1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi dan Siklus hidup Oryctes rhinoceros
Hama O. rhinoceros dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Class : Insecta Ordo : Coleoptera Famili : Scrabaeidae Genus : Oryctes
Spesies : Oryctes rhinoceros L.
O. rhinoceros termasuk ordo Coleoptera, imago (serangga dewasa) disebut kumbang kelapa sawit, larvanya disebut uret. Stadia yang merusak tanaman kelapa sawit adalah imagonya, sedangkan uretnya hidup di dalam sampah atau tumpukan daun-daun busuk (Tjahjadi, 1989).
Hama O. rhinoceros yang dikenal sebagai kumbang tanduk atau kumbang badak atau kumbang penggerek pucuk kelapa, pada saat ini menjelma sebagai hama utama di perkebunan kelapa sawit. Sebelumnya, hama ini lebih banyak dikenal sebagai hama pada tanaman kelapa dan palma lain (Mahmud, 1989; Mariau et al., 1991; Jackson & Klein, 2006).
Kajian mengenai biologi dan ekologi dari O. rhinoceros telah lama dan banyak dilakukan oleh para peneliti dari berbagai belahan dunia, namun demikian pada saat ini menjadi menarik perhatian lagi karena kerusakan yang ditimbulkan di perkebunan kelapa sawit sangat besar.
2
Kerugian akibat serangan O. rhinoceros pada perkebunan kelapa sawit dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian secara tidak langsung dalah dengan rusaknya pelepah daun yang akan mengurangi kegiatan fotosintesis tanaman yang pada akhirnya akan menurunkan produksi. Kerugian tidak langsung yang kedua adalah memperpanjang masa TBM dari tanaman kelapa sawit yang biasanya 30 bulan sudah panen menjadi 5-7 tahun, bahkan ada tanaman yang sudah tidak mampu recovery lagi serta tidak menghasilkan buah. Sedangkan kerugian secara langsung adalah matinya tanaman kelapa sawit akibat serangan hama ini yang sudah mematikan pucuk tanaman.
Kumbang betina mempunyai bulu yang lebat pada bagian ujung perutnya, sedangkan yang jantan tidak berbulu. Kumbang yang baru langsung menyerang kelapa sawit, kemudian kawin. Selanjutnya kumbang betina meletakkan telur pada bahan organik yang sedang mengalami pembusukan seperti batang kelapa/ kelapa sawit mati, kotoran kerbau/sapi, kompos/sampah dan lain-lain (Kartasapoetra, 1987).
Kumbang tanduk berwarna cokelat tua mengilap. Panjangnya bisa mencapai lebih kurang 5-6 cm. Warna telurnya putih dengan garis tengah lebih kurang 3 mm. Pada waktu hampir menetes, telur membengkak dan berwarna keabuan. Uret (larva) yang telah menetas berwarna putih dengan kepala cokelat tua. Panjang uret bisa mencapai lebih kurang 10 cm. Biasanya jika terganggu, uret akan melingkar, seperti terlihat pada siklus hidup (Gambar 2.1.).
3
Gambar 2.1. Siklus hidup O. rhinoceros Sumber: https://agrokomplekskita.com
Telur Oryctes berwarna putih kekuningan dengan diameter 3-4 mm. Bentuk telur biasanya oval kemudian mulai membengkak sekitar satu minggu setelah peletakan (Wood, 1968) dan menetas pada umur 8-12 hari (Bedford, 1976). Kumbang tanduk betina dalam satu siklus hidup menghasilkan 30-70 butir (Pracaya, 2009) (Gambar 2.2.).
4
Larva kumbang tanduk berkaki 3 pasang, terdiri dari 3 instar dan masa larva instar satu 12-21 hari, instar dua 12-21 hari dan instar tiga 60-165 hari. Larva terakhir memiliki ukuran 10-12 cm, berbentuk huruf C, kepala dan kakinya berwarna coklat. Lundi yang baru menetas berwarna putih, panjang 8 mm, lundi dewasa berwarna putih kekuningan, dan kepala merah coklat. Kemudian lundi yang telah dewasa akan masuk kedalam tanah yang sedikit lembab berkisar 30 cm untuk menjadi kepompong (Gambar 2.3.).
Gambar 2.3. Larva O. rhinoceros Sumber: https://rhinotrap.weebly.com
Pupa yang didalam tanah berwarna coklat kekuningan, pupa jantan berukuran 3-5 cm, yang betina lebih pendek. Masa prapupa berkisar 8-13 hari. Masa kepompong berlangsung antara 18-23 hari. Kumbang yang baru muncul dari pupa akan tetap tinggal ditempatya antara 5-10 hari, kemudian terbang keluar (Gambar 2.4.).
5
Imago berwarna hitam, memiliki panjang tubuh 30-57 mm dan lebar 14-21 mm, imago jangan lebih kecil dibanding dengan imago betina. Imago betina memiliki bulu tebal di bagian ujung abdomen, sedangkan jantan tidak memiliki bulu. Imago aktif pada malam hari untuk mencari makanan dan mencari pasangan untuk berkembang biak (Gambar 2.5.).
Gambar 2.5. Imago O. rhinoceros Sumber: https://agrokomplekskita.com
2.2 Gejala Serangan dan Tingkat Kerugian O. rhinoceros
Stadia O. rhinoceros yang bertindak sebagai hama atau yang merusak adalah imago atau kumbangnya (Subagyo & Achmad, 1991). Makanan kumbang dewasa baik jantan maupun betina adalah tajuk tanaman, dengan menggerek melalaui pangkal petiole ke dalam titik tumbuh. Kegiatan ini menciptakan kumpulan serat yang berada didalam lubang gerekan. Serangan yang dihasilkan pada pelepah dengan bentuk huruf V terbalik atau karakteristik potongan serrate (Wood, 1968, Sadakhatula dan Ramachandran, 1990) (Gambar 2.6.).
6
Gambar 2.6. Gejala agak berat serangan O. rhinoceros berupa guntingan bentuk V Sumber: http://8villages.com
Gejala ini disebabkan kumbang menyerang pucuk dan pangkal daun muda yang belum membuka yang merusak jaringan aktif untuk pertumbuhan. Kumbang jantan maupun betina menyerang kelapa sawit. Selama hidupnya, yang dapat mencapai umur 6-9 bulan, kumbang berpindah-pindah dari suatu tanaman ke tanaman lain setiap 4-5 hari, sehingga seekor kumbang dapat merusak 6-7 pohon/bulan (Sudharto, 1990).
Kumbang tanduk hinggap pada pelepah daun yang agak muda, kemudian mulai menggerek ke arah titik tumbuh kelapa sawit. Panjang lubang gerekan dapat mencapai 4,2 cm dalam sehari (Gambar 2.7.).
Gambar 2.7. Gejala serangan O. rhinoceros berupa gerekan yang menyebabkan pelepah mengering Sumber: https://mablu.wordpress.com
7
Dengan serangan ulangan dan mencapai titik tumbuh maka tanaman dapat mati dan menjadi rentan terhadap serangan kumbang garis merah, Rhyncophorus bilineatus (Coleoptera: Curcilionidae) (Bedford, 1976; Sivapragasam et al., 1990). Jika tanaman tidak mati akan menyebabkan gejala serangan berat berupa terpuntirnya atau terputarnya titik tumbuh sehingga tanaman tidak dapat berkembang dengan baik. Serangan dalam bentuk ini akan mengakibatkan terhambatnya masa TM. Apabila populasi O. rhinoceros sangat tinggi maka serangan dapat juga terjadi pada pembibitan kelapa sawit (Susanto et.al., 2010).
Kumbang terbang dari tempat persembunyiannya menjelang senja sampai agak malam (sampai dengan jam 21.00 WIB), dan jarang dijumpai pada waktu larut malam. Dari pengalaman diketahui bahwa kumbang banyak menyerang kelapa pada malam sebelum turun hujan.
Kumbang akan meletakkan telur pada sisa-sisa bahan organik yang telah melapuk. Misalnya batang kelapa sawit yang masih berdiri dan telah melapuk, rumpukan batang kelapa sawit, batang kelapa sawit yang telah dicacah, serbuk gergaji, tunggul-tunggul karet serta tumpukan tandan kosong kelapa sawit (Dhileepan, 1998).
Batang kelapa sawit yang diracun dan masih beridiri sampai pembusukan pada sistem underplanting merupakan tempat berkembangbiak yang paling baik bagi kumbang tanduk. Selama lebih dari 2 tahun masa dekomposisi, batang yang masih berdiri memberikan perkembangbiakan 39.000 larva perhektar dibandingkan dengan batang yang telah dicacah dan dibakar (500 larva perhektar) (Samsudin et al., 1993).
Kerugian ekonomi akibat serangan kumbang O. rhinoceros sangat besar terutama pada areal replanting. Gerekannya merusak daun dan apabila mencapai titik tumbuh akan dapat menyebabkan kematian tanaman sampai
8
80% (Oehlschlager, 2004). Kerugian menjadi lebih besar dengan adanya sinergisme antara O. rhinoceros dengan kumbang moncong Rhynchophorus spp. Rhnynchophorus spp, dahulu hanya dikenal menyerang tanaman kelapa seperti halnya O. rhinoceros, namun saat ini dibeberapa kebun telah dilaporkan dapat menyebabkan kematian tanaman kelapa sawit.
Biasanya serangan O. rhinoceros akan diikuti oleh serangan sekunder dari bakteri ataupun jamur sehingga terjadi pembusukan yang berkelanjutan. Dalam keadaan seperti ini tanaman mungkin menjadi mati atau terus hidup dengan gejala pertumbuhan yang tidak normal.
Tanaman dapat mengalami gerekan beberap kali, sehingga walaupun dapat bertahan hidup, pertumbuhannya terhambat dan mengakibatkan saat berproduksi menjadi terlambat (Chung et al., 1999). Kematian tanaman muda akibat serangan kumbang tanduk berkisar antara 1,0-2,5%. Produksi dari areal tanaman yang banyak terserang dapat berkurang antara 0,2-0,3 ton/ha, selama 18 bulan pada panen tahun pertama (Pardede, 1973; Sipayung, 1992; Kamaruddin dan Wahid, 1997; Ginting et al., 1998).
Kumbang O. rhinoceros biasanya menyerang tanaman kelapa sawit yang baru ditanam sampai tanaman remaja. Pada areal replanting kelapa sawit, serangan kumbang dapat mengakibatkan tertundanya masa berproduksi sampai satu tahun, dan tanaman yang mati dapat mencapai 25%. Namun sekarang ini dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan kosong kelapa sawit (TKS) pada gawangan mati mengakibatkan populasi O. rhinoceros menjadi sangat tinggi dan akhirnya dapat menyerang tanaman menghasilkan (TM). Pada beberapa kebun serangan O. rhinoceros pada tanaman tua ini menyebabkan harus melakukan replanting lebih cepat (Susanto & Bahmana, 2008).
9
2.3 Monitoring dan Sensus
Pengendalian O. rhinoceros pada perkebunan kelapa sawit menggunakan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Sistem PHT ini bertumpu pada kegiaatan utama yaitu monitoring atau sensus hama kumbang tanduk atau intensitas kerusakan tanaman kelapa sawit. Hasil ini selanjutnya digunakan sebagai dasar pengendalian O. rhinoceros.
Ada dua cara yang digunakan untuk melakukan monitoring O. rhinoceros yaitu berdasarkan populasi kumbang dilapangan dan berdasarkan serangan baru atau intensitas kerusakan baru, karena keduanya memiliki kelemahan, sebaiknya dilakukan sekaligus pada saat sensus. Sensus berdasrkan populasi kumbang lebih cepat dan mudah sekali dilaksanakan serta dapat mengetahui potensi ancaman kumbang pada masa yang akan datang. Sedangkan kelemahannya adalah jumlah kumbang belum tentu berkolerasi dengan kerusakan kelapa sawit di lapangan. Sensus berdasarkan kerusakan atau gejala baru mempunyai kelebihan yaitu mengetahui kondisi faktual kerusakan tanaman kelapa sawit, sedangkan kelemahanya adalah tidak mengetahui stadia dan populasi Oryctes rhinoceros sehingga potensi ancaman kedepan tidak diketahui.
2.4 Metode Pengendalian
2.4.1 Pengendalian Fisik dan Mekanik
Populasi larva O. rhinoceros yang terlalu banyak pada tanaman TBM yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pengutipan larva maka dapat dilakukan tindakan pengendalian secara fisik dan mekanik dengan menggunakan alat berat. Pada tempat-tempat yang dicurigai sebagai tempat berkembang biak O. rhinoceros yang biasanya tandan kosong kelapa sawit, rumpukan batang kelapa sawit, tunggul tanaman lain, serta tanah gambut dilakukan pelindasan dengan menggunakan alat berat sekaligus membongkar gundukan-gundukan yang besar dan selanjutnya dilakukan pengutipan larva hidup secara manual (Gambar 2.8.).
10
Gambar 2.8. Pengutipan larva Oryctes pada rumpukan batang kelapa sawit Sumber: Dokter sawit (2017)
2.4.2 Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati dilakukan dengan menggunakan bantuan senjata biologis yakni dengan memanfaatkan agensia pengendalian hayati atau bisa disebut musuh alaminya. Musuh alami Oryctes rhinoceros adalah berbagai macam mikroorganisme. Adalah jamur entomopatogen Metarrhizium anisopliae yang dapat menyebabkan mumifikasi pada larva serta Baculovirus yang dapat menyebabkan kematian pada larva maupun kumbang (Gambar 10).
Gambar 2.9. Penaburan jamur pada rumpukan batang kelapa sawit Sumber: Dokter sawit (2017)
11
2.4.3 Pengendalian Kimiawi
Pemberantasan secara kimiawi dapat dilakukan dengan menyemprotkan insektisida berbahan aktif karbosulfan. Penyemprotan dikhusukan pada pucuk tanaman karena pada bagian ini paling disukai oleh kumbang. Aplikasi dapat dilakukan setiap 1-2 minggu (Gambar 2.11.).
12
2.5 THURICIDE HP
THURICIDE HP adalah insektisida biologi yang spesifik dan selektif untuk memberantas banyak jenis larva Lepidoptera yang merupakan hama tanaman semusim dan tahunan. Tidak meninggalkan residu di dalam tanaman. Dapat digunakan walaupun tanaman akan segera dipanen. Tidak berbahaya terhadap insektisida dan artropoda predator, binatang menyusui, burung dan ikan.
IDENTIFIKASI PRODUK : 1. Nama Produk : THURICIDE HP
2. Bahan Aktif : Bacillus thuringiensis Berliner var. Kurstaki serotype 3A, 3B strain HD1 : 16.000 IU/mg : 3.2 %
3. Jenis produk : Insektisida biologi
PETUNJUK PENGGUNAAN :
TANAMAN JENIS HAMA KONSENTRASI / DOSIS FORMULASI VOLUME SEMPROT WAKTU PENYEMPROTAN
Kubis Perusak daun
Plutella xylostella Crocidolmia binotalis Trichoplusiani sp. 1-1,5 g/liter 300-500 liter/ha Apabila populasi atau intensitas serangan telah mencapai ambang Pengendaliannya sesuai rekomendasi setempat Kelapa sawit
Ulat api Setora
nitens Thosea asigna
300-600 g/ha 300-500 liter/ha
Tebu Penggerek batang
Chilo Sacchariphagus Diatraea saccharalis Penggerek pucuk Scripophaga nivela 800-1200 g/ha 300-500 liter/ha
13
2.6 Bahah Aktif (Bacilius thuringiensis)
Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen bagi serangga. Bakteri ini bersifat gram positif, berbentuk batang, memilki flagella, membentuk spora secara aerob dan selama sporulasi membentuk kristal protein paraspora yang dapat berfungsi sebagai insektisida. Kristal protein ini dikenal dengan nama N-endotoksin (Shieh, 1994 ; Knowles, 1994). Menurut Gill et al. (1992) spora yang dihasilkan oleh Bacillus thuringiensis berbentuk oval dan berwarna terang, rata-rata memiliki dimensi 1,0 - 1,3 µm. Jika ditumbuhkan pada medium padat, koloni Bacillus thuringiensis berbentuk bulat dengan tepian berkerut, memiliki diameter 5-10 mm, berwarna putih, elevasi timbul pada permukaan koloni kasar (Bucher, 1981).
Bacillus thuringiensis pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1901 dari penyakit pada jentik ulat sutera (Swadener, 1994). Ishiwata adalah orang yang pertama kali mengisolasikan Bacillus thuringiensis dari larva ulat sutera yang mati (Dulmage et al., 1990). Pada saat itu, belum dikenal sebagai Bacillus thuringiensis. Tahun 1911, Berliner menemukan sejenis bakteri yang sama dengan yang ditemukan oleh Ishiwata dari kumbang tepung Mediteranian (Mediterranean flour moth), Anagasta kuehniella yang mati 7 (Swadener, 1994; Dulmage et al., 1990). Bakteri ini kemudian dinamakan dengan Bacillus thuringiensis.