• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIKAP ATLET SEPAK BOLA INDONESIA TERHADAP LAYANAN PSIKOLOGI OLAHRAGA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SIKAP ATLET SEPAK BOLA INDONESIA TERHADAP LAYANAN PSIKOLOGI OLAHRAGA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

i

SIKAP ATLET SEPAK BOLA INDONESIA TERHADAP LAYANAN PSIKOLOGI OLAHRAGA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Laurentius Sandi Witarso

NIM : 109114062

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

“Enggak ada alasan harus siap,

kesiapan dari dirimu bukan orang lain”

“You must do it, and I believe you can

prepare in the best. Don’t give up in the

beginning, try in the best and you will get

the best chance or opportunity”

(5)
(6)

vi

SIKAP ATLET SEPAK BOLA INDONESIA TERHADAP LAYANAN PSIKOLOGI OLAHRAGA

Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Laurentius Sandi Witarso

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap atlet sepak bola Indonesia terhadap psikologi olahraga. Peneliti menggunakan teori Multidimensional Model of Sport Psychology Provision(M2SP2) yang terdiri dari antecedents, attitudes and beliefs dan consequences. Subyek pada penelitian ini adalah 72 atlet sepak bola yang sedang dan pernah mengikuti kompetisi Divisi Utama PSSI dengan rentang usia 18 – 50 tahun. Penelitian ini menggunakan alat ukur SPA – R (Sport Psychology Attitude – Revised) yang menggunakan skala teknik Likert dan diterjemahkan terlebih dalam bahasa Indonesia (confidence in sport psychology consulting α = .913; stigma

tolerance α =.786) . Data penelitian dianalisis dengan menggunakan metode statistik melalui program SPSS 16.0 for Windows. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa atlet sepak bola Indonesia secara keseluruhan memiliki sikap positif terhadap layanan psikologi olahraga yang ditunjukkan dengan skor mean yang rendah pada skala stigma tolerance (M = 2.5)dan skor mean yang tinggi pada confidence in sport psychology consulting (M = 5.39). Tingginya kepercayaan diri dan rendahnya stigma terhadap layanan psikologi olahraga diperkuat dengan tingginya minat atlet untuk membahas masalah pribadi dan masalah prestasi olahraga terhadap pelatih mental/psikolog olahraga.

(7)

vii

INDONESIAN FOOTBALL ATHLETES’ ATTITUDE

TOWARD SPORT PSYCHOLOGY SERVICES Study in Psychology in Sanata Dharma University

Laurentius Sandi Witarso

ABSTRACT

This study aims to examine the attitudes of Indonesian football athletes toward sport psychology services. Researcher used Multidimensional Model of Sport Psychology Provision (M2SP2) theory which includes antecedents, attitudes and beliefs and consequence. Subjects on this study were 72 football athletes who are and have followed PSSI First Division Competitionn with age range 18 – 50 years. This study used a measuring instrument SPA – R (Sport Psychology Attitude – Revised) which uses a Likert scale and translated into bahasa Indonesia (confidence in

sport psychology consulting α = .913; stigma tolerance α =.786) . Data were analyzed using

statistical methods with SPSS 16.0 for Windows. The study found that Indonesian football athletes as a whole has positive attitudes towards sport psychology services as indicated by the low mean scores on the stigma tolerance scale (M = 2.5) and high mean scores on confidence in sport

psychology consulting scale (M = 5.39). The high of confidence and the low of stigma is

reinforced by the high interest of the athletes to discuss personal and performance problems in sport on the sport psychologist.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Tugas akhir ini berangkat dari passion peneliti akan dunia sepak bola khususnya sepak bola di Indonesia. Berlatar belakang pendidikan ilmu psikologi yang sedang ditempuh, peneliti mengkaitkan ilmu psikologi dengan bidang sepak bola. Sumbangsih dari penelitian ini kiranya dapat membantu perkembangan sepak bola Indonesia baik secara akademis maupun praktis.

Peneliti menyadari dalam melakukan penelitian ini mendapatkan sangat banyak bantuan dari segenap pihak baik secara materi maupun non-materi :

1. Tuhan Yesus Kristus, Pemberi Terang Dalam Kegelapan Dunia.

2. Almarhum Christina Siwi Handayani dan Almarhum Felicita Swari Witarso (adik), kedua insan yang sangat dicintai peneliti. Would you know my name, if I saw you in heaven? Would it be the same, if I saw you in heaven?

3. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang turut serta memotivasi peneliti dalam segala proses pembuatan tugas ini.

4. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi

sekaligus figur „ayah‟ bagi peneliti dalam proses pembelajaran akademik. 5. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik

yang turut serta memotivasi dan memberi wejangan kehidupan selama proses kuliah di Sanata Dharma.

(10)

x

7. Seto Nurdiantoro (PSIM Yogyakarta), Susilo Harso (PS GAMA), Guntur Cahyo Utomo (Timnas U-19), Widiantoro (PERSIS SOLO), Rumadi (PSS Sleman), Widyarto (PPSM Magelang) segenap insan yang telah membantu peneliti untuk melancarkan proses penelitian di klub sepak bola terkait.

8. Segenap dosen dan karyawan Fakultas Psikologi (Ibu kandung peneliti „Bu

Nanik‟, Mas Gandung, Pak Giyono, Mas Doni, Mas Muji) Universitas Sanata Dharma yang telah memberi dukungan besar bagi peneliti.

9. Kedua orang tua peneliti, Heri Pitarso dan Nanik Pitarso serta kakak peneliti, Mas Arbi dan Mbak Icha yang memberikan peran sangat besar kepada peneliti selama proses pengerjaan skripsi ini.

10. Grace Kristiana Susanto, insan yang memberi banyak pengalaman kepada peneliti untuk belajar tentang cinta, ketulusan dan kasih sayang.

11. Yuan dan Yustia, kedua teman peneliti yang membantu dalam proses penerjemahan skala.

12. Teman-teman dan karyawan staff Humas Universitas Sanata Dharma yang memberi banyak pengalaman manajerial dan public speaking kepada peneliti. 13. Teman-teman Psikologi Sanata Dharma yang memberikan saran dan kritik

kepada peneliti dalam proses pembuatan skripsi ini

Yogyakarta, 3 Agustus 2014

Penulis,

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoritis ... 7

(12)

xii

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN ... 8

A. Perkembangan Psikologi Olahraga di Indonesia ... 8

B. Multidimensional Model of Sport Psychology Provision ... 11

B.1 Latar Belakang (Antecedents) ... 12

B.2 Sikap dan Keyakinan (Attitudes & Beliefs) ... 14

B.3 Konsekuensi (Consequences) ... 15

C. Alat Ukur Sport Psychology Attitudes – Revised (SPA-R) Form ... 17

D. Penelitian Sport Psychology Attitudes – Revised (SPA-R) Form Pada Atlet ... 23

E. Kerangka Berpikir ... 27

F. Pertanyaan Penelitian ... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 34

A. Metode Penelitian ... 34

B. Identifikasi & Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 34

C. Metode Pengumpulan Data ... 37

D. Alat Pengumpulan Data ... 38

E. Karakteristik Subjek ... 43

F. Reliabilitas Dan Validitas ... 44

1. Reliabilitas ... 44

2. Validitas ... 46

(13)

xiii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 48

A. Deskripsi Demografi Penelitian ... 48

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 50

1. Variabel Sikap : Toleransi Stigma (Stigma Tolerance) dan Kepercayaan (Confidence in Sport Psychology Consulting) ... 50

a. Uji Normalitas ... 50

b. Deskripsi Data : Mean dan Standar Deviation... 51

c. Deskripsi Perbandingan Data Skala Toleransi Stigma (Stigma Tolerance) dan Kepercayaan (Confidence in Sport Psychology Consulting) dengan Negara Lain ... 53

2. Tingkat Kepuasan Berdasarkan Pengalaman Bertemu Psikolog Olahraga/Pelatih Mental ... 55

3. Minat Untuk Membahas Masalah Pribadi dan Minat Untuk Membahas Prestasi Olahraga ... 56

4. Hubungan Antara Latar Belakang (Antecedent), Sikap dan Keyakinan (Atittudes & Beliefs), dan Konsekuensi (Consequence)... 57

C. Pembahasan Umum... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Kesimpulan ... 68

(14)

xiv

1. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 69

2. Bagi Pembina/Pelatih Olahraga ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Item Pada Skala Stigma Tolerance ... 18

Tabel 2. Item Pada Skala Confidence in Sport Psychology Consulting ... 19

Tabel 3. Item Pada Skala Personal Openness ... 21

Tabel 4. Item Pada Skala Cultural Preference ... 22

Tabel 5. Hasil Mean dan Standar Deviation SPA-R Berdasarkan Negara ... 26

Tabel 6. Hasil Mean dan Standar Deviation SPA-R Berdasarkan Gender ... 27

Tabel 7. Hasil Metode Back-Translation Skala SPA-R ... 40

Tabel 8. Koefisien Reliabilitas Variabel Sikap ... 46

Tabel 9. Deskripsi Usia dan Tingkat Pendidikan Akhir ... 49

Tabel 10. Deskripsi Frekuensi Bertemu Psikolog Olahraga dan Partisipasi Sepak Bola ... 49

Tabel 11. Uji Normalitas Data Dengan Teknik Kolmogorov-Smirnov ... 50

Tabel 12. Hasil Mean dan Standar Deviation SPA-R pada Atlet Sepak Bola Indonesia ... 51

Tabel 13. Perbandingan Mean Skala SPA-R Atlet Sepak Bola Indonesia Dengan Negara Lain ... 53

(16)

xvi

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Multidimensional Model of Sport Psychology Service

(18)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Psikologi sebagai ilmu yang mempelajari mental dan perilaku manusia telah merambah ke beberapa bidang kehidupan manusia, salah satunya adalah bidang olahraga. Cabang ilmu psikologi ini dikenal sebagai psikologi olahraga. Weinberg dan Gould (seperti dikutip dalam Gunarsa, 2008) memberi arti bahwa psikologi olahraga adalah ilmu yang mempelajari manusia dan perilakunya dalam konteks olahraga. Cox dan Yoo (1995) mengindikasikan bahwa kesuksesan dalam olahraga tidak bergantung pada aspek fisik dan teknik pemain saja melainkan juga pada aspek psikologis.

(20)

mental sebesar 70% sebagai aspek yang sangat penting dalam sepak bola sedangkan 30% yang lain adalah aspek fisik, taktik dan strategi. Beberapa pandangan atlet di atas menggambarkan bahwa mereka merespon psikologi olahraga secara positif.

Namun disamping itu muncul juga beberapa pandangan yang berbeda terkait dengan psikologi olahraga. Pada kasus tertentu, beberapa atlet memilih untuk tidak berkonsultasi kepada psikolog olahraga meskipun mereka mengetahui adanya manfaat dari psikologi olahraga (Leffingwel, Rider & Williams., 2001). Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Harmison (2000), dijelaskan beberapa alasan mengenai alasan atlet yang ragu-ragu dalam menggunakan layanan psikologi olahraga. Beberapa alasan yang muncul diantaranya adalah persepsi yang salah dan skeptis terhadap psikologi olahraga, takut mendapatkan stigma dari orang sekitar, dan rendahnya keterbukaan serta minat untuk menjadikan pelatihan mental sebagai prioritas. Hambatan lain dari atlet terhadap psikologi olahraga menurut Ravizza (seperti dikutip dalam Anderson et al., 2004) adalah adanya konotasi negatif terhadap psikologi olahraga karena biasanya atlet mengasosiasikan kata psikologi dengan permasalahan sehingga atlet menjadi ragu terhadap psikologi olahraga.

(21)

kegunaan layanan psikologi olahraga jika dibandingkan dengan atlet perempuan (Anderson et al. & Martin 2004; Martin, 2005). Menurut studi Robinson dan Howard-Hamilton (seperti dikutip dalam Anderson et al., 2004) ada kebanyakan lingkungan masyarakat, menurut Jordan dan Quinn (seperti dikutip dalam Martin, Lavalle, Kellmann, & Page, 2004) penampilan fisik laki-laki diasosiasikan dengan kekuatan dan tenaga serta peran laki-laki adalah tidak mendiskusikan permasalahan pribadi. Di samping gender, jenis olahraga juga mempengaruhi sikap atlet terhadap layanan psikologi olahraga. Ada dua jenis olahraga yakni olahraga kontak fisik dan non kontak fisik. Olahraga kontak fisik selalu terjadi benturan fisik secara langsung, sehingga mudah memancing munculnya emosi di antara atlet (Sukadiyanto, 2006). Pada olahraga non kontak fisik tidak terjadi sentuhan fisik secara langsung dengan adanya pembatas, misalnya net atau lintasan. Atlet pada tipe olahraga kontak fisik memiliki stigma yang lebih besar dibandingkan dengan atlet pada olahraga non kontak fisik (Martin, 2005). Penyebabnya adalah dimensi maskulinitas pada atlet. Atlet pada olahraga kontak fisik menurut lebih menekankan perilaku agresif dan keras sehingga memiliki persepsi bahwa upaya pengungkapan diri (self-disclosure) terhadap orang lain adalah tanda dari kelemahan (Good & Wood, 1995). Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan atlet laki-laki pada bidang olahraga yang bersifat kontak fisik memiliki kemungkinan untuk bersikap ragu terhadap layanan psikologi olahraga.

(22)

layanan psikologi olahraga dibandingkan dengan atlet dari Britania Raya dan Jerman. Di sisi lain, atlet Britania Raya memiliki kepercayaan tinggi pada penggunaan layanan psikologi olahraga. Penelitian di Malaysia yang dilakukan Maimunah dan Hairul (2012) menggambarkan bahwa atlet Malaysia enggan untuk membahas permasalahan pribadi terhadap psikolog olahraga. Penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian atlet dari Irlandia, Selandia Baru, Amerika Serikat, Jerman dan Britania Raya dalam hal keterbukaan terhadap psikolog olahraga. Atlet dari negara barat memiliki nilai-nilai budaya yang cenderung open minded dibandingkan dengan masyarakat dari negara Timur. Adanya perbedaan sikap antar negara ini dalam penelitian Cohen, Guttman dan Lazar (seperti dikutip dalam Anderson et al., 2004) disebabkan karena adanya perbedaan nilai-nilai budaya dari tiap negara.

(23)

membatasi subjek dengan memilih atlet sepak bola Indonesia yang merepresentasikan atlet laki-laki pada olahraga kontak fisik.

Peneliti menggunakan Multidimensional Model of Sport Psychology Provision (M2SP2) yang dikembangkan oleh Martin, Zakrajsek dan Wrisberg (2012). M2SP2 merupakan kerangka konseptual untuk menguji hubungan antara sikap dan perilaku atlet terhadap penggunaan layanan psikologi olahraga. Peneliti menggunakan kerangka M2SP2 karena merupakan akar dari theory of planned behavior (TPB; Ajzen, 2002) dimana teori ini dapat melihat sikap atlet dan intensi terhadap layanan psikologi olahraga. Peneliti akan menggunakan desain penelitian deskriptif kuantitatif dengan tujuan untuk mendeskripsikan atau memberikan gambaran terhadap sikap atlet sepak bola terhadap layanan psikologi olahraga melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya (Sugiyono, 2008). Dalam penelitian ini tidak terdapat perlakuan terhadap variabel yang hendak diteliti, melainkan menguraikan secara jelas variabel penelitiannya (Kountur, 2003).

B.Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, peneliti mempunyai dua macam pertanyaan yakni pertanyaan utama dan pertanyaan sekunder.

1. Pertanyaan utama : Bagaimana toleransi stigma (stigma tolerance),

(24)

2. Pertanyaan sekunder:

a) Bagaimana toleransi stigma (stigma tolerance), kepercayaan (confidence in consulting) dan keterbukaan diri (personal openness) atlet sepak bola Indonesia terhadap layanan psikologi olahraga?

b) Bagaimana perbandingan toleransi stigma (stigma tolerance),

kepercayaan (confidence in sport psychology consulting) dan keterbukaan diri (personal openness) atlet laki-laki sepak bola Indonesia dengan toleransi stigma (stigma tolerance), kepercayaan (confidence in consulting) dan keterbukaan diri (personal openness) pada atlet laki-laki olahraga kontak fisik dari negara lain terhadap layanan psikologi olahraga?

c) Bagaimana hubungan antara latar belakang (antecedent), sikap dan keyakinan (attitude and beliefs) dan konsekuensi (consequence)?

C.Tujuan Penelitian

Bagi peneliti, tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Dapat mengetahui sikap atlet sepak bola Indonesia terhadap psikologi olahraga di Indonesia.

(25)

D.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini kiranya ke depan dapat memberikan sumbangan yang positif secara khusus bagi perkembangan ilmu psikologi olahraga terutama berkaitan dengan sikap atlet terhadap psikologi olahraga.

2. Manfaat Praktis

(26)

8 BAB II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Perkembangan Psikologi Olahraga di Indonesia

Menurut Monty P. Satiadarma (2000) psikologi olahraga di Indonesia merupakan cabang psikologi yang baru meskipun pada prakteknya kegiatan para psikolog di berbagai cabang olahraga di Indonesia telah berlangsung selama beberapa tahun. Pada tahun 1967 psikolog Singgih Gunarsa dan Sudirgo Wibowo telah memelopori kegiatan psikologi di cabang olahraga bulutangkis dan sejak saat itu banyak atlet bulu tangkis nasional yang memanfaatkan jasa psikolog dan ilmu psikologi dalam mencapai prestasi puncak mereka baik secara nasional dan internasional. Secara resmi Ikatan Psikologi Olahraga (IPO) Indonesia berada di bawah naungan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) yang dibentuk pada tanggal 3 Maret 1999.

(27)

serta kesulitan dalam melatih ketrampilan-ketrampilan psikologis yang sudah diterimanya dalam program kapasitas. Di tempat latihan pasca pelatihan dan konseling, diketahui adanya: (1) peningkatan semangat dan motivasi, (2) mampu melakukan relaksasi untuk mengurangi ketegangan, (3) merasa terpacu untuk mulai lebih banyak mengenali self-talk yang kontra produktif dan menggantinya dengan

self-talk yang positif dan suportif. Di samping itu, program pendampingan psikologis masih belum membudaya di kalangan atlet Cilacap dan merupakan satu hal yang belum menjadi kebutuhan utama bagi atlet. Kusumowardhani ketika melakukan kegiatan pendampingan terhadap atlet yang sedang bertanding ternyata mendapatkan reaksi yang beragam. Empat atlet melaporkan merasa nyaman saat ahli psikologi ada di arena pertandingan, tetapi satu atlet melaporkan sebaliknya bahwa seolah seperti diingatkan bahwa dirinya memiliki problem psikologis.

(28)

pelatih.

Namun di sisi lain Dwiariani (2012) menyatakan bahwa pelatihan

imagery yang dilakukan terhadap atlet bola basket yang mengalami cedera kurang memberikan pengaruh karena tidak semua atlet mampu melakukan secara mandiri. Oleh sebab itu pelaksanaan imagery perlu diperhatikan adanya dampingan psikolog bekerja sama dengan pelatih. Wismaningsih (seperti dikutip dalam Hoedaya, 2007) dari hasil penelitiannya mengidentifikasi bahwa adanya keluhan para pelatih olahraga mengenai kurangnya motivasi atlet dan kegagalan dalam penampilan di bawah tekanan pertandingan, yang disebabkan karena tidak adanya pengalaman dalam teknik manajemen stres.

(29)

B. Multidimensional Model of Sport Psychology Provision

Zakrajsek dan Martin (seperti dikutip dalam Martin et al., 2012) mengembangkan Multidimensional Model of Sport Psychology Provison (M2SP2) yang merupakan kerangka konseptual untuk menguji hubungan antara sikap dan perilaku atlet terhadap penggunaan layanan psikologi olahraga. M2SP2 terdiri dari latar belakang (antecedents) yang dapat mempengaruhi sikap dan keyakinan (attitudes & beliefs), dimana kemudian menghasilkan konsekuensi (consequences) seperti intensi menggunakan layanan psikologi olahraga, keterbukaan terhadap pelayanan dan kepuasan dengan pelayanan yang disediakan. Konsekuensi (consequences) ini dapat kembali mempengaruhi sikap dan keyakinan (attitudes &

beliefs) yang kemudian dapat mempengaruhi perilaku dan intensi di masa depan selanjutnya. Hal ini menggambarkan adanya siklus dan hubungan antara konsekuensi (consequences) dan sikap serta keyakinan (attitudes and beliefs) (Martin et al., 2012). Dipilihnya variabel sikap oleh peneliti karena sikap atlet dapat mempengaruhi intensi mereka dalam melatih kemampuan psikologi/mental dalam olahraga (Harmison, 2000). Gambar 1 adalah alur dari M2SP2 :

Gambar 1

Multidimensional Model of Sport Psychology Service Provision

B.1 Latar Belacedent)

(30)

B.1 Latar Belakang (Antecedent)

Seperti pada tabel 1 menunjukkan bahwa latar belakang terdiri dari karakteristik situasional, karakteristik konsultan, karakteristik atlet, karakteristik atlet dan karakteristik significant other akan mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap psikologi olahraga.

Karakteristik situasional seperti jenis olahraga, tingkat kompetisi dan budaya dalam olahraga dapat mempengaruhi sikap, dan minat dalam menggunakan pelayanan. Sebagai contoh atlet pada olahraga kontak fisik atau olahraga dimana suatu budaya menekankan sifat maskulin (American football, tinju, bela diri, rugby, sepakbola dan gulat) akan memiliki sikap ragu terhadap pelayanan psikologi olahraga. Kompetisi pada tingkat yang rendah juga akan mempengaruhi dimana mereka akan kurang terbuka terhadap pelayanan psikologi olahraga (Martin et al., 2012). Selain itu ditemukan juga perbedaan antara atlet pada olahraga tim dan olahraga individual. Menurut Wrisberg, Lind, Simpson, Loberg dan Reed (seperti dikutip dalam Martin et al., 2012) yang membedakan adalah atlet pada olahraga tim lebih memiliki minat menggunakan pelayanan psikologi olahraga sebagai upaya untuk mengembangkan keterampilan komunikasi. Sedangkan pada olahraga individual, atlet akan lebih tertarik pada pelayanan yang dapat membantu mereka meningkatkan performansi ketika berkompetisi.

(31)

menunjukkan bahwa wanita lebih berminat untuk menggunakan layanan psikologi dibandingkan dengan atlet laki-laki. Atlet pada usia remaja memiliki stigma yang lebih besar terhadap layanan psikologi olahraga jika dibandingkan dengan usia dewasa (Martin, 2005). Ras yang tergolong minoritas (atlet berkulit hitam dan Hispanic) juga cenderung enggan dalam menggunakan layanan psikologi olahraga dibandingkan dengan atlet berkulit putih. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa atlet berkulit putih lebih terbuka terhadap layanan psikologi olahraga dibandingkan dengan atlet berkulit hitam.

Karakteristik konsultan dapat mempengaruhi sikap atlet terhadap psikologi olahraga dan keterbukaan dalam pelayanan. Dari beberapa penelitian sebelumnya, konsultan yang efektif menurut atlet diantaranya adalah : menarik, ramah, dapat dipercaya, empati, memiliki kemampuan professional, cocok dengan tim, fleksibel, percaya diri, memiliki pengalaman yang memadai tentang psikologi olahraga (Anderson et al., 2004).

Karakteristik pelatih pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor seperti gender, umur, pengalaman melatih, pengalaman menggunakan psikologi olahraga adalah faktor yang paling konsisten dalam mempengaruhi sikap pelatih terhadap pelayanan (Nelson, 2008; Zakrajsek & Zizzi, 2007).

(32)

B.2 Sikap dan Kepercayaan (Attitudes & Beliefs)

Variabel sikap seperti toleransi stigma (stigma tolerance), kepercayaan (confidence in consulting), keterbukaan diri (personal openness), dan preferensi budaya (cultural preference) diidentifikasi sebagai faktor yang berhubungan dengan minat atlet dalam pelayanan psikologi olahraga. Martin et al. (2002) melakukan analisis eksplorasi dan konfirmatori pada lebih dari 1500 atlet di Amerika Serikat, Britania Raya dan Jerman yang menghasilkan toleransi stigma (stigma tolerance), kepercayaan (confidence in consulting),

keterbukaan diri (personal openness) dan preferensi budaya (cultural preference). Konsistensi internal dan reliabilitas test-retest pada alat ukur SPA-R memperlihatkan hasil yang bagus dan menggambarkan bahwa SPA-SPA-R menjadi alat yang stabil untuk mengukur sikap atlet terhadap konsultasi Psikologi Olahraga.

Harapan (expectation) mengenai proses konsultasi dapat mempengaruhi intensi atlet dalam menggunakan pelayanan psikologi olahraga, khususnya ketika harapan mereka lebih realistis (Martin, Akers, Jackson, Wrisberg, Nelson, Leslie, & Leidig., 2001; Zakrajsek & Zizzi, 2007). Sebagai contoh atlet yang belum pernah mendapatkan pengalaman konsultasi dengan psikolog olahraga akan memiliki harapan yang tidak relastis dibandingkan dengan mereka yang pernah berpengalaman sebelumnya (Martin et al., 2001).

(33)

bahwa pelatih mereka akan tidak menyetujui dan menganggap mereka lemah bila menggunakan pelayanan psikologis (Martin, Wrisberg, Beitel & Lounsbury., 1997)

Kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control) menjadi faktor penting yang mempengaruhi atlet menggunakan layanan psikologi olahraga (Anderson et al., 2004). Aspek di dalam lingkungan olahraga yang berpotensi menghambat Kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control) dan penggunaan layanan diantaranya adalah adanya batasan waktu, kurangnya biaya dan akses kepada konsultan psikologi olahraga (Gould, Medbery, Darajian, & Lauer., 1999; Pain & Harwood, 2004)

B.3 Konsekuensi (Consequences)

Secara teoritis, M2SP2 berpijak pada theory of reasoned action (TRA) oleh Ajzen dan Fishbein (seperti dikutip dalam Martin et al., 2012) dan theory of planned behavior (TPB; Ajzen, 2002). TRA dan TPB memberi arti bahwa

(34)

Intentions menurut Fishbein dan Ajzen (1975) merupakan komponen dalam diri individu yang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah laku tertentu. Bandura (2001) menyatakan bahwa intensi merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas tertentu atau menghasilkan suatu keadaan tertentu di masa depan. Lebih lanjut, intentions dalam menggunakan layanan psikologi olahraga dapat mengarahkan pada tingkah laku seseorang. Sebagai contoh Leffingwell et al., (2001) mendapatkan hasil bahwa atlet pada

action stage, paling banyak untuk memulai inisiatif untuk konsultasi psikologi olahraga secara individu dibandingkan dengan mereka yang berada pada tingkat lebih awal. Penelitian lain pada atlet rugby (Keeler & Watson, 2011) menemukan bahwa 54.6% atlet yang berinisiatif melakukan konsultasi psikologi olahraga berada pada tingkat action stages of readiness dibandingkan dengan 45.5% lain yang berada pada tingkat contemplation stage (berpikir mengenai penggunaan layanan psikologi olahraga)

Behaviors berhubungan dengan belajar dan menggunakan kemampuan mental, dapat meningkatkan kemungkinan bahwa atlet olahraga akan mulai menggunakan psikologi olahraga. Zakrajsek dan Zizi (seperti dikutip dalam Martin et al., 2012) menemukan efek workshop psikologi olahraga dimana pelatih mendapatkan perubahan positif dalam sikap, intention dan perilakunya secara cepat dan satu bulan setelah workshop.

(35)

beberapa aspek mental pada atlet seperti fokus yang meningkat, kontrol emosi, kepercayaan diri dan komunikasi dengan yang lain (Lazarus, 2000).

C. Alat Ukur Sport Psychology Attitudes – Revised (SPA-R) Form

Peneliti menggunakan alat ukur SPA-R Form sebagai instrumen penelitian karena sesuai dengan Multidimensional Model of Sport Psychology Provison (M2SP2) yaitu kerangka konseptual untuk menguji hubungan antara sikap dan perilaku atlet terhadap penggunaan layanan psikologi olahraga dan pelatihan mental. Martin mengembangkan 25 item kuesioner Sport Psychology Attitude-Revised (SPA-R) untuk mendapatkan pengetahuan mengenai persepsi atlet terhadap psikologi olahraga. Terdapat empat faktor dalam SPA-R yakni toleransi stigma (stigma tolerance), kepercayaan (confidence in sport psychology consulting), keterbukaan diri (personal openness) dan preferensi budaya (cultural preference). Peneliti menggunakan alat ini karena berdasarkan analisis psikometrik yang pernah dilakukan Martin (2002) menunjukkan bahwa alat ukur SPA-R memiliki reliabilitas dan validitas yang cukup pada berbagai macam sampel.

Stigma menurut Green (seperti dikutip dalam Cholil, 1997) adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Sedangkan menurut Goffman (seperti dikutip dalam Heatherton, 2003) mendefinisikan stigma sebagai suatu isyarat atau pertanda yang dianggap sebagai

“gangguan” dan karenanya dinilai kurang dibanding orang-orang normal. Skala toleransi stigma (stigma tolerance) pada SPA-R mengukur apakah atlet percaya bahwa orang lain akan memberi label khusus memiliki masalah psikologis apabila

(36)

olahraga adalah hal buruk untuk reputasi atlet”. Skor tinggi dalam skala ini

mengindikasi bahwa atlet memiliki stigma terhadap psikolog olahraga. Penelitian oleh Yambor dan Conelly (seperti dikutip dalam Martin et al., 2004) menyebutkan bahwa atlet laki-laki cenderung menolak konsultasi psikologi olahraga dibandingkan dengan atlet wanita karena mereka tidak ingin disebut lemah dalam penggunaan layanan tersebut. Penelitian oleh Van Raalte, Brewer, Linder, & DeLange (seperti dikutip dalam Martin et al., 2004) menyatakan bahwa beberapa kelompok memberi stigma terhadap atlet yang menggunakan psikolog olahraga karena kelompok ini mengasosiasikan perilaku tersebut sama seperti dengan individu yang menggunakan layanan kesehatan mental.

Tabel 1

Item Pada Skala Toleransi Stigma (Stigma Tolerance)

No. Item

1. Saya tidak akan menemui pelatih mental/psikolog olahraga sebab rekan-rekan tim akan mengolok-olok saya

2. Saya akan merasa khawatir jika pergi ke pelatih mental/psikolog olahraga sebab beberapa orang akan mencela saya

3. Menemui pelatih mental/psikolog olahraga akan memberikan dampak buruk bagi reputasi atlet sepak bola

4. Saya tidak ingin ada yang tahu bahwa saya meminta bantuan dari pelatih mental/psikolog olahraga

5. Jika saya menemui pelatih mental/psikolog olahraga, saya tidak ingin pelatih saya mengetahui tentang hal itu

6. Jika saya menemui pelatih mental/psikolog olahraga, saya tidak ingin ada atlet sepak bola lain yang mengetahuinya

(37)

Skala kepercayaan (Confidence in Sport Psychology Consulting) mengukur kepercayaan atlet tentang kegunaan pelayanan psikologi olahraga dan pelatihan mental. Menurut Bull (seperti dikutip dalam Martin et al., 2004) kepercayaan (Confidence in Sport Psychology Consulting) adalah karakteristik penting dalam pribadi seseorang yang dapat mempengaruhi kesetiaan terhadap program latihan kemampuan mental. Contohnya

”Konsultan psikologi olahraga dapat membantuku memperbaiki performa

olahragaku”. Skor tinggi dalam skala ini mengindikasikan kepercayaan yang tinggi terhadap pentingnya psikologi olahraga. Pada penelitian Wilson dan Deane (seperti dikutip dalam Martin, 2005) beberapa hambatan yang dapat mengganggu terhadap perilaku help-seeking pada remaja diidentifikasi. Hambatan tersebut diantaranya takut bahwa kerahasiaan akan terbongkar, kepercayaan bahwa akan terjadi distress psikologis dan kecurigaan terhadap konseling yang tidak akan berguna.

Tabel 2

Item Pada Skala Confidence in Sport Psychology Consulting

No. Item

1. Pelatih mental/psikolog olahraga mampu meningkatkan ketangguhan mental atlet sepak bola

2.

Jika seorang atlet sepak bola meminta saran tentang perasaan gagal yang berhubungan dengan olahraga, saya akan menyarankan dia untuk bertemu dengan pelatih mental/psikolog olahraga

(38)

No. Item

4.

Atlet sepak bola yang memiliki masalah dengan emosinya akan merasa lebih tenang dengan bantuan dari pelatih mental/psikolog olahraga ketika berolahraga.

5. Saya akan menemui pelatih mental/psikolog olahraga jika saya jengkel atau khawatir dengan prestasi olahraga saya.

6. Bagi saya, pelatih mental/psikolog olahraga akan membantu saya bermain lebih baik ketika berada di bawah tekanan.

7. Pelatih mental/psikolog olahraga dapat membantu saya dalam meningkatkan kemampuan olahraga saya.

8.

Ketika saya merasa gagal, saya akan mencari nasihat tentang permasalahan pribadi dan emosional dari orang-orang profesional.

Skala keterbukaan diri (personal openness) mengukur keterbukaan interpersonal dalam menggunakan pelayanan psikologi olahraga. Pengertian keterbukaan interpersonal adalah kondisi dimana individual memiliki keinginan untuk mendiskusikan permasalahan terhadap orang lain (Martin et al., 1997). Menurut Widjaja (2000) sifat keterbukaan menunjukkan paling tidak dua aspek tentang komunikasi interpersonal. Aspek pertama yaitu bahwa kita harus terbuka pada orang-orang yang berinteraksi dengan kita. Dari sini orang lain akan mengetahui pendapat, pikiran dan gagasan kita sehingga komunikasi akan mudah dilakukan. Aspek kedua dari keterbukaan merujuk pada minat kita untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain dengan jujur dan terus terang segala sesuatu yang dikatakannya, demikian

(39)

tahu mengenai permasalahan pribadiku”. Skor yang tinggi dalam skala ini

mengindikasikan kurangnya keterbukaan diri (personal openness). Dari penelitian Donohue (seperti dikutip dalam Anderson et al., 2004) bila atlet tidak mau untuk membagikan informasi personal maka akan menjadi hambatan dalam menggunakan layanan psikologi olahraga. Praktisi lain menyatakan bahwa jika atlet tidak bersedia membagikan informasi pribadi akan menghambat penggunaan layanan psikologi olahraga.

Tabel 3

Item Pada Skala Keterbukaan Diri (Personal Openness)

No. Item

1. Ada beberapa masalah yang seharusnya tidak diceritakan pada orang lain kecuali keluarga dekat.

2. Ide baik untuk menghindari rasa khawatir adalah dengan fokus pada pekerjaan.

3.

Sesuatu hal yang terhormat pada sikap atlet sepak bola yang memiliki minat untuk mengatasi konflik dan ketakuannya sendiri tanpa membutuhkan bantuan dari seorang professional.

4. Ada beberapa pengalaman dalam hidup saya yang tidak akan saya diskusikan pada orang lain.

5. Permasalahan emosional cenderung akan selesai dengan sendirinya.

6. Atlet sepak bola dengan karakter yang kuat mampu menyelesaikan urusannya sendiri tanpa bantuan orang lain.

(40)

dengan konsultan yang memiliki latar belakang budaya sama. Contoh ”Aku

lebih nyaman terhadap konsultan psikologi olahraga jika budaya mereka sama

denganku”. Skor tinggi dalam skala ini berhubungan dengan kuatnya

preferensi budaya. Penelitian oleh Anshel (seperti dikutip dalam Martin et al., 2012) menunjukkan bahwa beberapa individu lebih memilih instruktur, konselor dan pelatih yang memiliki etnis dan ras yang mirip dengan identitas mereka). Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian bahwa atlet berkulit putih lebih terbuka terhadap konsultan psikologi olahraga yang berkulit putih dibandingkan atlet berkulit hitam (Martin et al., 1997). Salah satu penyebabnya adalah karena atlet berkulit hitam memiliki rasa tidak percaya terhadap konsultan psikologi olahraga yang berkulit putih (Martin et al., 1997). Wade dan Bernstein (1991) menyatakan bahwa atlet berkulit hitam akan lebih sering menemui konselor berkulit hitam dibandingkan dengan konselor berkulit putih. Kesimpulan yang dapat diambil yakni sikap dan persepsi atlet terhadap layanan psikologi olahraga adalah hasil dari kepercayaan masyarakat umum dan budaya mereka (Martin et al., 2012)

Tabel 4

Item Pada Skala Preferensi Budaya (Cultural Preference)

No. Item

1. Saya menghargai pendapat dari rekan dengan budaya yang sama daripada rekan dengan budaya yang beda dengan saya.

2. Atlet yang menjadi rekan saya berasal dari ras yang sama dengan saya.

(41)

D. Penelitian Sport Psychology Attitudes – Revised (SPA-R) Form Pada Atlet

Pada bagian ini peneliti akan memaparkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan dengan menggunakan SPA-R. Ada beberapa metode pendekatan yang digunakan untuk meneliti sikap dan harapan atlet terhadap psikologi olahraga, salah satunya adalah dengan menggunakan alat ukur Sport Psychology Attitudes-Revised form (SPA-R; Martin et al., 2002). Instrumen penelitian ini terdiri dari 4 faktor sikap atlet terhadap psikologi olahraga yakni : toleransi stigma (stigma tolerance) (kepercayaan bahwa atlet memberi label negatif jika mereka mencari bantuan kepada konsultan),

confidence in sport psychology consultation (kepercayaan bahwa konsultasi dan pelatihan mental dapat berguna), personal openness (minat dalam mencoba konsultasi dan pelatihan mental), serta cultural preference

(identifikasi terhadap latar belakang budaya milik sendiri dan cenderung memilih bekerja pada konsultan yang memiliki latar belakang yang mirip). Dari hasil penelitian menggunakan instrument SPA-R menunjukkan bahwa faktor personal seperti gender, latar belakang budaya, pengalaman sebelumnya dengan konsultasi psikologi olahraga dan faktor olahraga seperti jenis olahraga serta tingkat kompetisi dapat mempengaruhi sikap, harapan

latar belakang etnis berbeda.

4.

(42)

dan minat terhadap psikologi olahraga. Penemuan yang sering muncul adalah atlet wanita dan atlet yang pernah mendapatkan pelatihan mental lebih bersedia menggunakan psikologi olahraga dibandingkan atlet laki-laki dan atlet yang belum pernah mendapatkan pelatihan mental. Atlet wanita sedikit memiliki stigma, lebih percaya diri, dan memiliki komitmen yang sangat besar terhadap pelayanan psikologi olahraga (Anderson et al., 2004; Martin et al., 2004).

Atlet yang pernah memiliki pengalaman menggunakan pelayanan psikologi olahraga lebih bersedia, lebih percaya dalam pelatihan mental dan sedikit memiliki stigma pada pelayanan psikologi olahraga dibandingkan dengan atlet yang belum pernah memiliki pengalaman sebelumnya pada pelayanan psikologi olahraga (Anderson et al., 2004; Martin, 2005). Selain itu atlet yang memiliki pengalaman positif pada pelayanan psikologi olahraga secara signifikan mendorong mereka untuk melanjutkan dalam penggunaan pelayanan dibandingkan dengan atlet yang memiliki pengalaman negatif pada pelayanan psikologi olahraga (Martin et al.,2012).

Jenis olahraga dapat menjadi faktor dalam mempengaruhi minat atlet menggunakan psikologi olahraga. Martin (2005) mengidentifikasi bahwa atlet pada olahraga yang bersifat kontak fisik (American football, gulat) lebih memiliki stigma terhadap pelayanan psikologi olahraga dibandingkan dengan atlet pada olahraga yang bersifat non-kontak fisik (golf, tennis). Faktor

(43)

sehingga menguatkan atlet untuk menerima sakit dan memiliki persepsi bahwa keterbukaan diri (self-disclosure) merupakan tanda dari kelemahan (Good & Wood, 1995; Martin et al., 1997).

(44)

berasal dari Britania Raya, Jerman dan Selandia Bartu (Anderson et al., 2004;

Hasil Mean dan Standar Deviation SPA-R Berdasarkan Negara

(45)

stigma (stigma tolerance) serta skor tinggi pada kepercayaan (confidence in sport psychology consulting). Atlet Selandia Baru juga memiliki skor tinggi pada preferensi budaya (cultural preference) dibandingkan dengan negara yang lain, menunjukkan bahwa mereka mengidentifikasi terhadap budaya mereka sendiri dan lebih cenderung memilih bekerja dengan psikolog olahraga yang berasal dari asal mereka sendiri.

Tabel 6

Hasil Mean dan Standar Deviation SPA-R Berdasarkan Gender

Gender

Male (n = 72) Female (n = 50)

t-value p-value

Mean SD Mean SD

Toleransi

Stigma 3.00 0.95 2.85 1.10 0.81 0.42

Kepercayaan 5.30 0.80 5.03 0.84 1.84 0.07 Keterbukaan

Diri 4.75 0.89 4.91 0.79 -0.98 0.33

Preferensi

Budaya 3.95 1.19 3.70 1.02 1.22 0.22

(46)

keterbukaan diri (personal openness), kemungkinan besar disebabkan oleh norma pada budaya timur yang tidak membicarakan masalah pribadi yang sensitif terhadap orang lain.

E. Kerangka Berpikir

Psikologi olahraga menurut Weinberg & Gould (1995) adalah ilmu yang mempelajari manusia dan perilakunya dalam konteks olahraga. Cox dan Yoo (1995) mengindikasikan bahwa kesuksesan dalam olahraga tidak bergantung pada aspek fisik dan teknik pemain saja melainkan juga pada aspek psikologis.

(47)

pandangan atlet di atas menggambarkan bahwa mereka merespon sikap terhadap psikologi olahraga secara positif.

Namun disamping itu muncul juga beberapa pandangan yang berbeda terkait terhadap psikologi olahraga. Pada kasus tertentu, beberapa atlet memilih untuk tidak berkonsultasi kepada psikolog olahraga meskipun mereka mengetahui adanya manfaat dari psikologi olahraga (Leffingwell et al., 2001). Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Harmison (2000), dijelaskan beberapa alasan mengenai alasan atlet yang ragu-ragu dalam menggunakan layanan psikologi olahraga. Beberapa alasan yang muncul diantaranya adalah persepsi yang salah dan skeptis terhadap psikologi olahraga, takut mendapatkan stigma dari orang sekitar, dan rendahnya keterbukaan serta minat untuk menjadikan pelatihan mental sebagai prioritas. Kusumowardhani (2009) ketika melakukan kegiatan pendampingan terhadap atlet melaporkan bahwa salah satu atlet seolah seperti diingatkan bahwa dirinya memiliki problem psikologis. Di samping itu belum membudayanya latihan mental/psikologis menyebabkan atlet kurang bisa menerapkan kemampuan psikologis dalam berolahraga.

(48)

adalah tidak mendiskusikan permasalahan pribadi. Jenis olahraga juga mempengaruhi sikap atlet terhadap layanan psikologi olahraga. Atlet pada tipe olahraga yang bersifat kontak fisik memiliki stigma yang lebih besar dibandingkan dengan atlet pada olahraga non kontak fisik (Martin, 2005). Penyebabnya adalah dimensi maskulinitas pada atlet. Atlet pada olahraga kontak fisik lebih menekankan perilaku agresif dan keras sehingga memiliki persepsi bahwa upaya pengungkapan diri (self-disclosure) terhadap orang lain adalah tanda dari kelemahan (Good & Wood, 1995; Martin et al., 1997). Beberapa hasil penelitian di atas mengakibatkan atlet laki-laki pada bidang olahraga yang bersifat kontak fisik memiliki kemungkinan untuk bersikap ragu terhadap layanan psikologi olahraga. Oleh karena itu peneliti menggunakan atlet sepak bola laki-laki sebagai subjek penelitian.

(49)

memiliki ideologi budaya yang cenderung open minded dibandingkan dengan masyarakat dari negara Timur. Adanya perbedaan sikap antar negara ini menurut Cohen et al. (seperti dikutip dalam Anderson et al., 2004) disebabkan karena adanya perbedaan ideologi dan filosofi di masing-masing negara.

Peneliti pada penelitian ini menggunakan Multidimensional Model of Sport Psychology Provision (M2SP2) yang dikembangkan oleh Martin et al. (2012) yang merupakan kerangka konseptual untuk menguji hubungan antara sikap dan perilaku atlet terhadap penggunaan pelayanan psikologi olahraga. Dipilihnya variabel sikap oleh peneliti karena sikap atlet dapat mempengaruhi intensi mereka dalam melatih kemampuan psikologi/mental dalam olahraga (Harmison, 2000). Peneliti menggunakan kerangka M2SP2 yang secara teoritis berpijak pada theory of reasoned action Ajzen dan Fishbein (seperti dikutip dalam Martin et al., 2012) dan theory of planned behavior (TPB; Ajzen, 2002). TRA dan TPB memberi arti bahwa behavioral beliefs, normative beliefs dan perceived control beliefs dapat mempengaruhi

(50)

mempengaruhi perilaku dan intensi di masa depan selanjutnya. Hal ini menggambarkan adanya siklus dan hubungan antara konsekuensi (consequences) dan sikap dan keyakinan (attitudesandbeliefs) (Martin et al., 2012). Semakin tinggi sikap (attitude)dan norma subjektif (subjective norm) seseorang ke arah favorable maka akan semakin kuat juga intensi seseorang dan kesiapan dalam menggunakan layanan psikologi olahraga (Martin et al., 2012). Asumsi dari teori ini adalah apabila subjek secara umum memiliki pandangan positif terhadap psikologi olahraga yang ditunjukkan dengan nilai yang tinggi pada skala kepercayaan (confidence in sport psychology consulting) serta nilai yang rendah pada skala toleransi stigma (stigma tolerance) dan skala keterbukaan diri (personal openness) maka akan semakin kuat juga intensi seseorang dan kesiapan dalam menggunakan layanan psikologi olahraga.

F. Pertanyaan Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti mempunyai dua macam pertanyaan yakni pertanyaan utama dan pertanyaan sekunder.

1. Pertanyaan utama : Bagaimana toleransi stigma (stigma tolerance),

kepercayaan (confidence in consulting) dan keterbukaan diri (personal openness) atlet sepak bola Indonesia terhadap layanan psikologi olahraga? 2. Pertanyaan sekunder:

(51)

b. Bagaimana perbandingan toleransi stigma (stigma tolerance),

kepercayaan (confidence in sport psychology consulting) dan keterbukaan diri (personal openness) atlet laki-laki sepak bola Indonesia dengan toleransi stigma (stigma tolerance), kepercayaan (confidence in consulting) dan keterbukaan diri (personal openness) pada atlet laki-laki olahraga kontak fisik dari negara lain terhadap layanan psikologi olahraga?

(52)

34 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif deskriptif. Menurut Sugiyono (2008), penelitian deskriptif mampu mendeskripsikan atau memberikan gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya. Dalam penelitian ini tidak terdapat perlakuan terhadap variabel yang hendak diteliti, melainkan menguraikan secara jelas variabel penelitiannya (Kountur, 2003).

B. Identifikasi & Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel-variabel yang akan digunakan dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah antecedent, attitudes & beliefs dan consequence : 1. Latar belakang (antecedent), terdiri dari berbagai aspek yang akan diukur

diantaranya adalah usia, tingkat pendidikan terakhir, lama partisipasi dalam sepak bola professional, dan frekuensi bertemu dengan pelatih mental.

(53)

b. Tingkat pendidikan terakhir adalah tingkat pendidikan yang dimiliki oleh atlet. Cara mengukur aspek tingkat pendidikan adalah menggunakan skala nominal pada SPSS dan kemudian dianalisis secara deskriptif. Kemudian peneliti akan membagi menjadi dua kleompok yakni kuliah (sarjana dan magister) serta non kuliah (SMA dan lain-lain)

c. Lama partisipasi dalam sepak bola professional adalah seberapa lama atlet sudah mengikuti karir sepak bola secara profesional. Cara untuk mengukur aspek ini adalah menggunakan skala ordinal untuk menunjukkan kuantitas dari atribut diukur mulai dari skor 1 hingga lain-lain. Kemudian peneliti akan membagi menjadi 3 kelompok yakni frekuensi bertemu pelatih mental selama 0 kali, 1-5 kali dan lebih dari 5 kali.

d. Frekuensi bertemu dengan pelatih mental adalah seberapa banyak atlet bertemu dengan pelatih mental selama berpatisipasi dalam dunia sepak bola. Cara untuk mengukur aspek ini adalah dengan menggunakan skala ordinal untuk menunjukkan kuantitas dari atribut diukur mulai dari skor 0 hingga lebih dari 5 kali. Kemudian peneliti akan membagi menjadi 3 kelompok yakni partisipasi dalam sepak bola selama 1-2 tahun, 3-4 tahun dan lebih dari 4 tahun.

(54)

kepercayaan (confidence in sport psychology consulting) dan keterbukaan diri (personal openness).

a. Toleransi stigma (toleransi stigma) adalah tingkat kepercayaan atlet bahwa orang lain akan memberi label khusus memiliki masalah psikologis apabila menggunakan psikologi olahraga. Aspek ini diukur dengan menghitung nilai rata-rata tengah (mean) skor total dari item nomor 3, 7, 10, 15, 16, 18, 20. Makin tinggi skor menunjukkan mengindikasi bahwa atlet memiliki stigma terhadap psikolog olahraga. b. Kepercayaan (confidence in sport psychology consulting) adalah

tingkat kepercayaan atlet tentang kegunaan layanan psikologi olahraga. Aspek ini diukur dengan menghitung nilai rata-rata tengah (mean) skor total dari item nomor 1, 2, 6, 9, 12, 14, 17, 19. Makin tinggi skor menunjukkan mengindikasikan kepercayaan yang tinggi terhadap pentingnya psikologi olahraga.

c. Keterbukaan diri (personal openness) adalah kondisi dimana individual memiliki keinginan untuk mendiskusikan permasalahan terhadap orang lain. Aspek ini diukur dengan menghitung nilai rata-rata tengah (mean) skor total dari item nomor 4, 5, 8, 11, 13 ,21. Makin tinggi skor menunjukkan kurangnya keterbukaan diri.

(55)

a. Minat untuk membahas masalah pribadi adalah kebulatan tekad atlet untuk mendiskusikan permasalahan pribadi (hubungan antar teman, hubungan dengan keluarga) terhadap pelatih mental. Cara mengukur aspek ini adalah menggunakan skala ordinal pada SPSS dengan pilihan jawaban : tidak tertarik (skor 1). biasa saja (skor 2), sangat tertarik (skor 3)

b. Minat untuk membahas prestasi olahraga adalah kebulatan tekad atlet untuk mendiskusikan permasalahan terkait dengan prestasi olahraga terhadap pelatih mental (cemas sebelum bertanding, takut akan kalah, beban pelatih kepala). Cara mengukur aspek ini adalah menggunakan skala ordinal pada SPSS dengan pilihan jawaban : tidak tertarik (skor 1). biasa saja (skor 2), sangat tertarik (skor 3)

c. Tingkat kepuasan berdasarkan bertemu dengan pelatih mental adalah tingkat kepuasan atlet setelah mendapatkan layanan dari pelatih mental. Cara untuk mengukur aspek ini adalah menggunakan skala ordinal pada SPSS dengan pilihan jawaban : tidak tertarik (skor 1), biasa saja (skor 2), sangat tertarik (skor 3)

C. Metode Pengumpulan Data

(56)

masalah pribadi serta tingkat kepuasan berdasarkan pengalaman bertemu dengan pelatih mental. Yang kedua adalah skala SPA-R (Sport Psychology Attitudes-Revised) yang dikembangkan oleh Martin et al. (2002). Skala SPA-R merupakan perbaikan dari skala Attitudes Toward Seeking Sport Psychology Consultation Questionnaire (ATSSPCQ; Martin et al., 1997). Skala ini terdiri dari 3 skala yakni skala toleransi stigma (stigma tolerance), kepercayaan (confidence in sport psychology consulting), keterbukaan diri (personal openness), dan preferensi budaya (cultural preference)

D. Alat Pengumpulan Data

(57)

Karena SPA-R merupakan skala penelitian yang dikembangkan di luar negeri, maka dibutuhkan metode penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia bagi para subjek. Metode penerjemahan ini disebut back-translation. Pada metode ini, penerjemah pertama melakukan penerjemahan terhadap skala awal dari bahasa asli ke bahasa yang dituju. Kemudian penerjemah kedua tanpa melihat skala awal, menerjemahkan kembali skala yang sudah diubah pada bahasa yang dituju menjadi skala pada bahasa yang asli. Kemudian setelah itu peneliti membandingkan skala awal dengan skala hasil dari back-translation untuk melihat kualitas akurasi terjemahan.

Pada penelitian ini, peneliti meminta bantuan terhadap salah satu teman dari program studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Sanata Dharma untuk menerjemahkan skala SPA-R versi asli yang menggunakan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Setelah skala terjemahan SPA-R dalam bahasa Indonesia didapatkan, peneliti meminta bantuan kepada teman lain yang pernah menempuh pendidikan di luar negeri lebih dari satu tahun untuk menerjemahkan kembali skala terjemahan SPA-R bahasa Indonesia menjadi skala SPA-R dalam bahasa Inggris. Skala hasil back-translation

(58)

Tabel 7

improve mental toughness Konsultan psikologi olahraga

mampu meningkatkan personal feeling or failure feeling about sport, I will team mate will make fun of me

Fokus pada pekerjaan adalah ide bagus untuk menghindari rasa khawatir.

6. To help me better

understand myself as an I need sport psychologist to

(59)

No. diri saya sebagai seorang atlet.

7. beberapa orang akan mencela saya.

There are good side of those athlete who are able to face conflict and fear without professional help

Sesuatu hal yang terhormat pada sikap atlet-atlet, yang mampu mengatasi konflik dan ketakuan mereka tanpa

Atlet yang memiliki masalah dengan emosinya akan merasa lebih tenang dengan bantuan dari konsultan psikologi psychologist will bring bad impact on my reputation

(60)

No.

There are experiences in my life that I would not saya diskusikan kepada orang lain.

Saya akan menemui konsultan psikologi olahraga jika saya jengkel atau khawatir dengan prestasi olahraga saya. olahraga akan membantu saya bermain lebih baik ketika

(61)

No.

Sport psychologist can help me sharpen my sport ability. athletes to know about it.

If I meet sport psychologist,

I don‟t want other athletes

know it.

Jika saya menemui konsultan psikologi olahraga, saya tidak ingin ada atlet lain yang

(62)

populasi yang memberikan batasan-batasan yang tegas. Pada penelitian ini, peneliti berfokus pada atlet pada olahraga kontak fisik dan memiliki jenis kelamin laki-laki. Secara spesifik, peneliti menentukan para atlet sepak bola Indonesia sebagai subjek penelitian dengan ciri-ciri sebagai berikut :

a. Atlet sepak bola Indonesia dengan jenis kelamin pria.

b. Sedang atau pernah mengikuti kompetisi Liga Indonesia PSSI (Persatuan Seluruh Sepak Bola Indonesia) minimal kompetisi Divisi Dua Liga Indonesia selama minimal satu musim. Asumsinya adalah atlet yang pernah mengikuti kompetisi Liga Indonesia PSSI selama minimal satu musim telah memiliki pengalaman bertanding sepak bola yang baik.

F. Reliabilitas Dan Validitas

1. Reliabilitas

(63)

equation modeling, menunjukkan SPA-R memiliki stabilitas yang memadai untuk berbagai macam sampel (Martin et al., 2002).

Meskipun alat ukur SPA-R pernah diuji reliabilitas sebelumnya, menurut Azwar (2003) komputasi koefisien reliabilitas hasil ukur bagi subjek penelitian masih tetap perlu dilakukan. Subjek penelitian merupakan kelompok individu yang lain daripada subjek yang dijadikan dasar pengujian reliabilitas alat ukur semula. Dengan menghitung koefisien reliabilitas hasil ukur pada kelompok subjek penelitian, akan dapat diperkirakan tingkat keterpercayaan hasil pengukuran alat tersebut bagi kelompok subjek yang diteliti dan dapat memperoleh informasi mengenai kecermatan data sebagai estimasi skor yang sebenarnya dimiliki oleh subjek penelitian.

(64)

Tabel 8

Koefisien Reliabilitas Variabel Sikap

Skala Cronbach‟s Alpha N of Items

Kepercayaan 0.913 8

Toleransi Stigma 0.786 7

Keterbukaan Diri 0.337 6

Berdasarkan hasil uji analisis menggunakan SPSS, koefisien alpha untuk skala kepercayaan (confidence in sport psychology consulting) dan toleransi stigma (stigma tolerance) masing-masing didapatkan nilai 0.913 dan 0.786. Pada penelitian ini skala keterbukaan diri (personal openness) memiliki reliabilitas yang tergolong rendah yakni 0.337, sehingga peneliti menggugurkan item. Item tersebut ada pada nomor 5, 7, 10, 14, 16 dan 24 sehingga total item yang semula adalah 21 item menjadi 15 item.

2. Validitas

(65)

dari 0.50 (loading pada faktor yang lain). Setelah dilakukan analisis validitas, Martin membuat kuesioner baru untuk mengukur sikap atlet terhadap psikologi olahraga yang bernama Sport Psychology Attitudes – Revised yang terdiri dari 25 item hasil dari analisis validitas pada Attitudes Toward Seeking Sport Psychology Consultation Questionnaire

(ATSSPCQ). Pada penelitian ini, validitas alat SPA-R dilakukan dengan metode back-translation dan expert judgement oleh dosen pembimbing.

G. Metode Analisis Data

(66)

48

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Demografi Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah para atlet sepak bola Indonesia yang sedang dan pernah berkarir pada kompetisi sepak bola nasional tingkat Divisi Utama PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) yakni PSS Sleman, PSIM Yogyakarta, PPSM Magelang dan Persis Solo. Jumlah total subjek pada penelitian ini adalah 72 orang. Pada kuesioner penelitian, subjek mengisi beberapa variabel demografi yang terdiri atas usia, tingkat pendidikan terakhir, berapa lama berpatisipasi dalam sepak bola professional, berapa kali pernah menemui pelatih mental/psikolog olahraga, tingkat kepuasan berdasarkan pengalaman bertemu dengan psikolog olahraga atau pelatih mental, besar minat atlet bertemu pelatih mental/psikolog olahraga untuk membahas masalah pribadi dan besar minat atlet bertemu pelatih mental/psikolog olahraga untuk membahas mengenai prestasi olahraga.

(67)

Kelompok non-kuliah terdiri dari subjek yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMP hingga SMA, sedangkan pada kelompok kuliah merupakan subjek yang memiliki tingkat pendidikan terakhir sarjana/mahasiswa.

Tabel 9

Deskripsi Usia dan Tingkat Pendidikan Akhir

Usia Tingkat Pendidikan Akhir U-20 Senior Mean Non-kuliah Kuliah

10 61 25.03 46 20

Pada bagian frekuensi bertemu psikolog olahraga/pelatih mental, sebanyak 13 subjek belum pernah bertemu sama sekali, 43 subjek pernah bertemu 1 hingga 5 kali dan 14 subjek pernah bertemu lebih dari 5 kali. Pada partisipasi dalam dunia sepak bola, sebanyak 14 subjek sudah mengikuti selama 1 hingga 2 tahun, 15 subjek mengikuti selama 3 hingga 4 tahun dan sedangkan 38 subjek lebih dari 4 tahun.

Tabel 10

Deskripsi Frekuensi Bertemu Psikolog Olahraga dan Partisipasi Sepak Bola

Frekuensi Bertemu Psikolog Olahraga/Pelatih Mental

Partisipasi

Sepak Bola (dalam tahun)

0 1-5 > 5 1-2 3-4 > 4

(68)

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan

1. Variabel Sikap : Toleransi Stigma (Stigma Tolerance) dan Kepercayaan (Confidence in Sport Psychology Consulting)

a. Uji Normalitas

Data yang didapatkan oleh peneliti dianalisis dengan menggunakan teknik Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui apakah data yang berasal dari populasi berdistribusi normal atau tidak (Noor, 2001). Data yang memiliki nilai signifikansi lebih besar daripada 0,05 (p > 0,05) dinyatakan sebagai data yang memiliki distribusi normal, sedangkan data yang memiliki nilai signifikansi lebih kecil daripada 0,05 (p < 0,05) maka data tidak terdistribusi secara normal. Berikut adalah tabel hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan aplkasi SPSS for Windows version 16.

Tabel 11

Uji Normalitas Data Dengan Teknik Kolmogorov-Smirnov

Toleransi

Stigma Kepercayaan

Kolmogorov-Smirnov Z 0.936 0.834

Asymp. Sig. (2-tailed) 0.345 0.491

a. Test distribution is Normal.

(69)

signifikansi sebesar 0.491 (p > 0,05). Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa distribusi data pada penelitian ini tergolong normal karena memiliki nilai signifikansi lebih dari nilai 0,05 .

b. Deskripsi Data : Mean dan Standar Deviation

Deskripsi data mengenai skala kepercayaan (confidence in sport consulting)dan toleransi stigma (stigma tolerance) diperlihatkan pada tabel di bawah. Berdasarkan uji analisis deskriptif menggunakan SPSS menunjukkan bahwa atlet sepak bola Indonesia memiliki skor pada toleransi stigma (stigma tolerance) dengan mean sebesar 2.5. Sedangkan pada skala kepercayaan (confidence in sport psychology)

consulting, atlet sepak bola Indonesia memiliki skor 5.39.

Tabel 12

Hasil Mean dan Standar Deviation SPA-R pada Atlet Sepak Bola Indonesia

Skala Mean Std. Deviation

Stigma Tolerance 2.5 0.82

Confidence in SPC 5.39 1.10

(70)

menunjukkan, atlet sepak bola Indonesia percaya bahwa orang lain tidak akan memberi label khusus terhadap dirinya bahwa ia memiliki masalah psikologis apabila menggunakan layanan psikologi olahraga. Hasil ini sangat berbeda dengan hasil penelitian oleh. Menurut Yambor dan Conelly (seperti dikutip dalam Martin et al., 2004) mengungkapkan bahwa atlet laki-laki cenderung menolak layanan psikologi olahraga karena mereka tidak ingin disebut lemah dalam penggunaan layanan psikologis. Dengan kata lain bahwa atlet laki-laki kurang terbuka terhadap proses konsultasi dan enggan untuk mengekspresikan emosi serta perasaan terhadap psikolog olahraga atau pelatih mental. Pada skala kepercayaan (confidence in sport psychology consulting), atlet sepak bola Indonesia memiliki mean sebesar 5.39. Hal ini menunjukkan bahwa atlet sepak bola Indonesia memiliki kepercayaan yang tinggi dan tidak ragu-ragu terhadap pentingnya layanan psikologi olahraga.

Data penelitian ini didukung oleh penelitian yang pernah dilakukan oleh Madyaningrum (2012) yang menggambarkan peran seorang psikolog pada masyarakat Indonesia. Pada penelitiannya ditemukan bahwa masyarakat Indonesia menganggap bahwa pengguna layanan psikologi adalah seseorang yang memiliki masalah

psikologis, tetapi tidak disamakan sebagai “orang gila”. Temuan ini

menggambarkan bahwa psikologi tidak lagi diberi stereotip sebagai

(71)

masyarakat Indonesia. Meskipun tampak adanya kepercayaan yang tinggi pada atlet terhadap layanan psikologi olahraga, tetapi hal ini tidak diimbangi dengan program layanan itu sendiri. Seperti penelitian dari Kusumowardhani (2009) yang menyebutkan bahwa program pendampingan psikologis masih belum membudaya di kalangan atlet Cilacap dan merupakan satu hal yang belum menjadi kebutuhan utama bagi atlet. Bahkan bagi para pelatih dan pembina olahraga Indonesia, layanan psikologi olahraga belum diterima sepenuhnya (Hoedaya, 2007).

c. Deskripsi Perbandingan Data Skala Toleransi Stigma (Stigma Tolerance) dan Kepercayaan (Confidence in Sport Psychology Consulting) Atlet Sepak Bola IndonesiaDengan Negara Lain

Tabel 13

(72)

Pada tabel 13, peneliti membandingkan atlet sepak bola Indonesia dengan atlet olahraga kontak fisik dari negara lain. Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa atlet dari Amerika Serikat lebih memiliki stigma yang tinggi terhadap psikologi olahraga jika dibandingkan dengan atlet dari Britania Raya, Malaysia Jerman dan Indonesia. Tingkat toleransi stigma (stigma tolerance) pada atlet di Indonesia tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika Serikat, Malaysia, dan Jerman. Selain itu tampak juga bahwa atlet dari Indonesia memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap psikologi olahraga dibandingkan dengan atlet dari negara Britania Raya, Amerika Serikat, Malaysia dan Jerman.

(73)

ditemukan bahwa masyarakat Indonesia menganggap bahwa pengguna layanan psikologi adalah seseorang yang memiliki masalah

psikologis, tetapi tidak disamakan sebagai “orang gila”. Temuan ini

menggambarkan bahwa psikologi tidak lagi diberi stereotip sebagai

madness expert” (ahli yang menangani kegilaan) di kalangan masyarakat Indonesia. .

2. Tingkat Kepuasan Berdasarkan Pengalaman Bertemu Psikolog Olahraga/Pelatih Mental

Dilihat dari tingkat kepuasan berdasarkan pengalaman bertemu dengan psikolog olahraga atau pelatih mental, sebanyak 35 subjek menyatakan rasa sangat puas, 25 subjek menyatakan perasaan biasa saja sedangkan 4 subjek merasa tidak puas.

Tabel 14

Deskripsi Tingkat Kepuasan Atlet Sepak Bola Indonesia Bertemu Psikolog Olahraga

Tingkat Kepuasan

Tidak Puas Biasa Saja Sangat Puas

4 25 35

(74)

kemungkinan besar akan melanjutkan untuk menggunakan layanan psikologi olahraga dibandingkan dengan atlet yang memiliki pengalaman negatif.

3. Minat Untuk Membahas Masalah Pribadi dan Minat Untuk Membahas Prestasi Olahraga

Pada bagian minat membahas masalah pribadi dengan psikolog olahraga/pelatih mental, 3 subjek merasa tidak tertarik, 34 subjek merasa biasa saja dan 34 subjek merasa sangat tertarik. Sedangkan untuk minat membahas masalah prestasi olahraga dengan psikolog olahraga/pelatih mental, sebanyak 20 subjek merasak biasa saja dan 51 subjek merasa sangat tertarik.

Tabel 15

Deskripsi Minat Atlet Sepak Bola Indonesia Dalam Membahas Masalah Pribadi dan Prestasi Olahraga

Minat Bahas Masalah Pribadi Minat Bahas Masalah Prestasi Olahraga

Tidak Tertarik Biasa Saja Sangat

Tertarik Tidak Tertarik Biasa Saja

Sangat Tertarik

3 34 34 0 20 51

Gambar

Tabel 17. Kategori Tingkat Uji Korelasi..........................................................
Gambar 1. Multidimensional Model of Sport Psychology Service
Gambar 1 Multidimensional Model of Sport Psychology Service Provision
Tabel 1 Item Pada Skala Toleransi Stigma (Stigma Tolerance)
+7

Referensi

Dokumen terkait

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah

Peserta yang telah melakukan pendaftaran akan dihubungi oleh pihak panitia pada tanggal 5 Oktober 2016 untuk konfirmasi.. Formulir pendaftaran dapat diambil di sekretariat

ANALISIS KALIMAT ELIPSIS BAHASA JERMAN DALAM ROMAN TRÄUME WOHNEN ÜBERALL KARYA CAROLIN PHILIPPS DAN PADANANNYA.. DALAM