• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Sosial Hak atas Tanah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Fungsi Sosial Hak atas Tanah"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Fungsi Sosial Hak atas Tanah

D

I

S

U

S

U

N

Oleh :

Laurensiah M. Lumban Tobing (130200357)

Dermawan Sitorus (130200459)

Helen Modesty Pasaribu (130200348)

Sheren Murni Utami (130200453)

Desyara Firanda (130200153)

Damaskus Situmeang (130200069)

Riskar Stevanus Tarigan (130200356)

Randy Say Jovita (130200070)

Fernando Situmorang (130200461)

Universitas Sumatera Utara

Fakultas Hukum

2014/2015

1. PENGANTAR

(2)

berkembang di tengah masyarakat “Sedumuk batuk senyari bumi, yen perlu ditohi pati (Jawa) : meskipun sejengkal tanah kalau perlu dibela sampai mati”.

Perdebatan mengenai tanah kian semarak karena urgensi tanah dalam kehidupan manusia yang semakin meningkat dan bahkan dapat dinyatakan bahwa tidak ada aktivitas manusia yang tidak berhubungan dengan tanah. Lahirnya Hukum Agraria Nasional pada tanggal 24 September 1960 yaitu Undang-Undangn No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang populer disebut Undan-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan suatu terang bagi masyarakat yang selama ini mengalami permasalahan yang terkait dengan tanah.Sesuai dengan landasan hukum Agraria Nasional yaitu yang tercantum pada pasal 33 (3) UUD NRI 1945 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Setelah lahirnya UUPA, yang menjadi masalah adalah apakah kemakmuran rakyat yang diamanatkan oleh pasal 33 (3) UUD NRI 1945 telah terlaksana dengan baik? , jawabannya belum. Satu pasal yang begitu mulia yaitu Pasal 6 UUPA, menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Rumusan Pasal tersebut mendapat penjelasan dalam Penjelasan Umum, Angka Romawi II Angka 4 UUPA, yaitu hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.

Tanah merupakan komponen yang sangat vital bagi kelangsungan sosial, khususnya tanah publik kaitannya dengan fungsi sosial tanah yang dimilikinya. Dalam hal ini, tak jarang fungsi sosial tersebut memiliki konsekuensi logis. Misalnya saja permasalahan yang berhubungan dengan pelepasan tanah pribadi untuk kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan sosial. Untuk memperoleh tanah ini peranan pemerintah sangat diperlukan karena terkadang tanah yang akan didirikan atau bangunan tersebut adalah milik rakyat, sehingga untuk memperolehnya harus melalui pemerintahan yaitu dengan cara pencabutan hak atas tanah dan pembebasan hak atas tanah.

Peranan pemerintah atas tanah dalam rangka pembangunan sangat penting sekali sehingga dalam hal ini pemerintah harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan benar.

Pembangunan ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan saja harus mengindahkan prinsip – prinsip hukum akan tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan agar masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu stabilitas masyarakat.

(3)

sebagai tameng, bahkan hak rakyat yang ada diposisikan sebagai hak yang tidak mendukung fungsi sosialnya tanah.

2. PERMASALAHAN

2.1. Bagaimana pengertian fungsi sosial hak atas tanah?

2.2. Hak atas tanah apa saja yang mempunyai fungsi sosial?

2.3. Apa saja pasal yang berkaitan dengan fungsi sosial hak atas tanah?

2.4. Bagaimana implementasi fungsi sosial hak atas tanah di Indonesia serta upaya Pemerintah di dalam menyelesaikan permasalahan tanah berkaitan dengan pembangunan nasional?

3.PEMBAHASAN

3.1. Pengertian fungsi sosial hak atas tanah

3.1.1. Pendapat para ahli :

 Prof. Dr. A.P. Parlindungan, S.H.

Dalam komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria (1991:60-61) menyatakan “pengertian fungsi social daripada tanah adalah jalan kompromis antara hak mutlak dari tanah dengan sistem kepentingan umum dari tanah”

“Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan saling imbang mengimbangi haruslah sebagai dwi tunggal”

“Pencantuman fungsi social dalam perundang-undangan dengan itu adalah merupakan penegasan dari hakekat hukum adat tanah kita sendiri”

 Prof. Boedi Harsono S.H.

Dalam buku Agraria Indonesia (1994: 198,229-231) menegaskan bahwa : Hak atas tanah yang individual dan bersifat pribadi mengandung dalam dirinya unsur kekuasaan atau unsur kemasyarakatan. Unsur ini ada pada setiap hak atas tanah karena semua hak atas tanah secara langsung atau tidak langsung bersumber pada hak bangsa yang merupakan hak bersama. Tanah yang dihaki seseorang bukan hanya mempunyai fungsi bagi yang empunya hak itu saja,tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya.

 Prof. Notonagoro

“Hak milik mempunyai fungsi social itu mendasarkan diri atas individu,mempunyai dasar yang individualistis,ditempelkan kepadanya itu sifat yang social,sedangkan berdasarkan Pancasila, hukum tidak berdasarkan atas corak individualistis tetapi bercorak dwi tunggal itu.

 Prof. Mr. Sudargo Gautama

(4)

demonstratif belaka. Seorang pemilik tanah pertanian tak dapat dibenarkan bilamana tidak mengerjakan tanahnya dan membiarkannya terlantar dalam waktu serba kekurangan bahan makanan bagi rakyat.

3.1.2. Menurut Hukum Perdata Barat dan UUPA

Fungsi Sosial dikonsepsi hukum barat merupakan sesuatu yang timbul kemudian dalam rangka dan sebagai hasil pemikiran kembali haknya individu dan masyarakat. Semula bersangkut pada konsep liberal-individualistis semata-mata, kemudian mengalami proses sosialisasi. Dalam konsep hukum barat tersbut pengertian fungsi social pada hakikatnya berupa pengurangan atau pembatasan individu bagi kepentingan bersama.

Konsep fungsi social dalam hukum adat dan pertanahan nasonal Indonesia adalah merupakan bagian dari alam pikirn asli orang Indonesia,yaitu manusia Indonesia adalah manusia pribadi yang sekaligus makhluk social yang mengusahakan terwujudnya keseimbangan,keserasian dan keselarasan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama(masyarakat).

Intinya,bahwa berdasarkan UUPA tanah itu dipergunakan atau tidak,diusahai atau tidak, harus didasarkan kepada 2 kepentingan sekaligus yaitu kepentingan individu si pemilik dan kepentingan social masyarakat secara berkeseimbangan yang bersifat dwi tunggal. Sedangkan pada hukum perdata barat lebih mengutamakan kepentingan individu dan tidak bersifat dwi tunggal atas kepentingan sipemilik dan kepentinagn masyarakat itu.

Fungsi sosial hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUPA mengandung beberapa prinsip keutamaan antara lain :

1. Merupakan suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut prinsip Hukum Tanah Nasional. Dalam Konsep Hukum Tanah Nasional memiliki sifat komunalistik religius, yang mengatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa, bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

2. Tanah yang dihaki seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang mempunyai hak itu saja tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Sebagai konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan individu saja yang dijadikan pedoman, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat. Harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat.

3. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, artinya keadaan tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut dimaksudkan agar tanah harus dapat dipelihara dengan baik dan dijaga kualitas kesuburan serta kondisi tanah sehingga kemanfaatan tanahnya dinikmati tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi juga masyarakat lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan juga menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah.

(5)

pihak pemerintah, harus memperhatikan jumlah kerugian yang wajar, layak dan adil untuk pemegang tanah. Dengan begitu tujuan UUPA untuk mencari keseimbangan antara dua kepentingan yaitu kepentingan rakyat (pembangunan) dan kepentingan individu dapat segera terwujud dengan baik.

3.2. Hak atas tanah yang mempunyai fungsi sosial

3.2.1. Hak Milik berfungsi Sosial

Pengertian Hak Milik menurut Pasal 20 UUPA bahwa:

“Hak milik adalah Hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”

Terkuat dan terpenuh dalam kandungan pengertian hak milik merupakan hak mutlak tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Ini dimaksudkan untuk membedakan dengan hak atas tanah lainnya. Akan tetapi di dalam kemutlakan hak milik tersebut melekat sebuah ikatan hukum yang bersifat umum dengan segala kepentingannya yang seimbang, yaitu fungsi sosial tanah.

Pasal 6 : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena sesuai dengan asas fungsi sosial ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum menghendakinya.

Arti hak milik mempunyai fungsi sosial ini ialah hak milik yang dipunyai oleh seseorang tidak boleh digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau perseorangan, melainkan juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat umum. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa hak milik atas tanah tersebut perlu dibatasi dengan fungsi sosial dalam rangka mencegah penggunaan hak milik yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuannya.

UUPA menjamin hak milik pribadi atas tanah tersebut tetapi penggunaannya yang bersifat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tidak boleh bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Sehingga timbul keseimbangan, kemakmuran, keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat maupun pribadi yang memiliki tanah. Jadi pemilik tanah tidak akan kehilangan haknya dalam memiliki tanah akan tetapi dalam pelaksanaan untuk kepentingan umum maka haknya akan berpindah untuk kepentingan umum.

3.3. Pasal yang berkaitan dengan fungsi sosial hak atas tanah

(6)

pasal-pasal lainnya yang masih memerlukan penjabaran lebih lanjut adalah merupakan konsrp pokok (azas) dalam UUPA yang wajib dilaksanakan.

3.4. Implementasi fungsi sosial hak atas tanah di Indonesia serta upaya Pemerintah di dalam menyelesaikan permasalahan tanah berkaitan dengan pembangunan nasional.

3.4.1. Implementasi fungsi sosial hak atas tanah di Indonesia

Salah satu contoh bentuk implementasi dari asas fungsi sosial hak atas tanah adalah Sebidang tanah milik salah satu warga yang mana didepan halaman rumahnya terkena pelebaran jalan, jadi pemilik tanah harus merelakan sebagian tanahnya untuk diberikan guna pelebaran jalan untuk

kepentingan umum. Namun dari tanah yang direlakan untuk digunakan pelebaran jalan tersebut pemilik tanah mendapatkan uang ganti rugi dari pemerintah. Dari contoh tersebut seharusnya pemilik tanah memiliki kesadaran menerapkan asas fungsi sosial atas tanah bagi kepentingan umum.

Pada masa pembangunan sekarang ini sering terlihat adanya masalah, yaitu jika pemerintah membutuhkan tanah yang dimiliki penduduk untuk keperluan pembangunan. Konflik itu bisa timbul karena pemerintah di satu pihak memerlukan tanah itu dan di pihak lainya penduduk juga ingin mempertahankan tanah miliknya sebagi sumber mata pencaharian (lahan pertanian misalnya) dan tempat pemukiman.

Menurut ketentuan hukum yang berlaku di indonesia pemerintah memang di berikan wewenang untuk mengambil allih tanah penduduk guna keperluan pembangunan, tetapi pengambilan itu tidak boleh di lakukan dengan sewenang –wenang. Pasal 6 UUPA menegaskan bahwa semua hak atas tanah. Jadi pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk melakukan ambil alih atas tanah-tanah masyarakat untuk keperluan pembangunan.

Dan juga menurut hukum yang berlaku di indonesia ada dua cara yang di tempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang dimiliki oleh warga masyarakat, yaitu cara pembebasan/pelepasan hak atas tanah (prijsgeving) dan cara pencabutan hak atas tanah (onteigening).

Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi kewajiban hukumnya.

Ada perbedaan dalam pembebasan dan pencabutan hak atas tanah baik mengenai dasr hukumnya maupun mengenai prosedur dan penyelesaianya. Secara yuridis tentang pencabutan hak atas tanah di atur dalam UU No. 20 tahun 1961, PP No. 39 tahun 1973 , PMDN No. 15 tahun 1975, PMDN No. 2 tahun 1976, surat edaran dritjen agraria No. 12/108/12/75, surat edaran agraria No. BTU 2/268/2/76 dan lain-lain.

(7)

1. Banyak proyek jalan menjadi bancakan pemangku jabatan dan kontraktor. Proyek peleberan jalan maupun pemeliharaan berkala rentan dijadikan proyek siluman oleh mereka. Salah satu contohnya adalah proyek pelebaran jalan nasional dalam kota Muntok,kab.Bangka Barat. Proyek yang menggunakan dana APBN tahun 2014 sebesar Rp. 22 M, yang dikerjakan PT. Arga Makmur Mandiri itu dipertanyakan banyak pihak termasuk oleh anggota DPRD Bangka Belitung. Pasalnya pengerjaan proyek tersebut terkesan asal jadi tanpa memperhatikan kualitas proyek. Selain itu tidak terlihat adanya pengawas dari Dinas Pekerjaan Umum yang seharusnya mengawasi proyek tersebut.

2. Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen aturan kerjanya Keppres No.55/1993, akan tetapi dalam pelaksanaan pembebasan tanahnya tidak melalui/memakai proses pelaksanaan pengadaan tanah tidak melalui panitia pengadaan tanah sebagaimana yang diatur dalam peraturan yang berlaku yaitu Keppres No.55/1993, tetapi melalui tim yang dibentuk Pemerintah Kotamadya Semarang, Panitia Pembebasan Tanah dan cara penetapan ganti ruginya tidak memakai dasar NJOP. Besarnya ganti rugi uang yang diberikan kepada warga yang tanahnya terkepras sebesar Rp.20.000,-/m2, dengan perincian Rp.15.000,- sebagai uang ganti rugi dan Rp.5.000,- sebagai uang tali asih, ditambah tanah pengganti berlokasi di Jatisari. Pelaksanaan Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen sampai sekarang belum selesai karena terbatasnya dana yang tersedia di Pemkot melalui APBD dan masih adanya masyarakat yang belum mengambil ganti rugi sehingga tanahnya tidak dapat dibebaskan sehingga Pembangunan Pelebaran Jalan Ngaliyan – Mijen tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

3. Jalan Tol Semarang-Solo adalah jalan tol di provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Jalan Tol Semarang-Solo menghubungkan kota Semarang dengan Surakarta. Tol ini mulai dibangun tahun 2009 oleh Jasa Marga dan diperkirakan akan selesai tahun 2012. Panjang jalan tol ini adalah 75,7 km. Adapun jalan tol ini terbagi menjadi lima seksi.Pembangunan Tol Semarang-Solo membutuhkan biaya investasi sebesar 6,1 triliun rupiah, biaya konstruksi 2,4 triliun rupiah, dan biaya pengadaan tanah 800 miliar rupiah (inilah.com, 2009). Konstruksi tol seksi I Semarang (Tembalang)-Ungaran dimulai pada awal tahun 2009. Ditargetkan tol Semarang-Ungaran dapat diselesaikan dalam 13 bulan konstruksi. Tol seksi II Ungaran-Bawen akan mulai dibangun pada November 2009 (ANTARA, 2009).Walaupun telah didukung penuh oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, namun pengerjaan jalan tol tersebut tidak menjamin menemui kendala, bahkan terkesan proyek jalan tol tersebut terindikasi korupsi serta perbedaan rencana antar berbagai pihak mengenai proyek tersebut. Menurut berita ANTARA 14 Juni 2010, pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo rute Kota Semarang hingga Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, terancam tidak selesai sesuai target waktu yang ditentukan. Indikasi itu terlihat dari permohonan kontraktor yang meminta perpanjangan waktu pengerjaan lima bulan lagi terhitung sejak Juni 2010. Banyak berbagai faktor penghambat proyek tersebut selesai tepat waktu, adapun faktor-faktor tersebut adalah pembebasan dan pembayaran ganti rugi lahan, masih ada bangunan milik penduduk yang belum dibongkar, musim hujan yang masih terjadi.

(8)

2010 tabungan senilai Rp 13,2 miliar yang disimpan di Bank Mandiri milik warga Desa Jatirunggo hilang. Uang tersebut merupakan pembayaran atas tanah warga yang dibeli untuk mengganti lahan PT. Perhutani yang terkena proyek Jalan tol Semarang-Solo.Pengadaan tanah di Desa Jatirunggo dinailai merugukan keuangan negara sekitar Rp 8,1 miliar karena pemerintah membayar penggantian lahan Rp 50.000 per meter persegi namun warga hanya menerima Rp 20.000 per meter persegi. Kasus transaksi pemindahbukuan rekening tersebut dinilai Komisi D DPRD Jateng berpindah ke rekening diduga milik broker. Kejadian tersebut semakin tidak wajar karena pihak bank tidak mengklarifikasi pemindahbukuan itu ke warga. Kejati Jateng juga menemukan bukti awal adanya rekayasa musyawarah penentuan harga tanah serta menemukan bukti keterlibatan Agus Sekmaniharto sebagai broker.

Jika dilihat dari permasalahan pembangunan proyek Jalan Tol Solo-Semarang tersebut menunjukkan bahwa lemahnya birokrasi serta semakin besarnya peluang melakukan korupsi di daerah. Rencana pembanguangan yang simpang siur arahnya tersebut menunjukkan bahwa koordianasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota lemah. Lemahnya koordinasi ini terlihat dari keinginan dari Kota Salatiga untuk meminta interchange berada di pusat Salatiga, padahal interchange di pusat Kota Salatiga tidak ada dalam rencana awal. Hal ini menunjukkan bahwa konsistensi pemerintah dalam menjalankan proyek sangat rendah.

Faktor dominan penghambat pelaksanaan pengadaan lahan Jalan Tol Ruas Semarang-Solo Seksi Semarang-Ungaran adalah nilai lahan dan sumber pembiayaan. Faktor nilai lahan disebabkan oleh perbedaan dasar pemikiran antara pemilik lahan dengan panitia dalam penentuan besarnya ganti rugi. Sedangkan faktor sumber pembiayaan disebabkan karena swasta enggan untuk mencairkan dana pengadaan lahan. Adanya risiko pengadaan lahan yaitu tidak adanya kepastian mengenai besaran biaya yang harus dibayar investor dan kepastian waktu kapan lahan dapat dibebaskan menyebabkan investor tidak dapat melanjutkan investasinya karena lahan belum bebas.

Kasus inidikasi korupsi yang berupa perbedaan antara harga tanah yang disepakati negara serta jumlah yang diterima warga menunjukkan bahwa Tim Pengadaan Tanah yang dibentuk pemerintah tidak memiliki intergritas yang baik. Tim tersebut juga diniliai tidak bekerja secara profesional karena ditemukannya kasus negosiasi harga fiktif. Belum lagi adanya peran dari bank yang memindahbukukan renening warga kepada salah satu rekening yang diduga broker semakin menunjukkan bahwa kinerja Tim rendah.

Kasus yang melibatkan perbankan juga memberi sinyal negatif bagi pemberantasan korupsi, padahal perbankan dituntut untuk hati-hati serta profesional dalam menjalankan bisnisnya. Peranperbankan dalam dugaan korupsi semakin meyakinkan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia telah berjalan sistematis. Kejadian ini semakin menguatkan kegagalan pemerintah dalam membagun fasilitas publik yang bersih dari korupsi dan profesional dalam menjalankan proyek publik.

3.4.2. Upaya Pemerintah di dalam menyelesaikan permasalahan tanah berkaitan dengan pembangunan nasional

(9)

Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam pasal 1 UU nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa:

“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendenangar menteri agraria, kehaiman dan mentri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”

Memperhatikan ketentuan yang ada pada pasal 1 UU nomor 20 tahun 1961 di atas, maka sebelum presiden mengeluarkan keputusan terhadap tanah yang akan di cabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti dilakukan suatu permohonan yang di ajukan kepada yang berkepentingan seperti yang telah tertuang di dalam pasal 2 UU nomor 20 tahun 1961

Dan dasar pokok dari UU No 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah itu adalah ketentuan pasal 18 UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) yang menggariskan untuk kepentingan umum negara dapat melakukan pencabutan hak atas tanah. Pada pasal 18 UUPA tersebut selengkapnya sebagai berikut:

“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”

Terhadap salah satu hak atas tanah yaitu hak milik, maka berlaku ketentuan Pasal 27 ayat 1 UUPA yang menyebutkan bahwa, “hak milik hapus jika tanahnya jatuh kepada negara karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA”.

Untuk melaksanakan ketentuan pasal 18 UUPA tentang Ontiegening tersebut dituntut persayaratan tegas dan ketat sebagai berikut:

1. Pencabutan hak hanya dapat dilaksanakan bilamana kepentingan umum benar-benar menghendaki. Unsur kepentingan umum ini harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini;

2. Sesuai dengan ketentuan UU No. 20 tahun 1961 pencabutan hak atas tanahnya dapat dilakukan atas izin presiden.

3. Pencabuatan hak atas tanah tersebut harus di sertai ganti rugi yang layak.

Pencabutan hak yang dilakukan oleh pemerintah tanpa mengindahkan persyaratan tersebut adalah merupakan perbuatan melanggar hukum atau menyalahgunakan wewenang oleh pemerintah. Prosedur pencabutan hak atas tanah, pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 tahun 1961 dapat dilakukan dengan baik acara biasa (pasal 2 sampai dengan 5 UU No. 20 tahun 1961) maupun dengan acara luar biasa (pasal 6 sampai dengan 8 UU No. 20 tahun1961)

1. Dengan acara biasa

(10)

a. rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu.

b. keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan.

c. rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan.

2. Dengan acara luar biasa.

Dalam keadaan mendesak pencabutan hak atas tanah dapat dilakuakan dengan acara luar biasa atau acara khusus yang memungkinkanya dilakukan secara lebih cepat. Keadaan mendesak ini misalnya dalam hal berjangkitnya wabah penyakit dan timbulnya alam dimana di perluakan tempat penampungan segera. (Lihat pasal 6 UU No. 20 tahun1961)

1. Menyimpang dari ketentuan pasal 3, maka dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan tanah dan/ atau benda-benda yang bersangkutan dengan segera, atas permintaan yang berkepentingan Kepala Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan hak tersebut pada pasal 2 kepada Menteri Agraria, tanpa disertai taksiran gantn ikerugian Panitya Penaksir dan kalau perlu juga dengan tidak menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah.

2. Dalam hal tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka Menteri Agraria dapat mengeluarkan surat keputusan yang memberi perkenan kepada yang berkepentingan untuk menguasai tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut akan segera diikuti dengan keputusan Presiden mengenai dikabulkan atau ditolaknya permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu.

3. Jika telah dilakukan penguasaan atas dasar surat keputusan tersebut pada ayat 2 pasal ini,maka bilamana kemudian permintaan pencabutan haknya tidak dikabulkan, yang berkepentingan harus mengembalikan tanah dan/atau bendabenda yang bersangkutan dalam keadaan semula dan/atau memberi gantikerugian yang sepadan kepada yang mempunyai hak.

2. Pembebasan Hak atas Tanah

Salah satu cara berakhirnya hak atas tanah adalah apabila terjadinya pembebasan hak atas tanah tersebut. Masalah pembebasan tanah sekarang ini dapat di jumpai aturanya di dalam berbagai peraturan, surat edaran atau intruksi yang di keluarkan oleh Dapertemen Dalam Negeri. Beberapa di antartaranya:

1) Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 tahun 1975 (tanggal 13 Desember 1975) tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah.

2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976 tentang penggunaan acara pembebasan tanah untuk swasta.

3) Surat edaran Direktorat jendral agraria tanggal 28 februari 1978 No. BTU 2/268/1979 tentang PMDN No. 15 tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.

(11)

baik teknis dan pelaksanaanya maupun mengenai besar dan bentuk ganti rugi. Kesepakatan itu dilakukan atas dasar sukarela dengan cara musyawarah. Jika upaya pembebasan tanah menurut prosedur tersebut tidak di capai maka dapat di tempuh prosedur pencabutan seperti diatur dalam UU No. 20 tahun 1961 dengan ketentuan bahwa keperluan atau penggunaan atas tanah itu sangat mendesak.

Pembebasan tanah tidak saja dapat dilakukan untuk kepentingan instansi pemerintahan sja namun intansi swasta juga yaitu dalam hal proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau dalam bidang kepentinganpembangunan secara umum seperti di atur dalam PMDN No. 15 tahun 1975 dan PMDN No 2 tahun1976

Dan bila dalam musyawarah tidak di temui kata sepakat maka dan di dalam UPDN No 15 tahun 1975 juga tidak di jelaskan bagaimana kah jiga tidak ditemui kata sepakat dalam musyawarah untuk pembebasan tanah, maka untuk menguasai tanah tersebut dapat ditempuh prosedur “pencabuatan” sesuai dengan undang-undang no 20 tahun 1961 dengan konsukwensi bahwa prosenya akan berjalan lebih lama.

Tata cara penetapan ganti rugi, apabila penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah tidak diterimah oleh pemegang hak atas tanah akibat pencabutan sesuai ketentuan dalam pasal 8 UU No 20 tahun 1961, pengadilan berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan kasus tersebut. Hal ini diatur dalam peraturan pemerintah dalam Nomor 39 tahun 1973 tentang acara penetapan ganti kerugian oleh pengadilan tinggi sehubungan denagan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Dalam pasal 1 PP Nomor 39 tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut: “permintaan banding tersebut pada pasal 1 peraturan pemerintah ini diajukan kepada pengadilan tinggi yang daerah kekuasanya meliputi tanah dan benda-benda yang haknya di cabut, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (bulan) terhitung sejak tanggal keputusan presiden itu di maksud dalam pasal 5 dan 6 UU Nomor 20 tahun 1961 tersebut di sampaikan kepada yang bersangkutan”

Dalam kaitanya dengan ketentuan dalam pasal 2 di atas, maka pemohon banding mengajukan permohonan baik tertulis maupun secara lisan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 PP Nomor 39 Tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut:

“permintaan banding disampaikan dengan surat atau dengan lisan kepada panitera pengadilan tinggi dimaksud dalam pasal 1 peraturan pemerintah yang diajukan oleh yang bersangkutan yang disampaikan secara lisan permintaan banding diterimah apabila terlebih dahulu dibayar biaya perkara yang di tetapkan oleh ketua pengadilan tinggi apakah pemita banding tidak mampu, maka atas pertimbangan ketua pengadilan tinggi ia dapat dibebaskan dari pembayaran biaya perkara tersebaut pada pasal( 2) ayat ini.

Untuk kelancaran dan kecepatan pemeriksaan terhadap permohonan banding tersebut, maka pengadilan tinggi menentukan jangka waktu lamanya pemeriksaan. Dalam pasal 4 dinyatakan bahwa selambat-lambatnya dalam waktu satu (1) bulan setelah diterimahnya banding, perkara tersebut harus sudah di periksa oleh pengadilan tinggi yang berwsangkutan. Pemeriksaan dan putusan di jatuhkan dalam waktu yang sesingkat-singakatnya.

(12)

(pasal 5 ayat (1)). Selanjutnya permintaan keterangan dari para pihak dapat di limpahkan oleh pengadilan tinggi ke pengadilan negeri, di mana tanah dan benda-benda tersebut terletak (ayat (2)). Pertimbangan pemerintah memberikan kesempatan kepada para pemegang hak atas tanah, tidak mau menerima besarnya ganti kerugian walaupun sudah mendapat keputusan dari presiden, dimaksudkan agar pelaksanaan pencabutan ini dilakukan secara bijak dan hati-hati. Sebab dengan dilakukanya pencabutan, maka para pemegang hak atas tanah semula telah melepaskan haknya tersebut. Prinsip kehati-hatian ini membuat Presiden mengeluarkan intruksi nomor 9 tahun 1973 pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda diatasnya. Dalam intruksi tersebut di tujukan kepada kepada semua mentri dan gubernur di seluruh indonesia, bahwa:

“Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati serta denangan hati-hati serta dengan cara-cara yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-perundangan yang berlaku.”

Dalam instrusi presiden ini telah di tentukan bawa pembangunan yang bersifat kepentingan umum, yaitu apabila kegiatan tersebut menyangkut:

a) Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau b) Kepentingan masyarakat luas, dan/atau c) Kepentingan rakyat banyak, dan/atau d) Kepentingan pembangunan.

Berkaitan dengan poin di atas, menyangkut kegiatan yang dapat dikategorikan sebagi kepentingan umum, maka dalam intruksi presiden tersebut telah di tetapkan biidang bangunan yang masuk dalam kategori sifat kepentingan umum sebagai berikut:

a) Pertahanan;

m) Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.

Suatu hal yang dapat di salut dari adanaya instruksi presiden ini menyangkut mengenai penghargaan terhadap pemegang hak atas tanah yang akan dicabut dengan alasan demi kepentingan umum, karena alasan sangat mendesak. Hal ini di atur dalam pasal 4 intruksi Presiden ini sebagai berikut:

(13)

dalam suatu suatu kegiatan pembangunan yang oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah maupun masyarakat luas pelaksanaanya di anggap tidak dapat di tunda-tunda lagi.

Menelaah ketentuan dalam intruksi Presiden di atas, maka pencabutan hak atas tanah dengan alasan dalam keadaan yang sangat mendesak merupakan persyaratan yang sangat berat. Sebab dengan adanya persyaratan mengenai dapat dilakukan dengan alasan menimbulkan bencana alam akan mengancam keselamatan umum merupakan persyaratan kedua yang mensyaratkan agar pencabutan dapat dilakukan dengan dalih suatu pembangunan yang sangat sulit untuk di buktikan. Oleh kerena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan yang sangat sulit di buktikan. Oleh karena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan pencabutan hak atas tanah meruoakan instrumen hukum yang sangat melindungi kepentingan pemegang hak atas tanah.

4.KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, maka adapun kesimpulan yang dapat diambil adalah:

1. Berdasarkan UUPA tanah itu dipergunakan atau tidak,diusahai atau tidak, harus didasarkan kepada 2 kepentingan sekaligus yaitu kepentingan individu si pemilik dan kepentingan social masyarakat secara berkeseimbangan yang bersifat dwi tunggal. Sedangkan pada hukum perdata barat lebih mengutamakan kepentingan individu dan tidak bersifat dwi tunggal atas kepentingan sipemilik dan kepentinagn masyarakat itu.

2. Setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial sebagaimana termuat di dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Ketentuan tersebut juga berlaku terhadap hak milik sebagai salah satu dari jenis hak atas tanah yang terkuat dan terpenuh dalam kandungan pengertian sebagai hak mutlak tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Sekalipun demikian, hak milik tetap memiliki fungsi sosial karena di dalam Pasal 20 UUPA mengenai pengertian daripada hak milik tetap merujuk pada Pasal 6 UUPA.

3. Terkait dengan masalah pembangunan yang bertujuan untuk kepentingan umum, hak-hak atas tanah termasuk juga hak milik dapat diupayakan pencabutan hak maupun pembebasan hak atas tanah oleh pemerintah daerah setempat yang nantinya akan diberikan ganti rugi atau kompensasi.

4. Berkaitan dengan perwujudan dan pengembangan fungsi social dari hak-hak atas tanah itu di dalam kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara maka pada pasal-pasal lain dalam UUPA terutama pasal 7 (larangan latifundia), pasal 10 (larangan absentee), pasal 17 (penetapan ceiling), pasal 15(kewajiban menjaga kesuburan tanah), pasal 14 (perencanaan peruntukkan dan penggunaan tanah), pasal 18 (pencabutan ha katas tanah), dan pasal-pasal lainnya yang masih memerlukan penjabaran lebih lanjut adalah merupakan konsrp pokok (azas) dalam UUPA yang wajib dilaksanakan.

(14)

5. SARAN

1. Dengan seringnya masalah pencabutan maupun pembebasan hak atas tanah yang terjadi di masyarakat lebih karena penerapan dari aturan-aturan ini yang tidak efektif. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, dimana salah satunya adalah prosedur pelaksanaan maupun ganti kerugian yang terbilang ketat sehingga menimbulkan banyaknya keluhan di masyarakat. Oleh karena itu, dapat disarankan agar di dalam pelaksanaan baik itu pencabutan ataupun pembebasan hak atas tanah yang dilakukan demi kepentingan umum memperhatikan pula hak-hak masyarakat yang dirugikan dalam hal ini agar nantinya tidak menimbulkan masalah-masalah baru di kemudian hari.

2.Hendaknya pasal 6 UUPA ini dapat benar-benar menjadi pasal yang sesuai dengan amanat pasal 33 (3) UUD NRI 1945 yang mengutamakan kemakmuran rakyat, semoga pemerintah dapat lebih baik lagi dalam melindungi hak-hak masyarakat agar tidak diperkosa oleh oknum-oknum yang berkepentingan yang bergerak dengan tameng fungsi social ha katas tanah

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Kalo, Syafruddin. 2004. Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Jakarta: Pustaka Bangsa Press.

Parlindungan, A.P. 1998. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung: Mandar Maju.

Siregar, Tanpil Anshari. 2004. Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bagan. Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU.

Yamin, Muhammad. 2003. Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Perundang-Undangan:

UUD NRI 1945

UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

UU No 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah

Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDP) No. 15 tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemerintah

Majalah:

Muktar, Romli. 2014. “ProyekAsal Jadi Muntok”. Forum Keadilan. XXIV.

Internet:

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu terdapat pusat aktivitas pendidikan baru, Institut Teknologi Sumatera (ITERA), dan aktivitas pemerintahan baru yaitu Kota Baru. Sebagai daerah yang

Jika elektron berpindah dari tingkat energi tinggi ke tingkat energi rendah sehingga foton dipancarkan sebanding dengan perbedaan tingkat energi tsb... EMISI ABSORPSI Analisis

Ketercapaian siswa yang memenuhi ketiga indikator berkemampuan visual, berkemampuan persamaan atau ekspresi matematis dan berkemampuan kata-kata atau teks tertulis hanya

Dari sekian banyak bagian cantik di bangunan tersebut, fasadlah yang sejak awal

Cik Basir, Tahun 2009 tentang, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar‟iyah”.Ada tiga permasalahan pada penelitian tersebut;

Tabel 2.6 Tabel Perhitungan Iterasi Kedua Vogel 15 Tabel 2.7 Tabel Perhitungan Iterasi Ketiga Vogel 15 Tabel 2.8 Tabel Perhitungan Iterasi Keempat Vogel 16 Tabel 2.9

Masterplan Infrastruktur Bidang Cipta Karya diantaranya: Strategi Pengembangan Infrastruktur Permukiman yaitu Strategi Pembangunan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan

13 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan I nfrastruktur;. •