• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Disruptive Behavior Disorders (DBD)

2.1.1. Pengertian Disruptive Behavior Disorders

Disruptive behavior disebut juga dengan perilaku yang tidak pantas atau inapproriate behaviors. Jika perilaku tersebut sering muncul, tidak hanya

hubungan seorang anak dengan sesama temannya saja yang terganggu, melainkan dengan orang dewasa ikut terganggu pula (Matthys & Lochman, 2010). Sedangkan Schroeder & Gordon (2002) menyatakan, disruptive behavior adalah bentuk perilaku yang negatif seperti mengamuk, merengek atau menangis yang berlebihan, menuntut perhatian, tidak patuh, melawan, melakukan agresivitas yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain, mencuri, berbohong, merusak barang dan kenakalan (delinquency).

Mengacu pada DSM-IV-TR (diagnostic and statistical manual of mental

disorders–fourth edition–text revision), disruptive behavior disorders merupakan

bentuk dari perilaku antisosial, yang terbagi menjadi dua kriteria yaitu conduct

disorder (CD) dan oppositional defiant disorder (ODD). Dimana ODD dan CD,

terpisah dengan attention deficit/hyperactivity disorder (AD/HD). Singkatnya, perilaku ODD tidak begitu parah dibandingkan CD, yang melakukan agresivitas pada orang atau hewan, merusak barang, mencuri atau menipu (Loeber, et al. dalam Mash & Wolfe, 2005; American Psychiatric Association, 2000).

(2)

Bentuk perilaku ODD menunjukkan sikap yang tidak pantas diusianya yang terjadi berulang-ulang, seperti keras kepala, bermusuhan dan melawan. Sementara perilaku CD, bentuk agresivitasnya sudah lebih parah yang terjadi berulang-ulang dan menetap, serta perilaku antisosialnya sudah membuat luka atau melanggar hak-hak orang lain, baik secara fisik, perkataan kasar, mencuri, atau melakukan kerusakan (Mash & Wolfe, 2005). Perbedaan yang mendasar antara ODD dengan CD bukan hanya dari tingkat keparahannya saja, melainkan juga dari perkembangan dan hirarki yang menghubungkan diantara keduanya, bahwa gejala ODD sering muncul sebelum berkembang menjadi CD yaitu sebelum masa pubertas pada anak laki-laki (Sutker & Adams, 2002). Ketika bentuk perilaku individu ada pada kedua kriteria untuk ODD dan CD, dalam hal ini dalam menentukan diagnosanya akan menjadi CD (American Psychiatric Association, 2000).

Berdasarkan Mash & Wolfe (2005); Schroeder & Gordon (2002); Matthys & Lochman (2010); American Psychiatric Association (2000), kriteria diagnostik untuk perilaku ODD yang tertera di DSM adalah: merupakan bentuk perilaku yang negativistik, bermusuhan dan melawan setidaknya terjadi pada 6 bulan terakhir, kemudian gejala yang muncul bisa 4 atau lebih seperti:

1) sering mengamuk.

2) sering membantah dengan orang dewasa.

3) sering melawan atau menolak untuk menuruti permintaan atau aturan dari orang dewasa.

(3)

5) sering menyalahkan orang lain atas kesalahan atau perilaku tidak pantas yang sudah dilakukannya.

6) sering tersinggung atau mudah terganggu dengan orang lain. 7) sering marah dan membenci.

8) sering iri hati atau membalas dendam.

Adapun acuan kriteria diagnostik untuk perilaku CD seperti yang tertera di DSM yaitu: pola perilaku yang melanggar hak-hak dasar orang lain atau tidak sesuai dengan norma sosial untuk seusianya, yang terjadi berulang-ulang dan menetap, ditunjukkan dengan 3 gejala atau lebih pada 12 bulan yang lalu, setidaknya 1 gejala di 6 bulan terakhir diantaranya:

1) sering menggangu, mengancam, atau mengintimidasi orang lain. 2) sering memulai perkelahian fisik.

3) menggunakan senjata yang menyebabkan luka fisik serius seperti: dengan tongkat pemukul, batu bata, pecahan botol, pisau dan pistol.

4) melakukan kekejaman fisik pada orang lain. 5) melakukan kekejaman fisik pada hewan.

6) mencuri yang berhadapan dengan korbannya seperti: merampok, mengambil dompet, pemerasan dan menyamun.

7) memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual.

8) membakar sesuatu yang menimbulkan kerusakan serius dengan tujuan mencari perhatian.

9) sengaja menghancurkan barang milik orang lain selain membakar. 10) merusak rumah orang lain, gedung atau mobil.

(4)

11) sering berbohong untuk mendapatkan barang atau meminta pertolongan atau menghindari kewajiban seperti menipu orang lain.

12) mencuri sesuatu yang tidak berharga tanpa menghadapi korbannya seperti mencuri di toko tetapi tanpa merusak atau menyelusup dan pemalsuan.

13) sering keluar rumah pada malam hari meskipun orang tua melarang, berawal sebelum usia 13 tahun.

14) melarikan diri dari rumah selama semalam setidaknya dua kali saat tinggal dengan orang tua atau di rumah sebagai pengganti orang tua, atau sekali tanpa pulang dalam waktu yang panjang.

15) sering bolos dari sekolah, berawal sebelum usia 13 tahun.

Kemudian Frick et al. (dalam Schroeder & Gordon, 2002), membuat klasifikasi mengenai disruptive behavior menjadi dua dimensi yaitu: (1)

covert-overt dan (2) destructive-nondestructive. Supaya memudahkan untuk memahami

hal tersebut, dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:

Destructive

Menghancurkan barang Agresif

Mencuri Kejam

Main api Menyerang

Merusak Berkelahi

Berbohong Menindas

Kejam pada hewan Balas dendam

Covert Overt

Sakit hati Melawan

Bolos Mengamuk

Penyalahgunaan obat Tidak patuh

Melarikan diri Berdebat

Bergadang Mengganggu orang lain

Keras kepala

Menentang orang dewasa

Mudah tersinggung Marah

(5)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa disruptive behavior

disorders adalah bentuk perilaku negatif atau antisosial, dimana tindakan yang

dilakukan sudah tidak sesuai dengan norma sosial, yang terjadi secara berulang-ulang dan menetap, akibatnya tidak hanya merugikan pada diri individu itu sendiri namun juga pada orang lain. Bahkan perilaku individu tersebut sudah melanggar hak-hak dasar orang lain dan sudah tidak pantas lagi untuk usianya.

2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Disruptive Behavior Disorders

Penyebab disruptive behavior disorders cukup beragam, akan tetapi Schroder & Gordon (2002) membaginya menjadi tiga faktor yaitu:

1) Faktor genetik atau biologis

Penyebab disruptive behavior disorders dari faktor genetik menjadi dasar karakteristik seseorang atau predisposisi. Berdasarkan hasil penelitian terkini jika dilihat dari perbedaan jenis kelamin, dinyatakan bahwa anak laki-laki lebih disruptive dibandingkan anak perempuan. Aspek temperamen juga mengakibatkan perilaku disruptive diantaranya: regulasi emosi, reaktifitas yang intens (khususnya frustrasi), emosi negatif dan gampang marah, kemampuan dalam mengontrol diri, serta pendekatan yang tinggi atau lemah untuk menghindar (dapat memunculkan perilaku berisiko). Plomin (dalam Schroder & Gordon, 2002) menyimpulkan bahwa, komponen genetik cukup besar pengaruhnya pada orang dewasa yang memiliki perilaku antisosial dan kriminalitas. Namun Rutter et al. & Schmitz et al. (dalam Schroder & Gordon, 2002) membantah, dimana hubungan genetik lebih mungkin

(6)

ditemukan dalam kasus-kasus perilaku antisosial yang berlanjut sampai dewasa, sedangkan kasus-kasus yang mengalami penurunan perilaku antisosial pada usia tertentu lebih cenderung didasarkan oleh lingkungan. 2) Faktor keluarga

Penyebab disruptive behavior disorders pada faktor keluarga, yaitu terkait degan disfungsi orang tua dalam mengasuh. Dalam hal ini ada beberapa hal yang mempengaruhinya yaitu: perlakuan orangtua (gaya pendisiplinan, kehangatan vs permusuhan, pengawasan terhadap anak), psikopatologi orangtua (seperti ibu yang depresi, gangguan kepribadian, penggunaan obat terlarang dan perilaku antisosial atau kriminal), perkawinan/orangtua yang disfungsi (seperti perceraian atau berpisah, konflik, kekerasan pada pasangan) dan konflik saudara kandung.

3) Faktor lingkungan

Faktor lingkungan atau keadaan di sekitar seseorang yang terkait dengan status sosial ekonomi rendah atau kemiskinan, juga dapat menyebabkan

disruptive behavior disorders sehingga memunculkan permasalahan perilaku

antisosial. Status sosial ekonomi rendah yang terkombinasi dengan stres kronik, orangtua tunggal, isolasi sosial, kurangnya stimulasi dari lingkungan dan keterbatasan pengetahuan, dapat mengakibatkan gejala depresi pada ibu, yang berpengaruh terhadap perlakuan orangtua menjadi kurang baik. Selain itu lingkungan miskin juga cukup membahayakan bagi anak, dimana mereka sering melihat role model yang menampilkan kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang dan bersekolah dengan keadaan yang memprihatinkan.

(7)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa disruptive behavior

disorders dapat disebabkan oleh faktor keluarga karena disfungsi orangtua dalam

mengasuh, faktor genetik atau biologis meskipun mejadi predisposisi jika kasus perilaku antisosialnya berlanjut sampai dewasa, namun jika mengalami penurunan pada usia tertentu cenderung disebabkan oleh faktor lingkungan yang terkait dengan status sosial ekonomi rendah atau kemiskinan.

2.2. Agresivitas

2.2.1. Pengertian Agresivitas

Agresivitas adalah perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti seseorang baik secara fisik atau verbal (Myers, 2010). Adapun menurut Coccaro (2003) agresivitas sebuah perilaku yang berhubungan, dari mengamuk hingga melakukan tindakan kejahatan, termasuk marah, permusuhan, gampang marah dan impulsif. Kemudian Parke & Slaby (dalam Eisenberg, 2006) mengatakan, agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud dapat merugikan atau melukai orang lain. Lebih luas Loeber (dalam Eisenberg, 2006) mendefinisikan agresivitas akan memunculkan perilaku antisosial, yang menyebabkan kerugian secara fisik atau mental, kerusakan barang atau hilang dan kemungkinan bisa menjurus ke arah yang kriminal dengan melanggar hukum.

Sementara Collins Concise Dictionary (dalam Harding, 2006), agresivitas diartikan sebagai sebuah serangan, tindakan yang merugikan, aktivitas yang tidak sopan, permusuhan atau sikap mental yang dapat merusak. Begitu pula menurut VandenBos (dalam Marcus, 2007), agresivitas berdasarkan kamus psikologi

(8)

adalah perilaku yang menimbulkan kerugian, kerusakan atau mengalahkan orang lain. Selain itu Geen (dalam Russell, 2008) menjelaskan, agresivitas memberikan stimulus aversif dari satu orang ke yang lainnya, dengan maksud melukai dan berekspektasi setelah melukai membuat orang lain termotivasi untuk lolos atau menghindari stimulus. Selanjutnya Anderson & Bushman (dalam Russell, 2008) menyimpulkan bahwa agresivitas yaitu perilaku diarahkan pada orang lain yang dilakukan saat itu dengan maksud untuk melukai. Sebagai tambahan pelaku mempercayai kalau perilakunya akan melukai target dan si target menjadi termotivasi untuk menghindari perilaku tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah perilaku yang memiliki maksud untuk melukai dan menyakiti orang lain, baik secara fisik atau verbal sehingga menyebabkan kerugian dan kerusakan, bahkan dapat memunculkan perilaku antisosial. Dimana perilakunya juga memiliki tujuan untuk mengalahkan orang lain, membuat orang yang menjadi korbannya akan termotivasi untuk lolos dan menghindar.

2.2.2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Agresivitas

Menurut Baron & Branscombe (2012), ada empat faktor yang menyebabkan agresivitas diantaranya:

1) Faktor sosial (social)

Agresivitas yang disebabkan oleh faktor sosial, dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: frustrasi (frustration), provokasi langsung (direct provocation) dan kekerasan dalam media (media violence). Seseorang akan frustrasi saat ia tidak

(9)

mendapatkan, apa yang diinginkan atau seperti yang diharapkannya. Mengenai teori agresivitas yang disebabkan oleh frustrasi, Dollard et al. (dalam Baron & Branscombe, 2012) membaginya menjadi dua diantaranya: (a) frustrasi selalu mengarah ke salah satu bentuk agresivitas; dan (b) agresivitas selalu berasal dari adanya frustrasi. Namun kenyataan lain menunjukkan bahwa ketika seseorang frustrasi, ternyata tidak selalu merespon dengan melakukan agresivitas. Dimana respon yang terjadi bisa saja kesedihan, keputusasaan, atau depresi. Dalam hal ini frustrasi hanya salah satu hal penting, yang dapat menyebabkan agresivitas. Adapun provokasi langsung yang memiliki efek paling kuat terhadap agresivitas adalah saat orang lain merendahkan seseorang dengan ekspresi yang sombong atau menghina (Harris dalam Baron & Branscombe, 2012). Begitu pula dengan kritik yang kasar dan tidak sopan, terutama jika diarahkan pada diri seseorang daripada perilakunya (Baroon, dalam Baron & Branscombe, 2012). Selain itu candaan dengan pernyataan yang menyebutkan kekurangan dan kecacatan seseorang (Kowalski dalam Baron & Branscombe, 2012). Sementara itu munculnya agresivitas juga bisa disebabkan oleh kekerasan dalam media berupa film, televisi dan video games. Beberapa hasil penelitian dengan jelas menyatakan, semakin banyak film atau program televisi yang menampilkan kekerasan dan ditonton oleh anak-anak, maka tingkat agresivitasnya akan semakin tinggi ketika remaja atau dewasa sehingga memungkinkan mereka dapat ditahan karena tindak kejahatan.

2) Faktor budaya (cultural)

(10)

yaitu: “kehormatan pada budaya (cultures of honor)“, kecemburuan seksual (sexual jealousy) dan peran pada laki-laki (the male gender role). Beberapa norma disebuah negara memperbolehkan adanya agresivitas atas nama kehormatan. Sebagai contoh banyak tema film Barat yang lama dengan karakter, terpaksa menembak seseorang karena kehormatannya ternodai. Terlihat juga di film Asia, yang bercerita tentang perkelahian diantara pendekar untuk mengetahui siapa yang lebih hebat. Begitu pula dengan kecemburuan seksual yang terkait dengan perselingkuhan pada pasangan, memiliki proporsi yang besar terhadap agresivitas. Dimana kecemburuan merupakan emosi yang begitu kuat, dengan perasaan dihianati dan marah. Selain itu peran pada laki-laki, di negara manapun akan mengaitkan kejantanan dengan pertumbuhan yang optimal dan kematangan seksual. Dalam hal ini saat kejantanan seorang lelaki ditantang, ia lebih memilih untuk melakukan agresivitas.

3) Faktor pribadi (personal)

Agresivitas yang disebabkan oleh faktor pribadi, dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: keperibadian (personality), narsis (narcissism) dan perbedaan jenis kelamin (gender differences). Dalam hal ini jika seseorang memiliki kepribadian seperti berikut ini: (1) sangat kompetitif; (2) selalu dalam keadaan terburu-buru; (3) cepat sekali marah dan melakukan agresivitas. Gambaran kepribadian tersebut cenderung menunjukkan agresivitas lebih tinggi dibeberapa situasi dan melakukan hostile aggression yang bertujuan untuk melukai korbannya. Meskipun ada indikasi lain pula pada orang tersebut untuk melakukan instrumental aggression, yang bertujuan selain melukai korbannya,

(11)

juga berkeinginan untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai atau pujian dari orang lain dengan bersikap kasar. Selain itu orang yang memiliki sifat narsis yang tinggi, juga akan menunjukkan agresivitas yang tinggi. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Bushman et al. (dalam Baron & Branscombe, 2012), yang menyatakan bahwa bila seseorang setuju dengan pernyataan berikut: “Jika saya mengatur dunia, maka dunia akan menjadi lebih baik” dan “Saya lebih bisa melakukan apapun dibanding orang lain.” Reaksi yang berlebih seperti itu akan meningkatkan agresivitas saat egonya merasa terancam, apalagi saat orang lain meragukan dirinya, yang membuat harga dirinya menjadi terserang. Selain itu terkait perbedaan jenis kelamin, berdasarkan penelitian dilaporkan bahwa, agresivitas laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Agresivitas yang dilakukan laki-laki akan langsung ditujukan pada target, seperti menyerang dengan fisik, mendorong, melempar, berteriak dan menghina (Bogard et al.; Bjorkqvist et al. dalam Baron & Branscombe, 2012).

4) Faktor situasi (situational)

Agresivitas yang disebabkan oleh faktor situasi, dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: suhu (temperature) dan alkohol (alcohol). Terkait dengan suhu, dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa ada hubungan antara agresivitas dengan suhu yang panas (Anderson et al. dalam Baron & Branscombe, 2012). Selanjutnya mengkonsumsi alkohol, juga dapat meningkatkan agresivitas. Hal ini diperkuat dari beberapa eksperimen pada orang yang mengkonsumsi alkohol sehingga menjadi mabuk, ditemukan agresivitasnya menjadi lebih

(12)

tinggi dan membuatnya juga menjadi lebih mudah terprovokasi dibandingkan dengan orang yang tidak mengkonsumsi alkohol (Bushman et al. dalam Baron & Branscombe, 2012).

Sementara Buss-Perry (dalam Demirtas, 2012) menyimpulkan ada empat faktor yang memunculkan agresivitas diantaranya: physical aggression (agresivitas fisik), anger (marah), hostility (permusuhan, kebencian) dan verbal

aggression (agresivitas verbal).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya agresivitas fisik, marah, permusuhan dan agresivitas verbal. Dimana faktor-faktor tersebut dapat bersumber dari diri pribadi seseorang, sosial, budaya suatu negara dan situasi tertentu.

2.2.3. Agresivitas pada Masa Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi yang terkait dengan kepribadian, fisik, akademik dan sosial. Sebagian dari remaja mampu melewati masa transisi ini, meskipun adapula yang kesulitan. Transisi yang nyata pertama kali terlihat adalah, perubahan dengan keadaan sekolah. Dalam hal ini remaja mengalami transisi dari SD ke SMP dan lanjut ke SMA. Meskipun transisi dengan keadaan sekolah tidak secara khusus berpengaruh terhadap meningkatnya agresivitas, tetapi dari hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan dalam tugas akademik, meningkatnya kebencian pada pengalaman di sekolah dan rendahnya harga diri (Wigfield et al. dalam Marcus, 2007). Namun pada saat remaja awal, gangguan pubertas sangat berpengaruh terhadap mood dan memungkinkan

(13)

agresivitas anak laki-laki menjadi meningkat karena hormon testosteronpun meningkat diusia 12-14 tahun (Lee et al. dalam Marcus, 2007).

Dari beberapa ulasan penelitian menyebutkan bahwa, kesulitan yang dialami pada masa remaja semakin meningkat dan adanya beberapa gangguan di dalam perkembangannya. Gangguan yang dialami yaitu: (1) konflik dengan orangtua, dimana remaja cenderung melawan dan menentang otoritas orang dewasa sehingga konflik menjadi meningkat, biasanya terjadi pada masa remaja awal; (2) gangguan mood, dimana emosi remaja cenderung berubah-ubah dibandingkan anak-anak atau orang dewasa sehingga frekuensi depresi mood juga meningkat, biasanya terjadi pada masa remaja pertengahan; dan (3) perilaku yang berisiko, dimana remaja kemungkinan menyebabkan gangguan di masyarakat dan berperilaku yang dapat melukai dirinya sendiri atau orang-orang di sekitarnya, biasanya terjadi pada masa remaja akhir (Arnet, dalam Marcus, 2007).

Selain itu masa remaja biasanya lebih dikenal sebagai masa yang penuh risiko dan memungkinkan dapat memunculkan agresivitas yang tinggi. Hal ini diperkuat dari data yang diperoleh pada remaja yang usianya 14-18 tahun, dimana 42% laki-laki dan 28% perempuan melakukan penyerangan secara fisik (USDHHS, dalam Marcus, 2007). Bahkan kematian diusia remaja antara 15-24 tahun, yang disebabkan oleh pembunuhan menduduki urutan kedua jika dibandingkan dengan usia perkembangan lainnya (NCHS, dalam Marcus, 2007). Selain itu dari survey yang dilakukan tentang kejahatan, pada usia 12-19 tahun menunjukkan hasil yang begitu tinggi karena menjadi korban kekerasan oleh kelompok diusianya (Snyder et al. dalam Marcus, 2007).

(14)

2.3. Anger Management Training (AMT) 2.3.1. Pengertian Anger Management Training

Anger management training merupakan pelatihan yang diberikan pada

seseorang dengan tujuan agar ia mampu mengekspresikan marahnya dengan cara yang tepat sehingga membuat nyaman pada dirinya sendiri dan orang lain (Bhave & Saini, 2009). Sementara Gentry (2007) menyimpulkan, anger management training adalah suatu pelatihan untuk menangani permasalahan marah yang terkait dengan pikiran, sehingga membuat seseorang berespon dengan tepat akan perasaannya, bertanya dengan pertanyaan yang sesuai disaat marah, bagaimana menentukan pilihan ketika sedang marah dan mengambil tindakan atas konsekuensi perilaku yang telah membuatnya sakit hati.

Sedangkan Gulbenkoglu & Hagiliassis (2006) membuat pengertian tentang anger management training ialah suatu pelatihan yang bukan memiliki tujuan untuk menghilangkan marah, karena marah merupakan emosi yang normal, melainkan dengan memberikan semangat pada seseorang agar mengelola marahnya dengan cara yang konstruktif dan efektif. Adapun Marcus (2007) menjelaskan, anger management training adalah pelatihan yang akan membantu seseorang mengenali isyarat dari tubuhnya disaat marah, menggunakan pernyataan diri yang positif dan belajar teknik-teknik mengurangi stres seperti menghitung mundur untuk mengontrol marahnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anger management

training merupakan bentuk pelatihan yang bertujuan agar seseorang mampu

(15)

dengan mempelajari teknik-teknik yang dapat mengurangi stres sehingga ekspresi marahnya tersalurkan secara tepat.

2.3.2. Teknik-teknik dalam Anger Management Training

Menurut Bhave & Saini (2009), ada empat belas teknik yang perlu dipelajari dalam anger management training diantaranya:

1) Menyebutkan sebuah mantra

Dengan mengulang dan menyebutkan kata-kata yang menenangkan, efeknya dapat membawa kedamaian pada pikiran seperti: rileks, tetap tenang, lalu dikombinasikan dengan menarik napas yang dalam hingga dapat dirasakan emosi yang semakin bisa dikontrol.

2) Role playing

Sebelumnya perlu sekali belajar memahami akan isyarat pada tubuh yang dapat menimbulkan marah, seperti wajah terasa menjadi panas, tangan menjadi dingin atau bergetar dan gagap saat berbicara. Kemudian gunakankanlah teknik yang dapat membantu diri, untuk mencegah timbulnya marah yang tidak terkontrol. Dalam hal ini jika merasa akan munculnya marah dalam perdebatan yang semakin memanas, lebih baik berhentilah dan keluarlah dari situasi itu.

3) Pergi menjauh ketika orang lain berteriak

Maksudnya pada saat sedang marah, sebaiknya pergi keluar dari situasi tersebut dan duduklah sendiri untuk menenangkan diri.

(16)

Disaat diri sudah tenang dan sudah dapat berfikir secara rasional, setelah itu boleh kembali ke situasi sebelumnya.

5) Keluarkanlah kemarahan sebelum bertemu orang yang membuat marah Cara yang bisa dilakukan yaitu: (a) dengan membayangkan orang tersebut ada duduk dihadapan dan memberikan izin untuk mengatakan apapun yang diinginkan, karena hal ini dapat membuang rasa sakit kemarahan dan kebencian yang dirasakan; (b) boleh pula dengan menulis surat kemarahan dan menangis setelah membacanya sekali, karena hal ini dapat melepaskan beban yang dirasakan sehingga bila nantinya akan bertemu orang tersebut membuat diri dapat tetap tenang, sebab sudah mengeluarkan kemarahan pada waktu sebelumnya; (c) boleh juga dengan melakukan beberapa olahraga fisik seperti berlari, berenang, atau melakukan teknik relaksasi, mendengarkan musik sebelum pergi dan bertemu dengan orang atau situasi yang dapat menyebabkan marah.

6) Belajar untuk berdamai pada diri sendiri

Hal-hal yang bisa dilakukan yaitu: menikmati apa saja yang sudah dimiliki, tidak perlu harus selalu bersama orang lain disetiap waktu, adakalanya perlu sendiri karena akan memberikan waktu dalam merefleksikan apapun yang membuat lebih menyadarkan diri dan memperbaikinya. Kemudian saat merasakan marah, cobalah untuk membayangkan bagaimana ganas dan jeleknya wajah yang tampak, apalagi jika sampai terlihat oleh orang yang disayangi. Saat sudah membayangkan bagaimana reaksi yang akan terjadi dengan tampilan diri yang negatif, maka cara itu akan membantu supaya lebih

(17)

tenang. Pada orang yang sangat kaku dan keras, ternyata membuat mereka akan lebih mudah marah. Oleh karena itu mereka perlu belajar untuk melepaskan ketegangan dan perasaan marah dengan bersikap tenang dan tertawa pada diri sendiri.

7) Lihat ke kaca pada saat marah untuk melihat wajah yang tidak menyenangkan 8) Memperbaiki pengaturan waktu

Dalam hal ini janganlah mengatur jadwal dan batas akhir pengumpulan yang tidak realistik atau menunda-nunda untuk diri sendiri dan orang lain. Kemudian usahakanlah untuk melakukan banyak hal pada waktu yang sedikit dan menghindari stres karena hal itu dapat memicu marah.

9) Mencoba dengan gaya hidup yang sehat

Memakan makanan yang sehat, rutin berolahraga dan istirahat yang cukup. 10) Belajar untuk berpikir dan mengekspresikan emosi yang positif

Perlu disadari, kalau manusia memiliki kesalahan. Kemudian cobalah belajar untuk menerima dan menyadari, kalau diri sendiri juga bisa salah dan akuilah itu. Pada beberapa situasi marah, seseorang mampu meminta maaf dengan setulus hati, begitu pula dengan diri sendiri yang harus bisa pula untuk meminta maaf pada orang lain. Dimana memaafkan juga merupakan alat yang dapat mengurangi marah, meningkatkan harga diri dan memiliki harapan untuk ke depannya (Enright, dalam Bhave & Saini, 2009).

11) Bertindak seperti orang dewasa yang matang dan bertanggung jawab

Kemarahan banyak menghancurkan pernikahan. Daripada berkelahi, Mace et al. (dalam Bhave & Saini, 2009) menyarankan, agar mengakui kemarahan,

(18)

kemudian kontrollah atau ringankanlah, lalu mintalah pada pasangan untuk membantu dalam menguraikan apa yang sudah dilakukan keduanya dan peduli terhadap tindakan pasangan yang sudah dilakukan pada situasi tersebut, yang berakhir dengan kesepakatan bersama.

12) Belajar untuk meminta maaf dan memaafkan

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu: (a) cobalah untuk melihat situasi dari perspektif orang lain ketika merasakan marah; (b) ingatlah bahwa setiap orang punya kesalahan dan hal itu merupakan proses bagi seseorang untuk belajar memperbaikinya; (c) temukan sebuah role model dari seseorang yang telah mampu menangani permasalahan terhadap keadaan yang sulit dengan kehidupan yang tenang dan bahagia, dengan menemukan cara yang dilakukannya untuk diterapkan pada diri sendiri; (d) ingatlah bahwa apapun yang ada pada dirimu dapat merubah dirimu dan responmu pada orang lain, yang memungkinkan juga dapat merubah respon orang lain pada dirimu. Dimana marah tidak menyelesaikan terhadap situasi tertentu, justru berakibat sakit yang akan berpengaruh pada diri sendiri; (e) saat seseorang menyakiti atau salah dan merasa menyesal, tidak ada salahnya untuk dimaafkan. Menurut Ohbuchi et al. dalam Bhave & Saini (2009), menerima maaf dapat mengurangi agresivitas dan memperbaiki kesan terhadap orang yang memaafkan. Bahkan Holmes, dalam Bhave & Saini (2009) mengatakan, permohonan maaf yang tulus sangat efektif untuk mengurangi marah; (f) tidak perlu berteriak dan bersuara keras, karena seseorang akan menjadi asertif dan mau mengatakan alasan perilakunya yang telah mengganggu; (g)

(19)

komunikasi yang keliru dapat menyebabkan banyak kesalahpahaman; (h) jika berdiskusi dengan tenang, maka memungkinkan untuk mendapatkan pemecahan masalah karena tidak berespon marah.

13) Menghindari konflik

Sebelum mengatakan yang tidak pantas berpikirlah apakah hal itu akan menyelesaikan masalah atau memperkeruh dan janganlah sampai mengamuk atau berkelahi saat menyatakan kritik, kekecewaan, marah atau tidak senang. 14) Jangan marah selama diskusi atau berdebat

Mencoba mengubah marah dan irrational thought, dengan cara yang lebih rasional dan pikiran yang tenang. Dimana pada anger management training termasuk di dalamnya: conceptual reframing atau cognitive restructuring, mengidentifikasi stimulus penyebab dan pelatihan relaksasi yang berguna untuk mengurangi ketegangan fisik akibat marah sehingga tidak menjadi agresivitas. Kemudian gunakanlah pernyataan yang mengekspresikan perasaan, daripada pernyataan yang menyalahkan orang lain. Contohnya katakanlah: “Aku kecewa karena sudah menjaga kamarku tetap bersih tapi

kau berantakin, karena aku capek membersihkannya.” Daripada mengatakan: “Kau sangat jorok atau kau selalu membuat kamarku berantakan.” Selain itu

cobalah menerima setiap orang tidak seperti dirimu, tak ubahnya dirimu tidak akan sama seperti orang yang dijumpai. Maksudnya jika tidak memaksakan semua orang di sekitar akan menyetujui seperti yang diinginkan, maka seseorang tidak akan kecewa dan marah saat ada beberapa orang lain yang tidak suka dengannya.

(20)

2.4. Efektivitas Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disrutive Behavior Disorders

Mengacu pada DSM-IV-TR, disruptive behavior disorders merupakan bentuk dari perilaku antisosial, yang terbagi menjadi dua kriteria yaitu conduct

disorder (CD) dan oppositional defiant disorder (ODD). Dalam hal ini remaja

yang disruptive dengan sengaja melanggar peraturan seperti mencuri, merusak barang-barang, atau menyerang (American Academy of Pediatrics, 2010).

Perilaku disruptive merupakan bentuk ekspresi marah yang negatif dan tidak sehat, karena sudah memunculkan agresivitas (Bhave & Saini, 2009). Dimana agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti seseorang baik secara fisik atau verbal (Myers, 2010). Akibatnya yang terjadi setelah itu, remaja tersebut bisa saja akan ditangkap atau dipenjara, mengalami luka fisik, membalas dendam, kehilangan orang yang disayang, merasa bersalah, menjadi malu atau menyesal (Reilly & Shopshire, 2002).

Dikarenakan remaja yang berperilaku disruptive tidak hanya akan membahayakan bagi dirinya sendiri, tetapi juga terhadap orang lain. Maka untuk mengatasi permasalahan tersebut, penanganan dan pencegahan terhadap remaja

disruptive sangat perlu dilakukan. Salah satu intervensi psikososial yang sangat

disarankan yaitu dengan mengontrol marah (American Academy of Pediatrics, 2010), atau disebut juga dengan anger management karena merupakan cara terbaik dalam mengekspresikan marah secara positif (Bhave & Saini, 2009).

Anger management training (AMT) merupakan program yang bertujuan untuk mencegah risiko kekerasan khususnya agresivitas pada remaja dan didesain

(21)

untuk membantu mengurangi intensitas dan durasi emosi marah (Marcus, 2007). Dalam hal ini AMT bukanlah terapi, melainkan salah satu bentuk intervensi psikoedukasi yang manfaatnya dapat menghasilkan potensi untuk perubahan perilaku dengan meningkatkan pengetahuan, menyediakan perspektif baru, memberikan klien kesempatan untuk belajar (Anderson, et al. dalam Thomas, 2001), dan berlatih teknik-teknik mengontrol marah (Bhave & Saini, 2009). Secara singkat kerangka teoritis penelitian, ada pada gambar 2 di bawah ini:

Gambar 2. Kerangka Teoritis Penelitian

2.5. Hipotesis

Hipotesis yang ditetapkan berdasarkan kerangka teoritis penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ho = Tidak ada penurunan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders sesudah mendapatkan intervensi anger management training.

Ha = Ada penurunan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders Remaja disruptive behavior disorders (DBD):

 oppositional defiant disorder (ODD)  conduct disorder (CD) Mengekspresikan marah secara negatif Mendapat konsekuensi negatif Marah diekspresikan secara

positif atau terkontrol

Agresivitas menurun Anger Management Training (AMT):

Psikoedukasi dengan belajar teknik-teknik mengontrol marah

Memunculkan agresivitas:  fisik

Gambar

Gambar 2. Kerangka Teoritis Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pertimbangan hakim pentung untuk disusun secara cermat agar putusan tersebut dianggap tepat untuk menyelesaikan perkara yang dihadapi para pihak, serta mampu mencegah

Raise merupakan lomba akuntansi dengan konsep yang modern dan fun dikemas dalam bentuk rally games. Pada tahun ini, Raise mengangkat tema 'Halloween' sehingga kegiatan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Walikota tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

(2000) menyatakan bahwa ekuitas merek selain dibentuk oleh dimensi ekuitas seperti kesadaran merek, asosiasi merek, kesan kualitas, dan loyalitas merek juga

surplus adalah untuk menentukan tingkat upaya penangkapan optimum, yaitu upaya penangkapan yang menghasilkan hasil tangkapan maksimum yang berkelanjutan tanpa berpengaruh

Obat dapat diberikan dengan berbagai 6ara disesuaikan dengan kondisi pasien, diantaran!a : sub kutan, intra kutan, intra mus6ular, dan intra 9ena. Perbedaan dari setiap..

• Menjelaskan etiologi, faktor resiko, patogenesis, manifestasi klinis penyakit Demam tifoid. • Menentukan dan melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang penyakit Demem tifoid