• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

TEBANGAN PADA BERBAGAI TIPE HUTAN DI SUMATERA BAGIAN UTARA1) Oleh :

Aswandi2) dan Rusli MS Harahap2)

ABSTRAK

Dasar ilmiah berbagai sistem silvikultur seperti TPI, TPTI, TPTJ, TJTI belum dikuasai secara tepat, sehingga penerapannya secara teknis menghadapi banyak masalah. Hal ini perlu dikaji mengingat kompleksnya permasalahan kehutanan di Indonesia dan telah masuknya pengelolaan hutan pada siklus tebangan kedua yang menyebabkan pengelolaan hutan mengarah pada pengelolaan hutan bekas tebangan. Tindakan pembinaan tegakan hingga umur delapan tahun setelah penebangan pada beberapa IUPHHK di Sumatera bagian utara tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap prediksi riap diameter dan siklus tebang 35 tahun pada siklus tebangan kedua belum memberikan hasil lestari. Hal ini didukung oleh riap diameter yang lebih kecil dari satu sentimeter per tahun. Oleh karena itu, memperpanjang siklus tebang atau menurunkan limit diameter merupakan alternatif untuk menjaga kelestarian hasil. Untuk meningkatkan efisiensi pelaksanaan pembinaan tegakan dalam TPTI, dapat dilakukan alternatif penyederhanaan tahapan pembinaan tegakan dilakukan dengan mengintegrasikan kegiatan perapihan, pembebasan dengan Inventarisasi Tegakan Tinggal pada satu tahun setelah penebangan sehingga kegiatan berikutnya dilakukan lebih awal. Penanaman pengkayaan dapat dilakukan pada tapak-tapak terbuka dengan jenis-jenis yang tepat dan sesuai untuk masing-masing tipe hutan segera setelah penebangan.

Kata kunci : Sistem silvikultur, TPTI, pembinaan tegakan, riap, hutan bekas tebangan

I. PENDAHULUAN

Salah satu pertanyaan yang selalu mengemuka apabila kita berbicara tentang kelestarian hutan adalah apa yang menyebabkan hutan produksi yang dikelola Hak Pengusahaan Hutan (HPH) banyak yang rusak atau memiliki produktivitas rendah. Berbagai jawaban tentang penyebab kerusakan dapat diperoleh seperti

illegal logging, kebakaran hutan, perambahan, penegakan hukum yang lemah, tidak dilakukannya pembinaan tegakan akibat pengawasan yang lemah, dan sebagainya.

Banyaknya hutan bekas tebangan yang rusak, tentu saja menimbulkan keprihatinan. Keprihatinan tersebut terlihat dengan semakin seringnya Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) diusik-usik ‘kemapanannya’ sebagai sistem silvikultur di hutan alam. Ada yang beranggapan tidak cocok lagi diterapkan pada hutan bekas tebangan terutama dengan produktivitas rendah, tidak punya dasar ilmiah yang cukup sehingga perlu direvisi, dan berbagai alasan lainnya.

Sesungguhnya apa yang salah dengan TPTI? Konsepnya yang salah atau pelaksanaannya. Apabila kita berfikir pelaksanaan yang salah akibat konsep yang

1Makalah Penunjang pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September 2006.

(2)

salah, maka tentu saja kita harus segera merevisi atau mengganti konsep tersebut. Pelaksanaan yang salah juga dapat diakibatkan oleh berbagai eksternalitas seperti lemahnya pengawasan, penegakan hukum, dan berbagai faktor lainnya yang saling terkait.

Bagi yang berfikir konsep TPTI perlu diganti, telah muncul berbagai sistem baru seperti TJTI, TPTJ, dan terbaru TPTII yang memiliki berbagai perbeda-an dengperbeda-an TPTI (Fatawi, 1999; Soekotjo, 2000). Bagi yperbeda-ang masih memperbeda-andperbeda-ang TPTI tetap sesuai, juga telah muncul pemikiran untuk merevisi sistem tersebut, terutama menyederhanakan rangkaiannya yang panjang.

Memang rangkaian tahapan TPTI belum didasari pertimbangan ilmiah yang cukup, sehingga efektivitas tahapan TPTI sering diperdebatkan. Sering muncul pertanyaan perlu tidaknya pengkayaan, pembebasan, dan penjarangan mengingat kemampuan regenerasi hutan alam yang cukup besar (Fatawi, 1999; Sutisna, 1999; Soekotjo, 2000). Apakah permasalahan tidak pulihnya hutan bekas tebangan lebih disebabkan oleh tidak adanya pengkayaan yang cukup atau disebabkan oleh penebangan yang melebihi ketentuan?

Pertanyaan ini terus mengemuka sehingga kajian-kajian penyempurnaan rangkaian tahapan sistem TPTI yang sesuai merupakan hal yang perlu dilakukan. Penyempurnaan tersebut dapat berupa penyederhanaan tahapan atau mengkaji kesesuaian suatu teknik silvikultur dengan karakter biofisik hutan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1) gambaran umum pelaksanaan sistem silvikultur TPTI yang diterapkan oleh unit-unit manajemen obyek penelitian; 2) data informasi pertumbuhan hutan bekas tebangan dan memberikan rekomendasi alternatif penyempurnaan sistem silvikultur.

II. METODOLOGI A. Waktu dan Lokasi

Penelitian dilaksanakan pada tahun 2004 dan 2005. Obyek penelitian adalah kinerja pengelolaan hutan dan tegakan hutan pada areal IUPHHK Koperasi Andalas Madani (KAM) di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumetera Barat; IUPHHK PT. Inanta Timber Trading & Co. (ITT) dan PT. Keang Nam Development Indonesia (KNDI) di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara; HPH PT. Diamond Raya Timber (DRT) di Riau; IUPHHK PT. Asialog dan PT. Putraduta Indah Wood (PIW) di Provinsi Jambi. Lokasi-lokasi ini mewakili tipe hutan tanah kering di kepulauan (KAM), hutan tanah kering dataran rendah (PT. ITT, PT. KNDI, dan PT. Asialog), dan hutan rawa (PT. DRT dan PIW).

B. Prosedur

1. Pengamatan pelaksanaan TPTI yang difokuskan pada kegiatan pembinaan tegakan seperti pembebasan, pengkayaan, penjarangan, dan penanaman pengkayaan (Departemen Kehutanan, 1993).

2. Perhitungan riap/pertumbuhan hutan bekas tebangan melalui pengukuran dan perhitungan data Petak Ukur Permanen (PUP).

C. Analisa Data

1. Pertumbuhan tegakan akibat berbagai perlakuan silvikultur dihitung sebagai riap tahunan berjalan (CAI).

(3)

2. Rekomendasi penyempurnaan sistem TPTI dilakukan dengan membangun model simulasi.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengamatan Pelaksanaan Tahapan TPTI

Secara umum pelaksanaan tahapan TPTI terutama pembinaan tegakan pada ketujuh lokasi penelitian belum dapat dikatakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini terlihat dari lemahnya perencanaan dan dukungan sarana prasarana pada setiap tahapan kegiatan. Berdasarkan wawancara dengan staf perusahaan dan pengamatan di lapangan pada IUPHHK PT. ITT dan PT. KNDI di Madina Sumut, beberapa tahun belakangan hampir tidak ada kegiatan pembinaan tegakan kecuali pemeliharaan persemaian yang tidak jadi ditanam sehingga telah berukuran cukup besar. Lemahnya status keamanan hutan turut mendorong hal ini terjadi, di mana pelaksanaan TPTI menjadi tidak berarti akibat illegal logging,

perladangan dan perambahan hutan, dan hal ini menjadi justifikasi unit manaje-men untuk tidak melakukan kegiatan pembinaan hutan. Kondisi ini semakin diperparah dengan kurangnya pengawasan oleh instansi yang berwenang.

Dengan alasan sulitnya aksesibilitas di hutan rawa dalam jarak yang cukup jauh setelah jalan rel cabang dibongkar (5 sampai 12 bulan setelah kegiatan penebangan), rangkaian kegiatan pembinaan seperti pembebasan lanjutan, penjarangan, dan pemeliharaan tanaman pengkayaan/rehabilitasi tidak dilakukan sepenuhnya pada IUPHHK PT. PIW yang beroperasi pada hutan rawa gambut di Jambi.

Kinerja pengelolaan yang relatif lebih baik ditunjukkan oleh IUPHHK KAM Mentawai, PT. Asialog di Jambi, dan PT. DRT di Riau. Berdasarkan pantauan lapangan dan wawancaran dengan staf perusahaan, tahapan kegiatan TPTI (terutama tertib administrasi) dilakukan dengan relatif teratur walaupun kinerja di lapangan masih rendah terutama untuk kegiatan pengkayaan. Akan tetapi kinerja unit manajemen perlu terus dipantau karena pada saat ini usia pengusahaan UPHHK KAM baru memasuki tahun kelima.

Lemahnya pengawasan dan tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran pengelolaan hutan merupakan salah satu faktor eksternal yang mengakibatkan tidak berjalannya kegiatan pembinaan tegakan. Tidak jelasnya peran dan tanggung jawab berbagai pemangku kebijakan seperti Dinas Kehutanan dan Departemen Kehutanan (Ditjen BPK) mengakibatkan lemahnya kinerja pengawasan. Oleh karena itu penguatan peran Litbang Kehutanan dalam pemantauan kegiatan pembinaan tegakan dan dampak lingkungan perlu dilakukan.

B. Efektivitas Pembinaan Tegakan

Tindakan pembinaan tegakan terlihat belum memberikan pengaruh signifi-kan terhadap riap diameter pada umur 8 tahun setelah penebangan pada IUPHHK PT. PIW. Rata-rata riap diameter tanpa pembinaan tegakan adalah 0,326 cm/thn dan 0,345 cm/thn dengan pembinaan. Hal ini dimungkinkan karena masih mudanya usia bekas tebangan di mana rumpang yang terbuka akibat penebangan masih cukup lebar sehingga kompetisi antar pohon belum terjadi. Besaran riap diameter rata-rata yang lebih kecil dari 1 cm/tahun juga terlihat pada pertumbuhan hutan bekas tebangan di Kepulauan Mentawai (Lampiran 1).

(4)

Namun demikian, nilai yang berbeda ditunjukkan oleh riap hutan rawa bekas tebangan pada HPH PT. DRT di Riau. Tindakan silvikultur seperti pembebasan dan penjarangan memberikan riap diameter tegakan sebesar 0,43 cm/tahun sedangkan pada petak tanpa perlakuan silvikultur memiliki riap 0,37 cm/thn.

1. Rubah Cara Perhitungan Riap

Selama ini riap tegakan bekas tebangan dihitung sebagai rata-rata semua kelas diameter menurut jenis/kelompok jenis. Cara ini akan menghasilkan riap yang bias sehingga akan mempengaruhi penentuan AAC. Oleh karena itu perhitungan riap perlu disusun menurut batasan limit diameter tebangan (masak tebang dan permudaan). Tabel 1 menunjukkan bahwa apabila riap diameter hutan bekas tebangan yang menjadi dasar penentuan AACmerupakan riap rata-rata total (kolom 4) maka besarnya

AAC yang dihitung akan cen-derung overestimate karena riap diameter pada limit pene-bangan (KD > 50) lebih kecil (kolom 3).

2. Prediksi Kelestarian

Hasil simulasi dinamika struktur tegakan memperlihatkan bahwa pada siklus tebang 35 tahun tegakan sulit untuk mendekati kondisi semula (Aswandi, in press; LHP, 2005). Panjang siklus tebang yang lestari dengan limit diameter 50 cm adalah siklus 45 tahun. Siklus tebang dapat diperpendek dengan menurunkan limit diameter tebang.

C. Alternatif Penyederhanaan Tahapan TPTI

Menggantikan TPTI dengan sistem silvikultur yang baru atau merevisinya (menyederhanakannya) dengan mempertimbangkan resiko ekologis yang cukup besar apabila menerapkan sistem silvikultur yang relatif baru merupakan hal yang layak dipertimbangkan.

Aksesibilitas yang relatif sulit pada hutan rawa gambut merupakan salah satu pembatas kegiatan pembinaan tegakan setelah jalan rel cabang dibongkar. Oleh karena itu kegiatan pembinaan tegakan seperti pembebasan, pengkayaan, dan penjarangan sebaiknya segera dilakukan setelah penebangan.

Sulitnya mengetahui kinerja kegiatan perapihan karena kondisi tegakan ma-sih cukup terbuka dan kemungkinan terduplikasi dengan kegiatan pembebasan, maka tahapan ini sebaiknya diintegrasikan dengan kegiatan ITT sehingga ITT dapat dimajukan dari Et+2 menjadi Et+1. Dengan demikian pengadaan bibit lebih cepat dilakukan dan penanaman pengkayaan/rehabilitasi pada Et+2 atau juga pada Et+1 dengan jumlah kebutuhan bibit dihitung dari luas persentase keterbukaan areal penebangan. Pengajuan waktu penanaman pengkayaan didasarkan oleh pengalaman tumbuh dengan baiknya beberapa jenis meranti pada tapak-tapak terbuka (Dryobalanops sp. di IUPHHK PT. ITT; meranti serabut (Shorea sp.) di IUPHHK KAM Mentawai). Penjarangan relatif tidak diperlukan karena penebangan itu sendiri dapat berfungsi sebagai penjarangan.

Oleh karena permudaan jenis komersial relatif banyak dijumpai di bawah tegakan bekas tebangan, pengkayaan/rehabilitasi sebaiknya lebih diarahkan pada areal kosong terbuka. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa kegiatan pembuatan jalur untuk pengkayaan malahan mematikan permudaan alami

Tabel 1. Perhitungan riap menurut batasan limit diameter Kelas diameter

Kelompok jenis 10 - 50 > 50 Riap rata-rata

Dipterocarp 0,378 0,327 0,366

Non Dipterocarp 0,317 0,254 0,305

(5)

sehingga kontraproduktif dan pengawasannya sulit untuk mengetahui apakah areal hutan bekas tebangan tersebut telah diperkaya. Sebaliknya akan lebih mudah jika kinerja yang dinilai adalah keberhasilan pengkayaan/rehabilitasi pada areal kosong atau kiri kanan jalan. Kebutuhan bibit juga lebih mudah dihitung dan hal ini merupakan efisiensi dan memberikan kemudahan dalam pengawasannya.

Keluarga Dipterocarpaceae umumnya merupakan jenis klimaks, oleh karena itu kegiatan pengkayaan/rehabilitasi sebaiknya didahului dengan penanaman jenis pionir cepat tumbuh. Setelah terbentuknya naungan yang cukup, baru ditanam jenis Dipterocarpaceae. Penanaman jenis sengon dan kacang-kacangan sebagai tumbuhan pionir pada areal kosong memberikan pertumbuhan yang baik bagi jenis Dipterocarpaceae.

Pada hutan rawa, rehabilitasi bekas TPn dan kiri kanan jalan sebaiknya dengan jenis pohon niagawi yang bersifat intoleran terhadap cahaya, sedangkan di bekas jalan rel dan jalan sarad yang masih terdapat naungan dapat menggunakan jenis semi toleran. Jenis yang ditanam pada tanah kering direkomendasikan jenis-jenis Dipterocarpaceae cepat tumbuh semi intoleran.

Hasil analisis sementara plot pembinaan tegakan pada petak ukur permanen tidak menunjukkan perbedaan pertumbuhan pada berbagai tingkat pembebasan dan penjarangan. Oleh karena itu frekuensi penjarangan dapat dikurangi dari tiga menjadi satu kali saja yakni pada tahun ke-10 setelah penebangan.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan

Secara umum pelaksanaan tahapan TPTI terutama pembinaan tegakan pada lokasi-lokasi penelitian belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini terlihat dari lemahnya perencanaan dan dukungan sarana prasarana pada setiap tahapan kegiatan.

Tindakan pembinaan tegakan belum memberikan pengaruh signifikan ter-hadap riap diameter dan siklus tebang 35 tahun pada siklus tebangan kedua belum memberikan hasil lestari. Hal ini didukung oleh riap diameter yang lebih ke-cil dari satu sentimeter per tahun. Oleh karena itu, memperpanjang siklus tebang atau menurunkan limit diameter merupakan alternatif untuk menjaga kelestarian hasil.

Untuk meningkatkan efisiensi pelaksanaan pembinaan tegakan dalam TPTI, dapat dilakukan alternatif penyederhanaan tahapan pembinaan tegakan dilakukan dengan mengintegrasikan kegiatan perapihan, pembebasan dengan Inventarisasi Tegakan Tinggal pada satu tahun setelah penebangan sehingga kegiatan berikutnya dapat dilakukan lebih awal.

B. Rekomendasi

1. Untuk meningkatkan kinerja pengawasan kegiatan pembinaan hutan bekas tebangan maka perlu diperkuat kembali peran dan tanggung jawab berbagai pihak pemangku kebijakan.

2. Penyederhanaan tahapan pembinaan tegakan dapat dilakukan dengan mengintegrasikan berbagai kegiatan seperti perapihan, pembebasan dengan inventarisasi tegakan tinggal sehingga rangkaian kegiatan berikutnya dapat dilakukan lebih awal.

(6)

3. Kegiatan pengkayaan/rehabilitasi lebih diarahkan pada areal terbuka dengan jenis yang tepat. Sebelum areal terbuka diperkaya sebaiknya didahului dengan penanaman jenis pionir atau penutup tanah lainnya.

4. Panjang siklus tebang 35 tahun tidak memberikan jumlah penebangan yang lestari, asumsi riap 1 cm/thn tidak terpenuhi sehingga preskripsi penebangan harus dikaji kembali.

5. Karena riap tegakan sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat tumbuh, penyeragaman preskripsi silvikultur harus dihindari. Pada setiap lokasi dan tipe hutan harus disusun preskripsi yang spesifik berdasarkan seri data pertumbuhan yang panjang.

DAFTAR PUSTAKA

Aswandi, 2005. Model Analisis Sistem Dinamika Pertumbuhan dan Pengaturan Hasil Hutan Rawa Bekas Tebangan di Riau. Laporan Hasil Penelitian. Departemen Kehutanan. 1993. Pedoman dan Petunjuk Teknis Tebang Pilih Tanam

Indonesia. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Jakarta.

Fatawi, M. 1999. Tinjauan Sistem Silvikultur Hutan Hujan Tropika di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999 : Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Laporan Hasil Penelitian. 2005. Penelitian Riap Hutan Bekas Tebangan di Jambi dan Sumatera Barat. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera. Tidak dipublikasikan.

Soekotjo, O.H. 2000. Silvikultur Intensif untuk Meningkatkan Produktivitas, Efisiensi, Kompetitif dan Kelestarian Hutan Humida Tropis Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999 : Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sutisna, M. 1999. Strategi Silvikultur untuk Meningkatkan Kelestarian Produktivias Hutan Alam di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Status Silvikultur 1999 : Peluang dan Tantangan Menuju Produktivitas dan Kelestarian Sumberdaya Hutan Jangka Panjang. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

(7)

Lampiran 1. Riap diameter pada beberapa lokasi penelitian

a. Riap rata-rata diameter hutan rawa PT. Putraduta, Jambi

Riap diameter Pembinaan tegakan KD10 KD20 KD30 KD40 KD50 Rata-rata Tanpa perlakuan : Dipterocarp 0,384 0,368 0,374 0,367 0,335 0,365 Non Dipterocarp 0,313 0,312 0,313 0,283 0,214 0,287 Rata-rata 0,349 0,340 0,344 0,325 0,275 0,326 Perlakuan : Dipterocarp 0,403 0,381 0,389 0,348 0,318 0,368 Non Dipterocarp 0,366 0,307 0,339 0,304 0,294 0,322 Rata-rata 0,385 0,344 0,364 0,326 0,306 0,345

Sumber : LHP Penelitian Riap Hutan Bekas Tebangan di Jambi dan Sumatera Barat (2005)

b. Riap rata-rata diameter hutan rawa HPH PT. DRT di Riau

Riap diameter Perlakuan silvikultur

10-19 20-29 30-39 40-49 >50 Rata-rata

Tanpa perlakuan :

Dipterocarp komersial 0,393 0,407 0,274 0,370 0,351 0,355

Non Dipterocarp komersial 0,422 0,381 0,396 0,354 0,376 0,386

Non komersial 0,352 0,307 0,314 0,357 0,479 0,336

Rata-rata 0,352 0,307 0,314 0,357 0,479 0,336

Dengan perlakuan :

Dipterocarp komersial 0,725 0,556 0,391 0,451 0,377 0,533

Non Dipterocarp komersial 0,462 0,449 0,860 0,508 0,541 0,553

Non komersial 0,417 0,403 0,411 0,419 0,390 0,409

Rata-rata 0,454 0,429 0,608 0,464 0,454 0,478

Sumber : Aswandi (in press)

c. Riap rata-rata diameter hutan pulau IUPHH KAM di Mentawai Kelas diameter Pembinaan tegakan KD20 KD30 KD40 KD50 KD60 Rata-rata Tanpa perlakuan : Dipterocarp 0,762 0,845 0,898 0,843 0,682 0,806 Non Dipterocarp 0,736 0,839 0,841 0,814 0,676 0,781 Rata-rata 0,749 0,842 0,870 0,829 0,679 0,794 Perlakuan : Dipterocarp 0,801 0,863 0,903 0,861 0,673 0,820 Non Dipterocarp 0,727 0,845 0,842 0,823 0,661 0,780 Rata-rata 0,764 0,854 0,873 0,842 0,667 0,800

Referensi

Dokumen terkait

Pendirian rumah ibadah merupakan sesuatu yang sangat hakiki bagi setiap pemeluk agama manapun, karena rumah ibadah selain berfungsi sebagai simbol kesatuan dan

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul:

Sedangkan di Jerman, terdapat kekuasaan kehakiman tertinggi yakni Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) beserta dengan kekuasaan kehakiman yang ada

Bagi penyedia barang/jasa lainnya yang merasa tidak puas terhadap penetapan pemenang pelelangan ini diberi kesempatan untuk megajukan sanggahan secara tertulis ditujukan

Panitia Pengadaan Barang/Jasa akan memberikan jawaban sanggahan melalui Aplikasi SPSE Jateng sesuai sanggahan dari rekanan dengan berpedoman pada peraturan yang

Dengan ini kami beritahukan bahwa Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan Pengadaan Barang/Jasa Pekerjaan Pembangunan Jalan Akses Masuk Tahura Ngargoyoso Tahap II Nomor

Berilah tanda silang (x) pada huruf a, b, c atau d di depan jawaban yang paling benar.. Nama surah Al Maa’un d iambil dari ayat ke

Namun, pada proses daur ulang akan terjadi perubahan pada sifat-sifat seperti sifat mekanis,fisis dan biologis pada nilon sisa setelah prosedur daur ulang maka dibutuhkan