• Tidak ada hasil yang ditemukan

Universitas Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Universitas Sumatera Utara"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

2.1.1. Definisi

ISPA adalah penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang berlangsung sampai 14 hari lamanya. Saluran pernafasan adalah organ yang bermula dari hidung hingga alveoli beserta segenap adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Sedangkan yang dimaksud dengan infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisma ke dalam tubuh dan berkembang biak sehingga menimbulkan penyakit (Depkes, 2000).

2.1.2. Etiologi

Mayoritas penyebab dari ISPA adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih dari 90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah frekuensinya lebih kecil. Penyakit ISPA bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus paranasalis sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral, sedangkan ISPA bagian bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri. Saat ini telah diketahui bahwa penyakit ISPA melibatkan lebih dari 300 tipe antigen dari bakteri maupun virus tersebut (WHO, 1986).

WHO (1986), juga mengemukakan bahwa kebanyakan penyebab ISPA disebabkan oleh virus dan mikoplasma, dengan pengecualian epiglotitis akut dan pneumonia dengan distribusi lobular. Adapun virus-virus (agen non bakterial) yang banyak ditemukan pada ISPA bagian bawah pada bayi dan anak-anak adalah Respiratory

(2)

2.1.3. Klasifikasi

WHO (1986) telah merekomendasikan pembagian ISPA menurut derajat keparahannya. Pembagian ini dibuat berdasarkan gejala-gejala klinis yang timbul, dan telah ditetapkan dalam lokakarya Nasional II ISPA tahun 1988.

Adapun pembagiannya sebagai berikut :

1) ISPA ringan Ditandai dengan satu atau lebih gejala berikut :

-Batuk

-Pilek dengan atau tanpa demam 2) ISPA sedang

Meliputi gejala ISPA ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut: - Pernafasan cepat : Usia bayi kurang 1 tahun : 50 kali / menit atau lebih.

Usia bayi 1- 4 tahun : 40 kali / menit atau lebih Mengi

-Sakit dan keluar cairan dari telinga. -Bercak kemerahan . 3) ISPA berat

Meliputi gejala sedang/ringan ditambah satu atau lebih gejala berikut: - Penarikan sela iga ke dalam sewaktu inspirasi. - Kesadaran menurun.

- Bibir / kulit pucat kebiruan.

- Stridor sewaktu istirahat. - Adanya selaput membran difteri.

(3)

2.1.4. Faktor Resiko ISPA

2.1.4.1. Faktor Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Bayi yang dilahirkan dengan BBLR mudah terserang ISPA. Ini karena, bayi BBLR memiliki sistem pertahanan tubuh yang rendah terhadap mikroorganisme patogen. Dengan infeksi ringan saja sudah cukup membuat sakit, sehingga bayi BBLR rentan terhadap penyakit infeksi termasuk penyakit ISPA. Warta posyandu ( 1998/1999), telah mempublikasikan tentang faktor BBLR yang meningkatkan morbiditas ISPA. Sukar et al. (1996), juga telah melaporkan adanya hubungan signifikan antara BBLR dengan resiko terjadinya kejadian ISPA.

2.1.4.2. Faktor Umur

Faktor resiko ISPA juga sering disebutkan dalam literature adalah faktor umur. Adanya hubungan antara umur anak dengan ISPA mudah dipahami, karena semakin muda umur balita, semakin rendah daya tahan tubuhnya. Menurut Tupasi et al. (1998), resiko terjadi ISPA lebih besar pada bayi berumur kurang dari satu tahun, sedangkan menurut Sukar et al. (1996), anak berumur kurang dari dua tahun memiliki resiko lebih tinggi untuk terserang ISPA. Depkes (2000), menyebutkan resiko terjadinya ISPA yaitu pneumonia terjadi pada umur lebih muda lagi yaitu kurang dari dua bulan.

2.1.4.3. Faktor Vitamin

Diketahui adanya hubungan antara pemberian vitamin A dengan resiko terjadi ISPA. Anak dengan xerophthalmia ringan memiliki resiko 2 kali untuk menderita ISPA. Depkes (2000), menyebutkan bahwa keadaan defisiensi vitamin A merupakan salah satu faktor resiko ISPA. Defisiensi vitamin A dapat menghambat pertumbuhan balita dan mengakibatkan pengeringan jaringan epitel saluran pernafasan. Gangguan pada epitel ini juga menjadi penyebab mudahnya terjadi ISPA.

(4)

2.1.4.4. Faktor Gangguan Gizi (Malnutrisi)

Malnutrisi dianggap bertanggungjawab terhadap ISPA pada balita terutama pada Negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini mudah dipahami karena keadaan malnutrisi menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh anak. Hal tersebut memudahkan kemasukan ajen penyakit ke dalam tubuh. Malnutrisi menyebabkan resistensi terhadap infeksi menurun oleh efek nutrisi yang buruk. Menurut WHO (2000), telah dibuktikan bahawa adanya hubungan antara malnutrisi dengan episode ISPA.

2.1.4.5. Faktor Pendidikan Ibu

Ibu dengan pendidikan yang baik akan memiliki akses informasi yang lebih luas sehingga berdampak positif terhadap cara merawat bayi. Kemampuan merawat bayi oleh seorang ibu ada hubungannya dengan tingkat kemampuan masyarakat. Itulah sebabnya sehingga Infant Mortality Rate (IMR) suatu negara dijadikan sebagai parameter terhadap kemajuan negara tersebut (Deb, 1998).

2.1.4.6. Status Sosioekonomi

Diketahui bahwa kepadatan penduduk dan tingkat sosioekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat. Sebuah penelitian telah di Filipina membuktikan bahwa sosiaoekonomi orang tua yang rendah akan meningkatkan resiko ISPA pada anak usia kurang dari 1 tahun (Tupasi et al., 1988). 2.1.4.7. Polusi Udara

Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA adalah rendahnya kualitas udara di dalam rumah ataupun di luar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia untuk mengetahui efek pencemaran udara terhadap gangguan saluran pernafasan pada siswa Sekolah Dasar (SD) dengan membandingkan antara mereka yang tinggal di wilayah pencemaran udara tinggi dengan siswa yang tinggal di wilayah pencemaran udara rendah di Jakarta. Dari hasil penelitian tidak ditemukan adanya perbedaan kejadian baru atau insiden penyakit atau gangguan saluran pernafasan pada siswa SD di kedua wilayah pencemaran udara. Hal ini menunjukkan

(5)

bahwa tingkat pencemaran menjadi tidak berbeda dengan wilayah dengan tingkat pencemaran tinggi sehingga tidak ada lagi tempat yang aman untuk semua orang untuk tidak menderita gangguan saluran pemafasan. Hal ini menunjukkan bahwa polusi udara sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit ISPA.

Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di negara Zimbabwe akan mempermudah terjadinya ISPA pada anak (Sumargono, 1989).

2.1.4.8. Faktor Pemberian Air Susu Ibu (ASI)

ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat antimikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis membentuk sistem biologis. ASI dapat memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan atas (Soeharyono et al., 1989).

2.1.5. Patofisiologi

Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran pernafasan bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Colman, 1992).

Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran pernafasan, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk. (Colman, 1992).

(6)

Adanya infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibat infeksi virus tersebut terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran pernafasan sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti kedinginan dan malnutrisi. Suatu laporan penelitian menyebutkan bahwa dengan adanya suatu serangan infeksi virus pada saluran pernafasan dapat menimbulkan gangguan gizi akut pada bayi dan anak. Virus yang menyerang saluran pernafasan atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat menyebabkan kejang, demam, dan juga menyebar ke saluran pernafasan bawah. Dampak infeksi sekunder bakteri pun menyerang saluran pernafasan bawah, sehingga bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus, dapat menginfeksi paru-paru sehingga menyebabkan pneumonia bakteri (Colman, 1992). Penanganan penyakit saluran pernafasan pada anak harus diperhatikan aspek imunologis saluran pernafasan terutama dalam hal bahwa sistem imun di saluran pernafasan yang sebagian besar terdiri dari mukosa, tidak sama dengan sistem imun sistemik pada umumnya. Sistem imun saluran pernafasan yang terdiri dari folikel dan jaringan limfoid yang tersebar, merupakan ciri khas sistem imun mukosa. Ciri khas berikutnya adalah bahwa imunoglobulin A (IgA) memegang peranan pada saluran pernafasan atas sedangkan imunoglobulin G (IgG) pada saluran pernafasan bawah. Diketahui pula bahwa sekretori IgA sangat berperan dalam mempertahankan integritas mukosa saluran pernafasan (Colman, 1992).

Dari uraian di atas, perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:

(7)

1) Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum menunjukkan reaksi apa-apa.

2) Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang sudah rendah. 3) Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala demam dan batuk.

4) Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna, sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat pneumonia.

2.2. Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif

2.2.1. Definisi ASI eksklusif

ASI Eksklusif adalah pemberian ASI pada bayi tanpa tambahan makanan lainnya ataupun cairan lainnya seperti susu formula, jeruk, madu, air putih dan tanpa tambahan makanan padat apapun seperti pisang, pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi dan tim sampai usia enam bulan (Roesli, 2005).

2.2.2. Komposisi ASI

ASI mengandung air sebanyak 87.5%, oleh karena itu bayi yang mendapat cukup ASI tidak perlu lagi mendapat tambahan air walaupun berada di tempat yang mempunyai suhu udara panas. Kekentalan ASI sesuai dengan saluran pencernaan bayi, sedangkan susu formula lebih kental dibandingkan ASI. Hal tersebut yang dapat menyebabkan terjadinya diare pada bayi yang mendapat susu formula (Roesli, 2005).

2.2.2.1. Karbohidrat

Laktosa adalah karbohidrat utama dalam ASI dan berfungsi sebagai salah satu sumber energi untuk otak. Kadar laktosa yang terdapat dalam ASI hampir dua kali lipat dibanding laktosa yang ditemukan pada susu sapi atau susu formula. Namun demikian angka kejadian diare yang disebabkan karena tidak dapat mencerna laktosa (intoleransi laktosa) jarang ditemukan pada bayi yang mendapat ASI. Hal ini disebabkan karena penyerapan laktosa ASI lebih baik dibanding laktosa susu sapi atau susu formula. Kadar karbohidrat dalam kolostrum tidak terlalu tinggi, tetapi

(8)

jumlahnya meningkat terutama laktosa pada ASI transisi (7-14 hari setelah melahirkan). Sesudah melewati masa ini maka kadar karbohidrat ASI relatif stabil (Roesli, 2005).

2.2.2.2. Protein

Kandungan protein ASI cukup tinggi dan komposisinya berbeda dengan protein yang terdapat dalam susu sapi. Protein dalam ASI dan susu sapi terdiri dari protein whey dan Casein. Protein dalam ASI lebih banyak terdiri dari protein whey yang lebih mudah diserap oleh usus bayi, sedangkan susu sapi lebih banyak mengandung protein Casein yang lebih sulit dicerna oleh usus bayi.

ASI mempunyai jenis asam amino yang lebih lengkap dibandingkan susu sapi. Asam amino taurin diperkirakan mempunyai peran pada perkembangan otak karena asam amino ini ditemukan dalam jumlah cukup tinggi pada jaringan otak yang sedang berkembang. Taurin ini sangat dibutuhkan oleh bayi prematur, karena kemampuan bayi prematur untuk membentuk protein ini sangat rendah.

ASI juga kaya akan nukleotida yang mempunyai peran dalam meningkatkan pertumbuhan dan kematangan usus, merangsang pertumbuhan bakteri baik dalam usus dan meningkatkan penyerapan besi dan daya tahan tubuh (Roesli, 2005).

2.2.2.3. Lemak

Kadar lemak dalam ASI lebih tinggi dibanding dengan susu sapi dan susu formula. Kadar lemak yang tinggi ini dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan otak yang cepat selama masa pertumbuhan bayi. Terdapat beberapa perbedaan antara profil lemak yang ditemukan dalam ASI dan susu sapi atau susu formula. Lemak omega 3 dan omega 6 yang berperan pada perkembangan otak bayi banyak ditemukan dalam ASI. Disamping itu, ASI juga mengandung banyak asam lemak rantai panjang diantaranya Asam Dokosaheksanoik (DHA) dan Asam Arakidonat (ARA) yang berperan terhadap perkembangan jaringan saraf dan retina mata (Roesli, 2005).

(9)

Karnitin ini mempunyai peran membantu proses pembentukan energi yang diperlukan untuk mempertahankan metabolisme tubuh. ASI mengandung kadar karnitin yang tinggi terutama pada 3 minggu pertama menyusui, bahkan di dalam kolostrum kadar karnitin ini lebih tinggi lagi. Konsentrasi karnitin bayi yang mendapat ASI lebih tinggi dibandingkan bayi yang mendapat susu formula (Soysa, 1991).

2.2.2.5. Vitamin Vitamin K

Vitamin K dibutuhkan sebagai salah satu zat gizi yang berfungsi sebagai faktor pembekuan. Kadar vitamin K ASI hanya seperempatnya kadar dalam susu formula. Bayi yang hanya mendapat ASI berisiko untuk terjadi perdarahan, walapun angka kejadian perdarahan ini kecil. Oleh karena itu pada bayi baru lahir perlu diberikan vitamin K yang umumnya dalam bentuk suntikan (Soysa, 1991).

Vitamin D

Seperti halnya vitamin K, ASI hanya mengandung sedikit vitamin D. Hal ini tidak perlu dikuatirkan karena dengan menjemur bayi pada pagi hari maka bayi akan mendapat tambahan vitamin D yang berasal dari sinar matahari. Sehingga pemberian ASI eksklusif ditambah dengan membiarkan bayi terpapar pada sinar matahari pagi akan mencegah bayi menderita penyakit tulang karena kekurangan vitamin D (Soysa, 1991).

Vitamin E

Salah satu fungsi penting vitamin E adalah untuk ketahanan dinding sel darah merah. Kekurangan vitamin E dapat menyebabkan terjadinya kekurangan darah (anemia hemolitik). Keuntungan ASI adalah kandungan vitamin E nya tinggi terutama pada kolostrum dan ASI transisi awal (Soysa, 1991).

Vitamin A

Selain berfungsi untuk kesehatan mata, vitamin A juga berfungsi untuk mendukung pembelahan sel, kekebalan tubuh, dan pertumbuhan. ASI mengandung dalam jumlah

(10)

tinggi tidak saja vitamin A dan tetapi juga bahan bakunya yaitu beta karoten. Hal ini salah satu yang menerangkan mengapa bayi yang mendapat ASI mempunyai tumbuh kembang dan daya tahan tubuh yang baik (Soysa, 1991).

Vitamin yang larut dalam air

Hampir semua vitamin yang larut dalam air seperti vitamin B, asam folat, vitamin C terdapat dalam ASI. Makanan yang dikonsumsi ibu berpengaruh terhadap kadar vitamin ini dalam ASI. Kadar vitamin B1 dan B2 cukup tinggi dalam ASI tetapi kadar vitamin B6, B12 dan asam folat mungkin rendah pada ibu dengan gizi kurang. Oleh karena vitamin B6 dibutuhkan pada tahap awal perkembangan sistem saraf, maka pada ibu yang menyusui perlu ditambahkan vitamin ini. Sedangkan, untuk vitamin B12 cukup didapat dari makanan sehari-hari, kecuali ibu menyusui yang vegetarian (Soysa, 1991).

2.2.2.6. Mineral

Mineral utama yang terdapat di dalam ASI adalah kalsium yang mempunyai fungsi untuk pertumbuhan jaringan otot dan rangka, transmisi jaringan saraf dan pembekuan darah. Walaupun kadar kalsium ASI lebih rendah dari susu sapi, tapi tingkat penyerapannya lebih besar. Penyerapan kalsium ini dipengaruhi oleh kadar fosfor, magnesium, vitamin D dan lemak (Roesli, 2005).

Kandungan zat besi baik di dalam ASI maupun susu formula dan keduanya rendah serta bervariasi. Namun bayi yang mendapat ASI mempunyai resiko yang lebih kecil untuk mengalami kekurangan zat besi dibanding dengan bayi yang mendapat susu formula. Hal ini disebabkan karena zat besi yang berasal dari ASI lebih mudah diserap, yaitu 20-50% dibandingkan hanya 4 -7% pada susu formula (Roesli, 2005). Mineral zink dibutuhkan oleh tubuh karena merupakan mineral yang banyak membantu berbagai proses metabolisme di dalam tubuh. Kadar zink ASI menurun cepat dalam waktu 3 bulan menyusui. Kandungan mineral zink ASI juga lebih rendah dari susu formula, tetapi tingkat penyerapan lebih baik. Penyerapan zink terdapat di dalam ASI, susu sapi dan susu formula berturut-turut 60%, 43-50% dan 27-32%.

(11)

Mineral yang juga tinggi kadarnya dalam ASI dibandingkan susu formula adalah selenium, yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan cepat (Roesli, 2005).

2.2.3. ASI Eksklusif 6 Bulan

WHO (2000), dan Department Kesehatan RI (2000), telah menetapkan rekomendasi pemberian ASI Ekslusif selama 6 bulan. Menurut WHO (2000), ASI adalah suatu cara yang tidak tertandingi oleh apapun dalam menyediakan makanan ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan seorang bayi. Biasanya bayi siap untuk makan makanan padat, baik secara pertumbuhan maupun secara psikologis, pada usia 6 – 9 bulan. Bila makanan padat sudah mulai diberikan sebelum sistem pencernaan bayi siap untuk menerimanya, maka makanan tersebut tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan reaksi yang tidak menyenangkan seperti gangguan pencernaan, timbulnya gas, dan konstipasi. Berbagai catatan menunjukkan bahwa memperpanjang pemberian ASI eksklusif mengakibatkan rendahnya angka insiden terjadinya alergi makanan (Roesli, 2000).

2.2.4. Stadium Laktasi

Berdasarkan stadium laktasi , maka ISPA dibedakan kepada kolostrum, ASI transisi dan ASI matang. Kolostrum iaitu ASI yang dihasilkan oleh seorang ibu dari hari pertama pascapersalinan hingga pada hari ke-4 atau ke-7. Asi transisi dihasilkan pada masa peralihan atau hari ke-4 hingga hari ke-10 atau ke-14. ASI matang pula dihasilkan sesudah hari ke-14 dan seterusnya (Lawrence, 1994).

2.2.5. Sifat Anti Infeksi dari ASI

ASI ternyata bukan hanya sumber gizi bagi bayi akan tetapi juga mengandung immunoglobulin ( Ig) iaitu antibody zat penangkal mikroorganisme patogen baik dari golongan virus mahupun dari golongan bakteri. Pada penelitian berhasil diungkapkan bahawa pada waktu persalinan normal ternyata kolostrum yang mengandung immunoglobulin G (IgG) sekitar 500mg per 100cc. Pada penelitian oleh National

Institute of Nutrition di Hyderabad, India terbukti bahawa kadar IgG pada serum bayi

(12)

mengkonsumsi susu formula. Disamping itu, ASI juga mengandungi Ig A , Ig M , Ig D dan Ig E. Diantara keempat jenis immunoglobulin tersebut, ternyata Ig A yang tertinggi kadarnya dan memiliki peranan penting dalam fungsi biologis (Lawrence, 1994).

Pada penelitian juga ditemukan bahawa ASI mengandung sejumlah besar sel yaitu sekitar 2.000 hingga 4.000 sel/ cc yang terdiri dari limfosit dan mikrofag. Selama ini limfosit diketahui aktif membentuk IgA. Disamping itu, ASI juga mengandung laktoferin lizosin, lipid, dan laktobasillus promoting factor.

Kolstrum diketahui mengandungi sel hidup dan antibodi dengan konsentrasi yang tinggi. Menurut literatur, kadar antibodi cairan ini mencapai 10-17 kali dibandingkan dengan ASI. Kolostrum banyak mengandungi Ig A, Ig G, Ig M, lisozim, dan laktoferin sebagai unsur protein. Dari unsur sel, ternyata kolostrum banyak mengandung makrofag, limfosit, dan netrofil (Lawrence, 1994).

2.2.6. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

Makanan pendamping ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan pada bayi untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Makanan pendamping ASI diberikan mulai umur 4 bulan sampai 24 bulan. Semakin meningkat umur bayi, kebutuhan zat gizi semakin bertambah untuk tumbuh kembang bayi, sedangkan ASI yang dihasilkan kurang memenuhi kebutuhan gizi (Depkes, 2000).

Makanan pendamping ASI merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pengenalan dan pemberian makanan pendamping ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bagi bayi. Pemberian makanan pendamping ASI yang cukup kualitas dan kuantitasnya penting untuk pertumbuhan dan perkembangan kecerdasan anak yang sangat pesat pada periode ini (Depkes, 2000).

2.3. Sistem Imun

(13)

Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta produk zat-zat yang dihasilkannya, yang bekerja sama secara kolektif dan terkoordinir untuk melawan benda asing seperti kuman-kuman penyakit atau racunnya, yang masuk ke dalam tubuh (Markum, 2000).

2.3.2. Tipe Sistem Imun

Imunisasi terbagi kepada dua, yaitu imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri. Misalnya, imunisasi polio atau campak. Sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi, sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat. Misalnya, penyuntikan Anti Tetanus Serum (ATS) pada orang yang mengalami luka kecelakaan (Markum, 2000).

2.3.3. Reaksi Tubuh Terhadap Antigen

Pada saat pertama kali antigen masuk ke dalam tubuh, maka sebagai reaksinya tubuh akan membuat zat anti yang disebut dengan antibodi. Pada umumnya, reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibodi tidak terlalu kuat, karena tubuh belum mempunyai ‘pengalaman’. Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan seterusnya, tubuh sudah mempunyai memori untuk mengenali antigen tersebut sehingga pembentukan antibodi terjadi dalam waktu yang lebih cepat dan dalam jumlah yang lebih banyak. Oleh itu, pada beberapa jenis penyakit yang dianggap berbahaya, dilakukan tindakan imunisasi atau vaksinasi. Hal ini dimaksudkan sebagai tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit tersebut, atau seandainya terkena pun, tidak akan menimbulkan akibat yang fatal (Bratawidjaja, 2000).

2.3.4. Bacille Calmette Guerin (BCG)

Penularan penyakit Tuberkulosis (TBC) terhadap seorang anak dapat terjadi karena terhirupnya percikan udara yang mengandung kuman TBC. Kuman ini dapat menyerang berbagai organ tubuh, seperti paru-paru, kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak. Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan pada bayi yang baru lahir sampai usia 12 bulan, tetapi imunisasi ini sebaiknya

(14)

dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan. Imunisasi ini cukup diberikan satu kali saja. Biasanya setelah suntikan BCG diberikan, bayi tidak menderita demam. Imunisasi ini diberikan hanya sekali sebelum bayi berumur dua bulan. Reaksi yang akan nampak setelah penyuntikan imunisasi ini adalah berupa perubahan warna kulit pada tempat penyuntikan yang akan berubah menjadi pustula kemudian pecah menjadi ulkus, dan akhirnya menyembuh spontan dalam waktu 8 – 12 minggu dengan meninggalkan jaringan parut, reaksi lainnya adalah berupa pembesaran kelenjar ketiak atau daerah leher, bila diraba akan terasa padat dan bila ditekan tidak terasa sakit. Komplikasi yang dapat terjadi adalah berupa pembengkakan pada daerah tempat suntikan yang berisi cairan tetapi akan sembuh spontan (Markum, 2000).

2.3.5. Difteri, Pertusis, Tetanus (DPT) 2.3.5.1. Difteri

Penyakit Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

Corynebacterium Diphteriae. Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama

saluran pernafasan bagian atas dengan gejala demam tinggi, pembengkakan pada tonsil dan terlihat selaput puith kotor yang makin lama makin membesar dan akhirnya menutup jalan nafas. Racun difteri dapat merusak otot jantung yang dapat berakibat gagal jantung. Penularan umumnya adalah melalui udara ( betuk / bersin ) dan benda atau makanan yang terkontamiasi. Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis sebanyak tiga kali. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit (Markum, 2000).

2.3.5.2. Pertusis

Penyakit Pertusis atau batuk rejan adalah penyakit infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertussis. Gejalanya khas yaitu batuk yang terus menerus sukar berhenti, muka menjadi merah atau kebiruan dan muntah kadang-kadang bercampur darah. Batuk diakhiri dengan tarikan nafas panjang dan dalam. Penularan umumnya terjadi melalui udara ( batuk / bersin ). Pencegahan paling

(15)

efektif adalah dengan melakukan imunisasi bersamaan dengan Tetanus dan Difteri (Bratawidjaja, 2000).

2.3.5.3. Tetanus

Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi sistem urat saraf dan otot. Infeksi tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yang memproduksi toksin yang disebut dengan tetanospasmin. Tetanospasmin menempel pada urat saraf di sekitar area luka dan dibawa ke sistem saraf otak serta saraf tulang belakang, sehingga terjadi gangguan pada aktivitas normal urat saraf terutama pada saraf yang mengirim pesan ke otot. Periode inkubasi tetanus terjadi dalam waktu 3-14 hari dengan gejala yang mulai timbul pada hari ketujuh. Dalam neonatal tetanus, gejala mulai pada dua minggu pertama kehidupan seorang bayi. Gejala tetanus umumnya diawali dengan kejang otot rahang bersamaan dengan timbulnya pembengkakan, rasa sakit dan kaku di otot leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha. Neonatal tetanus menyerang bayi yang baru lahir karena dilahirkan di tempat yang tidak bersih dan steril, terutama jika umbilikus terinfeksi. Neonatal tetanus dapat menyebabkan kematian pada bayi dan banyak terjadi di negara berkembang. Tetanus dapat dicegah dengan pemberian imunisasi sebagai bagian dari imunisasi DPT (Markum, 2000). 2.3.6. Polio

Imunisasi polio diberikan untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit poliomielitis. Terdapat 2 jenis vaksin dalam peredaran, yang masing-masing mengandung virus polio tipe I, II, dan III yaitu:

1) Vaksin yang mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang sudah dimatikan (vaksin Salk). Cara pemberian vaksin Salk adalah dengan penyuntikan.

2) Vaksin yang mengandung virus polio tipe I, II, dan III yang masih hidup tetapi telah dilemahkan (vaksin Sabin). Cara pemberiannya melalui mulut dalam bentuk pil atau cairan.

(16)

Gejala yang umum terjadi akibat serangan virus polio pada anak adalah mendadak lumpuh pada salah satu anggota geraknya setelah demam selama 2-5 hari. Imunisasi dasar diberikan sejak anak baru lahir atau berumur beberapa hari dan diberikan sebanyak empat kali dengan selang waktu tidak kurang dari satu bulan. Imunisasi ulangan dapat diberikan sebelum anak masuk sekolah (5 – 6 tahun) dan saat meninggalkan Sekolah Dasar (12 tahun). Imunisasi ini tidak harus diberikan pada anak yang menderita diare berat. Efek samping yang mungkin terjadi sangat minimal dapat berupa kejang-kejang (Markum, 2000).

2.3.7. Campak

Campak adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus campak. Penularan berlaku melalui udara ataupun kontak langsung dengan penderita. Gejala-gejalanya adalah demam, batuk, pilek dan bercak-bercak merah pada permukaan kulit 3 – 5 hari setelah anak menderita demam. Bercak mula-mula timbul di pipi bawah telinga yang kemudian menjalar ke muka, tubuh dan anggota tubuh lainnya. Komplikasi dari penyakit campak ini adalah radang paru-paru, infeksi pada telinga, radang pada saraf, radang pada sendi dan radang pada otak yang dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Pemberian imunisasi akan menimbulkan kekebalan aktif dan bertujuan untuk melindungi terhadap penyakit campak hanya dengan sekali suntikan, dan diberikan pada usia anak sembilan bulan atau lebih (Bratawidjaja, 2000).

2.3.7.1. Campak di Indonesia

Program pencegahan dan pemberantasan campak di Indonesia pada saat ini berada pada tahap reduksi dengan pengendalian dan pencegahan Kejadian Luar Biasa (KLB). Hasil pemeriksaan sample darah dan urine penderita campak pada saat KLB menunjukkan IgM positip sekitar 70% – 100%. Program imunisasi campak di Indonesia dimulai pada tahun 1982 dan dimasukkan dalam pengembangan program imunisasi (Bratawidjaja, 2000).

(17)

Hepatitis B adalah suatu infeksi hati yang bisa menyebabkan kanker hati dan kematian. Dosis pertama diberikan segera setelah bayi lahir atau jika ibunya memiliki HBsAg

Vaksinasi

negatif dan diberikan pada saat bayi berumur 2 bulan. Data epidemiologi menyatakan sebagian kasus yang terjadi pada penderita Hepatitis B akan menjurus kepada kronis dan dari kasus yang kronis ini 20% daripadanya menjadi hepatoma (Bratawidjaja, 2000).

2.3.9. Jadwal Imunisasi

Tabel 2.1 : Jadwal imunisasi rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Usia Booster/Ulangan Imunisasi untuk melawan

BCG Waktu lahir -- Tuberkulosis

Hepatitis B Waktu lahir-dosis 1

1 bulan-dosis 2 6 bulan-dosis 3

1 tahun pada bayi yang lahir dari ibu dengan hepatitis B. Hepatitis B DPT dan Polio 2 bulan-dosis1 4 bulan-dosis2 6 bulan-dosis3 18 bulan-booster 1 5 tahun-booster 2 12 tahun-booster 3

Dipteria, pertusis, tetanus, dan polio

campak 9 bulan -- Campak

Gambar

Tabel 2.1 : Jadwal imunisasi rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)     Usia  Booster/Ulangan  Imunisasi untuk melawan

Referensi

Dokumen terkait

Secara statistik faktor lama waktu inkubasi dan jumlah sobekan tidak berpengaruh nyata terhadap berat segar badan buah jamur tiram dan jamur kuping (Tabel 2).. Hal ini berarti

Transpose matriks A adalah suatu matriks baru yang dapat ditulis dengan A T dengan cara memindahkan elemen pada baris matriks A menjadi elemen kolom pada

F adalah suatu anti turunan dari f pada selang jika pada , jika untuk semua

Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan augerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan dan menuangkan apa yang dirancang didalam laporan

karakter termasuk upaya yang dilakukan oleh guru sejarah di SMA Negeri 1 Tibawa.. SMA Negeri 1 Tibawa dipilih oleh peneliti sebagai objek penelitian karena

Oleh karena itu, seringkali perlu untuk memperluasnya ke seluruh sumbu

Dalam bekerja penting adanya sebuah pencapaian atau prestasi kerja, pada kuesioner yang ditanyakan adalah tentang apresiasi prestasi kerja dan peningkatan jabatan, namun pada

Berdasarkan Hasil Evaluasi Penawaran dan Evaluasi Kualifikasi yang dilakukan oleh Pokja Pengadaan Pekerjaan Konstruksi Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Di Lingkup