• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB VII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Bali dalam Ritual Subak D 902009009 BAB VII"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Bab Tujuh

Kearifan Lokal Modal Pelestarian

Ketahanan Pangan dan Hayati

di Subak Wongaya Betan

Pengantar

Ada tantangan yang dihadapi subak saat ini dan masa yang akan datang yaitu dalam menghadapi globalisasi dan liberalisasi zaman. Tantangan-tantangan tersebut di antaranya adalah: (1) adanya kom-petisi/persaingan dalam memasarkan hasil produksi di pasar yang harus bersaing dengan porduk-produk impor yang memiliki mutu dan kontinuitas produksi yang lebih baik; (2) menurunnya keinginan generasi muda menekuni bidang pertanian sebagai sumber kehidupan/ pekerjaan; (3) kendala petani dalam pengaturan air irigasi dan pem-bayaran air irigasi; (4) berkurangnya area pertanian karena terjadi konversi besar-besaran ke penggunaan yang lain; (5) degradasi ling-kungan dan keterbatasan ketersediaan air.

(2)

bebe-rapa penduduk yang menggantungkan hidup pada kegiatan pertanian. Situasi yang agak berbeda dengan fenomena di atas terjadi di Kabupaten Tabanan, dimana kabupaten ini merupakan lokasi Subak Wongaya Betan yang menjadi unit penelitian ini justru masih sangat tergantung pada keberadaan pertanian. Hal ini karena Kabupaten Tabanan merupakan kabupaten yang dikenal sebagai lumbung berasnya Bali. Komitmen ini dapat dilihat dari data jumlah subak yang masih aktif di Tabanan dan daerah lain seperti yang dipaparkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi seperti di bawah ini:

Tabel 4

Jumlah subak di Masing-masing Kabupaten di Bali

No Kabupaten/Kota Jumlah Subak Gede Jml. Subak Anggota

1 Tabanan 9 95

2 Bangli 2 30

3 Klungkung/Semara Pura 10 39 4 Jembrana 5 56 5 Buleleng 7 64

6 Badung 2 21

7 Gianyar 6 79

8 Karangasem 0 0 9 Denpasar 0 0

Total 41 384

Sumber: Bali in Figure (2009)

Dari Tabel tersebut memang Tabanan merupakan daerah dengan jumlah subak yang terbanyak, dan 15 di antaranya berada di kawasan Jatiluwih yang termasuk dalam Kawasan Catur Angga yang dinomi-nasikan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Dari fakta tersebut sebenarnya sangat relevan apabila Tabanan dianggap sebagai ujung tombak ketahanan pangan dan hayati Provinsi Bali, dan meru-pakan peluang yang sangat penting bagi kelestarian daerah pertanian di Bali.

(3)

jelas wewenang dan tanggung jawabnya, dilengkapi dengan awig-awig (peraturan-peraturan) dengan berbagai sanksinya; (b) setiap anggota subak berhak melakukan pengawasan dan monitoring terhadap siapa saja termasuk pengurusnya dalam menerapkan peraturan yang telah disepakati bersama; (c) semangat gotong-royong yang tinggi dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan subak terutama dalam pemeliharaan jaringan fisik dan kegiatan ritual subak. Ritual subak merupakan unsur pemersatu para anggotanya sehingga subak menjadi organisasi yang kuat dan tangguh; (d) subak memiliki batas wilayah yang jelas dan berdasarkan prinsip hidrologis bukan atas dasar kesatuan administratif; (e) subak mempunyai landasan filosofis Tri Hita Karana yang menekankan pada keseimbangan dan keharmonisan yakni keseimbangan dam keharmonisan antara manusia dengan sesamanya, dengan alam lingkungannya dan dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta segala yang ada di alam semesta ini. Ini berarti bahwa memiliki potensi yang sangat besar untuk berperan sebagai pengelola sumberdaya alam guna mendukung pembangunan berkelanjutan. Subak memiliki mekanisme penanganan konflik yang timbul di kalang-an kalang-anggotkalang-anya maupun kalang-antara kalang-anggota subak yang bersangkutan dengan anggota dari subak lain; (f) Awig-awig dapat diubah dan dise-suaikan menurut keadaan yang selalu berubah berdasarkan kesepakat-an seluruh kesepakat-anggota subak; (g) penggalian dana sebagai salah satu fungsi penting dari subak untuk membiayai perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi serta untuk keperluan penyelenggaraan ritual. Banyak subak telah menunjukkan kemampuannya menggali dana dengan ber-bagai cara seperti melalui usaha simpan pinjam, pengumpulan denda, pemungutan iuran dari anggota, menyewakan areal persawahan subak untuk pengembalaan itik, dll (Sutawan, dkk., 1995).

(4)

Sistem Budidaya Tanaman yang salah satu pasalnya menyebutkan bahwa petani diberikan kewenangan menentukan jenis tanaman yang diusahakan.

Sutawan (2008) sudah menyinggung penguatan dalam hal legali-sasi, kelembagaan, kewenangan. Sedangkan kekuatan yang disebutkan terkait dengan Tri Hita Karana tidak disinggung sama sekali. Padahal filosofi ini sebenarnya dapat dieksplorasi lebih dalam karena merupa-kan sebuah kekuatan yang sangat mungkin di gunamerupa-kan dalam jangka panjang untuk menjaga eksistensi subak. Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam bab ini akan dikemukakan beberapa aktivitas anggota subak termasuk juga perempuan dalam menjalani kehidupan kesehari-an baik dalam aktivitas di lahkesehari-an pertkesehari-anikesehari-an, rumah tkesehari-angga dkesehari-an kegiatkesehari-an ritual sehari-hari dan ritual dalam subak. Hal ini penting karena subak adalah sebuah organisasi yang bersifat sosio-religius. Jadi akan sangat terkait dengan kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan yang tentu saja juga sangat kuat tertanam dalam masyarakat Hindu Bali.

Ritual sebagai Fungsi Subak Wongaya Betan

(5)

(a) distribusi air; (b) memelihara sumber daya alam yang terus menyu-sut; (c) memelihara jaringan irigasi; (d) menyelesaikan konflik antar anggota.

Dan Windia (2010) menambahkan bahwa di Bali subak juga memiliki fungsi sebagai pelaksana aktivitas ritual. Aktivitas inilah yang membuat subak di Bali sangat khas dan berbeda dibandingkan dengan subak di daerah ataupun negara lainnya. Sehingga beberapa kalangan menyebutkan subak sebagai sistem irigasi-plus. Plus yang dimaksudkan di sini adalah dalam melakukan kegiatan ritual (upacara) tersebut. Lebih lanjut dinyatakan bahwa sistem subak di Bali berdasarkan pada: (1) keharmonisan dan kebersamaan; (2) konsep Tri Hita Karana yang memiliki arti adalah keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan lingkungan.

Dalam orasi ilmiahnya Windia menyatakan, dalam rangka mem-pertahankan eksistensi subak di Bali, pendekatan harus dilakukan secara holistik dan komprehensif tidak hanya dari pendekatan fisik (yang sudah sering dilakukan selama ini) tetapi juga dari pendekatan budaya setempat (untuk di Bali perlu pendekatan budaya termasuk agama dan adat) Bali. Namun hingga saat ini belum ada peneliti yang melakukan pendalaman pada aspek-aspek tersebut di atas. Apalagi kalau dikaitkan dengan semakin melebarnya makna ritual yang dilakukan umat Hindu Bali secara keseluruhan. Peneliti menduga hal ini juga akan berimbas pada ritual-ritual yang dilakukan subak. Salah satu objek bahasan Windia (2010) juga tentang pelebaran makna ritual lintas generasi.

Kearifan di Subak Wongaya Betan

(6)

lingkungan tetap dapat terjaga. Ditambahkan bahwa jaringan pura subak memiliki kekuatan mengikat anggotanya lebih kuat dibanding-kan dengan jaringan adat.

Walaupun masih banyak keraguan dari ilmuwan Barat (asing) tentang pelaksanaan ritual yang dilakukan di Bali, karena mereka belum mendapat penjelasan ilmiah dari pelaksanaan ritual tersebut. Misalnya ritual ngaben tikus yang dilakukan hampir setiap tahun sekali. Dari sisi masyarakat Hindu Bali (petani) menganggap bahwa dengan dilakukan ngaben tikus diharapkan tikus tidak akan meng-gangu tanaman petani. Memang kalau dilihat dari makna mungkin akan sangat sulit mencari penjelasan ilmiah dari ngaben tikus tersebut. Akan tetapi kalau dicari realitasnya memang dengan dilakukannya ngaben tikus hama tikus akan semakin sedikit dan akan semakin jarang menyerang tanaman petani. Ada pengalaman yang dialami oleh petani di Subak Wongaya Betan bahwa keputusan melaksanakan pertanian organik ternyata juga tanpa disadari mampu mengurangi serangan hama khususnya tikus di areal subak. Hal ini diceritakan oleh Ibu Rama bahwa dengan mengalirkan urine sapi ke areal sawah pada masa-masa bera ternyata serangan tikus pada tanaman padi Ibu Rama berkurang.

(7)

vasi waktu pelaksanaan penggropyokan. Dari wawancara di lapangan, subak sudah memiliki jadwal untuk melakukan penggropyokan tikus. Kegiatan penggropyokan ini nantinya bermuara pada ritual ngaben tikus dan sebenarnya merupakan salah satu kearifan lokal yang masih eksis di lingkungan Subak Wongaya Betan, dan masyarakat petani masih meyakini aktivitas ini sebagai aktivitas yang menguntungkan bagi kegiatan pertanian mereka.

Kearifan lokal di masyarakat petani di Subak Wongaya Betan khususnya dan Bali umumnya adalah merupakan sesuatu yang bersifat saling menguatkan antara hubungan manusia dengan sang Pencipta, dengan sesama dan dengan lingkungan. Hal ini tentu saja sangat erat kaitannya dengan implementasi dari filosofi Tri Hita Karana yang masih diakui eksistensi dan kekuatannya dalam menjaga kehidupan masyarakat Hindu Bali. Kekuatan kearifan lokal yang dimiliki subak juga menjadi perhatian Norken, dkk (2007) yang berpendapat berbagai kearifan atau kecerdasan lokal yang dimiliki subak sangat bermanfaat dalam usaha pencapaian ketahanan pangan dan ketahanan hayati. Windia (2008a dan 2008b), juga menunjukkan hal yang senada, bahwa identitas subak sebagai organisasi tradisional Bali memiliki sifat dasar sosio-kultural atau sosio-religius yang unik, unggul, dan kaya kearifan lokal. Kearifan lokal dengan berbagai kecerdasan yang dimiliki, merupakan bagian dari kebudayaan. Kearifan lokal dalam organisasi subak memperoleh keunikan lokal berbasis konsepsi Tri Hita Karana dan mendapat apresiasi universal terkait esensi dari pelestarian melalui keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia, dan lingkungan.

Esensi kearifan lokal subak adalah komitmen yang tinggi ter-hadap kelestarian alam, rasa religiositas, subjektivitas manusia dan konstruksi penalaran yang berempati pada persembahan, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan untuk jagadhita1 yang berkelanjutan.

Komitmen masyarakat petani di Subak Wongaya Betan terhadap esensi kearifan lokal dan praktik tradisional seolah-olah sudah menjadi kegiatan keseharian mereka. Misalnya seperti pada pelaksanaan ritual yang sebenarnya merupakan sebuah persembahan kepada Sang

(8)

Pencipta, agar keharmonisan hubungan antara anggota subak dengan lingkungan, dengan sesama anggota subak dapat tetap terjaga. Di samping itu pelaksanaan praktik tradisional seperti penggunaan sapi untuk membajak sawah sebenarnya merupakan suatu usaha untuk menjaga keseimbangan daya dukung lahan di areal subak yang memang sebagian besar terdiri dari tanah dengan topografi miring. Kegiatan kembali ke pertanian organik juga memiliki esensi bahwa sang pencipta sudah menyediakan sumber daya alam yang bisa diman-faatkan untuk mencapai kesejahteraan, tanpa menimbulkan pencemar-an bagi sumber daya lainnya. Karena pertpencemar-anipencemar-an orgpencemar-anik spencemar-angat ramah lingkungan dan juga aman bagi kesehatan manusia.

Keterikatan petani dalam organisasi subak selain karena awig-awig subak yang berlandaskan Tri Hita Karana (sudah dijelaskan pada bab empat), ternyata juga merupakan keterikatan emosional. Keterikat-an emosional inilah menurut Geertz (1959) merupakKeterikat-an keterikatKeterikat-an di-mensi keempat, dimana didi-mensi-didi-mensi tersebut adalah; parhyangan, pawongan, palemahan dan emosional.

Di tengah hiruk-pikuk keluasan dampak sekuler dan vulgar modernisasi dan globalisasi (Appadurai, 1993), masyarakat kembali menoleh potensi kearifan lokal. Kearifan lokal yang dibangun melalui kedalaman mitologi dalam sinergi nilai-nilai luhur kebudayaan seperti religius, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan yang dinamik memperoleh roh dan basis modal spiritualitas. Etos kebangkitan ke-arifan lokal mendapat momentum terkait dengan kebutuhan dan harapan masyarakat secara teks dan konteks yang kaya akan fungsi dan makna.

(9)

yang tercakup dalam organisasi subak. Dari sekian peneliti tersebut dengan rentang kajian yang sudah cukup luas ternyata belum pernah memfokuskan kajiannya pada perempuan dalam memaknai ritual yang demikian intensif dilakukan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kaitannya dengan subak. Di samping itu aktivitas perempuan di bidang pertanian pun masih belum mendapat penekanan, padahal peran perempuan sangat besar dalam keberlangsungan produksi perta-nian yang tentunya akan sangat berkaitan dengan ketahanan pangan dalam keluarga dan komunitas. Jadi peran perempuan dalam setiap aktivitas Subak Wongaya Betan sangat dominan sehingga penekanan pada peran perempuan akan menyebabkan penelitian ini berbeda dengan kajian peneliti yang lainnya.

Kearifan lokal sebagai bagian dari kebudayaan menurut para antropolog memiliki bentuk, fungsi, makna, dan etos yang dalam. Keseluruhan kearifan lokal yang tercakup dalam organisasi subak di Wongaya Betan adalah:

Kearifan Religius

(10)

Menurut keyakinan setiap anggota Subak Wongaya Betan lahan pertanian adalah tempat berstananya (sebagai tempat tinggal) Dewa Kesuburan yaitu Dewa Sri dan Dewa Pertiwi. Kepercayaan terhadap manifestasi Tuhan sebagai Dewa Sri dan Dewa Pertiwi ini yang menyebabkan pada setiap hulu (biasanya arah Utara atau Timur) lahan pertanian termasuk sawah selalu dibangun tugu2 sebagai tempat sesajen

pada saat melakukan ritual. Pada tugu inilah setiap anggota subak akan melaksanakan ritual secara mandiri. Areal di sekeliling tugu biasanya sangat dijaga kesuciannya karena mereka menganggap tugu tersebut sama fungsinya dengan pura subak yang dalam lingkup individu disebut pura Ulunsuwi (Gambar 14 b). Oleh karena kesucian dianggap pangkal harmoni dan keletehan adalah signal disharmoni, maka anggota subak meyakini kesucian menguatkan jagadhita dan keletehan mengganggu jagadhita.

Dalam kaitannya dengan kearifan religius maka eksistensi parhyangan (pura subak) dalam setiap sendi kehidupan anggota subak sangat terlihat. Misalnya saja tercermin dari tempat pelaksanaan yang berstrata dari lingkup kecil (ulunsuwi) yang terletak pada masing-masing sawah. Pura Ulunsuwi ini menjadi tanggung jawab individu anggota subak. Strata menengah (masceti) dan Pura Bedugul yang ter-letak pada hulu areal subak. Pura Masceti dan Pura Bedugul ini meru-pakan tanggung jawab seluruh anggota Subak Wongaya Betan. Pura Penaringan juga merupakan salah satu pura yang menjadi tanggung jawab Subak Wongaya Betan. Pura Ulun Danu yang memiliki lingkup lebih luas (karena menjadi tanggung jawab subak se Kabupaten Tabanan terletak di Danau Tamblingan dan Buyan di lereng Gunung Batukaru. Keseluruhan pura-pura tersebut merupakan simbol dan media sakral kearifan religius Subak Wongaya Betan.

2 Tugu yang disebut bedugul: adalah bangunan yang dibuat dari bahan batu bata

(11)

Kearifan Budaya

Kearifan budaya sangat erat mengikat setiap segi kehidupan anggota Subak Wongaya Betan. Tatanan nilai, tatanan aktivitas subak yang selalu berlandaskan filosofi, Tri Hita Karana yang mengajarkan tiga keseimbangan hubungan yaitu hubungan religius terhadap Tuhan, hubungan humanis dengan sesama manusia dan makhluk hidup lain-nya, serta hubungan dengan lingkungan. Keyakinan warga subak yang mengkonsepsikan tanah sebagai Ibu Pertiwi, air sebagai simbol Dewa Wisnu dan padi sebagai Dewi Sri memperkuat eksistensi kearifan kultural yang dijiwai oleh agama Hindu. Di samping itu adanya keter-ikatan organisasi subak dengan adat di tingkat Desa, yang mengha-ruskan setiap anggota subak berperan dalam kedua tatanan tersebut sangat kuat mencerminkan budaya Hindu Bali. Pelaksanaan siklus ritual terhadap tanaman padi yang sejalan dengan upacara siklus hidup manusia merupakan refleksi humanisasi dan penghargaan petani terha-dap tanaman, hewan dan aneka sumberdaya alam (hutan, sumber air). Dalam hal ini tercermin hubungan saling membutuhkan ( resiproksi-tas). Isu yang paling hangat saat ini adalah Subak Wongaya Betan me-rupakan salah satu subak yang terletak pada kawasan cultural heritage yang merupakan apresiasi secara lokal, nasional dan dunia melalui organisasi UNESCO yang menominasikan kawasan Catur Angga Batukaru sebagai World Heritage.

Kearifan Lingkungan

(12)

Dari penjelasan ketiga kearifan tersebut sebenarnya ada beberapa kearifan lokal yang juga terikat pada ketiga kearifan sebelumnya, akan tetapi tidak begitu memiliki kekuatan mendasar sebagai kearifan yang mampu mempertahankan keberlanjutan subak dan lahan pertanian di kawasan Jatiluwih ini atau dengan kata lain sering mengalami pele-mahan, misalnya saja kearifan institusional, yangterfokus pada potensi integritas organisasi subak ke ”dalam” dan ke ”luar”. Ke ”dalam” di-tujukan kepada warga subak dan ke ”luar” ditujukan kepada organisasi lain yang terkait dengan subak. Integritas ke ’dalam’ tentu saja adanya awig-awig subak yang selalu mengikat setiap anggota subak untuk mentaati awig-awig tersebut.

Kemudian integritas ke ”luar” dimulai dari sinergisme subak dengan desa pakraman (adat), di mana akan selalu ada musyawarah dalam menyikapi kepentingan subak dan adat. Hal ini sering terjadi pada anggota Subak Wongaya Betan dimana pada suatu saat mereka harus menyesuaikan kegiatan subak dengan kegiatan adat yang di-laksanakan di desa, sehingga kedua kegiatan tersebut dapat berjalan beriringan (seperti telah disinggung juga pada bab empat). Integritas ke ”luar” adalah hubungan subak dengan berbagai instansi pemerintahan seperti Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Kebudayaan.Hubungan dengan institusi pemerintah ini terlihat hanya sebatas koordinasi, karena menurut Pekaseh Subak, otoritas pemerin-tah terutama Dinas Pekerjaan Umum hanya sebatas pada kewajiban membantu pemeliharaan saluran irigasi teknis. Institusi pemerintah tidak ikut campur dalam tata cara pembagian air yang dilakukan oleh subak. Malahan sering fungsi subak juga terlihat dalam penyelesaian konflik air antar anggota.

(13)

dilaksanakan tatkala petani saling membantu satu sama lain dalam menggarap sawah, seperti mencangkul dan menanam melalui konsep ngoopin3 bersifat resiproksitas dan non-bayar. Kearifan institusional

juga dapat menggambarkan kemampuan subak melakukan koordinasi dengan semua komponen yang terkait dengan perannya, sehingga sebenarnya kearifan institusional subak ini juga terefleksi dari sifat keterbukaannya yang responsif.

Kearifan lokal lainnya adalah kearifan yang bersifat ekonomis, produktif. Seperti misalnya adanya bangunan jineng pada setiap rumah tangga anggota subak sebagai bangunan penyimpanan hasil pertanian. Seperti telah dikemukan pada penjelasan sebelumnya bahwa jineng merupakan salah satu elemen yang tidak terpisahkan dari struktur pura subak, Balai Subak dan juga dalam rumah setiap anggota Subak Wongaya Betan. Demikian juga dalam rangkaian ritual jineng merupa-kan salah satu bangunan yang harus diupacarai terlebih dulu sebelum hasil panen disimpan di dalam jineng. Sejak tahun 2010, Subak Wongaya Betan telah memiliki jineng secara kelompok, bantuan dari pemerintah Provinsi Bali. Kalau secara lebih mendalam jineng juga dapat diartikan sebagai salah satu strategi penyimpanan pangan dalam rangka usaha menjaga ketahanan pangan keluarga maupun kelompok subak.

Menurut penuturan Ibu Rama, jineng dulu memang sangat bermanfaat untuk menyimpan padi yang baru habis di panen. Petani akan mengeluarkan padi dari jineng kalau ingin menjual padinya, dan sisanya tetap disimpan dalam jineng. Sewaktu-waktu kalau diperlukan untuk keperluan keluarga, maka padi akan dikeluarkan lagi dari jineng. Memang penyimpanan di jineng membuat padi sangat awet dan jarang terserang kutu seperti yang dialami padi kalau disimpan dalam penyimpanan yang lain. Struktur bangunan jineng dari anggota Subak Wongaya Betan adalah biasanya berlantai kayu dan berdinding gedeg (anyaman bambu), hal ini menyebabkan bangunan jineng memiliki aerasi yang sangat baik. Penyimpanan padi di jineng bisa bertahan sampai 2-3 tahun. Oleh karena hasil panen saat ini sebagian sudah

(14)

dijual, maka lama padi di jineng paling satu musim. Demikian selanjut-nya akan terisi pada musim panen berikutselanjut-nya. Walaupun demikian, petani jarang mengosongkan jinengnya, pasti masih ada beberapa ikat padi yang tersisa. Hal ini karena jineng harus di upacarai juga setiap harinya, Ibu Rama menambahkan.

Awig-awig subak yang mencakup awig-parahyangan, awig-pawongan, dan awig-palemahan juga merupakan sebuah kearifan yang menguatkan subak untuk tetap menjaga kesimbangan hubungan antara Tuhan, Manusia dan Lingkungan. Kegiatan Subak Wongaya Betan yang sejak tahun 2004 beralih ke pertanian organik juga merupakan sebuah kekuatan dan modal bahwa subak adalah organisasi yang inovatif dan terbuka terhadap teknologi baru.

Gambar 21

Lumbung (jineng) sebagai simpanan cadangan pangan

(15)

Integrasi Aktivitas Pertanian dan Ritual di SWB

Telah disinggung pada bab terdahulu bahwa Agama Hindu mengimplementasikan Bhakti (perasaan hormat) kepada Tuhannya melalui tiga hal penting yaitu: Tattwa, Ethika dan Upacara (Ritual). Selama ini pelaksanaan tiga kewajiban Agama Hindu yang hanya di-rasakan bergerak adalah dari sisi upacara (ritual) sedangkan pemaknaan Tattwa dan etika masih mengalir sedemikian rupa mengikuti gebyar upacara yang sering dilakukan untuk menunjukkan Bhakti kehadapan Sang pencipta (Ida Sang Hyang Widi Wasa). Hal ini terlihat baik pada kehidupan sehari-hari dalam rumah tangga, lingkungan kerja (publik) dan juga lingkungan pertanian (dalam hal ini organisasi subak), misalnya, tetap dilakukannya ritual berupa persembahan kepada Tuhan setiap pagi berupa saiban4. Walaupun sarana dari ritual ini sangat

sederhana tapi persembahan tersebut selalu dilakukan setiap hari oleh masing-masing rumah tangga dan dilakukan oleh ibu rumah tangga.

Fenomena ini seolah-olah ingin mematahkan hasil kajian yang menyatakan ritual merupakan sebuah pemborosan dan sia-sia. Padahal kalau dicermati, ritual setiap pagi hari ini akhirnya menjadi sebuah hal yang berperan sebagai penyeimbang antara kehidupan manusia dan alam sekitarnya. Misal saja dengan adanya sarana yang dihaturkan maka mengundang burung, ayam dan binatang lainnya untuk mema-kan sarana yang dihaturmema-kan sehingga tanpa sengaja amema-kan bergerombol datang burung-burung yang akan meramaikan lingkungan sekitar. Hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah upaya untuk pelestarian alam dan lingkungan, pelestaraian keanekaragaman hayati, dan juga merupakan implementasi dari tiga hubungan timbak balik yang dipercaya oleh masyarakat Hindu Bali yaitu Tri Hita Karana (THK).

Di tengah semakin melebarnya sikap apriori terutama generasi muda tentang makna ritual, tenyata masih banyak masyarakat dan juga generasi muda lainnya yang semangat menganggap ritual sebagai suatu

4 Bahannya dari segala sesuatu yang dimasak oleh rumahtangga. Sebelum makan pagi

(16)

kewajiban yang harus dilaksanakan dalam rangka menjaga keselamatan dan keberlangsungan kehidupan masyarakat termasuk petani. Seperti juga dilakukan oleh anggota Subak Wongaya Betan, dimana dalam satu siklus musim tanam padi mereka akan melakukan beberapa jenis ritual. Ritual-ritual seperti Ngendagin, Ngurit, Ngrasakin, Ngewiwit, dilaksa-nakan oleh anggota subak sejak pengolahan tanah, pembuatan tempat pesemaian sampai pada penyimpanan hasil panen padi di jineng (penjelasan masing-masing ritual sudah disajikan pada bab 6).

Gambar 22

Pura Bedugul Subak Wongaya Betan

Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2010

(17)

h

lebih sedikit dan biasanya disesuaikan dengan kema

langsu

padi hitam, maka penulis memohon kepada petani untuk memanenkan 2-3 helai dari malai5 padi yang sudah mulai masak. Akan tetapi

ke-mauan tersebut terpaksa penulis tahan karena petani tersebut menya-takan padi belum boleh dipanen karena upacara Mesaba (Ngusaba) belum dilaksanakan. Jadi petani di daerah ini memiliki kepercayaan sebelum padi di panen, harus dilakukan upacara (ritual) Mesaba di pura Bedugul secara bersamaan oleh semua anggota subak, untuk membe-ritahukan (menyampaikan) kepada Ida Betara Ratu Penyarikan, bahwa buah padi akan dipanen dan sekaligus sebagai bentuk rasa syukur akan asil yang diperoleh. Upacara Mesaba ini dilakukan secara kolektif di Pura Ulun Suwi dengan biaya diperoleh lewat iuran anggota subak. Setelah upacara mesaba secara kolektif selesai, kemudian dilanjutkan dengan upacara yang sama di masing-masing sawah anggota subak dengan sarana upakara

mpuan individu.

Dua sampai tiga hari setelah ritual Mesaba, anggota subak melak-sanakan panen secara serempak. Alat yang digunakan adalah ani-ani, karena padi yang ditanam adalah padi lokal. Menurut salah seorang petani anggota subak, kalau petani menanam benih unggul, petani menggunakan sabit seperti yang sering dilakukan di daerah lainnya. Setelah padi di ani-ani, sedikit buah padi dengan tangkainya disisihkan dan diikat menjadi satu. Pelambangan ini disebut dengan Dewa Nini (simbolis Dewi Sri atau Dewa Padi/kemakmuran). Dewa Nini kemu-dian dituntun pulang ke masing-masing rumah anggota subak dan distanakan di Jineng (lumbung tempat menyimpan) padi, yang sebe-lumnya juga sudah diupacarai dengan upacara pemelaspasan sehingga

ng bisa digunakan untuk menyimpan padi hasil panen.

Jineng atau lumbung dalam organisasi subak sebenarnya terma-suk dalam salah satu kelembagaan subak selain fungsi-fungsi yang disebutkan sebelumnya yaitu sebagai pengatur pembagian air, mencari solusi konflik, pemeliharaan saluran air dan melaksanakan ritual. Hal ini dapat dilihat dari Pura Ulun Suwisubak yang di dalamnya terdapat simbolisasi Jineng. Jineng yang berada pada Pura Ulun Suwi biasanya

(18)

samaan dengan ritual yang dilakukan di Jineng Pura Ulun melaksanakan rangkaian upacara sebagaimana seharusnya.

selesai panen digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil panen, tentu saja setelah diupacarai terlebih dahulu (simbolisasai Dewa Nini). Pada implementasinya maka pada masing-masing rumah petani Jineng (lumbung) yang lebih besar selalu di tempatkan di area depan bangun-an rumah dbangun-an membangun-ang berfungsi sebagai tempat penyimpbangun-anbangun-an hasil padi petani. Ritual yang dilakukan sebelum padi disimpan di Jineng biasanya ber

Terhadap pertanyaan, apakah pelaksanaan ritual keagamaan tersebut masih lestari atau ada yang punah. Dapat dijelaskan bahwa, ritual-ritual yang disebutkan sebelumnya masih lestari sampai sekarang dan dilaksanakan secara konsisten dan berlanjut, tanpa ada satu pun upacara yang terlewatkan. Ketika pertanyaan, apakah ada dari rangkaian upacara tersebut tidak dilaksanakan maka di Subak Wongaya Betan, semua rangkaian upacara tersebut dilaksanakan secara konsisten dan bila ada anggota subak yang melanggar dikenakan sanksi denda dengan melaksanakan upacara pecaruan Panca Sato. Pecaruan (caru) adalah sejenis ritual permohonan maaf dan penebusan (peleburan) kesalahan yang telah dilakukan akibat kealpaan melaksanakan salah satu rangkaian ritual. Upakara untuk ritual ini biasanya d

ang bersangkutan dengan pembiayaan secara mandiri.

(19)

Dari kejadian tersebut terlihat kalau di kawasan ini segala sesuatu yang terjadi pada hasil panen dan kehidupan mereka sebagai petani selalu dikaitkan dengan kealpaan dalam melaksanakan ritual. Misalnya contoh yang terjadi di subak Soka. Dan masih banyak cerita-cerita tentang kaitan antara kejadian-kejadian dalam kehidupan petani yang selalu dihubungkan dengan pelaksanaan ritual yang telah mereka laksanakan. Seperti misalnya pada praktik pengendalian hama dan penyakit tanaman (HPT), maka sebelum dilakukan pengendalian orga-nisme HPT selalu diawali dengan melaksanakan upacara keagamaan. Ritual khusus yang menyertai yaitu upacara pengusir Sarwa Geringan (segala jenis hama dan penyakit). Bentuk upacaranya yaitu memper-sembahkan Upakara – canang lenga wangi burat wangi dan daksina – dipersembahkan di pura Bedugul sawah. Sementara di saluran air menuju sawah dihaturkan labaan (makanan) berupa nasi atau segehan Panca Warna (lima warna) beralaskan daun pisang dan kau bulu (batok kelapa). Tujuan dari upacara ini adalah memohon agar butakala (keku-tan alam bawah yang tidak tampak) yang membawa hama penyait tidak menyerang tanaman. Bila upacara ini tidak digelar, petani meya-kini bahwa butakala (roh jahat) akan marah dan menyebarkan hama dan penyakit tanamam (HPT) untuk menyerang tanaman. Kegiatan upacara ini bisa dilakukan secara individu bila serangan HPT bersifat lokal hanya pada tanaman anggota subak tertentu, dan dapat dilak-sanakan secara kolektif bila HPT menyerang dalam skala luas di seluruh subak.

(20)

buran tanah, sehingga tanaman dapat tumbuh optimal dan tahan ter-hadap serangan HPT.

Mencermati praktik bertani yang dilaksanakan petani belakangan ini di Subak Wongaya Betan memang masih banyak anggota yang melakukan pergeseran pola tanam. Pola tanam yang dilaksanakan tidak lagi dengan melakukan pergiliran tanaman (padi – padi – palawija; padi – palawija – padi), tetapi pola tanamnya bersifat monokultur yaitu hanya menanam padi saja. Penyebab perubahan pola tanam ini, di-jelaskan karena adanya tuntutan ekonomi yang semakin meningkat, tidak pernah mengalami gagal panen, dan harga gabah lebih tinggi dibandingkan harga palawija.

Namun demikian, kalau dicermati di lapangan sebenarnya petani telah melakukan bera sekitar satu bulan setelah panen padi. Selama masa tersebut, jerami padi dibiarkan membusuk di lahan dan dijadikan sebagai pupuk alami, disamping juga dengan menggunakan pupuk kandang sapi. Selama pemeliharaan tanaman, petani tidak pernah menggunakan pupuk sintetis sehingga kerusakan tanah dapat diku-rangi. Jenis padi yang ditanam antar satu musim tanam ke musim tanam berikutnya juga tidak sama. Sebenarnya dalam awig-awig subak ada pengaturan pola tanam yaitu kertamasa6 dan gadon7. Jika pada

bulan Desember petani menanam padi varietas lokal, maka pada musim tanam berikutnya mereka menanam padi varietas unggul atau palawija. Akan tetapi menurut pengalaman mereka selama ini anggota subak sangat jarang menanam palawija pada musim gadon, mereka lebih memilih untuk memberakan lahannya. Jadi petani di daerah ini menanam padi hanya dua kali dalam setahun. Di samping itu di daerah ini air tidak menjadi kendala dalam menanam padi, karena air selalu tersedia sepanjang tahun.

Ketika ditanyakan apakah petani tahu tentang dampak buruk pola tanam seperti itu (bersifat monokultur)? Mereka mengatakan tidak tahu, padahal pekaseh telah berkali-kali mengingatkan tentang dampak

6 Kertamasa: adalah pola tanam serempak dengan menanam padi lokal

(21)

buruk yang akan timbul dalam jangka panjang seperti: kesuburan tanah menurun, tanah memadat sehingga sulit diolah. Petani tetap belum sadar karena dikalahkan kepentingan jangka pendek yaitu tuntutan ekonomi, di samping juga keyakinan dengan pelaksanaan ritual yang tidak pernah terputus. Dengan kombinasi penggunaan bahan-bahan organik dan anugerah air yang diberikan oleh Sang Pencipta, petani yakin kegagalan panen akan mampu dieliminir.

Kesimpulan

Secara strukturisasi dalam level organisasi lokal di Bali (organisasi adat) maka subak merupakan salah satu lembaga tradisional

yang memiliki kekuatan baik dalam hal keeratan hubungan antar anggotanya, juga dalam hal kekuatan mengikat dari sisi kepentingan anggotanya. Karena seperti dijelaskan bahwa subak selain merupakan organisasi yang bersifat sosio-religius, ternyata juga memiliki orientasi ekonomi dalam hal mempertahankan keberlanjutan pendapatan dalam keluarga dengan mengoptimalkan usaha-usaha dalam pertanian. Ketahanan pangan dalam keluarga nampaknya merupakan salah satu tujuan dari subak, dengan segala kearifan lokal yang dimiliki sehingga akhirnya mampu menyatukan antara kebutuhan duniawi (ketahanan pangan) dengan kebutuhan (kepuasan) batin melalui ritual yang selalu melekat pada setiap pelaksanaan kegiatan pertanian.

Gambar

Tabel 4
Lumbung (Gambar 21 jineng) sebagai simpanan cadangan pangan
Pura BedugulGambar 22  Subak Wongaya Betan

Referensi

Dokumen terkait

Namun demikian, seperti yang terjadi di tempat-tempat lain, masyarakat maka Tangkoko tidak bisa menggantungkan hidup sepenuhnya hanya dari kegiatan pariwisata sepanjang tahun

Pemberkatan ini dilakukan oleh para pedanda (pendeta brahmana) yang merupakan pemuka ( pingajeng ) desa agar isi/ketentuan awig-awig bisa ditaati bersama karena seperti

Namun demikian, perlu disebutkan pula bahwa salah seorang pelopor dari bisnis penginapan atau home stay di Sidemen itu tidak lain justru adalah penglingsir (raja/kepala

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih setia, berkat, anugerah, serta penyertaanNya yang begitu besar, sehingga penulis dapat

Teori pembangunan Chenery (2007) memfokuskan pada perubahan struktur dalam tahapan proses perubahan ekonomi, industri dan struktur institusi dari perekonomian negara

[r]

Di sisi lain perempuan ditempatkan pada kedudukan yang paling rendah sebagai manusia; sebagai anak perempuan hanya sebagai pribadi titipan di rumah orang tuanya,

dasar terletak pada elemen-elemen natural (sosial) dari masyarakat tentang “ yang sakral ” , Durkheim pertama sekali, mengemukakan bahwa seluruh keyakinan keagamaan yang