• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB II"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Dua

Pemberdayaan Kearifan Lokal

menuju Ketahanan Pangan dan

Ketahanan Hayati: Kajian Pustaka

Pengantar

Analisa Howe (2005) menyebutkan bahwa orang Bali terutama generasi muda sangat sulit bersaing dengan tenaga kerja dari luar Bali (bukan Hindu) karena banyak keluhan yang terjadi apabila perusahaan atau hotel mempekerjakan orang Bali. Mereka mengatakan bahwa mempekerjakan orang Bali sangat tidak menguntungkan karena mereka lebih sering libur karena berkaitan dengan upacara adat dan agama, sehingga tenaga kerja Hindu sering hanya mendapat upah yang lebih rendah dibandingkan pekerja lainnya. Akan tetapi hal ini masih perlu mendapat penjelasan dan penelitian lebih lanjut karena dalam tulisannya Howe tidak menyebutkan persentase dari kondisi tersebut. Di samping itu apakah memang benar Bali yang relatif dikatakan banyak memiliki hari libur sudah benar-benar kalah bersaing dengan sumberdaya manusia dari luar Bali (non Hindu)? Hal ini juga masih perlu penjelasan lebih akurat.

(2)

Post, 2009), bahwa Bali saat ini sedang dalam situasi transisi. Karena semakin banyak pelebaran makna dari ritual yang dilakukan oleh umat Hindu. Pendeta Subali Tianyar (Bali Post, 2009) berpendapat bahwa ritual yang dilakukan masyarakat Hindu Bali saat ini lebih banyak ke arah material dan pengakuan status sosial, sehingga hampir melupakan entitas dari makna ritual tersebut secara Tattwa (pemaknaan ber-dasarkan Kitab Suci Hindu yaitu Weda).

Agama,

Adat

dan Budaya di Bali

Kalau kita menyimak tulisan Geertz (1979) tentang keeratan hubungan antara Desa Adat dengan Agama di Bali, ternyata keduanya memiliki kaitan yang erat. Dalam tulisannya Geertz menyatakan bahwa Desa Adat ternyata bukan hanya merupakan sistem sosial, akan tetapi memiliki keterikatan dengan area suci. Area suci (kawasan suci) menurut kepercayaan orang Bali (Hindu) adalah bahwa dunia dan segala sesuatu yang berada di wilayah Desa Adat seperti lahan pertanian dengan segala yang tumbuh di atasnya, air yang mengalir, udara, dan batuan yang ada adalah milik Ida Sang Hyang Widi Wasa. Sehingga secara umum masing-masing Desa Adat di Bali akan

me-nyungsung (menyembah) Kahyangan Tiga (Three Great Temples) yang terdiri dari Pura Puseh yang biasanya terletak di hulu desa, Pura Desa

biasanya terletak di tengah desa dan Pura Dalem terletak di hilir desa yang berdekatan dengan kuburan desa Adat. Dari fenomena ini sangat jelas adanya keterkaitan yang kuat antara Agama Hindu dengan adat

(3)

mencari persatuan dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa) yaitu: Jnana Marga, Bhakti Marga, Karma Marga, dan Raja Marga (Bali Post, 2009). Menurut Parisada Hindu Dharma (1978) arti dari keempat Marga

(Yoga) tersebut berturut-turut adalah: menyatukan diri dengan Sang

Hyang Widi Wasa dengan cara mengabdikan ilmu pengetahuan;

dengan cara melakukan kebaikan dan kesujudan yang tulus secara terus-menerus; dengan cara melakukan perbuatan-perbuatan yang mulia dan bermanfaat tanpa pamrih; dan dengan cara melakukan brata,

tapa, yoga semadhi. Dari penjelasan tersebut sebenarnya pelaksanaan

agama Hindu sangat fleksibel, karena memiliki beberapa pilihan dalam mengekspresikannya, sehingga memberikan pilihan bagi umat Hindu dalam melaksanakannya. Walaupun akhir-akhir ini menurut penga-matan Pedanda Subali dalam Bali Post (2009) Umat Hindu Bali hampir melupakan Jnana Marga dalam rangka menyatukan diri dengan Ida

Sang Hyang Widi Wasa sehingga kecenderungan pelaksanaan kegiatan

keagamaan masih penekanannya pada pelaksanaan ritual. Situasi ini sangat mengkhawatirkan keberlanjutan dan daya saing sumberdaya manusia Hindu selanjutnya, dimana ditakutkan akan berdampak pada kekalahan bersaing sumberdaya Hindu dengan sumber daya manusia dari luar. Padahal lebih lanjut dikemukakan bahwa cara-cara ritual tersebut sebenarnya dapat dilakukan secara fleksibel semasih kita sebagai umat mau membuat aturan yang tidak memberatkan umat.

Dalam tulisan Sudibya (1997) disebutkan bahwa dari sisi filosofi Agama Hindu tanggung jawab dari generasi muda sebenarnya sudah tertulis dalam Rig Veda1 bahwa ”Tuhan hanya menolong orang yang mau menolong dirinya sendiri, dan bekerja keras yang dilandasi oleh

Dharma”. Dharma di sini dimaksudkan adalah bahwa generasi

diberi-kan kesempatan yang seluas-luasnya untuk meningkatdiberi-kan intelektuali-tas, untuk penguasaan iptek tanpa harus terjebak dengan budaya nega-tif. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam setiap tindakan hendaknya harus selalu mempunyai keberanian untuk memperjuangkan kebenar-an dkebenar-an meningkatkkebenar-an kepekakebenar-an terhadap lingkungkebenar-an sosialnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin banyaknya generasi muda Hindu

(4)

yang sadar dalam pelaksanaan Dharmanya yaitu dengan membentuk lembaga-lembaga keagamaan baik di tingkat sekolah maupun ling-kungan tempat tinggalnya. Malahan saat ini di sekolah menengah kebawah setiap liburan sekolah selalu dilakukan kegiatan ”pesraman

kilat” yang biasanya mengambil waktu separuh dari total hari libur sekolah. Kegiatan ini sebenarnya sudah mengarah ke usaha-usaha untuk lebih menyadarkan umat terutama generasi muda bahwa Agama dan adat bukanlah kungkungan bagi mereka akan tetapi merupakan penuntun bagi mereka untuk melangkah dan bertindak semakin dewasa baik di lingkungan tempat kerja maupun lingkungan sosial di sekitarnya yang lebih luas. Jadi analisa Howe tentang ritual dan kewajiban sebagai orang Hindu Bali sebenarnya masih diperlukan penelitian dan data pendukung yang lebih akurat. Atau malahan di-perlukan usaha agar kecenderungan perubahan pemaknaan ritual tersebut lebih menyentuh kehidupan generasi muda Hindu Bali untuk menjawab tantangan Bali di masa depan.

Ditambahkan oleh Howe (2005) bahwa walaupun ritual agama dan upacara (ritual) adat di Bali sangat berguna dalam memelihara kesehatan spiritual dan kesejahteraan dari suatu desa akan tetapi menurutnya hal ini tetap akan menjadi sesuatu yang sulit dilaksanakan oleh generasi muda. Pendapat ini tentunya menjadi tantangan untuk diatasi, apakah dengan mencari pemaknaan dari ritual-ritual tersebut akan diperoleh kejelasan dan kemantapan manfaat dari ritual yang dilakukan, yang akhirnya dapat dijadikan way of life (tuntunan hidup) bagi masyarakat Bali secara keseluruhan.

Hal ini perlu dikemukakan karena tidak dapat dipungkiri bahwa sistem adat dan ritual adat yang dilakukan di Bali justru telah menye-babkan Bali dikenal sebagai salah satu daerah dengan keterikatan yang kuat antar masyarakatnya, dan dikenal pula memiliki nilai toleransi yang tinggi terhadap Agama lain dan budaya lainnya. Pendapat

McKean dalam Howe (2005) bahwa walaupun secara budaya

(5)

oleh kedua belah pihak dalam menyikapi pengaruh pariwisata bagi Bali maka akan terjadi substitusi yang saling menguntungkan. Walaupun demikian McKean tetap menegaskan bahwa agar kedua belah pihak tidak saling terkontaminasi.

Fenomena ini juga sebenarnya telah menjadi penekanan para pengambil kebijakan dan elemen pariwisata di Bali. Mereka mulai berpikir bagaimana cara memadukan antara kepentingan pariwisata dan budaya, atau dengan kata lain bagaimana cara memanfaatkan budaya yang dimiliki Bali bermanfaat bagi pariwisata tanpa pengaruh negatif dari budaya wisatawan. Hal ini sudah mulai diatasi dengan mengaktifkan pariwisata budaya dan pariwisata alam (Ecotourism).

Gambar 1 di bawah ini menunjukkan hubungan antara Agama Hindu di Bali yang tetap mempertahankan kawasan suci (pura) sebagai implementasi dari Tri Hita Karana, dengan kewajiban umatnya sebagai anggota adat dan anggota subak. Sebagai anggota adat, kewajiban melaksanakan ritual di Pura Kahyangan Tiga merupakan keharusan, demikian juga sebagai anggota subak, rangkaian ritual subak harus dilaksanakan di Pura Subak. Dari Gambar 1 ini dapat dilihat bahwa dengan konsep keseimbangan yang tertuang dalam filosofi Tri Hita

Karana, maka subak merupakan organisasi yang paling berpeluang

(6)

Agama Hindu Di Bali

Pura Subak Ritual Tri Hita Karana

Parhyangan

Pawongan

Palemahan

Culture Heritage Kawasan Suci

Ketahanan Hayati Ketahanan

Pangan

Subak/Pertanian

Kahyang an Tiga (adat)

Gambar 1

Hubungan antara konsep Tri Hita Karana (THK), Ritual yang dilaksanakan subak dalam menjamin katahanan pangan dan

ketahanan hayati di Subak Wongaya Betan

Revitalisasi Pertanian melalui Revitalisasi Kearifan Lokal

(7)

umat Hindu memiliki ritual Tumpek Wariga yang sering disebut

Tumpek Uduh atau Tumpek Pengatag, dan sering juga disebut Tumpek

Bubuh. Tumpek ini siklusnya setiap enam bulan sekali (210 hari).

Prosesi Tumpek Wariga digelar sebagai bentuk pemujaan terhadap Ida

Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya

sebagai Dewa Sangkara yaitu dewa penguasa tumbuh-tumbuhan. Perdebatan tentang kearifan lokal dan praktik-praktik tradisional yang masih melekat pada masyarakat di Bali mengemuka ketika sektor pertanian di Bali sudah mulai terdesak dan mengalami stagnasi. Dari kenyataan tersebut maka pengetahuan-pengetahuan tentang sistem pertanian di masa lalu dan praktik-praktik tradisional yang masih dilaksanakan oleh masyarakat petani dalam menunjang produksi pangan utamanya beras memerlukan tindakan revitalisasi. Konsekuensi dari keputusan tersebut memerlukan komitmen dari semua pihak seperti pemerintah, petani dan pihak-pihak terkait yang memiliki kompetensi di bidang pertanian dan penyediaan pangan.

Sejak zaman dulu orang Bali telah dikenal memiliki kemampuan yang tinggi di bidang pertanian. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih ajegnya salah satu sistem pengelolaan air secara tradisional di lahan sawah yang dikenal dengan subak. Subak merupakan organisasi pemilik lahan sawah yang memiliki aturan dalam pembagian air bagi anggotanya. Organisasi ini sekarang sudah diakui secara nasional maupun internasional sebagai salah satu sistem pertanian tradisional yang mampu mempertahankan keharmonisan antara produksi dengan kelestarian lingkungan, karena menganut konsep Tri Hita Karana. Konsep ini merupakan filosofi Agama Hindu yang mengedepankan hubungan keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan.

(8)

meluas-nya industri pariwisata maka revitalisasi sektor pertanian sangat diper-lukan (Bali Post, 2009). Pada salah satu acara diskusi tentang masa depan Bali yang diadakan oleh Universitas Udayana Denpasar, bahwa ada 14 persoalan pertanian yang mengancam Bali saat ini yaitu: alih fungsi lahan pertanian, menurunnya sumberdaya air, ketersediaan sarana produksi makin berkurang, sempitnya luas garapan petani, masalah pasca panen, masalah kelembagaan, hama penyakit, ketim-pangan harga antar input dengan output pertanian, produk pertanian lokal yang tidak kompetitif, integrasi vertikal yang kurang kuat, kurangnya dukungan teknologi industri pertanian, akses lembaga keuangan rendah, petani terjepit oleh kenaikan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) serta profesi pertanian yang semakin tidak menarik teruta-ma bagi generasi muda. Dari 14 persoalan tersebut Suwijana (Bali Post 2009) dari Bali Tourism Board menyoroti tentang terdesaknya sektor pertanian di Bali saat ini salah satunya disebabkan oleh keluguan orang Bali sendiri dan sifat mudah terlena orang Bali terhadap pujian yang menyesatkan sementara disharmoni hukum negara dan hukum adat se-benarnya juga merupakan penyebab terancamnya pertanian dan kebu-dayaan Bali. Solusi yang ditawarkan adalah mengajak orang Bali untuk sadar dan mulai mengidentifikasi diri dan mempertahankan jati diri.

(9)

Kearifan Lingkungan dan Kebudayaan Lokal

Triguna (2006) menyatakan bahwa modal sosial kearifan ling-kungan merupakan hasil abstraksi pengalaman beradaptasi dalam pemanfaatan sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan dasar kehi-dupan, yang terwujud dalam pranata kebudayaan dan hukum-hukum

adat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa eksistensi dari semuanya ber-tumpu pada kebutuhan praktis bidang pertanian, pengobatan, dan pemanfaatan air. Penekanannya tertuju pada esensi hidup berkelanjut-an yberkelanjut-ang bersifat partisipatif. Penekberkelanjut-anberkelanjut-an ini pada akhirnya diharapkberkelanjut-an akan memberikan keuntungan-keuntungan seperti: (1) memberi keun-tungan pada kepentingan masyarakat lokal (karena dalam hal ini masayarakat lokal yang kebudayaannya mulai tergerus dan tereduksi dalam modernisasi); (2) memberikan keuntungan pada pengembangan kebudayaan modern, yang berdasarkan pengatahuan masyarakat lokal; (3) keuntungan bagi bumi karena adanya contoh keharmonisan masya-rakat dengan alamnya.

Menurut Gough (1977) dalam Triguna (2006) pengetahuan lokal

(indigenous knowledge) merupakan satu kultur masyarakat, yang

diwariskan secara lisan dan turun-temurun, baik itu melalui upacara-upacara ritual, keseharian yang biasanya berbasis pada kegiatan per-tanian, penyediaan makanan, pelayanan kesehatan, pendidikan, kon-servasi dan kegiatan-kegiatan yang lebih luas yang semuanya menga-rah kepada keberlanjutan masyarakat dan lingkungan.

(10)

dilaksana-kan oleh anggota. Malahan pada akhirnya cara-cara ini adilaksana-kan menim-bulkan sanksi apabila tidak ditaati dan dilaksanakan, walaupun sanksi yang diberikan sebenarnya hanya merupakan sangsi sosial. Pada beberapa masyarakat ternyata aturan ini sangat kuat mengikat antar anggotanya.

Lebih lanjut dikemukakan oleh Gerung (2008) bahwa kebuda-yaan merupakan rekonstruksi dari kearifan lokal. Jadi dapat dikatakan bahwa kearifan lokal adalah bagian dari kebudayaan karena secara tidak langsung apabila kearifan lokal sudah memiliki nilai dan menjadi norma bagi masyarakat sekitar maka kearifan lokal tersebut akan dapat disebut sebagai kebudayaan. Salah satu contoh yang dapat dikemuka-kan adalah adanya kebiasaan melakudikemuka-kan ritual pada masyarakat dalam rangka prosesi keagamaan. Walaupun ritual tersebut sebenarnya bukan merupakan keharusan akan tetapi karena sudah terikat dalam diri dan perilaku masing-masing individu dan disepakati oleh masyarakat maka ritual tersebut akan selalu dilakukan. Apabila hal tersebut dilanggar maka akan ada sanksi sosial dari masyarakat. Karena kebudayaan sangat terikat pada individu maka seringkali kebudayaan akan mampu meng-konstruksi indentitas dan akhirnya akan tercermin pada perilaku indi-vidu bersangkutan.

Petani

dan Pengembangan Teknologi

(11)

Reijntjes et al (1999) menyatakan bahwa perjuangan petani (orang pedesaaan) dalam kaitannya dengan mempertahankan kehidup-annya adalah sekedar berproduksi untuk menghasilkan pangan yang cukup bagi keluarganya dan mempertahankan kapasitas produktif lahannya, sehingga mampu menyediakan pangan secara terus menerus untuk generasi mendatang. Untuk mencapai tujuan ini maka inovasi teknologi sangat perlu dilakukan secara terus-menerus terhadap petani. Akan tetapi sering para pembawa inovasi baik itu peneliti maupun pemerintah tidak secara tepat guna mentransfer pengetahuan mereka, dalam arti masih banyak teknologi ynag tidak menyentuh kekayaan lokal suatu daerah, sehingga seolah-olah teknologi tersebut berlaku universal untuk semua daerah padahal Indonesia adalah negara pluralis baik di bidang etnis, agama, budaya, topografi serta wilayah geografis.

Fenomena ini banyak terjadi di Indonesia sehingga sering teknologi yang diberikan tidak dapat dilaksanakan dengan baik pada daerah-daerah tertentu, dan kekayaan lokal sering terlupakan. Hal ini banyak terjadi pada saat pemerintah melaksanakan kebijakan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan Raskin (Beras bagi Masyarakat Miskin) yang dilakukan serentak di seluruh Indonesia, padahal sebagian masya-rakat di bagian tertentu Indonesia seperti NTT (Nusa Tenggara Timur), Papua, Maluku memiliki pangan lokal yang masih tersedia berlimpah, akan tetapi kurang mendapatkan sentuhan teknologi. Pada saat bantu-an pemerintah tidak berlbantu-anjut maka masyarakat di daerah ybantu-ang dise-butkan tadi akan kebingungan untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka, karena mereka sudah tidak terbiasa untuk memanfaatkan pangan tradisional yang masih melimpah tersedia di daerah.

Situasi ini juga terjadi di Nigeria Tengah (Kasus daddawa atau

(12)

masyarakat Afrika Barat sudah sangat terbiasa menggunakan tanaman ini secara luas. Hal yang menarik terjadi bahwa para perempuan akhirnya berhasil mengembangkan tanaman kedelai sebagai salah satu alternatif untuk membuat daddawa, dan ternyata teknologi yang berhasil dikembangkan menyebabkan pembuatan daddawa semakin mudah karena mereka memperoleh cara yang lebih mudah dari tanaman kedelai. Pengembangan ini merupakan salah satu kesuksesan perempuan dalam pengembangan pengetahuan lokal secara mandiri tanpa bantuan teknologi dari luar. Perempuan Kaje dan Fulani saling bahu membahu mengembangkan tanaman kedelai sebagai bahan pembuat daddawa untuk konsumsi keluarga, yang sebelumnya hanya dikuasi oleh kaum lelaki karena harus memetik bahan daddawa dari pohon belalang (bahan daddawa sebelum ada kedelai) (Fonjong and Athanasia 2007).

Richards (1988) dalam Reinjtjes (1999) menyatakan, bahwa meskipun praktik-praktik pertanian sebelum zaman industri telah diselaraskan dengan kondisi-kondisi setempat, praktik tradisional sering dianggap statis seakan-akan dicapai secara kebetulan pada suatu saat dalam proses evolusi dan kemudian ditiru tanpa pertimbangan lebih jauh dari generasi ke generasi. Akan tetapi asumsi ini diperten-tangkan dengan bukti bahwa muncul hal-hal sebagai berikut: (1) fakta sejarah pertanian menunjukkan dinamisme yang telah berlangsung lama, misalnya mana mugkin dua jenis tanaman budidaya Dunia Baru, yaitu jagung dan ketela atau singkong menjadi makanan pokok orang Afrika selama 450 tahun semenjak diperkenalkan oleh orang Portugis; (2) sifat inovatif petani hingga saat ini telah didokumentasikan dengan baik. Banyak tulisan yang mendokumentasikan sifat-sifat inovatif petani yang dengan cara mereka sendiri melaksanakan praktik-praktik tradisional dan kearifan lokal di berbagai daerah, dapat bertahan dan bahkan berkembang dengan baik.

(13)

Gambar 2

Diagram Tiga Pilar Penting dari Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

(14)

hasil yang lebih baik dan berkelanjutan. Dalam konteks tulisan ini maka penulis meyakini bahwa memberdayakan kembali kearifan-kearifan lokal yang ada di Bali terutama yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan dalam rangka pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati sangat diperlukan. Berkaitan dengan hal tersebut maka penekanan pada tulisannya adalah pada organisasi subak, yang merupakan sebuah kearifan lokal yang sangat berkomitmen terhadap kelestarian pertanian di Bali

Reijntjers (1999) juga mengemukakan bahwa pengetahuan lokal biasanya tidak bersifat statis. Teknologi baru yang dikembangkan oleh seorang anggota komunitas ataupun yang diperkenalkan oleh orang luar, jika bermanfaat bagi masyarakat setempat akan diadopsi dan disebarkan luaskan dari mulut ke mulut melalui pendidikan informal pada pertemuan-pertemuan desa maupun agama. Untuk selanjutnya teknologi tersebut akan dianggap menjadi bagian dari pengetahuan lokal setempat. Lebih lanjut dikemukakan apabila suatu saat ada inovasi baru dan kemudian dipraktikkan secara meluas, maka parktik yang lama cenderung akan ditinggalkan. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan lokal bersifat dinamis dan akan selalu mengalami peru-bahan dan pembaharuan. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah memerlukan waktu berapa lama untuk merubah pemahaman sebuah pengetahuan lokal? Pertanyaan lainnya adalah bahwa pengetahuan lokal sering tidak menyebar secara merata di antara komunitas dan juga karena kemampuan masing-masing individu untuk menyimpan dan memanfaatkan pengetahuan tradisional pun berbeda. Sering pengeta-huan lokal yang berhasil dikembangkan dalam rangka praktik-praktik pertanian dan pelestarian lingkungan hanya bersifat parsial.

(15)

lelaki (Juma 1987; Rocheleu 1987 dalam Reijntjes 1999). Contoh lain-nya pengetahuan tentang tanaman liar maupun yang dibudidayakan maupun peternakan hewan yang hanya dimiliki oleh kaum perem-puan. Dari penelitian ini ternyata individu ataupun kelompok yang berbeda akan memiliki pengetahuan yang berbeda dan sangat tergan-tung dari fungsi ekonomi dan sosial mereka dalam masyarakat.

Ada hal yang perlu dicermati pada situasi ini yaitu ada beberapa penyebab yang sebenarnya dapat diatasi dengan campur tangan peme-rintah maupun pihak terkait untuk mengatasi keterbatasan-keterbatas-an tersebut. Misalnya: (1) kurketerbatasan-keterbatas-angnya informasi tentketerbatasan-keterbatas-ang keberhasilketerbatasan-keterbatas-an pengelolaan pertanian dengan pengetahuan lokal; (2) kurangnya pema-haman ilmiah tentang proses-proses yang berperan dalam pengelolaan pengetahuan lokal; (3) keterbatasan komunikasi antar individu dalam komunitas; (4) keterbatasan pemaknaan dari pengetahuan lokal ter-sebut sehingga tidak adanya proses yang berkelanjutan dalam peman-faatan dari suatu pengetahuan lokal di masyarakat maupun antar generasi; dan (5) adanya pengaruh kuat dari budaya dan agama dalam setiap praktik-praktik pengetahuan lokal tersebut

Modal dalam Masyarakat Petani

Modal sosial (Social Capital)

(16)

tersebut menyebabkan setiap individu cenderung melalaikan kewajib-an dalam memelihara keberlkewajib-angsungkewajib-annya dkewajib-an sebaliknya memperca-yakan pada anggota yang lain untuk jaminan pemeliharaannya. Jika modal sosial dimaknai seperti barang publik maka diperlukan pember-dayaan untuk memanfaatkan modal sosial masyarakat untuk kepen-tingan bersama.

Dengan pemberdayaan yang tentunya bersifat bottom up maka pengetahuan dan pemahaman masyarakat (kapital masyarakat) diarah-kan agar dapat menentudiarah-kan tindadiarah-kan untuk mengatasi permasalahan bersama.Kerangka kapital masyarakat memungkinkan adanya penggu-naan sumber daya setempat (lokal) dan memadukannya dengan sumber daya dari luar untuk membangun perekonomian yang vital, keterlibat-an sosial dketerlibat-an suasketerlibat-ana yketerlibat-ang sehat (kondusif). Memberdayakketerlibat-an masyara-kat untuk peduli tehadap permasalahannya adalah dengan memanfaat-kan kekuatan sumber daya sosial yang berkembang dari orang atau kelompok orang yang memiliki hubungan yang saling menguatkan. Prinsip-prinsip di atas sebenarnya sudah cukup dikenal di masyarakat misalnya seperti budaya gotong royong, tepo saliro (empati), sistem

subak (sistem pengairan di Bali), pela gandong (di Ambon), Jagong (di Jawa Timur), sistem adat (suka-duka) di Bali yang semuanya menggam-barkan kesederajatan. Dari fenomena tersebut maka dengan tegas kita bisa katakan bahwa masyarakat Indonesia dan juga Bali sudah memiliki modal sosial (Pietra, 2006). Secara sosiologis masyarakat kita dikenal dengan masyarakat Timur dengan kemampuan norma-norma sosial yang cukup besar. Dengan kondisi seperti ini maka pemanfaatan modal masyarakat untuk mengarahkan pergerakan masyarakat menuju tatanan yang baru dimana masyarakat pola tradisional begerak ke arah masyarakat moderen sangat tepat dilakukan guna mendorong partisi-pasi dan pemberdayaan masyarakat setempat.

(17)

pendapat ini, Woolcock dan Narayan (2000) menyatakan bahwa modal sosial merupakan norma dan jaringan kerja yang memungkinkan orang melakukan sesuatu secara bersama-sama. Lebih lanjut dinyatakan bahwa jaringan kerja komunitas dan masyarakat merupakan hasil dari keadaan politik, hukum dan kelembagaan, sehingga pembangunan akan tercapai bila terdapat forum bersama antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat, yang secara bersama mampu mengidentifikasi dan mencapai tujuan bersama. Modal sosial dalam hal ini digunakan sebagai penghubung.

Flora (2007) menekankan pada kaitan antara modal sosial dan modal manusia (sumber daya manusia). Dinyatakan bahwa modal manusia yang meliputi keterampilan dan kemampuan individu untuk mengembangkan dan meningkatkan sumber daya mereka, dan bagai-mana mereka dapat mengakses sumber daya dan kesatuan pengetahuan untuk meningkatkan pemahaman mereka, mengidentifikasi kebiasaan-kebiasaan, dan akses untuk meningkatkan modal masyarakat. Jadi adanya aksi kolektif dari suatu masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dari individu penyusun masyarakat tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Harker (1986) yang mengulas tentang teori Bourdieu tentang masyarakat bahwa pada umumnya akan ada habitus

dari individu tersebut dimana habitus ini merupakan pengalaman-pengalaman individu dari sejak lahir dengan perubahan-perubahan yang dialami sesuai dengan berubahnya waktu. Menurut Sutrisno dan Putranto (2005) habitus Bourdieu adalah kebiasaan, sehingga merupa-kan sebuah sistem yang amerupa-kan bertahan lama. Penjelasan lebih lanjut bahwa kebiasaan menurut Bourdieu terkait dengan aktivitas tak sadar dan non reflektif, yang akan berdampak pada habitus yang didasarkan atas struktur sosial (kelas) dan kekuasaan.

(18)

modal ekonomi, modal spiritual, modal budaya, dan juga modal sejarah).

Modal budaya (Cultural Capital)

Masih berkaitan dengan modal yang menjadi sumber kekuatan suatu masyarakat untuk melaksanakan aktivitas, maka modal budaya dalam konteks penelitian ini sangat berperan penting. Modal budaya mulai diperhitungkan dalam keberhasilan sebuah pembangunan masyarakat ketika modal sosial yang pada awalnya menjadi sebuah primadona bagi pemerhati teori-teori pembangunan modern meng-alami kegagalan dalam penerapannya di beberapa negara. Seperti yang dikemukakan oleh Hasbullah (2006) bahwa pada akhir abad ke 20 di Amerika dimana modal sosial sangat diyakini mampu menjadi spirit dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan mulai menurun. Waktu yang dialokasikan oleh individu untuk kepentingan publik juga mengalami penurunan yang signifikan. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, dimana semangat gotong royong, hidup bersama dan kelompok sosial yang terbentuk dengan sukarela seakan tidak me-miliki energi untuk tetap eksis. Modal sosial yang selama ini menjadi primadona dalam pemberdayaan masyarakat untuk pembangunan ternyata kehilangan dimensi budayanya. Fenomena ini yang kemudian mendorong pemerhati pembangunan dan pemegang kebijakan untuk kembali memperhitungkan modal budaya sebagai faktor dalam pem-bangunan selain modal sosial.

(19)

jiwa seseorang karena diresapi sejak kecil dan berakar dalam alam jiwa seseorang.

Kalau penjelasan di atas dikaitkan dengan kebiasaan ritual yang dilakukan oleh anggota subak, maka keterikatan emosional yang berlangsung terus menerus terhadap kebiasaan melaksanakan ritual akan membentuk praktek (aktivitas) yang didasari oleh kesadaran untuk tetap melakukannya. Kesadaran untuk tetap melakukan sesuatu akan membentuk keyakinan untuk mencari pemaknaan terhadap segala sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan (behaviour; istilah Bourdieu habitus) seseorang. Dengan proses ini maka kegiatan kolektif akan sangat mudah dilakukan untuk mewujudkan tujuan bersama. Apalagi kalau dihubungkan dengan salah satu unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Foni (2004) yang dikutip dari Kluckhohn (1953) yaitu kebudayaan adalah merupakan sistem religi dan kesenian, maka akan sangat sesuai dengan posisi budaya, agama, adat dan seni dalam masyarakat Hindu di Bali seperti yang dikemukakan oleh Geertz (1979).

Ketahanan Pangan dan Ketahanan Hayati

(20)

pangan, karena dianggap memiliki pengertian yang sempit. Hal ini didasari atas negara Indonesia yang terdiri dari keberagaman budaya, etnis, dan kebiasaan, sehingga istilah kedaulatan pangan dirasakan lebih tepat.

Kalau dilihat pengertian kedaulatan pangan yaitu pangan meru-pakan hak setiap bangsa (masyarakat), sehingga untuk menetapkan pangan bagi diri sendiri adalah hak setiap masyarakat. Demikian juga halnya dengan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan sehingga pangan bukan merupakan subjek pasar Inter-nasional. Akan tetapi pada kenyataannya, sampai saat ini ketahanan pangan masih sangat terkait dengan padi, artinya ketahanan pangan masyarakat dikatakan baik apabila setiap keluarga masih mampu makan nasi secara teratur. Padahal di Indonesia, bahan pokok pangan masing-masing daerah sangatlah berbeda. Fenomena inilah sebenarnya yang menjadi salah satu penyebab ketahanan pangan di Indonesia tetap tidak terselesaikan (lihat: Tambunan 2008).

Sejak pengertian ketahanan pangan menjadi perdebatan sekitar tahun 1980-an, maka FAO (2004) memberikan empat kategori keta-hanan pangan yaitu: (1) kecukupan pangan; (2) stabilitas kecukupan pangan; (3) akses terhadap pangan; dan (4) kualitas pangan. Ke empat kategori tersebut menurut FAO harus terpenuhi agar suatu negara disebut telah mencapai ketahanan pangan. Namun kenyataan yang terjadi di Indonesia adalah, di tengah keberhasilan swa sembada pangan pada tahun 1982-1983, ternyata masih banyak penduduk di pedesaan tidak merasakan dampak swa sembada pangan yang telah dicapai negara Indonesia. Masih banyak masyarakat merasakan sulit-nya mendapatkan pangan dan bahkan kekurangan pangan. Oleh karena itu sangat penting dipahami bahwa swa sembada pangan bukan berarti sama dengan pencapaian ketahanan pangan.

(21)

Tabel 1

Perbedaan Swa Sembada Pangan dengan Ketahanan Pangan

Indikator Swa sembada pangan Ketahanan pangan

Lingkup Nasional Rumah tangga dan individu

Sasaran Komoditas pangan Manusia

Strategi Substitusi impor Peningkatan ketersediaan pangan, akses pangan, dan penyerapan pangan

Outputs Peningkatan produksi pangan

Status gizi (penurunan, kelaparan, gizi kurang/buruk

Outcome Kecukupan pangan oleh produk domestik

Manusia sehat dan produktif (angka harapan hidup tinggi

Sumber: Lassa (2006)

Menyimak Tabel 1 di atas maka ketahanan pangan lebih mencer-minkan kondisi pangan pada skala rumah tangga. Sangatlah tepat ketika pemerintah Indonesia menuangkan peraturan tentang pangan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, di mana Undang-undang ini merekomendasikan bahwa ketahanan pangan dapat diwujudkan bersama oleh masyarakat dan pemerintah, dan dikembangkan mulai dari tingkat rumah tangga (Ndolu, 2010). Bila ketahanan pangan rumah tangga sudah tercapai, otomatis berdampak bagi ketahanan pangan masyarakat, daerah bahkan nasional. Ketahanan pangan tidak hanya mencakup ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli) pangan dan juga tidak terjadi ketergantungan pangan. Jika pembangunan ketahanan pangan terfokus pada rumah tangga, maka hak perempuan terhadap pangan tidak dapat diabaikan dan harus menjadi prioritas. Dari wacana ini maka sangat dimungkinkan untuk mempercepat proses pembangunan ketahanan pangan melalui pemberdayaan perempuan.

(22)

memberi-kan padanan kata biosecurity adalah ketahanan hayati (ada juga yang menyebut) keanekaragaman hayati yang berarti bagaimana sumber-sumber hayati yang sangat terkait dengan kehidupan manusia tetap lestari dan terjaga keberadaannya sehingga terhindar dari kepunahan. Kedua istilah ketahanan pangan dan ketahanan hayati sangat terkait dengan keseimbangan lingkungan yang saat ini sudah mulai merupa-kan problem yang belum terpecahmerupa-kan, bahmerupa-kan sering dianggap monster bagi pembangunan berkelanjutan. Hal ini terbukti dengan penetapan Undang-Undang No. 4 tahun 2006 tentang perjanjian sumber daya genetik tanaman untuk pertanian dan pangan.

Dalam beberapa poinnya memuat tentang pernyataan bahwa untuk mendukung pencapaian ketahanan pangan maka pelestarian sumber daya genetik tanaman harus dilakukan secara nasional maupun global. Pengertian sumber daya genetik adalah sama dengan pelestarian keanekaragaman hayati atau ketahanan hayati. Dengan adanya Undang-undang No. 4 tahun 2006 ini maka untuk mencapai ketahan-an pketahan-angketahan-an usaha untuk menjamin ketahketahan-anketahan-an hayati harus dilakukketahan-an sejalan. Demikian juga kalau dicermati tema yang diambil pada peringatan hari Pangan Sedunia ke XXIV yaitu Biodiversity for Food

Security, maka Indonesia memaknai tema tersebut dengan mendorong

masyarakat untuk memberikan perhatian pada pemeliharaan keaneka-ragaman hayati untuk mendukung pencapaian katahanan pangan.

I

su Kesetaraan Gender

Sejak konferensi wanita yang dilaksanakan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1998 yang dikenal dengan CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of

Discrimination against Women), maka konsep gender mulai menjadi

wacana masyarakat di Indonesia. Walaupun istilah gender masih menjadi perdebatan di antara praktisi dan pemerhati hak-hak perem-puan di Indonesia. Pada tahun 1970-an, akhirnya penjelasan tentang “gender” disebarluaskan sebagai suatu perbedaan peran, jadi bukan mengacu pada kodrat (jenis kelamin) (Pearson and Cecile, 2000).

(23)

Barat semakin gencar memperjuangkan kesamaan peran antara laki-laki dengan perempuan, kebebasan perempuan dalam mengaktuali-sasikan diri di ranah publik. Akan tetapi disisi lain perjuangan raan gender di Indonesia agak berbeda yaitu memperjuangkan keseta-raan peran antara laki-laki dengan perempuan (Martiningsih, 2011). Gerakan feminisme di Indonesia memang tidak mungkin mengadopsi feminisme di negara-negara Barat, karena keberagaman etnik, agama, budaya dan adat. Dalam situasi pluralistik, maka pendekatan yang paling tepat bagi penggagas dan pemerhati gerakan kesetaraan gender di Indonesia harus lebih memikirkan pendekatan budaya dan wilayah. Dukungan pemerintah Indonesia sudah diimplentasikan dengan dican-tumkannya tentang isu kesetaraan gender pada pasal 27 UUD 1945.

Menurut Saparinah (2002), isu kesetaraan gender di Indonesia sebenarnya lebih pada ketimpangan dalam pengambilan keputusan dan akses-akses terhadap beberapa sumber daya seperti ekonomi, pendi-dikan dan posisi struktural. Hal ini seperti telah dijelaskan diakibatkan oleh adanya perbedaan agama, adat dan budaya pada masing-masing daerah di Indonesia. Situasi ini di sebenarnya sudah muncul pada zaman R.A Kartini yang memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan Indonesia, sehingga muncul gerakan emansipasi wanita. Emansipasi ini pada dasarnya hanya menuntut hak perempuan untuk mendapat pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki pada masanya.

Pada tahun 2000, Saulnier mengidentifikasi teori feminis menjadi 5 (lima) cabang yaitu; 1) liberal feminism, 2) cultural feminism, 3) post

modern feminism, 4) womanist dan 5) radical feminism. Menurut

(24)

Peran Perempuan Bali dalam Kegiatan Ritual Religius

Dalam kepercayaan umat Hindu di Bali ritual atau sering juga disebut upacara merupakan salah satu dari tiga cara (tattwa, etika dan upacara/ritual), untuk menunjukkan rasa bhakti (syukur) kehadapan

Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) (Krisnu, 1991). Ritual ini dilaku-kan dengan mempersiapdilaku-kan sesajen (banten) yang terdiri dari semua bahan pangan (buah-buahan, kue, janur, bunga) yang umat Hindu percaya sebagai anugrah dari Sang Pencipta. Bahan-bahan tersebut di-tempatkan pada sebuah wadah yang khusus, dan harus terjaga kesuci-annya. Ritual yang dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali selalu terkait dengan filosofi Tri Hita Karana yang sudah menjadi tuntunan umat Hindu untuk selalu menjaga keseimbangan hubungan dengan Tuhan, manusia dan lingkungan, sehingga setiap ritual yang dilakukan selalu memiliki tujuan untuk menjaga ketiga keseimbangan hubungan ter-sebut (Krisnu, 1991; Ra, 2007).

Secara umum ritual sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari religiositas, yang diidentifikasi oleh (Start and Glock, 1974) menjadi lima bentuk yaitu; 1) kepercayaan, 2) ritual, 3) pengalaman, 4) pengetahuan dan 5) konsekuensi. Dhavamony (1995) kemudian mem-bagi ritual menjadi empat macam yaitu; 1) tindakan magis, yang dalam pelaksanaannya menggunakan bahan-bahan yang diyakini memiliki kekuatan mistis, 2) tindakan religius, kultus para leluhur, 3) ritual konstitutif, yang mengungkapkan hubungan sosial dengan melaksana-kan upacar-upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan, 4) ritual faktitif, ritual yang bertujuan untuk mendapatkan perlindungan dan kekuatan suatu kelompok, salah satunya adalah kesejahteraan materi. Ritual yang dilaksanakan oleh umat Hindu tentu saja tidak dapat secara tegas digolongkan ke dalam pembagian-pembagian yang tersebut di atas, karena seperti yang dikemukakan oleh Krisnu (1991) bahwa ritual Hindu merupakan salah cara dari tiga cara untuk mengekspresikan kesujudan umat terhadap Tuhannya.

(25)

sembahannya adalah bahwa sesajen tersebut dipersembahkan karena tujuan keseimbangan filosofi Tri Hita Karana. Menurut Nakatani (1997) yang melakukan penelitian tentang ritual yang dilakukan keluarga Hindu di Bali membedakan ritual menjadi ritual yang ditu-jukan kepada Tuhan (Dewa Yadnya), ritual untuk manusia (Manusa Yadnya), ritual untuk atma2 (Pitra Yadnya), dan ritual untuk Bhuta 3

(Bhuta Yadnya). Menyimak rangkaian ritual yang dilakukan subak

maka sangat jelas terlihat bahwa masing-masing ritual memiliki tujuan dan arah yang khas. Misalnya kalau ritual ngusaba nini yang ditujukan sebagai rasa syukur kehadapan Dewa Kesuburan, maka jelas merupa-kan ritual Dewa Yadnya, sedangkan ritual nangluk merana, jelas meru-pakan ritual yang bertujuan untuk mengendalikan kekuatan yang jahat dari hama tikus, maka digolongkan ke dalam ritual Bhuta Yadnya. Dalam setiap pelaksanaan ritual, peran perempuan dominan, karena mereka terlibat sejak persiapan sesajen sampai pada pelaksanaan ritual.

Penelitian Nakatani (1997) di Gianyar-Bali tentang peran perem-puan dalam kegiatan ritual religius (ritual keagamaan) menyatakan, bagi perempuan Bali ritual adalah pekerjaan (rituals as a work).

Melaksanakan ritual merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan perempuan di Bali. Dari data yang dikemukakan Nakatani (1997), waktu yang dibutuhkan perempuan dalam melaksanakan ritual hampir 75% dari waktu yang dimiliki perempuan Bali untuk berak-tivitas, sehingga pernyataan rituals as a work bagi perempuan Bali tidak terbantahkan. Akan tetapi penelitian ini belum mampu menunjukkan seberapa besar keyakinan akan ritual yang dilaksanakan perempuan Bali mampu mendorong kegiatan-kegiatan yang bersifat lebih berman-faat bagi perubahan-perubahan kehidupan perempuan Bali khususnya dan masyarakat Bali umumnya. Padahal dalam pelaksanaan ritual, perempuan banyak memiliki waktu untuk bersama, sehingga interaksi tersebut merupakan modal untuk pemberdayaan. Di samping itu ke-bersamaan dalam pelaksanaan ritual sebagai tempat terjadinya

inter-2

Atma; roh yang dipercaya akan meninggalkan badan kasar manusia pada saat kematian. Atma ini dipercayai akan kekal dan abadi (Pandit, 2005)

3

(26)

nalisasi terhadap kepercayaan dan keyakinan akan ritual yang dilak-sanakan, yang bermanfaat untuk pemaknaan.

Sesuai dengan pernyataan Bourdieu (2003) tentang konsep

habitus bahwa gerakan individu akan berpengaruh terhadap perubahan

sosial yang terjadi. Menurut Bourdieu, fenomena sosial merupakan hasil dari tindakan-tindakan yang dilakukan individu. Konsep ini juga melengkapi pendapat Berger and Luckman (1990) tentang realitas kehidupan individu sehari-hari mampu menjadi pendorong tindakan-tindakan yang lebih besar dalam komunitas, sehingga konsep keber-lanjutan tindakan individu (pemaknaan) dari Berger and Luckman (1990) akan mendorong terjadinya habitualisasi pada individu dan komunitas. Hal ini akan mendorong terjadinya tindakan yang mengi-kat setiap individu maupun komunitas untuk selalu melakukan yang dipercaya dan diyakini adalah merupakan sebuah kebenaran.

Spiritualitas dan Religiositas

(27)

diwujudkan dalam bentuk kesejahteraan, akan tetapi mampu dirasakan keberadaannya dalam fenomena-fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. Spiritualitas memiliki konsep dasar yang agak berbeda dalam menyikapi adanya kekuasaan Tuhan. Penganut spiritualitas lebih mendasarkan diri pada konsep hukum-hukum alam, sehingga aktivitas dan kegiatan penganut spiritualitas lebih mementingkan apa yang dilakukan berdampak positif bagi alam dan lingkungan, berguna bagi manusia dan lingkungan tanpa mengabaikan norma dan hukum Tuhan tentang kebaikan (Saranam, 2009).

Penganut religiositas menganggap bahwa semua kegiatan yang baik dan mendapat ridho Tuhan adalah berkaitan dengan kegiatan keagamaan yang terpaku pada surga dan neraka, pahala dan dosa serta pengampunan (Iannaccone, 2003 dalam Soegeng, 2008). Stark and Finke (2000) dalam Soegeng (2008) menyatakan bahwa kegiatan-kegi-atan religius seperti berdoa, melaksanakan ritual, merasakan keajaiban dan pengalaman mistis akan sangat mengikat secara emosional penga-nut agama tertentu. Menurut mereka keterikatan secara emosional dan kepercayaan terhadap Tuhan merupakan suatu investasi untuk mem-bangun keyakinan dan kesadaran untuk selalu berbuat kebaikan. Investasi dalam bentuk keyakinan dan kesadaran akan hukum Tuhan akan menghasilkan ketakutan akan berbuat yang bertentangan dengan hukum Tuhan.

Gambar

Gambar 2 Diagram Tiga Pilar Penting dari Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Tabel 1 Perbedaan Swa Sembada Pangan dengan Ketahanan Pangan

Referensi

Dokumen terkait

Perilaku salah kaprah yang didukung oleh mentalitas terabas dengan motto “cepat, enak, dan mudah”, apalagi ditambah dengan “murah” itu telah menjadi nilai-nilai baru

Dalam penelitian ini walaupun saya berasal dari daerah peneli- tian akan tetapi karena proses triangulasi data telah dilaksanakan dengan baik dan benar, maka data-data yang

Namun demikian, perlu disebutkan pula bahwa salah seorang pelopor dari bisnis penginapan atau home stay di Sidemen itu tidak lain justru adalah penglingsir (raja/kepala

Kesan yang sama dikemukakan oleh salah seorang pengemudi angkot jalur Terminal-Kudamati [YS, 32 tahun, Kristen] bahwa, sejak situasi keamanan di kota Ambon benar-benar telah pulih

Berangkat dari defenisi kebudayaan menurut Kluckhohn di atas, maka rumusan kebudayaan yang diacu oleh penulis, yakni: kebudayaan merupakan hasil karya, cipta dan karsa

Agama dalam pengertian seperti ini dapat dikatakan sebagai religi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat 9 bahwa tiap religi merupakan suatu sistem

Melihat latar belakang Jenkins yang merupakan seorang sosiologi antropolog, dan dihubungkan dengan pengertian identitasnya, maka dapat dipahami bahwa identitas itu

Petunjuk penggunaan dana BOS tahun 2014 yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no 101 tahun 2013 menyatakan bahwa.. salah satu penggunaan