HUBUNGAN
SELF-EFFICACY
DENGAN TINGKAT DEPRESI
PADA ATLET TAEKWONDO REMAJA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Tifany Christanti
NIM : 099114010
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
“selalu ada makna dibalik sebuah kata, selalu ada
kebahagiaan dibalik semua tangis, dan selalu ada cerita indah
dibalik semua rintangan.”
-Tifany Christanti-
Sukses berjalan dari satu kegagalan ke kegagalan yang lain,
tanpa kita kehilangan semangat
-Abraham Lincoln-
Jangan buang hari ini dengan mengkuatirkan hari esok.
Gunung pun terasa datar ketika kita sampai ke puncaknya
-Phi Delta Kappan-
Bapa-mu mengetahui apa yang kamu perlukan,
Sebelum kamu minta kepada-Nya
v
Dengan bangga, ku persembahkan skripsi ini untuk…
Tuhan Yesus yang selalu menyertaiku
Papa dan Mama ku tercinta serta seluruh keluarga besar
Teman-teman yang selalu mendukung
diriku sendiri yang tidak pernah lelah berjuang
vii
HUBUNGAN SELF-EFFICACY DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA ATLET TAEKWONDO REMAJA
Tifany Christanti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self-efficacy dan tingkat depresi pada atlet remaja. Subjek adalah 100 remaja dengan rentang usia 11 sampai 20 tahun yang berprofesi sebagai atlet taekwondo (55 laki-laki, 45 perempuan). Instrument penelitian ini menggunakan skala self-efficacy dan skala tingkat depresi. Skala self-efficacy terdiri dari 72 item dan skala tingkat depresi diadaptasi dari skala depresi Beck yang terdiri dari 20 item baik. Data dianalisis menggunakan program SPSS 16.0. Hasil menunjukan bahwa self-efficacy berkorelasi secara negatif dan signifikan dengan tingkat depresi (r=-0,473, p=0,000; p<0,05). Subjek dengan
self-efficacy tinggi memiliki tingkat depresi rendah. Subjek yang memiliki self-efficacy tinggi
sebanyak 66%, sehingga mereka memiliki tingkat depresi yang rendah dan tidak ada subjek yang memiliki self-efficacy rendah. Dengan demikian, disimpulkan bahwa hipotesis dari penelitian ini diterima. Tambahan, lama berlatih berkorelasi positif dan signifikan dengan self-efficacy (r=0,239,
p=0,016; p<0,05). Akan tetapi lama berlatih tidak berkorelasi secara signifikan dengan tingkat
depresi. Hasil tambahan lain juga menunjukan bahwa usia tidak berkorelasi secara signifikan dengan self-efficacy dan tingkat depresi.
viii
THE RELATION BETWEEN SELF-EFFICACY AND DEPRESSION LEVEL IN ADOLESCENT TAEKWONDO ATHLETES
Tifany Christanti
ABSTRACT
This research was purposed to found the correlation between self-efficacy and depression level inadolescent athletes. Subjects were 100 adolescent with the age range start from 11 years old untill 20 years old which has a profession as a taekwondo athlete (55 males, 45 females). The Instruments of this research were self-efficacy scale and depression level scale. Self-efficacy scale was consisted of 72 items and depression level scale was adopted from Beck’s Depression Scale, and it is consisted of 20 good items. Datas was analyzed by SPSS 16.00 program. The resultshowed that self-efficacy had a negative correlated and it is significant with depression level (r=-0,473, p=0,000; p<0,05). A subject with a high self-efficacy has a low depression level. Subject had a high self-efficacy as much as 66%, therefore they had a low depression level and there was no subject who had low self-efficacy. From the result of these analysis, it could be concluded that the hypothesis of this research was accepted. Addition, the practice duration was positively correlates and significant with self-efficacy (r=0,239, p=0,016; p<0,05). But, the
practice duration wasn’t significantly correlated with depression level. The result of the addition
also shows that the age hasn’t significant correlation between self-efficacy and depression level.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus
atas segala berkat, penyertaan, dan pendampingan selama proses pengerjaan
skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma. Penulis memohon maaf apabila
terdapat hal-hal yang kurang berkenan.
Penulisan skripsi ini tentu tidak terlepas dari dukungan, doa, bimbingan
dan bantuan dari dosen dan berbagai pihak disekitar penulis. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku dekan Fakultas Psikologi
Sanata Dharma.
2. Ibu Ratri Sunar A., S.Psi., M.Si selaku Kepala Program Studi Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Ibu Debri Pristinella, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
membimbing, mengarahkan, memberikan berbagai masukan selama proses
penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Tjipto Susana, M.Si selaku dosen pembimbing akademik kelas A
yang telah membimbing saya selama proses perkuliahan.
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah
mengajar dan memberikan ilmu selama saya menempuh perkuliahan.
6. Mas Muji yang telah bersabar mengajari saya mengenai berbagai alat tes
psikologi dan berbagi pengalaman bekerja sebagai asisten laboratorium
xi
7. Mas Doni yang telah memberikan dukungan dan berbagi pengalaman
bekerja sebagai asisten laboratorium Fakultas Psikologi Sanata Dharma
8. Seluruh staf Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma lainnya (Mas
Gandung, Mbak Nanik, Bapak Giyanto) yang telah memfasititasi,
memberikan informasi dan mendukung kalancaran studi penulis.
9. Bapak penjaga Parkir yang selalu ramah dan memberikan dukungan
10.Sabeum Budi, Sabeum Manto, Sabeum Surya, Sabeum Maklon dan
Sabeum lain yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu
11.Seluruh staf perpustakaan yang telah membantu saya selama penyusunan
skripsi
12.Seluruh subjek penelitian yang telah membantu dan melancarkan
penyusunan skripsi saya
13.Kedua orang tua saya yang selalu mendoakan, memberi dukungan, dan
bersabar untuk menunggu sampai skripsi ini selesai. Terima kasih untuk
segala kasih sayang yang sangat luar biasa.
14.Pacarku Albertus Theo Sugiarto untuk setiap doa, kesabaran, dan
dukungan. Terimakasih telah menjadi penyemangatku dan trimakasih
untuk cinta yang luar biasa di setiap harinya. Mari kita selesaikan semua
PR kita.
15.Seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan dan selalu
xii
16.Sahabat-sahabatku yang luar biasa, Ayu Lestari, Acil, Riris, Edwi, Agnes,
Pebi, Aprilia Pino dan Nick yang telah membantu dan memberikan
dukungan. Mari kita capai mimpi-mimpi kita.
17.Teman-teman Psikologi angkatan 2009 yang telah bekerja sama selama
perkuliahan dan memberi dukungan dalam proses penyusunan skripsi.
18.Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang telah
memberikan dukungan kepada saya baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KAYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 11
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Manfaat Penelitian ... 11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
A. Depresi ... 12
xiv
2. Teori-Teori Depresi ... ………. 13
3. Gejala Depresi ... ……. 17
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Depresi ... 21
5. Depresi Remaja ... ………. 25
6. Konsep BDI (Beck Depression Inventory) ... 28
B. Self-efficacy………. ... 30
1. Pengertian Self-efficacy ... ……….30
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Self-efficacy ... …31
3. Dimensi Self-efficacy ... ………. 33
4. Sumber-Sumber Self-efficacy ... ………. 35
5. Karakteristik Individu Yang Memiliki Self-efficacy Tinggi Dan Self-efficacy Rendah .. ………. 39
C. Atlet Remaja... ………. 40
1. Atlet ... ………. 41
2. Remaja ... ……. 41
3. Hakekat Taekwondo ... ………. 42
D. Dinamika Hubungan Antara Self-efficacy Dan Depresi Pada Atlet Taekwondo Remaja ... ………. 44
E. Kerangka Berpikir ... ………. 47
F. Hipotesis ... 47
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 48
A. Jenis Penelitian ... ………. 48
xv
C. Definisi Operasional ... 48
D. Subjek Penelitian ... 49
E. Instrumen Penelitian ... ………. 51
1. Skala Tingkat Depresi ... 51
2. SkalaSelf-efficacy ... 54
3. Data Tambahan ... 55
F. Pengujian Instrumen Penelitian ... ……….56
G. Validitas Dan Reliabilitas Alat Ukur ... ………. 57
1. Validitas ... 57
2. Seleksi Item ... 58
3. Reliabilitas ... 62
H. Metode Anlisis Data ... ………. 63
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 65
A. Pelaksanaan Penelitian ... 65
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 66
1. Jenis Kelamin ... 66
2. Usia ... 66
3. Lama Berlatih ... 67
C. Hasil Penelitian ... 68
1. Statistik Data Penelitian ... 68
2. Kategorisasi Subjek Penelitian ... 68
3. Uji Normalitas ... 70
xvi
5. Uji Hipotesis ... 71
6. Hasil Tambahan ... 72
a. Lama Berlatih ... 72
b. Usia... 73
D. Pembahasan ... ………. 74
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81
A. Kesimpulan ... 81
B. Saran ... 82
1. Bagi Para Atlet Taekwondo ... 82
2. Bagi Pengurus dan Pelatih Taekwondo... 82
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 82
DAFTAR PUSTAKA ... 84
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Rumus Kategorisasi Tingkat Depresi ... 29
Tabel 2. Blue Print Skala Depresi ... 51
Tabel 3. Blue Print SkalaSelf-efficacy ... 54
Tabel 4. Blue Print Skala Depresi Setelah Uji Coba ... 59
Tabel 5. Blue print skalaself-efficacysetelah uji coba ... 61
Tabel 6. Interpretasi Koefisien Korelasi ... 64
Tabel 7. Deskripsi Jenis Kelamin... 66
Tabel 8. Deskripsi Usia ... 67
Tabel 9. Lama Berlatih ... 67
Tabel 10. Statistik Data Penelitian ... 68
Tabel 11. Rumus Norma Kategorisasi ... 69
Tabel 12. Kategorisasi Skor Depresi dan Self-efficacy ... 69
Tabel 13. Kategorisasi Data Depresi danSelf-efficacy ... 69
Tabel 14. Uji Normalitas ... 70
Tabel 15. Uji Linearitas... 71
Tabel 16. Uji Hipotesis ... 72
Tabel 17. Hasil Tambahan Lama Berlatih ... 73
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1: SKALA UJI COBA... 91
LAMPIRAN 2: RELIABILITAS SKALA ... 102
LAMPIRAN 3: SKALA PENELITIAN ... 112
LAMPIRAN 4: DESKRIPSI SUBJEK ... 122
LAMPIRAN 5: UJI ASUMSI ... 124
LAMPIRAN 6: UJI HIPOTESIS ... 128
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Secara umum tingkah laku manusia dipengaruhi oleh budaya, sikap,
emosi, nilai, etika, dan genetik (Wikipedia.com). Menurut Haye (1985)
perkembangan manusia yang semakin modern akan mengakibatkan perubahan
pola pikir dan tingkah laku manusia dalam bermasyarakat. Menurutnya juga,
semakin kompleks kehidupan seseorang menyebabkan semakin kompleks pula
tekanan ketegangan dan masalah yang dihadapi. Berbagai tekanan ketegangan
dan masalah ini dapat menyebabkan seseorang mengalami depresi. Menurut Lubis
(2009) stress yang tidak dapat diatasi merupakan awal dari depresi. Stress yang
tidak dapat diatasi pada remaja antara lain karena perceraian orang tua, tidak
adanya dukungan dari orang tua, pergaulan bebas, persaingan yang semakin ketat,
masalah hubungan dengan teman sebaya, dan harapan orang tua yang terlalu
tinggi (Lubis, 2009). Ketika individu tidak dapat mengatasi stress yang
dialaminya maka akan memperburuk kondisi mental individu tersebut dan dapat
menuju pada keadaan depresi yang semakin parah.
Depresi merupakan gangguan mental yang sering dialami oleh masyarakat,
akan tetapi depresi ini sering diabaikan karena masyarakat beranggapan bahwa
depresi dapat hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan (Lubis, 2009). Selain
itu, pemerintah Indonesia lebih memperhatikan kesehatan fisik daripada kesehatan
mental, dapat dilihat dari ketersediaan rumah sakit jiwa di Indonesia saat ini yang
milik swasta. Sedangkan rumah sakit umum berjumlah 1.678 rumah sakit dan
hanya sekitar 2 persen yang memiliki layanan kesehatan jiwa (Anna, 2012).
“American Psychological Association” (APA) (2000) memberikan definisi
depresi sebagai perasaan sedih atau kosong yang disertai dengan penurunan minat
terhadap aktivitas yang menyenangkan, gangguan tidur dan pola makan,
penurunan kemampuan berkonsentrasi, perasaan bersalah yang berlebihan, dan
munculnya pikiran tentang kematian atau bunuh diri. Hetherington dan Parke
(1986) menyebutkan bahwa depresi adalah kata lain dari perasaan sedih,
kesendirian atau kemurungan. Secara klinis depresi tidak hanya berupa kesedihan
yang ekstrim atau gangguan afeksi, tetapi juga disertai dengan perubahan fungsi
kognitif atau tingkah laku.
Prawirohusodo (1993) menyebutkan bahwa 100 juta manusia mengalami
depresi setiap tahunnya. Data tersebut didukung oleh data WHO yang
menunjukkan pada tahun 2012 terdapat l2l juta orang mengalami depresi,
penderita pria sekitar 5,8% dan penderita wanita sekitar 9,5% (Kliping Berita
Kesehatan, 2012). Selain itu, data ini didukung oleh Kepala Dinas Kesehatan DKI
Jakarta Dien Emawati (dalam Kompas.com, 11 Oktober 2011) yang menyatakan
bahwa jumlah penderita gangguan jiwa ringan di Jakarta pada tahun 2010
mencapai 159.029 orang, kemudian mengalami peningkatan pada triwulan kedua
tahun 2011 hingga 306.621 orang. Ditambah lagi menurut dr Erika Sp.KJ, jumlah
penderita depresi di Poli Kesehatan Jiwa RSUD dr Soetomo Surabaya sepanjang
pertama tahun 2012 tercatat 1.145 orang yang terpantau menderita depresi
(Prastyo, 2012).
Melihat kasus depresi yang terus meningkat, penelitian yang dilakukan
oleh Retnowati (2005), menyebutkan bahwa dari 3.183 remaja di Yogyakarta
yang diteliti, 2.586 remaja mengalami gejala depresi pada kategori sedang sampai
tinggi. Data tersebut didukung oleh pendapat Prawirohardjo (1987), yang
mengungkapkan bahwa golongan muda merupakan populasi yang rentan
mengalami depresi. Neiger (Dariyo, 2004) mengidentifikasikan bahwa individu
pada usia muda antara 15-24 tahun sangat rentan untuk mengalami gangguan
depresi. Penelitian yang dilakukan oleh Radloff dan Rutter (dalam Marcotte,
2002) menemukan bahwa simtom depresi meningkat mulai dari masa
kanak‐kanak ke masa remaja, tanda meningkatnya depresi muncul antara usia 13
– 15 tahun kemudian mencapai puncaknya sekitar usia 17 – 18 tahun, dan menjadi
stabil pada usia dewasa.
Remaja rentan terhadap depresi karena masa remaja merupakan masa
transisi, yaitu peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Hurlock, 1996).
Santrock (2003) memberi definisi remaja adalah masa transisi antara masa anak
dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosi.
Selain itu, Erikson (dalam Santrock, 2003) menyebutkan bahwa remaja
merupakan masa pencarian identitas diri. Hal ini menyebabkan remaja mengalami
emosi yang tidak stabil, keinginan yang mudah berubah, kesulitan dalam
menginstropeksi diri, penuh angan-angan dan sangat sensitif (Blackman 1995).
selalu melakukan uji coba dengan berbagai macam tingkah laku. Remaja pada
umumnya mulai berpikir mengenai ciri-ciri diri ideal bagi dirinya sendiri dan
orang lain serta membandingkan diri mereka dan orang lain (Santrock, 2002).
Remaja mendapat stereotip budaya yang mengatakan bahwa mereka
adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya, sering berperilaku
merusak dan pembawaannya buruk (Astuti, 2009). Stereotip ini memberikan
tekanan pada remaja ketika menghadapi masalah karena para remaja merasa
dilecehkan oleh orang-orang yang lebih dewasa (Astuti, 2009). Menurutnya juga
stereotip ini menyebabkan remaja mengalami kegagalan dan ketidakmampuan
dalam menyelesaikan masalah sesuai dengan cara mereka sendiri, tekanan
masalah dan kesulitan dalam pemecahannya membuat remaja mengalami depresi.
Pada umumnya depresi diawali oleh stress yang tidak dapat diatasi (Lubis,
2009). Akan tetapi remaja lebih rentan mengalami depresi karena pada masa awal
perkembangannya memperoleh skema kognitif yang menilai rendah terhadap
dirinya sendiri dan tidak memiliki keyakinan mengenai masa depan (Beck, 1976;
Clark & Beck, 1989; Kovacs, 1989 dalam Santrock, 2003). Menurut beberapa
penelitian (Fritz, 1995 dalam Lubis, 2009) sekitar 5% dari remaja menderita
simtom depresi, misalnya kesedihan yang menetap, prestasi yang menurun dan
kurangnya ketertarikan pada tugas yang dahulu disukai. Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Clark & Nelson (1990) menemukan bahwa mahasiswa perempuan
yang mengalami depresi secara konsisten mengevaluasi prestasi belajar mereka
Remaja yang memiliki skema negatif terhadap diri sendiri akan sangat
mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika remaja memiliki
skema yang negatif maka seorang remaja akan kehilangan keyakinan bahwa
dirinya memiliki kemampuan untuk dapat mengorganisasikan dan memilih
tindakan yang diperlukan dalam menghadapi situasi khusus yang tidak dapat
diprediksi dan penuh tekanan (Bandura, 1997). Menurut bandura, 1997 remaja
yang kehilangan keyakinan pada dirinya sendiri untuk mampu mengorganisasikan
dan memilih tidakan dalam menghadapi situasi tertentu merupakan remaja yang
memiliki self-efficacyrendah. Hal tersebut karena self-efficacy adalah keyakinan
yang dimiliki seseorang untuk dapat menguasai suatu situasi dan mampu
memberikan hasil yang dikehendaki (Santrock, 2007).
Self-efficacy sering sekali dihubungkan dengan prestasi yang dapat dicapai
oleh seseorang. Menurut Bandura (1997) self-efficacyadalah proses kognitif yang
mempengaruhimotivasi seseorang untuk berperilaku. Seorang remaja yang
memiliki self-efficacy tinggi akan memberikan seluruh kemampuan yang dimiliki
untuk dapat mencapai sesuatu yang diinginkan, tidak mudah menyerah dan terus
berusaha sampai berhasil serta memiliki sikap yang optimis percaya diri dan
berpikiran positif. Sebaliknya, seorang dengan self-efficacy yang rendah akan
menunjukan sikap yang pesimis, tidak percaya diri dan selalu memiliki perasaan
khawatir (Bandura, 1997).
Self-efficacyakan berkembang secara terus menerus sejalan dengan
meningkatnya kemampuan dan bertambahnya pengalaman-pengalaman yang
mengungkapkan bahwa keikutsertaan seseorang di bidang olahraga akan
mengakibatkan seseorang memiliki gambaran diri yang positif dan kepercayaan
diri yang tinggi (Anthrop & Allison, 1983; Hall, Durborrow, & Progen, 1986;
Kirshmit, Richards, & Ham, 1998; Snyder & Speitzer, 1976 dalam Santrock
2003). Kepercayaan diri yang tinggi dan gambaran diri yang positif saat
menghadapi situasi-situasi yang akan datang yang tidak dapat diprediksi
merupakan komponen dari self-efficacy (Bandura, 1997).
Seorang remaja yang secara aktif mengikuti kegiatan olahraga akan
melatih kemampuannya secara rutin sehingga memiliki kepercayaan diri yang
tinggi dan gambaran diri yang positif. Hal ini juga akan mempengaruhi
self-efficacy remaja yang juga akan semakin berkembang sejalan dengan potensi yang
dimilikinya. Salah satu penelitian tentang kepercayaan diri dilakukan oleh L.
Cooper, membandingkan perbedaan kepribadian antara atlet dan non-atlet yang
hasilnya menunjukan bahwa seorang atlet terlihat lebih percaya diri daripada
seseorang yang bukan atlet (Gunarsa, 1989). Hal ini menggambarkan bahwa
seorang atlet akan memiliki self-efficacy yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan non-atlet. Kepercayaan diri merupakan komponen dari self-efficacy dan
menurut Wahyuni (2010) seseorang yang memiliki kepercayaan diri maka gejala
depresinya akan semakin rendah.
Ketika seseorang remaja melakukan olahraga, seseorang remaja akan
memilih jenis olahraga yang sesuai dengan kepribadiannya. Seseorang yang
memiliki kepribadian agresif biasanya akan memilih cabang olahraga beladiri
reaksi cepat, kemampuan menyusun taktik yang sesuai dengan keadaan,
kemandirian dan minat yang besar untuk mengambil resiko (Gunarsa, 1989).
Lelana (2006 dalam Setiawan, 2012) mengungkapkan beberapa hakekat mengenai
olahraga beladiri adalah menambah kepercayaan diri, menimbulkan kewaspadaan
yang tinggi, melatih fisik, mental dan pikiran.
Taekwondo merupakan salah satu cabang olah raga yang diharapkan bisa
membina generasi muda Indonesia menjadi pribadi yang sehat, tangguh dan
mandiri dalam menghadapi tantangan hidup di masa-masa yang akan datang
(Yulianto & Nashori, 2006). Taekwondo mengandung aspek filosofi yang
mendalam, dengan mempelajari pikiran, jiwa dan raga secara menyeluruh dan
pada akhirnya remaja yang mengikuti taekwondo diharapkan dapat mengenali
dirinya, memiliki konsep diri yang berkembang secara positif. (Setiawan,
2012).Seorang atlet taekwondo remaja juga dilatih memiliki teknik dan taktik
yang baik supaya dapat mengantisipasi situasi yang tidak dapat dipresiksi ketika
bertanding(Wimbardi, 2012). Oleh karena itu, seorang atlet taekwondo remaja
diharapkan dapat menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri dalam menghadapi
tantangan yang dialaminya. Penelitian yang dilakukan oleh Yulianto dan Nashori,
(2006) menyebutkan bahwa ada hubungan signifikan antara kepercayaan diri
dengan prestasi atlet taekwondo sehingga tidak hanya komponen teknis saja yang
dibutuhkan tetapi harus melihat sisi psikologis seperti kepercayaan diri.
Selain melihat dari sisi psikologis, kondisi fisiologis juga menjadi sumber
penting untuk keberhasilan seorang atlet pada performansinya. Kondisi fisiologis
keadaan siap untuk melakukan suatu pekerjaan, tingkat kebugaran, kelelahan, dan
rasa nyeri saat cidera (Feltz & Riessinger, 1990). Kondisi fisiologis seorang atlet
akan berpengaruh pada kondisi mental seseorang. Hasil penelitian McAuley
(2009) menunjukan bahwa aktifitas fisik seperti olahraga dapat meningkatkan
self-efficacy seseorang, selain itu juga dapat mengurangi gejala depresi. Akan
tetapi menjadi seorang atlet merupakan profesi yang tergolong berat. Hal ini
karena atlet dituntut untuk secara konsisten meningkatkan kualitas dirinya.
Kondisi ini menyebabkan seorang atlet sering mengalami kelelahan fisik dan
mental. Menurut Bunker (dalam Gunarsa, 2004) kondisi kelelahan fisik dan
mental pada atlet disebut dengan istilah “burnout”.
Thompson & Trattner (2007) melaporkan bahwa siswa atlet banyak
mengalami depresi karena tekanan untuk berpartisipasi dalam olahraga yang
terlalu berat. Beberapa penyebab seorang atlet mengalami depresi yaitu, ketika
atlet mengalami cidera, penurunan harga diri karena ketidakmampuan untuk
melakukan sesuatu dengan baik yang berhubungan dengan performasi
olahraganya, atau atlet mengalami overtrainingsyndrome atau staleness. Sindrom
ini mencangkup pelatihan yang terlalu berat yang menyebabkan penurunan fisik
(misalnya, penurunan kinerja, kelelahan, nyeri otot, penurunan berat badan,
gangguan makan, dll) dan penurunan psikologis (misalnya, depresi, kecemasan,
iritabilitas, konsentrasi menurun, dll).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukan bahwa
olahraga merupakan salah satu cara untuk mengurangi depresi. Hal ini juga
Cochrane Library, olahraga bisa mengurangi gejala depresi pada orang-orang
yang mengalaminya. Selain itu, olahraga juga dapat meningkatkan self-efficacy
seseorang remaja. Self-efficacy ini sangat berpengaruh pada keyakinan remaja
untuk mampu melakukan suatu hal dengan baik. Seperti yang diungkapkan oleh
Lelana (2006 dalam Setiawan, 2012) mengenai hakekat olahraga beladiri adalah
menambah kepercayaan diri, menimbulkan kewaspadaan yang tinggi, melatih
fisik, mental dan pikiran. Sedangkan olahraga taekwondo sendiri mempelajari
pikiran, jiwa dan raga secara menyeluruh dan pada akhirnya remaja yang
mengikuti taekwondo diharapkan dapat mengenali dirinya, memiliki konsep diri
yang berkembang secara positif. Dengan demikian, seharusnya seorang
remajayang menjadi atlet taekwondo tidak memiliki gejala depresi, namun
penelitian lainnya menunjukan bahwa seseorang remaja yang memutuskan untuk
fokus menjadi atlet suatu cabang olahraga akan menghadapi beberapa tuntutan
yang berbeda dengan orang kebanyakan untuk mempertahankan
prestasinya.Seorang atlet remaja dapat mengalami cidera, kelelahan fisik dan
merasa tidak mampu melakukan performasi dengan baik. Dengan demikian,
meskipun seorang atlet remaja tersebut memiliki self-efficacy yang sama seperti
orang-orang umum, namun tuntutannya tidaklah sama. Hal-hal tersebut
menyebabkan seorang atlet remaja mengalami tekanan yang dapat menuju pada
depresi. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin melihat hubungan
self-efficacy dengan depresi secara spesifik pada atlet.
Penelitian ini ingin mengetahui hubungan self-efficacy dengan tingkat
merupakan salah satu olahraga yang sedang berkembang di Indonesia.
Perkembangan taekwondo terlihat dari prestasi yang telah diraih oleh atlet
nasional taekwondo di tingkat dunia (Bramantoro, 2012). Selain itu, taekwondo
juga mempelajari pikiran, jiwa, dan raga secara menyeluruh sehingga seorang
atlet taekwondo remaja dapat mengenali dirinya sendiri dan memiliki konsep diri
yang positif (Setiawan, 2012). Penelitian ini dirasa penting untuk dilakukan
karena ketika seseorang atlet taekwondo memiliki tingkat depresi yang tinggi
maka akan berpengaruh pada performasi ketika bertanding dan berpengaruh pada
prestasi kejuaraan yang diraihnya. Selain itu, mengingat prediksi WHO yang
berpendapat bahwa pada tahun 2020, di negara-negara berkembang, depresi akan
menjadi salah satu penyakit mental yang banyak dialami dan depresi berat akan
menjadi penyebab kematian kedua terbesar setelah serangan jantung (Lubis,
2009), maka penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mencegah dan
mengurangi kasus depresi secara umum pada masyarakat dan secara khusus pada
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara
self-efficacy dan tingkat depresi pada remaja yang berprofesi sebagai atlet
taekwondo?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara
self-efficacy dan tingkat depresi pada remaja yang berprofesi sebagai atlet taekwondo.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoristis: Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian
pengetahuan ilmu psikologi klinis dan psikologi perkembangan mengenai
self-efficacy dan depresi pada umumnya dan self-efficacy dan depresi pada atlet remaja
taekwondo pada khususnya.
2. Manfaat Praktis : Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada pengelola pusat pelatihan dan lembaga-lembaga olahraga taekwondo
mengenai kondisi psikologis para atlet khususnya berkaitan dengan gambaran
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEPRESI
1. PENGERTIAN DEPRESI
Depresi merupakan sebuah kondisi emosional yang sering kali ditandai
oleh kesedihan yang sangat mendalam, perasaan tidak berarti, perasaan
bersalah, menarik diri dari lingkungan sekitar, sulit tidur, kehilangan nafsu
makan, dan tidak berminat melakukan aktivitas yang biasanya disukai
(Davison, Neale & Kring, 2006). Menurut Atkinson (1991) depresi diartikan
sebagai gangguan mood yang dicirikan tidak ada harapan, ketidakberdayaan
yang berlebihan, tidak mampu mengambil keputusan untuk memulai suatu
kegiatan, tidak mampu berkonsentrasi, tidak punya semangat hidup, selalu
tegang dan mencoba untuk bunuh diri. Rathus (dalam Lubis, 2009)
menyatakan orang yang mengalami depresi umumnya mengalami gangguan
yang meliputi keadaan emosi, motivasi, fungsional, dan gerakan tingkah laku
serta kognisi. Depresi mayor (major depression) adalah suatu gangguan
suasana hati (a mood disorder) dimana individu merasa sangat tidak bahagia,
kehilangan semangat (demoralized), merasa terhina (seft-deragatory), dan
bosan (Santrock, 2002).
Dalam penelitian ini, pengertian depresi mengacu pada definisi Beck.
Beck (1985) mendefinisikan depresi berdasarkan pada tiga komponen.
Komponen pertama adalah diri, yaitu memandang diri sendiri secara negatif,
menyenangkan dengan kekurangan pada diri sendiri. Komponen kedua adalah
dunia, yaitu menafsirkan pengalaman dan interakasi pada lingkungan dengan
cara yang negatif. Komponen ketiga adalah masa depan, yaitu memandang
masa depan dengan cara negatif, berpikir bahwa kesulitan dan penderitaaan
akan berlanjut. Beck (1985) membatasi depresi dengan lima tanda-tanda
berikut ini:
a. Perubahan suasana hati yang spesifik, seperti kesepian, kesedihan dan
apati
b. Konsep diri yang negatif disertai dengan kecenderungan untuk mencela
dan menyalahkan diri sendiri.
c. Keinginan untuk menghukum diri sendiri, seperti keinginan untuk
menghindar, bersembunyi, dan keinginan untuk bunuh diri.
d. Perubahan-perubahan vegetative seperti tidak ada nafsu makan, tidak
dapat tidur, dan kehilangan minat seksual.
e. Penurunan tingkat aktivitas seperti menurunnya aktifitas motorik ataupun
mudah lelah.
2. TEORI-TEORI DEPRESI
a. Teori Psikoanalisis
Pendekatan psikoanalisis dari Freud menyebutkan bahwa depresi
disebabkan oleh kebutuhan oral pada masa kanak-kanak yang kurang
terpuaskan atau kebutuhan oral pada masa kanak-kanak yang terpuaskan
secara berlebihan. Oleh karena itu, anak akan mengalami ketergantungan
kehilangan seseorang yang sangat berarti untuk dirinya, akan muncul
reaksi yang kompleks, seperti rasa sedih yang berlarut-larut, perasaan
marah, dendam, membenci diri sendiri, muncul keinginan untuk
menghukum atau menyalahkan diri sendiri sehingga ia akan merasakan
tertekan dan depresi. Depresi akan berkembang jika individu tidak
mampu menerima perasaan marah terhadap figur yang ia butuhkan
sehingga kemarahan dan kebencian diarahkan pada diri sendiri dan
akhirnya mengalami depresi (King, 2010).
b. Teori Perilaku atau Behavioral
Teori behavioral memandang depresi sebagai akibat dari kurangnya
penghargaan (rewards) dan lebih banyak menerima hukuman
(punishment). Para Behavioris mengatakan bahwa reinforcement negatif
merupakan penyebab awal dari depresi yang mengakibatkan hilangnya
self-esteem. Skinner mengatakan bahwa individu akan mengulangi suatu
perilaku jika mendapatkan hasil yang diinginkan, namun jika hasil yang
didapatkan berakibat negatif atau tidak menyenangkan maka individu
akan menghentikan perilaku tersebut.
Martin Seligman, 1975 dengan teori Learned Helplessness
mengungkapkan bahwa penyebab depresi adalah adanya suatu perasaan
tidak berdaya yang dipelajari. Individu belajar untuk merasa tidak
berdaya dalam mengendalikan situasi-situasi yang menekan. Hal ini
terjadi akibat dari kegagalannya mengatasi masalah-masalah sebelumnya
mengakibatkan terjadinya penurunan motivasi, kognitif, dan emosional.
Pada aspek motivasi, orang yang tidak berdaya tidak mau melakukan
usaha apapun untuk mengubah hasil atau keadaan. Dari aspek kognitif,
orang yang tidak berdaya mengalami kegagalan untuk belajar
repon-respon baru yang dapat membantunya terhindar dari situasi yang
menekan. Sedangkan dari aspek emosional, perasaan tidak berdaya yang
dipelajari tersebut mengakibatkan depresi ringan, sedang dan berat. Pakar
behavioris percaya bahwa beberapa individu mengalami depresi karena
pada masa kanak-kanak mereka terlalu dilindungi sehingga setelah
dewasa, tekanan dan stressor yang diterima terlalu sulit untuk diatasi.
c. Teori Stres
Teori stress mencoba menjelaskan depresi berdasarkan pendapat
bahwa depresi/ gangguan mood merupakan respon dari stress. Menurut
Campbell dan Kub (dalam Lubis, 2009) stressor sehari-hari merupakan
prediktor yang paling kuat terhadap depresi daripada kekerasan sewaktu
kecil. Hal ini disebabkan karena stres yang dialami sehari-hari dapat
membebani dan melemahkan daya tahan tubuh terhadap tekanan. Ketika
seseorang tidak dapat mengatasi stress yang dialaminya maka depresi
akan muncul.
d. Teori Kognitif
Menurut Beck (1985) depresi merupakan akibat dari cara berfikir
seseorang yang salah sehingga muncul pandangan negatif tehadap hal-hal
Diri sendiri, beranggapan bahwa dirinya tidak berharga, serba
kekurangan, dan cenderung memberikan atribut pengalaman
yang tidak menyenangkan pada diri sendiri.
Dunia, beranggapan bahwa dunia penuh dengan
tuntutan-tuntutan di luar batas kemampuan dan banyak halangan yang
merintangi pencapaian tujuan.
Masa depan, beranggapan bahwa kesulitan-kesulitan dan
penderitaan-penderitaannya saat ini akan berlanjut di masa
depan sehingga masa depannya akan penuh kesukaran,
frustasi, dan merasa penuh kekurangan.
Menurut Beck, kesalahan berpikir mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
Arbitrary Inference: proses penarikan kesimpulan terhadap
suatu situasi, kejadian, pengalaman tanpa didukung
bukti-bukti.
Selective Abstraction: pemusatan pada detail-detail yang ada di
luar konteks, dengan tidak mempedulikan aspek-aspek lain
yang ada di dalam konteks.
Overgeneralization: penarikan kesimpulan berdasarkan satu
kejadian dan menerapkan konsep tersebut pada semua hal.
Magnification and Minimization: kesalahan besar dalam
Personalization: kecenderungan menghubung-hubungkan
peristiwa diluar dirinya dengan dirinya sendiri, tanpa
dasar-dasar yang memungkinkan.
Karakteristik tersebut menggambarkan pandangan negatif seseorang
terhadap dirinya. Pandangan negatif ini membentuk konsep dan skema
negatif yang mempengaruhi interpretasi seseorang terhadap pengalaman
berikutnya. Konsep dan skema negatif ini akan mengarahkan seseorang
pada depresi.
3. GEJALA DEPRESI
Gejala depresi merupakan kumpulan perilaku dan perasaan yang secara
spesifik dapat dikelompokan sebagai depresi. Akan tetapi gajala depresi satu
individu berbeda dengan individu lainnya. Lubis (2009) membagi gejala
depresi menjadi tiga bagian sebagai berikut :
a. Gejala fisik : gangguan pola tidur; menurunnya tingkat aktivitas;
menurunnya efisiensi kerja (individu sulit memfokuskan energy pada
hal-hal prioritas); menurunnya produktivitas kerja (seseorang yang
mengalami depresi akan kehilangan minat dan motivasi kerjanya
sehingga keharusannya untuk tetap berkatifitas membuatnya semakin
kehilangan energi karena energy yang ada sudah dipakai untuk
mempertahankan diri agar dapat berfungsi seperti biasa); dan mudah
merasa letih dan sakit (individu yang menyimpan perasaan
nergatif/depresi akan membuat letih karena membebani pikiran dan
b. Gejala Psikis : kehilangan rasa percaya diri (orang yang mengalami
depresi cenderung memandang segala sesuatu secara negatif dan
memandang orang lain jauh lebih baik daripada dirinya); sensitive (orang
yang mengalami depresi sering mengaitkan suatu peristiwa dengan
dirinya dan menyalahartikan suatu peristiwa yang sebenarnya netral,
akhirnya mereka mudah tersinggung, mudah marah, perasa, curiga,
mudah sedih, murung, lebih suka menyendiri); merasa diri tidak berguna
(merasa gagal pada bidang atau lingkungan yang seharusnya dikuasai);
perasaan bersalah (memandang sebuah peristiwa yang menimpa dirinya
sebagai suatu hukuman dari kegagalan mereka melakukan tanggung
jawab yang seharusnya dikerjakan); perasaan terbebani (merasa terbebani
oleh tanggung jawab yang berat).
c. Gejala Sosial : masalah sosial yang biasanya terjadi adalah masalah
interaksi dengan rekan kerja, atasan, atau bawahan, seperti konflik,
perasaan minder, malu, cemas jika berada di antara kelompok dan tidak
nyaman untuk berkomunikasi secara normal; merasa tidak mampu
menjalin hubungan dan bersikap terbuka terhadap lingkungan.
Selain itu, Beck (1967) dalam Lubis (2009) membuat empat
kategori simtom atau gejala depresi, yaitu: simtom-simtom emosional,
a. Simtom-Simtom Emosional
Simtom emosional merupakan perubahan perasaan atau tingkah
laku akibat dari keadaan emosi. Beck menyebutkan manifestasi emosional
meliputi:
1. Penurunan mood yang meliputi perasaan sedih atau kelabu
2. Perasaan-perasaan negatif terhadap diri sendiri misalnya “saya tidak
berharga, saya tidak berdaya, saya lemah”
3. Hilangnya kepuasaan terhadap aktivitas yang dilakukan, pada mulanya
terbatas pada aktivitas tertentu namun kemudian meluas pada aktivitas
yang berkaitan dengan kebutuhan biologis, seperti makan, minum, dan
hubungan seks. Kegiatan yang menyangkut tugas dan tanggung jawab
menjadi kurang memuaskan.
4. Hilangnya emosi kasih sayang, berkaitan dengan interaksi dengan orang
lain. Menipisnya intensitas afeksi dan cinta kemudian bergerak ke
perasaan acuh tak acuh sampai apatis.
5. Mudah menangis, pada tahap yang lebih parah individu tidak dapat lagi
menangis meskipun ia ingin menangis.
6. Hilangnya kemampuan menangkap informasi yang berisikan humor,
lelucon tidak lagi menjadi sumber kepuasan, semua cenderung dilihat
secara serius, bahkan menimbulkan perasaan tersinggung.
b. Simtom-Simtom Kognitif
Beck (1967) dalam (Lubis, 2009) menyebutkan manifestasi
1. Penilaian diri sendiri yang rendah terhadap kemampuan intelegensi,
penampilan, kesehatan, daya tarik, popularitas, dan penghasilannya.
2. Harapan-harapan negatif, yaitu mengharapkan hal-hal yang terburuk dan
menolak adanya perbaikan atau perubahan menuju hal yang lebih baik.
3. Menyalahkan dan mengkritik diri sendiri berkaitan dengan anggapan
bahwa segala sesuatu peristiwa buruk atau kemalangan terjadi karena
kekurangan yang ada pada dirinya, bahkan menyalahkan diri sendiri atas
kejadian-kejadian yang tidak ada kaitannya dengan dirinya.
4. Kesulitan mengambil keputusan, keraguan diantara beberapa alternatif
yang ada, serta berubah-ubahnya keputusan.
5. Distorsi gambaran tubuh yaitu beranggapan bahwa dirinya tidak
menarik dan adanya perubahan pada penampilan fisik yang menimbulkan
kekhawatiran.
c. Simtom-Simtom Motivasional
Simtom motivasional merupakan hal yang paling menonjol pada
penderita depresi. Simtom motivasional meliputi:
1. Hilangnya kemauan dan motivasi untuk menjalankan aktivitas-aktivitas
yang paling mendasar seperti makan, minum, dan buang air
2. Keinginan untuk menyimpang dari pola hidup sehari-hari, keinginan
menghindar dari tugas-tugas sehari-hari, cenderung menunda kegiatan
yang tidak memberi kepuasan segera, lebih sering melamun daripada
3. Keinginan untuk melakukan bunuh diri yang muncul berulangkali pada
pikiran penderita depresi.
4. Peningkatan dependensi, yaitu keinginan untuk memperoleh
pertolongan, petunjuk, pengarahan. Individu yang dependen akan meminta
bantuan orang lain sebelum mengerjakan sendiri. Pada tingkat yang lebih
parah, individu dependen ingin orang lain melakukan semua hal untuk
dirinya tanpa ia bersusah payah.
d. Simtom-Simton Fisik
Beck (1967) menyebutkan simtom fisik tersebut meliputi:
1. Kehilangan nafsu makan
2. Gangguan tidur
3. Mudah lelah
4. Kehilangan libido
Berdasarkan penjelasan diatas, penelitian ini berfokus pada simtom
depresi yang dikemukakan oleh Beck. Hal ini karena simtom depresi menurut
Beck sudah dapat menggambarkan keadaan depresi individu dengan
mencakup simtom emosional, kognitif, motivasional dan fisik.
4. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DEPRESI
Menurut Lubis (2009) depresi disebabkan oleh ketidakseimbangan
biologis dan psikologis. Beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya
depresi atau meningkatkan resiko seseorang terkena depresi:
1) Genetik: Seseorang yang dalam keluarganya menderita depresi
berat memiliki resiko yang lebih besar daripada masyarakat pada
umumnya. Hal ini berkaitan dengan gen (faktor keturunan) yang
ada dalam tubuh manusia. Belum ada penelitian yang menunjukan
bahwa faktor keturunan merupakan penyebab munculnya depresi,
tetapi merupakan faktor resiko yang menjadi salah satu penyebab
munculnya depresi. Seseorang tidak akan menderita depresi hanya
karena ayah, ibu, atau saudara menderita depresi, tetapi resiko
terkena depresi akan meningkat. Faktor resiko terbesar adalah pada
kembar identik yang terkena depresi.
2) Usia: Bebagai penelitian mengungkapkan bahwa remaja dan
anak-anak banyak yang terkena depresi. Survei masyarakat terakhir
melaporkan bahwa prevalensi yang tinggi dari gejala-gejala depresi
pada golongan usia 18-44 tahun (Wilkinson, 1995 dalam Lubis,
2009)
3) Jenis Kelamin: Wanita dua kali lebih sering terdiagnosis menderita
depresi daripada pria. Hal ini karena wanita lebih terbuka mengakui
adanya depresi daripada pria. Selain itu, wanita mengalami
perubahan hormonal dalam siklus menstruasi yang berhubungan
dengan kehamilan, kelahiran, menopause yang membuat wanita
lebih rentan menjadi depresi.
4) Gaya Hidup: Tingginya tingkat stress dan kecemasan kemudian
tidak teratur serta tidak berolahraga dalam jangka waktu yang lama
dapat menjadi faktor beberapa orang mengalami depresi.
b. Faktor Psikologis
1) Kepribadian: Aspek kepribadian mempengaruhi tinggi rendahnya
depresi yang dialami seseorang serta kerentanannya terhadap
depresi. Individu yang mempunyai konsep diri dan pola pikir yang
negatif, pesimis, serta memiliki tipe kepribadian introvert
merupakan individu yang lebih rentan terhadap depresi. Menurut
Gordon Parker (dalam Lubis, 2009) mengungkapkan beberapa
kepribadian yang memiliki resiko depresi yaitu seseorang yang
mudah cemas atau mudah terpengaruh, seseorang yang pemalu
atau minder, seseorang yang suka mengkritik diri sendiri,
seseorang yang hipersensitif, seseorang yang perfersionis,
seseorang yang memusatkan perhatian pada diri sendiri.
2) Pola Pikir: Menurut Aaron Beck (dalam Lubis, 2009), seseorang
yang rentan terhadap depresi berfokus pada kegagalan dan
memandang negatif terhadap diri sendiri.
3) Harga Diri (Self-Esteem): Harga diri adalah bagaimana seseorang
menilai, menghargai, atau menyukai dirinya sendiri. Harga diri
merupakan objek dari kesadaran diri dan merupakan penentu
perilaku. Indvidu yang memiliki harga diri rendah akan mudah
putus asa, mengalami kecemasan, tidak bahagia, tidak percaya diri.
atau selalu merasa dibenci, selalu merasa gagal, tidak dapat
menerima kelemahan/ kekurangan dirinya, sangat peka terhadap
kritik, mudah tersinggung, cenderung menarik diri dari lingkungan.
4) Stress: Menurut Dr. Peter Tyler (dalam Lubis, 2009) stress adalah
perasaan tidak enak yang disebabkan oleh masalah-masalah diluar
kendali kita, atau reaksi jiwa dan raga terhadap perubahan. Stres
merupakan bentuk interaksi antara individu dengan lingkungannya,
yang dinilai individu sebagai suatu tuntutan lingkungan yang
membebani atau melampaui kemampuan yang dimilikinya (Lubis,
2009). Stres akan muncul apabila individu merasakan
ketidakseimbangan antara kemampuan diri dengan tututan
lingkungannya. Individu yang tidak dapat mengendalikan keadaan
emosinya akan mudah mengalami stres, individu menjadi mudah
marah, cepat tersinggung, sulit berkonsentrasi, sulit mengambil
keputusan, selalu merasa cemas atau takut dan cepat bingung
(Lubis, 2009). Depresi biasanya terjadi saat individu merasakan
stress yang tidak dapat diatasi (Lubis, 2009). Menurut Beck (dalam
Lubis, 2009) kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan stress yang
spesifik antara lain: situasi yang menurunkan harga diri (kegagalan
dalam studi, mendapat PHK), situasi yang menghambat tujuan
penting atau dilemma yang harus dipecahkan (berkaitan dengan
hambatan yang tidak dapat dilalui), penyakit atau gangguan fisik
Berdasarkan penjelasan diatas, dalam penelitian ini faktor-faktor yang
mempengaruhi depresi dibatasi pada faktor psikologis yang berkaitan dengan
kepribadian, pola pikir, harga diri, dan stress. Kepribadian individu dengan
konsep diri negatif dan pola pikir yang berfokus pada kegagalan akan
mempengaruhi kerentanan individu terhadap depresi. Hal ini juga akan
berpengaruhi pada harga diri individu dalam menilai kemampuan dirinya
sendiri. Selain itu, stress juga merupakan faktor yang mempengaruhi depresi
karena stress disebabkan oleh banyaknya tuntutan yang diterima individu
yang dirasa melampaui batas kemampuannya. Dengan demikian jika individu
memiliki konsep diri dan pola pikir negatif maka individu cenderung akan
kehilangan kepercayaan pada dirinya bahwa dirinya mampu mengatasi situasi
dan menggunakan kemampuannya untuk mencapai segala tujuan hidupnya.
5. DEPRESI REMAJA
Beck (1985) mendefinisikan depresi berdasarkan pada tiga komponen.
Komponen pertama adalah diri, yaitu memandang diri sendiri secara negatif,
merasa tidak berharga, dan mencari hubungan pada pengalaman yang tidak
menyenangkan dengan kekurangan pada diri sendiri. Komponen kedua adalah
dunia, yaitu menafsirkan pengalaman dan interakasi pada lingkungan dengan
cara yang negatif. Komponen ketiga adalah masa depan, yaitu memandang
masa depan dengan cara negatif, berpikir bahwa kesulitan dan penderitaaan
akan berlanjut. Depresi pada remaja sebagian besar tidak terdiagnosis karena
pada masa remaja adalah masa kekalutan emosi, emosi yang tidak stabil,
Masa remaja adalah masa pemberontakan dan percobaan tingkah laku.
Perilaku remaja umumnya ditandai dengan mood yang naik turun, mood ini
juga berubah tiap hari. Perubahan mood ini merupakan hal yang wajar
dialami remaja karena merupakan proses kedewasaan. Meskipun hal ini
merupakan hal yang wajar dialami oleh remaja namun hal tersebut menjadi
tidak normal jika berlarut-larut dengan kekacauan emosi yang luar biasa.
Depresi juga bisa timbul akibat kejadian yang tidak menyenangkan, misalnya
kematian dari anggota keluarga atau teman dan kegagalan di sekolah. Remaja
lebih rentan terkena depresi karena pada masa awal perkembangannya
memperoleh skema kognitif yang menilai rendah terhadap dirinya sendiri dan
tidak memiliki keyakinan mengenai masa depan. Remaja yang lebih rentan
terkena depresi adalah remaja yang memiliki tingkat kepercayaan diri yang
rendah, selalu tidak puas dengan diri sendiri, atau merasa tidak berdaya ketika
suatu kejadian buruk terjadi. Simtom-simtom depresi yang biasanya dialami
oleh remaja adalah sebagai berikut:
* Mudah tersinggung.
* Mudah marah.
* Hilangnya minat melakukan sesuatu.
* Berkurangnya kesenangan melakukan aktivitas sehari-hari.
* Perubahan nafsu makan, (biasanya kehilangan nafsu makan namun
kadang nafsu makan meningkat).
* Perubahan berat badan (penambahan atau pengurangan berat yang tidak
* Kesulitan tidur (insomnia).
* Mengantuk di siang hari.
* Kelelahan.
* Kesulitan untuk berkonsentrasi.
Prevalensi penderita depresi pada usia remaja menunjukan peningkatan
yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan usia kanak-kanak dan usia
dewasa. Penelitian yang dilakukan oleh Radloff dan Rutter pada remaja
(dalam Marcotte, 2002) menemukan bahwa simtom depresi meningkat mulai
dari masa kanak‐kanak ke masa remaja, tanda meningkatnya depresi muncul antara usia 13 – 15 tahun dan mencapai puncaknya sekitar usia 17 – 18 tahun,
kemudian menjadi stabil pada usia dewasa. Neiger (Dariyo, 2004)
menyatakan bahwa usia muda sekitar 15-24 tahun merupakan usia yang
sangat rentan untuk mengalami gangguan depresi. Survei yang dilakukan oleh
Avenoli dan Steinberg (Steinberg, 2002) kira-kira 25% remaja merasakan
munculnya depresi dan 3% masuk kategori depresi klinis. Petersen dkk
(Santrock, 2003) mengadakan penelitian pada sampel nonklinis, ditemukan
7% remaja mengalami depresi klinis, sedangkan penelitian dengan sampel
klinis ditemukan 45% remaja yang mengalami depresi klinis.
DSM IV-TR (APA, 2000) secara umum, gejala depresi adalah sebagai
berikut: (a) Perubahan pada mood, (b) Perubahan dalam motivasi, (c)
Perubahan pada kognitif, (d) Perubahan pada fisik dan psikomotorik.
Akantetapi pada masa remaja, depresi yang dialami sebagian besar tidak
introspeksi yang berlebihan, kisah yang besar, dan sensitivitas yang tinggi.
Pada masa perkembangannya remaja mengalami perubahan mood yang naik
turun namun perubahan mood menjadi tidak wajar jika berlarut-larut yang
ditandai dengan kekacauan emosi yang luar biasa. Depresi juga bisa timbul
akibat dari peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan. Remaja yang lebih
rentan terkena depresi adalah remaja yang tidak memiliki kepercayaan diri,
selalu tidak puas dengan diri sendiri, atau merasa tidak berdaya ketika suatu
kejadian buruk terjadi. Pravelensi penderita depresi pada remaja menunjukan
peningkatan yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan usia kanak-kanak
dan dewasa.
6. KONSEP BDI (BECK DEPRESSION INVENTORY)
BDI (Beck Depression Inventory) disusun oleh Beck bersama dengan
WARD, Mock Mendelson dan Erbaugh (Beck, 1985). BDI pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1961 dan merupakan alat untuk mengukur tingkat
keparahan simtom-simtom emosional, kognitif, motivasional, dan fisik.BDI
terdiri dari 21 butir pertanyaan untuk mengungkap 21 simtom depresi. Setiap
butir pernyataan memiliki bobot nilai 0, 1, 2 dan 3 yang bergerak dari nol
(tidak ada simtom depresi) sampai tiga (ada simtom depresi yang parah).
Namun terdapat skor paralel, misalnya: 1a dan 1b, 2a dan 2b, 3a dan 3b. Pada
item ini memiliki skor yang sama.
Menurut Beck (1985) BDI merupakan alat ukur depresi yang dikerjakan
sendiri oleh klien atau subjek penelitian (self report). Subjek diperbolehkan
namun skor dipilih dari nilai yang tertinggi dengan urutan sebagai berikut: 3;
2; 1; 0. Skor akhir diperoleh dengan menjumlahkan skor pada setiap butir
secara keseluruhan. Nilai tertinggi pada masing-masing pernyataan memiliki
skor tiga, maka jumlah total skor tertinggi adalah enam puluh tiga. Nilai
terendah bagi masing-masing pernyataan memiliki skor nol, maka nilai total
terendah adalah nol. Kemudian untuk mengkategorikan tingkat depresi
subjek, peneliti manggunakan kategorisasi berdasarkan perhitungan rata-rata
dan standar deviasi seperti tertera dalam tabel 1.
Tabel 1. Rumus Kategorisasi Tingkat Depresi
Skor Kategori Keterangan
X < (μ - 1,0 σ)
(μ - 1,0 σ) ≤X < (μ + 1,0 σ) (μ + 1,0 σ) ≤X
Rendah
Sedang
Tinggi
μ = Mean Teoritik
B. SELF-EFFICACY
1. PENGERTIAN SELF-EFFICACY
Self-efficacy merupakan penilaian seseorang terhadap kemampuan dirinya
untuk menyusun tidakan yang dibutuhkan dalam menyelesaikan tugas-tugas
yang dihadapi (Bandura, 1986). Efikasi sendiri adalah sebuah penilaian diri,
apakah dapat melakukan tindakan dengan baik atau buruk, tepat atau salah,
bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang diperintahkan. Efikasi
ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita) karena cita-cita menggambarkan
sesuatu yang ideal yang seharusnya dicapai, sedangkan effikasi
menggambarkan penilaian terhadap kemampuan diri (Alwisol, 2009).
Selain itu, self-efficacy juga didefinisikan sebagai keyakinan seseorang
terhadap kemampuannya untuk mengerahkan motivasi, sumber daya kognitif
dan tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas dengan berhasil
(Avey, Luthans & Jensen, 2009). Menurut Schunk (dalam Komandyahrini &
Hawadi, 2008) self-efficacy sangat berperan penting dalam mempengaruhi
usaha yang dilakukan, seberapa kuat usaha yang dilakukan, dan
memprediksikan keberhasilan yang akan dicapai.
Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah
keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya untuk menyelesaikan tugas
dengan mengatur dan memusatkan tidakan yang diperlukan sehingga dapat
2. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SELF-EFFICACY
Bandura (1997) menyebutkan bahwa tinggi rendahnya self-efficacy
seseorang dalam tiap tugas sangat bervariasi. Hal ini terjadi karena ada
beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang terhadap kemampuan
dirinya. Faktor-faktor tersebut antara lain:
Jenis kelamin
Terdapat perbedaan kemampuan antara laki-laki dan perempuan.
Ketika laki-laki berusaha untuk membanggakan dirinya, perempuan
sering kali meremehkan kemampuannya. Hal ini terjadi karena
terdapat stereotype bahwa perempuan lebih sulit menangkap materi
belajar daripada laki-laki, walaupun prestasi yang mereka dapatkan
tidak jauh berbeda. Semakin seorang wanita menerima stereotype ini
maka semakin rendah penilaian mereka terhadap kemampuan dirinya.
Pada kenyataannya, dalam beberapa hal tertentu pria memiliki
self-efficacy yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita, begitu pula
sebaliknya dalam beberapa hal wanita memiliki self-efficacy yang
lebih tinggi daripada pria.
Usia
Self-efficacy tumbuh melalui proses belajar sosial yang
berlangsung selama masa kehidupan. Individu yang lebih tua
cenderung memiliki pengalaman yang lebih banyak daripada individu
mengatasi berbagai rintangan dalam hidupnya jika dibandingkan
individu yang lebih muda.
Tingkat pendidikan
Self-efficacy tumbuh melaui proses belajar yang diterima individu
dalam pendidikan formal dan non formal. Individu yang memiliki
tingkat pendidikan tinggi biasanya memiliki self-efficacy yang lebih
tinggi karena mereka lebih banyak mendapatkan kesempatan belajar
dan memperdalam kemampuannya.
Pengalaman
Self-efficacy tumbuh melalui proses belajar yang dapat diterima
individu dalam suatu organisasi dimana individu bergabung. Semakin
lama seseorang bergabung dalam sebuah organisasi maka self-efficacy
yang dimilikinya akan semakin tinggi. Akan tetapi tidak menutup
kemungkinan self-efficacy tersebut justru menurun atau tetap karena
self-efficacy sangat tergantung pada kemampuan individu untuk
menghadapi keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya selama
berada di organisasi. Hal ini terjadi karena self-efficacy terbentuk
melalui proses adaptasi dan pembelajaran yang ada dalam organisasi
tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy ada 4 faktor, pertama
adalah jenis kelamin, dimana terdapat perbedaan persepsi kemampuan antara
laki-laki dan perempuam. Kedua adalah usia, individu yang lebih tua
yang lebih muda. Ketiga adalah tingkat pendidikan, individu yang memiliki
tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung memiliki self-efficacy yang tinggi
jika dibandingkan individu dengan tingkat pendidikan yang rendah. Faktor
terakhir adalah pengalaman, self-efficacy sangat dipengaruhi oleh banyaknya
pengalaman individu dalam suatu bidang, semakin banyak pengalaman
semakin tinggi self-efficacy yang dimiliki akantetapi dapat pula menurunkan
self-efficacy, hal ini tergantung pada kemampuan individu untuk
mempersepsikan keberhasilan dan kegagalan yang dialami.
3. DIMENSI SELF-EFFICACY
Dimensi self-efficacy oleh Bandura (1997) dibagi menjadi tiga dimensi.
Dimensi tersebut antara lain:
a) Level
Level berkaitan dengan tingkat kesulitan suatu tugas dimana individu
merasa mampu atau tidak melakukan tugas tersebut. Penerimaan dan
kenyakinan seseorang berbeda-beda terhadap suatu tugas, seseorang dapat
memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu melaksanakan tugas yang mudah,
menengah atau sulit. Persepsi seseorang mengenai suatu tugas pun akan
berbeda, misalnya, ada orang yang menganggap tugas itu sulit namun orang
lain menganggap itu mudah. Sulit atau mudah suatu tugas tergantung pada
seberapa banyak rintangan yang dihadapi. Jika tidak ada hambatan dalam
melaksanakan tugas maka tugas tersebut menjadi mudah dilakukan. Akan
tetapi, individu yang memiliki self-efficacy tinggi akan melakukan usaha lebih
dalam Schunk, 2012). Kesuksesan kinerja seseorang dalam menghadapi tugas
yang sulit akan meningkatkan self-efficacy (Feist & Feist, 2008).
b) Generality
Generality berkaitan dengan keyakinan individu akan kemampuannya
melaksanakan tugas di berbagai aktivitas. Sejauh mana individu yakin pada
kemampuannya dalam menghadapi berbagai situasi dan tugas, mulai dari
situasi tugas yang biasa dilakukan atau situasi tugas yang tidak pernah
dilakukan hingga pada situasi atau tugas yang sulit dan bervariasi. Generality
ini juga merupakan perasaan seseorang mengenai kemampuannya yang
ditunjukan melalui tingkah laku, kognitif dan afeksinya pada situasi atau tugas
yang berbeda-beda. Individu mungkin yakin akan kemampuannya pada
banyak bidang atau hanya pada beberapa bidang tertentu saja, misalnya
seorang mahasiswa yakin akan kemampuannya pada mata kuliah bahasa
inggris namun ia tidak yakin akan kemampuannya pada mata kuliah statistik.
c) Strength
Strength berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau
pengharapan individu mengenai kemampuannya. Seberapa kuat keyakinan
seseorang mengenai kemampuan yang dimilikinya. Hal ini akan terlihat pada
ketahanan seseorang dalam mengerjakan tugas. Seseorang yang memiiki
keyakinan yang kuat akan menyelesaikan tugasnya meskipun menghadapi
banyak kesulitan. Pengalaman akan berpengaruh pada self-efficacy yang
individu juga menjadi lemah, begitu pula sebaliknya pengalaman yang kuat
akan memperkuat keyakinan yang dimiliki individu.
Dapat disimpulkan bahwa, dimensi self-efficacy terdiri dari tiga bagian,
yaitu level, generality, dan strength. Level merupakan persepsi individu
terhadap suatu tugas berdasarkan tingkat kesulitan, generality merupakan
keyakinan individu untuk menghadapi berbagai macam variasi tugas, dan
strength adalah seberapa kuat keyakinan individu mengenai kemampuan yang
dimilikinya
4. SUMBER-SUMBER SELF-EFFICACY
Menurut Alwisol (2009), self-efficacy dapat diperoleh, diubah,
ditingkatkan atau diturunkan melalui salah satu atau kombinasi dari empat
sumber, sumber-sumber self-efficacy yaitu:
a) Pengalaman performansi (performance accomplishment)
Pengalaman performansi merupakan prestasi individu yang pernah
dicapai di masa lalu. Sebagai sumber, performansi masa lalu menjadi
pengubah self-efficacy yang pengaruhnya paling kuat. Prestasi masa lalu
yang baik akan meningkatkan self-efficacy, sedangkan kegagalan pada
masa lalu akan menurunkan self-efficacy seseorang. Menurut Alwisol
(2009) pencapaian keberhasilan akan memberi dampak pada self-efficacy
yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaiannya:
Semakin sulit tugas tersebut, keberhasilan yang diraih akan membuat
Mengerjakan tugas secara pribadi lebih meningkatkan self-efficacy
daripada mengerjakan tugas secara berkelompok atau dibantu orang
lain.
Kegagalan menurunkan self-efficacy
Kegagalan dalam keadaan emosional yang buruk/stress, dampaknya
tidak seburuk jika mengalami kegagalan ketika kondisinya optimal
Kegagalan pada seseorang yang memiliki self-efficacy tinggi,
dampaknya lebih baik daripada kegagalan pada seseorang yang
self-efficacynya rendah.
Kegagalan pada seseorang yang sudah terbiasa berhasil tidak akan
mempengaruhi self-efficacy yang dimilikinya.
b) Pengalaman vikarius (vicarious experience)
Pengalaman vikarius diperoleh melalui model sosial. Self-efficacy akan
meningkat ketika seseorang mengamati keberhasilan orang lain,
sebaliknya self-efficacy akan menurun jika mengamati orang yang gagal.
Pengalaman vikarius memiliki dua bentuk pengamatan model yaitu live
modeling dan symbolic modeling. Live modeling merupakan pengamatan
individu pada model nyata. Symbolic modeling merupakan pengamatan
yang dilakukan individu terhadap model simbolik, film, komik atau cerita
(Alwisol, 2009).
Pengalaman vikarius dipengaruhi oleh persepsi individu tentang
kesamaan dirinya dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip
mempengaruhi self-efficacy. Sebaliknya jika individu merasa dirinya
berbeda dengan model, maka self-efficacy menjadi tidak dipengaruhi oleh
perilaku model (Bandura, 1997). Seseorang akan berusaha mencari model
yang memiliki kompetensi atau kemampuan yang sesuai dengan
keinginannya. Individu akan mengamati perilaku dan cara berpikir model
tersebut sehingga individu akan mendapatkan pengetahuan dan pelajaran
tentang strategi dalam menghadapi berbagai tugas (Bandura, 1997).
c) Persuasi verbal (verbal persuation)
Persuasi verbal merupakan cara yang digunakan untuk membujuk
individu bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan
yang ingin dicapai (Bandura, 1997). Persuasi verbal terbagi menjadi empat
jenis, yaitu suggestion, exhortation, self-intruction, dan interpretive
treatment (Alwisol, 2009). Suggestion merupakan kata-kata yang didasari
oleh kepercayaan individu yang dapat mempengaruhi. Exhortation
merupakan kata-kata nasihat atau peringatan yang sifatnya
mendesak/memaksa. Self-instruction merupakan kata-kata yang bersifat
memerintah diri sendiri. Interpretive treatment merupakan kata-kata yang
berisi interpretasi baru untuk memperbaiki interpretasi lama yang salah.
Persuasi verbal memiliki keterbatasan yaitu pengaruh dari persuasi
verbal tidak dapat bertahan lama dalam meningkatkan self-efficacy. Akan
tetapi, persuasi verbal ini memiliki dampak positif untuk meningkatkan
self-efficacy individu menjadi lebih percaya bahwa diri mereka memiliki