• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien diabetes melitus tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien diabetes melitus tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 - USD Repository"

Copied!
205
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI LITERATUR INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD

PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE DESEMBER 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Pande Made Desy Ratna Sari

NIM : 118114080

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

STUDI LITERATUR INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD

PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE DESEMBER 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Pande Made Desy Ratna Sari

NIM : 118114080

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2014

(3)
(4)
(5)

Kupersembahkan buat :

Ida Sang Hyang Widhi penuntun, penjaga dan penolongku

Orang tuaku beserta keluargaku yang selalu menemani dalam suka dan duka

Adik-adikku dan Almamaterku

“ Selalu ada harapan saat

kita tak lelah

memperjuangkan sesuatu

yang akan terasa indah

pada waktunya ”

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa

yang telah memberikan rahmatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi yang berjudul “Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Diabetes

Melitus Tipe II Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul

Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013” sebagai salah satu syarat guna

memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta.

Tersusunnya skripsi ini juga atas bimbingan dan bantuan berbagai pihak,

untuk itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma atas bimbingan dan arahan

selama penulis melakukan pembelajaran di Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma.

2. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt sebagai dosen pembimbing utama yang telah

dengan sabar dalam memberikan arahan, membimbing dan memberikan

dukungan serta doa selama proses penyusunan skripsi.

3. Ibu Witri Susila Astuti, S.Si., Apt sebagai dosen pembimbing pendamping yang

telah dengan sabar dalam memberikan arahan, semangat dan dukungan serta doa

selama proses penyusunan skripsi.

4. Direktur RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, dr. I Wayan Sudana

yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian.

(9)

5. Ibu Maria Wisnu Donowati M.Si., Apt yang telah memberi dukungan, semangat

dan kesabarannya selama proses penyusunan skripsi ini.

6. Ibu Dita Maria Virginia M.Si., Apt yang telah memberi dukungan, semangat dan

kesabarannya selama proses penyusunan skripsi ini.

7. Kedua orang tuaku I Made Adi Palguna dan Pande Ketut Alit Rusmiyanti yang

selalu memberikan kasih sayang, dukungan dan semangat baik moral maupun

materi selama menjalani perkuliahan hingga terselesainya skripsi ini

8. I Putu Yuda Pratama yang selalu mendampingi dengan sabar, memberi semangat

dan dukungan dari awal hingga akhir proses penyusunan skripsi ini.

9. Kakak ku tersayang Pande Putu Indah Purnamayanti, Pande Putu Adhyka Sri

Dharma Sakti, Pande Made Satrya Dharma Pathni, Putu Padmaningsih dan I

Gede Wiwid Santika yang selalu memberi semangat dan dukungan dari mulai

penyusunan proposal skripsi hingga akhir proses penyusunan skripsi ini.

10.Niedia Happy, I Gusti Kade Permata Sari, Reby, Mitha, Risa Indriani Pardede

Bangkit, Uchi, Karina dan Teguh sebagai sahabat yang selalu mendampingi

dengan sabar, memberi semangat dan dukungan dari awal sampai akhir.

11.Sahabat Real friends yang kompak dan cetar yang selalu mendukung dan kompak

12.Rekan-rekan skripsi (Jono, Mochi, Chelsy) yang selalu mendukung dan kompak

dalam penyusunan skripsi dari awal sampai akhir.

(10)
(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xvii

INTISARI ... xviii

ABSTRACT ... xix

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 4

2. Keaslian Penelitian ... 5

3. Manfaat Penelitian ... 6

B. Tujuan Penelitian ... 7

1. Tujuan Umum ... 7

(12)

2. Tujuan Khusus ... 8

BAB II PENELAAH PUSTAKA ... 9

A. Diabetes Melitus ... 9

1. Pengertian diabetes melitus ... 9

2. Epidemiologi diabetes melitus ... 9

3. Klasifikasi diabetes melitus ... 10

B. Diabetes Melitus Tipe II ... 13

1. Pengertian diabetes melitus tipe II ... 13

2. Epidemiologi diabetes melitus tipe II ... 13

3. Etiologi diabetes melitus tipe II ... 13

4. Patofisiologi diabetes melitus tipe II ... 14

5. Diagnosis diabetes melitus tipe II ... 18

6. Manifestasi klinis diabetes melitus tipe II... 18

7. Faktor risiko diabetes melitus tipe II ... 19

8. Anatomi pankreas normal ... 20

9. Insulin ... 22

C. Manajemen Terapi Diabetes Melitus Tipe II ... 25

1. Tujuan terapi ... 25

2. Sasaran terapi ... 26

3. Strategi terapi ... 26

a. Algoritma terapi diabetes melitus tipe II... 27

(13)

b. Algoritma pemberian insulin ... 28

D. Obat-Obat Antidiabetik Oral ... 30

1. Biguanid ... 30

2. Sulfonilurea ... 31

3. Meglitinid ... 36

4. Thiazolidinedion ... 37

5. DPP-4 inhibitor ... 40

6. Inihibitor α-glukosidase ... 41

7. Agonis reseptor GLP-1 ... 42

8. Analog amilin ... 44

9. Sukuestran asam empedu ... 44

10.Insulin ... 45

E. Interaksi Obat ... 48

1. Pengertian interaksi obat ... 48

2. Prevalensi interaksi obat ... 49

3. Jenis interaksi obat ... 51

4. Interaksi obat hipoglikemik ... 62

5. Faktor dan penyebab terjadinya interaksi obat ... 64

6. Signifikansi klinis interaksi obat ... 65

7. Peran apoteker dalam interaksi obat ... 70

F. Keterangan Empiris ... 70

(14)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 71

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 71

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 71

C. Subyek dan Bahan Penelitian ... 73

D. Alat atau Instrumen Penelitian ... 74

E. Tata Cara Penelitian ... 74

1. Tahap analisis situasi ... 74

2. Tahap penentuan subyek penelitian ... 74

3. Tahap pengambilan data ... 76

F. Tata Cara Analisis dan Penyajian Hasil Data Penelitian ... 77

1. Tata cara analisis data penelitian ... 77

2. Penyajian hasil data penelitian ... 78

G. Keterbatasan Penelitian ... 78

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 71

A. Karakteristik pasien diabetes melitus tipe II ... 80

1. Umur pasien diabetes melitus tipe II ... 80

2. Jenis kelamin pasien diabetes melitus tipe II ... 82

B. Gambaran pola peresepan pada pasien diabetes melitus tipe II ... 84

1. Proporsi penggunaan obat hipoglikemik dan obat lain ... 84

2. Jumlah obat tiap lembar resep ... 86

3. Cara pemberian obat hipoglikemi dan obat lain ... 91

(15)

4. Golongan obat hipoglikemik tiap lembar resep ... 93

5. Jenis obat hipoglikemik tiap lembar resep ... 96

6. Kombinasi obat hipoglikemik ... 99

C. Studi literatur interaksi obat ... 102

1. Persentase interaksi obat ... 102

2. Persentase interaksi obat pada peresepan terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 ... 104

3. Proporsi interaksi obat antara obat hipoglikemik dengan obat hipoglikemik dan antara obat hipoglikemik dengan obat lain ... 105

4. Proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien ... 107

5. Persentase kategori signifikansi klinis interaksi obat ... 109

6. Mekanisme dan efek interaksi obat ... 112

D. Rangkuman Pembahasan ... 166

BAB V KESIMPULAN dan SARAN ... 169

A. Kesimpulan ... 169

B. Saran ... 170

DAFTAR PUSTAKA ... 171

LAMPIRAN ... 183

BIOGRAFI PENULIS ... 188

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro ... 66

Tabel II. Distribusi persentase umur ... 81

Tabel III. Distribusi jumlah obat tiap lembar resep ... 86

Tabel IV. Distribusi jumlah obat hipoglikemik tiap lembar resep ... 88

Tabel V. Distribusi jumlah obat lain tiap lembar resep ... 90

Tabel VI. Distribusi golongan obat hipoglikemik tiap lembar resep ... 94

Tabel VIII. Distribusi kombinasi obat hipoglikemik tiap lembar resep ... 100

Tabel IX. Distribusi jumlah kategori signifikansi klinis interaksi obat ... 110

Tabel X. Mekanisme dan efek interaksi obat antara obat hipoglikemik dengan obat lain ... 114

Tabel XI. Mekanisme dan efek interaksi obat antara obat hipoglikemik dengan obat hipoglikemik ... 125

Tabel XII. Ringkasan kajian literatur interaksi obat yang menimbulkan efek hipoglikemia dan hiperglikemia... 168

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan algoritma terapi farmakologi diabetes melitus tipe II ... 27

Gambar 2. Bagan algoritma penggunaan insulin pada diabetes melitus tipe II .... 28

Gambar 3. Bagan algoritma penggunaan insulin pada diabetes melitus tipe II .... 29

Gambar 4. Mekanisme kerja sulfonilurea ... 32

Gambar 5. Diagram proporsi jenis kelamin ... 83

Gambar 6. Diagram proporsi obat hipoglikemik dan obat lain ... 85

Gambar 7. Distribusi cara pemberian obat hipoglikemik ... 91

Gambar 8. Distribusi cara pemberian lain ... 93

Gambar 9. Diagram persentase interaksi obat ... 103

Gambar 10. Diagram persentase interaksi obat pasien diabetes melitus tipe II terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan ... 104

Gambar 11. Diagram proporsi interaksi obat ... 106

Gambar 12. Diagram proporsi jenis interaksi obat ... 108

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Alat atau instrumen pengambilan data penelitian pada peresepan

pasien diabetes melitus tipe II Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan

Senopati Bantul Yogyakarta Desember 2013 ... 184

Lampiran 2 : Surat keterangan permohonan ijin penelitian ... 185

Lampiran 3 : Surat keterangan permohonan ijin penelitian ... 186

Lampiran 4 : Surat keterangan telah melakukan penelitian di RSUD Panembahan

Senopati Bantul Yogyakarta ... 187

(19)

INTISARI

Penyakit Diabetes Melitus (DM) merupakan masalah kesehatan di dunia dan Indonesia. Sebesar 90-95% penderita DM merupakan penderita DM tipe 2 (DMT2). Pasien DMT2 dengan penyakit penyerta menerima obat lebih dari satu jenis baik obat hipoglikemik maupun obat lain, sehingga berpotensi terjadi interaksi obat yang tidak diinginkan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, gambaran pola peresepan pasien, jumlah dan kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien DMT2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental deskriptif evaluatif dengan data yang bersifat retrospektif. Pengambilan data berdasarkan rekam medis, data yang diambil adalah resep pada bulan Desember 2013 di Instalasi Rawat Jalan dan dikaji secara teoritis berdasarkan studi literatur.

Terdapat 102 kasus pasien DMT2, kasus terbanyak terdapat pada kelompok umur adult (60,8%) dan pada pasien perempuan (62,8%). Golongan obat hipoglikemik yang paling banyak digunakan adalah sulfonilurea (44,8%) sedangkan jenis obat yang paling sering digunakan adalah metformin (36,0%) dan rute pemberian obat yang paling banyak diberikan adalah secara per oral (96,8%). Terdapat 76 kasus peresepan pasien DMT2 yang mengalami interaksi obat dan 43 interaksi obat diantaranya termasuk dalam kategori signifikansi klinis yang signifikan.

Kata kunci : diabetes melitus, diabetes melitus tipe 2, obat hipoglikemik, interaksi obat, kategori signifikansi klinis interaksi obat

(20)

ABSTRACT

Diabetes Mellitus (DM) is one of the main health problems in the world including in Indonesia. There is 90-95% of Type 2 DM (T2DM). The T2DM patients with complications or comorbidities commonly receive more than one type of medicines either hypoglycemic or other medicine. Therefore, it is a possibility of undesired drug interactions.

This study is aimed to investigate the characteristics of the patient, the description of prescription patterns, the number and categories of the clinical significance level of drug interactions on patients with T2DM prescription in Outpatient of Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Hospital on December 2013.This type of research is non-experimental with descriptive research design and the data are retrospective. Data were collected from medical records of patients in Outpatient on December 2013 and were evaluated theoretically based on drug interaction literature.

There are 102 cases of T2DM. The most cases are adult (60,8%) and female (62,8%). Sulfonylureas (44.8%) is the most frequent of hypoglycemic class found in this study. The most type of hypoglycemic agent commonly prescribed is metformin (36.0%) and mostly they are administered orally (96.8%). There are 76 drug interaction cases of T2DM prescriptions (74.5%) and 43 out of them are categorized as clinically significant.

Keywords : type 2 diabetes mellitus, hypoglycemic agents, drug interactions, clinical significance

(21)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan salah satu masalah utama kesehatan di dunia

yang dapat terjadi pada semua kelompok umur dan tingkat sosial ekonomi (Abebe,

2014). Diabetes melitus merupakan penyakit kelainan metabolik glukosa akibat

terjadinya penurunan sensitivitas insulin dan penurunan sekresi insulin, sehingga

kadar glukosa di dalam tubuh melebihi batas normal (Migdalis, 2014). Penyakit ini

memerlukan terapi dalam jangka waktu yang panjang dan seumur hidup, karena tidak

dapat sembuh secara total namun hanya dapat dikontrol (Sutedjo, 2010). Diabetes

melitus menyebabkan 4,6 juta kematian pada tahun 2011 (Abdulfatai, 2012).

Dalam Diabetes Atlas (International Diabetes Federation) edisi keenam pada

tahun 2011 terdapat 366 juta orang, tahun 2013 terdapat 382 juta orang di seluruh

dunia yang mengidap diabetes melitus dan akan meningkat pada tahun 2030 menjadi

552 juta orang dan pada tahun 2035 menjadi 592 juta orang (IDF, 2013). Perkiraan

penduduk indonesia yang mengidap diabetes melitus pada tahun 2007 adalah sebesar

2,9 juta orang, tahun 2013 sebesar 8,5 juta orang dan pada tahun 2035 terdapat 14,1

juta orang (IDF, 2013).

Kejadian diabetes melitus tipe 2 sembilan kali lebih banyak dibandingkan

diabetes melitus tipe I. Lima hingga sepuluh persen penderita diabetik adalah tipe I

sedangkan 90-95% penderita diabetik adalah tipe II (Klivert, 2010). Diabetes melitus

(22)

tipe 2 menduduki urutan kelima dalam sepuluh besar penyakit tidak menular yang

mendominasi di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) (Dinkes Yogyakarta,

2012). Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta,

diabetes melitus tipe 2 menempati urutan kedua dalam sepuluh besar kejadian

penyakit tidak menular pada semua golongan umur pada tahun 2009, dengan jumlah

kasus 6.384 (10,3%) dan setiap tahunnya mengalami peningkatan (Dinkes Bantul,

2010).

Diabetes melitus tipe 2 dapat disebabkan karena terjadinya resistensi insulin

dan disfungsi sel beta pankreas yang menyebabkan glukosa tidak dapat masuk

kedalam sel-sel tubuh sehingga kadar glukosa di dalam darah akan mengalami

peningkatan atau terjadi hiperglikemia (Padberg et al., 2014). Pengelolaan diabetes

melitus tipe 2 dilakukan dengan cara pengaturan pola hidup sehat, terapi dengan

menggunakan insulin dan obat hipoglikemik oral (American Diabetes Association,

2013).

Dalam pengobatan diabetes melitus tipe 2 selain menerima obat hipoglikemik

yang digunakan untuk mengontrol kadar glukosa darah, pasien juga menerima obat

lain yang digunakan untuk mengobati penyakit komplikasi maupun penyakit

penyerta. Obat hipoglikemik oral dan insulin apabila diberikan bersamaan dengan

obat lain dapat menimbulkan interaksi obat (Tjay dan Rahardja, 2007). Interaksi obat

merupakan kerja atau efek suatu obat yang mengalami perubahan akibat dari obat lain

(23)

dapat berubah atau dapat menimbulkan suatu efek toksik. Efek yang ditimbulkan dari

interaksi obat dapat menguntungkan maupun merugikan (Syamsudin, 2011).

Berdasarkan pada penelitian terdahulu seperti yang dilakukan oleh Pattiwael

(2004), bahwa pasien diabetes melitus tipe 2 dengan komplikasi atau beberapa

penyakit penyerta menerima obat lebih dari satu jenis baik obat hipoglikemik maupun

obat lain. Kemungkinan interaksi obat dapat terjadi apabila pengobatan pada diabetes

melitus tipe 2 diberikan dalam dua jenis obat atau lebih sehingga terdapat

kemungkinan interaksi obat yang dapat mengurangi keefektifan obat lain,

meningkatkan toksisitas obat dan terjadi efek yang tidak diinginkan.

Keselamatan pasien menjadi tanggung jawab yang penting bagi tenaga

kesehatan seperti dokter, perawat, farmasis dan tenaga kesehatan lainnya (Syamsudin,

2011). Pharmaceutical care merupakan tanggung jawab farmasis dalam

memaksimalkan hasil terapi dan meminimalkan efek negatif terapi, sehingga

peningkatkan kualitas hidup pasien dapat tercapai (Sexton, 2006). Farmasis memilki

tanggung jawab dalam pengecekan kemungkinan ada tidaknya interaksi obat.

Interaksi obat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap

pengobatan, menimbulkan risiko yang signifikan terhadap kesehatan pasien dan

meyebabkan beban ekonomi pada perawatan kesehatan pasien (Soherwardi, 2012).

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh peneliti, RSUD Panembahan

Senopati Bantul Yogyakarta membutuhkan evaluasi mengenai interaksi obat pada

peresepan pasien diabetes melitus tipe 2 karena belum terdapat data kajian mengenai

(24)

berkaitan dengan peresepan yang diperoleh pasien diabetes melitus tipe 2, sehingga

tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut dapat mengetahui apakah terdapat interaksi

obat pada peresepan diabetes melitus tipe 2 yang diberikan kepada pasien.

Hasil dari evaluasi yang diperoleh peneliti, nantinya akan dipergunakan oleh

tenaga kesehatan di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta untuk

melakukan suatu upaya pencegahan, apabila terjadi interaksi obat yang dapat

menimbulkan efek toksik dan merugikan bagi pasien. Berdasarkan hal-hal diatas

maka perlu dilakukan penelitian mengenai “Studi Literatur Interaksi Obat Pada

Peresepan Pasien Diabetes melitus tipe 2 Di Instalasi Rawat Jalan RSUD

Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Periode 2013”.

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan seperti yang dituliskan di bawah ini.

a. Seperti apa karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 di Instalasi Rawat

Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember

2013 yang meliputi umur dan jenis kelamin ?

b. Seperti apa gambaran umum pola peresepan pasien diabetes melitus tipe 2 di

Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Desember 2013 yang meliputi golongan obat hipoglikemik, jenis obat

hipoglikemik, jumlah obat hipoglikemik dan cara pemberian obat

(25)

c. Berapa persentase interaksi obat pada peresepan pasien diabetes melitus tipe 2

di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Desember 2013 yang dikaji berdasarkan studi literatur ?

d. Seperti apa kategori signifikansi klinis interaksi obat yang teridentifikasi pada

peresepan pasien diabetes melitus tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD

Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Desember 2013 yang dikaji

berdasarkan studi literatur ?

2. Keaslian Penelitian

Terdapat beberapa penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya

sejauh penelusuran penulis antara lain seperti yang dituliskan di bawah ini.

a. Studi interaksi obat yang potensial terjadi pada peresepan pasien diabetes

melitus di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode

Januari-Maret 2002 yang dilakukan oleh Pattiwael (2004).

b. Pola peresepan obat hipoglikemi dan studi literatur interaksi obat pada pasien

diabetes melitus Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode

Januari-April 2002 yang dilakukan oleh Suryawanti (2004).

c. Kajian pemilihan obat hipoglikemik oral pada terapi pasien diabetes melitus

tipe 2 di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta pada

periode November-Desember 2002 yang dilakukan oleh Wijoyo (2004).

d. Studi literatur efek samping dan interaksi obat pada penderita diabetes melitus

(26)

Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta pada periode Januari-Oktober 2002

yang dilakukan oleh Susanti (2004).

e. Evaluasi Drug Therapy Problems (DRPs) pada pasien diabetes melitus tipe 2

non komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Yogyakarta

Periode Januari 2009-April 2010 yang dilakukan oleh Indriani (2010).

Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian yang disebutkan di atas

adalah terletak pada subyek penelitian yaitu spesifik pada pasien diabetes melitus tipe

2. Tempat pelaksanaan penelitian yaitu di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan

Senopati Bantul Yogyakarta. Periode pengambilan data penelitian yaitu pada bulan

Desember tahun 2013. Kajian pada penelitian ini yang terfokus pada interaksi obat

farmakokinetik dan farmakodinamik serta kategori signifikansi klinis interaksi obat

yang dikaji berdasarkan studi literatur.

Persamaan dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada fokus kajian yaitu

penyakit diabetes melitus. Berdasarkan data-data tersebut penelitian mengenai “Studi

Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Diabetes melitus tipe 2 Di Instalasi

Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember

Tahun 2013” belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut ini.

a. Secara praktis.

1) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk

(27)

Senopati Bantul Yogyakarta dan meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian,

khususnya berkaitan dengan keamanan dan keselamatan pasien terutama pada

aspek interaksi obat pada peresepan pasien diabetes melitus tipe 2.

2) Penelitian ini diharapkan dapat mendukung dan meningkatkan peran farmasis

dalam mengidentifikasi secara lebih dini kejadian interaksi obat, sehingga

dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya interaksi obat dengan efek yang

membahayakan khususnya pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Instalasi

Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Mengetahui interaksi obat yang terjadi berdasarkan peresepan pasien diabetes

melitus tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul

Yogyakarta periode Desember 2013 yang dikaji berdasarkan literatur.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 di Instalasi Rawat

Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember

2013 yang meliputi umur dan jenis kelamin.

b. Mengetahui gambaran umum pola peresepan pasien diabetes melitus tipe 2 di

Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

(28)

hipoglikemik, jumlah obat hipoglikemik dan cara pemberian obat

hipoglikemik.

c. Mengetahui persentase interaksi obat pada peresepan pasien diabetes melitus

tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul

Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan studi literatur.

d. Mengetahui kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien

diabetes melitus tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati

(29)

BAB II

A. Diabetes Melitus 1. Pengertian diabetes melitus

Diabetes melitus adalah penyakit gangguan metabolik kronis yang ditandai

dengan hiperglikemia, yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein karena terjadinya penurunan sekresi insulin, autoimun

dan berkurangnya sensitivitas insulin pada jaringan perifer (Amod et al., 2012).

Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang kompleks, memerlukan perawatan

medis secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang panjang untuk mengontrol

kadar glukosa di dalam tubuh (American Diabetes Association, 2014).

2. Epidemiologi diabetes melitus

Diabetes melitus menjadi masalah kesehatan global yang mempengaruhi lebih

dari 170 juta orang di seluruh dunia dan salah satu penyebab utama kematian dan

kecacatan. Pada tahun 2010 terdapat 285 juta orang dewasa dengan usia antara 20-79

tahun yang mengidap diabetes melitus di seluruh dunia dan akan meningkat menjadi

438 juta pada tahun 2030 (Qiao, 2012). Menurut International Diabetes Federation

edisi keenam pada tahun 2013 terdapat 382 juta orang di seluruh dunia yang

mengidap diabetes melitus dan akan meningkat pada tahun 2035 menjadi 592 juta

orang (IDF, 2013).

9

(30)

Mayoritas penderita diabetes melitus (90-95%) adalah diabetes melitus tipe 2

dibandingkan diabetes melitus tipe I (5-10%). Diabetes melitus dapat menyebabkan

komplikasi jangka panjang yang dapat dikategorikan menjadi dua yaitu komplikasi

makrovaskuler (penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer dan stroke) dan

komplikasi mikrovaskuler (nefropati diabetik, neuropati diabetik, dan retinopati

diabetik) (Soumya and Srilatha, 2011).

3. Klasifikasi diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus dapat

diklasifikasikan menjadi empat tipe berdasarkan penyebab dan proses terjadinya

penyakit. Klasifikasi diabetes melitus terdiri dari diabetes melitus tipe I, diabetes

melitus tipe 2, diabetes melitus gestasional dan diabetes melitus tipe lain (American

Diabetes Association, 2014).

a. Diabetes melitus tipe I (Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM). Pada

penyakit diabetes melitus tipe I sel beta pankreas yang menghasilkan insulin

mengalami kerusakan, sehingga mengakibatkan sel beta pankreas tidak dapat

mensekresi insulin atau jika dapat mensekresi insulin hanya dalam jumlah

yang sangat kecil (Goldenberg and Punthakee, 2013). Terjadinya defisiensi

insulin absolut disebabkan karena proses autoimun, idiopatik, kerusakan islet

yang disebabkan oleh limfosit T yang bereaksi terhadap antigen sel beta dan

adanya faktor genetik (Robbins and Cotran, 2009).

Penyakit ini dapat menyerang segala usia, tetapi umumnya terjadi pada

(31)

penyakit diabetes melitus tipe I meliputi sering merasa haus (polidipsi), sering

buang air kecil (poliuri), sering merasa lapar (polifagia), mulut kering, sering

mengalami kelelahan, terjadinya penurunan berat badan, lama dalam

penyembuhan luka dan penglihatan kabur (IDF, 2013).

Penderita diabetes melitus tipe I selalu tergantung pada penggunaan

insulin dalam mengontrol kadar glukosa darah di dalam tubuh (Ransom,

2013). Pasien yang mengidap diabetes melitus tipe I dapat menjalani hidup

normal dan sehat melalui kombinasi terapi harian insulin, pemantauan kadar

glukosa darah secara ketat, pengaturan pola hidup sehat dan berolahraga

secara teratur (McGibbon, 2013). Dari hasil penelitian, persentase penderita

diabetes melitus tipe I sebesar 5-10% dari keseluruhan populasi penderita

diabetes melitus di dunia (Richardson, 2014).

b. Diabetes melitus tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus/NIDDM).

Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit gangguan metabolik yang

ditandai dengan kadar glukosa darah yang tinggi atau hiperglikemia. Penyakit

ini disebabkan karena tubuh tidak mampu memenuhi kebutuhan insulin atau

sel tidak dapat merespon insulin yang diproduksi (Padberg et al., 2014).

Penyakit ini dapat menyerang segala umur, namun biasanya penderita

diabetes melitus tipe 2 adalah orang dewasa yang menderita obesitas diatas

umur 40 tahun (Hasaan et al., 2013).

c. Diabetes melitus saat kehamilan. Diabetes melitus saat kehamilan merupakan

(32)

kehamilan dan kembali normal setelah proses kehamilan. Diabetes melitus

gestational cenderung terjadi sekitar 24 minggu setelah kehamilan

(Thompson, 2013). Faktor risiko terjadinya diabetes gestational adalah

obesitas, usia lebih dari 25 tahun dan terdapat riwayat diabetes melitus dalam

keluarga (Ganong, 2006).

Seorang wanita hamil membutuhkan lebih banyak insulin untuk

mempertahankan metabolisme normal karbohidrat di dalam tubuh. Apabila

tidak mampu menghasilkan lebih banyak insulin, wanita hamil dapat

mengalami diabetes melitus yang mengakibatkan perubahan pada

metabolisme glukosa. Kadar glukosa dalam darah wanita hamil berpengaruh

pada konsistensi janin selama dalam kandungan, hal ini disebabkan oleh

glukosa yang dapat melintasi plasenta. Wanita hamil yang mengalami

diabetes melitus gestasional mengontrol kadar glukosa darah dengan cara

pengaturan pola makan, diet sehat, berolahraga ringan dan menggunakan

terapi insulin (IDF, 2013).

d. Diabetes tipe spesifik lain. Diabetes tipe spesifik lain merupakan diabetes

yang disebabkan oleh berbagai kelainan genetik spesifik seperti adanya

mutasi, abnormalitas, kerusakan genetik pada sel beta pankreas dan kerja

insulin (Scobie, 2007). Terdapat suatu penyakit yang terjadi pada pankreas,

penggunaan obat-obatan, bahan kimia dan terdapat infeksi pada pankreas

(33)

lain (American Diabetes Association, 2014). Diabetes tipe spesifik lain

biasanya terjadi pada usia kurang dari 25 tahun (Porth and Matfin, 2009).

B. Diabetes melitus tipe 2 1. Pengertian diabetes melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 merupakan diabetes melitus yang tidak tergantung

pada insulin atau non insulin dependent diabetes mellitus/NIDDM (Rosenthal, 2009).

Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik kronis yang ditandai

dengan adanya resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas atau gabungan dari

keduanya. Insulin merupakan hormon yang berperan dalam metabolisme glukosa dan

disekresikan oleh sel beta pankreas (Defronzo. 2013).

2. Epidemiologi diabetes melitus tipe 2

Jumlah orang yang mengidap diabetes melitus tipe 2 berkembang pesat di

seluruh dunia (Shishikura, 2013). Hal ini terkait dengan adanya perubahan pola gaya

hidup (obesitas), faktor genetik dan aktivitas fisik yang berkurang atau jarang

berolahraga (Kumar, 2007). Kejadian penyakit diabetes melitus tipe 2 sembilan kali

lebih banyak terjadi daripada diabetes melitus tipe I yaitu sebesar 90-95% (Gonzalez,

2009).

3. Etiologi diabetes melitus tipe 2

Etiologi diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh multi faktor yang belum

terungkap dengan jelas sepenuhnya. Diabetes melitus tipe 2 merupakan bentuk

(34)

beta pankreas (Reinehr, 2013). Resistensi insulin merupakan resistensi terhadap efek

insulin pada penyerapan, metabolisme atau penyimpanan glukosa. Resistensi insulin

dapat menyebabkan berkurangnya penyerapan glukosa di jaringan lemak dan otot

serta ketidakmampuan hormon dalam menekan glukoneogenesis di hati (Ganda.

2010). Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipolisis, peningkatan produksi

asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa di hati dan penurunan pengambilan

glukosa pada sel otot (Robbins and Cotran, 2009).

Disfungsi sel beta pankreas dapat menyebabkan ketidakmampuan sel-sel beta

pankreas dalam beradaptasi terhadap kebutuhan jangka panjang insulin pada jaringan

perifer (otot, hati dan lemak) (D’adamo and Caprio, 2011). Sel-sel beta pankreas

tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin di dalam tubuh,

sehingga kadar glukosa akan meningkat dan mengakibatkan gangguan pada

pengontrolan glukosa di dalam darah (Sukandar, 2008).

4. Patofisiologi diabetes melitus tipe 2

Tubuh memiliki sistem yang dapat mengatur dan menyeimbangkan zat-zat

yang berada di dalamnya. Demikian pula halnya dengan glukosa di dalam tubuh yang

jumlahnya sangat terkontrol. Pada keadaan normal glukosa di dalam darah diatur oleh

hormon insulin yang diproduksi oleh sel-sel beta pankreas, sehingga kadar glukosa di

dalam darah selalu berada dalam batas aman, baik pada keadaan puasa maupun tidak.

Kadar glukosa darah normal di dalam tubuh berkisar antara 70-120 mg/dL (Ganong,

(35)

Insulin dalam keadaan normal berikatan dengan reseptor khusus pada

permukaan sel beta pankreas. Glukosa akan mengalami metabolisme di dalam sel

yang nantinya diubah menjadi energi untuk beraktivitas. Produksi dan sekresi insulin

di dalam tubuh dipengaruhi oleh jumlah glukosa di dalam darah. Apabila jumlah

glukosa telah mencapai kadar tertentu, insulin akan disekresikan dan membuka sel-sel

hati, otot dan lemak sehingga memungkinkan glukosa masuk ke dalam sel-sel

tersebut dan nantinya akan diubah menjadi energi untuk beraktivitas. Dengan

demikian jumlah glukosa di dalam darah tidak menumpuk dan kadar glukosa darah di

dalam tubuh tetap normal (Ganong, 2006).

Penyebab terjadinya diabetes melitus tipe 2 adalah disebabkan oleh

berkurangnya kemampuan jaringan perifer dalam merespon insulin atau resistensi

insulin dan disfungsi sel beta pankreas yang menyebabkan penurunan sekresi insulin

dalam menghadapi resistensi insulin dan hiperglikemia. Sebagian besar penderita

diabetes melitus tipe 2 mengalami obesitas, karena mengkonsumsi makanan secara

berlebihan. Hal tersebut dapat berakibat terhadap respon dari sel beta pankreas yang

meningkatkan produksi insulin, sehingga terjadi hiperinsulinemia (Huether and Mc

Cance, 2008).

Konsentrasi dari insulin yang melebihi jumlah normal di dalam tubuh tersebut

dapat menyebabkan reseptor insulin melakukan pengaturan sendiri dengan cara

menurunkan jumlahnya atau down regulation. Penurunan reseptor insulin tersebut

dapat menyebabkan resistensi insulin. Aktivasi reseptor insulin pada jaringan

(36)

GLUT-4 berfungsi dalam mengangkut glukosa dari ekstraseluler menuju ke

intraseluler, yang nantinya glukosa akan digunakan sebagai substrat energi atau

disimpan dalam bentuk glikogen (Nugroho, 2012).

Resistensi terhadap insulin terjadi pada penyerapan, penyimpanan dan

metabolisme glukosa. Resistensi insulin dapat menyebabkan peningkatan pada proses

glukoneogenesis dihati, penyerapan glukosa di jaringan lemak dan otot. Resistensi

insulin bersifat kompleks dan menimbulkan kelainan kualitatif dan kuantitatif pada

jalur pembentukan sinyal insulin, penurunan jumlah reseptor insulin, penurunan

fosforilasi dan aktivitas tirosin kinase reseptor insulin, gangguan translokasi dan fusi

vesikel yang mengandung GLUT-4 ke membran plasma (Feinglos and Bethel, 2008).

Terjadinya kelainan fungsi pada reseptor insulin merupakan faktor yang

berperan dalam resistensi insulin (Feinglos and Bethel, 2008). Kadar trigliserida

intrasel meningkat pada jaringan hati dan otot pada orang yang mengalami obesitas.

Trigliserida intrasel pada produk-produk metabolisme asam lemak merupakan

inhibitor kuat dalam pembentukan sinyal insulin dan menyebabkan resistensi insulin.

Lemak dapat berikatan dengan reseptor insulin sehingga dapat menghasilkan asam

lemak dan radikal bebas, radikal bebas yang dihasilkan dapat merusak reseptor

insulin. Efek lipotoksik asam lemak bebas dapat menyebabkan penurunan aktivitas

protein dalam pembentukan sinyal insulin (Tripathy, 2012).

Beberapa protein yang dibebaskan di sirkulasi sistemik oleh jaringan adiposa

secara kolektif disebut sebagai adipokin atau sitokin adiposa. Peran adipokin dalam

(37)

endokrin yang mengeluarkan hormon sebagai respon terhadap perubahan status

metabolik. Terjadinya disregulasi sekresi adipokin yaitu leptin, adiponektin dan

resistin baik meningkat ataupun menurun secara abnormal merupakan salah satu

mekanisme yang berkaitan dengan resistensi insulin dan obesitas (Tripathy, 2012).

Disfungsi sel beta pankreas dapat menyebabkan ketidakmampuan sel-sel

dalam beradaptasi pada kebutuhan jangka panjang terhadap resistensi insulin dan

peningkatan sekresi insulin. Hal yang mendasari terjadinya disfungsi sel beta

pankreas adalah efek samping dari kadar asam lemak bebas yang tinggi dalam darah

dan hiperglikemia kronik (Robbins and Cotran, 2009).

Manifestasi dari disfungsi sel beta pankreas dapat menyebabkan gangguan

kualitatif dan kuantitatif. Disfungsi sel beta pankreas secara kualitatif pada awalnya

muncul samar, lalu pada fase pertama sekresi insulin terjadinya peningkatan glukosa

plasma. Seiring dengan terjadinya gangguan pada fase sekresi insulin, meskipun pada

diabetes melitus tipe 2 tetap terjadi sekresi insulin namun kurang memadai untuk

mengatasi resistensi insulin (Robbins and Cotran, 2009).

Pada disfungsi sel beta secara kuantitatif terjadi penurunan massa sel beta

pankreas, degenarasi islet dan pengendapan amiloid di islet. Protein amiloid islet atau

amilin menyebabkan penurunan massa sel beta pankreas dan banyak ditemukan pada

pasien diabetes melitus tipe 2 (Robbins and Cotran, 2009). Pada kasus disfungsi sel

beta pankreas, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel-sel sehingga konsentrasi

glukosa di luar sel dan di dalam darah tidak dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan

(38)

ekskresi melalui ginjal ke dalam urin sehingga terjadi glikosuria (glukosa dalam urin

atau kencing manis) (Ozougwu et al., 2013).

5. Diagnosis diabetes melitus tipe 2

Kriteria diagnosis diabetes melitus menurut American Diabetes Association

(ADA) 2013 adalah glukosa darah sewaktu (casual plasma glucose) ≥ 200 mg/dL,

kadar gula darah puasa (fasting plasma glucose) ≥ 126 mg/dL. Pada tes toleransi

glukosa oral (oral glucose toleransi test) kadar glukosa darah 2 jam post prandial

setelah pemberian 75 gram glukosa ≥ 200 mg/dL dan HbA1c ≥ 6,5% (American

Diabetes Association, 2013).

HbA1c merupakan suatu pengukuran terhadap hemoglobin yang terikat pada

glukosa atau mengalami proses glikosilasi. Proses glikasi hemoglobin tidak

dikatalisis oleh enzim, namun melalui reaksi kimia yang tergantung pada paparan sel

darah merah terhadap glukosa yang beredar di dalam darah (Gough, 2010).

Pengukuran HbA1c dapat mengukur kadar glukosa darah selama dua hingga tiga

bulan terakhir. Nilai normal HbA1c adalah 3,5-5,5%. Persentase hemoglobin yang

terikat pada glukosa memberikan perkiraan kadar glukosa darah rata-rata selama

umur sel darah merah (WHO, 2011).

6. Manifestasi klinis diabetes melitus tipe 2

Manifestasi klinis dari diabetes melitus tipe 2 tidak spesifik, biasanya terjadi

pada individu yang memiliki berat badan yang tinggi atau obesitas dan mengalami

(39)

yang lambat dan susah untuk dideteksi sehingga terjadi kesulitan dalam mendiagnosis

penyakit ini (Porth and Matfin, 2009).

Gejala dan tanda diabetes melitus yaitu poliuria (sering buang air kecil),

polidipsi (sering merasa haus), polifagia (sering merasa lapar), sering merasa lemas

dan kesemutan, berat badan turun tanpa penyebab yang jelas, infeksi yang sulit

sembuh dan penglihatan kabur (Linn, 2009). Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh

kelebihan asupan kalori, obesitas, faktor genetik, pola hidup yang tidak sehat dan

kurang berolahraga (Sukandar, 2008).

7. Faktor risiko diabetes melitus tipe 2

Faktor risiko diabetes melitus dapat dibedakan menjadi 2 yaitu faktor risiko

yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko

yang dapat dimodifikasi meliputi obesitas, aktivitas fisik yang berkurang, merokok,

mengkonsumsi alkohol, pola makan, diet yang rendah serat dan kadar lemak jenuh

yang tinggi. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, jenis kelamin

dan faktor genetik (Goldstein and Wieland, 2008).

Pola makan yang tidak baik seperti makan secara berlebihan dan melebihi

jumlah kadar kalori yang dibutuhkan oleh tubuh dapat memicu timbulnya diabetes

melitus tipe 2. Hal ini disebabkan oleh jumlah atau kadar insulin pada sel beta

pankreas memiliki kapasitas maksimum untuk disekresikan. Oleh karena itu

mengkonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak diimbangi oleh sekresi insulin

dalam jumlah yang memadai dapat menyebabkan kadar glukosa dalam darah

(40)

Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 mengalami obesitas.

Seseorang dikatakan memiliki kelebihan berat badan apabila memiliki body mass

indeks (BMI) lebih dari 25 kg/m2, sedangkan seseorang dikatakan obesitas apabila

BMI lebih dari 30 kg/m2. Seseorang yang memiliki berat badan melebihi 90 kg

mempunyai kecendrungan yang lebih besar untuk terserang diabetes melitus (Qiao,

2012). Diabetes melitus tipe 2 dapat terjadi pada penderita obesitas karena adanya

resistensi insulin. Peningkatan berat badan dapat berakibat pada berkurangnya

sensitivitas tubuh terhadap efek insulin. Obesitas berhubungan dengan berkurangnya

reseptor insulin pada otot, hati dan permukaan sel lemak yang dapat memperparah

resistensi insulin (Abdullah, 2009).

Diabetes melitus tipe 2 dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun

biasanya menyerang orang dewasa yang menderita obesitas diatas umur 40 tahun

(Rosenthal, 2009). Jenis kelamin perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi

dibandingkan laki-laki untuk terkena diabetes melitus tipe 2 karena secara fisik

perempuan mempunyai peluang dalam peningkatan indeks masa tubuh yang lebih

besar. Perempuan mengalami sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome) dan

pasca menopause yang dapat mengakibatkan distribusi lemak di dalam tubuh menjadi

lebih mudah untuk terakumulasi akibat dari proses hormonal tersebut (Trisnawati dan

Setyorogo, 2013).

Faktor genetik merupakan salah satu penyebab terjadinya diabetes melitus tipe

2. Gen penyebab diabetes melitus tipe 2 dapat diturunkan dari orang tua kepada

(41)

menyebabkan peradangan pada pankreas. Peradangan pada pankreas dapat

menyebabkan pankreas tidak dapat berfungsi secara optimal dalam mensekresikan

hormon yang diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh, termasuk hormon insulin

(Goldstein and Wieland, 2008).

Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas

sehingga menimbulkan peradangan pada pankreas. Hal ini dapat menyebabkan sel

beta pada pankreas tidak dapat bekerja secara optimal dalam mensekresi insulin.

Beberapa penyakit tertentu seperti kolesterol tinggi dan dislipidemia dapat

meningkatkan risiko terkena diabetes melitus tipe 2 (Goldstein and Wieland, 2008).

Olahraga secara teratur dapat mengurangi terjadinya resistensi insulin

sehingga insulin dapat dipergunakan lebih baik oleh sel tubuh dan dosis

pengobatannya juga dapat diturunkan. Olahraga dapat digunakan sebagai usaha untuk

membakar lemak di dalam tubuh sehingga dapat mengurangi berat badan bagi orang

yang mengalami obesitas (Qiao, 2012).

Seseorang yang mengidap hipertensi memiliki risiko untuk terkena diabetes

melitus tipe 2. Hal ini disebabkan pada penderita hipertensi terjadi nekrosis pada

sel-sel beta pankreas yang diakibatkan karena terjadinya peningkatan tekanan darah

dalam waktu yang lama. Apabila hal ini terjadi secara terus-menerus maka sel-sel

beta pankreas akan mengalami kerusakan sehingga tidak mampu dalam menghasilkan

(42)

8. Anatomi pankreas normal

Pankreas normal di dalam tubuh manusia terdiri dari satu juta sel mikroskopik

yang disebut sebagai sel islet atau pulau-pulau Langerhans yang tersebar di seluruh

pankreas endokrin (Ganong, 2006). Berat sel islet pada orang dewasa yaitu 1 sampai

1,5 gram. Ukuran sel islet sebesar 100 hingga 200 mm dan terdiri dari empat tipe sel

mayor dan dua tipe sel minor. Empat tipe sel mayor terdiri dari sel β (beta), sel α

(alfa), sel D (δ) dan polipeptida pankreatik (PP atau sel F) (Robbins and Cotran,

2009).

Sel beta (β) memiliki fungsi untuk memproduksi insulin. Sel alfa (α)

berfungsi untuk menghasilkan glukagon yang memicu terjadinya hiperglikemia

melalui efek glikogenolisis pada sel hati. Sel D (δ) berfungsi untuk menghasilkan

somatostatin yang merupakan suatu hormon yang digunakan untuk menekan

pelepasan insulin dan glukagon. Sel polipeptida pankreatik (PP) mengandung suatu

polipeptida pankreatik yang memiliki efek pada saluran pencernaan yaitu stimulasi

sekresi enzim usus dan lambung serta penghambatan motilitas usus (Ganong, 2006).

Terdapat dua tipe sel minor yang terdiri dari sel D1 dan enterokromafin. Sel

D1 berfungsi untuk menghasilkan polipeptida usus vasoaktif yaitu suatu hormon yang

memicu glikogenolisis, hiperglikemia dan merangsang sekresi cairan gastrointestinal.

Sel enterokromafin berfungsi dalam mensintesis hormon serotonin (Robbins and

(43)

9. Insulin

a. Fisiologi insulin di dalam tubuh. Insulin adalah protein yang mengandung 51

asam amino yang terdiri dari dua rantai yaitu rantai A dan B yang

dihubungkan oleh jembatan disulfida dan memiliki berat molekul 5808 g/mol

(Yilmaz and Kadioglu, 2012). Insulin berperan penting dalam metabolisme

karbohidrat, protein dan lemak (American Diabetes Assosiation, 2004).

Manusia memiliki kadar insulin basal (saat tidur, puasa dan sebelum makan)

yaitu 5-15 µU/mL (30-90 pmol/L) dengan kadar puncak sebesar 60-90

µU/mL (360-540 pmol/L) pada waktu makan (Katzung, 2012).

Proses homeostatis glukosa normal di dalam tubuh diatur melalui tiga

proses yaitu pembentukan glukosa di hati, penyerapan dan pemakaian glukosa

oleh jaringan. Terdapat dua hormon yaitu insulin dan glukagon yang berperan

dalam proses homeostatis glukosa. Kedua hormon ini memiliki kerja yang

berlawanan dalam mempertahankan homeostatis glukosa dalam tubuh

(Ganong, 2006).

Dalam keadaan puasa jumlah glukosa di dalam tubuh mengalami

penurunan sehingga jumlah insulin rendah. Untuk mempertahankan kadar

glukosa di dalam darah maka jumlah glukagon di dalam tubuh meningkat.

Glukagon berfungsi untuk mengubah glikogen menjadi glukosa. Pada

keadaan setelah makan, jumlah glukosa di dalam tubuh mengalami kenaikan

sehingga jumlah insulin di dalam tubuh juga mengalami kenaikan sedangkan

(44)

menjadi glikogen yang disimpan dalam bentuk glukagon (Schwanstecher,

2011).

b. Pengendalian pelepasan insulin. Insulin dihasilkan oleh sel beta pankreas.

Praproinsulin disintesis di dalam retikulum endoplasma kasar, kemudian di

aparatus golgi dihasilkan insulin matur yang telah mengalami reaksi

proteolitik. Sintesis dan pelepasan insulin dipicu oleh metabolisme glukosa.

Glukosa di dalam tubuh mengalami proses metabolisme untuk diubah menjadi

energi melalui proses glikolisis. Proses glikolisis menghasilkan ATP yang

dapat menghambat aktivitas kanal ion K+ (kalium) sehingga menyebabkan

depolarisasi membran dan membuka kanal ion Ca2+ (kalsium). Peningkatan

jumlah ion Ca2+ akan merangsang sekresi insulin (Szablewski, 2011).

Setelah insulin dilepaskan ke dalam sirkulasi sitemik, kemudian

insulin dilepaskan ke beberapa jaringan seperti jaringan adiposa dan otot

skeletal. Insulin menyebabkan translokasi GLUT-4 dari intraseluler menuju

ke membran sel. GLUT-4 yang telah mengalami aktivasi kemudian akan

membantu transport glukosa dari sirkulasi sitemik menuju ke dalam sel. Di

dalam sel glukosa akan mengalami proses glikolisis untuk substrat

metabolisme energi melalui siklus Krebs atau disimpan dalam bentuk

glikogen (Nugroho, 2012).

c. Mekanisme kerja insulin. Insulin memiliki dua fungsi yaitu fungsi metabolik

dan anabolik. Fungsi metabolik insulin adalah meningkatkan kecepatan

(45)

insulin adalah peningkatan sintesis dan penurunan penguraian glikogen,

protein dan lemak (Robbins and Cotran, 2009).

Ketika memasuki sirkulasi darah, insulin berikatan dengan reseptor

khusus yaitu reseptor insulin. Reseptor insulin mengandung dua heterodimer

yang terikat secara kovalen, terdiri dari dua subunit beta (β) yang terdiri dari

tironin kinase dan dua subunit alfa (α) pada permukaan luar sel. Terikatnya

insulin pada reseptor insulin memicu terjadinya fosforilasi dan defosforilasi

protein. Pengikatan insulin pada subunit α akan mengaktifkan tirosin kinase

subunit β yang menyebabkan autofosforilasi reseptor dan fosforilasi elemen

-elemen sinyal (Katzung, 2012).

Terdapat dua jalur sinyal yaitu sinyal mitogenik dan sinyal metabolik.

Jalur mitogen-activated protein kinase berfungsi dalam efek mitogenik

insulin, mendorong proliferasi dan pertumbuhan sel. Efek metabolik

diperantarai oleh pengaktifan jalur fosfatidilinositol-3-kinase (PI-3K) yang

berperan dalam memperantarai efek insulin pada sel yaitu translokasi vesikel

yang mengandung GLUT-4 ke permukaan, peningkatan laju influks glukosa,

meningkatkan sintesis glikogen melalui pengaktifan glikogen sintase,

meningkatkan sintesis protein dan lipogenesis, meningkatkan kelangsungan

(46)

C. Manajemen Terapi Diabetes melitus tipe 2 1. Tujuan terapi

Tujuan terapi diabetes melitus dapat dibedakan menjadi dua yaitu tujuan

jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan terapi jangka pendek diabetes

melitus tipe 2 adalah menghilangkan keluhan dan mempertahankan rasa nyaman

pasien seperti sering merasa haus, sering merasa lapar, sering berkemih, lelah dan

ketoasidosis. Tujuan jangka panjang adalah mengurangi risiko terjadinya komplikasi

makrovaskular dan mikrovaskular, memperbaiki gejala yang muncul, meningkatkan

kualitas hidup dan mengurangi angka kematian pasien (Tjay and Rahardja, 2007).

2. Sasaran terapi

Sasaran terapi diabetes melitus tipe 2 adalah metabolisme glukosa

dikembalikan menjadi senormal mungkin agar penderita merasa nyaman dan sehat.

Menjaga keseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen, menjaga agar tidak terjadi

komplikasi, menjaga agar kadar glukosa darah terkontrol dengan baik dan pengaturan

pola hidup (Triplitt, 2008).

3. Strategi terapi

Strategi terapi yang dilakukan dalam penanganan diabetes melitus tipe 2

adalah dengan terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non

farmakologi berupa pengaturan pola makan (diet sehat), rajin berolahraga,

menghindari minuman beralkohol dan merokok, menjaga berat badan dan melakukan

perawatan kaki (NHS, 2010). Terapi farmakologi menggunakan obat hipoglikemik

(47)

Metformin, sulfonilurea, insulin atau thiazolidinedion Pilihan monoterapi lain:

Nateglinid, repaglinid, akarbose atau miglitol Pilihan terapi kombinasi 2 obat :

Metformin dapat dikombinasikan dengan sulfonilurea, insulin, thiazolidinedion, agonis reseptor GLP-1, DPP-4 inhibitor, pramlintid, nateglinid, repaglinid atau inhibitor α-glukosidase

Pilihan terapi kombinasi (3 obat) :

Metformin + sulfonilurea dikombinasikan dengan thiazolidinedion, insulin, agonis reseptor GLP-1, DPP-4 inhibitor, nateglinid, repaglinid, inhibitor α-glukosidase, pramlintid

Apabila belum tercapai maka dilakukan pemberian insulin secara intensif

farmakologi disertai dengan penggunaan monoterapi yaitu metformin.

Terapi non farmakologi yaitu pemberian edukasi diabetes, pengaturan pola hidup (diet sehat) dan berolahraga.

 HBA1C≤ 6,5%

 Monitoring glukosa darah puasa ≤ 110 mg/dL  Pemantauan glukosa darah 2 jam postprandial ≤

140–180 mg/dL

Target tidak terpenuhi setelah 3 bulan : Penggunaan terapi kombinasi 3 obat, apabila tidak tercapai maka dilakukan pemberian insulin secara intensif

Monoterapi

Target terpenuhi

Lanjutkan terapi, pengecekan A1C setiap 3–6 bulan

Target tidak terpenuhi setelah 3 bulan : Mulai dengan terapi kombinasi 2 obat

Target terpenuhi

Lanjutkan terapi, pengecekan

HBA1C setiap 3–6 bulan

(48)

 HBA1C ≤ 6.5%

 Monitoring glukosa darah puasa

≤ 110 mg/dL

 Pemantauan glukosa darah 2 jam

post prandial ≤ 140–180 mg/dL

hipoglikemik oral dengan ≥ A1C 8,5% hipoglikemik oral, A1C diatas target namun

≤ 8,5%

 Glukosa darah puasa ≥ 260 mg/dL pada

orang dewasa

 A1C ≤ 10%, mengalami ketoasidosis dan penurunan berat badan pada anak-anak

Pilihan pemberian terapi :

1. Pemberian insulin satu kali sehari 2. Pemberian insulin lebih dari satu kali

sehari

3. Pemberian insulin secara intensif

Pilihan pemberian terapi :

1. Pemberian insulin satu kali sehari 2. Pemberian insulin lebih dari satu kali

sehari

3. Pemberian insulin secara intensif

Pilihan pemberian terapi :

1. Pemberian insulin satu kali sehari 2. Pemberian insulin lebih dari satu kali

sehari

3. Pemberian insulin secara intensif

Pemberian insulin satu kali sehari

Sebelum tidur : NPH(pen/vial)/hari atau insulin long-acting (pen/vial)/hari  Sebelum makan malam : kombinasi NPH

dengan short-acting insulin dengan rasio 2:1 (vial) atau premix 70/30 or 75/25 pen/vial)

Dosis : 0.1-0.25 units/kg, atau 6-10 unit

Tingkatkan dosis setiap 2-3 hari untuk mencapai kadar glukosa darah puasa  Dilakukan titrasi apabila kadar glukosa darah

puasa :

Rasio pemberian insulin secara bolus : basal (1:1) secara subkutan

 Basal : NPH sebelum makan pagi atau sebelum tidur atau long-acting nsulin/ hari (pen/vial)  Bolus: short-acting insulin pada saat makan

(Lispro/Aspart) (pen/vial)

Dosis insulin sebelum makan :

1. Insulin untuk pencernaan karbohidrat 2. Penambahan insulin untuk mengkoreksi monitoring kadar glukosa dengan menggunakan

short-acting insulin pada saat makan (Lispro/Aspart) (pen/vial)

(1 unit 1500/ total penggunaan insulin 1 hari atau insulin regular, 1800/ total penggunaan insulin 1 hari

Dosis awal : 0.3–0.5 units/kg/hari

Pemberian insulin lebih dari satu kali sehari

2 suntikan :

Membagi campuran NPH + short-acting

insulin (vial) dengan rasio 2:1 atau 1:1 atau premix 70/30; 75/25 or 50/50 (pen/vial)  3 suntikan :

Apabila hipoglikemia terjadi pada malam hari : diberikan short-acting insulin sebelum makan pagi dan sebelum makan malam

NPH: diberikan sebelum makan pagi dan sebelum tidur (pen/vial) atau long-acting insulin = glargine (pen/vial). Dosis : 0,3-0,5 unit/kg/ hari untuk mencapai target glikemik Target

glukosa darah tidak tercapai selama 6-12 minggu

Monitoring A1c setiap 3-6 bulan dan sesuaikan dosis untuk menjaga target glukosa darah

Pramlintid digunakan sebagai terapi tambahan terhadap insulin pada pasien yang tidak dapat menstabilkan glukosa darah setelah makan.

Target glukosa darah tidak tercapai selama 3-6 bulan

(49)

yang bekerja lama (long acting) sebelum tidur atau pagi hari (dosis 10 unit atau 0,2 unit/kg)

Jika terjadi efek hipoglikemia atau kadar glukosa puasa kurang dari 3,9 mmol/L atau 70 mg/dL maka dosis insulin sebelum tidur dikurangi 4 unit

AIC ≥ 6,5% setelah 2-3 bulan

AIC ≥ 6,5% setelah 3 bulan

Mengecek kadar glukosa puasa menggunakan finger stick setiap hari dan tingkatkan dosis sebanyak 2 unit setiap 3 hari sampai kadar glukosa puasa mencapai target yaitu 3,9-7,2 mmol/L atau 70-130 mg/dL. Dosis dapat ditingkatkan menjadi 4 unit setiap 3 hari apabila kadar glukosa puasa lebih besar dari 10 mmol/L atau 180 mg/dL

Jika kadar glukosa puasa tidak mencapai target yaitu 3,9-7,2 mmol/L atau 70-130 mg/dL, cek kadar glukosa darah sebelum makan, makan malam dan sebelum tidur. Tergantung pada hasil kadar glukosa darah tambahkan injeksi insulin kedua dengan dosis dimulai dari 4 unit selanjutnya 2 unit setiap 3 hari hingga kadar glukosa darah mencapai target

Kadar glukosa darah insulin NPH pada saat makan pagi atau insulin yang bekerja cepat pada saat makan siang Kadar glukosa darah

Mengecek kembali kadar glukosa sebelum makan dan jika tidak mencapai target maka memerlukan penambahan injeksi insulin lainnya. Jika AIC secara kontinu tidak mencapai target maka dilakukan pengecekan pada kadar glukosa darah dua jam setelah makan dan penambahan insulin yang bekerja cepat sebelum makan

(50)

D. Obat-Obat Antidiabetik Oral

Menurut American Diabetes Association terdapat 8 golongan obat

hipoglikemik oral yang digunakan pada pasien diabetes melitus tipe 2 yaitu

biguanid, insulin secretagogues (sulfonilurea dan meglitinid), thiazolidinedion,

inhibitor α-glukosidase, DPP-4 inhibitor, GLP-1 reseptor agonis, analog amilin dan

sekuestran pengikat asam empedu (Inzucchi et al., 2012) dan (Katzung, 2012).

Terdapat 5 golongan insulin yang tersedia yaitu rapid-acting insulin, short-acting

insulin, intermediate-acting insulin, long-acting insulin dan pre-mixed insulin

(Triplitt, 2008).

1. Biguanida

Metformin merupakan golongan obat biguanid yang digunakan sebagai

terapi lini pertama pada pengobatan diabetes melitus tipe 2. Selain metformin

terdapat fenformin yaitu golongan biguanid pertama yang dihentikan di Amerika

Serikat karena menimbulkan asidosis laktat dan manfaat pemakaiannya dalam

jangka waktu yang panjang belum terbukti (Boussageon et al., 2012). Mekanisme

kerja biguanid yaitu penurunan glukoneogenesis di hati dan ginjal, penurunan

absorbsi glukosa dari saluran cerna dengan peningkatan konversi glukosa menjadi

laktat oleh enterosit, stimulasi langsung glikolisis di jaringan dengan peningkatan

bersihan glukosa dari darah dan penurunan kadar glukagon plasma (Kandarakis,

(51)

Metformin merupakan contoh dari biguanid yang memiliki keuntungan tidak

menimbulkan efek hipoglikemia dibandingkan sulfonilurea dan insulin. Waktu

paruh metformin adalah 1,5 hingga 3 jam, dosis metformin yaitu 500 mg/hari,

maksimum 2,26 g/hari dan pemberian obat setelah makan (Irons and Minze, 2014).

Metformin digunakan sebagai pilihan terapi utama pada pasien diabetes melitus tipe

2 yang tidak dapat dikontrol dengan pengaturan pola gaya hidup dan diet sehat.

Metformin dapat dikombinasikan dengan obat hipoglikemik oral lainnya dan insulin

(Inzucchi et al., 2012).

Efek samping dari metformin adalah dapat mengakibatkan penurunan

glukoneogenesis sehingga menganggu metabolisme asam laktat di hati dan

menimbulkan risiko terjadinya asidosis laktat pada pasien yang mengalami

gangguan ginjal (Irons and Minze, 2014). Efek samping yang jarang terjadi di

saluran cerna seperti anoreksia, mual, muntah, rasa tidak nyaman di abdomen dan

diare (Mane et al, 2012). Biguanid dikontraindikasikan pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal, hati, gangguan jantung kongestif dan wanita hamil

(Ramachandran et al., 2014).

2. Sulfonilurea

a. Penggunaan terapeutik. Sulfonilurea merupakan obat hipoglikemik yang

pertama kali diperkenalkan dalam praktik klinis. Obat ini merupakan pilihan

terapi kedua pada penderita diabetes melitus tipe 2 setelah penggunaan

(52)

untuk mengendalikan hiperglikemia yang tidak dapat dikendalikan dengan

pola diet sehat dan memiliki kelenjar pankreas yang mampu memghasilkan

insulin (Hirst, 2013).

b. Mekanisme kerja. Sulfonilurea memilki mekanisme kerja utama yaitu

meningkatkan pelepasan sekresi insulin atau merangsang pelepasan insulin

dari sel-sel beta pankreas (Inzucchi et al., 2012). Mekanisme kerja dari

sulfonilurea berdasarkan Gambar 4 di bawah ini adalah sulfonilurea

berikatan dengan reseptor sulfonilurea dengan afinitas tinggi yang

berhubungan dengan kanal kalium yang sensitif terhadap ATP pada bagian

dalam sel beta pankreas. Pengikatan sulfonilurea akan menghambat efluks

ion kalium, sehingga menimbulkan depolarisasi yang dapat membuka kanal

ion kalsium dan menimbulkan influks kalsium. Terbukanya kanal ion

kalsium akan merangsang terjadinya pelepasan insulin (Verma, 2010).

(53)

Terdapat dua mekanisme kerja tambahan dari sulfonilurea yaitu

penurunan kadar glukagon serum dan penutupan kanal kalium di jaringan

selain pankreas. Jangka panjang pemberian sulfonilurea pada penderita

diabetes melitus tipe 2 adalah untuk mengurangi kadar glukagon serum yang

berperan menimbulkan efek hipoglikemia. Mekanisme penutupan kanal

kalium di jaringan selain pankreas yaitu sulfonilurea berikatan dengan

reseptor sulfonilurea di jaringan selain pankreas pada kanal kalium dengan

afinitas pengikatan yang bervariasi diantara golongan obat dan kurang kuat

dibandingkan pada reseptor sel beta pankreas (Katzung, 2012).

c. Klasifikasi sulfonilurea. Sulfonilurea dapat diklasifikasikan menjadi dua

yaitu generasi pertama dan generasi kedua. Sulfonilurea generasi pertama

yaitu tolbutamid, klorpropamid dan tolazamid, sedangkan sulfonilurea

generasi kedua terdiri dari glimepirid, gliburid atau glibenklamid, glipizid,

gliklazid dan gliquidon (Inzucchi et al., 2012). Sulfonilurea generasi pertama

memiliki durasi kerja yang lebih singkat yaitu kurang dari 12 jam

dibandingkan dengan sulfonilurea generasi kedua yaitu lebih besar dari 24

jam. Hal ini disebabkan karena perbedaan proses metabolisme, aktivitas

metabolit dan proses eliminasi (Linn, 2009).

Tolbutamid memiliki waktu paruh eliminasi 4 hingga 5 jam, paling

baik diberikan dalam dosis yang tinggi, dimetabolisme di hati, kerja dari obat

(54)

seperti dikumarol, fenilbutazon, sulfonamid dapat menghambat metabolisme

tolbutamid dan klorpropamid. Klorpropamid memiliki waktu paruh 32 jam,

dimetabolisme di hati, kontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hati,

ginjal dan pasien lansia. Tolazamid memiliki kerja yang lebih pendek

dibandingkan klorpropamid dan memiliki waktu paruh sekitar 7 jam

(Katzung, 2012).

Penggunaan sulfonilurea generasi kedua lebih banyak digunakan

dibandingkan sulfonilurea generasi pertama karena memiliki efek samping

yang lebih jarang terjadi dan kurang berinteraksi dengan obat lain.

Penggunaan sulfonilurea generasi kedua harus digunakan secara hati-hati

pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler dan lansia (Katzung, 2012).

Glimepirid memilki efek utama yaitu peningkatan pelepasan insulin

pada sel beta pankreas sebagai respon terhadap kadar glukosa serum (Mittal

and Juyal, 2012). Glimepirid juga meningkatkan ambilan glukosa dalam otot

dan jaringan adiposa dengan meningkatkan jumlah molekul transporter

glukosa dalam membran plasma otot perifer dan jaringan adiposa. Selain itu

glimepirid mengaktifkan insulin yang dimediasi oleh sintesis glikogen,

lipogenesis dan menghambat glukoneogenesis hepatik (Rani, 2013).

Glimepirid diberikan sebagai monoterapi pada pasien diabetes

melitus tipe 2 yang tidak dapat dikontrol dengan diet dan modifikasi gaya

(55)

Glimepirid harus digunakan hati-hati pada pasien lansia, penyakit ginjal dan

hati (Basit, 2012). Dosis awal yang diberikan adalah 1 mg/hari dan dosis

maksimal yang dianjurkan adalah 8 mg/hari. Obat ini bekerja dalam waktu

yang lama dan dimetabolisme di hati (BNF, 2011). Glimepirid di dalam

tubuh dimetabolisme oleh enzim CYP2C9 (Lacy, 2012).

Gliburid atau glibenklamid dimetabolisme dihati, dosis awal yang

diberikan adalah 2,5 mg/hari. Dosis pemeliharan yang diberikan yaitu 5-10

mg/hari diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Gliburid memilki

efek samping dapat menimbulkan hipoglikemia dan dikontraindikasikan

pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal (Pantaloneet al., 2010).

Glipizid memiliki kelarutan rendah, permeabilitas tinggi,

dimetabolisme di hati dan memiliki waktu paruh 2-4 jam. Glipizid harus

diberikan 30 menit sebelum makan pagi karena absorbsinya akan terhambat

bila diberikan secara bersamaan dengan makanan (Srilatha, 2013). Dosis

awal yang diberikan adalah 5 mg/hari secara dosis tunggal. Dosis maksimum

adalah 40 mg/hari, dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan hati

dan ginjal karena berisiko tinggi mengalami hipoglikemia (BNF, 2011).

Gliklazid memiliki efek anti agregasi trombosit yang poten. Dosis

terapi yang diberikan pada pasien adalah 40-80 mg/hari dalam dosis tunggal

pada saat makan pagi dan dosis maksimal gliklazid yaitu 320 mg/hari (BNF,

Gambar

Gambar 1. Bagan algoritma terapi farmakologi diabetes melitus tipe II  (Triplitt, 2008) dan (Inzucchi et al., 2012).
Gambar 4. Mekanisme kerja sulfonilurea (Katzung, 2012).
Tabel I. Kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro (2007)
tabel dan diagram. Hasil analisis data mencakup karakteristik pasien diabetes
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Menteri Negara Koperasi Nomor 19 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh

[r]

463 Penyusun Program Peningkatan Kualifikasi Pendidikan Dalam Negeri Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi 7 4 464 Penyusun Program Peningkatan Kualifikasi Pendidikan

[r]

Dalam kegiatan pemeliharaan suatu perusahaan merupakan persoalan yang menyangkut usaha-usaha untuk menghilangkan kemungkinan–kemungkinan yang menimbulkan kemacetan yang

Perhitungan pada metode tenaga kerja berubah di atas kemudian akan digunakan untuk perhitungan ongkos produksi metode tenaga kerja berubah, dimana pada

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan luas lahan mangrove yang terjadi di kawasan pesisir Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak

mengeksploitasi Migas Natuna, tetapi juga harus segera membangun armada kapal penangkap ikan yang tangguh dan professional di Natuna, Armada ini harus bermarkas di Natuna,