• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DAN EKSPRESI GEN PROTEIN SELUBUNG Pepper vein yellows virus PADA Escherichia coli RITA KURNIA APINDIATI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI DAN EKSPRESI GEN PROTEIN SELUBUNG Pepper vein yellows virus PADA Escherichia coli RITA KURNIA APINDIATI"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DAN EKSPRESI GEN PROTEIN SELUBUNG

Pepper vein yellows virus PADA Escherichia coli

RITA KURNIA APINDIATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi dan Ekspresi Gen Protein Selubung Pepper vein yellows virus pada Escherichia coli adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Rita Kurnia Apindiati

(4)
(5)

RINGKASAN

RITA KURNIA APINDIATI. Identifikasi dan Ekspresi Gen Protein Selubung

Pepper vein yellows virus pada Escherichia coli. Dibimbing oleh GEDE

SUASTIKA dan KIKIN HAMZAH MUTAQIN.

Penyakit klorosis pada tanaman cabai yang disebabkan oleh Pepper vein

yellows virus (PeVYV) anggota dari genus Polerovirus (famili Luteoviridae) telah

ditemukan di Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada pertanaman cabai di Desa Kertha, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, tanaman cabai bergejala klorosis banyak ditemukan dalam intensitas tinggi. Tanaman sakit menunjukkan gejala kuning pada lamina, tetapi tulang daun tetap berwarna hijau. Sejauh ini belum tersedia secara komersial antiserum spesifik PeVYV untuk kepentingan deteksi, sehingga upaya membuat antiserum perlu dilakukan. Salah satu teknik terbaru dalam menyediakan sumber antigen untuk pembuatan antiserum ialah melalui teknik molekuler ekspresi gen protein selubung virus pada bakteri kompeten yang sesuai. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi Pepper vein yellows virus (PeVYV) berdasarkan sifat penularan virus menggunakan Aphis nasturtii, bentuk dan ukuran partikel virus, deteksi RNA total dengan reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR), perunutan sekuen nukleotida, dan ekspresi gen protein selubung PeVYV pada bakteri ekspresi Escherichia coli.

PeVYV dapat ditularkan dari tanaman cabai sakit ke tanaman cabai sehat oleh serangga A. nasturtii (Homoptera: Aphididae). Partikel PeVYV berbentuk heksagonal dengan diameter ~30 nm. RT-PCR menggunakan primer spesifik

forward BamHI dan reverse PstI berhasil mengamplifikasi target gen protein

selubung PeVYV berukuran ~650 pb. Sekuen gen protein selubung PeVYV isolat Bali, Indonesia memiliki homologi sebesar 99% dengan PeVYV isolat Jepang dan Taiwan. PeVYV berhasil dibuktikan sebagai penyebab penyakit klorosis pada tanaman cabai asal Bali, Indonesia. DNA CP-PeVYV dikloning pada vektor ekspresi pQE30 (Qiagen) pada situs enzim restriksi BamHI dan PstI untuk membentuk plasmid rekombinan pQE30-CP-PeVYV dengan fusi protein putatif. Optimasi ekspresi rekombinan CP-PeVYV dilakukan pada beberapa suhu inkubasi yang berbeda (25, 28, 30, dan 37 oC), konsentrasi akhir

Isoprophyl-β-D-thiogalactoside (IPTG) (0.25, 0.5, dan 1 mM) dan waktu panen setelah diinduksi

IPTG (3, 6, 9, 12, dan 15 jam).

Gen protein selubung PeVYV berukuran ~650 pb diamplifikasi dengan primer spesifik, dikloning pada vektor ekspresi pQE30, ditransformasi, dan dikayakan ekspresi gen tersebut (overexpression) pada bakteri ekspresi E. coli strain M15[pREP4]. Analisis SDS-PAGE menunjukkan rekombinan gen protein selubung PeVYV berhasil terekspresi dengan pita protein putatif berukuran ~25 kDa setelah 6 jam diinduksi dengan 0.5 mM IPTG pada suhu 37 °C, tetapi perlu dioptimasi agar ekspresi gen melimpah.

(6)

Penyediaan protein selubung PeVYV murni dapat digunakan sebagai imunogen pada tubuh mamalia (kelinci). Antibodi PeVYV yang terbentuk dapat digunakan sebagai bahan deteksi virus yang bersangkutan.

Kata kunci: Aphis nasturtii, cabai, coat protein, ekspresi, Indonesia, Pepper vein

(7)

SUMMARY

RITA KURNIA APINDIATI. Identification and expression of Pepper vein

yellows virus coat protein gene in Escherichia coli. Under supervision of GEDE

SUASTIKA and KIKIN HAMZAH MUTAQIN.

Based on a survey conducted at chili pepper growing area in Kertha village, Payangan subdistrict, Gianyar district, Bali province, it has been found that chili pepper plants with chlorosis symptoms caused by the virus were at high incidence. Infected plants showed leaf yellow symptom, but the veins remain green. A specific antiserum for PeVYV has not been available commercially. An advance techniques in providing antigen for antiserum production is through molecular approach by overexpressed the coat protein gene in a suitable competent bacteria. This research was aimed to carry out identification of the

Pepper vein yellows virus (PeVYV) from Kertha village, Payangan, Gianyar, Bali

Province based on its transmission property by Aphis nasturtii, the morphology of virus particles, detection of total RNA by reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR), sequencing of nucleotide and expression the coat protein gene of PeVYV in Escherichia coli.

The results showed that PeVYV can be transmitted from infected plant to healthy plant by A. nasturtii (Homoptera: Aphididae). PeVYV particles are hexagonal with the diameter of ~30 nm. RT-PCR of total RNA from chlorotic plants, using specific BamHI and PstI primer pair for coat protein gene of

Polerovirus genus, were successful to amplify a DNA target sized ~650 bp. Coat

protein gene sequence of PeVYV isolates from Bali, Indonesia has 99% homology over PeVYV isolates from Jepang and Taiwan. PeVYV has been proven as the cause of chlorosis in chilipepper plants in Bali, Indonesia. Furthermore, CP-PeVYV DNA was cloned into the expression vector pQE30 (Qiagen) at the same restriction enzyme BamHI and PstI sites to form the recombinant plasmid pQE30-CP-PeVYV a fusion putative protein. Optimization of the expression of recombinant CP-PeVYV performed at different incubation temperatures (25, 28, 30, and 37 ºC), final concentration of isoprophyl-β-D-thiogalactoside (IPTG) (0.25, 0.5, and 1 mM ) and the time of harvesting after IPTG induction (3, 6, 9, 12, and 15 hours).

A ~650 bp gene of PeVYV coat protein was amplified using specific primers, then was cloned into pQE30 expression vector. The recombinant CP gene was over expressed in E. coli strain M15[pREP4]. SDS-PAGE analysis showed that the recombinant coat protein gene PeVYV was expressed into a putative protein band with size about ~25 kDa at 6 hours after induction by 0.5 mM IPTG on 37 °C, but needs to be optimized to result in higher expression. Further purification of PeVYV CP is necessary to provide immunogen for production of its antibody within suitable mammals.

Keywords: Aphis nasturtii, chili pepper, coat protein, expression, Indonesia,

(8)
(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Fitopatologi

IDENTIFIKASI DAN EKSPRESI GEN PROTEIN SELUBUNG

Pepper vein yellows virus PADA Escherichia coli

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(12)
(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Identifikasi dan Ekspresi Gen Protein Selubung Pepper vein yellows virus pada Escherichia coli” ini dapat diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Gede Suastika, MSc sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Kikin Hamzah Mutaqin, MSi sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, saran, dan motivasi selama penelitian dan penulisan tesis ini. Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr sebagai Dosen Penguji Luar Komisi dan Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc sebagai Ketua Program Pascasarjana Fitopatologi terima kasih atas masukan dan sarannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Fitrianingrum Kurniawati, SP MSi yang telah memberikan pengayaan ilmu, Muhammad Rizal, SP MSi, Lutfi Afifah, SP MSi dan Ida Parida, SP MSi,

rekan-rekan mahasiswa PS Fitopatologi angkatan 2012, rekan-rekan di Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB atas

bantuan dan kebersamaannya.

Penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih teruntuk Ayahanda Sodikin, SSos, Ibunda Jumirah, SPdSD, Amin Nur Hidayat, Arina Nur Khotimah atas segala doa, curahan kasih sayangnya, dan dukungannya kepada penulis selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Karakteristik Tanaman Cabai 3

Penyakit-Penyakit Virus pada Tanaman Cabai 3

Pepper vein yellows virus (PeVYV) 4

Metode Deteksi Virus pada Tanaman Cabai 6

Mikroskop Elektron 6

Teknik Serologi 7

Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) 8

Kloning Fragmen DNA 8

Vektor pQE-30 dalam Sistem Ekspresi Protein 9

3 METODE 10

Tempat dan Waktu 10

Penyiapan Isolat PeVYV 10

Mikroskopi Elektron pada Tanaman Cabai 10

Penularan Polerovirus dengan Kutudaun 10

Isolasi RNA Total dari Tanaman Sakit 10

RT-PCR 11

Sintesis cDNA 11

Amplifikasi DNA 11

Visualisasi DNA 11

Analisis Sekuen Nukleotida 11

Kloning Gen Protein Selubung PeVYV 12

Desain Primer 12

Elusi Produk PCR 12

Restriksi Plasmid pQE30 dan Gen CP PeVYV 12

Konstruksi Vektor Ekspresi 12

Persiapan Kompeten Sel E. coli strain M15[pREP4] 13

Ligasi Plasmid pQE30 dan Gen CP PeVYV 13

Transformasi 13

Konfirmasi Transforman dan PCR Koloni 14

(16)

Optimasi Ekspresi Protein CP-PeVYV 14

Analisis Protein dengan SDS-PAGE 15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Isolat PeVYV 16

Mikroskopi Elektron pada Tanaman Cabai 16

Penularan Polerovirus dengan Kutudaun 17

Amplifikasi DNA 18

Perunutan Sekuen Nukleotida 19

Kloning Gen Protein Selubung PeVYV 21

Ekspresi Gen Protein Selubung PeVYVpada E. coli M15[pREP4] 22

5 SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25 Saran 25 DAFTAR PUSTAKA 26 LAMPIRAN 29 RIWAYAT HIDUP 31

DAFTAR TABEL

1 Tingkat kesamaan sekuen nukleotida sebagian gen protein selubung (CP) PeVYV isolat Payangan, Bali, Indonesia dengan isolat lainnya 20 2 Ekspresi Gen Protein Selubung PeVYV pada E. coli M15[pREP4]

berdasarkan optimasi suhu, konsentrasi IPTG, dan waktu setelah

pemberian IPTG dengan analisis SDS-PAGE 23

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram organisasi genom PLRV (Polerovirus) Genomic RNA 5 2 Vektor pQE30 dalam Sistem Ekspresi Protein (Qiagen 2008) 9 3 Vektor pQE30 dalam Sistem Ekspresi Protein CP-PeVYV 13 4 Gejala klorosis pada tanaman cabai di daerah Payangan, Gianyar, Bali 16

5 Mikrograf elektron partikel virus 17

6 (A) Daun cabai sakit sebagai inokulum; (B) Daun tanaman cabai sakit hasil penularan vektor kutudaun; dan (C) kutudaun A. nasturtii 17 7 Hasil amplifikasi DNA sampel daun tanaman cabai bergejala klorosis 18 8 Hasil amplifikasi DNA dari hasil penularan menggunakan A. nasturtii 19

(17)

9 Filogenetika kekerabatan PeVYV isolat cabai Bali, Indonesia 20 10 Hasil transformasi (A) kontrol negatif tanpa diberi plasmid (K-); (B)

koloni E. coli strain M15[pREP4] 21

11 Hasil PCR terhadap koloni tunggal E. coli rekombinan yang membawa

plasmid pQE30-CP-PeVYV 22

12 (a) Representasi skematik konstruksi CP-PeVYV pada vektor ekspresi pQE30 dengan enzim restriksi BamHI dan PstI, (B) Ekspresi gen

CP-PeVYV pada E.coli 24

DAFTAR LAMPIRAN

1 Pensejajaran sekuen nukleotida sebagian gen coat protein (CP) isolat cabai Bali, Indonesia, terhadap isolat-isolat lain di dunia 29

(18)
(19)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia. Produktivitas cabai besar dari tahun 2010 sampai 2014 secara berfluktuasi berturut-turut yaitu 6.58, 7.34, 7.93, 8.16, dan 8.35 ton per ha sedangkan produktivitas cabai rawit dari tahun 2010 sampai 2014 secara berfluktuasi berturut-turut yaitu 4.58, 5.01, 5.75, 5.70, dan 5.93 ton per ha (BPS 2015). Hal tersebut dikarenakan oleh adanya faktor-faktor pembatas produksi yaitu lingkungan abiotik, teknik budidaya yang kurang optimum serta masalah hama dan penyakit tanaman. Penyakit yang termasuk penting pada tanaman cabai di Indonesia adalah yang disebabkan oleh beberapa virus antara lain Geminivirus, Cucumber mosaic virus (CMV), Chili veinal mottle

virus (ChiVMV), Tobacco mosaic virus (TMV), serta Pepper vein yellows virus

(PeVYV).

PeVYV (Luteoviridae; Polerovirus) dilaporkan sebagai penyebab penyakit klorosis. Gejala infeksi virus yang khas yaitu menguning namun tulang daun tetap hijau sehingga tampak menyirip. Gejala ini ditemukan pada tanaman cabai di Desa Kertha, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali (Suastika

et al. 2012). Pada tahun 1981, tanaman paprika menunjukkan gejala klorosis

dengan tulang daun menguning dan daun menggulung di beberapa daerah di Kitanakagusuku, Okinawa, Ishigaki, dan Miyako, Jepang. Gejala ini awalnya diduga disebabkan oleh defisiensi magnesium. Namun, Yonaha et al. (1995) menduga penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus. Berdasarkan pengamatan partikel virus yang diisolasi dari tanaman, partikel virus menyerupai Luteovirus, virus bereplikasi di jaringan floem, serta dapat ditularkan melalui penyambungan dan vektor Aphis gossypii Glover (Gray & Gildow 2003; Murakami et al. 2011). Buah sakit menunjukkan gejala berwarna tidak seragam dan berubah warna (diskolorisasi) pada tanaman paprika di Spanyol (Villanueva et al. 2013). Identifikasi virus sebagai penyebab penyakit merupakan salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan pengendalian di lapangan. Oleh karena itu, konfirmasi virus penyebab gejala klorosis ini perlu dilakukan melalui diagnosis baik secara biologi dan molekuler.

Teknik molekuler yang umum digunakan yaitu Reverse Transcription

Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) yang seringkali tidak efisien untuk deteksi

rutin virus dalam skala besar, sehingga metode serologi seperti ELISA masih menjadi pilihan untuk deteksi dini sampel atau monitoring penyakit di lapangan. Selain itu, uji serologi juga dapat digunakan untuk menentukan konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor, dan mengetahui hubungan kekerabatan antar virus (Agrios 2005). Deteksi virus menggunakan uji serologi memerlukan adanya antiserum yang dibutuhkan untuk proses pendeteksian virus pada tanaman uji dengan gejala yang ditimbulkan. Produksi antiserum memerlukan antigen dalam jumlah dan kualitas yang cukup. Namun, sangat sulit mendapatkan virus murni dalam jumlah yang cukup pada virus yang distribusinya dalam jaringan tanaman terbatas pada floem dan konsentrasi rendah seperti PeVYV. Berkembangnya teknik biologi molekuler

(20)

2

seperti amplifikasi DNA, kloning, dan ekpresi gen pada bakteri ekspresi memungkinkan didapatkan sumber imunogen yang melimpah (Fajardo et al. 2007).

Keterbatasan penyediaan antiserum PeVYV menjadi kendala dalam metode deteksi sampel secara serologi. Metode serologi dijadikan pilihan untuk mendeteksi sampel dalam jumlah besar, contohnya enzyme linked immunosorbent

assay (ELISA). Produksi antiserum dalam jumlah yang cukup dapat mendukung

metode serologi yang digunakan sebagai metode deteksi. Perkembangan teknik biologi molekuler, kloning, dan ekpresi gen virus dapat menjadi strategi penting untuk mendapatkan antigen dalam jumlah besar dengan konsentrasi seragam dan stabil (Fajardo et al. 2007). Produksi antiserum dalam skala besar bisa dilakukan dengan pembuatan protein rekombinan dari patogen target. Teknik produksi antigen (imunogen) melalui cara ini sangat sesuai bagi produksi antiserum pada virus dengan konsentrasi rendah dan distribusinya dalam jaringan floem tanaman (phloem limited). Hal ini karena sulit mendapatkan virus murni dengan jumlah yang cukup sebagai imunogen dalam produksi antiserum.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi PeVYV didasarkan pada sifat penularan virus menggunakan A. nasturtii, bentuk dan ukuran partikel virus, deteksi RNA total dengan reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR), dan perunutan sekuen nukleotida, serta mengekspresikan gen protein selubung PeVYV pada bakteri ekspresi Escherichia coli.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini berupa protein selubung PeVYV murni dapat digunakan sebagai imunogen pada tubuh mamalia (kelinci) sehingga terbentuk antibodi terhadap PeVYV yang kemudian dapat digunakan sebagai sarana deteksi virus yang bersangkutan.

(21)

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Tanaman Cabai

Tanaman cabai adalah tanaman perdu dengan rasa buah pedas yang disebabkan oleh kandungan kapsaisin. Cabai besar atau cabai merah (Capsicum

annuum L.) dan cabai rawit (C. frutescens L.) termasuk anggota famili Solanaceae

yang diketahui dibudidayakan secara luas di Indonesia. Secara umum cabai memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak, kabohidarat, kalsium, vitamin A, B1, dan C (Piay et al. 2010). Tanaman cabai telah digunakan sebagai perasa pedas, aroma, dan bahan pengawet. Selain penggunaannya sebagai bahan masakan, cabai telah dieksplorasi sebagai antimikroba dan antijamur (Omolo et al 2014). Tanaman cabai mampu hidup pada dataran rendah maupun dataran tinggi sampai dengan ketinggian 1400 m di atas permukaan laut. Suhu udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai merah adalah 25 – 27 ºC pada siang hari dan 18 – 20 ºC pada malam hari. Lahan yang paling cocok untuk tanaman cabai merah di Indonesia yaitu jenis tanah mediteran dan aluvial dengan tipe iklim D3/E3, yaitu 0 – 5 bulan basah dan 4 – 6 bulan kering. Tanaman cabai mempunyai toleransi sedang terhadap kemasaman tanah dan dapat tumbuh baik pada kisaran pH 5.5 – 6.8. Tanaman cabai merah dapat mengalami gejala klorosis dan kerdil yang disebabkan oleh kekurangan Ca, Mg, dan P atau keracunan Al dan Mn. Cabai merah termasuk tanaman yang tidak tahan terhadap kekeringan, tetapi juga tidak tahan terhadap genangan air. Syarat-syarat tumbuh tanaman cabai harus dipenuhi agar diperoleh pertumbuhan tanaman yang baik dan optimum sehingga memperoleh hasil yang tinggi (Sumarni & Muharam 2005).

Penyakit-Penyakit Virus pada Tanaman Cabai

Jenis-jenis virus penting yang menginfeksi tanaman cabai di Indonesia awalnya meliputi Geminivirus, Cucumber mosaic virus (CMV), Chili veinal

mottle virus (ChiVMV), dan Tobacco mosaic virus (TMV) (Duriat et al. 2007).

Virus-virus tersebut diketahui menyebabkan penurunan produksi secara kualitatif dan kuantitatif (Sulandari 2004). Geminivirus dari genus Begomovirus biasa dikenal dengan penyakit daun keriting kuning pada tanaman cabai dengan gejala berupa bercak kuning di sekitar tulang daun, tampak vein clearing yang berkembang jelas, dengan tulang daun menebal dan dan daun menggulung ke atas (cupping). Tanaman cabai yang mengalami infeksi lanjut menunjukkan gejala daun mengecil dan berwarna kuning terang, tanaman kerdil, dan produksi buah menurun atau tidak berbuah. Virus ini tidak dapat ditularkan melalui benih, tetapi dapat ditularkan melalui serangga vektor kutu kebul dan grafting (penyambungan). Kutu kebul dapat menularkan Geminivirus secara persisten (Fauquet et al. 2003; Sulandari et al. 2006). CMV termasuk dalam kelompok

Cucumovirus adalah virus yang memiliki kisaran inang paling luas menginfeksi

lebih dari 770 spesies tanaman dari 85 famili. Infeksi CMV pada cabai dapat menyebabkan perubahan warna (mosaik atau belang), perubahan bentuk (menggulung, deformasi, menyempit, mengkerut, shoestring, dan kerdil), serta

(22)

4

mengalami nekrosis. Virus ini tidak dapat ditularkan melalui benih, tetapi dapat ditularkan melalui serangga vektor kutudaun. Tanaman paprika dapat ditularkan oleh Myzus persicae yang merupakan vektor yang paling efisien di iklim dingin, sedangkan A. gossypii merupakan vektor utama untuk iklim hangat secara nonpersisten (Green & Kim 1991). Tanaman cabai yang terinfeksi ChiVMV menujukkan gejala mosaik dengan daun belang dan berwarna hijau gelap. Gejala yang paling jelas terdapat pada daun muda dan pertumbuhannya akan terhambat serta memiliki garis-garis hijau gelap pada batang dan cabang. Selain itu, buah akan menunjukkan gejala mosaik belang. Hal ini akan berdampak pada kehilangan hasil secara signifikan. Penularan virus ini dilakukan secara non persisten melalui kutudaun seperti: M. persicae, A. gossypii, A .craccivora, A. spiraecola, dan Hysteroneura setariae (Cerkaukas 2004). Selain virus-virus tersebut di atas, di Indonesia dilaporkan Pepper vein yellows virus (PeVYV) dapat menyebabkan penyakit klorosis pada tanaman cabai (Suastika et al. 2012).

Pepper vein yellows virus (PeVYV)

PeVYV pada awalnya diklasifikasikan sebagai spesies dari genus

Luteovirus, kemudian oleh Murakami et al. (2011) sebagai spesies baru dari genus Polerovirus anggota famili Luteoviridae berdasarkan analisis urutan genom secara

lengkap. PeVYV pertama kali dilaporkan pada tahun 1981, tanaman paprika menunjukkan gejala klorosis dengan tulang daun menguning dan daun menggulung di Kitanakagusuku, Okinawa, Jepang. Gejala yang sama ditemukan pada area yang berbeda yaitu di Okinawa, Ishigaki, dan Kepulauan Miyako yang diduga disebabkan oleh infeksi virus (Yonaha et al. 1995). Gejala ini awalnya diduga disebabkan oleh defisiensi magnesium. PeVYV tersebut diketahui menginfeksi beberapa Solanaceae seperti Capsicum spp., terbukti dari gejala khas yang dihasilkan setelah infeksi yaitu tulang daun menguning (Rast 1992). Selain itu, tipikal gejala pada daun tanaman inang yaitu kerdil, kemerahan atau menguning maupun deformasi daun (Brault et al. 2001). Gejala ini biasanya disertai dengan bentuk buah yang mengalami malformasi (Yonaha et al. 1995). Villanueva et al. (2013) menyatakan bahwa gejala pada buah paprika berupa buah berwarna tidak seragam dan berubah warna (diskolorisasi). Berdasarkan pengamatan partikel virus yang diisolasi dari tanaman menyerupai Luteovirus menunjukkan bahwa PeVYV bereplikasi di jaringan floem, serta dapat ditularkan melalui grafting (penyambungan) dan vektor A. gossypii Glover (Murakami et al. 2011).

PeVYV memiliki morfologi berupa virion dengan diameter berukuran 25 – 30 nm, berbentuk heksagonal, dan terdiri dari dua CP genom RNA berantai tunggal (King et al. 2012). Genom RNA PeVYV(no. aksesi AB594828) berukuran 6244 pb terdiri atas 6 ORFs utama (Gambar 1), yaitu ORF0, ORF1, ORF2, ORF3, ORF4, dan ORF5 (Regenmortel et al. 2000; NCBI 2013). ORF0 terdiri atas sebuah sekuen F-box konsensus yang berperan dalam interaksi antar protein mengkode protein 0 (P0) terdiri atas 249 asam amino, ORF1 dan ORF2 mengkode fusion protein P1-P2 terdiri atas 1085 asam amino, yang diduga berperan sebagai RNA-dependent RNA polymerase (RdRp) berupa enzim pengkatalisis RNA yang ditranslasikan pada sebuah frameshift a-1 oleh heptanukleotida, ORF3 mengkode protein 3 (P3) terdiri atas 206 asam amino yang

(23)

5 merupakan coat protein (CP: protein selubung) yang berperan dalam kemampuan virus untuk menginfeksi tanaman apabila CP tersebut diekspresikan, selanjutnya ditransfer oleh movement protein (MP) dari satu sel ke sel lainnya yang merupakan ORF4 yang mengkode protein 4 (P4) terdiri atas 156 asam amino yang merupakan protein VPg genome linked, dan ORF5 mengkode protein 5 (P5) yang terdiri atas 736 asam amino dan memiliki read-through domain (RTD) yang merupakan perpanjangan CP (ORF3) (NCBI 2013). PeVYV (Polerovirus) mempunyai non coding region (NCR) intergenik pada nt 199 antara ORF2 dan ORF3, sedangkan Luteovirus dan Enamovirus mempunyai sebuah NCR intergenik sekitar nt 100. Selain itu, Polerovirus ini terdiri atas utas tunggal RNA yang bersifat infeksius, linear, dan positive sense ssRNA (Regenmortel et al. 2000).

Gambar 1 Diagram organisasi genom Polerovirus pada famili Luteoviridae (Regenmortel et al. 2000).

Penularan PeVYV (Polerovirus) tidak dapat dilakukan secara inokulasi mekanis menggunakan daun dari tanaman sakit. Namun, dapat dilakukan menggunakan penyambungan (grafting) dan vektor kutudaun. Inokulasi menggunakan kutudaun dan teknik penyambungan (grafting) dapat digunakan untuk menentukan kisaran inang dari PeVYV. Yonaha et al. (1995) menyebutkan bahwa C. annuum L. var. grossum Sendt. dan C. annuum L. var. longum Sendt. dapat diinfeksi oleh PeVYV melalui teknik penyambungan (grafting). Sedangkan

C. frustescens L., Nicotiana tabacum L., N. glutinosa L., N. rustica L., dan Solanum melongena L. tidak dapat diinfeksi oleh PeVYV melalui teknik

penyambungan (grafting) tersebut.

Penularan virus dari anggota famili Luteoviridae oleh serangga vektor, yaitu kutu daun, terjadi secara persisten sirkulatif yang dapat terbagi menjadi empat proses yang berbeda yaitu konsumsi virus dari tanaman inang ke lumen saluran pencernaan kutu tersebut, periode akuisisi virus melalui saluran pencernaan vektor, periode retensi dalam jaringan dan haemocoel, dan periode transmisi melalui kelenjar ludah dan masuk ke jaringan floem tanaman inang. Alat mulut dari kutudaun ini terdiri atas pemanjangan stilet maksila dan mandibulata yang berlokasi di labium. Stilet digunakan untuk proses konsumsi virus dari tanaman sakit bergejala klorosis pada sel pendamping jaringan floem. Penetrasi dilakukan dengan menembus jaringan secara interselular melalui lamela tengah

(24)

6

yang memisahkan epidermis dan mesofil sel. Setelah stilet mencapai jaringan floem, stilet tersebut didorong melalui dinding sel ke dalam sitoplasma. Periode makan sekitar 15 - 30 menit kemudian konsumsi virus terjadi dalam 1 - 5 menit pada floem. Konsumsi virus ini bersifat spesifik dan apabila virus tersebut tidak spesifik maka akan keluar bersama madu di dalam kotoran. Periode akuisisi terjadi ketika virus diangkut melalui jaringan epitel usus aphid dan dilepaskan ke dalam haemocoel sekitar 12 - 16 jam. Virus bertahan di haemolimf selama beberapa minggu dan secara pasif diangkut ke kelenjar ludah dan masuk ke jaringan floem tanaman inang. Periode laten secara sirkulatif terjadi antara periode waktu kutudaun berhasil saat transmisi dan konsumsi virus. Secara umum, periode laten minimum untuk transmisi yang efisien sedikitnya 24 jam dan dapat diperpanjang 3 - 4 hari. Panjang periode laten dipengaruhi oleh genetik, konsentrasi virus di jaringan tanaman, dan faktor lingkungan misalnya suhu (Gray & Gildow 2003).

Metode Deteksi Virus pada Tanaman Cabai

Deteksi tanaman cabai yang terinfeksi oleh virus secara umum dapat dilakukan secara konvensional maupun molekuler. Teknik deteksi secara konvensional dilakukan dengan cara melihat perkembangan gejala pada tanaman yang terinfeksi, penggunaan tanaman indikator, sifat fisik virus, mikroskopi elektron. Teknik deteksi secara molekuler dilakukan dengan uji serologi, RT-PCR, dan kloning DNA virus. Teknik deteksi secara konvensional relatif mudah dan murah untuk diaplikasikan, tetapi teknik ini hanya dapat dilakukan pada virus-virus yang telah dilaporkan dan tidak dapat memberikan informasi spesies virus yang menginfeksi. Sebagai contoh, deteksi dan identifikasi Begomovirus dengan metode konvensional sering tidak mungkin dilakukan karena tidak semua anggota genus Begomovirus dapat ditularkan secara mekanis dengan cairan perasan tanaman terinfeksi (Aidawati 2006). Oleh karena itu, teknik deteksi secara molekuler hingga kini dianggap teknik yang paling akurat, cepat, dan dapat memberikan informasi yang komprehensif mengenai penyebab penyakit tanaman cabai yang disebabkan oleh virus.

Mikroskopi Elektron

Mikroskop elektron adalah sebuah mikroskop menggunakan elektrostatik dan elektromagnetik yang mampu melakukan pembesaran objek sampai dua juta kali untuk mengontrol pencahayaan dan tampilan gambar serta memiliki kemampuan pembesaran objek serta resolusi tajam daripada mikroskop cahaya. Hamburan elektron merupakan hal mendasar yang perlu diketahui untuk semua mikroskop termasuk mikroskop elektron. Elektron merupakan partikel bermuatan negatif dan bermassa rendah sehingga mudah dibelokkan melewati elektron lainnya. Terdapat dua jenis mikroskop elektron yaitu TEM (Transmission electron

microscope) dan SEM (Scanning electron microsope). TEM dikembangkan

karena adanya resolusi gambar yang terbatas dari penggunaan mikroskop cahaya oleh panjang gelombang cahaya tampak. TEM digunakan untuk pencitraan, pengukuran, modeling, serta manipulasi materi yang dapat dicapai dengan nanokarakterisasi. Aplikasi utama TEM antara lain analisis mikrostruktur, identifikasi defek, analisis interfesa, struktur kristal, tatanan atom pada kristal,

(25)

7 serta analisa elemental skalananometer. Namun, berbeda halnya dengan SEM yang diketahui memfokuskan sinar elektron di permukaan obyek dan mengambil gambarnya dengan mendeteksi elektron yang muncul dari permukaan objek, biasanya digunakan untuk studi arsitektur jasad renik secara tiga dimensi. Perbedaan mendasar dari TEM dan SEM adalah cara elektron yang ditembakkan oleh pistol elektron mengenai sampel. Pada TEM, menggunakan sampel yang sangat tipis sehingga dapat ditembus oleh elektron kemudian hasilnya diolah menjadi gambar. Berbeda halnya pada SEM, sampel tidak ditembus oleh elektron sehingga hanya pendaran hasil dari tumbukan elektron dengan sampel yang ditangkap oleh detektor. TEM memiliki resolusi superior 0.1 - 0.2 nm lebih besar dari SEM, mampu mendapatkan informasi komposisi dan kristalografi dari bahan uji dengan resolusi tinggi, serta memungkinkan mendapatkan berbagai signal utama dari satu lokasi yang sama (Williams & Carter 2009).

Terdapat dua teknik yang dikembangkan dengan mikroskop elektron, yaitu bayangan logam (metal shadowing atau shadow casting) dan pewarnaan negatif (negative staining). Teknik bayangan logam merupakan teknik SEM yang digunakan untuk memberikan gambar tiga dimensi yang biasanya untuk mempelajari bentuk virus dan bakteri kemudian dilapisi logam berat seperti emas atau palladium sehingga menciptakan bayangan spesimen. Teknik pewarnaan negatif merupakan teknik TEM yaitu metode yang digunakan untuk mengiris sel-sel mikroba menjadi irisan tipis mikroskopis mengunakan metal berat seperti timah atau uranil asetat sehinggga terlihat jelas adanya struktur dan ukuran virus dari latar belakang yang gelap (Noordam 1973).

Teknik Serologi

Uji serologi merupakan upaya pengembangan dari teknik diagnosis secara konvensional. Prinsip utama uji serologi adalah mereaksikan antibodi dengan antigen yang sesuai. Sifat khas antobodi dan antigen dimanfaatkan sebagai alat identifikasi patogen dan diagnosis penyakit virus pada tanaman. Antibodi adalah zat kekebalan yang dilepaskan oleh sel darah putih untuk mengenali serta menetralisir antigen yang masuk ke dalam tubuh. Antigen adalah senyawa yang mampu mengimbas tanggap imun apabila diinjeksikan ke dalam hewan berdarah panas. Ketersediaan antiserum dengan kualitas baik memiliki peran penting dalam menentukan keberhasilan dan ketelitian diagnosis virus (Kumari et al. 2006).

Beberapa teknik deteksi virus yang berbasis serologi antara lain teknik difusi agar, dotblotimmunoblotting assay (DBIA), tissue-blotimmunoblotting

assay (TBIA), Western blotting, agarose gel precipitation test (AGPT), dan enzyme linkedimmunosorbent assay (ELISA) (Wilson 2014). Teknik difusi agar

menggunakan antiserum yang bereaksi baik terhadap virus dan protein dari tanaman uji yang bertemu pada zona presipitasi pada agar. Selain itu pada teknik difusi agar diperlukan virus dan antibodi dengan konsentrasi yang benar. AGPT menggunakan teknik presipitasi (pengendapan) antigen oleh antibodi yang sesuai. Uji ini bersifat kualitatif yaitu dapat mengetahui tingkat spesifik keberadaan antibodi terhadap antigen (Noordam 1973). Namun, uji serologi yang sering digunakan untuk mendeteksi virus dalam jumah banyak, akurat, mampu menghitung titer (kuantitatif), dan lebih fleksibel adalah ELISA. Ciri utama ELISA adalah penggunaan enzim (alkalin fosfatase atau peroksidase) untuk reaksi imunologi. Ikatan kovalen antara molekul imunoglobulin dan enzim dapat

(26)

8

digunakan untuk mengamplifikasi reaksi antigen dan antibodi. Teknik ELISA terbagi menjadi double antibody sandwich ELISA (DAS-ELISA) dan indirect ELISA (I-ELISA). Perbedaan utama DAS ELISA dan I-ELISA terletak pada urutan peletakan antigen (sampel virus) (Hampton et al. 1990).

Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)

Deteksi PeVYV pada cabai sangat diperlukan dalam strategi pengendalian. Teknik RT-PCR ini sangat berguna untuk mendeteksi ekspresi gen, amplifikasi RNA sebelum dilakukan kloning dan analisis, maupun diagnosis agensia infektif maupun penyakit genetik. RT-PCR merupakan teknik PCR yang dapat menggandakan RNA menjadi DNA. Teknik RT-PCR terdiri atas dua reaksi yaitu reaksi transkripsi balik (reverse transcription) yang menggunakan genom RNA virus sebagai cetakan dan menghasilkan cDNA primer (untai tunggal) serta reaksi penggandaan PCR. Reaksi PCR sangat sensitif sehingga dapat melipatgandakan satu molekul DNA dan memisahkan gen-gen tunggal dari sekelompok sekuen genom. Primer yang digunakan sesuai dengan virus yang akan dideteksi. PCR merupakan teknik yang relatif sederhana dan merupakan teknik penggandaan (amplifikasi) dengan menggunakan DNA primer yang memiliki runutan nukleotida khas untuk molekul asam nukleat yang akan dideteksi. Primer merupakan molekul oligonukleotida yang disintesis in vitro dan runutan nukleotidanya disesuaikan dengan genom virus yang akan dideteksi. PCR hanya akan menggandakan asam nukleat yang sesuai dengan primer (Yuwono 2006).

Berdasarkan Murakami et al. (2011) telah dilakukan deteksi RT-PCR menggunakan beberapa primer dari PeVYV dari tanaman terinfeksi dengan ukuran produk RT-PCR dari 300 sampai 800 bp yang diperoleh sesuai dengan metode Ryabov dan diklon ke pGEM-T Easy Vector (Promega). RT-PCR dilakukan dengan menggunakan sampel dari tanaman terinfeksi, membenarkan bahwa urutan sekuen merupakan urutan PeVYV.

Kloning Fragmen DNA

Kloning, disebut juga teknologi DNA rekombinan, merupakan suatu metode untuk menggandakan sebuah gen yang meliputi serangkaian proses isolasi fragmen DNA spesifik dari genom suatu organisme, penentuan sekuen atau fragmen DNA, pembentukan molekul DNA rekombinan, dan ekpresi gen target dalam sel inang. DNA rekombinan merupakan gabungan antara DNA vektor yang merupakan molekul DNA yang dapat mereplikasi diri dan DNA asing yang berupa gen target suatu mahluk hidup (Sambrook et al. 2001).

Vektor berperan sebagai pembawa gen yang masuk ke sel inang dalam proses replikasi. Contoh vektor ekspresi yang banyak digunakan yaitu plasmid. Plasmid merupakan molekul DNA sirkuler yang terdapat dalam bakteri dan berbagai organisme lain. Beberapa metode yang dikembangkan untuk pemurnian DNA plasmid dari bakteri meliputi beberapa tahapan yaitu mengkulturkan bakteri, pemanenan, dan lisis bakteri serta pemurnian DNA plasmid. Plasmid dimurnikan dari biakan yang ditumbuhkan dalam media cair yang mengandung antibiotik kemudian diinokulasikan bersama koloni bakteri tunggal pada media agar. Penggunaan plasmid pada teknik rekombinan didasarkan pada beberapa alasan, yaitu ukurannya kecil, tingkat replikasi plasmid tinggi dalam sel inangnya,

(27)

9 resisten terhadap antibiotik, dan memiliki beberapa situs restriksi yang unik (Sambrook et al. 2001; Paolella 1998).

Vektor pQE-30 dalam Sistem Ekspresi Protein

Ekspresi gen adalah proses regulasi gen dari organisasi genom makhluk hidup. Ekspresi gen pada prokariot dikenal dengan istilah sistem operon berupa sekelompok gen struktural yang ekspresinya dikendalikan oleh satu promoter yang sama. Salah satu organisme prokariot yang memiliki sistem operon yaitu

E. coli. E.coli mampu melakukan metabolisme laktosa karena memiliki sistem

operon yang disebut operon lac yaitu satu gen regulator (gen lac I) dan tiga struktural yaitu gen lacZ, lacy, dan lacA. Gen lacZ mengkode β-galaktosidase yang berfungsi menghidrolisis laktosa menjadi monosakarida yaitu galaktosa dan glukosa; gen lacY mengkode enzim permease yang berfungsi meningkatkan permeabilitas sel sehingga laktosa dapat diangkut dari luar sel ke dalam sel; dan gen lacA mengkode trans-asetilase (Robert 2006).

Vektor ekspresi merupakan mediator yang digunakan untuk mengekspresikan gen asing sehingga dapat dikenali oleh sel inang, contohnya plasmid. Penggunaan primer pQE-30 Sequencing-Primer Set dapat digunakan untuk penyisipan runutan pada vektor pQE-30. Primer yang dimasukkan dalam reaksi PCR mengandung vektor untuk disekuen, dNTPs, DNA polymerase, dan rantai fluorescens mengakhiri analog nukleotida (dye terminators). E. coli strain M15[pREP4] dan SG13009[Prep4] membawa plasmid pREP4 yang konstitutif sehingga memungkinkan ekspresi antar protein sebelum induksi IPTG serta diseleksi melalui antibiotik kanamisin. Plasmid pQE-30 (Gambar 2) berukuran sekitar 3.4 kb yang memiliki promoter T5, lacO, synthetic ribosome-binding site (RBSII), ATG (start codon), sekuen 6xHis tag, multicloning site (MCS) dan stop

codons (Qiagen 2008). Ekspresi protein diinduksi dengan penambahan isopropyl–

thio-D-galactose (IPTG).

Gambar 2 Vektor pQE30 dalam Sistem Ekspresi Protein. PT5: promoter T5, lac O: operator lac, RBS: ribosome binding site, ATG: start kodon, 6xHis: sekuen His tag, MCS: multiple cloning site, stop codons: kodon stop pada reading frame ketiga, Col EI: Col EI origin of replication,

(28)

10

3 METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 sampai dengan Desember 2014 di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penyiapan Isolat PeVYV

Sampel tanaman cabai yang bergejala klorosis berasal dari Desa Kertha, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Sampel tersebut merupakan koleksi hidup yang dipelihara di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departeman Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang digunakan sebagai sumber inokulum virus PeVYV.

Mikroskopi Elektron Partikel Polerovirus

Daun cabai bergejala dicacah halus kemudian sap yang diperoleh diteteskan ke grid secara negative staining menggunakan Glutaraldehyde dengan 25% Aqueous Solution (0.1 M Cacodylate Buffer pH 7.4 ditambah 3% Sukrosa). Spesimen tersebut diwarnai uranyl acetate dan lead citrate dan diamati menggunakan mikroskop elektron (JEOL JEM 1010, 80 kV) di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta.

Penularan Polerovirus dengan Kutudaun

Penularan Polerovirus dilakukan menggunakan serangga kutudaun Aphis sp. tanaman cabai sakit ke tanaman cabai sehat. Sejumlah nimfa kutudaun yang tidak bersayap dipuasakan selama 120 menit. Sebanyak 50 ekor kutudaun tersebut diletakkan pada tanaman cabai yang terinfeksi Polerovirus dengan periode makan akuisisi selama 15 menit, kemudian dipindahkan menggunakan kuas ke tanaman cabai sehat berumur empat minggu sebanyak 5 ekor setiap tanaman dengan periode inokulasi 24 jam. Kutudaun tersebut disingkirkan dan tanaman dipelihara di dalam kurungan kedap serangga. Pengamatan selama 14 hari dan dilakukan identifikasi terhadap spesies kutudaun menggunakan kunci identifikasi Blackman dan Eastop (2000).

Isolasi RNA Total dari Tanaman Sakit

Isolasi RNA total dari daun cabai bergejala menggunakan Xprep Plant

RNA Mini Kit (Phile Korea TechnologyTM) sesuai protokol yang dianjurkan. Sebanyak 0.1 g daun bergejala digerus bersama nitrogen cair dalam mortar dengan pistil dan ditambahkan 450 μL bufer XPRB yang mengandung 1% merkaptoetanol. Hasil gerusan dimasukkan ke dalam tabung filter column dan disentrifugasi 13 000 rpm selama 2 menit. Selanjutnya supernatan dipipet dan dipindahkan ke tabung mikro baru dan ditambahkan etanol 96% sebanyak

(29)

11 0.5 volume (~225 µL) dari supernatan, kemudian dipindahkan ke dalam tabung XPLR mini column dan disentrifugasi 13 000 rpm selama 1 menit, kemudian dicuci menggunakan 500 µL wash buffer 1 dan 750 µL wash buffer 2, selanjutnya disentrifugasi 13 000 rpm selama 1 menit, kemudian dibuang dan ditambahkan 50 µL Rnase-freewater sehingga diperoleh RNA total.

RT-PCR Sintesis cDNA

cDNA disintesis dengan reaktan RT-PCR terdiri atas 2 µL RNA total, 2 µL dNTP 10 mM (Thermo ScientificTM, US), 0.75 µL oligo d(T) 10 mM (Thermo ScientificTM, US), 2 µL bufer RT 5x (Thermo ScientificTM, US), 0.35 µL

DTT (Thermo ScientificTM, US), 0.35 µL RNase inhibitor (Ribolock-Thermo ScientificTM, US), 0.35 µL MMuLV reverse transcriptase (Revertaid-Thermo ScientificTM, US), 2.2 µL air bebas nuklease sampai volume total (Thermo ScientificTM, US). Reaksi RT dilakukan pada suhu 42 °C selama 60 menit dan dilanjutkan inaktivasi enzim RT pada suhu 95 °C selama 5 menit.

Amplifikasi DNA

Reaktan PCR dilakukan dengan volume total 25 µL, terdiri atas cDNA 3 µL, Go Tag Green Master Mix 2x 12.5 µL (Promega®, US), air bebas nuklease 7.5 µL, amplifikasi protein selubung dilakukan dengan menggunakan sepasang primer spesifik CP PeVYV. Primer forward F-BamHI (5’-AATTAA GGATCCCAATACGGGAGGGGTTAGGAGAAAT-3’) dan primer reverse R-PstI (3’-AATTAACTGCAGTTTCGGGTTGTGCAATTGCACAGTA-5’) (Suastika et al. 2012) masing-masing 1 µL. Reaksi PCR dilakukan dengan Perkin Elmer 480 Thermocycler (Applied Biosystem®, US). Program PCR yang digunakan yaitu denaturasi inisiasi pada 94 °C selama 5 menit, kemudian dilanjutkan 35 siklus yang terdiri atas denaturasi 94 °C selama 30 detik, penempelan primer (annealing) pada suhu 50 °C selama 1 menit, pemanjangan pada suhu 72 °C selama 1 menit, dan diikuti pemanjangan akhir pada suhu 72 °C selama 10 menit.

Visualisasi DNA

Visualisasi fragmen DNA hasil amplifikasi PCR dielektroforesis menggunakan gel agarosa 1% dalam bufer Tris-borate EDTA (TBE) 0.5X dengan tegangan 100 volt DC selama 30 menit. Pengamatan dilakukan dengan UV

transiluminator setelah direndam dalam larutan ethidium bromide 2% selama

15 menit.

Analisis Sekuen Nukleotida

Analisis keragaman genetik untuk mengetahui tingkat homologi isolat PeVYV dengan isolat lainnya. Perunutan nukleotida dilakukan di First Base®, Malaysia untuk merunut hasil amplifikasi gen CP PeVYV. Hasil sekuensing dari sampel tanaman cabai kemudian dilakukan analisis homologi menggunakan program blast (www.ncbi.com). Homologi gen CP PeVYV terhadap anggota

(30)

12

Polerovirus lainnya yang terdeposit dalam Genbank dianalisis dengan program ClustalW BioEdit. Pohon filogenetik berdasarkan runutan nukleotida gen CP

dibuat menggunakan program perangkat lunak Molecular Evolutionary Genetic

Analysis (MEGA 5.1) menggunakan neighbour joining dengan bootstrap

sebanyak 1000 kali.

Kloning Gen Protein Selubung PeVYV Desain Primer

Desain primer gen CP PeVYV diperoleh dari sekuen gen protein selubung dari GenBank dan sekuen nukleotida PeVYV hasil sekuensing. Primer forward didesain mulai dari ujung 5’ berupa start codon yang tidak diikutkan dalam frame gen CP dan digantikan oleh start codon yang ada pada vektor ekspresi pQE30 kemudian ditambahkan sekuen tambahan AATTAA dan enzim restriksi BamHI (GGATCC). Primer reverse diakhiri stop codon dari ORF gen CP PeVYV dan ditambahkan sekuen tambahan AATTAA dan ditambahkan sekuen dari enzim restriksi PstI (CTGCAG) pada ujung 3’ (Suastika et al. 2012).

Elusi Produk PCR

Produk PCR dari hasil RT-PCR dielektroforesis dalam gel agarose 1%. Produk PCR dan marker DNA 1 Kpb (Thermo ScientificTM, US), masing-masing 10 µL dan 5 µL dimasukkan ke dalam sumuran yang telah disiapkan pada gel agarose. Elektroforesis dilakukan selama 30 menit pada 100 volt. DNA yang telah dielektroforesis kemudian divisualisasi dengan UV transiluminator. Pengamatan dilakukan dengan UV transiluminator setelah direndam dalam larutan ethidium

bromide 2% selama 15 menit. Bagian gel tepat pada produk PCR dipotong dan

dimasukkan ke tabung yang sudah ditambahkan 500 µL Bufer DF (Hi Yield®, China), kemudian divortex dan diinkubasi pada suhu 55 °C sampai gel cair. Siapan kemudian dimasukkan ke DF column dan disentrifugasi dengan kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Selanjutnya, 500 µL wash buffer (Hi Yield®, China) dimasukkan dalam DF column dan disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Sebanyak 20 µL Bufer Elusi (Hi Yield®, China) dimasukkan dalam DF column dan disentrifugasi pada kecepatan 8000 rpm selama 1 menit. Hasil elusi (yang merupakan gen CP PeVYV) disimpan pada suhu -20 °C.

Restriksi Plasmid pQE30 dan Gen CP PeVYV

Plasmid pQE30 dan gen CP PeVYV (hasil PCR) direstriksi dengan enzim

BamHI dan PstI. Reaktan untuk masing-masing restriksi yang dilakukan dengan

total volume 20 µL memiliki komponen: 1 µL plasmid pQE30, 1 µL enzim

BamHI, 1 µL enzim PstI, 2 µL medium bufer, dan 15 µL ddH2O. Reaksi restriksi dinkubasi pada suhu 37 °C selama semalam.

Konstruksi Vektor Ekspresi

Ekpresi gen protein selubung dalam pQE30 dilakukan dengan menggunakan promoter T5. Gen protein selubung PeVYV disisipkan pada tempat

(31)

13 pemotongan BamHI/PstI. Selain itu, terdapat promoter T5 atau operon lac sebelum start codon, protein His tag, dan stop codon pada ujung belakang dari pQE30 sehingga terbentuk pQE30 CP-PeVYV (Gambar 3).

Gambar 3 Vektor pQE30 dalam Sistem Ekspresi Protein CP-PeVYV. Persiapan Kompeten Sel E. coli strain M15[pREP4]

Stok E. coli strain M15[pREP4] dalam gliserol digoreskan pada media agar LB yang mengandung ampisilin 50 µg/mL dan kanamisin 25 µg/mL, kemudian diinkubasi semalam pada suhu 37 °C. Biakan E. coli strain M15[pREP4] tersebut dipindahkan ke dalam 5 mL LB broth yang mengandung antibiotik kemudian diinkubasi semalam pada suhu 37 °C, kemudian biakan bakteri tersebut dipindahkan ke dalam 50 mL media A (LB, MgSO47H2O 10 mM,

glukosa 0.2%) dan diinkubasi selama 2 jam, kemudian dipindahkan ke tabung Falcon steril dan diinkubasi dalam es selama 10 menit kemudian disetrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm, selama 15 menit pada suhu 4 °C. Supernatan dibuang dan diambil peletnya. Pelet diresuspensi dengan 2.5 mL media B (LB, gliserol 36%, PEG 7000 12%, dan MgSO47H2O 12 mM). Siapan bakteri tersebut

kemudian dipindahpisahkan masing-masing 100 µL ke tabung eppendorf 1.5 mL dan disimpan di freezer -80 °C sampai digunakan untuk transformasi (Nishimura

et al. 2003).

Ligasi Plasmid dan Gen CP PeVYV

Gen CP PeVYV disisipkan ke dalam plasmid pQE30 melalui reaksi ligasi mengikuti prosedur yang dibuat produsen plasmid (Qiagen®, US). Ligation mix dengan total volume 10 µL terdiri atas 2 µL plasmid pQE30, 2 µL gen CP PeVYV, 1 µL enzim T4 DNA ligase 10X, 1 µL bufer ligasi, dan 4 µL ddH2O.

Reaksi ligasi dilakukan pada suhu 4 °C selama 16 jam. Hasil ligasi akan menghasilkan plasmid pQE30 yang mempunyai insert gen CP PeVYV, yang untuk selanjutnya disebut plasmid pQE30-CP PeVYV.

Transformasi

Transformasi dilakukan dengan mencampur 10 µL hasil ligasi dengan 100 µL sel kompeten E. coli strain M15[pREP4], kemudian diinkubasi dalam suhu 0 ºC selama 20 menit, heat shock pada suhu 42 °C selama 1 menit, didinginkan dalam suhu 0 ºC selama 2 menit, ditambahkan 500 µL LB cair, dan diinkubasi dengan dishaker pada suhu 37 °C selama 4 jam, kemudian disentrifus

(32)

14

12 000 rpm 1 menit dan supernatan dibuang. Pelet dan LB yang masih tersisa sampai 100 µL dihomogenasi, dan terakhir ditumbuhkan dalam media LB agar mengandung ampisilin 50 µg/mL dan kanamisin 25 µg/mL (Sambrook & Russel 2001).

Konfirmasi Transforman dan PCR Koloni

Transforman ditumbuhkan pada media LB cair yang mengandung ampisilin 50 µg/mL dan kanamisin 25 µg/mL. Sel dari biakan yang berumur 18 jam dipanen dan diisolasi plasmidnya dengan metode lisis alkalin (Sambrook & Russel 2001). Konfirmasi transfroman dilakukan dengan klon rekombinan yang dicek menggunakan koloni PCR.

Satu tusuk gigi klon transforman dimasukkan ke tabung eppendorf berisi ddH2O 10 µL dan diinkubasi pada suhu 95 °C selama 10 menit disiapkan sebagai

template PCR sebanyak 1 µL. Reaktan PCR dilakukan dengan volume total 20 µL, primer PeVYV forward F-BamHI dan primer reverse R-PstI masing-masing 1 µL. Reaksi PCR dilakukan dengan Perkin Elmer 480 Thermocycler (Applied Biosystem®, US). Program PCR yang digunakan yaitu denaturasi inisiasi pada 94 °C selama 5 menit, kemudian dilanjutkan 35 siklus yang terdiri atas denaturasi 94 °C selama 30 detik, penempelan primer (annealing) pada suhu 50 °C selama 1 menit, pemanjangan pada suhu 72 °C selama 1 menit, dan diikuti pemanjangan akhir pada suhu 72 °C selama 10 menit. Hasil amplifikasi PCR plasmid tersebut dengan dielektroforesis menggunakan gel agarosa 1% dalam buffer Tris-borate (TBE) 0.5X pada tegangan 100 volt selama 30 menit. Pengamatan dilakukan dengan UV transluminator setelah direndam dalam larutan ethidium bromide 2% selama 15 menit.

Ekspresi Gen Protein Selubung PeVYV pada E. coli M15[pREP4] Optimasi Ekspresi Protein CP-PeVYV

E.coli strain M15[pREP4] yang membawa plasmid rekombinan

pQE30-CP-PeVYV diinokulasi ke dalam 10 mL media LB yang mengandung ampisilin 50 g/mL dan kanamisin 25 g/mL. Biakan diinkubasi di dalam orbital shaker (150 rpm) pada suhu 37 oC selama satu malam, kemudian sebanyak 100 l biakan diinokulasikan ke dalam 10 mL media LB yang mengandung antibiotik dan diinkubasikan di dalam orbital shaker (150 rpm) pada suhu 37 oC. Optimasi kultur ekspresi dilakukan pada 3 kondisi yang berbeda yaitu konsentrasi IPTG, waktu panen bakteri, dan suhu selama inkubasi bakteri yang berbeda. Setelah pertumbuhan bakteri mencapai OD600 0.5 (sekitar 3-4 jam), biakan diinduksi

dengan 3 konsentrasi IPTG yang berbeda yaitu 0.25, 0.5, dan 1 mM IPTG, diinkubasikan di dalam orbital shaker pada 150 rpm di 4 suhu berbeda yaitu 25, 28, 30, dan 37 oC, dan dipanen pada waktu berbeda yaitu 3, 6, 9, 12, dan 15 jam setelah induksi IPTG. Sel bakteri yang mengekpresikan protein rekombinan dipanen dengan sentrifugasi (12 000 rpm, suhu 4oC, 15 menit), kemudian pelet (insoluble protein) yang dihasilkan dianalisis menggunakan analisis SDS-PAGE.

(33)

15 Analisis Protein dengan SDS-PAGE

Separating gel 12.5% 0.375 M tris pH 8.8 dibuat dengan mencampur

12 mL akuades, 9 mL (tris HCl 1.5 M pH 8.8 dan SDS 10% ), 15 mL

acrylamide/bis, 0.17 mL amonium persulfat (APS) 10%, dan 0.02 mL TEMED

(Merck©), kemudian dipipet pada cetakan gel dan dibiarkan hingga membeku.

Stacking gel 4% 0.125 M tris pH 6.8 dibuat dengan mencampur 7.2 mL akuades,

3 mL (tris HCl 0.5 M pH 6.8 dan SDS 10%), 1.8 mL acrylamide/bis, 0.045 mL APS 10%, dan 0.02 mL TEMED (Merck©), kemudian dipipet dan diletakkan diatas separating gel yang sudah membeku dan stacking gel ditunggu sampai membeku. Setelah stacking gel membeku, dipindahkan ke dalam alat elektroforesis. Sebanyak 50 µL marker protein (BioradTM) dan 50 µL insoluble (1 mL protein hasil ekspresi yang ditambahkan 50 µL loading buffer (BioradTM) didenaturasi pada suhu 95 oC selama 10 menit, kemudian dipipet dan dimasukkan ke dalam gel yang diletakkan pada alat elektroforesis. Elektroforesis dilakukan dengan Biorad power pac 300 selama 210 menit dengan tegangan 150 volt DC. Gel hasil elektroforesis dilepas dari cetakannya dan dimasukkan ke dalam larutan

staining (coomassie brilliant blue R-250, metanol, asam asetat glasial) dan

dishaker semalaman, setelah itu dicuci dengan larutan distaining (metanol, asam asetat glasial, aquades) sampai gel terlihat bening dan pita protein terlihat berwarna biru, hasilnya kemudian difoto, selanjutnya dilakukan analisis sekuen sam aminonya menggunakan ProtParam tool (ExPaSy Bioinformatics Resource

(34)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolat PeVYV

Penyakit klorosis pada ketiga isolat tanaman cabai menunjukkan variasi gejala yaitu gejala ringan, sedang, dan berat. Gejala ringan berupa klorosis pada daun cabai (Gambar 4A). Gejala sedang berupa klorosis dengan menguningnya lamina daun (Gambar 4B). Sedangkan gejala berat berupa klorosis dengan menguningnya lamina daun disertai dengan penebalan daun (Gambar 4C). Penyakit klorosis dengan menguningnya tulang daun yang ditemukan pada daun cabai di Bali, Indonesia tersebut seperti halnya dengan yang dilaporkan oleh Suastika et al. (2012) yang disebabkan oleh Polerovirus. Namun, gejala yang ditemukan pada daun cabai di Bali, Indonesia tersebut tidak memperlihatkan pemendekan internoda atau daun yang menggulung. Yonaha et al. (1995) melaporkan bahwa tanaman cabai yang diinokulasi mekanis menggunakan sap dari daun tanaman cabai sakit tidak menunjukkan gejala klorosis. Namun, setelah dilakukan grafting (penyambungan) dan vektor kutudaun terjadi gejala klorosis dengan menguningnya tulang daun secara jelas pada bagian atas daun dan setelah itu semua daun berkembang menjadi menggulung dan menguning. Gejala ini biasanya disertai dengan bentuk buah mengalami malformasi. Berdasarkan gejala tersebut, terdapat kemiripan dengan penyakit yang diinduksi oleh PeVYV yang telah dilaporkan di beberapa negara lain (Yonaha 1995; Murakami et al. 2011).

Gambar 4 Gejala Polerovirus pada daun cabai asal Payangan, Bali, Indonesia,

diklasifikasikan menjadi tiga gejala: (A) ringan, (B) sedang, dan (C) berat.

Mikroskopi Elektron Partikel Polerovirus

Infeksi PeVYV ini berhasil dikonfirmasi dengan terdeteksi adanya partikel virus dan perunutan sekuen nukleotida dari CP-PeVYV. Partikel PeVYV yang berasal tanaman sakit hasil pengamatan mikroskop elektron berbentuk heksagonal dengan diameter partikel berukuran ~30 nm (Gambar 5), seperti halnya yang telah diungkapkan oleh King et al. (2012). Partikel virus ini banyak terdapat di jaringan floem (Yonaha 1995).

(35)

17

Gambar 5 Mikrograf elektron partikel virus berbentuk heksagonal berukuran diameter ~30 nm yang terdapat pada sap tanaman cabai bergejala klorosis. Skala menunjukkan ~100 nm.

Penularan Polerovirus dengan Kutudaun

Hasil penularan virus menggunakan kutudaun Aphis sp. yang ditunjukkan dalam Gambar 6. A. nasturtii berhasil menularkan Polerovirus yang menyebabkan gejala klorosis pada semua tanaman cabai uji. Periode inkubasi untuk penularan 5 ekor kutudaun pada kesepuluh cabai besar dan kesepuluh cabai rawit yaitu 7 sampai 14 hari. Kejadian penyakit dan tipe gejala pada penularan melalui

A. nasturtii dapat mencapai 100% dengan tipe gejala klorosis disertai penebalan

daun.

Gambar 6 (A) Daun cabai sakit sebagai inokulum; (B) Daun tanaman cabai sakit hasil penularan vektor kutudaun; dan (C) kutudaun A. nasturtii sebagai vektor PeVYV pada tanaman cabai: (1) terminal proses, (2)

antena tubercle, (3) striduratory apparatus tidak ada, (4) cauda, (5)

sifunkuli, dan (6) femur.

Gambar 6A menunjukkan daun cabai sakit bergejala klorosis yang digunakan sebagai inokulum. Berdasarkan hasil penularan menggunakan vektor kutudaun A. nasturtii berhasil menunjukkan gejala klorosis disertai dengan malformasi daun (Gambar 6B). Hal ini sesuai dengan pernyataan Yonaha et al. (1995) bahwa tanaman cabai yang hanya dapat ditularkan menggunakan vektor kutudaun serta grafting (penyambungan) dan tidak dapat diinokulasi secara

(36)

18

54

mekanis menggunakan sap dari daun tanaman cabai sakit. Penularan ini dilakukan secara persisten sirkulatif oleh kutudaun. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Gray dan Gildow (2003) yang menyatakan bahwa virus terbawa dan bergerak dalam saluran makanan melalui foregut dan terakumulasi dalam midgut atau

hindgut kemudian virus terakumulasi dalam haemocoel selama satu sampai dua

minggu. Penularan virus kemudian diinjeksikan ke dalam tanaman melalui saluran air liur ketika kutudaun tersebut makan pada tanaman.

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa spesies kutudaun yang mampu menularkan virus Polerovirus adalah A. nasturtii. Hal ini berbeda dengan yang telah dilaporkan oleh Yonaha et al. (1995) yang menyebutkan bahwa A. gosypii dan M. persicae yang mampu menularkan virus Polerovirus. Gambar 6C menunjukkan ciri-ciri A. nasturtii sebagai berikut: (1) terminal proses pada antena

lebih panjang dari pada base, (2) antena tubercle tidak berkembang, (3) striduratory apparatus tidak ada, (4) cauda berbentuk lidah (tongue) dan

berwarna pucat, (5) sifunkuli berwarna pucat dan ujungnya berwarna gelap, dan (6) Rambut pada femur panjang. Ciri morfologi secara makroskopis antara

A. nasturtii dan A. gosypii adalah sangat mirip, tetapi ketika diidentifikasi secara

mikroskopis menunjukkan adanya perbedaan pada A. nasturtii yaitu sifunkuli berwarna pucat dengan ujung yang berwarna gelap.

Amplifikasi DNA

Teknik RT-PCR menggunakan primer spesifik CP-PeVYV berhasil mengamplifikasi fragmen DNA ~650 pb pada sampel yang menunjukkan gejala positif seperti halnya pada kontrol positif dari daun tanaman cabai asal Payangan, Bali, Indonesia (Gambar 7). Berdasarkan hasil amplifikasi tersebut, isolat bergejala berat digunakan dalam analisis perunutan sekuen nukleotida dan digunakan sebagai insert kloning.

Gambar 7 Hasil amplifikasi DNA sampel daun tanaman cabai bergejala klorosis berat (B), sedang (S), dan ringan (R), K(-), kontrol sehat dan K(+), kontrol positif dari tanaman sakit. M adalah marker 1 Kpb DNA ladder (Thermo Scientific, US).

(37)

19 Keberhasilan penularan virus menggunakan vektor kutudaun A. nasturtii dikonfirmasi dengan RT-PCR yang menunjukkan Polerovirus positif teramplifikasi DNA berukuran ~650 pb pada semua tanaman uji hasil penularan (Gambar 8). Penularan ini dilakukan secara sirkulatif oleh kutudaun (Gray & Gildow 2003).

Gambar 8 Hasil amplifikasi DNA sebanyak sepuluh sampel daun tanaman

cabai bergejala klorosis dari hasil penularan menggunakan

A. nasturtii, K(-), kontrol sehat dan K(+), kontrol positif dari

tanaman sakit, 1 - 10: sampel tanaman uji hasil penularan. M adalah marker 1 Kpb DNA ladder (Thermo Scientific, US).

Perunutan Sekuen Nukleotida

Sekuen gen CP PeVYV isolat Payangan, Bali memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan PeVYV isolat Jepang dan Taiwan hampir 99% (Tabel 1). Menurut King et al. (2012) jika terdapat persamaan sekuen nukleotida dari gen protein selubung antara satu virus dengan virus yang lain dengan nilai lebih dari 90%, maka virus-virus tersebut merupakan spesies virus yang sama. Analisis filogenetika pada kladogram menunjukkan hubungan kekerabatan Polerovirus (Luteoviridae) (Gambar 9). Polerovirus isolat Bali, Indonesia baik yang bergejala klorosis termasuk ke dalam spesies Pepper vein yellow virus (PeVYV) serta memiliki kekerabatan yang dekat dengan PYLCV asal Israel dan TVDV asal Cina, tetapi berada paling jauh kekerabatannya dengan CABYV asal Jepang dan PABYV asal Mali. PeVYV sangat mirip dengan PYLCV isolat Israel seperti yang dikemukakan oleh Dombrovsky et al. (2013). Perbedaan hubungan kekerabatan tersebut kemungkinan berkorelasi dengan perbedaan inang dari masing-masing virus dari genus Polerovirus, family Luteoviridae tersebut. Barley yellow dwarf

virus (BYDV) asal Turki digunakan sebagai outgrup dalam analisis ini. BYDV

asal Turki ini dilaporkan juga merupakan anggota genus Luteovirus dari famili Luteoviridae. Pensejajaran sekuen nukleotida dengan Clustal W menunjukkan bahwa gen CP-PeVYV virus tanaman cabai asal Bali memiliki homologi dengan virus-virus tersebut dan beberapa perbedaan nukleotida pada beberapa lokasi.

(38)

20

54

Tabel 1 Tingkat kesamaan sekuen nukleotida sebagian gen protein selubung (CP) PeVYV isolat cabai Payangan, Bali, Indonesia dengan isolat lainnya yang telah dilaporkan menggunakan program Bioedit V.7.0.5

Keterangan: PeVYV: Pepper vein yellow virus; CABYV: Cucurbit aphid borne yellow; PABYV:

Pepo aphid borne yellows virus; PYLCV: Pepper yellow leaf curl virus; TVDV: Tobacco vein distorting virus; Barley yellow dwarf virus (BYDV)

Gambar 9 Filogenetika kekerabatan Polerovirus isolat cabai Bali, Indonesia berdasarkan sikuen nukleotida sebagian gen coat protein (CP) menggunakan metode neighbour joining tree pada program MEGA 5.1 dengan bootstrap 1000. PeVYV_Jepang PeVYV_Taiwan PeVYV_Bali_Indonesia PeVYV_Filipina PeVYV_Mali PeVYV_Thailand PeVYV_India PeVYV_Turki PYLCV_Israel TVDV_Cina CABYV_Jepang PABYV_Mali BYDV_Turki

(39)

21 Kloning Gen Protein Selubung PeVYV

Keberhasilan proses ligasi ditunjukkan oleh plasmid pQE30 yang digunakan sebagai vektor dengan fragmen DNA dari gen CP-PeVYV yang diintroduksi ke dalam E. coli strain M15[pREP4]. Proses transformasi selanjutnya menggunakan bakteri E. coli kompeten. Hasil transformasi ditunjukkan oleh kemampuan tetap tumbuhnya E. coli berupa koloni berwarna putih pada media yang mengandung ampisilin (Gambar 10).

Gambar 10 Hasil transformasi (A) kontrol negatif tanpa diberi plasmid (K-); (B) koloni E. coli strain M15[pREP4] yang membawa plasmid rekombinan pQE30-CP-PeVYV yang tumbuh pada media LB yang

mengandung antibiotik ampisilin 50 g/mL dan kanamisin 25 g/mL.

Satria et al. (2009) mengemukakan bahwa antibiotik ampisilin pada medium akan menghambat sel yang tidak mengandung plasmid yang ditransformasikan untuk tumbuh karena ketiadaan gen penyandi resistensi terhadap ampisilin. Sedangkan sel yang mengandung plasmid yang membawa sisipan DNA akan berwarna putih pada media karena tidak dapat menghasilkan ujung α atau bagian N terminal dari protein β-galaktosidase. Sistem penyeleksian klon berdasarkan aktivitas gen yang digunakan sebagai material dalam kloning meliputi DNA target, vektor, dan sel inang. Klon E.coli strain M15[pREP4] yang positif membawa plasmid rekombinan telah berhasil diseleksi menggunakan koloni PCR (Gambar 11). Keenam klon transforman ditunjukkan oleh satu pita tunggal dengan ukuran ~650 pb yang berhasil diamplifikasi dari koloni tunggal klon rekombinan dengan primer forward F-BamHI dan primer reverse R-PstI.

(40)

22

54

Gambar 11 Hasil PCR terhadap koloni tunggal E. coli rekombinan yang membawa plasmid pQE30-CP-PeVYV dengan primer spesifik genus

Polerovirus F-BamHI dan R-PstI (1, 2, 3, 4, 5, dan 6); M adalah

marker 1 Kpb DNA ladder (Thermo Scientific, US).

Ekspresi Gen Protein Selubung PeVYVpada E. coli M15[pREP4] Plasmid rekombinan pQE30-CP yang membawa gen CP-PeVYV berhasil dikonstruksi dengan menyisipkan gen tersebut pada situs pemotongan BamHI/

PstI. Klon E. coli strain M15[pREP4] (Qiagen) yang positif membawa plasmid

rekombinan telah berhasil diseleksi dengan PCR berukuran ~650 pb. Optimasi ekspresi rekombinan CP-PeVYV dilakukan pada beberapa suhu inkubasi yang berbeda (25 oC, 28 oC, 30 oC, dan 37 oC), konsentrasi

Isoprophyl-β-D-thiogalactoside (IPTG) final (0.25, 0.5, dan 1 mM) dan waktu panen setelah

diinduksi IPTG (3, 6, 9, 12, dan 15 jam) pada Tabel 2. Hasil analisis dengan SDS-PAGE menunjukkan plasmid rekombinan pQE30-CP-PeVYV dengan fusi protein berukuran ~25 kDa yang diduga sebagai CP PeVYV terdeteksi pada klon yang diinduksi dengan IPTG dibanding klon yang tidak diinduksi. Hal ini menunjukkan bahwa gen CP PeVYV telah berhasil diekspresikan dalam pQE30 dengan E. coli strain M15[pREP4] (Qiagen).

PeVYV memiliki kesamaan dengan Pepper yellow leaf curl virus (PYLCV) yang termasuk dalam genus Polerovirus. Gejala dari PYLCV meliputi pemendekan ruas batang, menguningnya tulang daun, keriting, kecil, dan buah berubah warna. Analisis sekuen genom PYLCV berukuran 6 028 pb yang terdiri atas enam open reading frames (ORFs). ORF0 mengkode 28.14 kDa protein 0 (P0), ORF1 mengkode 72.12 kDa protein 1 (P1), ORF2 mengkode 65.58 kDa protein 2 (P2) yang diduga berperan sebagai RNA-dependent RNA polymerase (RdRp), ORF3 mengkode 22.51 coat protein (CP: protein selubung), dan sejajar ORF4 yang mengkode movement protein (MP), ORF5 memiliki read-through

domain (RTD) menghasilkan sebuah protein gabungan 77.94 kDa yang terdiri

atas produk ORF3 (CP) dan berdekatan dengan ORF5 (Dombrovsky et al. 2013). ~650 pb

Gambar

Gambar 1  Diagram  organisasi  genom  Polerovirus  pada  famili  Luteoviridae  (Regenmortel et al
Gambar 2  Vektor pQE30 dalam Sistem  Ekspresi  Protein. PT5:  promoter T5, lac  O: operator lac, RBS: ribosome binding site, ATG: start kodon, 6xHis:
Gambar 3 Vektor pQE30 dalam Sistem Ekspresi Protein CP-PeVYV.
Gambar 6   (A)  Daun  cabai  sakit  sebagai  inokulum;  (B)  Daun  tanaman  cabai  sakit hasil penularan vektor kutudaun; dan (C) kutudaun A
+7

Referensi

Dokumen terkait

Parameter ini diisi sesuai dengan Permendagri Nomor 113 tahun 2013. Dalam modul pelatihan ini menggunakan nama desa, kode rekening dan bidang kegiatan yang

Dari petani padi yang berbagai etnis tersebut, hanya terdapat 2 (dua) etnis petani padi yang masih menggunakan Sistem Kerja yang berbasis gotong royong, seperti Etnis Banjar

terbesar terjadi pada perendaman tuak sedang (50 detik) sedangkan pada perendaman tuak berat (250 detik) terdapat penurunan kekerasan email gigi namun tidak sebesar

Plan Director 2013-2016) explicitly name Democracy Support and governance as focuses of Spanish Oicial Development Aid; Denmark’s ‘he Right to a Better Life’, adopted in 2012,

Dengan memiliki fasilitas knowledge repository, secara tidak langsung akan membantu perusahaan dalam menjaga informasi perusahaan dan knowledge perusahaan, seperti

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadiran Tuhan YME, karena rahmat dan karunia-Nya penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapat data sebagai berikut: (1) perencanaan program kelompok bina usaha (KBU) handycraft dilihat dari kebutuhan,

Dengan didasarkan pada studi literatur dan pembahasan, maka peran intermediasi sosial dengan memperguna- kan dana-dana sosial yang sesuai dalam perpektif islam yaitu zakat, infaq,