• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI PENYAJIAN KITAB ENDE-ENDEN DALAM LITURGI KEBAKTIAN GEREJA BATAK KARO PROTESTAN JALAN JAMIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DESKRIPSI PENYAJIAN KITAB ENDE-ENDEN DALAM LITURGI KEBAKTIAN GEREJA BATAK KARO PROTESTAN JALAN JAMIN"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI PENYAJIAN KITAB ENDE-ENDEN DALAM LITURGI KEBAKTIAN GEREJA BATAK KARO PROTESTAN JALAN JAMIN GINTING KM.7 PADANG BULAN MEDAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H ATMAN JEREMIAH NIM: 070707011

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

ii

DESKRIPSI PENYAJIAN KITAB ENDE-ENDEN DALAM LITURGI KEBAKTIAN GEREJA BATAK KARO PROTESTAN JALAN JAMIN GINTING KM.7 PADANG BULAN MEDAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H ATMAN JEREMIAH NIM: 070707011 Pembimbing I,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. NIP 196512211991031001

Pembimbing II,

Drs. Bebas Sembiring, M.Si. 195703131002031001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam

bidang ilmu Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

iii PENGESAHAN

DITERIMA OLEH:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan

Pada Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001

Panitia Ujian: Tanda Tangan

1. Drs. Muhammad Takari, M.A., Ph.D 2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.

3. . 4. 5.

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Deskripsi Penyajian Kitab Ende-enden dalam Liturgi Kebaktian Gereja Batak Karo Protestan Jalan Jamin Ginting Km. 7 Padangbulan Medan.

Tugas akhir berupa skripsi sarjana ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Seni (S.Sn) dari Departeman Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam hal ini penulis menyadari bahwa tugas akhir yang dikerjakan ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang tidak terbatas.

Dalam hal ini, Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. sebagai Ketua Departemen Etnomusikologi sekaligus dosen pembimbing I. Kemudian terima kasih kepada Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd. selaku Sekretaris Departemen Etnomusikologi, yang telah banyak membantu urusan akademik penulis selama ini. Begitu juga kepada Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si. selaku dosen pembimbing II. Kedua dosen pembimbing yang baik dan luar biasa ini telah memberikan penulis berbagai saran serta semangat untuk menyelesaikan proses penulisan dan penyelesaian skripsi sarajana ini. Kemudian, terima kasih juga kepada semua dosen di Departemen Etnomusikologi FIB USU yang turut membantu lancarnya proses perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini: Prof. Mauly Purba, M.A., Ph.D., Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Drs. Prikuten Tarigan, M.Si., Arifni Netrirosa, SST, M.A.; Drs. Irwansyah Harahap, M.A.; Dra. Rithaony, M.A.; Dra. Frida Deliana Harahap,

(5)

v

M.Si.; begitu juga Ibu Adruy Wiyani Ridwan, S.S. sebagai pegawai Departemen Etnomusikologi FIB USU yang telah banyak memberikan bantuan urusan akademik penulis, dan seluruh sivitas akademika Etnomusikologi yang tidak mungkin disebutkan satu per satu.

Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada orang-orang terdekat saya yaitu orangtua saya Ayahanda Ngidang Barus dan Ibunda Praten beru Ginting yang selalu memberikan semangat serta doa. Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh teman-teman seperjuangan angakatan 2007 yang sudah penulis anggap keluarga selama proses perkuliahan. Terima kasih telah menjadi saudara dan keluarga buat penulis.

Penulis menyadari skripsi ini belum dapat dikatakan sempurna, oleh sebab itu penulis mengaharapkan sekali masukan-masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun dan memotivasi, sehingga mengarah kepada kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu etnomusikologi.

Medan, 2014

Atman Jeremiah NIM: 070707011

(6)

vi ABSTRAKSI

Melalui skripsi ini, penulis akan mendeskripsikan penyajian Kitab Ende-enden dalam liturgi kebaktian Gereja Batak Karo Kristen Protestan Jalan Jamin Ginting Kilometer 7 Padangbulan Medan, dengan fokus perhatian pada salah satu liturgi Minggu.

Metode yang digunakan adalah metode penelitian lapangan, dengan pendekatan metode kualitatif, dan pengamatan terlibat. Teori yang digunakan adalah teori tradisi lisan dan pewarisan budaya, dalam perspektif etnomuskologi.

Hasil yang diperoleh adalah, dalam penyajian Kitab Ende-enden adalah bersumber dari nyanyian rakyat Karo, teksnya digubah sesuai dengan ideologi Gereja batak Karo Protestan dan menggunakan bahasa Karo. Tangga-tangga nadanya ada yang minor dan ada pula yang mayor. Kitab ini digunakan pada semua liturgi kebaktian pada Gereja Batak Karo Protestan. Tujuan utama penggunaan kitab ini adalah menggali dan menyerap budaya tradisi Karo dalam konteks upacara dan ajaran gereja Protestan di wilayah budaya Karo, dan persebaran jemaatnya. Kata kunci: ende-enden, liturgi, tradisi lisan, budaya Karo

(7)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Musik merupakan hal yang tidak asing bagi kita. Setiap orang pasti memiliki pengalaman dalam bermusik karena musik mampu menjangkau semua kalangan masyarakat dengan berbagai peranannya. Musik memiliki berbagai peranan dalam masyarakat, seperti sebagai sarana upacara ritual adat maupun keagamaan, pengiring tari, sarana hiburan, sarana komunikasi, dan sarana penerangan sosial dan budaya. Berbagai peranan musik ini menjadikan musik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, bahkan musik menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan kehidupan manusia secara umum.

Musik adalah salah satu media ungkapan perasaan manusia yang diwujudkan dalam nada-nada dan ritme yang tersusun rapi dan teratur dengan berbagai unsur-unsur yang membangun musik itu sendiri sehingga menjadi indah dan berseni. Musik tersusun atas beberapa unsur penting seperti irama, melodi, dan harmoni. Selanjutnya dalam mengkombinasikan ketiga unsur tersebut terdapat berbagai aturan dan langkah-langkah sehingga tercipta musik yang harmonis dan indah.

Salah satu bagian dalam musik yang tidak dapat dipisahkan dari musik yaitu lagu. Lagu merupakan gubahan seni nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal (biasanya diiringi dengan alat musik) untuk menghasilkan gubahan musik yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan

(8)

2

(mengandung irama). Lagu dapat dinyanyikan secara solo, berdua (duet), bertiga (trio), berempat (kwartet) atau dalam beramai-ramai (koor). Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari sering bernyanyi melantunkan lagu-lagu sambil mengerjakan aktivitas lain. Hal ini dilakukan untuk sekedar menghibur diri sendiri atau merileksasi pikiran dengan melantunkan lagu-lagu tersebut. Namun lebih dari pada itu lagu memang sudah menjadi konsumsi masyarakat, selain hanya sebagai hiburan seseorang menyanyikan sebuah lagu juga menggambarkan suasana hati seperti senang atau sedih, atau menyanyikan lagu untuk ritual upacara adat, hingga lagu untuk pujian seperti lagu-lagu dalam beribadah.

Lagu tidak bisa dipisahkan dalam sebuah ritual ibadah. Setiap agama dalam ibadahnya pasti memiliki lagu-lagu untuk menghantarkan pujian dan penyembahannya. Salah satu kegiatan yang sering menggunakan lagu yakni dalam tata ibadah di gereja, dimana setiap gereja di seluruh dunia pasti menggunakan lagu-lagu dalam tata ibadahnya. Lagu dalam sebuah ibadah di gereja adalah hal yang sangat penting karena memiliki esensi yang khusus, yakni sebagai “roh” dari pada tata ibadah bagi seluruh gereja di dunia. Salah satu lagu yang difungsikan dalam gereja yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini adalah lagu pada Gereja Batak Karo Protestan (GBKP).

Gereja Batak Karo Protestan merupakan salah satu gereja etnis yang berkembang di Indonesia dan didominasi oleh jemaat yang beretnis Karo, walaupun ada beberapa jemaat yang tidak beretnis Karo. Seperti uraian sebelumnya lagu merupakan hal yang penting dalam suatu ibadah yang digunakan jemaat, begitu juga dengan jemaat GBKP. Penulis merupakan salah satu anggota

(9)

3

jemaat di GBKP Km. 7 Jalan Jamin Ginting Padangbulan medan. Di dalam kebaktian, jemaat biasa menyayikan kidung jemaat selama kebaktian berlangsung. Di GBKP, ada beberapa kidung nyanyian yang digunakan, salah satu kidung nyanyian adalah yang dikumpulkan dalam satu buku yang sering disebut Kitab Ende-Enden (KEE).

Kitab Ende-Enden merupakan buku kidung pujian dengan mengumpulkan lagu-lagu nyanyian yang diadaptasi dari musik barat dan mengubah syairnya menjadi bahasa Karo. Lagu-lagu yang ada pada KEE juga terdapat pada beberapa gereja lain, salah satunya adalah gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang didominasi oleh jemaat bersuku Batak Toba. Terdapat banyak kesamaan lagu yang dinyanyikan, perbedaannya biasa hanya terletak pada bahasa yang biasa diubah dalam bahasa daerah masing-masing. Lagu-lagu dalam KEE merupakan adaptasi dari Kidung Jemaat, sehingga melodi yang digunakan banyak mengikuti sistem melodi musik barat. Terdapat 212 judul lagu dalam Kitab Ende-Enden (KEE), dan telah disepakati untuk digunakan dalam tata ibadah jemaat di seluruh Gereja Batak Karo Protestan yang tersebar di Indonesia.

Seiring perkembangan dan pertumbuhan Gereja Batak Karo Protestan, maka dibentuklah sebuah panitia yaitu Panitia Penambahan Ende-enden GBKP periode 1994-1999 sebagai upaya untuk menambah dan memperkaya lagu-lagu pujian dalam ibadah. Selanjudnya kepanitiaan ini diubah menjadi Badan Pengembangan Ibadah Musik Gereja (BPIMG) GBKP periode 2000-2005. Jemaat GBKP yang memiliki bakat dan pengetahuan tentang musik diberi kesempatan untuk mencipta lagu dan kemudian diseleksi dan dususun oleh Badan

(10)

4

Pengembangan Musik Gereja. Pada tahun 1994-1999 Panitia Penambahan Ende-Enden GBKP telah menerbitkan 50 judul lagu pujian dan pada tahun 2000-2005 menyusul Badan Pengembangan Musik Gereja menerbitkan lagu penambahan sebanyak 80 judul lagu pujian.

Kemudian pada Sidang Sinode GBKP tahun 2005 di Retreat Center GBKP Sukamakmur, Moderamen GBKP sebagai badan tertinggi dalam GBKP menyatukan semua lagu-lagu tersebut ke dalam satu buku yang diberi nama Penambahen Ende-enden (PEE). Pada tahun 2006 Penambahen Ende-Enden Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) resmi diterbitkan dan disosialisasikan untuk digunakan dalam tata ibadah jemaat Gereja GBKP. Kitab Penambahan Ende-Enden berisi 130 lagu, dimana dari 130 lagu terdapat 102 lagu asli ciptaan jemaat GBKP dan 28 judul lagu merupakan adaptasi dari berbagai sumber seperti Kidung Jemaat.

Penulis sebagai seorang permata GBKP, melihat pentingnya lagu-lagu KEE dan PEE dalam liturgi-liturgi gereja. Yang dimaksud dengan liturgi adalah ibadah, baik berbentuk seremonial maupun praksis. Ibadah yang sejati tidak terbatas pada perayaan di Gereja melalui selebrasi, melainkan terwujud di dalam sikap hidup orang percaya di dunia sehari-hari melalui aksi. Aksi ibadah meliputi pelayanan, tindakan, tingkah laku, hidup keagamaan, spiritualitas, praksis hidup, cara berpikir, pola pikir dan sebagainya. Paulus menegaskan pengertian ibadah yang sejati ialah mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah (Roma 12:1). Menurut Paulus, inti ibadah Kristen adalah mempersembahkan hidup kepada Tuhan. Tanpa dasar ini, ibadah

(11)

5

dalam bentuk apa pun tidak bernilai. Ibadah menjadi hambar jika ia terbatas hanya pada perayaan.

Dalam perayaan liturgi GBKP pasti selalu ada unsur nyanyian, bahkan dalam tiap perayaan-perayaan kegiatan gereja selalu ada unsur nyanyian. Pada tata ibadah GBKP terdapat banyak jenis liturgi, beberapa liturgi yang umum dilakukan yaitu Liturgi Kebaktian Minggu Advent, Liturgi Kebaktian Wari Natal (Hari Natal), Liturgi Kebaktian Nutup Tahun (Tutup Tahun), Liturgi Kebaktian Tahun Baru, Liturgi Kebaktian Wari Paskah (Hari Paskah), dan liturgi-liturgi lainnya.

Melalui konven GBKP telah disusun beberapa model liturgi kebaktian hari minggu dan perayaan hari besar gereja, dalam bahasa Karo telah disahkan pemakaiannya melalui sidang BPL Sinode tahun 1999. Sedangkan dalam bahasa Indonesia, liturgi GBKP disahkan pemakaiannya pada tahun 2003 setelah disempurnakan oleh tim penyempurnaan liturgi GBKP. Walaupun sangat beragam model liturgi yang dibuat, namun semuanya tetap mengacu kepada liturgi yang sudah ada sebelumnya (kitab liturgi tahun 1986 dan 1993). Seorang pertua di jemaat GBKP Tanjung Priok periode 2004-2009 yang bernama Nuah P.Tarigan menuliskan beberapa buku dalam milis GBKP dengan topik Ibadah Liturgi GBKP.

Penulis melihat dalam liturgi GBKP selalu ada lagu yang dinyanyikan jemaat dalam melaksanakan unsur-unsur liturgi. Beberapa unsur liturgi meliputi votum, salam, introitus, kebaktian, persembahan, pengakuan iman dan berkat. Lagu yang dinyanyikan bukan asal menyanyikan lagu dari KEE atau PEE, melainkan menyesuaikan isi syair lagu dari KEE atau PEE dengan liturgi yang

(12)

6

akan dilaksanakan jemaat GBKP. Sebagai contoh, lagu yang dinyanyikan dalam melaksanakan Liturgi Kebaktian Hari Natal berbeda dengan lagu yang dinyanyikan pada saat melaksanakan Liturgi Kebaktian Hari Paskah. Lagu yang biasa dinyanyikan pada liturgi Hari Natal yaitu lagu yang berisi tentang perayaan kelahiran Yesus, contoh lagu yang dipakai adalah: 114-116; 123; 130-139; 178; 193. Sedangkan pada liturgi Paskah lagu yang dinyanyikan biasa berisi tentang kebangkitan Yesus, contoh lagu yang biasa dipakai yaitu: KEE 120; 121; 125; 141-144; 166; 167; 207.

Menurut informasi dari ibu R. Sembiring yang juga merupakan dirijen koor di Gereja GBKP Km.7, dahulu yang mengajarkan lagu-lagu dalam Kitab Ende-Enden kepada jemaat adalah Pendeta dan Pertua. Pendeta bertugas untuk mensosialisasikan nyanyian kepada jemaat, proses pengajaran lagu-lagu tersebut yaitu dengan cara menyanyikan lagu tersebut dan kemudian diikuti oleh jemaat, pengajaran tersebut biasa dilakukan setelah kebaktian minggu selesai. Pendeta menyanyikan lagu dan kemudian jemaat meniru menyanyikannya, dan terus-menerus diulangi hingga jemaat tidak lagi keliru menyanyikannya.

Kemudian pada masa-masa selanjutnya, menurut ibu R.Sembiring lagu-lagu dari Kitab Ende-Enden diajarkan oleh pertua dengan berbekal pengalaman yang diperoleh dari pendeta. Pada saat itu proses pengajaran juga telah dibantu oleh song leader sebagai pemimpin lagu dan juga telah diiringi oleh alat musik Organ. Song leader berperan membantu jemaat sebagai pengatur tempo dengan menggunakan gerakan-gerakan tangan dengan dibantu oleh iringan dari alat musik Organ. Untuk memeriahkan perayaan liturgi, Gereja Batak Karo Prostestan pada

(13)

7

masa sekarang ini sudah menggunakan alat musik Keyboard sebagai pengganti Organ.

Mengingat pentingnya nyanyian dalam liturgi gereja dan banyaknya liturgi-liturgi dalam Gereja Barak karo Protestan, penulis tertarik untuk mendeskripsikan lagu-lagu dalam Kitab Ende-Enden dan jenis-jenis liturgi yang ada dalam Gereja Batak Karo Protestan. Oleh karena itu penulis ingin menguraikannya dalam bentuk karya ilmiah dengan judul DESKRIPSI PENYAJIAN KITAB ENDE-ENDEN DALAM LITURGI KEBAKTIAN GEREJA BATAK KARO PROTESTAN JALAN JAMIN GINTING KM. 7 PADANG BULAN MEDAN.

1.2 Pokok Permaslaahn

Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas terdapat beberapa pemasalahan yang muncul. Dalam skripsi ini ada beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas, yaitu:

(1) Bagaimana proses penyajian Kitab Ende-Enden dalam liturgi kebaktian di GBKP jalan Jamin Ginting Km. 7 Medan?

(2) Lagu apa saja yang dipakai dalam suatu liturgi kebaktian?

(14)

8 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berikut beberapan tujuan dilakukannya penelitian ini:

(1) Untuk mengetahui proses penyajian Kitab Ende-Enden dalam litugi kebaktian di GBKP jalan Jamin Ginting Km.7 Medan.

(2) Untuk mengetahui lagu-lagu yang cocok untuk digunakan dalam tiap-tiap liturgi kebaktian.

(3) Untuk mengetahui jenis, fungsi dan guna dari tiap-tiap jenis liturgi kebaktian GBKP Km.7.

Selain memiliki tujuan, setiap penelitian pasti memiliki manfaat. Berikut beberapa manfaat yang diharapkan dari penelitian ini:

(1) Menambah wawasan peneliti dan menjadi tempat pengaplikasian studi Etnomusikologi yang selama ini saya pelajari. Yang telah saya pelajari dalam kajian ilmu etnomusikologi diterapkan dalam bentuk tulisan karya ilmiah. (2) Sebagai bahan informasi untuk melihat fungsi lagu dalam suatu upacara. (3) Sebagai bahan informasi untuk melihat jenis-jenis liturgi kebaktian dalam

Gereja Batak Karo Protestan.

(4) Sebagai bahan infomasi penggunaan dan fungsi liturgi dalam gereja GBKP. (5) Sebagai bahan untuk menambah referensi acuan bagi peneliti-peneliti lainnya.

(15)

9 1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Menurut Melly G. Tan (dalam Koenjaraningrat 1990:21), konsep merupakan defenisi dari apa yang kita amati, konsep menentukan variabel-variabel mana yang kita inginkan untuk menentukan hubungan empiris. Oleh karena itu, penulis akan menguraikan beberapa konsep yang berhubungan dengan tulisan ini.

Deskripsi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1985:34) adalah menggambarkan apa adanya. Asal kata deskriptif, dari bahasa inggris descriptive, yang berarti bersifat menyatakan ssesuatu dengan memberikan gambaran melalui kata-kata atau tulisan. Seeger (1958:184) menyebutkan, penyampaian objek dengan menerangkan terhadap pembaca secara tulisan maupun lisan dengan sedetail-detailnya. Dengan demikian deskripsi yang penulis maksudkan adalah menyampaikan dengan menggambarkan melalui tulisan secara jelas mengenai Kitab Ende-Enden dan liturgi-liturgi kebaktian yang ada pada Gereja Batak Karo Protestan Km.7 Padang Bulan Medan.

Nyanyian jemaat adalah suatu ungkapan pengagungan, penyembahan, pengudusan, pengharapan, pengakuan, penyesalan, penyerahan diri, doa serta keyakinan kepada Tuhan. Nyanyian-nyanyian dalam tata ibadah merupakan respon atau jawaban jemaat yang berisi ucapan syukur, permohonan, pengharapan serta pengakuan, dsb. Dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah nyanyian dalam Gereja GBKP Km.7 yakni Kitab Ende-enden.

(16)

10

Ende-enden, berasal dari kata ende, dalam bahasa Karo artinya adalah lagu dan nyanyian. Ende-enden adalah bentuk jamak dari kata ende. Kata kerja dari ende adalah rende, yang artinya menyanyi/ bernyanyi. Jadi ende-ende dapat disimpulkan sebagai kumpulan lagu-lagu.

Kata “liturgi” berasal dari bahasa Yunani leitourgia, terbentuk dari akar kata ergon yang berarti karya, dan leitos, yang merupakan kata sifat untuk kata benda laos yang berarti bangsa. Kata laos dan ergon diambil dari kehidupan masyarakat Yunani kuno sebagai kerja nyata rakyat kepada bangsa atau negara. Secara praktis hal ini berupa membayar pajak, membela Negara dari ancaman musuh atau wajib militer. Namun leitourgia juga digunakan untuk menunjuk pelayan rumah tangga dan pegawai pemerintah semisal menarik pajak. Sehingga dapat disimpulkan pengertian liturgi yang mengacu pada tulisan ini yaitu aturan yang mengatur berlangsungnya pertemuan yang luar biasa, yaitu Tuhan bertemu dengan umat dan umat bertemu dengan Tuhan dengan dimensi Tuhan berbicara kepada umat yang ditandai dengan adanya bacaan Alkitab.

Istilah Gereja berasal dari bahasa Portugis yaitu igreya yang berarti kawanan domba yang dikumpulkan oleh gembala. Igreya merupakan bentuk terjemahan dari bahasa Yunani, kyriake, sebutan untuk mereka yang percaya dalam iman yang sungguh kepada Yesus Juruselamat. Jadi kesimpulannya Gereja adalah suatu persekutuan atau perkumpulan orang-orang beriman kepada Yesus Kristus dalam Karya Roh Kudus. Gereja Batak Karo Protestan diartikan sebagi persekutuan atau perkumpulan masyarakat etnis Karo yang beriman kepada Yesus Kristus.

(17)

11

Penggunaan istilah jemaat umum digunakan di kalangan gereja. Jemaat adalah orang yang melaksanakan ibadah/ kebaktian. Kebaktian merupakan istilah dari kegiatan memuji/ penyembahan kepada Tuhan yang dilaksanakan oleh umat kristiani.

Permata adalah singkatan dari persadaan man anak gerejanta, artinya persatuan untuk anak gereja kita. Yang dimaksud ‘anak gereja kita’ adalah kaum pemuda pemudi GBKP yamh sudah disidi. Belajar sidi adalah suatu tahap dimana anak-anak remaja yang sedang beranjak dewasa disiapkan oleh gereja sebagai anggota jemaat yang dianggap sudah dewasa dalam hal kehidupan rohaninya. Runggun adalah istilah bahasa karo dari majelis gereja. Majelis gereja adalah persekutuan anggota jemaat yang terpanggil untuk menjalankan fungsi pelayanan gereja yang berhubungan dengan kerohanian dan jemaat serta pelayanan pemberitaan injil.

1.4.2 Teori

Teori adalah serangkaian bagiaan yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel. Kata teori memiliki arti yang berbeda-beda pada bidang pengetahuan. Secara umum, teori dapat didefinisikan sebagai analisis hubungan antara fakta satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta. Menurut Kerlinger (1973), teori adalah sebuah set konsep atau construct yang berhubungan satu dengan yang lainnya, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan sistematis dari fenomena (Moh. Nazir 1988:21). Oleh karena itu

(18)

12

penulis menggunakan beberapa teori untuk membahas pokok permasalahan yang ada.

Untuk melihat proses pewarisan tradisi secara lisan (oral tradition), penulis menggunakan teori-teori yang dikemukakan oleh Curt Sachs (1948:378) dan Bruni Nettl (1973:3). Tradisi lisan (oral) menyatakan bahwa suatu kebudayaan atau tradisi diwariskan secara turun temurun dengan cara lisan dari mulut ke mulut. Oral sendiri berkaitan dengan suara. Hal ini bisa dilihat dari suatu kebudayaan atau nyanyian dipelajari dengan cara mendengarkan lalu menirukan apa yang didengar. Begitu seterusnya dari satu orang ke orang lain atau sekelompok orang dari satu generasi ke generasi yang lain.

Hubungan teori ini dengan permasalahan yang dibahas pada tulisan ini adalah dalam menyanyikan nyanyian jemaat, jemaat diajarkan secara lisan (oral), yaitu dengan meniru apa yang didengar kemudian dinyanyikan. Penggunaan buku dalam bernyanyi digunakan hanya untuk formalitas saja untuk membaca teks nyanyian.

Bruno Nettl menyatakan ada 4 (empat) tipe bagaimana kelangsungan dari sebuah nyanyian atau musik apabila nyanyian atau musik tersebut diwariskan. Teori yang dikemukakan Bruno Nettl tersebut yaitu Four Kinds of History. Berikut keempat tipe yang berlangsung yang dikemukakan oleh Nettl:

- Menyatakan bahwa musik/nyanyian yang diwariskan, tidak mengalami perubahan sama sekali. Dengan kata lain, lagu tersebut dinyanyikan sama persis, baik sebelum ataupun sesudah diwariskan.

(19)

13

- Menyatakan bahwa musik/nyanyian yang diwariskan, mengalami perubahan, tetapi hanya dalam versi yang tunggal atau satu petunjuk, sehingga hasil dari warisan itu berbeda dari aslinya tetapi tanpa proliferasi dari elemen – elemennya. - Menyatakan bahwa musik yang diwariskan menghasilkan banyak variasi atau perubahan, bahkan beberapa dari musik itu ditinggalkan dan dilupakan; dengan kata lain sebagian ide tetap stabil, sedangkan selebihnya mengalami perubahan. - Menyatakan perubahan yang benar – benar total dari musik yang asli, sebagian besar ide musik/lagu itu dirubah sama sekali, bahkan ada yang cenderung menyimpang dari pengembangan ide aslinya.

Teori four kinds of history digunakan karena yang mengajarkan nyanyian jemaat di GBKP Km.7 terdiri dari banyak individu, dimana antara satu individu yang diwariskan mengalami regenerasi, sehingga dihasilkan banyak ragam dan versi dari satu lagu saja.

1.5 Metode Penelitian

Metode adalah cara atau jalan menyangkut masalah kerja yang dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat :1985). Sedangkan penelitian adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta dan prinsip-prinsip suatu penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu (menurut kamus Webster’s New International dalam Moh. Nazir 1988:13).

Menurut Soetriono (2007:163), metode penelitian adalah langkah-langkah pengumpulan dan mengolah data yang dikembangkan untuk memperoleh

(20)

14

pengetahuan atau jawaban terhadap permasalahan melalui prosedur yang handal dan dapat dipercaya. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998:581), metode penelitian diartikan sebagai cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat atau kemanusiaan yang bersangkutan.

Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan banyak data yang diperoleh dari narasumber. Pendekatan kualitatif adalah metode penelitian dengan menggambarkan data-data dengan kata-kata atau kalimat secara detail dan data yang diperoleh berasal dari ungkapan, catatan dan tingkah laku yang diteliti. Penulis memilih metode ini karena topik yang dibahas berhubungan erat dengan tingkah laku jemaat GBKP dan diperlukan data-data dari narasumber. Data yang disajikan dalam bentuk kata-kata atau kalimat dan datanya adalah data sekunder seperti dokumen dan data-data yang menggunakan metode pengamatan terlibat atau participant observation (M. Sitorus, 2003:25).

Metode kualitatif dapat membantu kita untuk memahami orang atau masyarakat yang kita teliti. Metode yang saya gunakan mencakup observasi participan dan wawancara. dengan kedua metode ini penulis sangat terbantu dalam memahami proses pewarisan nyanyian kepada jemaat yang diteliti.

Langkah pertama yang dilakukan penulis adalah dengan melakukan studi pustaka. Studi pustaka ini bertujuan untuk memperolah pengetahuan dasar tentang objek yang diteliti dan mencari tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek bahasan. Penulis mengumpulkan data sekunder dengan membaca buku-buku,

(21)

15

makalah, literatur dan tulisan ilmiah atau melalui internet yang berhubungan dengan penelitian ini.

Kemudian dalam mencari data-data penulis melakukan wawancara. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang bersifat terfokus yaitu wawancara dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Wawancara ini juga bisa disebut wawancara berencana. Setelah data yang diperoleh cukup, maka dilakukan pengamatan. Pengamatan yang dilakukan penulis adalah jenis observasi partisipan. Pengamatan dan wawancara sifatnya mendukung satu sama lain. Hasil dari pengamatan yang diperoleh penulis kemudian didiskusikan melalui wawancara dengan informan dengan membuat poin-poin pertanyaan terlebih dahulu. Kelebihan dari observasi partisipan, selain sebagai peneliti, penulis juga berperan sebagai jemaat dalam gereja tersebut sehingga memudahkan saya dalam mengamati fenomena yang terjadi dalam gereja tersebut.

1.6 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di jalan Jamin Ginting, Padang Bulan Medan. Tepatnya di Gereja Batak Karo Protestan Km.7. Alasan memilih lokasi tersebut karena GBKP Km.7 merupakan salah satu gereja GBKP yang cukup berkembang dan memiliki banyak jemaat yang dapat dilihat dari jam kebaktian Minggu yang dibagi pada kebaktian pagi, siang dan malam. Alasan lain memilih GBKP Km.7 sebagai lokasi adalah karna penulis juga merupakan salah satu anggota jemaat di gereja tersebut, sehingga memudahkan penulis dalam melakukan penelitian dan

(22)

16

menemukan informan-informan yang dibutuhkan penulis untuk mendapatkan informasi secara lengkap.

(23)

17

BAB II

SEJARAH SINGKAT DAN PERKEMBANGAN GEREJA BATAK KARO PROTESTAN JALAN JAMIN GINTING KM.7

PADANG BULAN MEDAN

Pada Bab II ini, penulis akan memaparkan sejarah singkat dan perkembangan jemaat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), khususnya GBKP Km.7 Padang Bulan Medan. Penulis juga akan menjelaskan tata ibadah GBKP secara umum. Sebagai pengantar penulis akan menjelaskan sedikit tentang sejarah berdirinya GBKP.

2.1 Sejarah Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)

Pekabaran Injil pertama ke daerah Karo merupakan jamahan tangan Tuhan untuk menyampaikan berita Keselamatan kepada masyarakat Karo. Kehadiran Pekabar Injil pertama di daerah Karo, dibagi atas dua kurun waktu oleh Lembaga Penelitian dan Studi DGI. Kurun waktu yang pertama disebut masa-masa permulaan, mulai tahun 1890-1906. Kurun waktu yang kedua disebut masa-masa Penanaman dan Penggarapan, mulai tahun 1906-1940.

2.1.1 Masa-masa Permulaan (1890-1906)

Pekabaran Injil periode pertama ini diterima masyarakat Karo dengan permusuhan. Masyarakat Karo menentang Belanda karena Belanda mengambil

(24)

18

tanah rakyat untuk ditanami tembakau. Orang Karo menunjukkan perlawanannya dengan membakar gudang-gudang tempat menyimpan tembakau pada malam hari, merusak tanaman tembakau dan bahkan mengancam jiwa para pengusaha.

Mr. J.T. Cremer, kepala administrasi Deli Mij, mengumpulkan dana sebanyak f. 30.000,- pertahun, sebagai biaya penjinakan orang Karo dengan cara kristenisasi. Cremer berpendapat bahwa jalan satu-satunya untuk mengamankan perkebunan mereka adalah dengan melembutkan hati orang Karo dengan cara pemberitaan Injil. Kemudian Cremer mengadakan perjanjian dengan Nederlandsche Zending Genoothchac (NZG), sebuah zending yang ada di Negara Belanda untuk mengirim tenaga-tenaga Pekabar Injil ke Deli.

Tanggal 18 April 1890, Pdt. H.C. Kruyt dan Nicolas Pontoh, dari Minahasa, tiba di Belawan untuk penginjilan orang Karo. Mereka memilih desa Buluh Awar menjadi pos pelayanan. Di Buluh Awar, mereka mulai mempelajari bahasa Karo dan adat istiadatnya. Mereka mengadakan pendekatan-pendekatan dengan perbuatan baik untuk menciptakan suasana yang akrab dengan masyarakat setempat dengan tidak jemu-jemu.

Pekabar Injil Pertama, berani mempertaruhkan nyawanya, demi berita Injil untuk orang Karo. Motivasi penginjil NZG untuk menginjili orang Karo jauh melebihi motivasi dari pengusaha-pengusaha perkebunan yang membiayai penginjilan tersebut. Penginjil menghadapi banyak kendala, mulai dari kebencian orang Karo kepada orang Belanda, komunikasi dalam bahasa Karo yang belum mereka pahami, dan juga ancaman keselamatan nyawa mereka. Namun penginjil ini tidak mundur untuk memberitakan berita keselamatan kepada orang Karo.

(25)

19

Pada masa permulaan penginjilan, para penginjil memberikan pelayanan pendidikan umum di lima desa, masing-masing didirikan satu pos pelayanan. Masing-masing sekolah dipimpin oleh Guru Injil dari Minahasa serta mengadakan kerja sama dengan Kepala Desa setempat. Mereka membagi pos-pos sebagai berikut:

1. Pdt H.C.Kruyt dan Nicolas Pontoh di desa Buluh Awar. 2. Gr. Injil Benyamin Wenas di desa Salabulan.

3. Gr. Injil Johan Pinontoan di desa Sibolangit.

4. Gr. Injil Ricardo Tampenawas di desa Pernengenen. 5. Gr. Injil Hendrik Pesik di desa Tanjung Baringin

Pendidikan yang dilakukan ini mendapat curiga dari masyarakat setempat. Masyarakat setempat menganggap ini adalah siasat Belanda untuk mencari simpati rakyat. Hambatan ini ditanggulangi dengan cara pendekatan melalui Kepala Desa setempat. Mereka secara bersama-sama mengadakan penyuluhan serta pertemuan-pertemuan dengan masyarakat desa. Setelah empat tahun pendidikan di lima desa itu, maka merekapun sudah mempunyai 39 orang murid.

Masyarakat Karo memiliki kepercayaan tertentu terutama mengenai pengobatan penyakit-penyakit. Banyak pengobatan tradisional Karo yang pada umumnya berbaur dengan kepercayaan leluhur. Banyak penyakit yang diobati dengan cara tradisional dan tingkat kematian tinggi karena sakit peyakit. Penginjil ditantang untuk bekerja keras dan belajar tentang perawatan kesehatan dan obat-obatan. Mereka tidak hanya mempelajari bidang pengobatan medis, tetapi juga

(26)

20

mempelajari pengobatan tradisional Karo. Para penginjil ini pergi melayani, kapan dan dimana saja orang membutuhkan pelayanan kesehatan. Pekabar injil menggunakan kesempatan di mana saja dan kapan saja, untuk mengabarkan kabar kesukaan. Setelah tiga tahun kemudian, terjadi suatu kabar yang menggembirakan dan memang ditunggu-tunggu, yaitu pembabtisan pertama yang dilakukan kepada orang Karo sebagai buah Injil yang telah mereka beritakan. 22 Agustus 1893, dilakukan babtisan yang pertama terhadap enam orang suku Karo di desa Buluh Awar.

Tanggal 24 desember 1899 ditahbiskan Gereja Batak Karo yang pertama di Buluh Awar. Semua nyanyian yang dinyanyikan pada saat pentahbisan ini adalah nyanyian dalam bahasa Karo yang sudah duterjemahkan oleh para penginjil. Saat itu jumlah anggota jemaat 56 orang, sementara yang sudah dibabtis sebanyak 17 orang dan disidi 4 orang. Sekolah yang didirikan NZG 4 buah dengan murid 93 orang.

2.1.2 Masa-masa Penanaman dan Penggarapan (1906-1940)

Kurun waktu kedua dinamakan masa penanaman dan penggarapan, ini meliputi tahun 1906 sampai 1940. Dapat dikatakan bahwa yang berperan pada masa sebelumnya adalah seluruhnya di luar orang Karo. Tetapi, pada masa penanaman dan penggarapan ini orang Karo sudah ikut terlibat.

Pada masa penanaman dan penggarapan banyak dilakukan pembangunan-pembangunan, di bidang kesehatan masyarakat dengan membangun poliklinik-poliklinik dan rumah-rumah sakit. Leluhur Karo sangat mengkaitkan sedemikian

(27)

21

rupa antara penyakit, kekuasaan alam gaib, dan roh-roh leluhur serta sistem pengobatan yang pada dasarnya adalah tanpa pembayaran materi, tetapi di dalam kaitan kekeluargaan. Merupakan suatu penghinaan terhadap seorang Guru Mbelin, yang dianggap masyarakat sebagai manusia keramat, mau ditantang oleh para pekabar injil pertama dengan penyuluhan-penyuluhan kesehatan. Penyuluhan kesehatan ini pada umumnya menolak hal yang tahayul. Tidak jarang pada zaman itu, pelayan harus menanggung berbagai penderitaan di dalam penyampaian kasih melalui pelayanan kesehatan ini.

Untuk pengembangan pendidikan masyarakat dibangun rumah-rumah sekolah dan sarana belajar lainnya. Lulusan sekolah ini akan menjadi pelopor di tengah-tengah masyarakat. Pengembangan prekonomian masyarakat Karo dilakukan dengan pengadaan sarana pertanian. Pembangunan irigasi dan pemanfaatan tanah dikembangkan bersama masyarakat. Pembukaan jalan sampai ke dataran tinggi Karo memberikan peluang yang besar kepada masyarakat untuk memasarkan hasil produksinya. Pembangunan yang dimotori oleh para penginjil membawa hasil yang cukup memuaskan, oleh karena tumbuh kesediaan dan kesadaran masyarakat Karo sendiri.

Pendidikan sebagai ujung tombak pelayanan sangat relevan, karena pemuda lebih terbuka dengan sesuatu yang baru. Serta di alam pikiran yang baru itu, mereka dengan berani mencetuskan pikiran-pikirannya sehingga pembaharuan tersebut lebih cepat tercapai. Sebagai generasi penerus, mereka menciptakan alam yang baru di dalam generasinya. Dengan demikian, pendidikan sekolah tersebut

(28)

22

disamping mendidik para pembaharu, juga memberlakukan pembaharuan itu sendiri.

Semenjak itu Gereja Kristen Karo yang kemudian dikenal dengan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) berkembang sekalipun sangat lambat. Dari Buluh Awar penginjilan berkembang ke wilayah sekitarnya. Selanjutnya ke Kabanjahe, dan wilayah lain di dataran tinggi Karo. Seterusnya ke daerah Pancur Batu tahun 1927. Daerah Langkat dimulai penginjilan tahun 1921 dan gereja pertama ditakbiskan tahun 1929. Di Medan sudah ada kebaktian tahun 1937 dan di Jakarta tahun 1939 sudah ada perkumpulan masyarakat Karo Sada Kata dan di Bandung perkumpulan masyarakat Karo Sada Perarih.

2.2 Sejarah dan Perkembangan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Km.7 Padang Bulan Medan

2.2.1 Kronologi Berdirinya Gereja Batak Karo Protestan Km.7 Padang Bulan Medan

Sebagai titik awal Sejarah Gereja Majelis GBKP Km.7 Padang Bulan Medan, diawali ketika beberapa dari etnis suku Karo yang berada di Simpang Gudang dan sekitarnya, ingin membuat kebaktian dan belajar alkitab, yaitu tentang kasih yang telah disampaikan di dalam Tuhan Yesus. Berhubung pada waktu itu, Gereja GBKP yang terdekat dengan wilayah Padang Bulan adalah GBKP Majelis Batang Serangan yang berada di kecamatan Medan Baru, sementara yang terdekat menuju arah Berastagi adalah GBKP Pancur Batu. Letak kedua gereja GBKP tersebut sudah terlalu jauh dari sepanjang Jamin Ginting.

(29)

23

Berhubung karena jarak untuk beribadah bagi orang Kristen yang bertempat tinggal di Jalan Jamin Ginting terlalu jauh ke Sei Batang Serangan dan ke arah Pancur Batu, maka muncullah inisiatif dari beberapa suku Karo yang bertempat tinggal di Simpang Pos/Simpang Kwala Padang Bulan, untuk membuka Kebaktian dan sekaligus belajar Agama Kristen. Sebagai pemrakarsa pada saat itu diantaranya adalah :

1. Bp. Rusia Sembiring 2. Bp. Ngarang Sembiring 3. Bp. Lukas Sembiring 4. Bp. Murni Ginting Manik 5. Kiras Tarigan Sahing Dengan tugas antara lain yaitu :

- Melakukan sensus dan pendataan bagi orang Kristen yang berada di Sumber Nongko, daerah Kaveleri, Simpang Kwala hingga Simalingkar. - Mengusahakan secepatnya membuka Kebaktian Minggu di sekitar

Simpang Kwala, mengingat jarak tempuh ke Batang Serangan dan Pancur Batu cukup jauh.

Untuk merealisasikan niat tersebut, maka pada akhir bulan Agustus 1955, dimulailah kebaktian pertama yang dilaksanakan di rumah Bp. Rusia Sembiring, dengan pelayanan pada saat itu adalah Pdt. Palem Sitepu (Alm).

Berhubung karena adanya pertambahan anggota dan keluarga yang turut mengikuti Kebaktian Minggu di tempat tersebut, menyebabkan kediaman rumah Pertua Bp. Rusia Sembiring tidak mampu lagi menampung jemaat, sehingga

(30)

24

dicarilah jalan keluar yang terbaik. Maka dijejakilaj sebuah Sekolah Rakyat, yang dipimpin oleh Bapak N. Kembaren pada waktu itu. Seiring dengan perjalanan waktu ditambah pula dengan jumlah anggota yang semakin besar, maka dirasa perlu untuk mencari tempat lain yang lebih mempu menampung jumlah anggota jemaat, sehingga dibentuklah Panitia Pembangunan Gereja yang terdiri dari :

Ketua ( I ) : Mabai Bangun Ketua ( II ) : E. K. Ginting Sekretaris : Mulia Sembiring Bendahara : Bapa Lukas Sembiring Anggota 1 : Bapa Ruben Sinuhaji

2 : Bapa Albert Tarigan

Sebagai hasil kerja dari Panitia Pembangunan tersebut, ditambah pula dengan berakhirnya masa pakai Rumah Sekolah Rakyat sebagai tempat beribadah, maka pada tahun 1960 Gereja secara darurat dibangundidirikan di Km.8 Padang Bulan. Mulai saat itu Kebaktian Jemaat dipindahkan dari Sekolah Rakyat ke Km.8 Padang Bulan. Sebagai pemilik dari tanah tersebut adalah Bapa Jendamuli Tarigan, dan tanah tersebut dibeli dengan cara diangsur oleh jemaat. Beberapa orang yang sangat berjasa dalam hal pendanaan pembangunannya adalah :

1.6.1 Kol. Nelang Sembiring 1.6.2 Nahud Bangun

1.6.3 Pulung Pandia 1.6.4 Bapa Albert Tarigan

(31)

25

Walaupun Kebaktian bagi orang dewasa telah dipindahkan ke Km.8 Padang bulan, akan tetapi Kebaktian untuk Anak Sekolah Minggu (KA-KR) tetap dilanjutkan/diteruskan di Sekolah Rakyat Simpang Kwala. Dan sebagai pengajar KA-KR pada waktu itu adalah :

1) Dame Br. Sembiring (+) 2) Muliana Br. Barus 3) Else Br. Sembiring 4) Siam Srubakti (+) 5) Ngatur Tarigan 6) Tammat Br. Sinulingga. Dll

Animo masyarakat Karo untuk belajar Firman Tuhan tetap terus meningkat seperti:

1) Tahun 1962, antara lain Sabarianna Br. Sembiring, Jendamalem Br. Surbakti, Tetap Sitepu, Pesing Sembiring, dll, ikut belajar Firman Tuhan yang dilayani oleh Pt.Kiras Tarigan Sahing dari daerah Simalingkar. Mereka semua belajar di suatu tempat di Jalan Saudara Pasar Mati Padang Bulan Medan. Usai belajar, maka pada akhir tahun 1963, mereka semua dibaptis di GBKP Padang Bulan, yang dilayani oleh Pendeta Sibero Tua. Perlu diketahui bahwa pada masa tersebut nama Gereja yang terdapat di Km.8 bernama “GBKP Padang Bulan, belum memakai Km.8. Hal ini dapat dilohat dari Cop Surat Baptisan yang dimiliki oleh anggota jemaat yang telah dibaptiskan.

(32)

26

2) Tahun 1964, ada lagi dibuka Pelajaran Agama di kediaman Pt. E.K. Ginting (Alm), dimana Pertua ini turut secara langsung sebagai Pengajar Firman Tuhan. Yang ikut belajar pada waktu itu tidak hanya berdomisili di sekitar Simpang Kwala, akan tetapi juga berasal dari Simpang Gabungan, seperti Sri Bima Depari (sekarang sudah menjadi Pertua di Gereja lain), Sukacita Sembiring Kembaren, Esther Br. Sembiring Kembaren. Waty Br. Bangun, Dasar Purba (dari Km.10), dll. Dan tepatnya pada tanggal 11 Juli 1965, mereka dibaptis (ada Baptisan Besar dan ada Baptisan Kecil) di GBKP Padang Bulan Medan. Dan sebagai Pelayan Tuhan yang melayani pada saat itu adalah Pendeta Sibero Tua (+). Termasuk yang dibaptis pada waktu itu adalah (baptisan kecil) adalah Kandirta Purba yang sekarang sudah menjadi Pertua.

Pada Tahun 1970 hingga 1980, merupakan sejarah pembenahan bagi jemaat GBKP Km.7 Padang Bulan Medan yang baru terlepas dari Majelis Km.8 serta mendapat Keputusan Sidang Klasis menjadi suatu Majelis yang telah diakui. Pembenahan maksudnya adalah adanya perubahan secara struktural yang jelas di dalam pembagian tugas, dan pengelolaan keuangan sesuai dengan Tata Gereja di dalam Kabktian, Tata Ibadah lebih memfokuskan kedekatan Jemaat dengan Tuhan, Sidang-sidang yang lebih sistematis menurut keperluan/kebutuhan Gereja dan umatnya dan sebagainya. Juga antara tahun 1970 hingga 1980, Perpulungen-perpulungen yang selama ini di bawah binaan Majelis GBKP Km.7 Padang Bulan Medanm akhirnya satu demi satu mulai dilepaskan agar menjadi perpulungen yang Mandiri, baik dari segi personalianya, maupun dari segi pendanaan serta

(33)

27

mengambuk keputusan-keputusan yang sistematis dan fragmatis. Keputusan-keputusan dari Pusat, secara perlahan-lahan mulai dijalankan dan disosialisasikan kepada jemaat, untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi Pejabat-Pejabat Gereja, contohnya : mensosialisasikan mengenai Kerja Rani, Sehna Berita Simeriah man Kalak Karo, Minggu Zeding, Minggu Penjayon dan lain-lain.

Salah satu kegiatan Panitia Pembangunan Gereja pada masa ini yaitu pada Bulan Januari 1972, melaksanakan Pengecetan Gereja untuk pertama kali bekerjasama dengan Perguruan Yayasan SMP Masehi. Kerja sama ini dilakukan dengan pembiayaan 2:1, antara Panitia Pembangunan Gereja dengan Yayasan SMP Masehi.

Mengenai Panitia Pembangunan Gereja yang ada sejak Majelis GBKP Km.7 Padang Bulan Medan menjadi Runggun, tidak pernah mengalami perubahan (pemilihan) sampai tahun 1978. Tugas Panitia ini pada waktu itu adalah selain mengkoordinir Pengecatan Gereja yang bekerjasama dengan Yayasan perguruan Masehi, pemasangan asbes plafon pada bulan Juli tahun 1977, kemudian juga menjejaki PNP IX, bagaimana agar pertapakan yang kini dipakai sebagai tempat beribadah jemaat GBKP Km.7 Padang Bulan Medan, dapat menjadi milik sendiri. Pendekatan ini tetap dilakukan oleh Panitia dan BP Majelis Gereja, apakah nantinya pihak Perkebunan PNP IX mau ganti rugi atau dihibahkan kepada pihak Gereja. Karena tidak ada jawaban dari pihak PNP IX, mengingat bahwa Surat Perjanjian telah habis masa pakainya, maka Majelis Gereja merasa khawatir bila pihak Perkebunan PNP IX menarik kembali asetnya

(34)

28

yang mengakibatkan tempat beribadah umat GBKP Km.7 Padang Bulan Medan tidak ada lagi.

Untuk itu dalam Sidang Majelis Gereja pada tanggal 22 Januari 1978, dibentuklah 2 (dua) ke-Panitiaan Pembangunan Gereja Majenis GBKP Km.7 Padang Bulan Medan yaitu:

A. Panitia Pembangunan yang lama, yaitu: 1. Pt. Drs. Siam Surbakti

2. Dk. Bengkel Ginting 3. Dk. Nomon Sitepu

Mereka tetap bertuga untuk meneruskan perawatan bangunan Gereja serta segala peralatan alat-alat yang ada.

B. Panitia Pembangunan Gereja yang baru, yaitu: 1. Ketua (I) : Bapa Luther Sembiring 2. Ketua (II) : Bapa Edy Surya Ginting 3. Sekretaris (I) : Drs. Benyamin Tarigan 4. Sekretaris (II) : Salim Sembiring 5. Bendahara : Negeri Surbakti Dan sebagai Pembantu Umum adalah 1. Nande Ravenna Br.Sembiring 2. Jam Surbakti

3. Bapa Mehamat Barus 4. Lanee Sinulingga 5. Benteng Pelawi

(35)

29

6. K. Sembiring 7. Bapa Edison Purba 8. Bapa Mai Tarigan

9. Bapa Nggulung Sinulingga 10. Bapa Petrus Sembiring

Panitia Pembangunan Gereja yang baru ini, diberi tugas untuk mencari Pertapakan untuk Gereja, bilamana Gudang bekas PNP IX ditarik kembali oleh Perkebunan. Pertapakan yang diprioritaskan adalah sekitar daerah Pasar VI. Panitia diberi tugas selama 2(dua) tahun untuk mendapatkan pertapakan tersebut. Pertapakan yang dicari benar ada tetapi ticak sesuai dengan cara pembayarannya. Para pemilik tanah meminta dengan kontan, sementara pihak Gereja hanya sanggup membayar secara mencicil (angsur). Dan akhirnya pertapakan tersebut batal dibeli dan dicari tempat lain. Panitia Pembangunan yang baru dibentuk tersebut berakhir masa tugasnya setelah tahun 1980 tanpa ada penarikan kembali dari pihak perkebunan tentang gudang yang dipakai sebagai tempat beribadah jemaat GBKP Km.7.

Dalam rapat dengar pendapat, dengan beberapa anggota Majelis Gereja Km.7 Padang Bulan yang dilaksanakan tanggal 19 Maret 2011, di Gereja GBKP Km.7 Padang Bulan Medan diperoleh beberapa catatan dari narasumber tentang pemakaian gedung PNP IX yang sekarang telah menjadi gedung Gereja Majelis Km.7 Padang Bulan Medan. Dari beberapa narasumber tersebut, diperoleh keterangan/ informasi bahwa mereka pernah mengunjungi kantor perkebunan di Tanjung Morawa untuk mengusulkan agar Gudang PNP IX yang terletak di

(36)

30

Simpang Gudang dapat dipakai sebagai tempat beribadah. Demikian pula, diperoleh informasi bahwa pada pertengahan tahun 60-an ada beberapa tokoh masyarakat Karo datang menghadap Mr. Roga Ginting, SH untuk bersilaturahmi mendapatkan masukan bagaimana agar Gudang PNP IX dapat menjadi tempat beribadah bagi Masyarakat Karo di sekitarnya.

Beberapa tokoh masyarakat Karo tersebut yaitu : 1. Pt. Djaga Depari

2. Pt. Mayor Eka Ginting 3. Pt. Drs Siam Surbakti

4. Diaken bengkel Ginting Suka

Mereka ini meminta petunjuk kepada keluarga Mr. Roga Ginting,SH yang pada saat itu memiliki kedudukan sebagai salah seorang Direksi PNP IX.

Untuk meluruskan itu, mereka juga memohon kepada ibu Roga Ginting (Rugun Br. Purba,SH) agar dapat menghubungi Gubernur Sumatera Utara yang pada waktu itu dijabat oleh Roos Telaumbenua, karena pada waktu itu, ibu Rugun Br.Purba,SH adalah salah satu anggota DPRD tingkat I Sumatera Utara.

Untuk melaksanakan maksud dan tujuan pemakaian Gudang tersebut, maka pihak jemaat Majelis GBKP Km.7 yang diwakili oleh panitia Pembangunan Gereja yaitu Pt. Siam Surbakti dan Dk. Bengkel Ginting Suka mencoba melakukan secara prosedur melalui keluarga Roga Ginting,SH.

Untuk menguatkan argumentasi pemakaian Gedung PNP IX sebagai tempat ibadah, maka pertama-tama yang diusulkan oleh ibu Rugun Br. Purba,SH kepada panitia ialah membuat surat kepada Gubernur Kepada Daerah Sumatera

(37)

31

Utara. Surat panitia dibuat tanggal 24 Semptember 1966 dan tidak beberapa lama keluarlah izin tersebut dari PNP IX. Maka pada bulan Desember 1966, dilaksanakan Natal pertama Daerah I di gudang tersebut.

Sementara untuk Kebaktian Umum mulai dilaksanakan mulai 1 Januari 1967. Dengan demikian, jemaat yang ada di sekitar Simpang Kwala hingga Kaveleri mulai beribadah di Gereja Majelis Km.7 walaupun masih dalam bentuk perpulungen belum menjadi runggu.

Selain tempat ibadah, Gudang tersebut juga dipakai sebagai tempat pendidikan SMP dan SMA Masehi yang pada waktu itu dipelopori oleh :

1. Drs. Romanus Sibero 2. Drs. Siam Surbakti 3. Drs. Kabar Sitepu 4. M.N. Depari 5. K. Keliat 6. B. Ginting 7. M. Tarigan 8. A. Sinulingga

Pembukaan SMP Masehin dan penerimaan murid baru dimulai pada 10 Januari 1968. Dalam perjalanannya panitia pembangunan tetap bekerja untuk merenovasi gudang tersebut agar layak dipakai sebagai tempat beribadah. Sebagai prioritas yang dibutuhkan pada waktu itu adalah mencari tanah/ tempat untuk bisa mendirikan rumah pejabat Gereja. Tanah pertapakan tersebut diperoleh di Jalan Beringin Padang Bulan Medan yang dibeli dengan harga Rp. 7.500.000,-. Rumah

(38)

32

pejabat Gereja pun dibangun melalui swadaya jemaat/ lelang-lelang, dan pada 31 Maret 1991, rumah pejabat tersebut diresmikan secara liturgi Gereja.

Dalam perjalanannya dari waktu ke waktu, maka ditelusurilah bagaimana sebenarnya status pertanahan yang dipergunakan Gereja sebagai tempat beribadah. Dalam periodenisasi, Panitia Pembangunan Gereja tahun 1996-2000 tetap saling bertukar informasi dan mencari fakta-fakta sebagai masukan terhadap panitia. Pada tahun 1996 akhir, diperoleh kepastian bahwa Ketua Pembangunan Gereja (Balans Sebayang, SH, MA) yang menjabat sebagai K. Humas PNP IX mengecek buku arsip tentang aset pertanahan milik PNP IX yang ada di Kantor Pusat Tembakau Deli, nyata tidak ada lagi. Melihat keadaan ini, Ketua Panitia bersama Sekretaris mempersiapkan bahan mengingat pentingnya Pembangunan berskala besar atas pembangunan Gereja tersebut, maka Majelis menginstruksikan agar Panitia juga mencari jalan bagaimana tanah yang di depan samping gereja dan di belakang gereja dapat diperjualbelikan pemiliknya kepada Gereja. Untuk itu, Panitia berusaha mencari pendekatan secara kekeluargaan. Setelah ditunggu sekian lama, saudara Jaya Depari sebagai pemilik tanah di depan samping gereja menawarkan tanahnya tersebut kepada Sekretaris Panitia di Jambur Namaken dan hal ini tidak disia-siakan dan langsung memanggil Ketua agar secepatnya dilakukan negosiasi antara panitia dan pemilik tanah. Singkat cerita dibelilah tanah tersebut berukuran 4 x 20 meter seharga Rp. 26.000.000,- ditambah honor pembuatan akta perjanjian mengenai jual beli No.33 tanggal 29 Desember 1997 dengan biaya Rp. 300.000,-. Kemudian tanggal 24 Agustus 1998, atas pendekatan yang dilakukan oleh Ketua II yaitu Bapa Kawar Brahmana maka tanah yang di

(39)

33

belakang Gereja juga diperjualbelikan sehingga Panitia melakukan negosiasi bersama pemilik tanah dan secara perkiraan luasnya ±200 meter dengan harga Rp. 58.400.00,-. Dengan pertambahan ±200 meter, hal tersebut sudah sangat mengembirakan sehingga pembangunan secara sekala besar sudah dapat dimulai dengan terlebih dahulu merencanakan pengumpulan dana.

Dalam perjalanan/ kisah yang dilalui tentang aset tanah Gereja tersebut sunggu banyak lika-liku yang dijalani sampai kepada kepemilikan yang sah menjadi milik Gereja. Tanah pertapakan tersebut, telah dituangkan dalam suatu Surat SK Camat No. 593.21 / 003 / SKT / KB / 2008, demikian pula mengenai tanah Rumah Dinas Pendeta yang terletak di Jalan Beringin telah diterbitkan surat yaitu SK Camat No.28 / 594 / APH / MB / 1989 tanggal 6 Februari 1989.

2.2.2 Perkembangan Gereja Batak Karo Protestan Km.7 Padang Bulan Medan

Gereja GBKP Km.7 Padang Bulan Medan merupakan Gereja yang cukup berkembang pesat. Banyak kegiatan-kegiatan yang dilakukan dibawah naungan GBKP Km.7 Padang Bulan Medan, contohnya seperti kegiatan dalam memperindah bangunan gereja. Berdasarkan catatan mantan sekretaris Majelis GBKP Km.7 Padang Bulan Medan, Dk.Sanggup Sembiring (Alm), yang turut dibacakan pada penringatan Jubelium yang ke-100 tahun GBKP di Jambur Namaken, maka Badan Pekerja Majelis GBKP Km.7 yang telah dipilih pada 23 Mei 1976, mengalami perubahan. Perubahan ini tidak jelas apa penyebabnya, namun dari struktur yang ada terlihat banyak pergantian personel yang digantikan oleh wajah baru.

(40)

34

Panitia Pembangunan Gereja yang pernah ditetapkan oleh Majelis 2(dua) tim yaitu Panitia Pembangunan yang Lama dan Baru, pada waktu itu dibubarkan, sekaligus dibentuk Panitia Pembangunan Gereja yang diangkat pada Agustus 1978.

Panitia yang baru diangkat masa periode 1978-1981 tersebut adalah sebagai berikut:

1. Ketua : Drs. Nomon Sitepu 2. Sekretaris : Drs. Siam Surbakti 3. Bendahara : Negeri Surbakti

Seksi Pengumpulan Dana yaitu: 1. Ketua : Rajin Ginting 2. Sekretaris : Drs. B. Tarigan

3. Pembantu : 1) Bapa Luther Sembiring 2) Salim Sembiring 3) Bengkel Ginting 4) Benteng Pelawi

5) Nd.Rarenna br Sembiring

Mengenai tugas Panitia Pembangunan Gereja ini yaitu: A. Jangka Pendek, meliputi:

1. Memasukkan Listrik ke Gereja diusahakan selambatnya September 1978.

(41)

35

3. Memperbaiki Gereja termasuk merehab jendela-jendela, memperbaiki pintu-pintu untuk disesuaikan dengan gambar.

B. Sebagai Program jangka panjang, yaitu : memperjuangkan Gereja tersebut menjadi milik GBKP Km.7 Padang Bulan Medan.

Dalam Sidang Majelis GBKP Km.7 Padang Bulan Medan pada tanggal 2 September 1978, Panitia Pembangunan Gereja menyampaikan beberapa usul kehadapan Sidang Majelis, yaitu sebagai berikut:

1. Melaksanakan permutasian keuangan dan administrasi dari Bendahara Majelis Gereja ke Bendahara Panitia Pembangunan Gereja.

2. Persembahan disetiap Perpulungen jabu-jabu tetap dilaksanakan untuk dana Pembangunan Gereja.

3. Sumbangan jemaat secara pribadi perlu ditingkatkan.

4. Membentuk Donatur-donatur dari setiap Perpulungen jabu-jabu. 5. Sedapat mungkin sebulan sekali dilaksanakan lelang-lelang.

6. Melakukan Sidang Panitia sekali dalam sebulan, dan bilamana ada anggota Panitia Pembangunan tidak hadir 3(tiga) kali berturut-turut, maka sudah perlu dilaporkan ke Sidang Majelis, untuk diproses lebih lanjut.

Masih dalam sidang waktu yang sama Diakonia juga mengusulkan kepada Pimpinan Majelis Gereja agar Keuangan serta administrasi Diakonia diserahkan saja pelaksanaannya kepada Bendahara Diakonia Majenis GBKP Km.7 Padang Bulan Medan.

Sementara pada Sidang Majelis 22 Oktober 1978, Permata Bethlehem juga mengusulkan beberapa usulan kehadaoan Majeli sebagai berikut:

(42)

36

1. Mempersiapkan dan menjual Kalender 1979 kepada Jemaat GBKP Km.7 Padang Bulan Medan. Hal ini disetujui oleh Sidang Majelis dengan catatan Kalender tersebut mencerminkan ke-Kristenan dengan harga tidak lebih dari Rp.500,- per buah.

2. Setiap Kegiatan PA Permata Bethlehem yang dilaksanakan secara bergiliran di rumah-rumah, hendaknya dihadiri oleh Majelis Gereja. Usul ini diterima dengan baik dengan catatan dihadiri secara bergiliran dengan adanya roster.

3. Hendaknya bahab PA Permata Bethlehem senantiasa disediakan oleh Majelis Gereja. Untuk tugas ini diserahkan sepenuhnya kepada Pendeta Selamat Karosekali, yang merupakan Ketua BP. Majelis Km.7 pada waktu itu.

4. Bagaimana cara mengajak/mengaktifkan Permata untuk datang ke PA yang dilarang oleh orang tuanya.

Dalam hal ini Pimpinan Majelis memberikan jawaban agar Pertua dan Permata yang telah ditunjuk, sama-sama mengunjungi permata tersebut sekaligus memberikan gambaran permata kepada orang tua yang bersangkutan.

Pekabaran Injil untuk Majelis Gereja GBKP Km.7 telah dibuka, dengan daerah yang dilayani yaitu Talun Kenas. PI pertama dilakukan pada tanggal 13 Oktober 1979, ke kampung Bisemat Runggun Talun Kenas. Yang turut berpartisipasi pada waktu itu adalah beberapa anggota Majelis Gereja, Moria sekitar 10 orang dan anggota Vocal group Permata.

(43)

37

Dalam perjalanannya dari tahun ke tahun, tidak mungkin semua dicatat mendetail tentang sejarah perjalanan umat Majelis GBKP Km.7 Padang Bulan Medan, akan tetapi satu hal yang sudah pasti bahwa dalam hal partisipasinya. Peranan umat Majelis GBKP Km.7 telah banyak membantu Gereja-Gereja GBKP diluar GBKP Km.7, baik dari segi pembangunan fisiknya maupun dari segi Pengumpulan Dana berupa Lelang-Lelang, Pengedaran Struk Undangan, berupa urupa undangan/sumbangan yang diperuntukkan bagi kemajuan suatu Gereja. Keadaan ini dapat diketahui dari beberapa gambaran secara nyata yang telah berwujud seperti ikut serta dalam pengumpulan dana dan Pembangunan Gereja:

1. Gereja Tanjung Berampu, telah berdiri di Biru-Biru 2. Gereja Benameriah

3. Gereja Tanjung Selamat 4. Gereja Simalingkar B 5. Gereja Pintu Besi 6. Gereja Bunga Rampai 7. Gereja Pasar IV Koserna 8. Gereja Pasar VII Selayang 2 9. Gereja Timba Lau

10. Sayum (Sembahe) 11. Gereja Biru-Biru

12. Pembangunan Kantor Klasis Medan Delitua 13. Gereja Tembengen

(44)

38

Mengenai masalah persembahen tidak ada diterapkan dalam pengusulan tersebut. Dan diusulkan juga agar nantinya ditempatkan seorang Guru Agama untuk Majelis Benameriah/T.Selamat.

Dalam hal Perpulungen yang terdapat di Simalingkar, Pembangunan Gereja telah dirintis/ dimulai pada bulan Juni tahun 1971, sekaligus acara lelang-lenang untuk dana awal. Sumber-sumber dana yang dikutip untuk Pembangunan Gereja tersebut antara lain :

1. Dari Perpulungen Km.7, Benameriah, Tanjung Selamat. 2. Dari Kolekte ekstra setiap minggu yang telah disetujui.

3. Dari para Pertua/ Diaken yang ada di setiap Perpulungen ditetapkan Rp.200,- per orang.

4. Bantuan dari Klasis Medan berupa seng 286 lembar. 5. Donatur/ Dermawan serta kwitansi berhadiah, dll.

Pada bulan Juli 1972, dilaksanakan Pentahbisan Gereja Simalingkar, sekalian dengan acara Lelang-Lelang untuk pengumpulan dana pembangunan tersebut. Dalam Sidang Majelis GBKP Km.7 Padang Bulan Medan tanggal 13 Maret 1977, Perpulungen Simalingkar mengusulkan agar Gereja yang terdapat di Simalingkar disyahkan menjadi satu Runggun, yaitu Runggun Simalingkar B. Dan oleh Klasis Medan Delitua, yang bersidang pada bulan Mei 1977, disyahkan Gereja di Simalingkar B menjadi Runggu GBKP Simalingkar. Keadaan perpulungen yang dipertimbangkan untuk menjadi satu runggun antara lain, jumlah keluarga yang ada dalam perpulungen, banyaknya anggota Sidi, banyak jumlah anggota, jumlah Pertua/ Diaken dan persembahan rata-rata yang diperoleh.

(45)

39

Tentang kelanjutan dari Panitia Pembangunan Gereja, maka pada hari Kamis tanggal 2-7-1982 oleh team Formatur, dipilihlah beberapa orang yang memegang jabatan di Panitia Pembangunan Gereja untuk masa bakti 1982-1983.

Sebagai Program Kerja Panitia Pembangunan Gereja ke depan telah dirumuskan secara skala prioritas yaitu:

1. Perbaikan atap yang bocor, asbes yang rusak serta lesplank kayu.

2. Penambahan durung-durung (tempat kolekte) dan penggantian papan tulis kecil.

3. Pembangunan tanah belakang Gereja untuk: a. Kamar Persiapan bagi pejabat Gereja b. Kamar Mandi/ WC

c. Inventaris/ Ruang Persiapan d. Perbaikan Mimbar

4. Penambahan bangku-bangku Secukupnya 5. Perawatan kereta sorong jenazah

6. Membangun pagar Gereja (pagar beton) yang mengelilingi Gereja dengan ukuran yang memiliki batas-batas yang pas.

7. Membuat Menara di depan Gereja serta loncengnya. 8. Pembelian Organ/ alat musik Gereja

9. Penataan pintu-pintu/ jendela-jendela serta pemasangan kipas angin. 10. Membangun tempat Parkir untuk sepeda motor

(46)

40

Jumlah biaya yang diprediksi untuk nomor 1 sampai dengan nomor 10 sekitar Rp. 4.500.000 (Empat Juta Lima Ratus Ribu Rupiah), yang direncanakan diperoleh dengan cara pinjaman sementara kepada jemaat, sumbanga sukarela, sumbangan wajib, dan dari Kas yang masih tersedia.

Sementara itu di tengah-tengah Pembangunan Gereja Majelis GBKP Km.7 Padang Bulan Medan terus melakukan pembenahan, demikian pula terhadap struktur Kepanitiaan telah banyak terjadi pergantian dan terus berubah sebagaimana tuntuntan kemajuan yang ada.

Dalam perjalanannya pada tahun 1990 hingga sekarang banyak terjadi perubahan-perubahan yang dialami, seperti munculnya wajah-wajah baru di dalam jabatan Pertua dan Diaken termasuk di dalam Badan Pekerja Harian Majelis Gereja, juga di dalam semangat kegotongroyongan mendirikan Rumah Ibadah, pembagian kerja berdasarkan Tata Gereja sudah lebih difokuskan yakni tentang Tri Tugas Gereja (Koinonia, Marturia dan Diakonia) termasuk Hierarki dari Pimpinan Majelis sampai ke bawah, telah terlihat semakin realistis.

Walaupun generasi baru telah terlihat banyak yang muncul dalam era ini akan tetapi bukan berarti bahwa peran generasi pendahulu telah lenyap, akan tetapi dalam hal inilah terjadi perpaduan antara ide-ide yang dibawa oleh wajah baru disatukan dengan pendapat yang lenih berpengalaman sehingga terciptalah gagasan yang dapat diterima oleh kedua pihak.

Wajah-wajah baru yang masih enerjik yeng memiliki potensi yang tinggi serta kemampuan yang dapat diandalkan, adalah suatu modal penting di dalam perjalanan kehidupan Gereja. Tenaga-tenaga baru tersebut tinggal bagaimana

(47)

41

dipersiapkan dan diarahkan agar program yang dijalankan tidak hanya berupa idealisme saja melainkan bener-benar realistis dan sistematis.

(48)

42

BAB III

PERKEMBANGAN JEMAAT PADA GEREJA BATAK KARO PROTESTAN JALAN JAMIN GINTING KM.7

PADANG BULAN MEDAN

Pada bab ini akan dilihat bagaimana perkembangan jemaat GBKP Km.7 yang dulunya hanya 2 (dua) sektor dan sekarang menjadi 26 sektor, dan setiap sektor telah ada Pengurus Moria. Moria tetap mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan gereja yang diprogramkan Runggun, Klasis Medan Delitua maupun kegiatan Moria Pusat.

3.1 Deskripsi Jemaat

Penggunaan istilah jemaat umum digunakan di kalangan gereja. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jemaat adalah segolongan masyarakat Kristen. Dapat disumpulkan, jemaat adalah orang yang melaksanakan ibadah/ kebaktian. Kata “Jemaat” adalah kata serapan dari bahasa Arab. Kata yang sinonim dengannya adalah ‘Gereja’ yang berasal dari bahasa Portugis ‘igreja’, yaitu kata yang diserap dari para misionaris Portugis.

Karena itu jika berbicara tentang Jemaat tidak ada seorangpun yang perlu merasa sombong dan memperkenalkan diri sebagai pendiri jemaat. Jemaat adalah persekutuan orang percaya yg dipanggil keluar oleh Allah bukan oleh orang-seorang secara pribadi. Persekutuan orang percaya yang terpanggil ini bertumbuh,

(49)

43

hidup dan berkembang oleh kasih Yesaus Kristus dan oleh kuasa Rohkudus, dan oleh pertumbuhan ini mereka menyaksikan kasih Allah melalui Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian yg kita kenal sebagai Tri Panggilan Gereja.

Dalam persekutuan (Koinonia) semuanya mendapat bagian dalam keselamatan yang dianugerahkan Allah dalam Kristus, yaitu keselamatan untuk semua manusia. Dengan demikian persekutuan tersebut tidak boleh menutup diri tetapi harus terbuka bagi semua orang. Melalui Kesaksiannya jemaat terpanggil untuk membagikan keselamatan yg telah mereka terima sebagai anugerah dari Kristus kepada oramg lain. Pembagian anugrah ini disampaikan melalui pemberitaan/ Kesaksian (Marturia). Isi kesaksian ini merupakan penggenapan janji Allah dalam Kristus kepada semua orang percaya. Jadi jelas, jemaat terpanggil untuk mengabarkan Injil Kristus yg berisi Kabar Keselamatan (Kabar Baik) melalui Tri Panggilan Gereja.

3.2 Perkembangan Jemaat GBKP Km.7 Padang Bulan Medan

Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Km.7 Padang Bulan Medan merupakan salah satu gereja yang berkembang pesat di Indonesia, dapat dilihat dari jumlah jemaat. Dari awal terbentuknya gereja ini, dapat dilihat jumpah jemaatnya yang terus bertambah. GBKP merupakan salah satu gereja etnis yang didominasi oleh masyarakat Karo.

(50)

44

3.2.1 Perkembangan Jemaat Pada Tahun 1970-1980

Perjalanan Jemaat pada tahun 1970 hingga 1980, merupakan pembenahan bagi umat GBKP Km.7 Padang Bulan Medan yang baru terlepas dari Majelis GNKP Km.8 serta baru mendapat Keputusan Sidang Klasis menjadi suatu Majelis yang telah diakui. Pembenahan maksudnya adalah adanya perubahan secara struktural yang jelas di dalam pembagian tugas, dan pengelolaan keuangan sesuai dengan Tata Gereja di dalam kebaktian, Tata Ibadah yang lebih memfokuskan kedekatan Jemaat dengan Tuhan, sidang-sidang yang lebih sistematis menurut keperluan Gereja dan umatnya dan sebagainya. Pada tahun ini juga perpulungen-perpulungen yang selama ini di bawah binaan Majelis GBKP Km.7 Padang Bulan Medan, dilepaskan satu demi satu agar menjadi perpulungen yang mandiri. Keputusan dari pusat secara perlahan-lahan mulai dijalankan dan disosialisasikan kepada jemaat, untuk meningkatkan mutu pelayanan bagi Pejabat-Pejabat Gereja, contohnya seperti mensosialisasikan mengenai Kerja Rani, Sehna Berita Simeriah man Kalak Karo, Minggu Zeding, Minggu Penjayon dan lain-lain.

Struktur Organisasi Kepemimpinan di Majelis GBKP Km.7 telah semakin nyata fungsinya pada setiap personalianya, ditambah dengan tenaga fulltimer Pendeta GM.Tamamilang, sebagai pelayan untuk Perpulungen, sehingga memberikan peluang yang lebih luas untuk memberitakan kabar baik.

Perkembangan ditengah-tengah persekutuan juga diikuti oleh Moria, yang turut mengadaptasikan diri melihat perlunya perubahan yang dilakukan untuk kelancaran organisasi. Setelah pengesahan Perpulungen GBKP Km.7 menjadi satu runggun dan juga telah disempurnakannya Pengurus Harian BP Majelis GBKP

(51)

45

Km.7 Padang Bulan Medan, maka Organisasi Moria juga mengalami perubahan di bidang personalia, karena terbentuk Pengurus Moria Anak Cabang dan Moria Ranting.

Dalam pelayanan Kebaktian Sekolah Minggu/ Remaja belum ada struktur kepengurusan yang dibentuk, karena kegiatan buat Anak Sekolah Minggu dan Remaja hanya berfokus pada kebaktian saja, jarang ada Rekreasi ataupun kegiatan lain. Kepengurusan dalam Kebaktian Sekolah Minggu dan Remaja baru mulai terbentuk pada tahun 1977.

Mengenai kepengurusan Permata Majelis GBKP Km.7 yang dinamain Permata Bethlehem, tidak banyak yang diketahui siapa-siapa yang duduk di masa tahun 1973 sampai 1976, mengingat data dan informasi yang tidak lengkap, akan tetapi dilihat dari personel yang ada pada saat itu ada beberapa tokoh yang dianggap berperan dalam kepengurusan Permata Bethlehem seperti : Seribima Depari, Sahabat Surbakti, Budi Petrus Surbakti, Mardin Ginting, Stasiun Tarigan, Krisman Depari Johani Br. Barus, Johana Br. Barus, Telah Bangun, Usman Sembiring, Sejahtera Sinulingga, Bahagia Bangun dan lain-lain. Pada tahun 1970 hingga 1976, mereka berperan dalam setiap kegiatan Permata Bethlehem yaitu dalam Perayaan Natal, Paskah, Porseni dan sebagainya.

Dalam hal Guru Sekolah Minggu yang melayani Kabaktian Anak dan Remaja diawal tahun 1977, bisa dikatakan agak memprihatinkan, karena Guru yang melayani pada waktu itu hanya 4 (empat) orang saja. Untuk itu, Guru Sekolah Minggu yang ada pada waktu itu berusaha mencari jalan, bagaimana

(52)

46

menyempurnakan pelayanannya. Maka diambillah mufakat, dengan berkonsultasi berama Pimpinan Majelis untuk melaksanakan pemilihan Guru Sekolah Minggu dari Permata yang merasa terpanggil untuk melayani di lembaga ini.

3.2.2 Perkembangan Jemaat Pada Tahun 1980-1990

Pada periode ini GBKP Km.7 banyak membantu Gereja-Gereja GBKP diluar GBKP Km.7, baik dari segi Pembangunan fisik maupun dari segi Pengumpulan Dana berupa lelang-lelang, pengedaran struk undangan berupa sumbangan yang diperuntukkan bagi kemajuan Gereja. Keadaan ini dapat diketahui dari beberapa gambaran secara nyata yang telah terwujud seperti ikut serta dalam pengumpulan dana dan pembangunan beberapa gereja.

Semasa periode ini BP Majelis GBKP Km.7 memiliki beberapa catatan : 1. Perpulungen jabu-jabu yang selama ini hanya ada 5 (lima) sektor menjadi

6 (enam) sektor, yaitu :

A. Daerah (I) termasuk : Sempakata, Pasar Mbiring, Sektor Rabu B. Daerah (II) termasuk : Pasar VII, Mesin, Pasar V &VII

2. Dimulainya Pekan Doa

3. Mulai dilaksanakan pengutipan ‘Kerja Rani’ di jemaat GBKP Km.7. Masih memfokuskan sosialisasi pada jemaat.

4. Iuran kepada jemaat sudah semakin diintensifkan pengutipannya, memngingat iuran kepada jemaat ini lebih awal dikutip dibandingkan dengan kutipan-kutipan lainnya.

Referensi

Dokumen terkait