Hubungan antara munculnya ovulasi pertama setelah melahirkan dan puncak produksi susu pada sapi perah
Muhammad Yusuf1,2, Toshihiko Nakao2, Chikako Yoshida2, Su Thanh Long2 1Laboratorium Reproduksi Ternak, Jurusan Produksi Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makassar 90245
2Department of Veterinary Medicine, Faculty of Agriculture Yamaguchi University, Yamaguchi, Japan
E-mail: ramadhanti_yusuf@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara munculnya ovulasi pertama setelah melahirkan dan puncak produksi pada sapi perah. Sebanyak 22 ekor sapi perah (Holstein-Friesian) yang dilepas di dalam kandang dan sedang laktasi digunakan dalam penelitian ini. Pemerahan dilakukan dengan menggunakan robot dengan frekuensi pemerahan antara dua sampai empat kali sehari dengan rata-rata produksi susu selama 305 hari adalah sebesar 7.326 kg/ekor. Siklus ovarium dimonitor dengan menggunakan profil hormon progesteron dalam susu dengan pengambilan sampel susu dilakukan dua kali seminggu dimulai sekitar seminggu setelah melahirkan sampai ternak sapi kembali bunting atau di-culling. Parameter yang diukur adalah interval antara melahirkan dan puncak produksi susu, produksi susu puncak, serta interval antara melahirkan dan ovulasi pertama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jarak (±SD) antara melahirkan dan munculnya ovulasi pertama adalah 41,2 ± 24,2 hari. Puncak produksi susu dicapai pada hari (±SD) 56,5 ± 33,2, dan kuantitas (±SD) produksi susu puncak adalah 29,3 ± 7,2 kg. Hubungan antara puncak produksi susu setelah melahirkan dan munculnya ovulasi pertama mengikuti persamaan garis linier y = 0,9777x – 5,2855; P < 0,001. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa semakin panjang jarak antara melahirkan dan puncak produksi susu memperpanjang periode awal munculnya ovulasi pertama setelah melahirkan.
Kata kunci: Ovulasi pertama, Puncak produksi susu, Sapi perah
Makalah disampaikan pada:
Seminar Nasional Reproduksi Ternak 2010
“Peranan Teknologi Reproduksi Hewan dalam Rangka Swasembada Pangan Nasional” Mayor Biologi Reproduksi, sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Bagian Reproduksi dan Kebidanan, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
Pendahuluan
Umumnya ternak sapi perah yang laktasi dini tidak dapat mengkonsumsi cukup kalori untuk menunjang kebutuhan energi, baik untuk kebutuhan pokok maupun untuk kebutuhan produksi susu, sehingga terjadi keseimbangan energi negatif (negative energy balance = NEB) (Baumgard dkk., 2006). Lebih lanjut Staples dkk. (1990) mengemukakan bahwa ternak sapi yang mengalami anestrus setelah melahirkan cenderung kurang makan, produksi susu rendah, kehilangan berat badan, sehingga lebih berakibat pada NEB. Ternak dengan NEB berat terkait erat dengan gangguan metabolik dan kegagalan reproduksi (Butler, 2000; Buckley dkk., 2003). Oleh karena itu, diduga bahwa interval antara melahirkan dan puncak produksi susu pada awal laktasi mempengaruhi jarak antara melahirkan dengan munculnya ovulasi pertama. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara munculnya ovulasi pertama setelah melahirkan dan puncak produksi pada sapi perah.
Materi dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada salah satu peternakan sapi perah di Yamaguchi Prefektur, Jepang pada bulan Agustus 2006 sampai bulan Juli 2009. Sebanyak 22 ekor sapi perah (Holstein-Friesian) yang sedang laktasi digunakan secara intensif sejak melahirkan sampai kembali bunting atau di-culling. Sistim perkandangan pada peternakan ini adalah dilepas di dalam kandang dengan pola pemberian pakan menggunakan total mixed ratio sesuai kebutuhan untuk ternak sapi laktasi berdasarkan rekomendasi NRC. Pemerahan dilakukan dengan menggunakan robot (robot milking system) dengan frekuensi pemerahan antara dua sampai empat kali sehari. Rata-rata produksi susu selama 305 hari adalah sebesar 7.326 kg/ekor. Siklus ovarium setelah melahirkan dimonitor dengan menggunakan
sampel susu dilakukan dua kali seminggu (Selasa dan Jumat) yang dimulai sekitar seminggu setelah melahirkan sampai ternak sapi kembali bunting atau di-culling.
Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah interval antara melahirkan dan puncak produksi susu, produksi susu puncak, serta interval antara melahirkan dan ovulasi pertama, kemudian diolah dengan menggunakan regresi linier sederhana (Microsoft excel). Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata (±SD; standar deviasi) antara melahirkan dan munculnya ovulasi pertama adalah 41,2 ± 24,2 hari dengan interval antara 12 dan 119 hari. Puncak produksi susu dicapai dengan rataan (±SD) 56,5 ± 33,2 hari dengan interval antara 21 dan 172 hari, serta rata-rata (±SD) kuantitas produksi susu puncak adalah 29,3 ± 7,2 kg dengan interval antara 15,6 dan 44,0 kg.
Gambar 1. Hubungan antara puncak produksi susu (hari) dan interval antara melahirkan dan ovulasi pertama (hari).
y = 0.9777x - 5.2855 R2 = 0.3694 P < 0.001 0 20 40 60 80 100 120 140 20 30 40 50 60 70 80
Puncak produksi susu (hari)
In te rv al a n ta ra m el ah ir ka n d an o vu la si p er ta m (h ar i)
Hubungan antara puncak produksi susu setelah melahirkan dan munculnya ovulasi pertama mengikuti persamaan garis linier y = 0,9777x – 5,2855; P<0,001 (Gambar 1). Sedangkan antara kuantitas produksi susu puncak dengan munculnya ovulasi pertama setelah melahirkan tidak menunjukkan hubungan yang nyata (P>0,05) (Gambar 2). Hubungan yang nyata antara puncak produksi susu setelah melahirkan dengan munculnya ovulasi pertama menunjukkan bahwa semakin lama puncak produksi susu dicapai diikuti dengan tertundanya ovulasi pertama. Hal ini mungkin erat kaitannya dengan ternak sapi yang laktasi dini dan sebelum mencapai puncak produksi mengalami NEB, sebagai akibat dari mekanisme fisiologi untuk memproduksi susu (energy expenditure) dengan keterbatasan konsumsi pakan (energy intake).
Gambar 2. Hubungan antara puncak produksi susu (kg) dan interval antara melahirkan dan ovulasi pertama (hari).
Dalam kondisi ternak yang mengalami NEB, mobilisasi lemak tubuh tinggi yang y = 0.4791x + 27.173 R2 = 0.0202 P > 0.05 0 20 40 60 80 100 120 140 10.0 15.0 20.0 25.0 30.0 35.0 40.0 45.0
Puncak produksi susu (kg)
In te rv al a nt ar a m el ah irk an da n ov ul as i p er ta m a (h ar i)
munculnya ovulasi pertama serta rendahnya angka konsepsi (Butler dan Smith, 1989). Lebih lanjut pengaruh NEB atau kekurangan nutrisi pada laktasi dini dimanifestasikan sebagai menurunnya tingkat fertilitas selama musim kawin (Butler, 2000). NEB ini terkait erat dengan panjangnya periode tidak ovulasi dan rendahnya level glukosa darah, insulin, dan IGF-1 yang secara kolektif membatasi produksi estrogen oleh folikel dominan (Butler, 2003) serta mempengaruhi kualitas oosit dan sel-sel granulosa (Leroy dkk., 2004). Disisi lain, kekurangan nutrisi menyebabkan peningkatan sirkulasi konsentrasi hormon pertumbuhan (GH; growth hormone) diikuti dengan penurunan sirkulasi level insulin dan reseptor GH di dalam hati, yang pada akhirnya menurunkan konsentrasi IGF yang kemudian mempengaruhi sistim regulasi yang mengontrol folliculogenesis (Webb dkk., 1999; Garnsworthy dan Webb, 1999) yang berakhir pada rendahnya penampilan reproduksi.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa semakin panjang jarak antara melahirkan dan puncak produksi susu dapat memperpanjang periode awal munculnya ovulasi pertama setelah melahirkan.
Ucapan terima kasih
Segenap penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada pengelola dairy unit, Yamaguchi Prefectural Livestock research Institute, Yamaguchi, Japan atas segala bantuannya selama penelitian ini berlangsung.
Daftar Pustaka
Baumgard LH, Odens LJ, Kay JK, Rhoads RP, VanBaale MJ, Collier RJ. 2006. Does negative energy balance (NEBAL) limit milk synthesis in early lactation?. 21st Annual Southwest Nutrition and Management Conference, February 23-24, 2006, Tempe, AZ, USA, pp: 181-187.
Buckley F, O’Sullivan K, Mee JF, Evans RD, Dillon P. 2003. Relationship among milk yield, body condition, cow weight, and reproduction in spring-calved Holstein-Friesian. J. Dairy Sci. 86:2308-2319.
Butler WR. 2000. Nutritional interactions with reproductive performance in dairy cattle. Anim. Reprod. Sci. 60:449-457.
Butler WR. 2003. Energy balance relationships with follicular development, ovulation and fertility in postpartum dairy cows. Livest. Prod. Sci. 83:211–218.
Butler WR, Smith R.D. 1989. Interrelationship between energy balance and postpartum reproductive function in dairy cattle. J. Dairy Sci. 72:767-783.
Garnsworthy PC, Webb R. 1999. The influence of nutrition on fertility in dairy cows. In: Garnsworthy, P.C., Wiseman, J. (Eds.), Recent Advances in Animal Nutrition. Nottingham University Press, Nottingham, UK, pp. 39–57.
Isobe N, Yoshimura T, Yoshida C, Nakao T. 2004. Incidence of silent ovulation in dairy cows during post partum period. Deutsche tierärztliche Wochenschrift 111: 35-38. Kruip TAM, Morice H, Robert M, Ouweltjes W. 2002. Robotic milking and its effect on
fertility and cell counts. J. Dairy Sci. 85:2576-2581.
Leroy JLMR, Vanholder T, Delanghe JR, Opsomer G, Van Soom A, Bols PEJ, Dewulf J, de Kruif A. 2004. Metabolic changes in follicular fluid of the dominant follicle in high-yielding dairy cows early post partum. Theriogenology 62:1131-1143.
Staples CR, Thatcher WW, Clark JH. 1990. Relationship between ovarian activity and energy status during the early postpartum period of high producing dairy cows. J. Dairy Sci. 73:938-947.
Webb R. Garnsworthy PC, Gong JG, Robinson RS,Wathes DC. 1999. Consequences for reproductive function of metabolic adaption to load. Anim. Sci. Occas. 24: 99–112. Yusuf M, Nakao T, Ogawa M. 2006. Effects of interval between calving and first ovulation
on ovarian cycles postpartum and conception rate in high-producing dairy cows. J. Reprod. Develop. 52 suppl: j67.