• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KELAS JALAN DENGAN KECENDERUNGAN INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KOTA BOGOR TOPAN LISTIAWAN A

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN KELAS JALAN DENGAN KECENDERUNGAN INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KOTA BOGOR TOPAN LISTIAWAN A"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

TOPAN LISTIAWAN A14052982

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor. Di bawah bimbingan ERNAN RUSTIADI dan DIAR SHIDDIQ.

Peningkatan jumlah penduduk dan pembangunan yang cukup pesat menyebabkan kebutuhan akan ruang di Kota Bogor meningkat, peningkatan tersebut berdampak pada keragaman aktivitas dan penggunaan lahan terutama untuk ruang terbangun di masa depan. Beberapa bentuk penggunaan lahan dan beberapa bentuk inkonsistensi penggunaan lahan dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di sepanjang jalan-jalan utama berpengaruh terhadap meningkatnya bangkitan lalu lintas dan beban yang ditanggung oleh jalan-jalan utama di Kota Bogor. Untuk mendukung upaya-upaya mengatasi permasalahan yang ada terkait dengan penyimpangan penggunaan lahan yang terjadi diperlukan adanya informasi-informasi penyimpangan tata ruang, terutama penyimpangan peruntukan lahan di sepanjang jalan utama Kota Bogor dimana pada umumnya wilayah ruang terbangun di Kota Bogor berkembang secara linier mengikuti pola jaringan jalan utama yang ada.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan Kota Bogor tahun 2003 dan 2007, mengidentifikasi inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007, mengidentifikasi inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan utama Kota Bogor tahun 2003 dan 2007, serta menganalisis pengaruh faktor kelas jalan dan faktor-faktor lainnya terhadap inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan utama Kota Bogor. Penelitian dilakukan di Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di P4W LPPM Kampus IPB Baranangsiang.

Penggunaan/penutupan lahan di Kota Bogor dari tahun 2003 sampai tahun 2007 mengalami perubahan yang cenderung bergeser ke arah ruang terbangun dengan peningkatan sebesar 10,34 % atau 1.167 Ha dari tahun 2003 hingga 2007 yang disertai dengan terjadinya inkonsistensi dengan rencana tata ruang yang ada. Pada tahun 2003 jenis inkonsistensi yang paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain sebesar 124 Ha atau 67,50% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau dan pada tahun 2007 sebesar 148 Ha atau 80,37% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau (184 Ha).

Di area buffer 200 m di sepanjang jalan utama pada tahun 2003 jenis inkonsistensi yang paling besar terjadi pada taman/lapangan olahraga/jalur hijau menjadi bentuk penggunaan lahan lain sebesar 20 Ha atau 15,12% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau di sepanjang buffer 200 m jalan utama dan menjadi 30 Ha atau 23,04% dari total luas peruntukan taman/lapangan olahraga/jalur hijau di sepanjang buffer 200m jalan utama pada tahun 2007.

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi luas inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan utama Kota Bogor diantaranya adalah faktor kedekatan ke jalan kolektor sekunder dan terminal utama namun memiliki jarak lebih jauh ke jalan arteri primer, arteri sekunder, jalan kolektor primer, dan ke stasiun KA. Luasnya inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah

(3)
(4)

TOPAN LISTIAWAN. The Relationship Between Road Types with Spatial Planning Inconsistency Trends in Bogor Municipality. Under Supervision of ERNAN RUSTIADI and DIAR SHIDDIQ.

Rapid development and increasing population led to the need for space in Bogor Municipality. The increase will impact on the diversity of activities and land uses, especially for the built up area. Various land use types, land use changes and inconsistencies of land use to Regional Spatial Plan (RTRW) impact on increasing rise of traffic and street load in the Bogor Municipality. In attempt to support efforts to overcome existing problems related to those issues, spatial information system to monitor the inconsistencies are required, especially the inconsistencies in areas along the main roads in Bogor Municipality. The spatial distribution pattern of built-up areas in the Bogor Municipality tend to grow linearly follow the main road structure.

The aims of this study were namely, to identify changes in land use/land cover of Bogor Municipality in 2003 and 2007, to identify land use inconsistencies of the Bogor Municipality in 2003 and 2007, to identify land use inconsistencies along the main road of Bogor Municipality in 2003 and 2007, and to analyzes the influence of road types and other factors along the main road. The research is conducted at Division of Regional Development Planning, Department of Soil and Land Resource, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University and at Center for Regional Systems Analysis, Development and Planning (CrestPent/P4W) of Bogor Agricultural University.

Land use changes in Bogor Municipality from 2003 until the 2007 have dominated by conversion into built up areas with an increase of 10.34% or 1167 Ha from 2003 to 2007. In 2003 the widest land use inconsistencies was occured in greenery/sport promotion areas which consist of 124 Ha or 67.50% of the total area of greenery/sport promotion areas and in 2007 was 140 Ha or 76.33% of the total area of of greenery/sport promotion areas (184 Ha).

In 2003, within 200 m buffer areas along the main road, the widest inconsistencies occured in greenery/sport areas promoted areas, covering about 20 Ha or 15.12% of the planning areas. In 2007, the inconsistencies were increased, covering 30 Ha or 23.04% of greenery/sport areas promoted areas.

Factors that significantly influence the spatial planing inconsistencies into built up area along the main roads were distances of locations to primary and secondary artery roads, to primary and secondary collector roads, to the railway station and main bus terminals, and proportion of commercial services and built up areas of total of village area.

(5)

TOPAN LISTIAWAN A14052982

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Nama Mahasiswa : Topan Listiawan Nomor Pokok : A14052982

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Ir. Diar Shiddiq NIP.19651011 199002 1002

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. NIP. 1962113 198703 1003

(7)

Tengah pada tanggal 6 Agustus 1987. Penulis adalah putra tunggal dari pasangan Said Bastian dan Rini Arifiani.

Penulis mengawali pendidikan formal di Tk Pertiwi Kab. Pati, SD Negeri Pati Kidul 02 pada tahun 1993, kemudian pindah di SD Negeri Pati Lor 04 pada tahun 1998 dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SLTP Negeri 3 Pati dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2002.

Penulis melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 1 Pati dan menyelesaikan pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Program SPMB di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi Mahasiswa penulis aktif menjadi pengurus pada Organisasi Mahasiswa Daerah Pati mulai tahun 2005 hingga 2009, aktif dalam setiap kegiatan Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan dan juga setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh P4W LPPM IPB. Dalam kegiatan akademik, penulis pernah berkesempatan menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Perencanaan Tata Ruang dan Penatagunaan Lahan pada tahun 2009.

(8)

melimpahkan rahmat, karunia serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul ”Hubungan Kelas Jalan dengan Kecenderungan Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku dosen pembimbing I dan Bapak Ir. Diar Shiddiq selaku dosen pembimbing II, atas segala bimbingan, kesabaran dan pengarahan yang diberikan kepada penulis.

2. P4W LPPM IPB yang telah sangat banyak membantu dan memfasilitasi proses penelitian sampai akhir penelitian.

3. Dinas Perhubungan dan PT Bina Marga, Kota Bogor yang banyak memberikan dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis.

4. Ayah, dan Ibu tercinta atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.

5. Dosen dan staf Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Wilayah terutama Mbak Dian dan Mbak Emma yang banyak membantu selama penulis melaksanakan penelitian.

6. Teman-teman program studi Ilmu Tanah angkatan 42, teman-teman di Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah dan semua mahasiswa MSL yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas dukungan semangat dan kerjasamanya selama menempuh kuliah di Fakultas Pertanian IPB.

7. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat-Nya dan membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis.

(9)

memerlukannya.

Bogor, April 2010

(10)

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang ... 5

2.2. Permasalahan Tata Ruang ... 6

2.3. Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang ... 7

2.4. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan ... 7

2.5. Konsep Dasar Ekonomi lahan ... 9

2.6. Sistem Transportasi, Jalan dan Tata Guna Lahan ... 9

2.7. Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 12

2.8. Penginderaan Jauh, Citra SPOT dan Ikonos ... 13

2.9. Konsep Buffering... 14

III. METODOLOGI ... 15

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 15

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 15

3.3. Metode Penelitian ... 16

3.3.1. Pengumpulan Data ... 16

3.3.2. Pengolahan Data Peta dan Citra ... 16

3.3.3. Pengecekan Lapang ... 18

3.4. Teknik Analisis ... 20

3.4.1. Analisis Spasial ... 20

3.4.2. Penentuan Perhitungan Jarak dari Centroid Poligon (x0,y0) ke berbagai lokasi n (D01n) ... 21

3.4.3. Analisis Regresi Berganda dengan Metode Forward Stepwise .. 21

IV. KEADAAN UMUM LOKASI STUDI ... 26

4.1. Batas Administrasi ... 26

4.2. Kondisi Fisik ... 26

(11)

4.6. Penggunaan Lahan di Kota Bogor ... 29 4.6.1. Permukiman ... 29 4.6.2. Pertanian ... 29 4.6.3. Perkantoran ... 30 4.6.4. Perdagangan ... 30 4.6.5. Industri ... 30 4.7. Keadaan Perekonomian ... 31

4.8. Transportasi Kota Bogor (Jaringan Jalan) ... 31

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

5.1. Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor ... 34

5.2. Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor ... 40

5.3. Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor ... 42

5.4. Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor ... 49

5.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Arteri Primer dan Arteri Sekunder ke Arah Ruang Terbangun ... 55

5.6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Primer ke Arah Ruang Terbangun ... 56

5.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi di Sepanjang Jalan Kolektor Sekunder ke Arah Ruang Terbangun ... 58

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

6.1. Kesimpulan... 61

6.2. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(12)

1. Bahan Penelitian ... 15 2. Alat Penelitian ... 16 3. Klasifikasi Generik ... 18 4. Matrik Logik Inkonsistensi RTRW dan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun

2003 ... 23 5. Matrik Logik Inkonsistensi RTRW dan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun

2007 ... 24 6. Variabel independen yang digunakan pada analisis regresi berganda dengan

peubah dummy... 25 7. Kepadatan Penduduk Kota Bogor Tahun 2003... 29 8. Klasifikasi hirarki jalan utama berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah

(RTRW) Kota Bogor (revisi) ... 33 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan

2007 ... 34 10. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover di Sepanjang Buffer 200 m

Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 ... 39 11. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun 2003 ... 42 12. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan

Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun 2007 ... 43 13. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan

Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 ... 48 14. Inkonsistensi Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang dan Luas Peruntukan

Tiga Kategori Arahan Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2007 ... 49 15. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang

RTRW di Sepanjang Jalan Arteri Primer dan Arteri Sekunder ke Arah Ruang Terbangun ... 55 16. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang

RTRW di Sepanjang Jalan Kolektor Primer ke Arah Ruang Terbangun ... 57 17. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang

RTRW di Sepanjang Jalan Kolektor Sekunder ke Arah Ruang Terbangun .. 59

(13)

1. Diagram Alir Penelitian ... 19 2. Peta Administrasi Kota Bogor ... 27 3. Peta Hirarki Jalan Utama Kota Bogor. ... 33 4. Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2003 (%) 35 5. Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan Kota Bogor Tahun 2007 (%) 35 6. Perbandingan Proporsi Total Penggunaan Lahan di Kota Bogor Tahun 2003

dan Tahun 2007 (%) ... 36 7. Alih Fungsi Beberapa Pemanfaatan Ruang Tahun 2003 ke Ruang Terbangun

Tahun 2007 ... 37 8. Peta Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 ... 38 9. Peta Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2007 ... 38 10. Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Sepanjang Buffer 200 m

Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 (%) ... 40 11. Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Sepanjang Buffer 200 m

Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2007 (%) ... 40 12. Perbandingan Proporsi Total Penggunaan Lahan di Sepanjang buffer 200 m

Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan Tahun 2007 (%) ... 41 13. Luas Total dan Jenis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kota Bogor Tahun

2003 dan Tahun 2007 (Ha) ... 44 14. Proporsi Pemanfaatan Ruang yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap

Peruntukan Ruang di Kota Bogor Tahun 2003 (%) ... 44 15. Proporsi Pemanfaatan Ruang yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap

Peruntukan Ruang di Kota Bogor Tahun 2007 (%) ... 45 16. Peta RTRW Kota Bogor Periode 1999-2009 ... 46 17. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Tahun 2003 (a) dan 2007

(b) ... 47 18. Luas Total dan Jenis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer

200 m Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 dan Tahun 2007 (Ha) ... 50 19. Proporsi Total Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama

yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap Peruntukan Ruang berdasarkan Jenis Inkonsistensinya di Kota Bogor Tahun 2003 (%) ... 51 20. Proporsi Total Pemanfaatan Ruang di Sepanjang Buffer 200 m Jalan Utama

yang Konsisten dan Inkonsisten terhadap Peruntukan Ruang berdasarkan Jenis Inkonsistensinya di Kota Bogor Tahun 2007 (%) ... 51

(14)
(15)

1. Alih Fungsi Pemanfaatan Ruang ke Arah Ruang Terbangun (a) dan (b), Peruntukan Taman/Lapangan Olahraga/Jalur Hijau (c) dan (d) ... 66 2. Salah Satu Bentuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang ke Arah Ruang

Terbangun ... 67 3. Peruntukan Hutan Kota/Kebun Raya (a), Peruntukan Pertanian/Kebun

Campuran (b) ... 67 4. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 ... 68 5. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2007 ... 68 6. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover di Sepanjang Buffer 200 m

Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2003 ... 69 7. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover di Sepanjang Buffer 200 m

Jalan Utama Kota Bogor Tahun 2007 ... 69 8. Luas dan Proporsi Total Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Tahun

2003 dan 2007 (Proporsi dihitung berdasarkan luas total peruntukan menurut RTRW periode 1999-2009 Kota Bogor) ... 70 9. Luas dan Proporsi Total Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kota Bogor Tahun

2003 dan 2007 (Proporsi dihitung berdasarkan luas total peruntukan menurut RTRW periode 1999-2009 di sepanjang Buffer 200 m jalan utama Kota Bogor) ... 71

(16)

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk dan pembangunan yang cukup pesat merupakan penyebab utama meningkatnya kebutuhan akan ruang di Kota Bogor selama beberapa periode terakhir ini, peningkatan kebutuhan ruang tersebut berdampak pada keragaman aktivitas dan penggunaan lahan terutama untuk ruang terbangun yang meliputi perumahan, permukiman, jasa komersial, industri, pusat pemerintahan dan perdagangan serta jasa di masa depan. Dampak lain dari pesatnya aktivitas pembangunan di Kota Bogor diantaranya tercermin dari berkurangnya lahan pertanian subur di sepanjang jalur transportasi, terjadinya konversi lahan produktif menjadi lahan terbangun serta terjadinya perubahan dalam segi kualitas, kuantitas serta pattern atau pola fisik penggunaan lahan secara keruangan. Pada dasarnya, perubahan yang terjadi ini secara tidak langsung memberikan argumen bahwa salah satu faktor utama yang mempengaruhi terjadinya perubahan pola penggunaan lahan adalah adanya sistem transportasi yang berkembang di kawasan Kota Bogor.

Berdasarkan data yang dihimpun BAPPEDA Kota Bogor untuk periode tahun 1999 - 2009, pola penyebaran daerah terbangun masih terkonsentrasi di pusat Kota Bogor (Kecamatan Bogor Tengah dan sekitarnya), sedangkan daerah pinggiran relatif lebih kecil dari penggunaan lahan terbangun, terutama di Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Barat, dan sebagian kecil di Tanah Sereal dan Bogor Utara. Hal ini terjadi sebagai akibat dari terkonsentrasinya kegiatan ekonomi di pusat-pusat kota sehingga untuk meminimalisasi jarak banyak penduduk Bogor yang juga tinggal di pusat kota, walaupun kondisi perumahannya sudah tidak nyaman dan bersih. Untuk daerah pinggiran maka pola ruangnya adalah bersifat memita (ribbon) terutama pada ruas-ruas jalan utama seperti Jalan Pajajaran, Jalan Raya Tajur dan Jalan Raya Sholeh Iskandar. Hal ini mengakibatkan bangkitan perjalanan di Kota Bogor berpusat pada ruas-ruas jalan tersebut sehingga jalan-jalan tersebut yang seharusnya berfungsi arteri tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Bermacam penggunaan lahan dan pola perubahan penggunaan lahan yang terjadi ini akan semakin berpengaruh terhadap meningkatnya beban yang ditanggung oleh jalan-jalan utama di Kota Bogor.

(17)

Pola penggunaan lahan dari luas wilayah Kota Bogor yang terdistribusi ke dalam ruang terbangun (built up area) ini lebih mendominasi daripada penggunaan lahan lainnya seperti pertanian/kebun campuran dan ruang terbuka hijau (RTH). Menurut data Dinas Permukiman Kota Bogor, pada umumnya wilayah ruang terbangun ini berkembang secara linier mengikuti pola jaringan jalan utama yang ada sehingga pada akhirnya pola jaringan jalan utama yang merupakan simpul prasarana transportasi dapat mempengaruhi perkembangan tata guna lahan dan berpotensi dalam menambah laju tingkat perkembangan wilayah Kota Bogor, dimana kebutuhan akan ruang di sepanjang jalur utama Kota Bogor juga meningkat sehingga menyebabkan terjadinya berbagai konversi lahan dan inkonsistensi pemanfaatan ruang seperti ruang terbuka hijau dan pertanian/kebun campuran yang berubah menjadi ruang terbangun dengan rent yang tinggi, keadaan ini menimbulkan bangkitan lalu lintas yang sangat tinggi di sekitar sempadan jalan utama daripada sebelum terkonversi menjadi ruang terbangun hal ini dapat menyebabkan rendahnya kecepatan perjalanan, panjangnya rata-rata antrian, lamanya waktu perjalanan dan tingginya hambatan lalu lintas, sehingga kemacetan di sepanjang jalan utama Kota Bogor bukan merupakan hal yang baru melihat aktivitas pembangunan di Kota Bogor yang sangat pesat dewasa ini.

Inkonsistensi pemanfaatan ruang yang ada di sepanjang jalan utama yang melintasi Kota Bogor ini merupakan suatu bentuk penyimpangan pemanfaatan ruang dari RTRW yang telah ditetapkan. RTRW yang dibuat seringkali tidak sesuai pemanfaatannya dengan keadaan sebenarnya di lapang. Pembangunan yang cukup pesat di Kota Bogor telah menyebabkan terjadinya perubahan, dinamika pola penggunaan lahan dan inkonsistensi tata ruang yang merupakan ketidaksesuaian antara rencana arahan penataan pemanfaatan ruang menurut RTRW dengan pemanfaatan ruang saat ini. Inkonsistensi RTRW dari perspektif output dapat terlihat dari ketidakkonsistenan antara pemanfaatan ruang eksisting (penggunaan lahan saat ini) dengan RTRW (Rustiadi, 2007).

Perubahan pengunaan lahan dan inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun yang terjadi di sepanjang jalan utama Kota Bogor menyebabkan kesemrawutan ruang dan pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah seperti kemacetan akibat bangkitan lalu lintas yang begitu tinggi. Apabila hal yang terjadi

(18)

ini tidak dikendalikan dan ditindaklanjuti secara cepat dan terpadu maka dikhawatirkan cepat atau lambat Kota Bogor akan menjadi kota yang tidak menarik dan dihindari pengguna jalan serta adanya beban masyarakat Kota Bogor yang dihabiskan pada kebutuhan perjalanan. Karena lokasi dan transportasi merupakan unsur yang sangat mempengaruhi penggunaan lahan, maka bervariasinya jenis penggunaan lahan bila dikaitkan dengan aksesibilitas terhadap suatu lokasi memungkinkan untuk dilakukan analisis pola keterkaitan dengan penggunaan lahan yang ada. Proses penggunaan lahan secara nyata dapat diterangkan oleh faktor-faktor antara lain: karakteristik penduduk, jumlah sarana dan prasarana umum, aksesibilitas lokasi, struktur aktivitas industri dan intervensi kelembagaan pemerintah (Saefulhakim,1994).

Pada akhirnya untuk mendukung upaya-upaya mengatasi permasalahan yang ada terkait dengan penyimpangan penggunaan lahan yang terjadi diperlukan adanya informasi-informasi penyimpangan tata ruang, terutama penyimpangan peruntukan lahan di sepanjang jalur utama Kota Bogor dimana pada umumnya wilayah built up area di Kota Bogor berkembang secara linier mengikuti pola jaringan jalan utama yang ada sehingga menarik untuk diketahui sejauh mana tingkat penyimpangan dan inkonsistensi yang terjadi.

Salah satu cara untuk mengetahui penyimpangan penataan ruang di sepanjang jalur utama Kota Bogor adalah dengan mengidentifikasi inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan di lapang terhadap arahan di dalam rencana tata ruang sebagaimana terdokumentasi di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Untuk itu diperlukan sistem monitoring perubahan pemanfaatan ruang lebih dari satu titik tahun dan evaluasi konsistensi tata ruang yang kemudian dapat digunakan sebagai landasan dalam pengendalian tata ruang wilayah. Monitoring dapat dilakukan dengan memanfaatkan Citra Satelit SPOT 2003 dan Citra Satelit Ikonos 2007, untuk mengetahui pola penggunaan lahan eksisting yang kemudian dianalisis untuk mendeskripsikan inkonsistensi pola ruang di sepanjang jalur utama Kota Bogor dan dapat menentukan faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya penyimpangan arahan penataan ruang di sepanjang jalur utama Kota Bogor.

(19)

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan di Kota Bogor dari tahun 2003 ke tahun 2007;

2. Mengidentifikasi inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kota Bogor tahun 2003 dan 2007;

3. Mengidentifikasi inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan-jalan utama Kota Bogor; dan

4. Menganalisis pengaruh faktor kelas jalan dan faktor-faktor lainnya terhadap inkonsistensi pemanfaatan ruang.

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (Pasal 1 butir 1 UU No. 26/2007). Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak, yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang (UU No. 26 Tahun 2007).

Dalam UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, penataan ruang adalah suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang terencana dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antar lingkungan, tahapan dan pengelolaan pembangunan, serta pembinaan kemampuan kelembagaan dan sumberdaya manusia yang ada dan tersedia, dengan selalu berdasarkan pada kesatuan wilayah nasional dan ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, pemeliharaan lingkungan hidup dan diarahkan untuk mendukung upaya pertahanan keamanan.

Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan 1) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan, 2) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang dan 3) tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang (UU Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007, Pasal 5).

Berdasarkan UU No.26/2007, pengertian penataan ruang tidak terbatas pada dimensi perencanaan tata ruang saja, namun lebih dari itu termasuk dimensi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang, baik untuk wilayah administratif (seperti propinsi, kabupaten dan kota), maupun untuk kawasan fungsional (seperti kawasan perkotaan dan perdesaan); pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan; dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme

(21)

perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya.

Karakteristik penataan ruang terkait erat dengan ekosistem. Oleh karenanya penataan ruang menekankan pendekatan sistem yang tidak dibatasi oleh batas-batas administrasi wilayah, dengan dilandasi oleh 4 (empat) prinsip pokok penataan ruang yakni: (a) holistik dan terpadu, (b) keseimbangan antar kawasan (misal antar kota-desa atau hulu-hilir), (c) keterpaduan penanganan secara lintas sektor dan lintas wilayah administratif, serta (d) pelibatan peran serta masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang (http://www.penataanruang.net/taru/Makalah/SesdirPRPUSDIKLATMakassar.pd f).

2.2. Permasalahan Tata Ruang

Pemberlakuan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR) telah memberikan arti yang cukup besar dalam pembangunan nasional, namun seiring dengan perkembangannya, banyak fakta empiris dan yuridis menunjukkan berbagai permasalahan penataan ruang yang tidak dapat diselesaikan, sehingga dewasa ini berkembang adanya tuntutan pemikiran di tengah masyarakat untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan penataan ruang yang lebih langsung menyentuh hal-hal yang terkait dengan permasalahan kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya menuntut dilakukannya perubahan pengaturan penataan ruang. Beberapa fakta empirik dan yuridis tentang berbagai permasalahan penyelenggaraan tata ruang yang terjadi hingga saat ini, seperti semakin tingginya konversi penggunaan lahan, meningkatnya permasalahan bencana banjir dan longsor, urban sprawl, semakin meningkatnya kemacetan lalu lintas dan perumahan kumuh serta semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau perkotaan, kurang memadainya kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk, dan kurang seimbangnya pembangunan kawasan pedesaan dan perkotaan, masalah keamanan bangsa, posisi geostrategik, konflik perbatasan dan isu-isu keamanan internasional telah menguatkan kehendak seluruh pemangku kepentingan penataan ruang untuk melakukan restorasi penataan ruang (www.penataanruang.net/http:/penataanruang.pu.go.id).

(22)

2.3. Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang

Pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun. Namun demikian, kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat mengakibatkan terjadinya pemanfaatan ruang yang menyimpang dari RTRW. Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktivitas penggunaan ruang dengan RTRW. Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW bertujuan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang yang telah dilakukan sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar/pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuansi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: 1) pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap pengguanaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita, dan 2) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktivitas sektor-sektor sekunder (industri manufaktur dan jasa).

Meningkatnya kebutuhan akan lahan akibat bertambahnya jumlah penduduk, menyebabkan terjadinya tumpang tindih kepentingan terhadap sebidang lahan. Hal ini jika dibiarkan dapat mengarah pada pola sebaran kegiatan yang secara ekonomis paling menguntungkan, namun belum tentu menguntungkan atau bahkan merugikan dari segi lingkungan (Wiradisastra, 1989).

2.4. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi, tumbuhan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan masa kini yang bersifat mantap atau mendaur. Lahan merupakan matrik dasar kehidupan manusia dan pembangunan karena hampir semua aspek kehidupan

(23)

pembangunan, baik langsung maupun tidak langsung, berkaitan dengan permasalahan lahan (Saefulhakim dan Nasoetion, 1995).

Terdapat perbedaan antara penutup lahan (land cover) dengan penggunaan lahan (land use). Penutup lahan didefinisikan sebagai bahan-bahan seperti vegetasi dan pondasi yang menutup tanah. Sedangkan inti dari penggunaan lahan adalah aktivitas manusia yang mencirikan suatu daerah sebagai daerah industri, pertanian, atau pemukiman (Marsh,1991, dalam Saefulhakim, 1994). Penutupan lahan (land cover) berkaitan dengan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang tertentu (Lillesand dan Kiefer, 1997). Penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989).

Sepuluh kelas penggunaan lahan menurut Barlowe (1978) adalah sebagai berikut: 1) lahan pemukiman , 2) lahan industri dan perdagangan, 3) lahan bercocok tanam, 4) lahan peternakan dan penggembalaan, 5) lahan hutan, 6) lahan mineral/pertambangan, 7) lahan rekreasi, 8) lahan pelayanan jasa, 9) lahan transportasi dan 10) lahan tempat pembuangan.

Perubahan penutupan lahan merupakan bentuk peralihan dari penutupan lahan sebelumnya ke penutupan lahan yang lain, yang berarti berubahnya luas dan lokasi penggunaan lahan tertentu pada suatu kurun waktu. Perubahan penggunaan lahan dan penutupan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan lahan dan penutupan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan. Secara umum Barlowe (1978) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan adalah faktor fisik dan biologi (sumberdaya alam dan sumberdaya manusia), faktor ekonomi, dan kelembagaan.

Proses perubahan penggunaan lahan umumnya bersifat tidak dapat diubah (irreversible), contohnya adalah lahan-lahan sawah yang dikonversikan ke berbagai aktivitas urban sangat kecil kemungkinannya untuk kemudian dikembalikan lagi menjadi sawah. Oleh karenanya proses-proses perubahan

(24)

penggunaan lahan harus selalu ditempatkan dalam perspektif perencanaan jangka panjang (Rustiadi, 2001). Alih fungsi lahan berskala luas maupun kecil seringkali memiliki permasalahan klasik berupa: 1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, 2) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Ketiga masalah tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya sehingga permasalahan-permasalahan tersebut tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatan-pendekatan parsial, namun memerlukan pendekatan-pendekatan intregatif (Rustiadi et al, 2005).

2.5. Konsep Dasar Ekonomi Lahan

Suatu lahan yang diusahakan untuk penggunaan tertentu mempunyai nilai. Dalam bidang pertanian dikenal istilah richardian rent , yaitu rent yang nilainya sangat ditentukan oleh kualitas lahannya. Artinya, semakin baik kualitas suatu lahan, maka semakin tinggi nilai richardian rent nya, begitu pula sebaliknya. Dalam penelitian ini dikenal istilah rent yang lain, yaitu land rent. Land rent adalah sisa surplus ekonomi sebagai bagian dari nilai produk total yang ada setelah pembayaran dilakukan untuk semua faktor biaya total (Barlowe, 1986).

Produktivitas dari suatu lahan yang memiliki surplus ekonomi akibat kesuburan tanah (tingkat kesesuaian lahan sesuai), akan menghasilkan land rent yang tinggi. Surplus ekonomi dari sumberdaya lahan akibat kesuburan tanah tersebut mengakibatkan perbedaan output yang paling banyak dibandingkan dengan lahan yang tidak subur, sehingga land rent pada tanah yang subur akan lebih tinggi dari tanah atau lahan yang kurang subur. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan dalam hal besarnya rata-rata nilai produksi dan biaya produksi per unit lahan dengan tingkat kesuburan yang berbeda tersebut (Sitorus, 2004).

Nilai land rent ditentukan oleh kisaran jarak terhadap pusat-pusat pertumbuhan wilayah lahan yang berlokasi dekat pasar atau pusat kegiatan bisnis memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi dan alternatif penggunaan yang lebih banyak (Barlowe, 1986).

(25)

2.6. Sistem Transportasi, Jalan dan Tata Guna Lahan

Sistem transportasi secara menyeluruh (makro) dapat dipecahkan menjadi beberapa sistem yang lebih kecil (mikro) yang masing-masing saling terkait dan saling mempengaruhi. Sistem transportasi mikro tersebut terdiri dari: a) Sistem Kegiatan, b) Sistem Jaringan Prasarana Transportasi, c) Sistem Pergerakan Lalu Lintas, d) Sistem Kelembagaan.

Sistem kegiatan, sistem jaringan, dan sistem pergerakan akan saling mempengaruhi. Perubahan pada sistem kegiatan jelas akan mempengaruhi sistem jaringan melalui perubahan pada tingkat pelayanan pada sistem pergerakan. Begitu juga perubahan pada sistem kegiatan melalui peningkatan mobilitas dan aksesbilitas dari sistem pergerakan tersebut (Rahmani, 2000).

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Jalan dapat meningkatkan kegiatan ekonomi di suatu tempat karena menolong orang untuk pergi atau mengirim barang lebih cepat ke suatu tujuan. Dengan adanya jalan, komoditi dapat mengalir ke pasar setempat dan hasil ekonomi dari suatu tempat dapat dijual kepada pasaran di luar wilayah itu. Selain itu, jalan juga mengembangkan ekonomi lalu lintas di sepanjang lintasannya Jalan merupakan prasarana pembentuk struktur ruang (id.wikipedia.org/wiki/Perencanaan_tata_ruang).

Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hierarki. Sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu pada RTRW dan dengan memperhatikan keterhubungan antarkawasan dan atau dalam kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan.

Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut: 1) menghubungkan pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal sampai ke pusat kegiatan

(26)

lingkungan; dan 2) menghubungkan antarpusat kegiatan nasional. Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan RTRW kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga, dan seterusnya sampai ke persil (id.wikipedia.org/wiki/jalan).

Jalan arteri primer menghubungkan secara efisien antar Pusat Kegiatan Nasional, atau antara Pusat Kegiatan Nasional dengan Pusat Kegiatan Wilayah (serta menghubungkan Pusat Kegiatan Nasional dengan kota lain di negara tetangga yang berbatasan langsung).

Ciri jalan arteri primer adalah:

1. Jalan arteri primer (antar kota) yang memasuki wilayah perkotaan tidak boleh terputus (menerus);

2. Jalan arteri primer melalui dan atau menuju kawasan primer;

3. Lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu lintas regional (menerus); lalu lintas menerus tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik atau lalu lintas lokal (dari kegiatan bersifat lokal);

4. Kendaraan angkutan barang dan kendaraan angkutan umum jenis bus dapat diijinkan melalui jalan ini;

5. Jalan arteri primer sebaiknya dilengkapi/disediakan tempat istirahat menurut pedoman perencanaan tempat istirahat yang ada.

Jalan kolektor primer menghubungkan secara efisien antar pusat kegiatan wilayah atau menghubungkan antara pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal, sedangkam jalan lokal primer menghubungkan secara efisien pusat kegiatan nasional dengan persil atau pusat kegiatan wilayah dengan persil atau pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lokal, pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan di bawahnya, pusat kegiatan lokal dengan persil, atau pusat kegiatan di bawahnya sampai persil.

Pertambahan jumlah penduduk pada akhirnya juga akan mempengaruhi peningkatan keragaman aktivitas yang berpotensi untuk menimbulkan bangkitan dan beban transportasi di masa depan yang lebih dari saat ini. Bila peningkatan jumlah penduduk tesebut tidak diikuti prasarana transportasi seperti panjang dan

(27)

lebar jalan, jumlah jalur jalan, luasan maupun jumlah halte, stasiun dan terminal yang sebanding maka akan terjadi kemacetan yang lebih buruk lagi (www.scribd.com/doc/Pengelolan-Sistem-Transportasi-Kota-Bogor). Jenis tata guna lahan yang berbeda (pemukiman, pendidikan dan komersial) mempunyai ciri bangkitan lalu lintas yang berbeda yaitu jumlah arus lalu lintas, jenis lalu lintas (pejalan kaki, truk, mobil) dan lalu lintas pada waktu tertentu.

Studi hubungan tata guna lahan dan transportasi pertama kali dilakukan di AS yaitu Detroit Area Tranportation Study (1953) dan Chicago Area Transportation Study (1956) dengan motif keraguan akan dampak negatif dari hasil interaksi tata guna lahan dan transportasi. Pelaksanaan studi biasanya didorong oleh tujuan efisiensi yaitu penyiapan rencana transportasi yang dapat menampung lonjakan permintaan perjalanan di suatu lokasi dalam jangka panjang (Lubis dan Karsaman, 1997).

2.7. Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan salah satu produk ilmu komputer yang paling mutakhir saat ini. Pengertian tentang SIG sangat beragam. Hal ini sejalan dengan perkembangan SIG itu sendiri sejak pertama kali SIG dikembangkan oleh Tomlinson tahun 1967. Murai (1999) mengartikan SIG sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data berefrensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumberdaya alam, lingkungan, transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya.

Menurut Aronoff (1993), SIG merupakan sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi-informasi geografi. Sedangkan Bernhardsen (2001) mendefinisiskan SIG sebagai sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang berfungsi untuk akusisi dan verifikasi data, kompilasi data, penyimpanan data, perubahan dan pembaharuan data, manajemen dan pertukaran data, manipulasi data, pemanggilan dan presentasi data serta analisa data. Walaupun SIG tak lepas

(28)

dari perangkat keras dan perangkat lunak komputer serta manajemen data dan informasi yang berhubungan dengan permukaan bumi.

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Intinya SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi, yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial (Star dan Estes, 1990 dalam Barus dan Wiradisastra, 2000).

Menurut Barus dan Wiradisastra (2000) Sistem Informasi Geografi atau disingkat sebagai SIG, terjemahan dari Geographical Information System (GIS), pada saat ini sudah merupakan teknologi yang dianggap biasa pada kalangan perencana atau kelompok-kelompok lain yang berkecimpung dalam hal pemetaan sumberdaya maupun dalam berbagai bidang lainnya seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. SIG juga unggul dalam mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisis dan menampilkan data spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi.

2.8. Penginderaan Jauh, Citra SPOT dan Ikonos

Ciri utama dari penginderaaan jauh adalah kemampuannya menghasilkan data spasial yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dengan cepat dan dalam jumlah yang besar. Pemanfaatan jumlah data spasial yang besar tersebut akan tergantung pada cara penanganan dan pengolahan data yang akan mengubahnya menjadi informasi yang berguna. Perkembangan penginderaan jauh sekarang ini adalah penggunaan satelit yang mengorbit bumi secara terus-menerus sehingga mampu merekam data sesaat secara berulang-ulang dalam luasan yang sangat besar (synoptic) (Barus dan Wiradisastra, 2000). Ikonos merupakan satelit observasi komersial bumi yang dapat mendeteksi obyek sampai dengan ketelitian satu meter. Citra Ikonos diluncurkan pertama kali pada tanggal 24 september 1999 di California (http://en.wikipedia.org/wiki/ikonos).

SPOT (Satelite Probatoire de l`observation de la Terra) merupakan citra satelit resolusi tinggi keluaran Perancis yang melakukan perekaman ulang pada daerah yang sama setiap 26 hari sekali (CNES, 1989). Dalam penggunaannya

(29)

Citra SPOT memiliki beberapa kelebihan misalnya: untuk kawasan kota dengan foto udara skala 1:50.000 membutuhkan 28 lembar, sedangkan bila menggunakan Citra SPOT hanya dibutuhkan satu lembar citra dalam bentuk cetakan kertas. 2.9. Konsep Buffering

Terminologi buffer sering kali digunakan di dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan regulasi lingkungan karena sangat penting dan dapat dimodelkan secara spasial, konsep-konsepnya sejak lama telah diadopsi dan kemudian diimplementasikan oleh sejumlah (hampir semua) paket perangkat lunak SIG. Buffer, biasanya dibangun dengan arah ke luar untuk melindungi elemen-elemen spasial (atau dimodelkan secara spasial) yang bersangkutan. Dengan membuat buffer, maka akan terbentuk suatu area, poligon, atau zone baru yang menutupi (atau melindungi) objek spasial (buffered object yang berupa objek-objek spasial titik, garis ,atau area (poligon tertentu) dengan jarak tertentu (Murai, 1999).

Zone-zone buffer ini digunakan untuk mendefinisikan fungsi kedekatan-kedekatan secara spasial suatu objek terhadap objek-objek lain yang berada di sekitarnya. Data spasial zone buffer dapat diperlakukan sebagaimana poligon-poligon biasa (theme di dalam perangkat SIG ArcView atau coverage milik ArcInfo) yang dapat dikenakan beberapa operasi-operasi spasial (misalnya overlay) dan atribut.

(30)

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Pusat Pengkajian dan Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) LPPM Kampus IPB Baranangsiang. Dimulai pada bulan Maret 2009 sampai Desember 2009. Lokasi yang diteliti adalah spesifik Kota Bogor berkaitan dengan hirarki jalan utama dan penggunaan/penutupan lahan yang ada di Kota Bogor.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 sedangkan perangkat lunak yang digunakan disajikan pada Tabel 2

Tabel 1. Bahan Penelitian

No Bahan Sumber Keterangan

1 2 3 4 5 6

Peta Jaringan Jalan Kota Bogor Tahun 2006 Peta RTRW Kota Bogor Periode 1999-2009

Peta Administrasi Kota Bogor Tahun 2005

Citra SPOT 5 Kota Bogor Tahun 2003

Land Use/Land Cover Kota

Bogor Tahun 2007 (Hasil Digitasi Citra Ikonos Tahun 2007)

Data Potensi Desa Kota Bogor Tahun 2003 dan 2006 P4W LPPM IPB BAPPEDA Kota Bogor BAPPEDA Kota Bogor P4W LPPM IPB P4W LPPM IPB P4W LPPM IPB Bogor

Untuk mengetahui hirarki jalan utama (arteri, kolektor) Untuk mengetahui

penggunaan lahan menurut perencanaan tata ruang Untuk mengetahui batas wilayah administrasi Kota Bogor (Kecamatan) Untuk membuat Peta Land

Use/Land Cover berdasarkan

eksisting tahun 2003 Untuk mengetahui sebaran

LandUse/Land Cover

berdasarkan eksisting tahun 2007

Sebagai peubah bebas (x) dalam analisis regresi berganda

(31)

Tabel 2. Alat Penelitian

No Perangkat Lunak Keterangan

1 2 3 4 5 ArcGIS 9.2

Map Info Profesional 9 Statistica 8.0

Microsoft Office Excel 2007 Microsoft Office Visio 2007

Mengolah Data Spasial (Peta dan Citra) Mengolah Data Spasial (Peta dan Citra) Mengolah Data Statistik

Tabulasi Data

Membuat Diagram Alir

3.3. Metode Penelitian

Metode penelitian terdiri dari tahap pengumpulan data, tahap pengolahan data peta dan citra, dan tahap pengecekan lapang.

3.3.1. Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan mulai dari tahap pengumpulan studi literatur, yaitu dengan mengumpulkan tulisan ilmiah yang berkaitan dengan penataan ruang, hirarki jalan dan perubahan penggunaan lahannnya di wilayah Kota Bogor serta tahap pengumpulan data berupa Citra SPOT Kota Bogor tahun 2003, Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2007, Peta Jaringan Jalan Kota Bogor tahun 2006, Peta RTRW Kota Bogor tahun 1999-2009, Peta Administrasi Kota Bogor tahun 2006 dan Data Potensi Desa Wilayah Kota Bogor tahun 2003 dan 2006. 3.3.2. Pengolahan Data Peta dan Citra

pada tahap pengolahan data peta dan citra, peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2003 (peta land use/land cover 2003) diperoleh dari hasil digitasi Citra SPOT Kota Bogor Tahun 2003. Digitasi dibagi menjadi sepuluh klasifikasi kelas penggunaan/penutupan lahan yaitu pemukiman, gedung, rumput, belukar/semak, rawa, air tawar, kebun, sawah irigasi, sawah tadah hujan, tanah ladang/tegalan (Tabel 3). peta land use/land cover 2007 diperoleh dari hasil digitasi Citra Ikonos Kota Bogor tahun 2007. Digitasi dibagi menjadi 14 kelas penggunaan/penutupan lahan yaitu industri, jalan, kolam, kuburan, ladang, lapangan olahraga, pepohonan, permukiman, perumahan, sawah, semak, situ, sungai, tanah kosong. Masing-masing dari pengklasifikasian land use/land cover dua titik tahun tersebut digeneralisasi menjadi tujuh klasifikasi kelas

(32)

penggunaan/penutupan lahan menjadi: badan air, belukar/semak, kebun/pepohonan, ladang/tegalan, ruang terbangun (built up area), sawah, tanah kosong sehingga diperoleh peta land use/land cover 2003 dan 2007 hasil generalisasi. Kedua peta land use/land cover 2003 dan 2007 akan dioverlay (union) masing-masing dengan Peta RTRW 1999-2009 Kota Bogor dan Peta Administrasi Kota Bogor per kecamatan, kemudian data matrik logik inkonsistensi tata ruang land use 2003 dan 2007 dimasukkan dalam data atribut peta sehingga diperoleh peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Bogor setelah dilakukan export data dengan menggunakan ArcGIS 9.2.

Pada peta jaringan jalan Kota Bogor Tahun 2006 akan dilakukan proses penyamaan batas luar dengan peta administrasi Kota Bogor tahun 2005 (crop) sehingga akan dihasilkan peta jaringan jalan hasil croping. Peta jaringan jalan tersebut masih harus diklasifikasikan menjadi empat hirarki jalan meliputi: 1. Jalan Arteri Primer

2. Jalan Arteri Sekunder 3. Jalan Kolektor Primer 4. Jalan Kolektor Sekunder

Hirarki jalan utama yang telah diklasifikasikan ini akan di-buffer ruang sekitar jalan dengan definisi buffer sejauh 200 m dari badan jalan. Asumsi yang digunakan adalah berdasarkan kondisi ketika pengecekan lapang yang menunjukkan konsentrasi ruang terbangun yang tinggi pada kisaran 0-200 m dari badan jalan. Peta jaringan jalan hasil buffer 200 m kemudian di-overlay (intersect) dengan peta inkonsistensi arahan pemanfaatan ruang Kota Bogor sehingga diperoleh peta inkonsistensi tata ruang di sepanjang buffer 200 m jalan utama Kota Bogor, kemudian peta inkonsistensi tata ruang di sepanjang buffer 200 m jalan utama Kota Bogor tersebut di intersect lagi dengan peta land use/land cover Kota Bogor tahun 2003 dan 2007 yang telah dilakukan generalisasi, sehingga diperoleh peta land use/land cover di sepanjang jalan utama Kota Bogor tahun 2003 dan 2007. Secara ringkas tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Dari data atribut inkonsistensi arahan penataan ruang di sepanjang jalan utama Kota Bogor kemudian akan diperoleh variabel dependen (Y) yang merupakan luasan inkonsistensi di sepanjang jalan utama (Ha). Penentuan

(33)

variabel independen terpilih (X) diperoleh dari data podes Kota Bogor tahun 2003 dan 2006, tahapan akhir melalui analisis regresi berganda dengan metode forward stepwise dengan variabel dummy akan ditentukan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan utama Kota Bogor.

Tabel 3. Klasifikasi Generik

No Klasifikasi Generik SPOT 2003 IKONOS 2007

1 Badan Air

Air Tawar (Sungai) Situ

Rawa Kolam

Sungai

2 Belukar/Semak Belukar/Semak Semak

3 Ruang Terbangun/Built Up Area

Gedung Permukiman Kompleks Perumahan Pemukiman Industri Lapangan Olahraga Jalan

4 Tanah Kosong Rumput Tanah Kosong

5 Ladang/Tegalan Tanah Ladang/Tegalan Ladang

6 Sawah Sawah Irigasi Sawah

Sawah Tadah Hujan

7 Kebun/Pepohonan Kebun Pepohonan

Kuburan

3.3.3. Pengecekan Lapang

Urgensi dari pengecekan lapang adalah untuk memperkuat hasil analisis data dan interpretasi terutama dalam kaitannya dengan pengkoreksian peta penggunaan lahan sementara, sehingga hasil akhir data yang diperoleh memiliki tingkat akurasi dan ketelitian yang dibutuhkan pada proses analisis data penelitian. Cek lapang dilakukan dengan GPS (Global Positioning System) untuk mengambil data-data penggunaan lahan aktual, jaringan jalan aktual beserta hirarkinya. Dalam penelitian ini GPS berguna untuk mengetahui kesesuaian antara koordinat di peta/citra (UTM) dengan koordinat sebenarnya di lapang. Pada penelitian ini cek lapang dilakukan dengan pengambilan 16 titik yang mewakili di enam Kecamatan Kota Bogor, penentuan titik ini dilakukan berdasarkan pengambilan tiga luasan poligon penggunaan/penutupan lahan yang terbesar di masing-masing kecamatan dengan tujuan untuk monitoring land use/land cover

(34)

2003 dan land use/land cover 2007 terkait dengan perubahan penggunaan/penutupan lahan eksisting baik itu di sepanjang buffer 200 m jalan utama maupun Kota Bogor secara keseluruhan.

Citra SPOT Kota Bogor Tahun 2003 (terkoreksi)

Citra Ikonos Kota Bogor Tahun 2007 (terkoreksi)

Digitasi Land Use/Cover Digitasi Land

Use/Cover

Peta Land Use/Cover Kota Bogor Tahun 2003 (10 Klasifikasi)

Peta Land Use/Cover Kota Bogor Tahun 2007 (14 Klasifikasi)

Klasifikasi generik Land Use/Cover 2003 dan 2007 (7 Klasifikasi)

Peta RTRW Peta Administrasi Peta Jaringan Jalan Data PODES

Peta Inkonsistensi Pemanfaaatan Ruang Kota Bogor Overlay (Intersect) Export Data

Peta Inkonsistensi Tata Ruang di sepanjang buffer

200 m Jalan Utama

Data Atribut Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di sepanjang buffer 200 m Jalan Utama Kota Bogor (Luas Inkonsistensi : Y)

Penyamaan Batas Luar

Croping

Penentuan 4 macam Jaringan Jalan Utama berdasarkan

RTRW (Revisi) Buffering Jalan (jarak 200 m) Variabel Independen Terpilih (X)

Analisis Regresi berganda dengan Metode Forward

Stepwise

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang

jalan utama Kota Bogor Matrik Logik

Inkonsistensi Tata Ruang

Overlay (Union)

(35)

3.4. Teknik Analisis 3.4.1. Analisis Spasial

Analisis spasial digunakan untuk melihat perubahan pemanfaatan ruang secara spasial. Kesulitan awal dari analisis spasial ini adalah karena adanya perbedaan bentuk peta jaringan jalan Kota Bogor dengan peta administrasi Kota Bogor, oleh karena itu dilakukan penyamaan bentuk kedua peta.

Peta land use/land cover 2003 diperoleh dari hasil digitasi layar Citra SPOT 2003 dan peta land use 2007 diperoleh dari hasil digitasi Citra Ikonos 2007. Skala ketelitian ketika melakukan digitasi dan pengeditan adalah 1:5000 sampai bervariasi tetapi masih berkisar di skala tersebut untuk memudahkan peneliti dalam menginterpretasi. Untuk land use/land cover 2003 dari 4121 poligon yang dibuat, semua poligon terdefinisi. Sedangkan pada land use/land cover 2007 dari 7108 poligon yang dibuat, semua poligon terdefinisi sehingga dari kedua land use/land cover tidak ditemukan bias hasil digitasi sehingga dianggap layak untuk dianalisis. Tujuan digitasi adalah untuk mengubah data raster menjadi data vektor. Setelah digitasi, tahap selanjutnya adalah memasukkan data atribut berupa tujuh kategori kelas penggunaan/penutupan lahan yaitu badan air, belukar/semak, kebun/pepohonan, ladang/tegalan, ruang terbangun, sawah, tanah kosong, kemudian dicari total luas lahan masing-masing penggunaan/penutupan lahan.

Peta land use/land cover yang telah mengandung informasi luas lahan, selanjutnya di-overlay (union) dengan peta RTRW Kota Bogor dan peta administrasi Kota Bogor. Hasil overlay merupakan peta inkonsistensi tata ruang Kota Bogor, setelah ditentukan kriteria inkonsistensi didasarkan pada matrik logik inkonsistensi (Tabel 4 dan 5) yang merupakan penyempurnaan dan penyesuaian dari matriks logik Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor tahun 2002 dan telah dikembangkan oleh penelitian sebelumnya (Bangun, 2008). Pada tahap berikutnya akan ditentukan kriteria klasifikasi empat hirarki jalan utama berdasarkan RTRW (revisi), jaringan jalan yang telah ditentukan selanjutnya di-buffer sejauh 200 m untuk di-overlay (intersect) dengan peta inkonsistensi tata ruang Kota Bogor sehingga diperoleh peta inkonsistensi tata ruang di sepanjang buffer 200 m jalan utama Kota Bogor.

(36)

3.4.2. Penentuan Perhitungan Jarak dari Centroid Poligon (X0,Y0) ke Berbagai

Lokasi n (D01n)

Centroid merupakan pusat geometrik suatu poligon. Selain itu, centroid juga dapat didefinisikan sebagai titik tengah (mid-point) antara awal dan akhir suatu jarak alamat (address range). Dalam penelitian ini penentuan perhitungan jarak dari titik centroid poligon ke berbagai lokasi digunakan untuk mengetahui jarak pusat masing-masing poligon inkonsistensi di sepanjang buffer 200 m jalan utama Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 ke keempat hirarki jalan utama di Kota Bogor, pasar terdekat, stasiun utama dan terminal utama (n). Teknis cara menentukan jarak poligon ke berbagai lokasi (n) adalah berdasarkan jarak terdekat pusat centroid poligon inkonsistensi ke berbagai lokasi tersebut (n). Berikut rumus perhitungan jarak antar poligon:

Dimana :

(x0,y0) = Koordinat posisi poligon yang diamati (x1n,y1n) = Koordinat posisi objek lokasi n

D01n = Jarak dari centroid poligon (x0,y0) ke lokasi n (x1n,y1n) n = 1,2,3,...,6,7

n : 1 = Jarak ke jalan arteri primer (m) n : 2 = Jarak ke jalan arteri sekunder (m) n : 3 = Jarak ke jalan kolektor primer (m) n : 4 = Jarak ke jalan kolektor sekunder (m) n : 5 = Jarak ke pasar terdekat (m)

n : 6 = Jarak ke stasiun utama (m) n : 7 = Jarak ke terminal utama (m)

3.4.3. Analisis Regresi Berganda dengan Metode Forward Stepwise

Persamaan Regresi Berganda model hubungan antara luas poligon inkonsitensi pemanfaatan ruang dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah:

(37)

Dimana :

Yk = luas poligon bentuk model inkonsitentensi pemanfaatan ruang ke-k(Ha)

luas poligon inkonsistensi di sepanjang buffer 200 m jalan utama Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 (Ha)

xi = Independent variable (variabel penduga) ke-i

bi = Koefisien regresi peubah ke-i , dimana i = 1, 2, 3, …m c1, c2 = Koefisien regresi peubah dummy

D1, D2 = Peubah dummy ke-1 dan ke-2

Pada penelitian ini terdapat tiga model regresi yang diuji, yaitu model regresi untuk inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan arteri primer dan sekunder (Y1), inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan kolektor primer (Y2) dan inkonsistensi pemanfaatan ruang ke arah ruang terbangun di sepanjang jalan kolektor sekunder (Y3). Dalam membangun persamaan model di atas, variabel-variabel yang dipilih didasarkan oleh pertimbangan yang logis bahwa karakteristik variabel-variabel tersebut terkait dengan inkonsistensi pemanfaatan ruang di sepanjang jalan utama Kota Bogor. Namun untuk menghindari terjadinya multikolinearitas (korelasi antar variabel independen) maka persamaan diduga dengan menggunakan metode forward stepwise multiple regression dengan software statistica 8.0 sehingga tidak semua variabel di atas digunakan dalam persamaan. Untuk lebih jelasnya keterangan dari tiap variabel yang digunakan ditampilkan pada Tabel 6.

(38)

Tabel 4. Matrik Logik Inkonsistensi RTRW dan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2003

Klasifikasi Peruntukan RTRW Kota Bogor

Existing Land Use/Cover Kota Bogor Tahun 2003 (Klasifikasi Generik) Badan Air Belukar / Semak Ruang Terbangun / Built Up Area Tanah Kosong Ladang / Tegalan Sawah Kebun / Pepohonan 1 2 3 4 5 6 7 1 Danau/Situ V X X X X X X 2 Fasilitas Kesehatan X V V V V V V 3 Fasilitas Pendidikan X V V V V V V 4 Gardu Induk X X/V V X/V V V X/V

5 Hutan Kota/Kebun Raya X X X X X X V

6 Industri X V V V V V V

7 Kolam Oksidasi V V V V V V X

8 Kompleks Militer X V V V V V V

9 Pasar X V V V V V V

10 Perdagangan dan Jasa X V V V V V V

11 Pergudangan X V V V V V V 12 Perkantoran/Pemerintahan X V V V V V V 13 Permukiman X V V V V V V 14 Permukiman KDB Rendah X V V V V V V 15 Pertanian/Kebun Campuran X V X V V V V 16 RPH/Pasar Hewan X V V V V V V 17 Stasiun KA X V V V V V V 18 Sub Terminal X V V V V V V 19 TPU/Kuburan X V V V V V V

20 Taman/Lap OR/Jalur Hijau V V X V X X V

21 Terminal Regional X V V V V V V

(39)

Tabel 5. Matrik Logik Inkonsistensi RTRW dan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2007

No Klasifikasi Peruntukan RTRW Kota Bogor

Existing Land Use/Cover Kota Bogor Tahun 2007 (Klasifikasi Generik) Badan Air Belukar / Semak Ruang Terbangun / Built Up Area Tanah Kosong Ladang / Tegalan Sawah Kebun / Pepohonan 1 2 3 4 5 6 7 1 Danau/Situ V X X X X X X 2 Fasilitas Kesehatan X V V V V V V 3 Fasilitas Pendidikan X V V V V V V 4 Gardu Induk X X/V V X/V V V X/V

5 Hutan Kota/Kebun Raya X X X X X X V

6 Industri X V V V V V V

7 Kolam Oksidasi V V V V V V X

8 Kompleks Militer X V V V V V V

9 Pasar X V V V V V V

10 Perdagangan dan Jasa X V V V V V V

11 Pergudangan X V V V V V V 12 Perkantoran/Pemerintahan X V V V V V V 13 Permukiman X V V V V V V 14 Permukiman KDB Rendah X V V V V V V 15 Pertanian/Kebun Campuran X V X V V V V 16 RPH/Pasar Hewan X V V V V V V 17 Stasiun KA X V V V V V V 18 Sub Terminal X V V V V V V 19 TPU/Kuburan X V V V V V V

20 Taman/Lap OR/Jalur Hijau V V X V X X V

21 Terminal Regional X V V V V V V

(40)

Tabel 6. Variabel Independent yang Digunakan pada Analisis Regresi Berganda dengan Peubah Dummy

No Keterangan Simbol

1 Jarak ke Jalan Arteri Primer x1

2 Jarak ke Jalan Arteri Sekunder x2

3 Jarak ke Jalan Kolektor Primer x3

4 Jarak ke Jalan Kolektor Sekunder x4

5 Kepadatan Penduduk per Kelurahan x5

6 % Ruang Terbangun per Kelurahan x6

7 Jarak ke Pasar Terdekat x7

8 % Jasa Komersial per Kelurahan x8

9 Jarak ke Stasiun x9

10 Jarak ke Terminal x10

11 Dummy Tahun 2003 “0” D1

(41)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI STUDI 4.1. Batas Administrasi

Kota Bogor terletak pada 106º43’30’’-106º51’00’’ Bujur Timur dan 6º30’30’’-6º41’00’’ Lintang Selatan. Kota Bogor berjarak sekitar 60 km dari Ibu Kota Negara DKI Jakarta. Secara administrasi Kota Bogor termasuk ke dalam Provinsi Jawa Barat dan dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor sebagai berikut:

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Bojong Gede dan Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor.

 Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor.

 Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Darmaga dan Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor.

 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor.

Kota Bogor terdiri dari enam kecamatan, yaitu : Bogor Utara, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Tengah, Bogor Selatan dan Tanah Sereal. Dengan 31 kelurahan dan 37 desa (lima diantaranya termasuk desa tertinggal yaitu desa Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW, 2712 RT. Luas wilayah Kota Bogor adalah 11.850 ha atau 118,5 km2. Peta administrasi Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar 2.

4.2. Kondisi Fisik

Kondisi fisik daerah penelitian bervariasi atau bergelombang dengan perbedaan ketinggian yang cukup besar, bervariasi antara 200-350 m dpl, titik tertinggi berada di sebelah Selatan dengan ketinggian 350 meter dpl dan titik terendah berada di sebelah Utara dengan ketinggian 190 meter di atas permukaan laut. Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 0-15% dan sebagian kecil daerahnya memiliki kemiringan antara 15-30%. Jenis tanah yang dominan di Kota Bogor adalah Latosol coklat kemerahan. Lahan yang relatif datar terletak di bagian

(42)

Selatan dan Barat. Ditinjau dari kondisi fisik untuk wilayah potensial diarahkan ke bagian Utara, Timur dan Barat (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Bogor).

Kondisi iklim di Kota Bogor memiliki suhu rata-rata tiap bulan 26˚C dengan suhu terendah 21,8˚C dengan suhu tertinggi 30,4˚C. Kelembaban udara 70%. Curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3500-4000 mm dengan curah hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari. Secara umum Kota Bogor ditutupi oleh batuan vulkanik yang berasal dari produk gunung api di bagian Selatan seperti Gunung Salak (berupa lahar, breksi tufaan, lapili, tufa batu apung pasir) dan Gunung Pangrango (lahar dan lava), sedangkan bagian Utara ditutupi oleh endapan permukaan berupa kipas alluvium (lanau, pasir kerikil dan kerakal).

Gambar 2. Peta Administrasi Kota Bogor 4.3. Struktur Tata Ruang

Struktur tata ruang Kota Bogor terbagi menjadi lima bagian, yaitu:

1. Bagian Selatan, yaitu Kecamatan Bogor Selatan cenderung berpotensi sebagai daerah permukiman dengan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) rendah dan ruang terbuka hijau (RTH).

(43)

2. Bagian Utara yaitu Kecamatan Bogor Utara cenderung berpotensi sebagai daerah industri non-polutan dan sebagai penunjangnya adalah permukiman beserta perdagangan dan jasa sedangkan Kecamatan Tanah Sereal cenderung berpotensi sebagai permukiman, perdagangan dan jasa, serta fasilitas pelayanan kota.

3. Bagian Barat, yaitu Kecamatan Bogor Barat cenderung berpotensi sebagai daerah permukiman yang ditunjang oleh obyek wisata.

4. Bagian Timur, yaitu Kecamatan Bogor Timur cenderung berpotensi sebagai daerah permukiman.

5. Bagian Tengah, yaitu Kecamatan Bogor Tengah cenderung berpotensi sebagai pusat perdagangan dan jasa yang ditunjang oleh perkantoran dan wisata ilmiah.

4.4. Kependudukan

Perkembangan penduduk Kota Bogor tergolong di atas rata-rata pertumbuhan penduduk Jawa Barat dan pertumbuhan penduduk nasional. Dalam kurun waktu 1998-2003 laju pertumbuhan penduduk rata-rata adalah 3,76 % per tahun (BPS, 2002). Nilai ini melebihi laju pertumbuhan rata-rata penduduk Jawa Barat, sekitar 2,17 % per tahun dan laju pertumbuhan penduduk nasional sebesar 1,5 % per tahun. Data terakhir tahun 2003 mununjukkan penduduk Kota Bogor telah berjumlah 818.393 jiwa (BPS Kota Bogor, 2003).

Pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa kepadatan rata-rata penduduk Kota Bogor adalah 69,94 jiwa per Ha. Secara umum, penduduk Kota Bogor belum tersebar secara merata. Sebagian penduduk masih terkonsentrasi di kawasan pusat kota, hal tersebut ditandai dengan tingginya tingkat kepadatan penduduk di kawasan ini (Kecamatan Bogor Tengah), yakni 122,14 jiwa/Ha. Tingkat kepadatan penduduk terendah terdapat pada Kecamatan Bogor Selatan (54,44 jiwa/Ha).

Gambar

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
Gambar 2. Peta Administrasi Kota Bogor  4.3.  Struktur Tata Ruang
Tabel 8. Klasifikasi hirarki jalan utama berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah  (RTRW) Kota Bogor (revisi)
Gambar 4. Proporsi Total Penggunaan/Penutupan Lahan di Kota Bogor   Tahun 2003 (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai upaya memberi saran/masukan kepada pengambilan kebijak:an, dalam rangka optimalisasi kebijak:an SOP pada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Sukamara maka

Mengetahui kelemahan yang ada pada sistem pendataan surat di PDA Surakarta, maka diperlukan pengembangan sistem informasi administrasi pengelolaan surat di

Untuk mengetahui pengaruh yang terjadi antara variabel independen terhadap variabel dependen, maka model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dicapai# mengambil keputusan# dan interaksi dalam menerima t dan interaksi dalam menerima tujuan dari klien. Teori i eori ini ni sangat penting pada kolaborasi indi"idu#

Jika mata diperbesar sampai diameter 5 mm, berapa jarak minimum antara dua sumber titik yang masih dapat dibedakan oleh mata pada jarak 40 cm dari mata?, Panjang

Akan tetapi, diantara sesama anak-anak dengan leukemia sel-T prekursor, kadar Hb yang rendah pada saat terdiagnosa dapat meningkatkan resiko outcome yang buruk, jika

komponen-komponen penting yang dapat mendukung terwujudnya kegiatan-kegiatan belajar siswa. Dari dimensi guru ketersediaan prasarana dan sarana pembelajaran akan memberikan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui komponen biaya, rata-rata biaya keseluruhan, dan mengetahui apakah terdapat korelasi antara faktor pasien dan jenis obat terhadap