• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN YURIDIS TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM RANGKA PELAKSANAAN LANDREFORM JURNAL. Oleh :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN YURIDIS TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM RANGKA PELAKSANAAN LANDREFORM JURNAL. Oleh :"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN YURIDIS TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM RANGKA PELAKSANAAN

LANDREFORM

JURNAL

Oleh :

Nama : SUCI PRATIWI NIM : 130200185

Departemen/PK : Hukum Administrasi Negara/PK Hukum Agraria Email : Pratiwiucii26@gmail.com

Dosen Pembimbing : 1. Prof. Dr. M. Yamin, SH.,MS.,CN. 2. Affan Mukti, SH.,M.Hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

i ABSTRAK

KAJIAN YURIDIS TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR DALAM RANGKA PELAKSANAAN

LANDREFORM *) Suci Pratiwi

**) Prof. Dr. M. Yamin, SH.,MS.,CN. ***) Affan Mukti, SH.,M.Hum.

Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa HM, HGB, HGU, HP dan HPL atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan/tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya/sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Tanah terlantar yang semakin meluas merupakan fenomena yang bertolak belakang dengan terus menyempitnya luas pemilikan dan penguasaan tanah di tangan rakyat. Luas tanah terlantar dari waktu ke waktu terus meningkat, sementara pemilikan terhadap tanah kian menyusut, sehingga cita-cita untuk menigkatkan kesejahteraan tidak optimal. Maka dari itu tanah terlantar menjadi salah satu objek landreform harus dilakukan penataan kembali dengan tujuan sebagai sumber kesejahteraan rakyat untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan. Tanah terlantar telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) kemudian dibentuk petunjuk pelaksanaan mengenai penertiban tanah terlantar pada PP No. 36 Tahun 1998, jo PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaturan tanah terlantar menurut Hukum Agraria, bagaimana keterikatan tanah terlantar sebagai implementasi pelaksanaan landreforn, dan bagaimana pengaturan kewenangan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam pelaksanaan landreform. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Data yang digunakan primer, sekunder, dan tersier. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Analisa data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif.

Dalam mengatasi tanah terlantar tersebut dilakukan penertiban tanah terlantar yang terdiri dari 4 langkah yaitu inventarisasi, identifikasi, penelitian, dan peringatan. Setelah ditetapkan menjadi tanah terlantar dan berubah menjadi tanah negara, tanah tersebut menjadi objek landreform dan siap untuk didayagunakan melalui program reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan negara lainnya.

Kata Kunci : Tanah Terlantar, Landreform, Penertiban dan Pendayagunaan

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**) Dosen Pembimbing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum USU ***) Dosen Pembimbing II, Staff Pengajar Fakultas Hukum USU

(3)

ii ABSTRACT

A juridical study on the discipline and utilization of abandoned land in the framework of implementing land reform

*) Suci Pratiwi

**) Prof. Dr. M. Yamin, SH.,MS.,CN. ***) Affan Mukti, SH.,M.Hum.

Land abandoned is land which has been granted rights by the state in the form of HM, HGB, HGU, HP and HPL or unused land tenure base, not used / not utilized in accordance with the circumstances / nature and purpose of granting the rights or the basis of their control. The increasingly widespread abandoned land is a contradictory phenomenon with the continuing narrowing of land and land ownership in the hands of the people. The extent of land abandoned from time to time continues to increase, while the ownership of the land increasingly shrink, so the ideal to boost prosperity is not optimal. Therefore, land abandoned to become one of the object of land reform must be rearranged with the aim as a source of people's welfare to realize a more just and sustainable life. Abandoned land has been regulated in the Basic Agrarian Law (UUPA) and then formed a guideline on the implementation of the deregulation of abandoned land in the PP. 36 Year 1998, jo PP no. 11 of 2010 on the Control and Utilization of Abandoned Land.

The problems in this research are how to regulate abandoned land according to Agrarian Law, how the abandonment of abandoned land as the implementation of the landreforn implementation, and how the regulation of the control and utilization of abandoned land in the implementation of landreform. This research is normative law research. Primary, secondary, and tertiary data. Data collection method used is literature study. Data analysis in this research is done qualitatively.

In overcoming the abandoned land is carried out the removal of abandoned land consisting of 4 steps namely inventory, identification, research, and warning. Once established into abandoned land and transformed into state land, the land becomes the object of land reform and is ready for use through the agrarian reform program, the state strategic program, and for other state reserves.

Keywords: Neglected Land, Landreform, Control and Utilization

*) Student of the Law Faculty of USU

**) Supervisor I, Lecturer Faculty of Law USU ***) Supervisor II, Lecturer Faculty of Law USU

(4)

1 Latar Belakang

Tanah yang diduga tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya, dapat diindikasikan sebagai tanah terlantar. Berdasarkan kalkulasi kasar Badan Pertanahan Nasional (BPN), potensi tanah terindikasi terlantar di Indonesia mencapai 7,5 juta hektar. Tanah-tanah tersebut tersebar tidak hanya di luar kawasan hutan, melainkan juga di kawasan hutan yang dikelola oleh Kementrian Kehutanan.1

Tanah merupakan sumber daya yang penting dan dibutuhkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat mendatangkan kemakmuran maka tanah harus diusahakan, diolah, dan dipergunakan sesuai dengan tujuan penguasaannya, sesungguhnya yang mendatangkan kesejahteraan bagi manusia adalah apa yang dibangun/diusahakan diatas tanah itu sendiri. Kebijakan pertanahan pada dasarnya juga diarahkan untuk melanjutkan kegiatan pembangunan yang telah dilaksanakan pada tahap-tahap sebelumnya antara lain, melaksanakan penataan kembali penguasaann, pemilikan dan penggunaan tanah termasuk legalisasi aset yang dapat menciptakan kondisi penguasaan dan penggunaan tanah bermanfaat guna mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat.

Landreform dapat dimaknai sebagai usaha sistematis untuk memperbaiki hubungan antara manusia dengan tanah yang karena faktor-faktor historis, politis dan ekonomis masih dirasakan belum harmonis dan belum mencerminkan keadilan sosial. Usaha perbaikan semacam ini dilakukan dengan menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menjadi tatanan keagrariaan baru yang dapat menjamin keadilan, harmoni sosial, produktivitas serta keberlanjutan, berdasarkan prinsip bahwa “tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri”.

Pelaksanaan landreform dengan demikian bertujuan memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber

1

http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/03/29/n3795b-potensi-tanah-terlantar-capai-75-juta-hektare diakses pada tanggal 8 Februari 2017

(5)

2

penghidupan petani berupa tanah. Namun kemudian disadari bahwa dalam banyak kejadian, petani yang telah memperoleh tanah dari kegiatan landreform kemudian melepaskan kembali tanahnya karena petani tidak memiliki akses kepada kegiatan ekonomi, sumber keuangan, manajemen usaha, dan teknologi pertanian. Akibatnya keberadaan tanah tidak membantu petani meningkatkan kesejahteraannya.

Kondisi ini kemudian mendorong dilaksanakannya konsep reforma agraria, yaitu landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah (reforma aset) yang didukung oleh program penunjang seperti pengairan,perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya (reforma akses). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa reforma agraria terdiri dari 2 (dua) pilar yaitu reforma aset dan reforma akses.2

Landreform dalam pengertian luas akhirnya dapat disamakan dengan reforma agraria, yakni suatu upaya untuk mengubah struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan di atas. Jadi reforma agraria dapat diartikan sebagai landreform plus.

Keterkaitan UUPA dengan landreform tergambarkan jelas pada muatannya, mulai dari Menimbang hingga Penjelasan UUPA, pasal 1 sampai pasal 19 maupun ketentuan Konversi. Secara umum, materi UUPA yang sangat erat terkait landreform adalah pasal 7 yang membatasi pemilikan dan penguasaan tanah, pasal 10 yang mengatur tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri secara aktif, dan pasal 17 menetapkan batas maksimum luas pemilikan tanah.

Upaya pelaksanaan landreform juga didukung oleh beberapa regulasi seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Objek Landreform secara Swadaya, Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1995 tentang Inventarisasi atas Tanah Terlantar, Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absentee Baru, serta Keputusan Menteri Negara

2

Oswar Mungkasa, Reforma Agraria : Sejarah, Konsep, dan Implementasinya, Agraria Indonesia, Edisi 1, 2014, hlm.3.

(6)

3

Agraria/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 1997 tentang Penertiban Tanah Objek Redistribusi Landreform.

Pada tahun 2001, MPR mengeluarkan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria Indonesia. TAP MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, yang secara jelas mencantumkan langkah-langkah percepatan reforma agraria berupa penyempurnaan UUPA No 5/1960 dan regulasi lainnya, serta pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan.

Baru pada tahun 2006, pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara tegas sebagai program pemerintah dengan menetapkannya sebagai salah satu fungsi Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dari 21 fungsi yang diemban BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya adalah reformasi agraria. Selain itu BPN bertanggungjawab langsung kepada presiden. Dengan demikian, Perpres ini merupakan upaya memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan reforma agraria.

Untuk lebih memudahkan dalam memperoleh tanah sumber redistribusi kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memberi peluang bagi penetapan tanah terlantar jika tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tanah terlantar menurut Hukum Agraria?

2. Bagaimana keterikatan tanah terlantar sebagai implementasi pelaksanaan landreform?

(7)

4

3. Bagaimana pengaturan kewenangan penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dalam pelaksanaan landreform?

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah, dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum, dan sistem hukum yang berkaitan.3

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu untuk mempelajari dan menganalisis data secara sistematis melalui buku-buku, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif yang digambarkan secara deskriptif, rangkaian kegiatan analisis data dimulai dari terkumpulnya data sekunder, kemudian menjadi sebuah pola dan dikelompokkan secara sistematis. Analisis data lalu dilanjutkan dengan membandingkan data sekunder terhadap data primer untuk mendapat penyelesaian permasalahan yang diangkat.

Hasil Penelitian

Tanah terlantar, terdiri dari dua (2) kata yaitu tanah dan terlantar. Tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi. Sedangkan terlantar adalah tidak terpelihara, tidak terawat, dan tidak terurus. Tanah terlantar menurut Affan Mukti terbagi dalam dua arti yaitu dalam arti sempit dan arti luas. Tanah terlantar dalam arti sempit yaitu tanah yang tidak dimanfaatkan baik disengaja atau tidak. Sedangkan dalam arti luas, tanah terlantar bukan hanya tanah saja tetapi

3

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 163

(8)

5

bangunan-bangunan, dll, yang tidak dimanfaatkan.4 Tanah terlantar menurut Badan Pertanahan Nasional adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.5

Keberadaan pasal-pasal dalam UUPA mengenai tanah terlantar belum dapat dilaksanakan sebelum adanya suatu peraturan operasional untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya, sehingga Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar sebagai peraturan pelaksanaannya. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 diterbitkan berdasarkan pertimbangan utama. Pertama, bahwa kondisi penelantaran tanah semakin menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan. Kedua, instrumen regulasi berupa peraturan perundang-undangan yang telah ada yaitu PP Nomor 36 Tahun 1998 beserta peraturan pelaksanaannya tidak dapat lagi dijadikan acuan penyelesaian penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar.6

Berdasarkan PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, penertiban tanah terlantar dilakukan dengan 4 (empat) tahap yaitu: (1) Tahapan Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar, (2) Tahapan Identifikasi dan Penelitian, (3) Tahapan Peringatan, (4) Tahap Penetapan Tanah

4

Affan Mukti, Pokok-Pokok Bahasan Hukum Agraria, Medan : USUPress, 2006, hlm. 155

5

Laporan Akuntabilitas Kinerja Badan Pertanahan Nasional 2012, (http://www.bpn.go.id/Portals/0/perencanaan/dokumen-publik/lakip2012.pdf) diakses pada tanggal 10 Maret 2017.

6

Kajian Yuridis Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan Jenis dan

Tarif PNBP Yang Berlaku Pada BPN Dalam Upaya Pelaksanaan Kewenangan Daerah Di Bidang Pertanahan, Oleh Sarjita, S.H., M. Hum., http://kppd.slemankab.go.id/wp- content/uploads/2011/02/Kajian-Yuridis-Penertiban-dan-Pendayagunaan-Tanah-Terlantar-Serta-Pengenaan.pdf, hlm 6, diakses pada tanggal 15 Maret 2017

(9)

6

Terlantar. Tanah- tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar akan menjadi tanah negara. Sebagai langkah selanjutnya tanah- tanah terlantar tersebut akan didayagunakan untuk kepentingan masyarakat .

Berdasarkan pada Kepres No. 34 Tahun 2003, dikaitkan dengan kebijakan pemerintah dalam pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar yang diatur dalam PP No. 11 Tahun 2010, maka organ yang berwenang dalam pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dalam hal penetapan kebijakan pendayagunaan tanah terlantar. Sedangkan pemerintah daerah berwenang dalam inventarisasi dan identifikasi tanah terlantar yang akan didayagunakan atau dimanfaatkan untuk reforma agraria, program strategis Negara, dan cadangan Negara lainnya.

Tanah-tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar dikuasai langsung oleh negara dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, merupaka tanah cadangan umum negara yang dapat didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui reforma agraria, program strategis negara, dan cadangan negara lainnya.

Hasil penertiban tanah terlantar, selain langsung untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui reforma agraria, juga diperlukan untuk kepentingan program strategis guna memenuhi kebutuhan sektor pangan, energi, perumahan rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Disamping itu tanah negara bekas tanah terlantar digunakan juga untuk cadangan negara guna memenuhi kebutuhan tanah bagi kepentingan pemerintah, pertanahan dan keamanan, kebutuhan tanah akibat adanya bencana alam, relokasi dan pemukiman kembali masyarakat yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum.

Disebutkan diatas bahwa tanah-tanah yang telah ditetapkan menjadi tanah terlantar menjadi tanah cadangan umum negara yang dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara antara lain untuk reforma agraria. Reforma agraria sesungguhnya adalah penyelenggaraan landreform yang dilanjutkan dengan pembangunan akses (access reform) terhadap berbagai keperluan untuk berbudidaya dengan tanah yang telah didistribusikan kepada masyarakat. Sehingga formula Reforma Agraria (RA) = Landreform (LR) + Akses Reform

(10)

7

(AR). Reforma agraria didahului dengan penataan sistem politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan UUPA yang kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan landreform dan access reform secara simultan.7

Reforma Agraria merupakan kebijakan pertanahan yang mencakup penataan sistem politik dan hukum pertanahan serta penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah sesuai dengan jiwa Pasal 2 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Penataan aset masyarakat dan penataan akses masyarakat terhadap tanah dapat melalui distribusi dan redistribusi tanah negara bekas tanah terlantar.

Sehubungan dengan itu maka pelaksanaan reforma agraria tidak cukup dengan membagikan tanah negara kepada masyarakat yang dilanjutkan dengan pemberian hak atas tanah dan pendaftaran tanah, namun kegiatan ini harus dilanjutkan dengan pembangunan akses berbagai keperluan masyarakat untuk membudidayakan tanahnnya. Akses yang umumnya diperlukan masyarakat adalah akses teknologi dan kelembagaan, akses terhadap permodalan, akses terhadap perbankan, akses terhadap pasar atas hasil-hasil budidaya yang dilakukan masyarakat dengan menggunakan tanahnya. Menghubungkan landreform dengan access reform diperlukan upaya pendampingan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan reforma agraria yang demikian diproyeksikan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini secara fundamental.

Landreform telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 60-an sebagai salah satu bentuk pelaks60-ana60-an UUPA, namun proses pendistribusi atau redistribusi tanah ini berjalan kurang optimal. Sumber tanah untuk pelaksanaan landreform selain tanah negara bekas tanah terlantar yang ditegaskan menjadi objek landreform, juga tanah-tanah yang terkena ketentuan landreform (berasal

7

Tanah Terlantar : Penertiban dan Pendayagunaannya Untuk Landreform, oleh Budi Mulyanto, ,http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/files/journals/27/articles/538/submission/review/538-1435-1-RV.doc diakses pada tanggal 18 April 2017

(11)

8

dari kelebihan maksimum, absentee, dan bekas swapraja), tanah-tanah yang telah ditegaskan menjadi objek landreform serta tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Kesimpulan

Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Tanah-tanah terlantar yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya sebagaimana mestinya dapat diambil oleh pemerintah sebagai objek landreform dan dibagi-bagikan kepada para petani yang berhak. tanah yang ditetapkan sebagai objek reforma agraria adalah tanah-tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek reforma agraria. Berdasarkan PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, penertiban tanah terlantar dilakukan dengan 4 (empat) tahap yaitu: (1) Tahapan Inventarisasi Tanah Terindikasi Terlantar, (2) Tahapan Identifikasi dan Penelitian, (3) Tahapan Peringatan, (4) Tahap Penetapan Tanah Terlantar. Tanah- tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar akan menjadi tanah negara. Sebagai langkah selanjutnya tanah- tanah terlantar tersebut akan didayagunakan untuk kepentingan masyarakat . Berdasarkan PP No. 11 Tahun 2010, dinyatakan bahwa Peruntukan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara, dan untuk cadangan Negara lainnya.

Saran

1. Penertiban dan pendayagunaan terhadap tanah terlantar hendaknya dapat menjadi sedikit solusi mengatasi kesenjangan yang ada. Terhadap tanah

(12)

9

terlantar yang telah ditetapkan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara dapat diredistribusikan untuk kepentingan masyarakat sesuai dengan kebutuhan yang utama, apakah sebagai tempat tinggal atau sebagai lahan pertanian atau dibangun fasilitas umun dan fasilitas pemerintah. Dalam hal ini, BPN diharapkan harus lebih agresif dan proaktif dalam menjalankan tugasnya di bidang pengawasan dan pengendalian penguasaan tanah, dan melakukan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini demi terciptanya cita-cita konstitusi yakni bumi, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. Pada dasarnya sebagus apapun sebuah peraturan, namun yang tak kalah pentingnya adalah sosialisasi yang berkesinambungan kepada masyarakat tentang dampak negatif adanya tanah terlantar serta regulasi tanah terlantar itu sendiri, baik sebelum tanah tersebut terindikasi sebagai tanah terlantar sampai mekanisme pendayagunaan terhadap tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar oleh Badan Pertanahan Nasional dan lembaga-lembaga yang terkait untuk mencegah bertambahnya keberadaan tanah terlantar.

(13)

10

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, dan Zainal Asikin. 2013. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Mukti, Affan. 2006 Pokok-Pokok Bahasan Hukum Agraria. Medan: USUPress. Oswar Mungkasa, Reforma Agraria : Sejarah, Konsep, dan Implementasinya, Agraria Indonesia, Edisi 1, 2014.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/03/29/n3795b-potensi-tanah-terlantar-capai-75-juta-hektare diakses pada tanggal 8 Februari 2017

Kajian Yuridis Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan Jenis dan Tarif PNBP Yang Berlaku Pada BPN Dalam Upaya Pelaksanaan Kewenangan Daerah Di Bidang Pertanahan, Oleh Sarjita, S.H., M. Hum.,

http://kppd.slemankab.go.id/wp-content/uploads/2011/02/Kajian-Yuridis-Penertiban-dan-Pendayagunaan-Tanah-Terlantar-Serta-Pengenaan.pdf.

Laporan Akuntabilitas Kinerja Badan Pertanahan Nasional 2012, (http://www.bpn.go.id/Portals/0/perencanaan/dokumen-publik/lakip2012.pdf)

Tanah Terlantar : Penertiban dan Pendayagunaannya Untuk Landreform, oleh

Budi Mulyanto,

http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/files/journals/27/articles/538/submission/revi ew/538-1435-1-RV.doc

Referensi

Dokumen terkait

Dalam jurnal ini, tidak ada landasan teori yang di terangkan di latar belakang masalah, meskipun jurnal ini mempunyai suatu tujuan yang sama, tapi penelitian ini membahas

Dalam  halaman‐halaman  berikut,  kita  akan  menyelidiki  sesuatu yang membedakan kita dari ciptaan lainnya, sesuatu  yang  kita  lakukan  berulang  kali 

Dari berbagai kekurangan dan kendala yang ada pada siklus I, maka pada siklus II akan dilakukan upaya sebagai berikut: (1) guru dalam menyampaikan materi harus jelas, saat

Gerakan Senam otak dilakukan pada lansia pada penelitin ini adalah gerakan silang, 8 tidur, pernafasan perut, mengaktifkan tangan, lambaian kaki, pompa betiss,

Penulis tertarik untuk mengamati apakah perusahaan deterjen yang berlokasi di Tasikmalaya telah menetapkan anggaran penjualan, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi,

Yang dimaksud dengan “satu bangunan Rumah Susun dalam satu Tanah Bersama” adalah satu bangunan Rumah Susun yang terdiri atas Rumah Susun Umum dan Rumah

Disamping itu fluktuasi harga yang tinggi juga memberi peluang kepada pedagang untuk memanipulasi informasi harga di tingkat petani sehingga transmisi harga dari

Masa Baligh adalah sebuah fase baru dalam kehidupan setiap muslim yang harus dihadapi oleh mereka dengan bekal karakter kemandirian yang memadahi, dan karakter kemandirian ini