• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Ditinjau Dari Kecerdasan Emosional Dan Spiritual Siswa Smp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Ditinjau Dari Kecerdasan Emosional Dan Spiritual Siswa Smp"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

Perubahan sikap dan tingkah laku seseorang ke arah yang lebih baik merupakan efek dari sebuah proses pendidikan. Dengan pola pendidikan yang berkesinambungan, meliputi seluruh aspek kehidupan, dan mengembangkan potensi manusia merupakan sebuah kunci dalam pembentukan manusia yang paripurna.

Seperti tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, yang berbunyi:

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan pendidikan nasional menghendaki terbentuknya peserta didik yang tidak hanya memiliki kemampuan intelegensi yang unggul saja, tetapi peserta didik yang memiliki keseimbangan dalam aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, dapat disimpulkan bahwa fungsi dan tujuan dari adanya pendidikan tidak hanya untuk meningkatkan Intelegence Quotient (IQ), tapi juga untuk meningkatkan Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa

pada prakteknya pendidikan di Indonesia lebih mengandalkan IQ sebagai patokan utama. Padahal tidak selamanya IQ memberi jaminan kesuksesan masa depan.

(2)

Dari hasil penelitian telah banyak terbukti bahwa kecerdasan emosi memiliki peran yang jauh lebih penting dibandingkan dengan kecerdasan intelektual (IQ). “Menurut berbagai penelitian, IQ hanya berperan dalam kehidupan manusia dengan besaran maksimum 20% , bahkan menurut Steven J. Stein, dan Howard E. Book, M.D. menyebutkan bahwa peranan IQ hanya 6% dalam kehidupan manusia” (Ary Ginanjar Agustian, 2003: 61). Kecerdasan otak barulah merupakan syarat minimal untuk meraih keberhasilan, kecerdasan emosilah yang sesungguhnya mengantarkan seseorang menuju puncak prestasi, bukan IQ. Banyak orang yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi, tetapi terpuruk di tengah persaingan. Sebaliknya banyak yang mempunyai kecerdasan intelektual biasa-biasa saja justru sukses menjadi bintang-bintang kinerja, pengusaha-pengusaha sukses, dan pemimpin-pemimpin di berbagai kelompok.

Ary Ginanjar Agustian mengutip pendapat Danah Zohar dan Ian Marshall tentang definisi dari kecerdasan spiritual dalam bukunya yang berjudul SQ (Spiritual Qoutient):

Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita. (Ary Ginanjar Agustian, 2003: 57)

(3)

Sedangkan di dalam Emotional Spiritual Quotient (ESQ), kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia seutuhnya (hanif), dan memiliki pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip “Hanya karena Allah”. Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya ESQ Power mengungkapkan tentang penggabungan antara EQ dan SQ dan menyebutnya ESQ. Dengan menggunakan istilah Ali Shariati yaitu bahwa:

Manusia adalah makhluk dua dimensional yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan akan kepentingan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, manusia harus memiliki konsep duniawi atau kepekaan emosi dan intelegensia yang baik (EQ plus IQ). Dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau SQ dan merujuk pada istilah bi-dimensional tersebut, sebuah upaya untuk penggabungkan terhadap ketiga konsep itu dilakukan dan diberi nama ESQ atau kecerdasan emosi dan spiritual yang dapat memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan kutub keduniaan. (Ary Ginanjar Agustian, 2003: xx)

Ternyata tidak hanya IQ yang berperan dalam pencapaian kesuksesan seseorang, akan tetapi EQ dan SQ juga memiliki peran dalam kesuksesan seseorang. Atau bisa dikatakan bahwa EQ dan SQ adalah bentuk barometer kesuksesan yang bisa dipercaya. Maka dari itu peningkatan mutu pendidikan harus meliputi berbagai segi. Tak hanya dilihat dari IQ saja, namun juga EQ dan SQ.

Moch. Wahib (2009) mengungkapkan bahwa pendidikan merupakan suatu aspek kehidupan yang sangat mendasar bagi pembangunan bangsa suatu negara. Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang melibatkan guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik, diwujudkan dengan adanya interaksi belajar mengajar atau proses pembelajaran. Dalam konteks penyelenggaraan ini, guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dan berpedoman pada seperangkat aturan dan rencana tentang pendidikan yang dikemas dalam bentuk kurikulum.

(4)

yang menggunakan metode konvensional secara monoton dalam kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga suasana belajar terkesan kaku dan didominasi oleh sang guru.

Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam penyampaian materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk, mencatat, dan mendengarkan apa yang disampaikannya dan sedikit peluang bagi siswa untuk bertanya. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi tidak kondusif sehingga siswa menjadi pasif.

Upaya peningkatan prestasi belajar siswa tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Dalam hal ini, diperlukan guru kreatif yang dapat membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan disukai oleh peserta didik. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa dengan menggunakan model pembelajaran yang tepat agar siswa dapat memperoleh kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain sehingga pada gilirannya dapat diperoleh prestasi belajar yang optimal.

Manusia adalah makhluk sosial. Demikian halnya dengan seorang siswa yang juga merupakan makhluk sosial. Kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama, tidak akan ada individu, keluarga, organisasi, atau sekolah. Tanpa kerja sama, kehidupan ini sudah punah. Begitu pula dalam proses belajar mengajar, diperlukan kerja sama dan membantu untuk memahami suatu bahan pembelajaran.

Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah pengembangan teknis belajar bersama, saling membantu dan bekerja sebagai sebuah tim (kelompok) (Slavin, 1995: 2). Sedangkan menurut Effandi Zakaria dan Zanaton Iksan (2007) ”Cooperative learning is generally understood as learning that takes place in small groups where students share ideas and work collaborativelly from each

other”. Jadi pembelajaran kooperatif berarti belajar bersama, saling membantu

(5)

menyelesaikan tugas yang diberikan dengan baik. Berdasarkan sifat khas bangsa Indonesia yang suka bekerja sama, pembelajaran kooperatif sangat mungkin diterapkan di Indonesia. Di dalam pembelajaran kooperatif akan didapatkan proses kebersamaan dalam pembelajaran. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu bentuk pengajaran atau pembelajaran yang didasarkan pada teori belajar konstruktivisme sosial, dimana diyakini bahwa keberhasilan peserta didik akan tercapai jika setiap anggota kelompoknya berhasil.

Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam mengatasi permasalahan rendahnya prestasi siswa serta pengelolaan aspek EQ dan SQ siswa. Zakaria et al (2007) mengemukakan bahwa:

Apart from achievement and problem solving, students should also be inculcated with attitudes and values that are appropriate to their life as a student. Nor Azizah et al. (1996), in their study involving 966 pupils and using STAD and Jigsaw II structures, found that cooperative learning can inculcate values such as independent, love and cleanliness. Similar study done by Siti Rahaya (1998) using STAD/Jigsaw as a model which involved 1180 students from 18 schools, concluded that the values of self dependent, rational, love and hard working are prominently inculcated. It was also found that cooperative learning can enhance scientific skills, promote enquiry learning and increase science achievement. The students were found to enjoy learning in groups.

Pembelajaran kooperatif juga dapat digunakan untuk meningkatkan ketrampilan ilmiah dan prestasi siswa dalam pelajaran sains, seperti yang diungkapkan oleh Siti Rahayah (1998) dalam Zakaria et al (2007) “science teachers need to try cooperative learning in order to enhance scientific skills and to increase

achievement in science”.

(6)

pada pemahaman masing-masing individu yang ada di dalamnya. Dengan kata lain keberhasilan seorang siswa bergantung secara positif terhadap siswa yang lain.

Dalam pelaksanaannya, model pembelajaran kooperatif ini dapat dilaksanakan melalui beberapa tipe pembelajaran, beberapa diantaranya yaitu

Students Teams Achievement Divisons (STAD), Teams Games Tournaments

(TGT), Group Investigation, Team Assisted Individulialization (TAI), Mencari Pasangan, Bertukar Pasangan, Kepala Bernomor Terstruktur, Two Stay Two Stray (Dua Tinggal Dua Tamu), Jigsaw dan sebagainya. (Slavin, 2005: 15).

Salah satu kecerdasan yang sangat diperlukan dalam penerapan metode Cooperative Learning adalah kecerdasan emosional siswa, hal ini dikarenakan

metode Cooperative Learning lebih menitikberatkan pada proses kerjasama antar anggota kelompok yang mengharuskan adanya interaksi antar anggota kelompok itu sendiri. Pemilihan tipe Jigsaw sangat tepat digunakan untuk penerapan pembelajaran kelas kooperatif yang memerlukan kecerdasan spiritual dan emosional siswa. Selain itu, tipe Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menanamkan saling ketergantungan positif, dimana siswa diajar untuk bisa berinteraksi secara positif dengan siswa-siswa lain dengan latar belakang yang sangat berbeda dalam kegiatan akademis.

Tipe Jigsaw dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara. Tipe Jigsaw menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara. Tipe ini dapat digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, agama, dan bahasa. Tipe Jigsaw juga cocok untuk semua kelas/tingkatan. Menurut Anita Lie dalam bukunya yang berjudul Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas, tipe

Jigsaw dianggap cocok diterapkan dalam pendidikan di Indonesia karena sesuai

dengan budaya bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai gotong royong. Jigsaw dikembangkan untuk memberikan satu cara dalam membantu membangun

(7)

dengan berbagai kemampuan dalam aspek kerja yang berbeda. Dengan tipe Jigsaw, proses belajar tidak dikuasai oleh segelintir siswa tetapi setiap siswa

mempunyai kesempatan yang sama dalam proses belajar.

Tipe Jigsaw dapat menjadikan siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan ketrampilan berkomunikasi. Selain kelebihan-kelebihan tersebut, hasil riset yang telah dilakukan oleh Durmus Kilic (2008) menunjukkan bahwa “it is observed that the Jigsaw technique used in collaborative learning effects increasing the academic success in addition to the

social and intellectual abilities of the students”. Hal ini menjelaskan bahwa

kesuksesan hasil belajar juga diperoleh dari penggunaan Jigsaw. Dan sebagai tambahannya, dengan menggunakan Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan sosial dan intelektual siswa.

Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap

pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikian, “siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan” (Anita Lie, 2002: 31). Menurut Richard I. Arends, tipe Jigsaw memiliki tujuan untuk menyampaikan informasi-informasi akademik yang sederhana sehingga sangat cocok jika Jigsaw diterapkan di SMP. Moch. Wahib (2009) menjelaskan bahwa, Jigsaw merupakan bagian dari tipe-tipe pembelajaran Cooperative Learning. Jika

pelaksanaan prosedur pembelajaran Cooperative Learning ini benar, akan memungkinkan untuk dapat mengaktifkan siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Sampai saat ini pembelajaran Cooperative Learning terutama teknik Jigsaw belum banyak diterapkan dalam pendidikan walaupun orang Indonesia sangat membanggakan sifat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat.

(8)

dibutuhkannya persiapan yang lebih sebelum melaksanakan pembelajaran kooperatif di dalam kelas. Zakaria et al (2007) mengungkapkan “The need to prepare materials require a lot of work by the teachers, therefore, it is a burden

for them to prepare new materials.”

Salah satu mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan yang diberikan kepada siswa SMP adalah mata pelajaran Fisika. Pembelajaran Fisika bertujuan agar siswa menguasai konsep-konsep Fisika dan mampu menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi sehingga sadar akan kebesaran pencipta-Nya. Pada umumnya para siswa menganggap Fisika merupakan ilmu yang sulit karena banyak melibatkan perhitungan. Selain itu, Fisika juga melibatkan kejadian alam dan berusaha menemukan hubungan antar kenyataan-kenyataan. Untuk itu perlu diusahakan berbagai cara untuk mengatasi kesulitan tersebut antara lain menggunakan metode dan strategi belajar mengajar yang tepat, menggunakan media yang sesuai kelengkapan sarana dan prasarana yang memadai dan sebagainya. Dengan berbagai usaha perbaikan tersebut diharapkan kesulitan yang dirasakan oleh para siswa dapat teratasi sehingga belajarnya meningkat.

(9)

Penggunaan metode eksperimen bertujuan agar siswa mampu mencari dan menemukan sendiri berbagai jawaban atas persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan mengadakan percobaan sendiri. Sedangkan kegiatan demonstrasi bertujuan agar siswa mampu mencari dan menemukan berbagai jawaban atas permasalahan-permasalahan yang dihadapinya dengan mengadakan pengamatan pada suatu proses atau peristiwa. Pada kenyataan di lapangan, tidak semua metode eksperimen dan demontrasi dilaksanakan dengan benar karena kendala-kendala sebagai berikut: metode eksperimen dan demontrasi memerlukan waktu yang lebih lama, ketersediaan alat yang tidak mencukupi selama proses belajar mengajar, hasil dari percobaan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, dan apabila materi tidak dapat ataupun sulit dieksperimenkan/didemonstrasikan.

Oleh sebab itu, diperlukan pelaksaan metode eksperimen dan demontrasi yang terencana, baik dari segi kesesuaian dengan tujuan pembelajaran, ketersediaan alat dan bahan percobaan, dan juga memperhitungkan waktu yang diperlukan proses belajar mengajar. Pelaksanaan metode eksperimen dan demontrasi sangat diperlukan dalam proses belajar mata pelajaran. Pokok bahasan Zat dan Wujudnya merupakan materi yang berkaitan dengan kejadian dalam kehidupan sehari-hari, namun banyak siswa yang kurang memahami dengan materi ini. Oleh karena itu, kegiatan eksperimen dan demonstrasi yang terencana diharapkan dapat memvisualisasikan materi tersebut sehingga pokok bahasan Zat dan Wujudnya akan lebih mudah dipahami.

(10)

sering dijadikan tolok ukur keberhasilan belajar siswa, karena berkaitan dengan kemampuan siswa menguasai materi pelajaran.

Berdasarkan pemikiran tersebut maka penulis ingin meneliti apakah ada pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif ditinjau dari kecerdasan emosional dan spiritual terhadap kemampuan siswa dalam mata pelajaran Fisika sehingga penulis mengambil judul “PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE

JIGSAW DITINJAU DARI KECERDASAN EMOSIONAL DAN

SPIRITUAL SISWA SMP”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, ada beberapa permasalahan yang muncul dalam proses belajar mengajar. Permasalahan tersebut antara lain:

1. Tujuan pendidikan nasional menghendaki terbentuknya peserta didik yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelejensi saja. Tetapi siswa yang memiliki keseimbangan dalam aspek Intelegence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ). Namun pada kenyataannya, ditemukan lembaga pendidikan yang hanya menitikberatkan pada kemampuan akademik atau Intelegence Quotient (IQ) saja. Jarang sekali ditemukan lembaga pendidikan yang mengajarkan tentang kecerdasan emosional dan spiritual. 2. Masih banyak tenaga pendidik yang menggunakan metode konvensional

secara monoton dalam kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga suasana belajar terkesan kaku dan didominasi oleh sang guru dan akibatnya siswa menjadi pasif.

3. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung pada pencapaian target materi kurikulum, lebih mementingkan pada penghafalan konsep bukan pada pemahaman.

(11)

5. Dibutuhkan suatu metode pembelajaran yang dapat membantu membangun kelas sebagai komunitas belajar yang menghargai semua kemampuan siswa dan menciptakan suasana gotong royong. Tipe Jigsaw dapat menjadikan siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan ketrampilan berkomunikasi.

6. Pada umumnya bagi siswa Fisika merupakan ilmu yang sulit karena banyak melibatkan perhitungan dan menemukan hubungan antar kenyataan-kenyataan alam. Untuk itu perlu diusahakan berbagai cara untuk mengatasi kesulitan tersebut antara lain menggunakan metode dan strategi belajar mengajar yang tepat, diantaranya menggunakan metode eksperimen dan demontrasi.

7. Pada kenyataan di lapangan, belum semua guru mampu melaksanakan metode eksperimen dan demontrasi secara benar dan sesuai prosedur yang diharapkan. Sehingga diperlukan pelaksanaan metode eksperimen dan demonstrasi yang terencana.

8. Seringkali parameter keberhasilan belajar siswa diukur dari kemampuan kognitif atau kecerdasan intelektual saja, padahal masih ada kemampuan atau kecerdasan lain yang juga bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan belajar siswa. Yaitu kemampuan afekif dan psikomotorik serta kecerdasan emosional dan spiritual siswa.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan identifikasi masalah yang muncul, maka dalam penelitian ini penulis membatasi masalah agar tujuan dalam penelitian dapat tercapai secara optimal dan terfokus. Adapun pembatasan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaraan dilakukan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. 2. Kecerdasan emosional dan spiritual diidentifikasi dari angket kecerdasan

emosional dan spiritual.

(12)

4. Pokok bahasan dalam penelitian ini adalah Zat dan Wujudnya yang merupakan salah satu pokok bahasan di SMP kelas VII semester I.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan pembatasan masalah dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Adakah pengaruh pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menggunakan metode eksperimen dan demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Zat dan Wujudnya?

2. Adakah pengaruh kecerdasan emosional dan spiritual kategori tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Zat dan Wujudnya?

3. Adakah interaksi antara pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan kecerdasan emosional dan spiritual siswa terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Zat dan Wujudnya?

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui ada tidaknya:

1. Pengaruh pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menggunakan metode eksperimen dan demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Zat dan Wujudnya.

2. Pengaruh kecerdasan emosional dan spiritual kategori tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Zat dan Wujudnya. 3. Interaksi antara pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dan kecerdasan

(13)

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain: 1. Manfaat Teoritis:

a. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai usulan tentang alternatif penggunaan model pembelajaran.

b. Memberi wawasan mengenai pengaruh pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw menggunakan metode eksperimen dan demonstrasi terhadap

kemampuan kognitif siswa.

c. Memberi wawasan mengenai kecerdasan emosional dan spiritual dalam hubungannya dengan kemampuan kognitif siswa.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

(1) Ruang lingkup Rumah pemondokan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini adalah rumah atau kamar yang disediakan untuk tempat tinggal dalam jangka waktu

Laporan Skripsi yang berjudul “Produksi Serbuk Pewa rna Alami Angkak ( Monascus sp. ) Dengan Berbagai Metode Pengeringan dan Konsentrasi Soy Protein Isolate ”

(2) Dinas Kesehatan; (a) perlu melakukan perhitungan secara ekonomi terhadap program penanggulangan HIV/AIDS (b) meningkatkan upaya kegiatan preventif, kuratif dan promotif kepada

In the present of anhydrous calcium chloride / low humidity, the rate of transpiration / water loss / evaporation of water by leafy shoot / water absorps by roots is higher compare

А ФonЭeФ МТe eНЮФКМУТ MТ - НгвnКroНoав KomТЭeЭ OlТmpТУsФТ proаКНгТ ProРrКm źНЮФКМвУnв АКrЭo МТ Olimpijskich (oryg. Olympic Values Education Programme – OVEP ),

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 15-2049-2004, semen Portland adalah semen hidrolisis yang dihasilkan dengan cara menggiling terak (Clinker) portland

KAMPUS JAKARTA PANDUAN PENGAMBILAN MATA KULIAH PROGRAM SARJANA TERAPAN.

Tulisan singkat ini hanya memfokuskan terkait dengan bagaimana kita sebagai orang tua untuk terus tidak berhenti mengendalikan anak-anak kita dari berbagai macam