• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Spasial Permukiman Tertinggi Lereng Merapi Cerminan Kearifan Lokal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pola Spasial Permukiman Tertinggi Lereng Merapi Cerminan Kearifan Lokal"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | 1

Pola Spasial Permukiman Tertinggi Lereng Merapi Cerminan

Kearifan Lokal

Wiwit Setyowati (1), Didik NA Nugradi(2)

(1) (2) Kelompok Keilmuan Teori, Sejarah dan Pengetahuan Sosial, Prodi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang.

Abstrak

Permukiman tertinggi Lereng Gunung Merapi adalah Dusun Pelemsari. Tetapi saat ini kondisi Dusun sudah tertimbun debu dan pasir vulkanik dari Letusan Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010. Dusun ini memegang teguh Ritual, Tradisi dan Budaya sejak permukiman ini terbentuk. Hal ini tercemin pula pada pola spasial permukimannya. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan gambaran deskriptif-ideografis pola spasial permukiman tertinggi lereng Gunung Merapi yang merupakan cerminan dan kental akan kearifan lokal masyarakat. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif-naturalistik. Dari penelitian terlihat bahwa pola spasial Dusun Pelemsari

terkumpul dalam satu Dusun sedangkan tanah garapan berada di luar Dusun yaitu berada di wono

Merapi yang merupakan hutan kelola masyarakat yang berada di sebelah Utara dan Barat Dusun.

Pola spasial ini terbentuk karena budaya mugut yang dilakukan masyarakat.

Kata-kunci : Kearifan Lokal, Lereng Merapi, Mugut, Permukiman, Pola Spasial

Pengantar

Terdapat beberapa permukiman yang lokasinya

berada pada lereng Gunung Merapi.

Permukiman tertinggi yang pernah ada yaitu

Dusun Pelemsari, Kelurahan Umbulharjo,

Kecamatan Cangkringan. Kondisi Dusun saat ini sudah tertimbun debu vulkanik hasil erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010. Dusun Pelemsari memiliki kontur yang terjal dan terbagi menjadi 3 kring, yaitu Kring Ngrangkah,

Kring Pelemsari, serta Kring Kinahrejo.

Permukiman tertinggi di lereng Gunung Merapi ini memiliki ciri-ciri fisik yang unik. Permukiman dibatasi oleh hutan di arah Utara dan Barat, sedangkan sebelah Timur dibatasi oleh kali Opak serta tanah kas desa Kaliadem.

Dusun Pelemsari memiliki beberapa ciri khusus yang tidak dimiliki oleh dusun lain, antara lain adanya legenda bahwa asal-usul permukiman di lereng Merapi ini diawali oleh datangnya dua bersaudara yaitu Sowidjojo dan Kertowidjojo. Mereka datang bersama istri masing-masing

pada sekitar tahun 1825-an. Sowidjojo

bertempat tinggal di kring Kinahrejo, sedangkan

Kertowidjojo bertempat tinggal di kring

Pelemsari. Almarhum Mbah Maridjan, sang juru kunci Gunung Merapi adalah salah seorang cicit (generasi ke-3) dari Sowidjojo.

Gambar 1. Dusun Pelemsari, Desa Umbulharjo, Kec. Cangkringan. Sumber : BPN 2010

Dusun Pelemsari yang merupakan permukiman tertinggi lereng Gunung Merapi mempunyai sosial yang unik serta masih memegang teguh ritual, tradisi, dan budaya sejak pertama kali

Sg Sg14 Sg3

Weron B l. Weron

K ar angkendal Karangk endal

K.Sriw il Bl. Karangk endal Bl. K ar angkendal G ondang B l. Duk uh Bendo B l. Tumpang K edongs riti B l. Gondangtangkisan S idorejo Sidorejo P unguk rejo Pungukr ejo Ngrangkah Bron Ngrangkah Pelem K inarejo IP G Puluk Kl. K aliurang Kl. Kepuhsari K .Kuning G 154 G 152 G 149 G 147 G 146 p 19 p 1 p 3 p 2 d 4 p 10 G 133 G 139 G 131 d 5p 9 p 11 G 128p 6 d 7p 8 G 127 G 125 G 122 p 12 p 13 G 118 G 117 p 14 G 114 d 15 3 4 6 p 17 G 105 d 18 G 103 p 26 G 94 G 95G 96 s l 44dl 43 s l 45 G 97dl 27 G 99 G 100 7 s 47 s 49 s 50 dl 28 d 41d 36 d 40 dl 48 d 46 dl 296 p 29 d 35 d 34 d 39p 37 d 60 p 62 d 38 p 32 p 33 d 66 p 63 d 31 d 68 d 69 s 55 G 155 sl 51 s 52 s 53 s 57 s 56 p 59 p 58 dl 70 dl 71 p 72 d 67 p 73 p 90 p 91p 89 p 88 d 87 dl 86 p 85 d 84 p 81 d 82 dl 83 d 80 p 74 K as Des a Dadap B os hwezen 1 6 9 M ak am P ungukrejo Kd K d 6 Kd Kd Kd K as Des a 0 200400 800 1200 meter Propinsi : DI Yogyakarta Kabupaten : Sleman Kecamatan : Cangkringan Kelurahan lama: Pentingsari Desa : Umbulharjo Skala :

(3)

Pola Spasial Permukiman Tertinggi Lereng Merapi Cerminan Kearifan Lokal

2 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016

permukiman ini terbentuk hingga permukiman ini hilang oleh erupsi Merapi. Rapoport (1969)

menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi perwujudan arsitektur rumah tinggal dalam sebuah permukiman, yaitu faktor sosio-kultural, ritual, religi, dan historis sebagai

faktor penentu perwujudan arsitektur.

Sedangkan faktor iklim, teknologi, struktur, geografi, ekonomi, bahan bangunan adalah sebagai faktor pengaruh. Rapoport (1969) juga

menyebutkan bahwa faktor sosio-kultural

merupakan penentu primer, sedangkan yang lainnya (faktor-faktor fisik) merupakan penentu

sekunder atau penentu tambahan. Pola

permukiman yang terbentuk, menurut

Wiriaatmadja (1981) bahwa usaha penyesuaian diri terhadap tanah adalah cara menyusun tempat tinggal dan cara penyebarannya. Pola permukiman lereng gunung akan berbeda dengan pola permukiman daerah datar. Hal

tersebut berkaitan dengan penyesuaian

terhadap lahan.

Berdasarkan uraian diatas, maka sangat menarik untuk didalami seperti apakah pola spasial permukiman tertinggi di lereng Gunung Merapi dan fakta-fakta yang melatar belakanginya dilihat dari kearifan lokal yang ada. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran deskriptif-ideografis pola spasial permukiman tertinggi lereng Gunung Merapi yang merupakan cerminan dan kental akan kearifan lokal masyarakat.

Metode

Sesuai dengan tujuan penelitiannya, maka penelitian pola spasial ini diteliti dengan pendekatan kualitatif-naturalistik. Keterkaiatan dengan aspek-aspek sosial-kultural, kearifan lokal juga sangat sesuai melalui pendekatan kualitatif-naturalistik.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dimulai dengan observasi awal melalui survei lapangan guna melihat fenomena yang menonjol serta mengidentifikasi

permasalahan yang memungkinkan bisa

ditelusuri. Pengambilan data dilakukan melalui pengamatan, pengukuran, dan wawancara atau

informasi dari nara sumber, baik masyarakat Dusun Pelemsari, nara sumber sesepuh, serta pihak lain yang memahami tentang permukiman tertinggi di lereng Merapi. Data dan informasi yang diambil diarahkan kepada permasalahan pola spasial permukiman kaitannya dengan aspek sosio-kultural, kearifan lokal.

Setelah dilakukan observasi, maka diperoleh 13 (tiga belas) sebaran unit amatan. Pembagian 13 unit amatan ini dibagi berdasarkan keterdekatan ruang fisik, dan hubungan kekerabatan. Ke tiga belas unit amatan menyebar dan merata di seluruh wilayah di Dusun Pelemsari sehingga

menggambarkan keseluruhan permukiman

Dusun Pelemsari.

Gambar 2. Peta Sebaran Unit Amatan. Sumber : Penulis (2010)

Metode Analisis Data

Analisis terhadap data dan informasi dilakukan sejak awal di tiap unit amatan untuk merumuskan kecenderungan yang dijumpai.

Tema yang diambil diarahkan kepada

permasalahan pola spasial permukiman

kaitannya dengan aspek sosio-kultural, kearifan lokal. Penelitian berjalan dalam rangkaian yang berulang dengan penggalian data, analisis, dan

(4)

Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016| 3

kesimpulan sementara sampai mencapai

kejenuhan pada unit amatan.

Pembahasan penelitian menggunakan teknik eksplanasi, yaitu menjelaskan temuan yang didapat dan dikaitkan dengan referensi kajian pustaka sebagai pola spasial berdasarkan kearifan lokal. Hasil pembahasan merupakan kesimpulan-kesimpulan yang bisa dikembangkan menjadi teori lokal/substantif. Hanya berlaku di area penelitian dan dengan waktu tertentu, yaitu waktu terakhir sebelum permukiman ini tertutup abu vulkanik hasil erupsi Merapi 2010.

Mugut

Masyarakat Permukiman tertinggi lereng Merapi mayoritas adalah petani. Dahulu sebelum 1990-an mereka bert1990-ani palawija di kebun-kebun milik, tetapi setelah tahun 1990-an masyarakat mulai memelihara sapi perah untuk diambil susunya. Tetapi hingga saat ini pada status pekerjaan tetap disebutkan tani, dan masyarakat secara umum masih beranggapan bahwa mereka tetap sebagai petani, tetapi yang dimaksudkan sekarang adalah petani rumput. Rumput oleh masyarakat ditanam dan dipelihara untuk diambil dan menjadi makanan sapi perah.

Gambar 3. Warga pulang mugut. Sumber: Data Lapangan (2010)

Aktifitas mengambil rumput disebut sebagai

mugut. Baik dari Unit amatan 1 hingga Unit

Amatan 13, semua melakukan aktifitas mugut.

Masyarakat mugut biasanya sehari dua kali,

yaitu pada pagi dan sore hari. Mereka mugut

selain di kebun-kebun milik sendiri juga di wono

Merapi. Wono Merapi yang ditanami rumput

oleh masyarakat ini oleh dinas kehutanan disebuat sebagai hutan kelola masyarakat. Pihak dinas kehutanan mengijinkan aktifitas ini

dengan syarat masyarakat yang menanam rumput juga ikut menanam pohon-pohonan

kayu, serta menjaga kelestarian hutan.

Sehingga disini terjadi hubungan yang saling menguntungkan antara dinas kehutanan dan masyarakat yang menanam rumput di hutan kelola.

Gambar 4. Tanaman pembatas area mugut. Sumber : Data Lapangan (2010)

Masing-masing warga memiliki dan mengetahui

batas lahan untuk mugut masing-masing. Batas

ini dapat berupa kayu-kayuan tertentu,

tanaman-tanaman tertentu ataupun batu-batuan besar tertentu sebagai tanda yang diketahui oleh masing-masing warga.

Gambar 5. Area Mugut di Wono Merapi. Sumber: Penulis (2010)

(5)

Pola Spasial Permukiman Tertinggi Lereng Merapi Cerminan Kearifan Lokal

4 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016

Hutan kelola yang digunakan masyarakat Dusun

Pelemsari untuk mugut warga Dusun Pelemsari

yaitu wono Gedupuk, wono Sembung, wono

Genengan, wono Ledok, wono Kayu Gede, wono

Guo Macan, wono Kali Cemoro, wono Dlimas,

wono Nglampar, wono Tekek, wono Kemis,

wono Nglemuk, wono Suroh, wono Mbidingan,

wono Mlandingan, dan wono Tekek. Semua

wono yang untuk mugut ini berada di bawah

Pos 2 Labuhan. Kesimpulan

Pola spasial permukiman tertinggi lereng Merapi terkumpul dalam satu Dusun sedangkan tanah garapan berada di luar Dusun yaitu berada di

wono Merapi yang merupakan hutan kelola

masyarakat yang berada di sebelah Utara dan Barat Dusun. Hutan kelola masyarakat ini oleh masyarakat Dusun Pelemsari ditanami bibit rumput untuk pakan ternak dan pohon kayu-kayuan untuk menjaga dan tetap melestarikan

hutan. Sehingga dalam kesehariannya

masyarakat melakukan aktivitas mengambil

rumput di wono Merapi yang dikenal dengan

istilah mugut. Mereka bertani rumput untuk

memberi makan ternak sapi perah yang dipelihara untuk diambil susunya.

Gambar 6. Dusun Pelemsari terkumpul dalam satu Dusun dan tanah garapan berada di luar Dusun. Sumber: Analisis (2016)

Daftar Pustaka

Bell Paul A., Greene Thomas C., Fisher J.D. (1996). Environmental Psychology. Florida: Hartcourt Brace College Publisher.

Geertz, H. (1983). Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers. Koentjaraningrat. (1980). Beberapa Pokok Antropologi

Sosial. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.

Koentjaraningrat. (1985). Javanese Culture. New York: Oxford University Press.

Koentjaraningrat. (2000). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Koentjaraningrat. (1998). Pengantar Antropologi II. Jakarta: Rineka Cipta.

Meleong, Lexy J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Muhadjir, Noeng. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin. Rapoport, Amos. (1969). House Form and Culture.

Englewood Cliff, N.J: Prentice-Hall, Inc.

Rapoport, Amos. (1977). Human Aspects of Urban Form (Toward a Man-Environment Approach to Urban Form and Design). Oxford: Pergamon Press. Santoso, Jo. (2008). Arsitektur – Kota Jawa Kosmos,

Kultur & Kuasa. Jakarta: Centropolis – Magister Teknik Perencanaan Universitas Tarumanegara. Siregar, Laksmi G. (2005). Menyingkap Subjektivitas

Fenomena. Jakarta: UI-Press.

Siregar, Laksmi G. (2005). Fenomenologi Dalam Konteks Arsitektur. Jakarta: UI-Press.

Siregar, Laksmi G. (2006). Makna Arsitektur Suatu Refleksi Filosofis. Jakarta: UI-Press.

Sugihen, Bachrein T. (1996). Sosiologi Pedesaan Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sumarsih, Sri, Suhatno, R.A. Maharkesit. (1990).

Upacara Tradisional Labuhan Kraton Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya.

Suriasumantri, Jujun S. (2005). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Triyoga, Lucas Sasongko. (1991). Manusia Jawa dan

Gunung Merapi Persepsi dan Kepercayaannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wiriaatmadja, S. (1981). Pokok-pokok Sosiologi Pedesaan. Jakarta: C.V. Tasaguna.

Wiryomartono, A. Bagoes P. (1995). Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia (Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota Sejak Peradapan Hindu-Buddha, Islam Hingga Sekarang). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wisadirana, Darsono. (2005). Sosiologi Pedesaan. Malang: UMM Press.

Gambar

Gambar  1.  Dusun  Pelemsari,  Desa  Umbulharjo,  Kec.
Gambar  2.  Peta  Sebaran  Unit  Amatan.  Sumber  :  Penulis (2010)
Gambar  4.  Tanaman  pembatas  area  mugut.
Gambar  6.  Dusun  Pelemsari  terkumpul  dalam  satu  Dusun  dan  tanah  garapan  berada  di  luar  Dusun

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Argista dengan judul “ Mobilitas Sirkuler Penduduk Pulau Pisang Ke Kota Krui Di

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dirasa cocok untuk mengkaji permasalahan kualitas lingkungan permukiman di Kecamatan Cimahi Tengah secara detail, karena penulis

T´oth, A generalization of Pillai’s arithmetical function involving regular convolutions, Proceedings of the 13th Czech and Slovak International Conference on Number Theory

Penutup Siswa melakukan perenungan tentang kegiatan pembelajaran hari ini. Siswa menuliskan hal-hal yang telah mereka pelajari, kesulitan yang mereka alami, serta hal lain apa

Konteks pembaharuan hukum pidana menghendaki adanya penggalian hukum yang hidup di masyarakat, selain hukum Barat, hukum adat dan hukum Islam mempunyai peran yang penting

Apabila pemberian WK meliputi areal yang luas di atas tanah Negara, bagian-bagian tanah yang tidak digunakan untuk kegiatan usaha migas dapat diberikan kepada pihak lain oleh menteri

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta terutama pada pasal 7 ayat (2) huruf d dan khususnya pasal 32 dan

Berdasarkan uraian di atas jika dikaitkan dengan kasus Kebun Sayur Ciracas dapat disimpulkan, walaupun berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UUPA oleh pemerintah ditetapkan badan-badan