BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Masjid dan Sejarah Masjid
Masjid merupakan suatu institusi utama dan paling besar dalam Islam,
serta merupakan salah satu institusi yang pertama kali berdiri. Masjid adalah
rumah tempat ibadah umat
beribadah kepada Allah SWT. Akar kata dari Masjid adalah sajadah dimana berarti sujud atau tunduk.
Selain tempat ibadah Masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas
muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah
dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam,
Masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial kemasyarakatan.
Ketika Nabi Muhammad SAW tiba d
membangun sebuah Masjid, yang sekarang dikenal dengan nama
yang berarti Masjid Nabi (Supardi dkk: 2001:2). Masjid Nabawi terletak di pusat
Nabawi, juga terdapat mimbar yang sering dipakai oleh Nabi Muhammad SAW.
Masjid Nabawi menjadi jantung kota Madinah saat itu. Masjid ini digunakan
untuk kegiatan politik, perencanaan kota, menentukan strategi militer, dan untuk
2.2 Fungsi Masjid
Masjid di zaman Rasulullah SAW mempunyai banyak fungsi. Itulah
sebabnya Rasulullah SAW membangun Masjid terlebih dahulu. Masjid menjadi
simbol persatuan umat Islam. Selama sekitar 700 tahun sejak Nabi mendirikan
Masjid pertama, fungsi Masjid masih kokoh dan original sebagai pusat
peribadatan dan peradaban yang mencerdaskan dan mensejahterakan umat
manusia. (Supardi dkk: 2001:1)
Lewat Masjid Rasulullah SAW membangun kultur masyarakat baru yang
lebih dinamis dan progressif. Masjid adalah rumah Allah yang dibangun atas
dasar ketaqwaan kepadaNya. Oleh karena itu, membangun Masjid harus diawali
dengan niat yang tulus, ikhlas, mengharap ridha Allah semata, sehingga Masjid
yang dibangun mampu memberikan ketenangan, ketenteraman, kedamaian,
kesejahteraan, rasa aman kepada para jamaah dan lingkungannya.
2.2.1 Fungsi Masjid di zaman Rasul dan dimasa Khalifah
Di zaman Rasul fungsi Masjid sangat banyak dibanding zaman sekarang
ini. Hal ini karena Rasul dan para sahabat mampu memberdayakan Masjid dengan
optimal. Beberapa fungsi Masjid di zaman Rasul (Supardi dkk: 2001:6)
• Tempat shalat (ibadah), baik shalat, zikir, iktikap, dsb, maka karna itulah
Masjid jadi tempat paling mulia dalam Islam.
• Sebagai sarana melakukan pemberdayaan umat, seperti tempat pembinaan
dan penyebaran dakwah Islam.
• Sebagai tempat untuk mengobati orang sakit.
• Sebagai tempat untuk konsultasi dan komunikasi masalah ekonomi, sosial
dan budaya, tapi tidak diperkenankan berdagang didalam Masjid.
• Sebagai tempat menerima duta-duta asing.
• Sebagai tempat pertemuan pemimpin-pemimpin Islam.
• Sebagai tempat bersidang.
• Sebagai tempat mengurus Baitul Maal.
• Sebagai tempat menyusun taktik dan strategi perang.
• Sebagai tempat mengurus prajurit yang terluka.
• Sebagai sarana tempat pendidikan.
• Sebagai tempat singgah orang-orang yang belum memiliki tempat tinggal
untuk sementara.
2.2.2 Fungsi Masjid di Zaman Sekarang
Dilihat dari sisi pertumbuhan Masjid di Indonesia, cukup
menggembirakan, dari tahun ke tahun jumlah Masjid makin bertambah, tetapi
dapat diakui bahwa fungsinya berkurang dan belum maksimal. Banyak fungsi
Masjid yang telah hilang dibandingkan pada zaman Rasul dan para Khalifah. Saat
ini jumlah Masjid dan Mushallah di Kota Medan sangat banyak sekitar 1040 unit
(pemkomedan.go.id). Jika dilihat pemberdayaan Masjid di Kota Medan selama ini
kurang begitu diperhatikan. Hal ini dapat dilihat setiap hari sebagian besar Masjid
di Kota Medan hanya dibuka pada saat waktu shalat 5 waktu dan hanya sebagian
kecil yang memanfaatkan Masjid untuk kegiatan umat lainnya seperti pengajian,
pendidikan agama Islam, ceramah, klinik, akad nikah dan lainnya. Padahal Masjid
ini hanya berperan sebatas tempat ibadah shalat ritual semata, seharusnya jika
masyarakat bisa memberdayakan harta Masjid sesuai syariat Islam dengan jumlah
Masjid yang cukup banyak maka akan cukup membantu untuk masyarakat sekitar.
Karena itu, harus dilakukan rekonstruksi paradigma pemahaman manajemen
Masjid sesuai dengan fitrahnya. Seperti yang diketahui misi Masjid yaitu:
•Hayya ‘alash shalaah (mari kita melaksanakan shalat), dan
•Hayya ‘alal falaah (mari meraih kemenangan).
Artinya, mengajak melalui Masjid untuk meningkatkan kualitas ibadah
ritual dan melalui Masjid pula diraih kemenangan. Meraih kemengan memiliki
makna yang sangat luas, untuk itu manusia harus berusaha menjadikan hukum
Islam sebagai landasan dalam menjalani kehidupan agar kelak selamat dunia dan
akhirat.
Masjid menjadi simbol kebesaran Islam, namun jauh dari kegiatan
memakmurkannya. Masjid sejak zaman Rasulullah SAW telah dijadikan pusat
kegiatan Islam. Dari Masjid Rasulullah SAW membangun umat Islam, dan
mengendalikan pemerintahannya, namun saat ini, Masjid masih belum
diberdayakan secara proposional bagi pembangunan umat Islam. Memang tidak
mudah untuk mengajak umat kembali ke Masjid seperti pada zaman Rasulullah
SAW, tetapi semua umat Islam berkewajiban untuk menerapkannya kembali
sesuai dengan syariat Islam. Memakmurkan Masjid memiliki arti yang sangat
luas, yakni menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bernilai ibadah.
Di antara kegiatan yang tergolong memakmurkan Masjid saat ini adalah
1. Pengelolaan Masjid yang professional
2. Menyemarakkan Majelis taklim
3. Taman pendidikan Al-Qur’an
4. Memberdayakan remaja Masjid
5. Mengelola perpustakaan
6. Mengelola keuangan Masjid sesuai prinsip-prinsip Islam
7. Unit pelayanan zakat
8. Baitul Maal
9. Bimbingan penyelenggaraan haji dan umrah, dll.
Selain kegiatan-kegiatan di atas, pengurus Masjid harus tanggap terhadap
kondisi sosial yang terjadi di masyarakat. Kendala-kendala maupaun
masalah-masalah sosial yang dialami warga sekitarnya, misalnya kelaparan, musibah,
kesusahan, kefakiran, deviasi sosial, kenakalan remaja, musafir 5
Oleh karena Masjid merupakan instrumen pemberdayaan umat, yang
memiliki peranan sangat strategis dalam upaya peningkatan kualitas masyrakat
dan kesejahteraan umat, maka pengelolaan manajemen Masjid harus professional. (pendatang yang
kesusahan), ketiadaan air, dan lain sebagainya. Masjid melalui pengurusnya harus
bertindak sebagai, pengayom, pencegah, pengobat dan konseling. Dalam hal
peristiwa-peristiwa besar, pengurus Masjid perlu bekerja sama dengan
lembaga-lembaga di atasnya, dengan organisasi terkait lain, ataupun dengan Pemerintah.
Seorang pengelola Masjid yang mendapat amanah Allah SWT untuk
mengurus Masjid, haruslah seorang yang ikhlas, jujur, amanah, adil, disiplin,
5
bertanggung jawab, peduli, bisa bekerja sama, bahkan dia seharusnya seorang
visioner, berfikir maju bagaimana Masjid bisa memberi manfaat yang banyak
kepada umat. Allah berfirman dalam QS. At Taubah : 18 yang artinya :
“Hanya yang memakmurkan Masjid-Masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”.
2.3 Pengertian Sistem Ekonomi Islam
Menurut Jogianto (2005: 2)
yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. sistem ini menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan kesatuan yang nyata adalah suatu objek nyata, seperti tempat, benda, dan orang-orang yang betul-betul ada dan terjadi.”
Sedangkan menurut Murdick, R.G, (1991 : 27). “Sistem adalahseperangkat elemen yang membentuk kumpulan atau prosedur-prosedur/bagan-bagan pengolahan yang mencari suatu tujuan bagian atau tujuan bersama dengan mengoperasikan data dan/atau barang pada waktu rujukan tertentu untuk menghasilkan informasi dan/atau energi dan/atau barang”.
Dengan demikian sistem merupakan kumpulan dari beberapa bagaian yang
untuk mencapai suatu tujuan dari sistem tersebut. Maksud dari suatu sistem adalah
untuk mencapai suatu tujuan dan sasaran dalam ruang lingkup yang terbatas.
Selanjutnya pengertian ekonomi Islam menurut para ahli yaitu:
1) Menurut Muhammad Abdul Manan,
“Ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam”.
2) Menurut M. Umer Chapra.
“Ekonomi Islam adalah sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagian manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan.”
Dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi Islam didefenisikan sebagai
suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya memandang, meneliti, dan
menyelesaikan permasalah-permasalahan ekonomi untuk mencapai tujuan
bersama sesuai syariat Islam yang didasarkan Al-Quran dan hadist yang dimana
tujuan bersama tersebut adalah selamat dunia dan akhirat.
Untuk memudahkan dalam melihat bentuk sistem ekonomi Islam, maka inti
pertanyaan terhadap barang dan jasa sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia.
1. Konsep kepemilikan (al-milkiyah),
2. Konsep pemanfaatan kepemilikan (tasharruf fil milkiyah)
3. Konsep distribusi kekayaan ditengah-tengah masyarakat (tauzi’u tsarwah baina an-nas).
Dengan digambarkannya sistem ekonomi dengan tiga bagian tersebut
(kepemilikan, pemanfaaatan dan distribusi) maka akan dengan mudah melihat
sistem ekonomi Islam secara global. Sekaligus dapat pula membedakannya
dengan sistem ekonomi lainnya. Sebab, letak perbedaan antara satu sistem
ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya terletak pada tiga poin, yaitu jenis-jenis
kepemilikan terhadap harta, cara memanfaatkan harta dan cara membagikan harta
tersebut kepada masyarakat.
2.4 Nilai-Nilai Ekonomi Islam Menurut Sistem Ekonomi Islam:
1. Kepemilikan bukanlah penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi,
tetapi setiap orang atau badan dituntut kemampuannya untuk memanfaatkan
sumber-sumber ekonomi tersebut.
2. Lama kepemilikan manusia atas sesuatu benda terbatas pada lamanya
manusia tersebut hidup didunia.
3. Sumber daya yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat
hidup orang banyak harus menjadi milik umum, seperti minyak dan gas
bumi, barang tambang dan lainnya.
Islam memiliki nilai instrumental yang mempengaruhi tingkah laku
ekonomi seorang muslim dan masyarakat pada umumnya. Adapaun nilai
1. Zakat
2. Larangan riba
3. Kerjasama ekonomi
4. Jaminan sosial
Jika nilai instrumental ini dilaksanakan, maka akan terwujud sistem
ekonomi yang seimbang dan menguntungkan. Apabila hal-hal di atas dapat
dicapai maka akan dapat mensejahterakan masyarakat.
2.5 Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Islam sebagai agama Allah, mengatur kehidupan manusia agar menjadi
lebih baik kehidupan di dunia dan di akhirat. Perekonomian adalah bagian dari
kehidupan manusia, maka tentulah telah diatur dalam sumber yang mutlak yaitu
Al-Quran dan Sunnah, yang menjadi panduan dalam menjalani kehidupan
manusia.
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar: (Zaenal
Arifin, 2002:3)
a. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah
SWT kepada manusia. Untuk itu pemanfaatannya haruslah dapat
dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Implikasinya adalah manusia
harus menggunakannya dalam kegiatan yang bermanfaat bagi diri sendiri
dan orang lain.
b. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu. Yaitu yang
berhubungan dengan kepentingan masyarakat dan tidak mengakui
c. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Islam
mendorong manusia untuk bekerja sama dan berjuang untuk mendapatkan
harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti aturan yang telah ditetapkan.
Hal ini dijamin oleh Allah bahwa Allah telah menetapkan rizki setiap
mahluk yang diciptakan-Nya.
d. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh
segelintir orang saja. Mereka harus berperan sebagai kapital produktif
yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
e. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya
direncanakan untuk kepentingan banyak orang. Prinsip ini didasari oleh
sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa masyarakat mempunyai hak
yang sama atas air, padang rumput, dan api.
f. Seorang muslim harus takut kepada Allah SWT dan hari penentuan di
akhirat nanti. Bahwa semua harta dan transaksi ekonomi manusia di dunia
ini kelak akan dipertanyakan oleh Allah dan harus dipertanggungjawabkan
kemana telah dibelanjakan dan bahkan bagaimana membelanjakannya.
g. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab). Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya yang
ditujukan untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Menurut
pendapat para ulama, zakat dikenakan 2,5 % untuk semua kekayaan yang
tidak produktif, termasuk didalamnya adalah uang kas, deposito, emas,
h. Islam melarang riba dalam segala bentuk. Hal ini sudah jelas tercantum
dalam Surat Al-Baqarah ayat 275, yang artinya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Dalam Ekonomi Islam Konsep Kepemilikan Terbagi Tiga
a. Kepemilikan Individu (milkiyatu fardiyah) b. Kepemilikan umum (milkiyatu ‘ammah) c. Kepemilikan Negara (milkiyatu daulah)
Artinya harta-harta kekayaan tertentu hanya boleh dimiliki dan dikelola oleh
pihak-pihak tertentu yang sesuai dengan jenis kepemilikannya. Seperti harta yang
termasuk dalam jenis kepemillikan umum, harta tersebut hanya boleh dimiliki
oleh umum (masyarakat). Masjid termasuk ke dalam kepemilikan umum
berguna bagi seluruh masyarakat. Jumlah harta Masjid yang berasal dari infaq dan
shodaqah jika dihitung-hitung dan dijumlahkan akan sangat besar jumlahnya dan
apabila dikelola dengan baik maka akan cukup membantu perekonomian
masyarakat sekitar. Demikian juga sebaliknya, harta individu tidak dibolehkan
untuk dimilliki oleh umum kecuali dengan jalan yang dibenarkan menurut syara’.
Begitu juga dengan harta yang berjenis kepemilikan Negara, juga memiliki
konsekuensi yang sama dengan sebelumnya, tidak dapat menjadi milik individu
ataupun umum kecuali dengan jalan yang dibenarkan menurut syara’. Dengan
demikian dapat diberi pengertian terhadap konsep kepemilikan (al-milkiyah), bahwa kepemilikan adalah izin dari syari’ (Allah SWT) kepada manusia untuk
Tabel 2.1
Perbedaan Sistem Kepemilikan Ekonomi Islam, Kapitalis dan Sosialis
ASAS
Individu Mobil, rumah, laptop, televisi,
Individu Hukum Islam tentang bai’, Catatan: Dengan sedikit perubahan
2.6 Institusi Islam
Institusi yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu,
sedangkan istilah menekankan kepada pengertian institusi sebagai suatu sistem
norma untuk memenuhi kebutuhan (Mohammad Daud Ali dan Habibah Daud
pokok manusia seperti kebutuhan keluarga, hukum, sosial, politik dan budaya.” Adapun fungsi institusi secara lebih rinci adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pedoman kepada masyarakat dalam upaya melakukan
pengendalian sosial berdasarkan sistem tertentu, yaitu sistem pengawasan
tingkah laku.
2. Menjaga stabilitas dan keamanan masyarakat.
3. Memberikan pedoman kepada masyarakat tentang norma tingkah laku yang
seharusnya dilakukan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Di Indonesia ada beberapa institusi Islam yang telah berkembang. Semua
institusi yang ada di Indonesia itu bertujuan memenuhi kebutuhan masyarakat
muslim, baik kebutuhan fisik maupun kebutuhan nonfisik. Contoh institusi Islam
di Indonesia yaitu:
1) Institusi perkawinan diasosiasikan melalui Kantor Urusan Agama (KUA)
dan Peradilan Agama, dengan tujuan agar perkawinan dan perceraian dapat
dilakukan secara tertib untuk melindungi hak keluarga, terutama
perempuan.
2) Institusi pendidikan yang diasosiasikan dalam bentuk pesantren dan
madrasah.
3) Institusi ekonomi yang diasosiasikan menjadi Bank Muamalah Indonesia
(BMI), Baitul Maal Watamwil (BMT).
4) Institusi zakat yang diasosiasikan menjadi Badan Amil Zakat, Infaq dan
2.7 Institusi dakwah yang diasosiasikan menjadi Lembaga Dakwah Kampus.
Transaksi Yang Dilarang Dalam Islam
Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah, bahwa semua hal
dilarang, kecuali yang ada ketentuannya berdasarkan Al-Qur’an dan hadist.
Sedangkan dalam urusan mu‘amalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berarti ketika suatu transaksi baru muncul dan belum
dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dapat diterima,
kecuali terdapat implikasi dari dalil Al-Qur’an dan hadist yang melarangnya.
Demikian, dalam bidang mu‘amalah, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan. Dilarangnya transaksi itu sesuai dengan faktor penyebabnya. Adapun
faktor penyebab dilarangnya transaksi tersebut, dan macam-macam transaksi yang
dilarang adalah:
2.7.1 Haram zatnya (haram li-zatihi)
Transaksi dilarang karena objek (barang/ jasa) yang ditransaksikan juga
dilarang, misalnya minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Jadi,
transaksi jual beli minuman keras atau barang yang diharamkan dalam Islam
adalah haram, walaupun akad jual belinya sah. Sebagaimana Fiman Allah SWT
dalam QS. An-Nahl ayat 115, yang artinya:
Hadist yang diriwayatkan dari Ibn Abas r.a, yang artinya:
“Telah sampai berita kepada Umar bahwa Samurah menjual tuak. Kemudian Umar berkata, semoga Allah memerangi Samurah, tidak tahukah dia bahwa Rasulullah SAW. bersabda, Allah mengutuki orang-orang Yahudi. Telah diharamkan atas mereka lemak, maka mereka memaksanya untuk dicairkan, kemudian menjualnya.”
2.7.2 Haram selain zatnya (haram li gairihi)
A. Melanggar prinsip ‘an taradin minkum yaitu Penipuan (Tadlis)
Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara
kedua belah pihak (sama-sama ridho). Mereka harus mempunyai informasi yang
sama sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi (ditipu) karena ada sesuatu
yang di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak
lain, ini disebut tadlis, dan tadlis dapat terjadi dalam 4 (empat) hal, yaitu:
1) Kuantitas, tadlis dalam kuantitas contohnya adalah pedagang yang
mengurangi takaran (timbangan) barang yang dijualnya.
2) Kualitas, tadlis dalam kualitas contohnya adalah penjual yang menyembunyikan cacat barang yang ditawarkannya. Dalam tadlis kualitas
terdapat dua bentuk yaitu yang pertama dengan cara menyembunyikan cacat
yang ada pada barang yang bersangkutan, dan yang kedua dengan
menghiasi atau memperindah barang yang ia jual sehingga harganya bisa
3) Harga, tadlis dalam harga contohnya adalah memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga pasar dengan menaikan harga produk di atas harga
pasar.
4) Waktu penyerahan, tadlis dalam waktu penyerahan contohnya adalah petani buah yang menjual buah diluar musimnya padahal petani mengetahui bahwa
dia tidak dapat menyerahkan buah yang dijanjikannya itu pada waktunya.
5) Adapun dasar hukum tentang larangan penipuan (tadlis) terhadap bertransaksi adalah sebagai berikut:
• Al-Baqarah ayat 42, yang artinya:
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
• An-Nahl ayat 105, yang artinya:
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.”
• Hadist Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a, yang artinya:
Beliau bersabda, “Mengapa tidak kamu letakkan di atasnya supaya diketahui oleh orang yang akan membelinya? Barang siapa menipu, dia bukan dari golonganku.”
B. Melanggar prinsip la tazlimuna wa la tuzlamun
a. Garar
Artinya keraguan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak
lain. Suatu akad mengandung unsur garar, karena tidak ada kepastian, baik mengenai ada atau tidak ada objek akad, besar kecilnya jumlah maupun
menyerahkan akad tersebut.
Garar disebut juga tagrir adalah situasi dimana terjadi incomplete information karena adanya ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi. Dalam tadlis yang terjadi adalah pihak yang satu tidak mengetahui apa yang diketahui pihak yang lain, sedang dalam gharar atau tagrir, baik pihak yang satu dengan yang lainnya sama-sama tidak mengetahui sesuatu yang
ditransaksikan.
Larangan jual beli garar dalam hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a, yang artinya:
“Rasulullah SAW. melarang jual beli dengan cara melempar krikil kepada barang yang dibelinya dan melarang menjual barang yang tidak jelas rupa dan sifatnya (bai’ al-gharar)”.
b. Ihtikar (Penimbunan barang)
Penimbunan adalah membeli sesuatu yang dibutuhkan masyarakat,
mengakibatkan peningkatan harga. Penimbunan seperti ini dilarang karena dapat
merugikan orang lain dengan kelangkaannya/sulit didapat dan harganya yang
tinggi, dengan kata lain penimbunan mendapatkan keuntungan yang besar di
bawah penderitaan orang lain. Larangan menimbun harta juga terdapat dalam
hadist Nabi yang diriwayatkan dari Ma’mar bin ‘Abdillah r.a, yang artinya:
“Barang siapa menimbun (barang pokok), dia bersalah (berdosa)”.
Setiap Masjid memiliki harta yang cukup banyak jika dikumpulkan yang
berasal dari infaq, shodaqoh dan hibah. Apalagi Institusi Masjid yang cukup besar
dan berada di tengah-tengah Kota akan memiliki harta yang cukup banyak.
Apabila harta-harta ini hanya didiamkan dan akan bertambah sesuai dengan
banyaknya jumlah infaq dan shadaqah masyarakat dalam waktu yang lama tanpa
dipergunakan atau hanya menunggu sampai dipergunakan untuk pembangunan
Masjid dikhawatirkan dapat masuk kedalam golongan ikhtiyar (penimbunan harta). Untuk itu alangkah baiknya harta tersebut dipergunakan untuk membantu
menigkatkan kesejahteraan masyarakat yang sesuai dengan syariat Islam, seperti
membuka klinik, memberdayakan tanah infaq dengan tanaman yang bermanfaat,
memberikan bantuan modal kepada masyarakat, dll. Dengan demikian harta
Masjid akan terbebas dari ikhtiyar dan dapat membantu perekonomian masyarakat serta meningkatkan harta Masjid.
Contoh pemberdayaan harta Masjid berupa uang tunai. Yaitu kerjasama
Wakaf Center dan institusi Masjid pada produk uang tunai. Misalnya, Masjid
Al-Fath bekerjasama dengan Wakaf Center memanfaatkan harta Masjid sebesar Rp
menginvestasikan secara professional sesuai syariah dengan nisbah mudharabah
70:30, 70% untuk operasional Masjid Al-Fath dan 30% untuk maslahat umat
Wakaf Center. Bila hasil investasi uang tunai tersebut sebesar Rp 1.500.000,- per
bulan, maka Rp 1.050.000,- untuk menunjang biaya operasional Masjid Al-Fath
per bulan, dan Rp 450.000,- untuk program maslahat umat lainnya yang dikelola
oleh Wakaf Center.
c. Reakayasa permintaan (Bai‘an Najsy)
Rekayasa permintaan yaitu produsen atau pembeli menciptakan
permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan terhadap suatu produk
sehingga harga jual produk tersebut akan naik. Dasar hukum terhadap larangan
bai’an najsy terdapat dalam Hadis Nabi yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar r.a, yang
artinya:
“Rasulullah SAW melarang najsy (penipuan yaitu menawar tinggi dengan maksud membeli, tetapi untuk menaikkan penawaran orang lain)”.
d. Riba
Riba adalah penyerahan pergantian sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang tidak dapat terlihat adanya kesamaan menurut timbangan syara’ pada waktu
akad-akad, atau disertai mengakhirkan dalam tukar menukar atau hanya salah satunya.
Dasar hukum tentang larangan riba sangatlah banyak baik dalam Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah ayat 275 yang artinya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Hadist yang diriwayatkan dari Jabir r.a, yang artinya:
“Rasulullah SAW mengutuk pemakan riba, orang yang memberi makan (keluarganya) dengan harta riba, penulis riba, dan kedua saksi riba. Beliau bersabda, “semua itu (hukumnya) sama”.
e. Perjudian (Maysir)
Transaksi perjudian adalah transaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih,
dimana mereka menyerahkan uang/harta kekayaan lainnya, kemudian
bola, atau media lainnya. Pihak yang menang berhak atas hadiah yang dananya
dikumpulkan dari kontribusi para pesertanya. Sebaliknya, bila dalam permainan
itu kalah, maka uangnya pun harus direlakan untuk diambil oleh pemenang.
Allah telah melarang judi (maysir) sebagaimana firma-Nya dalam surat Al-Ma’idah ayat 90 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
f. Suap-menyuap (Risywah)
Yang dimaksud dengan perbuatan risywah adalah memberi sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Suap dilarang karena
suap dapat merusak sistem yang ada di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan
ketidakadilan sosial dan persamaan perlakuan. Pihak yang membayar suap pasti
akan diuntungkan dibandingkan yang tidak membayar.
Allah telah melarang pebuatan risywah atau suap-menyuap sebagaimana dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 188 yang artinya:
2.7.3 Tidak sahnya (lengkap) akadnya
Suatu transaksi tidak masuk kategori haram li gairihi maupun la tazlimuna wa la tuzlamun, belum tentu halal. Masih ada kemungkinan transaksi tersebut menjadi haram bila akad transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Suatu transaksi
dapat dikatakan tidak sah dan/atau tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah satu
atau lebih faktor-faktor berikut:
a) Terjadi ta‘alluq (jual beli bersyarat)
Ta‘alluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaitkan dimana berlakunya akad pertama tergatung pada akad kedua, sehingga dapat mengakibatkan tidak
terpenuhinya rukun (sesuatu yang harus ada pada akad) yaitu objek akad.
a) Two in one (safqatain fi al-safqah)
Two in in one atau safqatain fi al-safqah adalah kondisi di mana satu transaksi diwadahi oleh dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian
mengenai akad mana yang harus digunakan (berlaku). Contoh dari two in in one
atau safqatain fi al-safqah adalah transaksi sewa-beli. Dalam transaksi ini terjadi ketidakjelasan dalam akad, karena tidak diketahui akad mana yang berlaku akad
jual beli atau akad sewa.
Adapun dasar hukumnya adalah sebagaimana hadist yang diriwayatkan ‘Amr ibn
Syu’aib r.a, yang artinya: