• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI HIDROLISAT PATI DAN SERAT PANGAN DARI SINGKONG DENGAN HIDROLISIS ASAM KLORIDA. Oleh AGUS NURUL IMAN F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKSI HIDROLISAT PATI DAN SERAT PANGAN DARI SINGKONG DENGAN HIDROLISIS ASAM KLORIDA. Oleh AGUS NURUL IMAN F"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI HIDROLISAT PATI DAN SERAT PANGAN DARI

SINGKONG DENGAN HIDROLISIS ASAM KLORIDA

Oleh

AGUS NURUL IMAN

F34101049

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PRODUKSI HIDROLISAT PATI DAN SERAT PANGAN DARI

SINGKONG DENGAN HIDROLISIS ASAM KLORIDA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

AGUS NURUL IMAN

F34101049

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PRODUKSI HIDROLISAT PATI DAN SERAT PANGAN DARI

SINGKONG DENGAN HIDROLISIS ASAM KLORIDA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

AGUS NURUL IMAN F34101049

Dilahirkan di Serang 30 November 1982 Tanggal lulus : 25 Januari 2006

Disetujui,

Bogor, 1 Februari 2006

Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si Ir. Faqih Udin, M.Sc Pembimbing II Pembimbing I

(4)

Agus Nurul Iman F34101049. Produksi Hidrolisat Pati dan Serat Pangan dari Singkong dengan Hidrolisis Asam Klorida. Dibawah Bimbingan Faqih Udin dan Titi Candra Sunarti. 2006.

RINGKASAN

Pemanfaatan singkong selama ini lebih banyak digunakan sebagai bahan baku tapioka. Pada proses pengolahan tapioka, limbah yang dihasilkan dapat berupa limbah padat maupun limbah cair. Karena pemanfaatan singkong sebagai bahan baku tapioka dirasa masih belum optimal, maka proses konversi singkong secara langsung diharapkan dapat mereduksi beberapa alur proses yang berarti pula penghematan proses.

Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan serat singkong dan hidrolisat pati serta mengetahui pengaruh perlakuan komposisi asam dan konsentrasi substrat dalam menghidrolisis bahan singkong secara langsung terhadap karakteristik fisikokimia dan fungsional serat singkong serta hidrolisat pati.

Penelitian dilakukan dalam dua tahap yang terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan adalah analisa proksimat. Penelitian utama adalah proses hidrolisis singkong dengan faktor tunggal perlakuan komposisi asam dan konsentrasi substrat.

Hasil uji proksimat singkong menunjukkan kandungan karbohidrat, terutama kandungan utamanya adalah pati.

Perbedaan perlakuan komposisi asam dan konsentrasi substrat menghasilkan karakteristik hidrolisat pati diantaranya nilai gula pereduksi dengan kisaran sebesar 11,97 mg/ml - 14,85 mg/ml, nilai total gula dengan kisaran sebesar 23,45 mg/ml - 24,16 mg/ml, nilai Dextrose Equivalen (DE) dengan kisaran 51,43 - 61,48, nilai Degree of Polymerization (DP) dengan kisaran 1,63 - 1,96 dan tingkat kejernihan dengan kisaran 96,28 %T - 97,49 %T.

Perbedaan perlakuan komposisi asam dan konsentrasi substrat menghasilkan karakteristik serat, diantaranya nilai rendemen dengan kisaran sebesar 3,40 % - 3,66 % didapatkan dari singkong parut awal (berat kering), nilai derajat putih dengan kisaran 35,75 % - 39,50 %, nilai daya serap air dengan kisaran sebesar 672,56 % – 678,60 %, nilai kelarutan dalam air dengan kisaran sebesar 2,4 % - 4,9 %. 87,5 % - 89,3 % dari serat yang dihasilkan adalah jumlah total serat pangan, terdiri dari nilai serat pangan tidak larut dengan kisaran sebesar 80,9 % - 79,1 % & 7,6 % - 8,37 % adalah nilai serat pangan larut.

(5)

Agus Nurul Iman F34101049. The Production Of Cassava’s Starch Hydrolysed and Dietary Fiber by Hydrolysis with Chloric Acid Catalyst. Under supervision of Faqih Udin and Titi Candra Sunarti. 2006.

SUMMARY

The utilization of cassava is still considered as not optimum, since it is only widely used as tapioca’s raw material. Direct conversion of cassava is expected to eliminate some processing stages, which will result in process thrift.

This research was aimed to obtain cassava’s fiber and starch hydrolyzate by acid direct conversion. Besides that, the research was also designed to determine the effect of the composition of acid and slurry to physical, chemical, and functional characteristics, both for cassava’s fiber and starch hydrolyzate.

The research was conducted in two stages which consisted of preliminary research and main research. The preliminary was to analyze the proxymate analysis. The main research was a single factor experiment, by the composition of acid and slurry to hydrolyze cassava.

From proxymate analysis, fresh tuber of cassava, contained carbohydrate, mainly starch.

Various compositions of acid and slurry in hydrolysis has resulted in the value of starch hydrolyzates and fibre’s characteristics. The starch hydrolyzate characteristics were 11.97 - 14.85 mg/ml of reducing sugar, 23.45 - 24.16 mg/ml of total sugar, 51.43 - 61.48 of DE (Dextrose Equivalent), 1.63 - 1.96 of DP ( Degree of Polymerization) and 96,28 - 97,49 % T of clarity.

The characteristcs of fibres were 3.40 - 3.66 % of fibre yield, obtained from fresh tuber (dry basis). 35.75 to 39.50 % of degree of whiteness, 672.56 - 678.60 % of water absorption, 4.9 - 2.4 % of water solubility. 87.5 - 89.3 % of the fiber were total dietary fiber, which consisted 79.1 - 80.9% of insoluble dietary fiber & 7,6 % - 8,37 % of soluble dietary fiber.

(6)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul ”Produksi Hidrolisat Pati dan Serat Pangan dari Singkong dengan Hidrolisis Asam Klorida” merupakan hasil karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, 1 Februari 2006 Yang Membuat Pernyataan

Nama : AGUS NURUL IMAN NRP : F34101049

(7)

BIODATA PENULIS

Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 30 November 1982 sebagai ke-6 dari pasangan Abdul Wahid dan Neneng Martiana S.Pd.

Penulis menempuh pendidikan di TK Bhayangkara Pandeglang (1987-1988), SD N 2 Karaton Pandeglang (1989-1995), SLTP N 2 Pandeglang (1995-1998), dan SMU N 1 Pandeglang (1998-2001).

Pada akhir pendidikan di SLTA, penulis berkesempatan untuk mengikuti Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan pada Tahun 2001 penulis menjadi mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa kuliah, penulis bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN), Prompt-D, organisasi kedaerahan seperti KUMANDANG (Kumpulan Mahasiswa Pandeglang) dan IMB (Ikatan Mahasiswa Banten), serta penulis pernah aktif dalam organisasi pergerakan mahasiswa GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) pada tahun (2001-2002), selain itu penulis juga pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Menggambar Teknik, mata kuliah Sistem Informasi Manajemen dan Asisten Praktikum Penerapan Komputer. Penulis melakukan Praktek Lapang di PT. Indolakto Sukabumi Jawa Barat dengan hasil laporan berjudul “Perencanaan dan Pengendalian Persediaan Bahan Baku Untuk Produk Sweetened Condensed Milk(SCM) Di PT. Indolakto, Sukabumi-Jawa Barat”.

Penulis mengakhiri masa studi di IPB setelah bekerjasama dengan sebuah perusahaan swasta di Jakarta yaitu PT. Pachira Distrinusa untuk mengkaji proses produksi dan pendirian pabrik serat makanan dari singkong, dan menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Produksi Hidrolisat Pati dan Serat Pangan dari Singkong dengan Hidrolisis Asam Klorida”.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi. dengan judul ”Produksi Hidrolisat Pati dan Serat Pangan dari Singkong dengan Hidrolisis Asam Klorida”.

Pada penelitian dan penyusunan skripsi, penulis menerima banyak bantuan dan masukan dari berbagai pihak, Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada :

1. Bapak Ir. Faqih Udin, M.Sc dan ibu Dr.Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik I dan dosen pembimbing akademik II yang telah memberikan kritik, saran, bimbingan dan pengarahan selama penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Bapak Dr.Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc sebagai dosen penguji yang memberikan kritik, saran dan masukan yang sangat berguna untuk penulisan skripsi.

3. Mr. Mukhlis Bahrainy dari PT. Pachira Distrinusa atas kepercayaan yang telah diberikan kepada penulis serta bantuan dana yang bersifat teknis dan operasional selama penelitian dan penyusunan skripsi, serta pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan dan sarannya dalam penyusunan skripsi.

Saran, kritik dan tanggapan dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga karya ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan semoga dapat diaplikasikan untuk kemajuan bersama. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan.

Bogor, Januari 2006 Penulis

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. SINGKONG ... 4

B. POLISAKARIDA... 5

C. HIDROLISAT PATI... 8

D. SERAT PANGAN (DIETARY FIBER). ... 9

E. HIDROLISIS... 11

III. METODOLOGI PENELITIAN... 12

A. BAHAN DAN ALAT ... 12

B. METODE ... 12 C. TATA LAKSANA... 13 IV. PEMBAHASAN ... 16 A. PENELITIAN PENDAHULUAN... 16 B. PENELITIAN UTAMA... 18 1. Hidrolisat Pati... 18 2. Serat ... 26

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 36

A. KESIMPULAN ... 36

B. SARAN ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Produksi singkong di Indonesia lima tahun terakhir menurut

BPS ... 1

Tabel 2. Komposisi singkong (per 100 g bahan) ... 5

Tabel 3. Komposisi amilosa dan amilopektin ... 6

Tabel 4. Komponen utama penyusun serat pangan ... 10

Tabel 5. Bahan pra hidrolisis ... 14

Tabel 6. Analisis proksimat singkong ... 16

Tabel 7. Hasil analisis hidrolisat pati ... 20

Tabel 8. Komposisi gula dalam sirup glukosa hasil hidrolisis asam ... 24

Tabel 9. Hasil analisis serat ... 27

Tabel 10. Perbandingan serat pangan hasil penelitian dengan produk Komersial... 34

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Morfologi umbi singkong... 4 Gambar 2. Penampang melintang umbi singkong ... 4 Gambar 3. Struktur (a) amilosa dan (b) amilopektin ... 6 Gambar 4. Komponen utama penyusun polisakarida dietary fiber

(Birch dan Parker, 1983) ... 11 Gambar 5. Diagram alir proses penelitian utama... 15 Gambar 6. Umbi singkong ... 16 Gambar 7. Mekanisme hidrolisis pati oleh asam

( diadaptasi dari Schoch di dalam Pomeranz (1991)) ... 19 Gambar 8. Histogram nilai gula pereduksi... 20 Gambar 9. Tingkat kejernihan hidrolisat pati pada beberapa perlakuan 25 Gambar 10. Diagram struktur dinding sel tanaman

[Selvendran (1983) di dalam Birch dan Parker (1983)]... 27 Gambar 11. Tingkat derajat putih serat pada beberapa perlakuan... 30

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Prosedur Analisa Penelitian ... 41 Lampiran 2. Data Hasil Penelitian ... 51 Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian... 58

(13)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Singkong merupakan salah satu tanaman yang banyak terdapat di seluruh daerah di Indonesia. Menurut Tjokroadikoesoemo (1986) singkong telah dikenal orang sejak dahulu sebagai bahan pangan. Tanaman singkong produktivitasnya tinggi sekalipun tumbuh di lahan yang kritis. Singkong merupakan sumber bahan pangan yang murah dan mudah didapat.

Produksi singkong tidak kalah dengan tanaman sumber pangan lainnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005, menunjukkan jumlah produksi singkong meningkat pertahunnya, dibandingkan dengan tanaman sumber pangan lainnya seperti jagung, pada tahun 2005 hanya mencapai produksi sebesar 11.736.977 ton. Data produksi singkong dapat dilihat dalam Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Produksi singkong di Indonesia lima tahun terakhir menurut BPS

Tahun Produksi (Ton) 2001 2002 2003 2004 2005 *) 17.054.648 16.913.104 18.523.810 19.424.707 19.196.849 Sumber : www.bps.go.id (2005). *) Data diolah

Dalam perkembangannya, produksi singkong tidak diiringi dengan penanganan pasca panen maupun produk hilir yang jauh lebih baik. Akibat kurang baiknya cara penanganan pasca panen tanaman ubi kayu, banyak contoh yang menunjukkan bahwa sesungguhnya kehilangan produksi pasca panen di Indonesia cukup besar jumlahnya. Harga yang tidak menentu atau harga turun sangat tajam pada musim panen raya di berbagai tempat, memaksa

(14)

petani menjual rugi atau membiarkan tanamannya membusuk di kebun karena ongkos panen lebih tinggi daripada harga jualnya (Tjokroadikoesoemo, 1985).

Pemanfaatan singkong selama ini lebih banyak sebagai bahan baku tapioka. Pada proses pengolahan tapioka, limbah yang dihasilkan dapat berupa limbah padat maupun limbah cair. Limbah padat berupa ampas (onggok) masih bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, misalnya : industri asam sitrat, campuran kerupuk atau sebagai bahan baku obat nyamuk bakar. Walaupun demikian, pemanfaatan limbah berupa onggok masih sangat terbatas sehingga nilai ekonomisnya masih rendah.

Menurut perhitungan, dari setiap ton ubi kayu dapat dihasilkan 114 kg onggok. Apabila setengah dari produksi ubi kayu tahun 2000 yang mencapai 15.351.200 ton diolah menjadi tapioka, onggok yang dihasilkan mencapai 828.965 ton. Onggok mengandung air cukup tinggi dan dapat menjadi sumber pencemaran atau polusi udara/lingkungan, terutama di wilayah produksi apabila tidak ditangani dengan baik (Balai Penelitian Ternak, 2002).

Untuk menangani masalah tersebut, perlu dilakukan alternatif pengolahan singkong menjadi lebih baik. Karena pemanfaatan singkong sebagai bahan baku tapioka dengan menghasilkan limbah padat berupa onggok dirasa masih belum optimal, maka proses konversi singkong secara langsung diharapkan dapat mereduksi beberapa alur proses yang berarti pula penghematan proses.

Penelitian ini dilakukan untuk mencoba dan mengetahui proses pembuatan gula (hidrolisat pati) dan serat pangan (dietary fiber) dari singkong dengan cara menghidrolisis secara langsung singkong tanpa terlebih dahulu mengekstrak patinya. Dengan kata lain, penelitian ini mencoba mengkombinasikan proses pemanfaatan singkong melalui proses seminimal mungkin guna mengurangi limbah.

(15)

B. TUJUAN PENELITIAN

1. Menghasilkan hidrolisat pati dan serat pangan yang dihasilkan dari hidrolisis asam klorida secara langsung.

2. Mengetahui pengaruh perlakuan penambahan asam klorida terhadap karakteristik fisikokimia dan fungsional serat, serta hidrolisat pati yang dihasilkan

(16)

batang leher umbi ekor umbi Kulit Daging Pembuluh Korteks

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SINGKONG

Manihot esculenta Crantz, perdu yang biasanya setinggi 1 – 5 m, berasal dari Amerika Selatan. Nama daerahnya yaitu casave, manioc, manioka atau cassava. Di Indonesia seperti di daerah Jawa dan di beberapa negara khatulistiwa, singkong ditanam secara umum sebagai bahan pangan (Heyne, 1987).

Singkong menghasilkan umbi setelah tanaman berumur 6 bulan. Setelah tanaman berumur 12 bulan dapat menghasilkan umbi basah sampai 30 ton per ha. Komponen fisik singkong terdiri dari kulit, biasanya terdapat 2 lapis kulit yaitu kulit luar dan kulit dalam, kemudian diikuti oleh umbi singkong yang terdiri dari lapisan kambium dan daging umbi. Warna daging umbi singkong berwarna putih, kuning atau gading, dan umbi tersebut ada yang manis dan ada pula yang pahit (Syarief dan Irawati,1986).

Gambar 1. Morfologi umbi singkong

(17)

Tabel 2. Komposisi singkong (per 100 g bahan) Komponen Kadar (bb) Air 59,4 g Protein 0,70 g Lemak 0,20 g Serat Kasar 0,6 g Karbohidrat 38,10 g Abu 1,00 g Kalsium 50,00 mg Fosfor 40,00 mg Thiamin 0,05 mg Besi 0,90 mg Vitamin C 25,20 mg Kalori 157,00 kcal Sumber : Balagopalan (1988) B. POLISAKARIDA

Polisakarida merupakan polimer molekul-molekul monosakarida yang dapat berantai lurus atau bercabang serta dapat dihidrolisis dengan enzim-enzim yang spesifik kerjanya. Hasil hidrolisis sebagian akan menghasilkan oligosakarida dan dapat dipakai untuk menentukan struktur molekul polisakarida.

Polisakarida dalam bahan pangan berfungsi sebagai penguat tekstur (selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lignin) dalam tanaman dan sebagai sumber energi (pati, dekstrin, glikogen, dan fruktan). Polisakarida penguat tekstur tidak dapat dicerna oleh tubuh tetapi merupakan serat-serat (dietary fiber) yang dapat menstimulasi enzim-enzim pencernaan (Winarno,1997).

Menurut Sanderson (1981) di dalam Pomeranz (1991), polisakarida yang terkandung dalam bahan pangan meliputi (1) pati (alami, pregelatinisasi, dan termodifikasi), (2) selulosa dan turunan selulosa, (3) ekstrak rumput laut (alginat, karagenan, agar, dan fulcellaran), (4) gum (arabic, karaya, dan tragacanth), (5) biji gum (guar dan locus bean), (6) ekstrak tanaman (pektin), dan (7) gum mikrobial (xanthan).

(18)

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang dan bentuk rantai karbonnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang larut dalam air disebut amilosa sedangkan yang tidak larut di sebut amilopektin. Rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati itu sendiri.

Tabel 3. Komposisi amilosa dan amilopektin

Karakteristik Amilosa Amilopektin Struktur umum Linear Bercabang Ikatan α-1,4 α-1,4 dan β-1,6 Panjang rantai ~ 103 20 – 25 Derajat polimerisasi ~ 103 104 – 105 Kompleks dengan iod Biru (~ 650 nm) Ungu coklat (~ 550 nm) Produk hidrolisis

dengan α-amilase

Maltotriosa, glukosa, maltosa, oligosakarida

Gula pereduksi (sedikit), oligosakarida (dominan) Sumber : Pomeranz (1991).

(a)

(b)

(19)

Pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang terpenting dan tersebar luas di alam. Pati disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan, antara lain di dalam biji (padi, jagung, gandum), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, talas, ganyong, kentang) dan pada batang (aren dan sagu). Bentuk pati digunakan untuk menyimpan glukosa dalam proses metabolisme (Tjokroadikoesoemo,1985).

Selulosa merupakan struktur dasar sel-sel tanaman, oleh karena itu merupakan bahan alam yang paling penting yang dibuat oleh organisme hidup. Dalam tanaman, selulosa tidak hanya disertai dengan hemiselulosa dan lignin, tetapi juga terikat erat dengannya, dan pemisahannya memerlukan perlakuan kimia yang intensif (Fengel dan Wegener, 1985).

Hemiselulosa berbeda dengan selulosa karena perbedaan komposisi berbagai unit gula, rantai molekul yang lebih pendek, dan percabangan rantai molekul. Unit gula (gula anhidro) yang membentuk hemiselulosa dapat dibagi menjadi kelompok seperti pentosa, heksosa, asam heksuronat dan deoksi heksosa. Rantai utama poliosa dapat tediri hanya atas satu unit (homopolimer) misalnya xilan atau terdiri atas dua unit atau lebih (heteropolimer) misalnya glukomanan (Fengel dan Wegener, 1985).

Lignin adalah satu-satunya dietary fiber yang bukan karbohidrat, yaitu senyawa yang menyebabkan dinding sel tanaman menjadi keras dan merupakan polimer dari unit phenilpropan. [Macrae (1993) di dalam Yuliani ( 2004)].

Substansi pektat merupakan polimer dari unit (1,4)-α-D-asam galaktunorat, sedangkan asam galaktunorat mempunyai struktur yang sama dengan D-Galaktosa kecuali gugus hidroksil primer pada C-6 telah dioksidasi menjadi gugus karboksil. Menurut McCready (1979) di dalam Yuliani (2004), substansi pektat merupakan turunan karbohidrat yang berbentuk koloid dan terdapat pada makanan yang terdiri dari rantai asam anhidrogalaktunorat.

(20)

C. HIDROLISAT PATI

Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan katalis asam maupun enzim. Jika pati dipanaskan dengan asam akan terurai menjadi molekul-molekul yang lebih kecil secara berurutan dengan hasil akhir berupa glukosa.

(C6H10O5)n + nH2O nC6H12O6

Pati Air Glukosa

Molekul pati mula-mula pecah menjadi unit-unit rantaian glukosa yang lebih pendek yang disebut dekstrin. Dekstrin dipecah lagi menjadi maltose dan maltose kemudian terurai menjadi glukosa (Gaman dan Sherrington, 1992).

Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), hidrolisis asam sepenuhnya terjadi secara acak dan sebagian gula yang dihasilkannya berupa gula pereduksi, sehingga pengukuran gula pereduksi tersebut dapat dijadikan alat pengontrol kualitas hasil. Pada hidrolisis sempurna, dimana pati seluruhnya dikonversi menjadi dekstrosa, derajat konversi tersebut dinyatakan dengan Dextrose Equivalent (DE), dari larutan tersebut diberi indeks 100.

Asam-asam mineral kuat seperti asam sulfat dan asam klorida biasa digunakan dalam proses hidrolisis pati. Sirup glukosa mempunyai nilai DE berkisar antara 30 hingga 55 (Birch dan Parker, 1979). Hidrolisis asam tidak dapat mempengaruhi distribusi gula dalam sirup glukosa. Selain itu, hidrolisis asam menghasilkan sirup dapat teretrogradasi dibawah DE 30 dan sirup yang berwarna keruh diatas DE 55.

Menurut Jackson (1995) di dalam Kearsley dan Dziedzic (1995), produk dari hidrolisat pati mempunyai banyak kegunaan terutama untuk industri pangan. Sirup glukosa sebagai hasil dari hidrolisis pati dapat digunakan sebagai bahan baku industri confectionary misalnya pembuatan high boiled sweet, karamel, fondan, cream, gum, jellies dan lain-lain. Sirup glukosa juga digunakan dalam industri ice cream dan frozen deserts misalnya produk es krim, milk ice, water ice, ice lollies. Selain itu produk bakery seperti cakes dan biskuits. Wood dan O’rourke (1995) di dalam

(21)

Kearsley dan Dziedzic (1995) menambahkan bahwa sirup glukosa dapat digunakan dalam industri fermentasi yang menghasilkan asam laktat, asam sitrat, etanol dan lain-lain

Menurut Radley (1976), asam akan menghidrolisis semua jenis polisakarida yang mampu terhidrolisis. Oleh karena itu, hidrolisis asam mampu mendegradasi komponen pati dan non-pati dalam suatu polisakarida.

D. SERAT PANGAN (DIETARY FIBER)

Serat pangan (dietary fiber) merupakan polisakarida dan polimer lain dalam bahan penyusun tanaman yang tidak dapat dicerna maupun diserap dalam usus manusia. Serat pangan secara umum dapat ditemukan pada struktur dinding sel yang mengandung selulosa, hemiselulosa, substansi pektik dan polisakarida lain, polimer lignin, dan protein dinding sel. Campuran kompleks serat pangan mengandung komponen yang larut dalam air maupun komponen tidak larut (Theander, 1979).

Serat pangan merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat-serat tersebut banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-buahan. Dari penelitian secara klinis didapat bahwa serat pangan khususnya dari serealia, sangat efektif dalam menanggulangi gejala penyakit diverticolosis. Dengan konsumsi serat pangan yang tinggi, maka feses lebih mudah menyerap air, menjadi lebih empuk dan halus, dan mudah didorong keluar, sehingga mengurangi kesakitan para penderita diverticolosis. Dengan kurangnya konsumsi serat pangan, feses menjadi keras, dan sukar didorong keluar, sehingga terpaksa harus ditekan dengan kuat. Hal ini akan dapat menyebabkan tekanan yang kuat terhadap vena usus besar dan kaki. Akibatnya dapat menyebabkan hemarrhoid dan vericose (Winarno,1997).

Serat pangan merupakan campuran kompleks penyusun tanaman yang tahan terhadap sistem pencernaan manusia. Polisakarida ini secara umum dapat ditemukan dalam bahan pangan. Selulosa, hemiselulosa dan

(22)

lignin adalah komponen yang paling penting dalam pengukuran dan analisis serat. Pektin dapat larut dalam beberapa analisis sehingga tidak diikutsertakan dalam penentuan total serat.

Schneeman (1986) di dalam Dreher (1991) menambahkan bahwa secara umum, komponen serat pangan dapat dibedakan berdasarkan fungsinya menjadi :

1. Polisakarida struktural, yaitu komponen penyusun dinding sel tanaman, yang terdiri dari selulosa dan polisakarida non-selulosa.

2. Non-polisakarida struktural yaitu komponen yang sebagian besar merupakan lignin.

3. Polisakarida non-struktural, yaitu polisakarida yang merupakan bagian sel tanaman dan hasil dari sekresi sel, terdiri dari komponen gum dan mucilage.

Menurut Meuser et al. (1992), serat pangan merupakan campuran kompleks dari polisakarida yang berasal dari jaringan tanaman. Jenis polisakarida penyusun dinding sel sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Komponen utama penyusun serat pangan Komponen

Tidak larut air Larut air Selulosa Galaktomannan Xilan Xiloglucan Lignin Pektin Arabinogalaktan Arabinoxilan β-glucan

Sumber : Johnson (1993) di dalam Meuser (1993).

Yuliani (2004), melakukan hidrolisis asam dan basa terhadap tepung serat mengkudu dengan tujuan memperbaiki sifat serat pangan dari mengkudu terutama sifat kelarutan serat. Rendemen serat mengkudu yang didapatkan sebesar 58,55 – 89,07 % dengan nilai kelarutan dalam air sekitar 0,5628 – 4,2677 %. Hidrolisis asam dan hidrolisis basa dilakukan karena membutuhkan biaya yang relatif murah dibanding hidrolisis enzim.

(23)

O CH2OH H OH H OH H H OH H OH O CH2OH H H OH OH H H OH H OH O CH2OH H H OH OH H OH H H OH O H H H OH OH H H OH H OH OH OH H H H OH HOH2C H O O H CH3 H OH H OH OH H H OH O H CH3 OH H H OH H OH H OH O COOH H OH H OH H H OH H OH O COOH H H OHOH H H OH H OH O COOH H H MeO OH H H OH H OH Arabinosa Xilosa

Galaktosa Glukosa Mannosa

Fukosa Rhamnosa

Asam galakturonat Asam glukuronat 4-O-Me-Asam glukoronat

Gambar 4. Komponen utama penyusun polisakarida dietary fiber (Birch dan Parker, 1983).

E. HIDROLISIS

Hidrolisis adalah pemecahan kimiawi suatu molekul karena pengikatan air sehingga menghasilkan molekul-molekul yang lebih kecil (Gaman dan Sherrington, 1981). Reaksi hidrolisis dapat dipercepat dengan penambahan asam ataupun enzim sebagai katalis.

X -Y + H2O HX + YOH

Hidrolisis berarti pembelahan suatu molekul oleh air, jika molekul terbelah, maka hidrogen dari air akan melekat pada salah satu produk, sedangkan gugus –OH akan melekat pada produk lainnya [Wilbraham & Matta (1992) di dalam Yuliani (2004)].

(24)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah singkong varietas lokal berumur + 9 bulan yang diperoleh dari petani di daerah Darmaga, Bogor. Bahan kimia yang digunakan adalah asam klorida teknis konsentrasi 37 % food grade, NaOH, H2SO4, Fenol, DNS dan bahan kimia

lainnya yang digunakan untuk analisis.

Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu Erlenmeyer 2000 ml, penangas air, otoklaf, labu Erlenmeyer vakum, pompa vakum, oven, disk mill yaitu alat untuk memperkecil ukuran, Kett Whiteness Meter yaitu alat untuk mengukur tingkat derajat putih serat, spektrofotometer serta beberapa peralatan gelas dan peralatan laboratorium lainnya yang digunakan untuk analisis.

B. METODE

Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap penelitian utama.

1. Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan adalah analisa proksimat yaitu menentukan komposisi kimia singkong.

2. Penelitian utama.

Penelitian utama adalah proses hidrolisis asam klorida dan mengkaji pengaruh penambahan asam klorida terhadap produk hasil hidrolisis berupa hidrolisat pati dan serat.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan percobaan acak lengkap faktor tunggal. Rumus rancangan percobaan sebagai berikut :

(25)

Y

ij

= µ + α

i

+ Є

ij

Y

ij

=

Nilai pengamatan (parameter) yang dipengaruhi perlakuan

penambahan asam klorida

µ

=

Nilai rataan umum

α

i = Pengaruh perlakuan perbedaan penambahan asam klorida

Є

ij

=

Galat

Analisis dilakukan terhadap hasil hidrolisis asam klorida berupa hidrolisat pati dan serat pangan.

Untuk hidrolisat pati diuji tingkat kejernihan, gula pereduksi dan total gula, dari hasil analisis gula pereduksi dan total gula didapat nilai Dextrose Equivalent (DE) dan Degree of Polymerization (DP).

Analisis untuk serat pangan yaitu uji sifat fisik terdiri dari rendemen dan derajat putih. Uji fungsional serat pangan yang terdiri dari uji daya serap air dan kelarutan serat dalam air serta analisis komposisi serat yang terdiri dari kadar serat pangan larut, kadar serat pangan tidak larut dan kadar total serat pangan, prosedur analisis dapat dilihat dalam Lampiran 1.

C. TATA LAKSANA

1. Persiapan bahan

Singkong yang digunakan terlebih dahulu dikupas kulit luarnya, dicuci dengan air dan dipotong untuk memperkecil ukurannya agar mempermudah pemarutan. Hasil parutan singkong digunakan untuk uji proksimat bahan dan proses hidrolisis.

2. Analisis proksimat bahan

Analisis proksimat terhadap bahan singkong dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia secara umum yang terdiri dari kadar air, abu, lemak, protein dan kandungan karbohidrat.

(26)

3. Penelitian utama.

Sejumlah kecil asam klorida ditambahkan kedalam singkong yang sudah ditambahkan air sampai dengan pH 2,3. Kondisi hidrolisis dan bahan dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Bahan pra hidrolisis Perla-kuan [HCl] Jumlah Singkong Parut (g) Volume Air (ml) Volume HCl (ml) Konsentrasi larutan HCl (% b/b) Konsentrasi substrat (% b/v) I 4 % 500 550 60 0,214 81,97 II 6 % 500 550 40 0,219 84,75 III 8 % 500 550 30 0,221 86,20

Gelatinisasi pati disertai pengadukan secara merata di atas penangas air pada suhu 65 – 70 oC dilakukan selama + 15 – 20 menit sampai dengan singkong tergelatinisasi seluruhnya.

Hidrolisis dilakukan dalam otoklaf selama 60 menit pada suhu 121

o

C. Hasil hidrolisis didinginkan dan disaring dengan kain saring dan dibantu dengan sistem vakum menggunakan labu Erlenmeyer vakum, cawan Buchner dan pompa vakum untuk membantu mempercepat penyaringan.

Setelah disaring, serat hasil penyaringan dicuci atau dibilas dengan air hangat atau air panas sekitar 70 – 100 oC sebanyak + 1000 ml. Hasil hidrolisat pati dianalisis sebelum dinetralkan.

Serat dikeringkan dalam oven suhu 55 oC selama + 2 – 3 hari sampai dengan bobot konstan, kemudian serat dihaluskan sampai dengan ukuran 40 mesh, setelah dihaluskan serat dianalisis. Diagram alir proses penelitian utama dapat diilihat pada Gambar 5.

(27)

Gelatinisasi pati T= 60 – 70 oC dengan pengadukan merata 500 g singkong parut + 550 ml air + HCl Hidrolisat pati NaOH Air + 1000 ml Serat basah

Air cucian serat

Serat

Serat Slurry singkong

dalam Erlenmeyer 2000 ml

Hidrolisis asam dalam

otoklaf T= 121oC t = 1 jam Filtrasi dg bantuan pompa vakum Analisa hidrolisat pati Penetralan Hidrolisat pati netral Pencucian serat Dikeringkan dalam oven T = 55 oC Penghalusan dg disk mill 40 mesh Analisa serat

(28)

IV. PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN

Pada penelitian pendahuluan dan penelitian utama digunakan daging umbi singkong. Dari umbi singkong utuh sekitar 1 kg, setelah dikupas dan dibersihkan didapat sekitar 730 g daging umbi, 260 g kulit singkong dan sisanya potongan kecil sekitar 10 g.

Gambar 6. Umbi singkong

Dalam penelitian pendahuluan, penentuan komposisi kimia singkong (proximate), meliputi kadar air, karbohidrat, protein, lemak dan abu. Data tersebut tersaji dalam Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Analisis proksimat singkong

Komposisi Parameter (% bk) (% bb) Balagopalan (1988) (% bb) Tjokroadikoesoemo (1986) (% bb) Kadar air 149,25 59,88 59,40 62,50 Kadar karbohidrat* 94,14 37,77 38,10 34,7 Kadar lemak 0,85 0,34 0,20 0,3 Kadar protein 3,69 1,48 0,70 1,2 Kadar abu 1,32 0,53 1,0 - * by difference

(29)

Kandungan air merupakan parameter penting untuk produk pertanian, Perbedaan kandungan air dalam bahan pertanian dapat dipengaruhi oleh varietas, umur tanam, unsur hara tanah dan iklim. Menurut Winarno (1995) kandungan air terutama dalam bahan hasil pertanian menentukan acceptability, kesegaran dan daya tahan bahan tersebut. Batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15 %. Berdasarkan hasil penelitian kadar air dari bahan baku singkong yang digunakan mengandung kadar air sekitar 59,88 %. Menurut Balagopalan (1988), nilai kadar air singkong adalah 59,40 % sedangkan menurut Tjokroadikoesoemo (1986) kadar air singkong mencapai 62,50 %.

Kadar karbohidrat bahan baku singkong yang digunakan sekitar 37,77 %, hasil ini merujuk pada pustaka Balagopalan (1988) bahwa kadar karbohidrat singkong adalah 38,10 %, sedangkan menurut Tjokroadikoesoemo (1986), kadar karbohidrat singkong sekitar 34,7 %. Di dalam karbohidrat terdapat kandungan pati dan serat, kedua bahan ini merupakan bagian penting untuk menghasilkan gula (hidrolisat pati) dan serat yang dihasilkan dari hidrolisis singkong secara langsung oleh asam klorida.

Selain analisis kadar air dan karbohidrat yang merupakan parameter penting dalam penelitian ini, terdapat kadar lemak dan protein dalam bahan baku singkong. Kadar lemak dan protein masing-masing menunjukkan hasil yang relatif kecil, tetapi kandungan lemak dalam bahan yang mengandung pati dapat mengganggu proses gelatinisasi karena lemak mampu membentuk kompleks dengan amilosa sehingga menghambat keluarnya amilosa dari granula pati. Sedangkan kadar protein dapat menyebabkan viskositas pati menurun.

Kadar abu pada suatu bahan menunjukkan kandungan mineral anorganik sisa pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550 °C. (Apriyantono et al., 1988). Berdasarkan hasil pengamatan, kadar abu yang diperoleh adalah 0,53 %. Menurut Balagopalan (1988), kadar abu singkong dapat mencapai 1,0 %.

Hasil analisis komposisi karbohidrat singkong menunjukkan angka sebesar 37,77 %, dibandingkan kadar lemak dan protein yang menunjukkan

(30)

angka yang relatif kecil. Komponen karbohidrat yang tinggi, menjadikan singkong dapat digunakan sebagai makanan pokok. (Tjokroadikoesoemo,1986).

Karakteristik kimia penyusun singkong dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti varietas, umur tanam, kondisi tanah, iklim, dan sebagainya. Semakin lama umur tanam, kandungan air, pati, dan serat singkong akan semakin menurun sementara kadar gula meningkat (Balagopalan, 1988).

B. PENELITIAN UTAMA.

Penelitian utama adalah proses hidrolisis singkong dengan penambahan asam klorida. Produk yang dihasilkan dari proses hidrolisis ini adalah hidrolisat pati dan serat pangan. Bahan singkong parut ditambahkan sejumlah air serta ditambahkan sejumlah kecil asam klorida sampai dengan pH 2,3. Kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan dihirolisis dengan otoklaf selama 1 jam dengan suhu 121 oC. Penambahan asam klorida dalam penelitian ini merupakan faktor tunggal dalam proses hidrolisis.

1. Hidrolisat pati

Kandungan pati merupakan komponen penting untuk menghasilkan produk hidrolisat pati. Menurut Gaman dan Sherrington (1992), hidrolisis pati dapat dilakukan oleh asam atau enzim. Molekul pati mula-mula pecah menjadi unit-unit rantaian glukosa yang lebih pendek yang disebut dekstrin. Dekstrin dipecah lagi menjadi maltosa kemudian terurai menjadi glukosa.

Pada proses hidrolisis pati, air akan bereaksi antara ikatan dua unit glukosa membentuk gugus hidroksil baru. Reaksi ini dapat dipercepat dengan peningkatan suhu. Bila reaksi dihentikan sebelum sempurna sejumlah fraksi akan terbentuk yaitu dekstrin dan malto-oligosakarida [Tegge (1984) di dalam Dziedzik dan Kearsley (1984)].

(31)

Asam akan merusak pati secara acak dan sebagian besar akan membentuk gula-gula pereduksi. Tingkat konversi pati dapat diukur berdasarkan kandungan gula pereduksi. Dimana konversi pati secara sempurna akan menghasilkan 100 % dekstrosa [Palmer (1970) di dalam Birch, Green, dan Coulson (1970)].

Gambar 7. Mekanisme hidrolisis pati oleh asam [diadaptasi dari Schoch (1991) di dalam Pomeranz (1991)].

Dalam penelitian ini, hidrolisis dilakukan terhadap bahan singkong parut, sehingga bukan hanya pati yang terdapat pada bahan tersebut, melainkan terdapat bahan polisakarida lainnya seperti selulosa, hemiselulosa, lignin dan lain-lain, tetapi proses hidrolisis asam akan merusak pati yang mempunyai struktur lebih fleksible (ikatan α-(1–4)-D-glukosa) terlebih dahulu, selanjutnya proses hidrolisis asam akan merusak struktur amorf terlebih dahulu sebagaimana menurut Murphy (2000) di dalam Phillips dan William (2000), bahwa pada hidrolisis asam, asam akan merusak dan memutus ikatan polimer terutama bagian amorf.

Berdasarkan parameter umum yang digunakan untuk menghitung kandungan hidrolisat pati, dianalisis kandungan gula pereduksi dan total gula, nilai DE dan DP serta nilai kejernihan hidrolisat pati. Hasil analisis hidrolisat pati dapat dilihat pada Tabel 7.

Hidrolisis Asam

Panas + Air + Asam

(32)

Tabel 7. Hasil analisis hidrolisat pati PERLAKUAN ANALISIS I II III Total Gula (mg/ml) 23,45 23,87 24,17 Gula Pereduksi (mg/ml) 11,97 13,30 14,85 Dextrose Equivalent (DE) 51,43 56,02 61,49 Degree of Polymerization (DP) 1,96 1,80 1,63 ejernihan (% T) 97,39 96,57 96,28

a. Gula Pereduksi dan Total Gula

Hasil pengukuran gula pereduksi menunjukkan nilai yang berbeda antara ketiga perlakuan. Nilai gula pereduksi berkisar antara 11,97 mg/ml - 14,85 mg/ml. Nilai gula pereduksi yang tertinggi sebesar 14,85 mg/ml didapatkan dari perlakuan III. Nilai total gula juga menunjukkan nilai yang berbeda antara ketiga perlakuan, kisarannya yaitu 23,45 mg/ml – 24,17 mg/ml. Nilai total gula yang tertinggi sebesar 23,45 mg/ml didapatkan dari perlakuan III Histogram nilai gula pereduksi dan total gula dapat dilihat pada Gambar 8 dibawah ini.

Gambar 8. Histogram nilai gula pereduksi

Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji lanjut Duncan

0 2 4 6 8 10 12 14 16 I II III Perlakuan m g /m l

a

b

c

(33)

Hasil analisis keragaman terhadap gula pereduksi menunjukkan perbedaan perlakuan dalam hidrolisis singkong secara langsung, berpengaruh nyata. Hasil uji lanjut Duncan dengan tingkat kepercayaan 95%, menunjukkan perbedaan yang nyata antara ketiganya yaitu gula pereduksi hasil hidrolisis perlakuan I, II dan III. Analisis keragaman terhadap total gula menunjukkan perbedaan perlakuan dalam hidrolisis singkong secara langsung, tidak berpengaruh nyata. Data hasil gula pereduksi dan total gula serta hasil analisis keragamannya dapat dilihat pada Lampiran 3.

Asam klorida sebagai katalis dalam proses hidrolisis, akan memotong ikatan polisakarida khususnya pati dengan ikatan (14) menjadi gula sederhana. Menurut Tjokroadikoesoemo (1986) gula-gula sederhana tersebut adalah maltosa, maltotriosa, α-limit dekstrin dan oligosakarida. Oligosakarida seperti maltosa, maltotriosa, maltotetrosa, maltopentosa, dan maltoheksosa, bersifat reduktif (Winarno, 1997).

Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), hidrolisis asam sepenuhnya terlaksana secara acak, dan sebagian gula yang dihasilkannya berupa gula pereduksi, maka pengukuran gula pereduksi tersebut dapat dijadikan alat pengontrol kualitas hasil.

Pada hasil analisis menunjukkan nilai total gula lebih besar dari gula pereduksi, hal ini menunjukkan bahwa dalam hidrolisis menggunakan asam klorida, kemungkinan degradasi polisakarida pati maupun non pati seperti selulosa dan hemiselulosa sangat besar, sehingga seluruh sakarida hasil hidrolisis teranalisa oleh metode fenol sulfat sebagai jumlah total gula. Total gula menunjukkan jumlah karbohidrat yang terkandung dalam hidrolisat, baik senyawa reduktif maupun non-reduktif.

(34)

b. Dextrose Equivalent (DE) dan Degree of Polymerization (DP)

Nilai DE dan DP didapat dari perhitungan gula pereduksi dan total gula. Nilia DE didapat dari gula pereduksi dibagi total gula dikali 100, sedangkan nilai DP didapat dari total gula dibagi gula pereduksi. Pada penelitian ini nilai DE dan DP menunjukkan nilai yang berbeda antara ketiga perlakuan. Nilai DE berkisar antara 51,43 – 61,49 sedangkan nilai DP berkisar antara 1,96 – 1,63. Nilai DE yang tertinggi sebesar 61,49 didapatkan oleh hidrolisis perlakuan III, sedangkan nilai DP tertinggi sebesar 1,96 didapatkan oleh hidrolisis perlakuan I.

Hasil analisis keragaman terhadap DE dan DP hidrolisat pati menunjukkan perbedaan perlakuan dalam hidrolisis singkong secara langsung, tidak berpengaruh nyata. Data nilai DE dan DP dan hasil analisis keragaman DE dan DP dapat dilihat pada Lampiran 3.

Pada hidrolisis sempurna, pati seluruhnya dikonversi menjadi dekstrosa, derajat konversi tersebut dinyatakan dengan Dextrose Equivalent (DE), dari larutan tersebut diberi indeks 100. (Tjokroadikoesoemo,1986).

Menurut Wurzburg (1989), DE (Dextrose Equivalent) atau angka pereduksi menunjukkan jumlah gula pereduksi dari pati atau turunannya yang dihitung sebagai nilai dekstrosa pada bobot kering, sedangkan DP (Degree of Polimerization) menunjukkan rata-rata jumlah unit monomer yang terkandung dalam molekul. Dalam hal ini DP mengindikasikan rata-rata jumlah unit glukosa.

Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), meskipun sesungguhnya nilai DE hanya memberikan sedikit gambaran tentang kandungan gula pereduksi di dalam larutan, namun besaran ini dapat dipakai secara tidak langsung untuk mengukur jenis dan kuantitas gula-gula yang ada didalam larutan (spektrum gula).

Dari hasil penelitian nilai DE hidrolisat pati nilainya naik dari 51,43 – 61,49 seiring dengan perbedaan perlakuan asam dalam hidrolisis. Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), konversi asam

(35)

umumnya terbatas sampai DE 55, konversi diatas 55, DE akan menghasilkan banyak zat warna dan timbulnya rasa pahit. Menurut Tegge (1984) di dalam Dziedzik dan Kearsley (1984), zat warna dan zat berasa pahit tersebut kemungkinan besar adalah 5-hidroksimetil furfural yang dapat terdekomposisi kemudian menjadi levulinat dan asam format.

Nilai DP menurun dari 1,96 – 1,63, seiring dengan perbedaan perlakuan yang digunakan dalam hidrolisis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi asam klorida dalam perlakuan, sehingga asam klorida yang lebih kuat akan lebih kuat mendegradasi polisakarida dalam bahan, sehingga nilai DP yang menunjukkan angka rata-rata unit monomer dalam suatu molekul akan menurun.

Hasil hidrolisat pati seperti diatas dengan nilai DE sekitar 51 sampai dengan 61, berdasarkan Tabel 8 komposisi gula (Jackson et al, 1979), produk hidrolisis tersebut sebagian besar terdiri dari komponen dekstrosa dan maltosa. Sehingga produk ini bisa diaplikasikan sebagai gula cair dalam berbagai industri pangan seperti industri minuman, industri permen (sweets dan hard candies), selai dan pengalengan

buah-buahan (Tjokroadikoesoemo,1986). Menurut McDonald (1984) di dalam

Kearsley dan Dziedzic (1984), sirup glukosa dapat diaplikasikan di berbagai industri makanan seperti industri confectionary misalnya pembuatan karamel, fondan, cream, gum, jellies dan lain-lain. Sirup glukosa dapat digunakan dalam industri fermentasi yang menghasilkan asam laktat, asam sitrat, etanol dan lain-lain [Wood dan O’rourke (1995) di dalam Kearsley dan Dziedzic (1995)]. Perkembangan penggunaan hidrolisat pati dari singkong di Indonesia, belakangan ini bisa digunakan sebagai substitusi gula merah dalam memproduksi kecap.

(36)

Tabel 8. Komposisi gula dalam sirup glukosa hasil hidrolisis asam Dextrose Equivalent Sirup glukosa 30 34-36 42-43 55 Dekstrosa Maltosa Maltotriosa Maltotetrosa Maltopentosa Maltoheksosa Maltoheptosa Higher sugars 10,0 9,0 10,0 8,0 7,0 6,0 5,0 45,0 13,5 11,5 10,0 9,0 8,0 6,0 5,5 36,5 19,0 14,0 12,0 10,0 8,0 7,0 5,0 25,0 31,0 18,0 13,0 10,0 7,0 5,0 4,0 12,0 Sumber : Jackson et al. (1979).

c. Kejernihan

Pengukuran kejernihan dilakukan terhadap hidrolisat pati hasil hidrolisis. Hidrolisat pati diukur dengan spektrofotometer pada absorbansi 660 nm. Pada penelitian ini nilai kejernihan menunjukkan nilai yang berbeda antara ketiga perlakuan dalam hidrolisis. Nilai kejernihannya berkisar antara 97,39 %T – 96,28 % T. Nilai kejernihan tertinggi didapat oleh perlakuan I dengan nilai 97,39 %T.

Hasil analisis keragaman terhadap kejernihan hidrolisat pati menunjukkan perbedaan perlakuan dalam hidrolisis singkong secara langsung, tidak berpengaruh nyata. Data hasil kejernihan hidrolisat pati dan hasil analisis keragaman terhadap nilai kejernihan hidrolisat pati dapat dilihat pada Lampiran 3.

Pada hidrolisis singkong, peningkatan konsentrasi Asam klorida dalam ketiga perlakuan akan mengakibatkan meningkatnya degradasi polisakarida dalam komponen singkong. Komponen polisakarida seperti pati, selulosa, hemiselulosa, lignin, dan yang lainnya akan terhidrolisis menjadi unit-unit molekul sakarida yang lebih kecil. Selain itu partikel-pertikel terlarut akan semakin banyak yang menyebabkan tingkat kejernihan menurun.

Kejernihan hidrolisat pati berkaitan dengan kandungan partikel yang larut. Warna coklat pada hidrolisat dapat disebabkan oleh reaksi antara gula pereduksi dengan senyawa nitrogen (reaksi Maillard). Hasil

(37)

reaksi Maillard gula pentosa menghasilkan furfural dan gula heksosa menghasilkan hidroksimetil furfural yang warna coklat (Winarno, 1995).

Reaksi hidrolisis pati dengan katalis asam juga disertai sejumlah reaksi samping yang menghasilkan produk yang lebih besar atau lebih kecil dari glukosa. Proses dehidrasi intramolekuler glukosa akan terjadi menghasilkan 5-hidroksimetil furfural yang dapat terdekomposisi kemudian menjadi levulinat dan asam format. Proses ini diikuti dengan reaksi kompleks yang menyebabkan warna coklat yang disebut melanoidin [Tegge (1984) di dalam Dziedzik dan Kearsley (1984)].

Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), kejernihan dan kualitas warna dipengaruhi oleh kandungan ISSP (In Soluble Starch Particles) dalam pati. ISSP adalah partikel-partikel pati yang tersusun atas sebagian besar amilosa yang saling bergandengan membentuk rantai lurus (linear).

Gambar 9. Tingkat kejernihan hidrolisat pati pada beberapa perlakuan

(38)

2. Serat

Kandungan pati dalam singkong memegang peranan penting dalam menghasilkan produk hidrolisat pati, tetapi dalam hidrolisis singkong secara langsung menggunakan asam klorida, bukan hanya pati yang dihidrolisis melainkan semua komponen yang ada dalam singkong termasuk serat. Menurut Winarno (1997), serat merupakan polisakarida penguat tekstur yang umumnya tidak dapat dicerna oleh tubuh. Serat berasal dari dinding sel tanaman dan terdiri dari beberapa jenis karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan non-karbohidrat seperti polimer lignin, gum, dan mucilage.

Southgate dan Englyst (1985) di dalam Trowell et al (1985) menambahkan bahwa komponen serat pangan berasal dari dinding sel tanaman yang dibangun atas struktur yang kompleks. Polisakarida bersama protein dan lignin membangun struktur dinding sel yang kokoh pada tanaman. Dinding tersebut tersusun dari struktur dasar berupa mikrofibril selulosa dan matriks polisakarida dimana antar bagiannya dipisahkan oleh senyawa pektin yang berbentuk amorf [Aman dan Westerlund (1996) di dalam Eliasson (1996)].

Menurut Radley (1976), asam akan menghidrolisis semua jenis polisakarida yang mampu terhidrolisis. Oleh karena itu, hidrolisis asam mampu mendegradasi komponen pati dan non-pati dalam suatu polisakarida. Dengan demikian hidrolisis asam akan mendegradasi komponen pati yang lebih amorf atau ikatan antar molekulnya lemah, disamping itu asam akan menyerang bagian lainnya dari kompleks polisakarida tanaman yang lebih amorf seperti pektin, gum, hemiselulosa dan selulosa, secara bertingkat sesuai kekuatan strukturnya masing-masing. Berikut Gambar 10 menunjukkan struktur dari dinding sel tanaman.

(39)

Gambar 10. Diagram struktur dinding sel tanaman [Selvendran (1983)

di dalam Birch dan Parker (1983)].

Serat yang dihasilkan dari pemisahan hasil hidrolisis singkong, dihitung dan dianalisis berdasarkan sifat fisik, kimia dan fungsionalnya. Tabel 9 di bawah ini menyajikan hasil analisis serat yang dihasilkan.

Tabel 9. Hasil analisis serat

PERLAKUAN ANALISIS

I II II Rendemen (% bk) 3,66 3,57 3,40 Derajat Putih (%) 39,50 36,50 35,75 Daya Serap Air (% bk) 678,60 677,18 672,56 Kelarutan (% bk) 2,36 3,26 4,90 Serat Pangan Tidak larut ( % bk) 80,99 80,40 79,14 Serat Pangan Larut ( % bk) 8,30 7,68 8,37 Total Serat Pangan ( % bk) 89,29 88,08 87,51

Xiloglukan Mikrofibril

(selulosa) ˜50 Ǻ

˜800Ǻ

Ruang antar fibril

Matriks Polisakarida Bagian kristal Bagian Amorf

Dinding sel utama Lamella tengah 0,5 – 2 µm

(40)

a. Rendemen

Nilai rendemen serat didapat dari berat kering bahan parutan singkong yang dihidrolisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah rendemen serat, akan berbeda antara ketiga perlakuan dalam menghidrolisis bahan singkong, nilai rendemen serat hasil hidrolisis langsung bahan singkong berkisar antara 3,66 % - 3,40 %. Nilai rendemen serat terbesar didapatkan dari perlakuan I sebesar 3,66 %.

Hasil analisis keragaman terhadap rendemen serat singkong menunjukkan perbedaan perlakuan dalam hidrolisis singkong secara langsung, tidak berpengaruh nyata. Data rendemen serat dan hasil analisis keragaman rendemen serat singkong dapat dilihat pada Lampiran 3.

Penurunan rendemen dari 3,66 % - 3,40 %, menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam klorida dalam ketiga perlakuan dalam hidrolisis, semakin kuat tingkat degradasi polisakarida dalam singkong. Polisakarida terhidrolisis menjadi oligosakarida, disakarida maupun monosakarida.yang mempunyai ukuran lebih kecil. Nilai rendemen yang berkisar antara 3,66 % - 3,40 % dari berat kering bahan awal parutan singkong sebanyak 500 g, menunjukkan bahwa selain pati, serat akan ikut terhidrolisis sehingga nilainya akan semakin kecil.

Nilai rendemen merupakan parameter yang penting untuk mengetahui nilai ekonomis suatu produk. Pada bahan pangan, semakin tinggi rendemennya, semakin tinggi nilai ekonomis produk tersebut dan semakin rendah nilai rendemennya maka produk dinilai kurang ekonomis. (Yuliani, 2004).

(41)

b. Derajat Putih

Derajat putih serat diukur dengan alat Kett Whiteness Meter dengan perbandingan terhadap putihnya BaSO4 dengan nilai derajat

putihnya 100 %. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan antara ketiga perlakuan dalam hidrolisis. Nilainya yaitu 39,5 % - 35,75 %. Nilai derajat putih terbesar adalah 39,5% didapatkan oleh perlakuan I.

Hasil analisis keragaman terhadap nilai derajat putih serat singkong menunjukkan perbedaan perlakuan dalam hidrolisis singkong, tidak berpengaruh nyata. Data nilai derajat putih serat dan hasil analisis keragaman nilai derajat putih serat dapat dilihat pada Lampiran 3.

Penurunan nilai derajat putih terutama disebabkan karena proses hidrolisis bahan singkong dilakukan pada suhu tinggi yaitu 121oC. Selama proses hidrolisis terjadi reaksi browning non enzimatis antara gula pereduksi dengan gugus amino primer yang menghasilkan bahan berwarna coklat, terbentuknya karemelisasi dan terjadinya reaksi Maillard. Menurut Winarno (1982), reaksi Maillard terjadi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amino primer. Hasil reaksi tersebut menyebabkan bahan berwarna coklat yang sering dikehendaki atau kadang-kadang menjadi pertanda penurunan mutu.

Pada penelitian ini, dengan meningkatnya konsentrasi asam klorida yang digunakan untuk hidrolisis singkong secara langsung, menyebabkan terbentuknya monosakarida gula pereduksi hasil hidrolisis lebih banyak, sehingga reaksi pencoklatan antara gula pereduksi dengan gusus protein terjadi lebih banyak. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan nilai derajat putih.

(42)

Gambar 11. Tingkat derajat putih serat pada beberapa perlakuan

c. Daya Serap Air.

Pengukuran daya serap air dan kelarutan dalam air serat diukur menggunakan alat centifuge. Hasil pengukuran daya serap air menunjukkan perbedaan antara ketiga perlakuan hidrolisis. Nilainya berkisar antara 678,60 % - 672,56 %, dan nilai daya serap air serat terbesar didapatkan dari perlakuan I, sebesar 678,60 %.

Hasil analisis keragaman terhadap nilai daya serap air serat singkong menunjukkan perbedaan perlakuan, tidak berpengaruh nyata. Data nilai daya serap air serat dan hasil analisis keragaman nilai daya serap air serat dapat dilihat pada Lampiran 3.

Polisakarida adalah molekul hidrofilik yang mempunyai sejumlah hidroksil bebas yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air. Akibatnya baik polisakarida larut maupun tidak larut mempunyai kemampuan untuk mengikat air. Contoh nyata kemampuan polisakarida yang larut untuk mengikat air adalah proses gelatinisasi (Spiller, 2001).

Nilai daya serap air serat cenderung mengalami penurunan dengan meningkatnya konsentrasi asam klorida dalam ketiga perlakuan yang digunakan dalam hidrolisis. Hal ini dikarenakan polisakarida dalam bahan singkong mengalami degradasi menjadi oligosakarida, disakarida dan monosakarida, dan jumlahnya semakin besar dengan meningkatnya konsentrasi asam klorida untuk hidrolisis. Semakin kecil ukuran molekul maka daya serap air semakin rendah.

(43)

Daya serap air dari serat merupakan parameter penting kualitas dari serat pangan, yaitu kemampuan serat pangan untuk menyerap air. Hal ini berkaitan erat dengan fungsi serat pangan terhadap pencernaan. Serat pangan dalam feses akan mudah menyerap air, sehingga feses akan lebih mudah dikeluarkan. Hasil penelitian menunjukkan jumlah air yang mampu diserap oleh komponen serat mencapai 6 kali berat seratnya sendiri. Dibandingkan dengan produk komersial yang ada dipasaran dunia yaitu Fibromega produksi Biooriginal Food, Canada menunjukkan nilai daya serap air serat yang terbuat dari flex sebesar 425 % - 470 %, nilai ini lebih kecil dibandingkan nilai daya serap air serat singkong yang dihasilkan dari penelitian ini yang mencapai 670 %.

d. Kelarutan dalam Air

Hasil pengukuran kelarutan dalam air menunjukkan perbedaan antara ketiga perlakuan yang digunakan dalam hidrolisis. Nilainya berkisar antara 2,36 %- 4,90 %. Nilai terbesar didapatkan oleh perlakuan III sebesar 4,90 %.

Hasil analisis keragaman terhadap nilai kelarutan dalam air serat singkong menunjukkan perbedaan perlakuan dalam hidrolisis singkong secara langsung, tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kelarutan. Data nilai kelarutan dalam air serat dan hasil analisis keragaman dalam kelarutan air serat dapat dilihat pada Lampiran 3.

Kelarutan adalah jumlah zat yang dapat dilarutkan dalam pelarutnya [Vogel (1979) di dalam Yuliani (2004)]. Kelarutan tergantung pada suhu, tekanan, konsentrasi bahan-bahan lain dalam larutan dan komposisi kelarutannya. Kelarutan bergantung juga pada sifat dan konsentrasi zat-zat lain, terutama ion-ion dalam campuran tersebut.

Nilai kelarutan dalam air serat cenderung mengalami kenaikan dengan meningkatnya konsentrasi asam klorida dalam perlakuan yang digunakan dalam hidrolisis. Hal ini dikarenakan polisakarida dalam hal

(44)

ini selulosa dan hemiselulosa dalam bahan singkong mengalami degradasi menjadi molekul yang lebih kecil. Semakin kecil ukuran molekul maka kelarutan dalam air semakin besar.

e. Serat pangan

Serat pangan terdiri dari serat pangan tidak larut, serat pangan larut dan total serat pangan. Total serat pangan merupakan penjumlahan dari serat pangan tidak larut dan serat pangan larut. Dari hasil penelitian jumlah total serat pangan yang dihasilkan berkisar antara 89,29 % - 87,51 %, serat pangan tidak larut sekitar 80,99 % - 79,14 %, sedangkan serat pangan larut berkisar antara 7,68 % - 8,37 %. Nilai-nilai tersebut didapatkan dari ketiga perlakuan asam klorida dalam hidrolisis.

Hasil analisis keragaman terhadap analisis total serat pangan, serat pangan tidak larut dan serat pangan larut menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan dalam hidrolisis singkong secara langsung, tidak berpengaruh nyata. Data hasil total serat pangan, serat pangan tidak larut dan serat pangan larut dapat dilihat pada Lampiran 3.

Meuser et al. (1992) menambahkan bahwa serat pangan dapat dibedakan ke dalam dua berdasarkan kelarutannya dalam air, yaitu serat tidak larut air (selulosa, lignin, xilan, xiloglukan, dan galaktomannan) dan serat larut air (pektin, arabinogalaktan, arabinoxilan, dan β-glukan).

Serat pangan tidak larut atau Non Soluble Dietary Fiber (NSDF) diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas maupun dingin. Sumber Non Soluble Dietary Fiber (NSDF) adalah selulosa, lignin, sebagian besar hemiselulosa, sejumlah kecil kutin, lilin tanaman dan kadang-kadang senyawa pektat yang tidak dapat larut. Non Soluble Dietary Fiber (NSDF) merupakan kelompok terbesar dari Total Dietary Fiber (TDF) dalam makanan [Muchtadi (2000) di dalam Yuliani (2004)].

Serat pangan larut atau Soluble Dietary Fiber (SDF) diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta

(45)

dapat terendapkan oleh air yang telah dicampur dengan empat bagian etanol. Gum, pektin dan sebagian hemiselulosa larut dalam air. Komponen ini terdapat dalam dinding sel tanaman yang merupakan sumber Soluble Dietary Fiber (SDF). Soluble Dietary Fiber (SDF) hanya menempati jumlah sepertiga dari Total Dietary Fiber (TDF) dalam makanan. [Muchtadi (2000) di dalam Yuliani (2004)].

Muchtadi (2000) di dalam Yuliani (2004) menyatakan bahwa total serat pangan mengandung gula-gula dan asam-asam gula sebagai bahan pembangun utama serta grup fungsional yang dapat mengikat dan terikat atau membentuk Total Dietary Fiber (TDF), gula-gula tersebut adalah glukosa, galaktosa, silosa, mannosa, arabinosa, rhamnosa dan fukosa, sedangkan asam-asam gulanya adalah adalah asam manuronat, galaktoronat, glukoronat, guluronat dan 4-ometilglokoronat. Grup

fungsional Total Dietary Fiber (TDF) adalah hidrogen, hidroksil, karbonil, sulfat dan metal.

Nilai serat pangan tidak larut dan total serat pangan cenderung mengalami penurunan dengan meningkatnya konsentrasi asam klorida dalam ketiga perlakuan yang digunakan dalam hidrolisis. Hal ini dikarenakan komponen serat pangan tidak larut yang merupakan bagian terbesar dari total serat pangan yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin akan terpecah menjadi molekul-molekul yang lebih kecil dan jumlahnya akan semakin besar seiring dengan meningkatnya konsentrasi asam klorida yang digunakan dalam hidrolisis.

Jumlah serat pangan larut serat singkong dalam penelitian ini menunjukkan angka yang relatif sangat kecil, dan tidak menunjukkan kecenderungan menaik ataupun menurun. Hal ini diduga komponen-komponen gum, pektin dan sebagian hemiselulosa dalam bahan singkong ikut larut dalam hidrolisis, proses penyaringan dan pencucian serat.

(46)

Tabel 10. Perbandingan serat pangan hasil penelitian dengan produk komersial

PERBANDINGAN ANALISIS Hasil Penelitian

*(%)

Fibromega (%)

Vitacel (%) Serat pangan tidak larut 80 17,3 94,5 Serat pangan larut 8 25,5 2,5 Total serat pangan 88 42,8 97 * Nilai rata-rata dari hasil penelitian

Hasil analisis total serat pangan didapatkan jumlah sekitar 88 %, sehingga masih sekitar 12 % bahan tidak teridentifikasi yang tergabung dalam bahan serat tersebut. Kemungkinan bahan-bahan tersebut adalah air, bahan mineral anorganik, hasil dari reaksi-reaksi samping baik itu hasil reaksi samping hidrolisis maupun hasil reaksi samping analisis serat pangan. Komponen pati juga memungkinkan masih ada dan tertinggal dalam bahan serat, pati tersebut tidak terhidrolisis oleh proses hidrolisis utama menggunakan asam klorida maupun proses analisis serat pangan yang mengunakan amilase untuk memecah pati.

Perbandingan dengan produk komersial yang ada dipasaran dunia, yaitu serat yang terbuat dari flex produksi Biooriginal Food, Canada dengan merk dagang Fibromega, menunjukkan jumlah yang berbeda terutama jumlah komponen serat pangan tidak larut yang mencapai 80 % sedangkan produk komersial Fibromega hanya 17,3 %. Untuk Vitacel yang terbuat dari wheat menunjukkan jumlah serat pangan yang tinggi dan terdiri dari sebagian besar serat pangan tidak larut yang mencapai 94,5 %.

Perbedaan komposisi tersebut lebih diutamakan pada perbedaan tanaman penghasil seratnya, dalam hal ini flex, wheat dan singkong. Produk yang sudah masuk dalam pasaran dunia kemungkinan besar sudah ditambahkan dengan bahan lain, sehingga akan meninggikan kemurnian serat atau tujuan memperkaya komposisi produk, selain itu proses produksi atau teknologi separasi serat dari komposisi lainnya

(47)

dalam bahan juga merupakan faktor penting yang menyebabkan perbedaan komposisi serat pangan.

Untuk standar serat pangan belum ada baik di indonesia maupun standar dunia, tetapi produk serat dari bahan apapun biasanya akan dibandingkan dengan standar serat wheat fibre, seperti dalam contoh adalah merk Vitacel produksi Rettenmaier & Sohne GMBH + Co Rosenberg Jerman.

(48)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Hidrolisat pati dan serat pangan dari singkong dapat dihasilkan dari hidrolisis asam klorida secara langsung. Selain tanpa harus mengekstrak patinya, hidrolisis secara langsung bahan baku singkong dapat mereduksi beberapa alur proses yang berarti pula penghematan proses dan mengurangi kemungkinan limbah.

Perbedaan komposisi asam dan konsentrasi substrat dalam perlakuan I, II dan III, menyebabkan meningkatnya nilai gula pereduksi, nilai total gula, nilai DE dan tingkat kejernihan hidrolisat pati, tetapi akan menurunkan nilai DP hidrolisat pati. Nilai tertinggi untuk gula pereduksi, total gula, DE dan tingkat kejernihan didapatkan dari perlakuan III, sedangkan untuk nilai DP didapatkan dari perlakuan I.

Perbedaan komposisi asam dan konsentrasi substrat dalam perlakuan I, II dan III, menyebabkan menurunnya rendemen serat, nilai derajat putih, nilai daya serap air, nilai serat pangan tidak larut dan nilai total serat pangan, tetapi akan meningkatkan nilai kelarutan dalam air serat dan menghasilkan nilai serat pangan larut sekitar 7,6 % - 8,37 %. Nilai tertinggi untuk rendemen, derajat putih, daya serap air, serat pangan tidak larut dan total serat pangan didapatkan dari perlakuan I, sedangkan nilai kelarutan dan serat pangan larut didapatkan dari perlakuan III.

Berdasarkan hasil analisis total serat pangan, serat pangan tidak larut, nilai derajat putih, daya serap air dan pertimbangan ekonomis, maka serat yang merupakan hasil terbaik dihasilkan oleh perlakuan I yaitu dengan penambahan asam klorida 4 %, komposisi asam sebesar 0,214 % b/b dan konsentrasi substrat 81,97 % b/v, dengan karakteristik hidrolisat pati yang mempunyai nilai DE 51 dengan tingkat kejernihan 97,39 % T.

(49)

B. SARAN

Dalam penelitian ini, beberapa hal yang perlu disarankan, yaitu :

1. Perlunya dilakukan penelitian hidrolisis singkong secara langsung dengan mempetimbangkan berbagai faktor hidrolisis seperti suhu, tekanan, konsentrasi substrat dan waktu hidrolisis.

2. Setelah didapatkan serat kasar hasil hidrolis asam, disarankan untuk menghidrolisis kembali dengan menggunakan enzim, sehingga dihasilkan serat pangan yang benar-benar murni.

(50)

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of Association of Official of Analytical Chemistry. Washington.

Aman, P. dan Westerlund, E. 1996. Cell Wall Polysaccharides : Structural, Chemical. and Analytical Aspects di dalam. Eliasson, C.A.1996. Carbohydrates in Food. Marcel Dekker, Inc. New York, Basel and Hong Kong.

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto. 1988. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor.

Badan Pusat Statistik. 2005. Food Crops Statistics: Production of Secondary Food Crops in Indonesia. www. bps.go.id

Balagopalan, C, G. Padmaja, S. K. Nanda dan S. N. Moorthy. 1988. Cassava in Food, Feed, and Industry. CRC Press, Inc., Florida.

Balai Penelitian Ternak. 2002. Onggok Terfermentasi Bahan Pakan Bergizi Tinggi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol.24 No.6, 2002.

Bioriginal Food & Science Corp. Canada. 2004. Fibromega: Product Description. www. bioriginal.com.

Birch, G. G. dan K. J. Parker. 1979. Sugar : Science and Technology. Applied Science Publishers, Ltd., London.

Dreher, M. L. 1989. Handbook of Dietary Fiber. Marcel Dekker, Inc., New York. Fengel, D. dan G. Wegener. 1995. Kayu : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Di

terjemahkan oleh Hardjono Sastrohamidjojo. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Gaman, P. M. dan K. B. Sherrington. 1981. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Diterjemahkan oleh Gardjito, M., S. Naruki, A. Murdiati, Sardjono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Heyne K.1987. Tumbuhan Berguna Indonesia jilid II. Badan Litbang Kehutanan Indonesia. Jakarta

Jackson.1979. Sugar Confectionery Manufacture. 2nd Edition. An Aspen Publication. Gaitersburg, Maryland.

(51)

Jackson, E.B. 1995. Use Of Glucose Syrup In The Food Industry. di dalam Kearsley, M.W. dan Dziedzic, S.Z.1995. Handbook of Starch Hydrolysis Product and Their Derivatives. Blackie Academic & Profesional. London, Glasgow, Weinheim, New York, Tokyo, Melbourne, and Madras.

Kennedy, J. F. 1988. Carbohydrate Chemistry. Oxford University Press, New York.

Meuser, F., D. J. Manners. dan W. Seibel. 1993. Plant Polymeric Carbohydrates. The Royal Society of Chemistry, Cambridge.

McDonald, M. Uses of Glucose Syrups in The Food Industry. di dalam Kearsley, M.W. dan Dziedzic, S.Z. 1984. Glucose Syrups : Science and Technology. Elsevier Applied Science Publishers. London and New York.

Murphy, P. 2000. National Starch and Chemical. di dalam Phillips, G.O. dan William, P.A. 2000. Handbook of Hydrocolloids. Wood haad Publishing Limited. Canmbridge, England.

Palmer, T.J. 1970. Acid and Enzyme Hydrolysis of Starch. di dalam Birch, G.G. Green, F. dan Coulson, C.B. 1970. Glucose Syrups and Related Carbohydrates. Elsevier Publishing Company Limited. Amsterdam, London and New York.

Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. 2nd edition. Academic Press, Inc., San Diego, California.

Radley, J. A. 1976. Examination and Analysis of Starch and Starch Products. Applied Science Publishers, Ltd., London.

Rettenmaier & Sohne GMBH + Co. Data Sheet VITACEL Wheat Fibre. Rosenberg.Jerman.

Sanderson.1981. Carbohydrates : Structural Polysaccarides, Pectins, and Gums. di dalam Pomeranz .1991. Functional Properties Of Food Components. 2nd edition. Academic Press, Inc., San Diego, California.

Selvendran, R.R. 1983. The Chemistry of Plant Cell Walls. di dalam Birch, G.G. dan Parker, K.J. Dietary Fiber. Applied Science Publishers. London and New York.

Schoch , T.J.1961. Carbohydrates Starch. di dalam Pomeranz .1991. Functional Properties of Food Components. 2nd edition. Academic Press, Inc., San Diego, California.

Gambar

Tabel 1. Produksi singkong di Indonesia  lima tahun terakhir menurut BPS
Gambar 1. Morfologi umbi singkong
Tabel 2. Komposisi singkong                 (per 100 g bahan)  Komponen  Kadar (bb)  Air  59,4 g  Protein  0,70 g  Lemak  0,20 g  Serat Kasar  0,6 g  Karbohidrat  38,10 g  Abu  1,00 g  Kalsium  50,00 mg  Fosfor  40,00 mg  Thiamin  0,05 mg  Besi  0,90 mg  V
Tabel 3. Komposisi amilosa dan amilopektin
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Adapun judul skripsi ini adalah “ Sikap dan Perilaku Konsumen Terhadap Produk Olahan Durian (Kasus: Pancake Durian Produksi Mei Cin Pancake)” yang merupakat syarat untuk dapat

Tujuan diterbitkannya majalah itu antara lain untuk mendorong bangsa-bangsa timur dalam memperbaiki keadaan, mencapai kemenangan dan menghilangkan rasa putus asa,

Choosing fill color for one or cells from your excel sheet can be done by selecting the cell(s) you want then from formatting tool bar Æ choose fill color button.. •

Hal ini tidak berlaku untuk media pemutar musik dan interaksi antara preferensi lagu dan media, oleh karena hasil ANOVA menunjukkan media pemutar musik dan interaksi

[r]

Nilai koefisien determinasi adalah 48,5% artinya bahwa besarnya pengaruh variabel independen kompetensi, sistem pengendalian internal komitmen organisasi dan

Laporan Keuangan Publikasi ini disusun berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.6/POJK.03/2015 tanggal 31 Maret 2015 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank, dan

Tujuan penelitian ini adalah: (1) menjelaskan peningkatan keterampilan guru dalam mengelola pembelajaran bahasa Indonesia melalui model Talking Stick berbantuan