• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGOBATAN DINI ANAK ATOPI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGOBATAN DINI ANAK ATOPI"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENGOBATAN DINI ANAK ATOPI Pendahuluan

Laporan tentang peningkatan prevalens penyakit alergi telah bermunculan dan seluruh penjuru dunia dengan berbagai masalah yang menyertainya. Untuk mengatasi masalah ini telah dipikirkan bahwa perbaikan lingkungan akan dapat mengubah kecenderungan peningkatan kejadian penyakit alergi tersebut.

Konsep patogenesis alergi yang dianut saat mi adalah bahwa penyakit alergi barn dapat timbul pada individu yang mempunyai predisposisi genetik atopi bila telah terpajan pada alergen. Dengan demikian maka faktor lingkungan menjadi faktor penentu untuk inisiasi sensitisasi alergi, serta berperan menjadi pemacu perkembangan alergi dan dapat menjadi pemicu timbulnya gejala klinis serta derajat berat penyakit alergi.

Selain itu perlu pula diidentifikasi berbagai faktor risiko pada bayi dan anak yang dapat merijadi petanda perkembangan penyakit alergi. Dengan mengetahui faktor risiko tersebut maka perkembangan penyakit alergi pada anak diharapkan akan dapat diubah dan dicegah melalui upaya perbaikan lingkungan dan pengobatan pencegahan.

Peran faktor atopi Atopi

Seperti telah disebutkan semula maka peran faktor bawaan terlihat dan kecenderungan seorang anak untuk mendapat pe-nyakit alergi yang tergantung dan riwayat atopi dalam keluarga dan riwayat atopi penderita sebelumnya. Seorang anak yang mempunyai salah satu orang tua atopi akan mempunyai kemungkinan 25% untuk mendapat penyakit alergi, dan bila kedua orang tua atopi maka kemungkinan tersebut meningkat menjadi 50%. Nilai prediksi dermatitis atopi telah terbukti dengan besarnya nilai dermatitis atopi dalam 3 bulan pertama kehidupan sebagai faktor risiko penyakit alergi saluran napas pada usia 5 tahun. Tercatat sebanyak 50,2% anak dengan kedua orang tua atopi dan dermatitis atopi dini akan memperlihatkan gejala alergi saluran napas pada usia 5 tahun. Bila anak tersebut penderita dermatitis atopi tapi belum menunjukkan gejala mengi maka kemungkinannya untuk mendapat asma adalah sebesar 50% pula. Akan tetapi bila ia menderita dermatitis atopi dan mengi maka kemungkinan tersebut meningkat menjadi 80%. Mekanisme reaksi alergi

Seperti telah kita ketahui, pada dasarnya reaksi alergi sebetulnya merupakan respons imun seseorang terhadap antigen tertentu yang disebut alergen. Reaksi alergi

(2)

mempermudah dan memperkuat reaksi tubuh terhadap alergen tersebut. Faktor lingkungan yang berperan misalnya adalah kelelahan, infeksi berulang terutama infeksi virus di saluran napas, kontak dini dengan alergen, dll. Jadi orang yang mempunyai bakat alergi belum tentu akan menunjukkan reaksi alergi bila tidak dirangsang dan dipacu oleh faktor lingkungan, dan sebaliknya mereka yang sering dirangsang dan kontak dengan faktor lingkungan tersebut tidak akan menjadi alergi bila tidak mempunyai faktor bawaan alergi.

Walaupun bukan pentahapan dengan batas yang jelas pada umumnya mekanisme terjadinya alergi dapat dilihat dan urutan proses sensitisasi (sensitization), percepatan (enhancement, dan pencetusan (trigger). Proses sensitisasi atau inisiasi adalah awal reaksi alergi yang merupakan pengenalan sistem imun terhadap alergen. Bila orang tersebut mempunyai bakat alergi maka sistem imun akan membentuk antibodi IgE yang merupakan mediator reaksi hipersensitivitas tipe I. Proses sensitisasi umumnya terjadi pada masa bayi, atau bahkan pada masa janin dalam kandungan ibu. Zat atau bahan yang biasanya dapat menimbulkan sensitisasi ini adalah makanan alergenik (makanan yang secara umum dikenal sangat potensial menimbulkan reaksi alergi seperti misalnya ikan laut), rokok, obat tertentu, polusi udara, dan faktor lingkungan lain. Sensitisasi dapat saja teijadi oleh alergen lain yang kelak bukan merupakan alergen pencetus reaksi alergi pada orang tersebut.

Pada proses pernacuan maka respons irnun akan lebih diaktifkan lagi oleh faktor pemacu sehingga IgE spesifik makin banyak dan mudah terbentuk. Individu tersebut makin sensitif sehingga sewaktu-waktu dapat terpicu untuk menimbulkan reaksi alergi. Faktor pemacu yang sudah angat dikenal antara lain adalah berbagai alergen yang sering diperoleh pada masa bayi dan balita eperti misalnya susu sapi, telur, kacang-kacangan, makanan laut, asap rokok, obat nyamuk, infeksi virus, dan faktor lingkungan lain. Sebagian besar faktor pemacu ini kelak akan menjadi alergen Dencetus reaksi alergi pada anak tersebut.

Proses berikutnya adalah timbulnya reaksi alergi oleh faktor pencetus atau pemicu reaksi alergi. Pada seseorang yang sudah tersensitisasi dan sering dipacu oleh berbagai faktor tadi maka ada suatu saat akan terjadi respons imun yang berlebihan dan kita kenal sebagai reaksi hipersensitivitas. Reaksi ini bersifat berlebihan karena IgE spesifik yang terbentuk dalam tubuh udah sangat tinggi dan sangat mudah diproduksi kembali oleh sistem imun. Demikian pula halnya dengan berhagai organ tubuh sudah sangat peka oleh proses sensitisasi dan pemacuan sehingga sewaktu-waktu dapat terjadi reaksi hiperreaktivitas yang dapat menimbulkan berbagai gejala Denyakit alergi. Faktor pemicu atau pencetus ini biasanya bersifat sangat spesifik berupa alergen pencetus, faktor fisik, atau faktor emosi.

(3)

Perjalanan penyakit alergi

Reaksi alergi, apalagi yang teijadi berulang, dapat menimbulkan kerusakan jaringan serta gangguan fungsi organ yang secara kllnis kita kenal sebagai penyakit alergi. Penyakit alergi iasanya terjadi pada beberapa organ sekaligus, walaupun dapat saja terjadi pada organ tertentu saja seperti misalnya erupsi obat fikstum yang merupakan reaksi kulit setempat akibat alergi terhadap obat. Gejala yang timbul tergantung dan organ tubuh yang terlibat, yaitu gejala pada saluran cerna, saluran napas, kulit, darah, sistem saraf, urogenital, sistem kardiovaskular, pendengaran, mata, muskuloskeletal, gejala sistemik, dan lain-lain.

Sebetulnya tidak begitu mudah untuk mengetahui apakah reaksi alergi yang pernah terdeteksi pada seorang anak kemudian hari kelak akan berkembang menjadi penyakit alergi. Oleh karena itu perkiraan akan terjadinya penyakit alergi pada anak sangat penting diketahui agar tindakan pencegahan dapat dilakukan lebih terarah. Beherapa indikator terhadap kernungkinan perkembangan penyakit alergi yang telah diidentifikasi oleh berbagai peneliti antara lain adalah riwayat atopi dalam keluarga, kadar IgE total darah tali pusat bayi baru lahir, kadar IgE total bayi yang lebih besar, riwayat dermatitis atopi infantil, kadar protein kationik eosinofil (ECP) dalam darah dan sekret hidung, serta pola respons sitokin pada bayi.

Menilik dari perjalanan penyakitnya maka pada anak dapat kita perhatikan bahwa biasanya gejala penyakit alergi pada awalnya akan timbul pada saluran cerna semasa bayi, kemudian pada awalnya pada bayi yang lebih besar atau anak usia satu-dua tahun, dan akhirnya pada saluran napas pada anak yang lebih besar. Berdasarkan hal inilah maka dipikirkan apakah mungkin untuk mencegah suatu penyákit alergi pada tahap awal peralanan penyakit alergi tersebut, misalnya enccgah terjadinva asma bronkial pada saat baru timbul penyakit alergi pada kulit.

Pencegahan penyakit alergi

Seperti telah kita ketahui maka atopi merupakan faktor terpenting untuk terjadinya alergi. Akan tetapi sampai sejauh ini faktor tersebut masih belum dapat kita manipulasi sehingga upaya pencegahan penyakit alergi dilakukan dengan manipulasi lingkungan serta pengobatan pencegahan.

Perbaikan Iingkungan

Walaupun patogenesis alergi sebetulnya masih belum jelas benar tetapi para peneliti umumnya sepakat bahwa perkembangan penyakit alergi dapat diubah atau dihambat dengan perbaikan lingkungan. Bebenapa tindakan terpenting yang dapat dilakukan untuk

(4)

- lingkungan bebas asap rokok

- diet hipoalergenik bagi bayi dan ibu menyusui

- mengurangi pajanan alergen, terutama terhadap serpihan kulit hewan, tungau debu rumah, kecoa, dan jamur.

Pada dasarnya setiap daerah dan wilayah mempuiyai sifat geografis, iklim, dan budaya tersendiri, serta alergen pencetus yang berbeda pula. Oleh karena itu upaya perbaikan lingkungan ini mempunyai nuansa berbeda untuk setiap wilayah yang sebaiknya dipahami dengan baik untuk melakukan manipulasi lingkungan.

Pengobatan pencegahan

Upaya pengobatan pencegahan telah banyak dilakukan rnelalui serangkaian penelitian yang terkadang tidak menunjukkan hasil yang konsisten. Pada umumnya pengobatan pencegahan ini dilakukan untuk penderita yang telah menunjukkan gejala penyakit alergi menetap, misalnya pengobatan pencegahan untuk asma bronkial. Obat yang dipakai biasanya mempunyai efek stabilisasi sel mast untuk menghambat reaksi hipersensitivitas tipe I, atau dengan imunoterapi desensitisasi. Belakangan ini telãh dilaporkan pula modus pengohatan pencegahan yang dilakukan melalui pengobatan dini anak atopi untuk mencegah tirnbulnya asma bronkial pada penderita dermatitis atopi.

Pengobatan Dini

Pengohatan dini anak atopi mempunyai konsep dasar bahwa. manifestasi klinis asma kemungkinan dapat dicegah atau dihentikan dengan intervensi medis sebelum penyakit tersebut muncul. Atau paling tidak dapat memperpanjang onset timbulnya asma dan meminimalkan gejala asma yang akan timbul. Dengan pertimbangan ini maka sasaran untuk pengobatan pencegahan tersebut adalah anak dengan gejala dermatitis atopi yang belum menunjukkan gejala mengi.

Sehubungan dengan itu maka suatu penelitian multisenter-multinasional ETAC (Early treatment of the atopic child) telah dilakukan untuk melihat apakah pemberian setirizin pada penderita dermatitis atopI dengan riwayat atopi k.eluarga, dapat menurunkan insidens asma secara bermakna. Setirizin berperan sebagai obat untuk menyembuhkan dan menghentikan intlamasi penyakit alergi, yang bila tidak dihambat akan dapat berkembang menjadi asma.

Penelitian ini adalah uji klinis buta ganda secara acak dengan kontrol plasebo yang dilakukan di 56 senter penelitian 13 negara Eropa dan Kanada. Subjek penelitian adalah 817 anak usia 12-24 bulan penderita dermatitis atopi dengan riwayat atopi keluarga, yang mendapat setirizin atau plasebo. Pemeriksaan fisis dan laboratorium dilakukan secara

(5)

berkala, termasuk pemeriksaan 1gB total dan IgE spesifik terhadap serbuk bunga (grass pollen), tungau debu rurnah, hulu kucing, susu sapi, dan telur.

Indikator klinis atopi adalah gejala dermatitis atopi menurut SCORAD (scoring atopic dermatitis), Sedangkan secara laboratoriurn kriteria atopi ditetapkan dengan peningkatan 1gB total atau adanya IgE spesifik terhadap salah satu alergen yang diperiksa.

Semua anak yang masuk dalam penelitian ini mendérita dermatitis atopi paling sedikit satu hulan sebelum seleksi dengan riwayat penyakit atopi (dermatitis atopi, rinitis alergi, atau asma) pada ibu, ayah, atau saudara kandung, serta tidak pernah menderita mengi atau paling banyak mengalami satu kali episod batuk malam yang berhuhungan dengan asma sejak usia 6 bulan. Analisis data dasar laboratorium menunjukkan bahwa lebih dan 60% peserta penelitian secara imunoreaktivitas adalah atopi. Semua subjek penelitian paling sedikit terpajan pada satu faktor risiko alergi, dan kebanyakan lebih dan satu faktor alergi. Faktor risiko alergi tersering yang tercatat antara lain adalah polusi udara, asap rokok, karpet di kamar tidur, dan kucing.

Parameter utama yang dinilai pada penelitian mi adalah onset asma pada kelompok setirizindan kontrol, yang ditandai dengan timbulnya tiga episod terpisah mengi atau batuk malam dengan gangguan tidur selama tiga hari berturut-turut. Selain itu dinilai pula pengaruh setirizin terhadap perjalanan penyakit dermatitis atopi.

Setirizin peroral diberikan dengan dosis 0,25- mg/kgBB dua kali sehari selama 18 bulan. Penilaian dilakukan terhadap 795 anak yang layak untuk uji statistic terdiri dari 398 anak yang mendapat setirizin (246 lelaki, 152 perempuan) dan 397 anak yang mendapat plasebo (248 laki, 149 perempuan). Semua pemakaian obat lain yang diberikan pada pasien dicatat, demikian juga reaksi simpang obat yang terjadi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian yang mendapat plaseho dan pada awal penelitian menunjukkan pcninggian IgE total dan IgE spesifik terhadap serbuk bunga, tungau debu umah, atau bulu kucing menunjukkan peningkatan risiko relatif bagi timbulnya asma. Ini berarti bahwa kelompok anak tersebut berisiko tinggi untuk timhulnya asma. Pembenian setirizin selama 5 bulan pada kelompok yang pada awal penelitian menunjukkan peningkatan IgE total dan TgE spesifik terhadap serbuk bunga atau tungau debu rumah, akan menurunkan risiko relatif bagi timbulnya asma dibandingkan dengan kelompok serupa yang mendapat plasebo. Selain itu maka probabilitas terhadap timbulnya asma menunjukkan penurunan 50% pada kelompok tersebut.

Derajat berat dermatitis atopi pada kedua kelompok setirizin dan plasebo tidak menunjukkan perbedaan perubahan klinis yang berarti, tetapi pemakaian antihistamin lain lebih sening digunakan ada kelompok plasebo, dan lama pemakaian kortikosteroid pada

(6)

Data penelitian ini menunjukkan bahwa peninggian kadar IgE total merupakan prediksi terhadap kejadian asma kelak demikian pula halnya dengan sensitisasi terhadap tungau dehu rumah atau bulu kucing merupakan prediktor asma pula. Sedangkan sensitisasi oleh serbuk bunga merupakan prediktor kuat asma yang akan timbul.

Dari laporan awal penelitian ETAC tersebut dapat disimpuikan pula bahwa penggunaan etirizin jangka panjang akan memperkecil kemungkinan berkembangnya asma pada pendenita iermatitis atopi pada kelompok anak yang telah tersensitisasi oleh serbuk bunga dan tungau debu rumah. Selain itu penggunaan setirizin langka panjang dapat membatasi kekerapan dan lama pemberian kortikosteroid untuk dermatitis atopi pada anak. Ringkasan

Reaksi alergi dapat tinibul pada individu atopi yang telah terpajan pada alergen. Pajanan alergen merupakan faktor lingku-ngan yang menjadi faktor penentu untuk sensitisasi, pemacu, dan pemicu gejala klini serta derajat berat penyakit alergi. Perjalanan penyakit alergi anak bermula dengan timbulnya gejala klinis pada saluran cerna semasa bayi, kemudian pada kulit untuk bayi yang lebih besar atau anak, dan pada saluran napas untuk anak yang Iebih besar.

Beberapa indikator terhadap kemungkinan perkembangan penyakit alergi anak yang tclah diidentifikasi amara lain adalab riwa at atopi dalam keluarga, kadar IgE total darah tali pusat bayi baru lahir, kadar IgE total bayi yang Iebih besar, riwayat dermatitis atopi infantil, kadar protein kationik eosinofil (ECP) dalam darab dan sekret hidung, dan respons sitokin pada bayi.

Perkembangan penyakit alergi pada anak diharapkan akan dapat diubah dan dicegah melalui upaya perbaikan lingkungan dan pengobatan pencegahan. Walaupun setiap wilayah mempunyai sifat karakterisiik tersendiri, dapat dilakukan berhagai manipulasi lingkungan untuk tujuan tersehut misalnya dengan menjaga lingkungan hebas asap rokok, mengatur diet hipoalergenik bagi bayi dan ibu menyusui, serta mengurangi pajanan terhadap alergen penting seperti serpihan kulit hewan, tungau dehu rumah, kecoa, dan jamur.

Upaya pengobatan pencegahan yang umumnya ditujukan untuk penderita dengan gejala penyakit alergi menetap, misalnya asma bronkial. telah banyak dilakukan dan terkadang tidak menunjukkan basil konsisten. Hasil sementara penelitian ETAC melaiui pengobatan dini anak atopi menunjukkan harapan untuk pencegahan perjalanan penyakit alergi. Pemberian setirizin jangka panjang akan memperkecil kemungkinan berkernbangnya asma pada penderita dermatitis atopi yang telah tersensitisasi oleh serbuk bunga dan tungau debu rumah.

(7)

Kepustakaan

• Holt PG, Macaubas C. Development of long term tolerance versus sensitisation to environmental allergens during the perinatal period. Curr Opin Immunol 1997 9:782-7.

• Wahn U. Allergic factors associated with the development of asthma and the influence of cetirizine in a double-blind, randomised, placebo-controlled trial: first results of ETAC. Pediatr Allergy Immunol 1998; 9:116-24.

• Spahn ID, Szefler SJ. Pharmacologic management of pediatric asthma. Immunol Allergy Clin N Am 1998: 18:165-81,

• Gem JE, Lemanske Jr. RF. Pediatric allergy. Can it be prevented? immunol Allergy Clin N Am 1999; 19:233-52,

• Heinly TL, Blaiss MS. Genetics of atopic diseases. Immunol Allergy Clin N Am 1999; 19:29 1-308.

Referensi

Dokumen terkait

28 Kementrian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya (Jakarta: PT.. Bagaimana ia akan dapat menganjurkan dan mendidik anak untuk berbakti kepada Tuhan kalau ia sendiri

Iklim di Pulau Moyo umumnya beriklim tropis, Curah hujan antara 1250 mm/th di daerah rendah dan 1500-2000 mm/th di daerah dataran tinggi. Jenis tanah Regosol

Selanjutnya pada uji koagulasi, larutan kuning telur, putih telur dan ikan giling ditambahkan larutan asam asetat yang kemudian dipanaskan sehingga dapat menghasilkan

Bidhumas bertugas menyelenggarakan fungsi hubungan masyarakat antara Instansi Kepolisian Daerah melalui pengumpulan, pengelolaan hingga penyampaian pemberitaan dan

memiliki hubungan yang signifikan dengan perceived classroom goals structure dan dari hasil multiple regression analysis didapatkan bahwa tipe persepsi classroom

Sinopsis Obstetri; obstetri fisiologi, obstetri patologi edisi ke

Hasil dari usulan perancangan terhadap fasilitas permainan tersebut telah memenuhi kaidah-kaidah ergonomi dimana dimensi produknya telah disesuaikan dengan data antropometri