan diambil 1,2 kali lebar sungai. Agar pembuatan bangunan peredam energi tidak terlalu mahal, maka aliran persatuan lebar hendaknya dibatasi sampai sekitar 12 - 14 m3/dt.m' yang memberikan tinggi maksimum sebesar 3,5 - 4,5 m.

Lebar efektif mercu bendung (Be) dihubungkan dengan lebar mercu yang sebenarnya (B) yaitu jarak antara pangkal bendung dan atau tiang pancang, dengan persamaan sebagai berikut:

Be = Bn – 2(nKp +Ka) Hi- ∑tt – 0,2 ∑bt (11) Ba = (hi x m x 2)+ b (11.1) Bs = 𝑏+𝐵𝑎 2 (11.2) Bn = 1,2 Bs (11.3) Keterangan:

nb = jumlah pilar (buah)

Kp = koefisien kontraksi pilar (m)

Ka = koefisien kontraksi pangkal bendung (m) Hi = tinggi energi (m)

hi = tinggi air banjir hilir (m) Ba = lebar sungai atas (m)

b = lebar dasar sungai (m)

bt = lebar pintu pembilas (m)

tt = lebar pilar (m)

Bs = lebar sungai (m)

B = lebar seluruh bendung (m) Be = lebar efektif mercu bendung (m)                

(21)

Tabel 2.6 Harga Koefisien Kp dan Ka

Gambar 2.6 Lebar Efektif Bendung

Dalam memperhitungkan lebar efektif, lebar pembilas yang sebenarnya (dengan bagian depan terbuka) sebaiknya diambil 80% dari lebar rencana untuk mengkompensasi perbedaan koefisiensi debit dibandingkan dengan mercu bendung itu sendiri seperti pada Gambar 2.6

               

(22)

2. Perencanaan Mercu

Di Indonesia pada umumnya digunakan dua tipe mercu untuk bendung pelimpah:tipe Ogee dan tipe bulat. Kedua bentuk mercu ini dapat dipakai baik untuk konstruksi beton maupun pasangan batu atau bentuk kombinasi dari keduanya.

Gambar 2.7Bentuk- bentuk Mercu

a. Mercu Bulat

Bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih tinggi (44%) dibandingkan dengan koefisiensi bendung ambang lebar. Pada sungai, ini akan banyak memberikan keuntungkan karena bangunan ini akan mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisiensi debit menjadi lebih tinggi karena lengkung streamline dan tekanan negatif pada mercu. Tekanan pada mercu adalah fungsi perbandingan antara H1 dan r (H1/r).

Untuk bendung dengan dua jari- jari (R2), jari- jari hilir akan digunakan untuk

menemukan harga koefisien debit.

Gambar 2.8Bendung dengan Mercu Bulat

               

(23)

3. Muka Air Banjir di Hulu

Dari Gambar 2.8 tampak bahwa jari- jari mercu bendung pasangan batu berkisar antara 0,3 – 0,7 kali H1maks dan untuk mercu bendung beton dari 0,1

– 0, 7 kali H1maks. Persamaan tinggi energi debit untuk bendung ambang

pendek dengan pengontrol segi empat adalah: 𝑄 = 𝐶𝑑 2 3 2 3𝑔 𝐵𝑒 𝐻𝑖 1,5 (12) Keterangan: Q = debit (m3/dt) Cd = koefisien debit (Cd = C0C1C2) g = percepatan gravitasi, m/dt2 (≅ 9,81) Be = lebar efektif (m)

Hi = tinggi energi di atas mercu (m)

Koefisien debit Cd adalah hasil dari:

- C0 yang merupakan fungsi H1/r (lihat grafik)

- C1 yang merupakan fungsi p/H1(lihat grafik)

- C2 yang merupakan fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung

(lihat grafik)

C0 mempunyai harga maksimum 1.49 jika H1/r lebih dari 5,0 seperti

diperlihatkan pada Gambar 2.10

Gambar 2.9Tekanan pada Mercu Bendung Bulat sebagai Fungsi Perbandingan H1/r

               

(24)

Harga-harga C0 pada Gambar 2.10 dinyatakan valid apabila mercu bendung

cukup tinggi diatas rata-rata alur pengarah (p/H1≥ sekitar 1,5).Dalam tahap

perencanaan p dapat diambil setengah jarak dari mercu sampai dasar rata-rata sungai sebelum bendung dibuat. Untuk harga-harga p/H1 yang kurang dari 1,5,

maka Gambar 2.11 dapat dipakai untuk menemukan faktor pengurangan C1.

Gambar 2.10Harga- harga Koefisien C0untuk Bendung Ambang Bulat sebagai Fungsi Perbandingan H1/r

Gambar 2.11Koefisien C1 sebagai Fungsi Perbandingan H1/r

               

(25)

Harga-harga koefisien koreksi untuk pengaruh kemiringan muka bendung bagian hulu terhadap debit diberikan pada Gambar 2.12. Harga koefisien koreksi C2 diandaikan kurang lebih sama dengan faktor koreksi untuk

bentuk-bentuk mercu tipe Ogee.

Gambar 2.12Harga- harga Koefisien C2 untuk Bendung Mercu Tipe Ogee dengan Muka Hulu Melengkung (USBR,1960)

Harga-harga faktor pengurangan aliran tenggelam dapat diperoleh dari Gambar 2.13. Faktor pengurangan aliran tenggelam mengurangi debit dalam keadaan tenggelam.

Gambar 2.13Faktor Pengurangan Aliran Tenggelam sebagai Fungsi H2/H1

               

(26)

b. Mercu Ogee

Mercu Ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bandung ambang tajam aerasi. Oleh karena itu mercu ini tidak akan memberikan tekanan subatmosfir pada permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana. Untuk debit yang lebih rendah, air akan memberikan tekanan ke bawah pada mercu.

Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, U.S. Army Corps of Engineers telah mengembangkan persamaan berikut:

𝑋𝑛 = 𝐾. 𝑕𝑑𝑛 −1. 𝑌 (13)

Di mana x dan y adalah koordinat-koordinat permukaan hilir (lihat Gambar 2.14) dan hd adalah tinggi energi rencana di atas mecu. Harga- harga K dan n adalah parameter. Harga-harga ini bergantung kepada kecepatan dan kemiringan permukaan belakang. Tabel 2.7 menyajikanharga-harga K dan n untuk berbagai kemiringan hilir dan kecepatan pendekatan yang rendah.

Tabel2.7Harga K dan n

Kemiringan permukaan hilir K n

Vertikal 2,000 1,850

3:1 1,936 1,836

3:2 1,939 1,810

1:1 1,873 1,776

Bagian hulu mercu bervariasi sesuai dengan kemiringan permukaan hilir pada Gambar 2.14. Persamaan antara tinggi energi dan debit untuk bendung mercu Ogee adalah:

Rumus pengaliran. 𝑄 = 2 3. 𝐶𝑑 2 3 . 𝑔. 𝐵𝑒. 𝐻𝑖 1.5 (14)                

(27)

Keterangan: Q = debit (m3/dt) Cd = koefisien debit (C0 .C1 .C2)

Hi = tinggi energi diatas mercu (m) g = percepatan gravitasi (m/dt2)

Be = lebar efektif bendung (m)

Gambar 2.14Bentuk- bentuk Bendung Mercu Ogee (U.S.A Army Corps of Engineers, Waterways Experimental Station)

Gambar 2.15Faktor Koreksi untuk selain Tinggi Energi Rencana pada Bendung Mercu Ogee

               

(28)

Koefisien debit Cd adalah hasil dari C0 C1 C2, yaitu:  C0 adalah konstanta (1,30)

 C1 adalah fungsi P1/hd dan H1/hd

 C2 adalah faktor koreksi untuk permukaan hulu

Faktor koreksi C1 disajikan pada Gambar 2.15 dan sebaiknya dipakai untuk

berbagai tinggi bendung diatas dasar sungai. Harga C1pada Gambar 2.15

berlaku untuk bendung mercu Ogee dengan permukaan hulu vertikal. Apabila permukaan bendung bagian hulu miring, koefisien koreksi tanpa dimensi C2

harus dipakai, ini adalah fungsi baik kemiringan permukaan bendung maupun perbandingan P1/hd dan H1/hdSedangkan faktor koreksi C2 dapat diperoleh dari

Gambar 2.12

Gambar 2.16 menyajikan faktor pengurangan aliran tenggelam f untuk dua perbandingan: perbandingan aliran tenggelam H2/H1 dan P2/H1.

Gambar 2.16Faktor Pengurangan Aliran Tenggelam sebagai Fungsi P2/H1 dan H2/H1

               

(29)

2.4.3 Kurva Pengempangan atau Back Water Curve

Back water curve adalah untuk mengetahui dimana pengaruh kenaikan muka air setelah adanya pengempangan oleh bendung. Rumus yang dipakai adalah sebagai berikut:

Lx = 2𝑕

𝑖 (15)

Keterangan:

Lx = panjangnya pengaruh akibat pengempangan kearah udik, dihitung dari titik bendung.

i = kemiringan sungai

h = tinggi kenaikan muka air di titik bendung akibat pengempangan

Gambar 2.17 Kurva Pengempangan (Back Water Curve)

Jadi, di sebelah udik titik A pengempangan sudah tidak mempunyai pengaruh lagi, dan tinggi air disana sudah sama seperti sebelum ada bendung. Dengan demikianpeninggian tanggul sepanjang sungai itu perlu hanya antara titik A dan B saja.

Pangkal- pangkal bendung (abutmen) menghubungkan bendung dengan tanggul sungai dan tanggul- tanggul banjir. Pangkal bendung harus mengarahkan aliran air dengan tenang disepanjang permukaannya dan tidak menimbulkan terbulensi. Pada gambar di atas memberikan dimensi- dimensi yang dianjurkan untuk pangkal bendung dan peralihan (transisi).

               

(30)

Elevasi pangkal bendung disisi hulu bendung sebaiknya lebih tinggi dari pada elevasi air (yang terbendung) selama terjadi debit rencana. Tinggi jagaan yang harus diberikan adalah 0.75- 1.50 m, tergantung kepada kurva debit datar dipakai 0.75 m, sedangkan untuk kurva yang curam di perlukan 1.50 m untuk memberikan tingkat keamanan yang sama.

2.4.4 Bangunan Peredam Energi (Stilling Basin)

Bangunan peredam energi bendung adalah struktur dari bangunan di hilir tubuh bendung yang terdiri dari berbagai tipe, bentuk dan dikiri kanannya dibatasi oleh tembok pangkal bendung dilanjutkan dengan tembok sayap hilir dengan bentuk tertentu. Berfungsi untuk meredam energi air akibat pembendungan, agar air di hilir bendung tidak menimbulkan penggerusan setempat dan membahayakan struktur.

Aliran di atas bendung di sungai dapat menunjukkan berbagai perilaku di sebelah bendung akibat kedalaman air yang ada h2 seperti pada Gambar 2.18. Kasus A menunjukkan aliran tenggelam yang menimbulkan sedikit sajagangguan di permukaan berupa timbulnya gelombang. Kasus Bmenunjukkan loncatan tenggelam yang lebih diakibatkan oleh kedalamanair hilir yang lebih besar, daripada oleh kedalaman konjugasi. Kasus Cadalah keadaan loncat air di mana kedalaman air hilir sama dengankedalaman konjugasi loncat air tersebut. Kasus D terjadi apabilakedalaman air hilir kurang dari kedalaman konjugasi; dalam hal iniloncatan akan bergerak ke hilir.Semua tahap ini bisa terjadi di bagian hilir bendung yang di bangun disungai. Kasus D adalah keadaan yang tidak boleh terjadi, karenaloncatan air akan menghempas bagian sungai yang tak terlindungi danumumnya menyebabkan penggerusan luas.

               

(31)

Gambar 2.18 Peredam Energi

Bangunan peredam energi dikenal pula dengan istilah lain yaitu tipe:

- Vlughter - Schooklitch

- USBR - MDO, MDS dan MDL

- SAF

Debit Rencana

Untuk menemukan debit yang akan memberikan keadaan terbaik untukperedaman energi, semua debit harus dicek dengan muka air hilirnya.Jika degradasi mungkin terjadi, maka harus dibuat perhitungan denganmuka air hilir terendah yang mungkin terjadi untuk mencek apakahdegradasi mungkin terjadi. Degradasi harus dicek jika:

 Bendung dibangun pada sudetan

 Sungai itu sungai alluvial dan bahan tanah yang dilalui rawan terhadap erosi

 Terdapat waduk di hulu bangunan

Bila degradai sangat mungkin terjadi, tetapi tidak ada data pasti yang tersedia, maka harga sembarang degradasi 2,50 m harus digunakan dalam perencanaan kolam olak. Tetapi dengan fungsi sebagai berikut:

 Untuk analisis stabilitas bendung

Untuk menyiapkan cut off end sill analisis dimensi curve

Untuk keperluan perhitungan pipping seepage                

(32)

 Untuk perhitungan dimensi kolam olak.

Gambar 2.19Metode Perencanaan Kolam Loncat Air

A. Kolam Olakan Loncatan Air

Gambar 2.19 memberikan penjelasan mengenai metode perencanaan. Dari grafik q versus H1 dan tinggi jatuh 2, kecepatan (v1) awal loncatan dapat dicari

dengan:

v1= 2𝑔(2𝐻1

𝑖 + 𝑧) (16)

Keterangan:

v1 = kecepatan awal loncatan (m/dt)

g = percepatan gravitasi (m/dt2)

Hi = tinggi energi di atas mercu (m)

z = tinggi jatuh (m)

dengan q = v1y1, dan rumus untuk kedalaman konjugasi dalam loncatan air

adalah: 𝑦2 𝑦1= 1 2( 1 + 8𝐹𝑟 2− 1 (16.1) Fr = 𝑣1 𝑔𝑦1 (16.2)                

(33)

Keterangan:

y2 = kedalaman air di atas ambang ujung (m)

yi = kedalaman air di awal loncat air (m)

Fr = bilangan Froude

v1 = kecepatan awal loncatan (m/dt)

g = percepatan gravitasi (m/dt2)

Kedalaman konjugasi untuk setiap q dapat ditemukan dan diplot. Untuk menjaga agar loncatan tetap dekat dengan muka miring bendung dan di atas lantai, maka lantai harus diturunkan hingga kedalaman air hilir sekurang- kurangnya sama dengan kedalaman konjugasi.

Lokasi air loncatan ada di belakang pintu sorong dan sebelah udik bangunan sekat/ pelimpah juga di sekitar perpatahan dasar- dasar saluran yang berbeda kemiringannya. (Bambang, 2012:93)

B. Bangunan Peredam Energi Tipe USBR

Panjang kolam loncat air di belakang Potongan U (Gambar 2.20) biasanya kurang dari panjang bebas loncatan tersebut adanya ambang ujung (end sill). Panjang lantai dapat ditentukan sebagai berikut:

𝐿𝑗 = 5(𝑛 + 𝑦2) (17)

Keterangan:

Lj = panjang kolam (m)

n = tinggi ambang ujung (m) y2 = tinggi loncatan air (m)

Berdasarkan bilangan Froude, perencanaan kolam olak adalah sebagai berikut:

a. Untuk Fru ≤ 1.7 tidak diperlukan kolam olak.

b. Bila 1.7 < Fru ≤ 2.5 diperlukan kolam olak untuk meredam energi secara

efektif. Pada umumnya, kolam olak dengan ambang ujung mampu bekerja dengan baik. Untuk penurunan muka air ∆𝑍 ≤ 1.5 m dapat dipakai bangunan terjun tegak.

c. Jika 2.5 <Fru ≤ 4.5 maka akan timbul situasi yang paling sulit dalam

memilih kolam olak yang tepat. Loncatan air tidak terbentuk dengan baik                

(34)

dan menimbulkan gelombang. Cara untuk mengatasinya adalah dengan membuat tembok halang yang mampu menimbulkan olakan (Turbulensi), tembok (blok) ini harus berukuran besar sesuai tipe USBR IV.

d. Jika Fru ≥ 4.5 maka akan menimbulkan kolam yang paling ekonomis, karena

kolam ini pendek. Tipe ini termasuk kolam olak USBR tipe III yang dilengkapi dengan blok depan dan blok halang.

Bangunan peredam energi tipe USBR mempunyai keterbatasan dalam pemakainnya, dimana jenis kolam tersebut, terutama tipe II, III dan IV, tidak dapat digunakan pada sungai-sungai yang mengangkut bongkah atau batu-batu besar.

Gambar 2.20 Parameter- parameter Loncatan Air

               

(35)

Gambar 2.21Hubungan percobaan antara Fru, y2/y1 untuk ambang ujung pendek (menurut Forster dan Skrinde, 1950)

Gambar 2.22Bangunan Peredam Energi Tipe USBR III                

(36)

Gambar 2.23Bangunan Peredam Energi Tipe USBR IV C. Bangunan Peredam Energi Tipe Bak Tenggelam

Jika kedalaman konjugasi hilir dari loncat air terlalu tinggi dibanding kedalaman air normal hilir, atau kalau diperkirakan akan terjadi kerusakan pada lantai kolam yang panjang akibat batu-batu besar yang terangkut lewat atas bendung, maka dapat dipakai peredam energi yangrelatif pendek tetapi dalam. Perilaku hidrolis peredam energi tipe ini terutama bergantung kepada terjadinya kedua pusaran; satu pusaran permukaan bergerak ke arah berlawanan dengan arah jarum jam di atas bak, dan sebuah pusaran permukaan bergerak ke arah putaran jarum jam dan terletak di belakang ambang ujung. Dimensi-dimensi umum sebuah bak yang berjari-jari besar.

Gambar 2.24 Bangunan Peredam Energi Tipe Bucket

               

(37)

Parameter-parameter dasar untuk perencanaan tipe bak tenggelam adalah sebagai berikut:

𝑕𝑐 = 𝑞3 2/𝑔

(18)

Keterangan:

hc = kedalaman air kritis di atas mercu (m)

q = debit per satuan lebar (m3/dt)

g = percepatan gravitasi (m/dt2)

Sedangkan jari-jari minimum perencanaan (Rmin), diambil dari grafik Gambar

2.25. Elevasi dasar kolam ditentukan berdasarkan inggi minimum air hilir atau Tmin, yaitu: 𝑈𝑛𝑡𝑢𝑘∆𝐻 𝑕𝑐 ≤ 2,4 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑇𝑚𝑖𝑛 𝑕𝑐 = 1,88 ∆𝐻 𝑕𝑐 0.215 𝑈𝑛𝑡𝑢𝑘∆𝐻 𝑕𝑐 > 2,4 𝑚𝑎𝑘𝑎𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑇𝑚𝑖𝑛 𝑕𝑐 = 1,70 ∆𝐻 𝑕𝑐 0.23

Gambar 2.25Jari- jari Minimum Bangunan Peredam Energi Tipe Bucket D. Bangunan Peredam Energi Tipe Vlugther

Kolam Vlughter telah terbukti tidak andal untuk dipakai pada tinggi air hilir di atas dan di bawah tinggi muka air yang sudah diuji di laboratorium. Penyelidikan menunjukkan bahwa tipe bak tenggelam, yang perencanaannya mirip dengan kolam Vlugter, lebih baik. Itulah sebabnya mengapa pemakaian                

(38)

kolam Vlugter tidak lagi dianjurkan jika debit selalu mengalami fluktuasi misalnya pada bendung di sungai.

Gambar 2.26Bangunan Peredam Energi Tipe Vlugther 2.5 Analisis Stabilitas Bendung

Akibat adanya bendung, maka terjadi perbedaan tinggi muka air antara bagian hulu dan hilir bendung tersebut, yang menyebabkan terjadinya beda tekanan (energi) antara kedua bagian tersebut. Salah satu akibatnya adalah timbulnya aliran rembesan dibawah tubuh bendung (pondasi). Rembesan ini akan menimbulkan tekanan balik terhadap butir-butir tanah maupun terhadap konstruksi bendung itu sendiri yang disebut daya angkat (uplift pressure).

2.5.1 Tekanan Rembesan

Akibat perbedaan tinggi tekanan didepan dan dibelakang bendung terjadi adanya aliran dibawah bendung. Aliran ini tersebut dalam pengairannya akan mendapat hambatan- hambatan karena adanya geseran, air dalam mencari jalan alirnya akan memilih jalan dengan hambatan yang terkecil, ini tedapat pada bidang kontak antara bangunan dengan tanah yang disebut creepline. Makin pendek creepline makin kecil hambatannya dan makin besar tekanan yang ditimbulkan. Untuk memperbesar hambatan creepline harus diperpanjang, dengan cara memberi lantai muka atau dinding vertikal. Dan terbongkarnya butir- butir tanah tersebut disebut dengan bahaya sufosi, sesuai dengan Gambar 2.27

               

(39)

Gambar 2.27Jalur Rembesan dan Bahaya Sufosi

Ada banyak teori yang digunakan untuk menentukan lantai muka antara lain: A. Teori Flownet Analitis

Flownet Analisis adalah analisis jaring- jaring bujur sangkar aliran antara garis arus dan garis equipotensial. Teori bersifat teoritis dari pada teori lain. B. Teori Bligh

Bligh berpendapat bahwa besarnya tekanan dijalur pengaliran adalah sebanding dengan panjangnya creepline dan dinyatakan sebagai berikut: ∆𝑕 = 𝐿

𝐶 (19)

Keterangan: ∆𝑕 = beda tekanan L’ = panjang creepline

C = creep lineratio menurut Bligh (Tabel 2.8)

Nilai C tergantung dari jenis tanah didasar bendung. Supaya konstruksi aman terhadap bahaya sufosi, maka haruslah dipenuhi syarat dibawah ini :

∆𝑕 ≤ 𝐿

𝐶 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝐿

≥ ∆𝑕. 𝐶 (19.1)

Dengan demikian apabila jalur rembesan yang ada kurang dari panjang jalur (L') yang dibutuhkan, maka panjang jalur tersebut harus diperpanjang, yaitu dengan cara memasang lantai hulu dan menggunakan dinding halang (sheet pile) dibawah tubuh bendung.

               

(40)

Gambar 2.28Teori Bligh

C. Teori Lane

Lane meneruskan teori Bligh dengan menambahkan bahwa energi yang dibutuhkan air untuk melewati creep line vertikal lebih besar dari pada melewati melewati creep line yang horizontal dengan perbandingan 3:1. Rumus menurut Line:

∆𝑕 = 𝐿𝑣 + 1 3+ 𝐿𝑕 𝐶 (19.2) L’ = (𝐿𝑣 + 1 3+ 𝐿𝑕 𝐶) ≥ C. ∆𝑕 (19.3) Keterangan:

L’ = panjang creep line efektif (m) Lv = panjang creep line vertikal (m) Lh = panjang creep line horizontal (m)

C = creep line ratio menurut Lane (Tabel 2.8) ∆𝑕 = perbedaan tekanan total

Catatan:

Bidang- bidang yang sudutnya ≥ 45º dianggap sebagai bidang vertikal dan bidang yang sudutnya ≤ 45º dianggap sebagai bidang horizontal.

               

(41)

Tabel2.8Weighted creep Ratio (C) dari Bligh dan Lane

D. Tebal Lantai

Seperti telah dijelaskan diatas, akibat adanya rembesan di bawah tubuh bendung, maka setiap titik pada konstruksi akan menerima tekanan, baik ke atas maupun ke samping yang disebut dengan daya angkat (uplift pressure). Pada lantai hulu, karena diatasnya selalu ada air minimal setinggi mercu yang akan mengimbangi tekanan ke atas, disamping tekanan pada daerah ini masih relatif kecil, maka secara praktis tekanan pada daerah ini tidak berbahaya dan dapat di abaikan. Dengan demikian lantai hulu tidak perlu terlalu tebal.

Pada lantai hilir (kolam peredam energi), kondisinya lebih berbahaya, terutama karena tekanan rembesan pada aderah ini relatif besar dan diatas lantainya sering kosong atau lapisan airnya relatif tipis. Dengan demikian, tebal lantai kolam ini harus diperhitungkan supaya tidak terdorong ke atas, yang harus diimbangi oleh berat lantai itu sendiri.

Pengembangan dari teori Bligh dan Lane akan menentukan besarnya tekanan daya angkat pada setiap titik di bawah pondasi seperti terlihat di Gambar 2.29                

(42)

Gambar 2.29 Ilustrasi Daya Angkat Akibat Tekanan Rembesan di Bawah Pondasi

𝑃𝑥 = 𝐻𝑥 − 𝐿𝑥

𝐿 . ∆𝑕 (19.4)

Keterangan:

Px = gaya angkat pada titik X

L = panjang total creep line (A-B-C-D-E-F-G) Lx = panjang creep line sampai titik X, (A-B-C-D-X)

∆𝑕 = beda tinggi energi total

Hx = tinggi energi di hulu sampai titik X 2.5.2 Stabilitas Tubuh Bendung

Bendung yang direncanakan harus dapat bertahan dan berfungsi dengan baik selama umur rencananya. Untuk dapat berfungsi dengan baik maka konstruksi bendung, khususnya tubuh bendung harus mampu bertahan terhadap kemungkinan gaya yang bekerja, tanpa mengalami perubahan-perubahan, baik posisi, elevasi maupun bentuknya (stabil).

               

(43)

Gambar 2.30Berat Sendiri Tubuh Bendung

A. Gaya dan Momen

Secara keseluruhan, pada umumnya, gaya-gaya yang bekerja pada suatu tubuh bendung terdiri dari :

 Berat sendiri tubuh bendung

 Gaya gempa

 Tekanan air

 Tekanan lumpur

 Reaksi pondasi

Perjanjian arah gaya dan momen ditentukan sebagai berikut: Gaya horizontal: ke kiri (-) = negatif, adalah gaya penahan

ke kanan (+) = positif, adalah gaya geser Gaya vertikal : ke bawah (-) = negatif, adalah gaya penahan

ke atas (+) = positif, adalah gaya angkat/reaksi Momen : berputar ke kiri (-) = negatif, adalah momen penahan

berputar ke kanan (+) = positif, adalah momen guling                

(44)

1. Berat Sendiri

Berat sendiri tubuh bendung tergantung dari jenis bahan yang digunakan, umumnya pasangan batu kali atau beton. Besarnya gaya berat adalah sama dengan volume dikalikan dengan berat isi, yaitu:

Gb= 𝑉 𝑥 𝛾𝑝 (20)

Keterangan: Gb = gaya berat (ton)

V = volume (m3)

ɣp = berat isi pasangan (batu atau beton) (t/m3)

Karena perhitungan dilakukan untuk setiap im lebar, maka volume sama dengan luas potongan yang ditinjau. Berat isi pasangan dapat diambil dari Tabel 2.9

Tabel2.9Berat Isi Pasangan

Jenis Pasangan ɣp(t/m3)

Pasangan batu kali Beton tumbuk Beton bertulang

2,20 2,30 2,40

Akibat gaya berat, diperoleh momen dan gaya vertikal, yang besarnya adalah: (Gambar 2.31)

Vgb = Gb = gaya vertikal (ton) (-) (20.1)

Mgb = Gb x l (tm) (-) (20.2)

Keterangan: Gb = gaya berat (ton) Mgb = momen putar (tm) l = lengan momen (m)                

(45)

Gambar 2.31Anggapan pada Peninjauan Stabilitas Bendung

2. Gaya Gempa

Besar gaya gempa adalah berat bangunan dikalikan dengan koefisien gempa dan diperhitungkan sebagai gaya horizontal yang bekerja ke arah yang paling berbahaya, dalam hal ini adalah ke arah hilir bangunan (ke kanan). Jadi besarnya gaya gempa adalah:

Gg = Gb x E (21)

Keterangan: Gg = gaya gempa (ton) Gb = gaya berat (ton) E = koefisien gempa

Harga koefisien gempa tergantung dari faktor letak geografis suatu daerah dimana bendung direncanakan, dan diambil dari peta gempa yang dikeluarkan oleh DPMA tahun 1981, yang disebut “Peta Zona Seismik untuk Perencanaan Bangunan Air Tahan Gempa”. Selanjutnya harga koefisien gempa dapat dihitung sebagai berikut:

E = 𝑎𝑑

𝑔 (21.1)

ad = n (ac.z)m (21.2)

Keterangan: E = koefisien gempa

ad = percepatan gaya rencana (cm/dt2)

               

(46)

g = percepatan gravitasi (cm/dt2)

n,m = koefisien untuk jenis tanah (Tabel 2.10) ac = percepatan kejut dasar (cm/dt2)

z = faktor gempa (terlampir)

Tabel2.10Koefisien Jenis Tanah untuk Koefisien Gempa

Jenis Tanah n m Batu Diluvium Aluvium Aluvium Lunak 2,76 0,87 1,56 0,29 0,71 1,05 0,89 1,32

Tabel2.11Percepatan Gempa Dasar

Periode Ulang (Tahun) Ac (cm/dt2)

20 100 500 1000 85 160 225 275

Akibat gaya gempa diperoleh momen putar dan gaya horizontal sebagai berikut, Gambar 2.32

Gambar 2.32Gaya dan Momen Akibat Gempa

               

(47)

Mgg = Gg x 1 (21.3)

Hgg = Gg (21.4)

Keterangan: Mgg = momen akibat gempa (tm) (+)

Hgg = gaya horizontal akibat gempa (ton) (+) Gg = gaya gempa (ton)

l = lengan momen (m)

Jadi gaya gempa mengakibatkan timbulnya momen guling (+) dan gaya geser (+).

3. Tekanan Air

Gaya akibat tekanan air yang bekerja pada tubuh bendung dibedakan menjadi dua macam, yaitu tekanan hidrostatis dan tekanan rembesan yang menimbulkan daya angkat sedangkan tekanan hidrodinamis tidak perlu diperhitungkan, karena konstruksi bendung umumnya relatif rendah. Selanjutnya kedua macam gaya tersebut haru ditinjau pada dua kondisi , masing-masing kondisi air normal dam kondisi air banjir.

(1). Tekanan Hidrostais air Normal

Seperti telah dikemukakan diatas, bahwa pada saat air normal dianggap bahwa dibagian hulu terdapat air setinggi mercu, sedangkan bagian hilir tidak ada air, lihat gambar 2.33

Gambar 2.33Tekanan Hidrostatis Air Normal

               

(48)

Tekanan yang bekerja pada tubuh bendung

Ga1 = 12. 𝛾𝑤. 𝑝2 (22.1)

Ga2 = 12. 𝛾𝑤. 𝑎. 𝑝 (22.2)

Sehingga gaya dan momen yang bekerja pada tubuh bendung menjadi

Han = Ga1 (22.3)

Van= Ga2 (22.4)

Man = (Ga1 x l1) – ( Ga2 x l2) (22.5)

Keterangan

Han = gaya horizontal, (ton) (+)

Van = gaya vertikal, (ton) (-)

Man = momen putar,(tm) (+ atau -)

(2). Tekanan Hidrostatis Air Banjir

Dalam hal ini dibedakan lagi terhadap jenis pengaliran diatas mercu, yaitu untuk mercu yang tidak tenggelam dan mercu tenggelam, untuk mercu tidak tenggelam (Gambar 2.34) pada saat air banjir sebenarnya di atas mercu ada lapisan yang mengalir, tetapi karen lapisan ini relatif tipis sehingga tidak perlu diperhitungkan.

Gambar 2.34Tekanan Hidrostatis Air Banjir untuk Mercu tidak Tenggelam

               

(49)

Tekanan yang bekerja pada tubuh bendung Ga1 = 12. 𝛾𝑤. 𝑝2 (23.1) Ga2 = 𝑕. 𝛾𝑤. 𝑝 (23.2) Ga3 = 12. 𝑎. 𝛾𝑤. 𝑝 (23.3) Ga4 = 𝑕. 𝛾𝑤. 𝑎 (23.4) Ga5 = 12. 𝛾𝑤. 𝑕2.b (23.5) Ga6 = 12. 𝛾𝑤. 𝑕22 (23.6)

Sehingga gaya-gaya dan momen yang bekerja pada tubuh bendung adalah sebagai berikut:

Hab = Ga1 + Ga2 +-Ga6 (+ atau -) (23.7)

Vab = -Ga3 - Ga4 – Ga5 (-) (23.8)

Mab = 𝐺𝑎 𝑥 𝑙 (23.9)

Untuk mercu tenggelam seperti Gambar 2.35 lapisan air di atas mercu diperhitungkan

Gambar 2.35Tekanan Hidrostatis Air Banjir untuk Mercu Tenggelam

(3). Daya Angkat (Uplift Pressure)

Bangunan tubuh bendung mendapat tekanan air bukan hanya permukaan luarnya, tetapi juga pada dasarnya dan dalam tubuh bangunan itu sendiri                

(50)

yang disebut daya angkat yang menyebabkan beratnya berat efektif bangunan diatasnya. Daya angkat ini akan menimbulkan gaya guling terhadap tubuh bendung dan pecahnya lantai kolam peredam energi. Pengembangan dari teori Bligh dan Lane akan memperoleh persamaan yang menyatakan besarnya daya angkat pada setiap titik , lihat Gambar 2.36

𝑃𝑥 = 𝐻𝑥 − 𝐿𝑥

𝐿 . ∆𝑕 (24)

Keterangan:

Px = gaya angkat pada titik X

L = panjang total creep line (A-B-C-D-E-F-G) Lx = panjang creep line sampai titik X, (A-B-C-D-X)

∆𝑕 = beda tinggi energi total

Hx = tinggi energi di hulu sampai titik X

Gambar 2.36 Gaya Angkat pada tubuh Bendung

               

(51)

4. Tekanan Lumpur

Setelah bendung beroperasi beberapa tahun, ada kemungkinan dibagian hulu bendung akan tertimbun oleh sedimen, lumpur dan sebagainya tergantung material bawaan sungai. Oleh karena itu dalam meninjau stabilitas maka di hulu mercu tersebut terdapat endapan lumpur setinggi mercu, lihat Gambar 2.37

Tekanan yang bekerja pada tubuh bendung

Ga1 = 12. 𝛾𝑙. 𝑝2. 𝑘𝑎 (25)

Ga2 = 12. 𝑎. 𝛾𝑙. 𝑝 (25.1)

Sehingga gaya dan momen yang bekerja pada tubuh bendung adalah sebagai berikut:

Hl = Ga1 (25.2)

Vl = Ga2 (25.3)

Ml= (Ga1 x l1) – ( Ga2 x l2) (25.4)

Keterangan

Hl = gaya horizontal, (ton) (+)

Vl = gaya vertikal, (ton) (-)

Ml = momen putar,(tm) (+ atau -)

Ka = koofisien tekanan tanah

Gambar 2.37Tekanan Lumpur

               

(52)

B. Kontrol Stabilitas

Dalam perncanaan bendung tidak boleh bergeser, terguling dan ambles oleh karena itu dilakukan pengontrolan stabilitas dengan dilakukan beberapa kombinasi pembebanan sesuai dengan probabilitasnya. Maka faktor keamanan dari masing-masing dari kombinasi tersebut juga bervariasi. Tabel 2.13 memperlihatakan kombinasi pembebanan dan kenaikan tegangan izin yang disyaratkan. Sedangkan tabel 2.12 memperlihatkan faktor keamanan yang diperlukan terhadap geser dan guling.

Tabel2.12 Kombinasi Pembebanan dan Faktor Keamanan terhadap Guling dan Geser (PUBI 1982)

No Kombinasi Pembebanan Faktor Keamanan Minimum

Terhadap guling(Fg) Terhadap geser (Fs) 1 M + H + K + T + Thn 1.5 1.5 2 M + H + K + T + Thn + G 1.3 1.3 3 M + H + K + T + Thb 1.3 1.3 4 M + H + K + T + Thb + G 1.1 1.1 5 M + H + K + T + Thn + Ss 1.2 1.2 Keterangan: M = beban mati H = beban hidup T = beban tanah

Thn = tekanan air normal

Thb = tekanan air banjir

G = beban gempa

Ss = pembebanan sementara selama pelaksanaan

Rumus faktor keamanan minimum

Fg = 𝑀𝑡 𝑀𝑔 (26) Fs = 𝐻𝑣. 𝑓 𝐻𝑕 (26.1)                

(53)

Keterangan:

Fg = faktor keamanan terhadap guling

Mg = momen total penyebab guling

Mt = momen penahan total

Fs = faktor keamanan terhadap geser

𝐻𝑣 = jumlah gaya vertikal

𝐻𝑕 = jumlah gaya horizontal

f = koefisien geser antara tubuh pondasi dan tanah dasar

Tabel2.13 Faktor Keamanan pada Daya Dukung Pondasi

No Kombinasi Pembebanan Kenaikan Tegangan izin (%)

1 M + H + K + T + Thn 0

2 M + H + K + T + Thn + G 20

3 M + H + K + T + Thb 20

4 M + H + K + T + Thb + G 50

5 M + H + K + T + Thn + Ss 30

2.6 Bangunan Pengambilan dan Pembilas

Pengambilan sebaiknya ditempatkan sedekat mungkin dengan as bendung. Tergantung dengan kebutuhan, pengambilan, dapat dibuat di sebelah kiri bendung apabila sawah yang akan diairi terletak di sebelah kiri, atau sebaliknya di sebelah kanan bendung, atau kedua- duanya. Apabilapengambilan pada salah satu sisi (kiri atau kanan) relatif kecil, maka dapat disatukan pada salah satu sisi saja yang pengambilannya lebih besar. Pengambilan yang lebih kecil ditempatkan pada pilar bangunan pembilas dan dialirkan melalui pipa yang ditempatkan di dalam tubuh bendung sampai kesebrang sisi lainnya. (KP-02 Bangunan Utama, 1986)

2.6.1 Bangunan Pengambilan (Intake)

Bangunan pengambilan (intake) berfungsi untuk menyadap air sungai (yang telah dibendung), sesuai dengan kebutuhan air untuk irigasi. Oleh karena itu, ukurannya tergantung dari kapasitas debit rencana saluran induk. Kecepatan aliran pada pintu pengambilan dibuat sedemikian rupa, sehingga disatu pihak material                

(54)

berbutir kasar tidak ikut tersadap dan dilain pihak tidak boleh terjadi endapan. Untuk menentukan perkiraan kecepatan tersebut, dapat digunakan rumus berikut:𝑣2≥ 32 𝑕 𝑑 1 3 𝑑 (27) Keterangan:

v = kecepatan rata- rata (m/dt) h = kedalaman air, m

d = diameter butir, m

Dalam kondisi umum, rumus tersebut dapat disederhanakan menjadi:

𝑣 ≅ 10𝑑12 (27.1)

Dalam perencanaan normal dapat diambil kecepatan rata- rata antara 1,00 s.d 2,00 m/dt untuk dapat membatasi butiran- butiran berdiameter 0,01- 0,04 m tidak ikut tersadap.

Kapasitas Pengambilan

Dimensi bangunan pengambilan harus direncanakan dengan kapasitas sekurang- kurangnya 120% dari debit kebutuhan saluran induk, untuk membuat fleksibilitas dan agar dapat memenuhi kemungkinan meningkatnya kebutuhan pengambilan selama umur proyek. Besar debit pengambilan dapat dihitung sebagai berikut: (Gambar 2.38)

𝑄 = 𝜇 𝑏 𝑎 2𝑔𝑧 (27.2) Keterangan: Q = debit (m3/det) 𝜇 = koefisien debit = 0,8 b = lebar bukaan (m) a = tinggi bukaan (m) g = percepatan gravitasi (m/dt) z = kehilangan energi (m)                

(55)

Gambar 2.38Dimensi Pintu Pengambilan

Rumus di atas masih dapat dipergunakan bila ujung bawah pintu tenggelam sampai dengan 20 cm di bawah muka air hulu. Untuk mengkompensasi kehilangan tekanan pada bendung akibat gelombang dan sebagainya. Maka tekanan (muka air) pengambilan diperhitungkan 0,10 m di bawah elevasi mercu bendung. Elevasi ambang pengambilan ditentukan dari dasar sungai (bendung), dengan berbagai ketentuan.

Untuk Bendung dengan Pembilas Terbuka: - 0,50 m bila sungai mengangkut lanau. - 1,00 m bila sungai mengangkut pasir.

- 1,50 m bila sungai mengangkut batu- batu bongkah.

Bila bendung menggunakan pembilas bawah, maka elevasi ambang diambil antara 0- 20 cm di atas pelat penutup saluran pembilas bawah. Lebar bukaan pintu dibatasi maksimum 2,50 m. Bila dibutuhkan lebar yang lebih dari 2,50 m, untuk debit yang besar, maka dibuat beberapa bukaan dengan menggunakan pilar- pilar pemisah. Ujung pilar- pilar tersebut sebaiknya dibuat agak ke dalam, untuk menciptakan kondisi aliran masuk yang lebih mulus, lihat Gambar 2.39

               

(56)

Gambar 2.39Geometri Bangunan Pengambilan

2.6.2 Bangunan Pembilas

Bangunan pembilas berfungsi untuk mencegah tertumpuknya material (lumpur, kerikil dsb) di depan pintu pengambilan secara priodik pintu bilas dibuka untuk membersihkan tumpukan material tersebut, sehingga ruang aliran di depan pengambilan selalu terjaga kebersihannya. Berdasarkan empiris, lebar bangunan pembilas dapat ditentukan sebagai berikut:

 Lebar bangunan pembilas, termasuk tebal pilar, sebaiknya diambil antara 1/6 s.d 1/10 dari lebar bendung, untuk sungai yang lebarnya kurang dari 100m.

 Lebar pembilas sebaiknya diambil 60% dari lebar total pengambilan, termasuk pilar-pilarnya

Sedangkan panjang dinding pemisah sebaiknya dibuat seperti Gambar 2.39 a. Pembilas Bawah

Untuk mencegah masuknya sedimen dasar dan fraksi pasir yang lebih kasar ke dalam pengambilan, dipasang pelat pemisah dibawah atau sama dengan elevasi ambang pengambilan, yang disebut pembilas bawah (under spuier). Dengan demikian sedimen angkutan akan terperangkap dibagian pembilas bawah. Disamping itu pelat ini juga berfungsi uuntuk mencegah pusaran air yang sering terjadi didepan pintu pengambilan. Mulut pembilas bawah ditempatkan di hulu pengambilan dimana ujung penutup pembilas membagi air menjadi dua lapisan seperti pada Gambar 2.40

               

(57)

Gambar 2.40Geometri Bangunan Pembilas

Dimensi-dimensi dasar pembilas bawah adalah:

 Tinggi saluran pembilas bawah sebaiknya lebih besar dari 1,5 kali diameter terbesar sedimen di dasar sungai

 Tinggi saluran pembilas bawah sekurang-kurangnya 1,0m

 Tinggi saluran pembilas bawah sebaiknya diambil dari 1/3 samapai 1/4 dari kedalaman air di depan pengambilan selama debit normal.

Pada umumnya dimensi pembilas bawah dibuat lebih kuran:

 Tinggi saluran bawah 1-2 m

 Tebal pelat beton 0,2-0,35 m

Luas saluran pembilas bawah (lebar x tinggi) harus sedemikian rupa sehingga kecepatan minimum dapat tercipta (Vmin = 1-1,5 m/dt).

2.6.3 Daun Pintu

Baik bangunan pengambilan maupun pembilas dilengkapi dengan daun pintu sorong (umumnya), yang dapat dibuaat dari bahan kayu atau baja.Untuk pengoperasiannya (menutup dan membuka).Daun pintu tersebut dilengkapi dengan system roda gigi yang dihubungkan dengan stang pengangkat, lihat Gambar 2.41.Bahan daun pintu dapat dibuat dari kayu kelas satu atau pelat baja yang dilengkapi dengan rusuk-rusuk pengaku.

Daun pintu kayu terdiri dari susunan balok-balok kayu yang dirangkai dengan besi pelat atau siku.Tekanan air diteruskan ke sponing, oleh karena itu daun pintu                

(58)

harus direncanakan sedemikian rupa sehingga masing-masing balok kayu mampu menahan beban dan meneruskannya ke sponing.Sedangkan pada pintu baja, beban tersebut dipikul oleh balok rusuk yang biasanya dibuat dari baja profil. Balok yang menerima gaya terbesar adalah balok paling bawah, karena itu balok inilah yang dipakai sebagai dasar perhitungan didalam menentukan dimensi daun pintu. Daun pintu direncanakan agar mampu menahan gaya hidrostatis setinggi air banjir.

Gambar 2.41Daun Pintu Pengambilan/Pembilas

2.7 Tembok Sayap, Tembok Pangkal, dan Pengarah Arus 2.7.1 Tembok Sayap Hilir

Tembok sayap hilir adalah adalah tembok sayap yang terletak dibagian kanan dan kiri peredam energi bendung yang menerus ke hilir dari tembok pangkal bendung dengan bentuk dan ukuran yang berkaitan dengan ukuran peredam energi seperti Gambar 2.42.Fungsinya sebagai pembatas, pengarah arus, penahan longsoran tebing sungai di hilir bangunan dan pencegah aliran samping. (KP-02 Bangunan Utama,1986)

Dalam penentuan dimensi tembok sayap hilir hendaknya berdasarkan:

 Dimensi berdasarkan peredam energi

 Geometri sungai di sekitar dan hilirnya

 Tinggi muka air hilir desain

 Penggerusan setempat                

(59)

Gambar 2.42Tembok Sayap Hilir

Panjang tembok sayap hilir yang bagian lurus dapat dihitung dengan rumus dibawah ini:

Lsi= 1/2Ls + Lx (28)

Syarat Ls ≤ Lsi ≤ 1/2Ls (28.1)

Keterangan:

Lsi = Panjang tembok sayap hilir (m)

Ls = Panjang lantai peredam energy (m)

Lx = Panjang tembok sayap (1,25-1,5) x Ls (m)

Kemiringan tembok sayap dapat diambil dengan kemiringan 1:1.                

(60)

2.7.2 Tembok Pangkal Bendung

Tembok pangkal bendung adalah tembok yang berada di sebelah kiri dan kanan pangkal bendung dengan tinggi tertentu yang menghalangi luapan aliran pada debit rencana tertentu ke samping kiri dan kanan terlihat seperti Gambar 2.43

Tembok pangkal berfungsi sebagai pengarah arus agar arah aliran sungai tegak lurus terhadap sumbu bendung, sebagai penahan tanah, pencegah rembesan samping, pangkal jembatan dan sebagainya.

Tinggi pangkal bendung sama dengan tinggi muka air rencana ditambah tinggi jagaan (free board) 1-1,5 m atau aman terhadap debit banjir. Panjang tembok pangkal dipengaruhi oleh adanya bangunan pengambilan dan tata letak jembatan lalu lintas dan panjang antara sisi tembok pengambilan ke hulu lebih besar 2 kali tinggi air.Bentuk pangkal bendung umumnya ditentukan vertical dengan ukuran panjang ke hulu dan ke hilirnya.

Panjang tembok pangkal bendung dibagian hulu juga dapat dihitung dari as mercu bendung dengan syarat:

0,5Ls ≤ Lpu ≤ Ls Keterangan:

Lpu = panjang tembok pangkal bendung (m)

Ls = Panjang lantai peredam energi (m)

Panjang tembok pangkal bendung dibagian hilir dapat ditempatkan setelah ujung bangunan pengambilan. Dan panjang tembok pangkalnya bisa sepanjang bangunan peredam energi.

               

Gambar

Tabel 2.5Koefisien Perbandingan Weduwen n/p  m n /m p n/p  m n /m p n/p  m n /m p 1/5  ¼  1/3  ½  1  2  3  4  0,238 0,262 0,271 0,336 0,410 0,492 0,541 0,579  10 5 15 20 25 30 40  0,602 0,705 0,766 0,811 0,845 0,875 0,915  50 60 70 80  100 90 125  0,948 0,
Gambar 2.2 Mercu Bendung
Gambar 2.3 Profil Melintang Rata- rata Sungai
Gambar 2.4 Lengkung Debit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Namun pada saat proses konstruksi dinding partisi dipasang sedemikian rupa sehingga pada saat struktur menerima kombinasi beban, maka dinding partisi tersebut akan berinteraksi

Karakteristik pesawat akan sangat mempengaruhi dimensi parking stand, bentang sayap serta panjang badan pesawat menentukan panjang dan lebar parking stand,

Jarak vertikal dari puncak tanggul sampai ke permukaan air pada kondisi perencanaan. Tinggi dipengaruhi oleh penambahan debit, fluktuasi air tanah, gerakan angina,

Pemilihan debit banjir rencana untuk bangunan air adalah suatu masalah yang sangat bergantung pada analisis statistik dari urutan banjir baik berupa debit air sungai

Penyebaranya gaya lateral tersebut adalah fungsi dari susunan geometris sistem dinding geser.Apabila susunan dinding geser itu asimertis, maka resultan gaya lateral tidak

Peran olahraga pada dinding pembuluh darah adalah terjadi peningkatan tekanan pada arteri sehingga dapat menyebabkan pelebaran pada dinding arteri dan tekanan

Untuk memperoleh angka-angka kemungkinan besaran debit banjir pada banjir yang diakibatkan oleh luapan sungai, analisis dilakukan dengan menggunakan data banjir

Dari hasil analisis pengendalian banjir di kali Juana, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem pengendalian banjir kali Juana yang paling baik dari 3 alternatif yang diajukan