• Tidak ada hasil yang ditemukan

MATERI PPKN PENGEMBANGAN BUDAYA DAERAH D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MATERI PPKN PENGEMBANGAN BUDAYA DAERAH D"

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)

MATERI I

“KESATUAN BANGSA INDONESIA DALAM MULTIKULTURALISME”

Disusun Oleh:

Kelompok 1

Ariel Sharon 26020213140076 Tias Kusuma Wardani 26020214120001 Khalisah Nur Shadrina 26020214120002 Ni Komang Sri Andayani 26020214120003 Siti Maisyarah 26020214120005 Ade Ramadanta Budi U. 26020214120008

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

(2)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keberagaman masyarakat Indonesia memang dapat menjadi berkah karena

menghadirkan mozaik kebudayaan yang indah dalam rangkaian Bhineka Tunggal

Ika. Akan tetapi, ternyata berkah itu bersanding dengan musibah sehingga

kepluralistikan masyarakat Indonesia lebih banyak menjadi pekerjaan rumah

daripada berkah. Fenomena ini terlihat dari perkembangan sejarah Indonesia,

seperti semakin kuatnya etnosenterisme. Hal ini dapat dilihat dari munculnya

konflik antaretnik di berbagai daerah di Indonesia, antara lain disebabkan oleh

perkembangan etnosentrisme ke arah etnonasiolisme yang mendorong lahirnya

gerakan sparatisme.

Otonomi daerah yang diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut,

ternyata dominan berubah menjadi hiperotomoni sehingga memunculkan proses

politik kedaerahan (Piliang, 2003). Fenomena ini menandakan adanya masalah

serius dalam mengelola kepluralistikan di Indonesia sehingga semboyan Bhineka

Tunggal Ika semakin jauh dari cita-cita kesatuan Indonesia. Begitu juga krisis yang

melanda bangsa Indonesia dalam berbagai dimensi dan skala merupakan cobaan

moralitas dan kemanusiaan yang tidak ringan. Krisis ini menurut Kusumohamidjojo

(2000) merupakan permasalahan serius bangsa, tetapi secara moralitas memperoleh

tanggapan yang kurang sungguh-sungguh dari elite masyarakat.

Sikap pemuka Indonesia dari generasi yang berbeda-beda merefleksikan

keprihatinan mengenai rasa hormat kepada etika sosial pada kalangan atas

masyarakat. Pada gilirannya keprihatinan ini akan menghalangi penegakan serta

pelaksanaan hukum secara luas dan merata. Apalagi arogansi mayoritas terhadap

minoritas, perilaku menyimpang dalam kehidupan keagamaan, monopoli dalam

bidang ekonomi, dan eksploitasi alam tanpa kendali secara sosio-budaya

merupakan ancaman serius bagi keutuhan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara. Oleh karena itu, kepluralistikan masyarakat dan kebudayaan

Indonesia, di samping sebagai kekayaan bangsa, juga bisa menjadi ancaman bagi

negara dan bangsa ini, bila unsur bangsa masing-masing tidak memberikan ruang

(3)

Tegasnya, bangsa Indonesia yang multikultur mutlak harus dipandang dari

kacamata multikulturalisme, sebagaimana dikemukakan Magnis-Suseno (2005)

bahwa Indonesia hanya dapat bersatu, bila pluralitas yang menjadi kenyataan sosial

dihormati. Artinya, penegakan kesatuan Indonesia bukan hendak menghilangkan

identitas setiap komponen bangsa, tetapi harapannya agar semuanya menjadi warga

negara Indonesia tanpa merasa terasing. Sikap saling menghormati identitas

masing-masing dan kesediaan untuk tidak memaksakan pandangan sendiri tentang “yang baik” kepada siapapun merupakan syarat keberhasilan masa depan Indonesia. Untuk itu, diperlukan transformasi kesadaran multikulturalisme menjadi

identitas nasional, integrasi nasional, dan menempatkan agama menjadi fondasi

kesatuan bangsa.

1.2. Tujuan

(4)

II.

ISI

2.1. Pengertian Multikulturalisme

Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,

multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme

(aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat

manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing

yang unik.2 Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa

bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu

masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan

akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan (Mahfud, 2006).

Istilah multikulturalisme secara umum diterima secara positif oleh

masyarakat Indonesia. Ini tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat Indonesia

yang majemuk. Kemajemukan masyarakat Indonesia terlihat dari beberapa fakta

berikut: tersebar dalam kepulauan yang terdiri atas 13.667 pulau (meskipun tidak

seluruhnya berpenghuni), terbagi ke dalam 358 suku bangsa dan 200 subsuku

bangsa, memeluk beragam agama dan kepercayaan yang menurut statistik: Islam

88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1% dan yang lain 1%

(dengan catatan ada pula penduduk yang menganut keyakinan yang tidak termasuk

agama resmi pemerintah, namun di kartu tanda penduduk menyebut diri sebagai

pemeluk agama resmi pemerintah), dan riwayat kultural percampuran berbagai

macam pengaruh budaya, mulai dari kultur Nusantara asli, Hindu, Islam, Kristen,

dan juga Barat modern (Irhandayaningsih, 2012).

Menurut Parekh (2001), ada tiga komponen multikulturalisme, yakni

kebudayaan, pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas

itu. Multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan cara pandang

kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari aneka

ragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia

dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka

multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai

(5)

2.2. Multikulturalisme dan Persebarannya

Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa ini

untuk mendesain kebudayaan Indonesia, bagi pada umumnya orang Indonesia masa

kini multikulturalisme adalah sebuah konsep yang masih asing. Konsep

multikulturalisme di sini tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman

suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi cirri masyarakat majemuk (plural

society). Karena, multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan

dalam kesederajatan. Mengkaji multikulturalisme tidak bisa dilepaskan dari

permasalahannya yang mendukung ideology ini, yaitu politik dan demokrasi,

keadilan dan penegakan hokum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya

komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, juga tingkat dan

mutu produktivitas (Hidayah, 2013).

2.3. Transformasi Multikulturalisme Menuju Identitas Nasional

Seseorang baru menyadari keberadaan dirinya sendiri yang paling otentik,

ketika berada bersama sesuatu yang lain, barang yang lain, dan orang yang lain.

Itulah the others (liyan) dalam konsep multikulutralisme (Mulkhan, 2002). Menurut

Hefner (2007) bahwa pandangan ini mengacu pada pengalaman Amerika dalam

merumuskan kebijakan politik saat negeri itu diserbu para migran dari berbagai

bangsa, seperti Eropa, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan kebijakan multikultural

keragaman dan kebhinekaan kultur, justru menjadi penguat keberadaan Amerika.

Walaupun berbeda latar historisnya, kebhinekaan etnis, dan keagamaan di

Indonesia bisa menggunakan kerangka pikir multikulturalisme sebagai paradigma

kerja.

Akan tetapi, perlu disadari bahwa sejarah sosial, budaya, dan keagamaan

yang berbeda dengan akar genealogi yang begitu kuat memerlukan strategi berbeda.

Fakta sosio-budaya bhineka dalam keberagamaan bersilangan dengan etnisitas

seringkali membuat setiap komunitas budaya dan keagamaan merasa berhak

menjadi raja dalam kelompoknya sendiri. Kesadaran primordial ini bukanlah sikap

yang salah, bila hal itu disadari menjadi lebih bermakna ketika diletakkan bersama

(6)

publik yang terbuka bernama Indonesia akan sulit, bila tidak dimiliki kesadaran

akan kebermaknaan liyan tersebut.

Pada masa Orde Lama misalnya, Soekarno semboyan Bhinneka Tunggal Ika

dijadikan wacana populis untuk menggairahkan semangat persatuan dan kesatuan

bangsa. Semangat ini digunakan untuk melawan konstelasi kapitalisme melalui ide

nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom). Alih-alih memediasi perbedaan, justru

ide ini telah mensegmentasi masyarakat Indonesia ke dalam pilihan politik yang

berbasis ideologi, seperti PNI (nasionalis), Masyumi dan PSI (agamais atau Islam),

dan PKI (komunis). Keberhasilan membangun semangat kebangsaan melalui

wacana perlawanan terhadap kolonial, ternyata tidak dibarengi dengan keberhasilan

yang sama dalam konsolidasi politik nasional. Sistem politik multipartai yang

diterapkan pemerintah Orde Lama telah membawa masyarakat Indonesia pada

gejolak politik yang melelahkan dan mencapai puncak ketegangan pada lahirnya

tragedi berdarah 30 September 1965 (Nurkhoiron, 2007).

Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Orde Baru lebih meningkatkan

penguasaan dan dominasi massa melalui demobilisasi dan deideologisasi. Praktik

pembangunan melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan massa mengambang

(floating mass). Kebijakan kebudayaan Orde Baru diarahkan untuk memantapkan

stabilitas nasional dengan menggiring kebudayaan-kebudayaan daerah menjadi

tonggak-tonggak kebudayaan nasional. Hasilnya berupa proses pembakuan

sehingga melahirkan efek pada tumbangnya perbedaan budaya dan hancurnya

kebudayaan-kebudayaan lokal.

Tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto telah

membawa babak baru dalam multikulturalisme Indonesia. Kebebasan berekspresi

dan berpendapat diapresiasi seluas-luasnya oleh kelompok-kelompok yang selama

masa pemerintahan Orde Baru tidak memiliki kesempatan untuk berkembang.

Dengan memainkan isu identitas, kelompok-kelompok ini mulai membangun

eksistensinya. Di beberapa tempat sejumlah kelompok Islam membangun

laskar-laskar paramiliter untuk ”membela Tuhannya”. Demikian juga dengan

dipaksakannya penegakkan syariat Islam sebagai bagian dari kebijakan publik di

daerah. Hal serupa juga terjadi di Propinsi Papua yang memaksakan

(7)

seperti itu juga muncul di Bali lewat gema wacana Ajeg Bali yang dikumandangkan

oleh berbagai lapisan sosial masyarakat Bali.

Kebijakan otonomi daerah yang diharapkan dapat mengatasi

masalah-masalah multikulturalisme di Indonesia, ternyata berubah menjadi hiperotonomi

sehingga memunculkan politik kedaerahan yang semakin menajamkan

prasangka-prasangka etnis, agama, dan lokalitas. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa

terdapat perbedaan mencolok antara multikulturalisme sebagai gejala

epistemologis dan multikulturalisme sebagai gejala politik. Perbedaan ini menjadi

medan perdebatan menarik oleh para teoretisi multikulturalisme. Parekh (2008)

salah seorang proponen teori multikulturalisme merekomendasikan bahwa

multikulturalisme bukanlah sebuah doktrin politik dengan muatan programatik,

tidak pula sebagai sebuah aliran filsafat dengan teori yang khas tentang tempat

manusia di dunia, melainkan lebih sebagai sebuah perspektif atau cara melihat

kehidupan manusia.

Sebaliknya, Liliweri (2005) begitu yakin bahwa multikulturalisme

merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang dirancang sedemikian

rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari

semua kelompok etnik atau suku bangsa. Artinya, sebagai sebuah terminologi

multikulturalisme kadang-kadan agak membingungkan karena ia merujuk secara

sekaligus pada dua hal yang berbeda, yaitu realitas dan etika atau praktik dan ajaran.

Sebagai realitas atau praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang

produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah

tataran kehidupan kolektif. Sebagai sebuah etika atau ajaran, multikulturalisme

merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas

unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom itu, seperti etnisitas dan budaya

yang semestinya dikelola dalam ruang-ruang publik.

Terhadap perbedaan ini Budiman (2005) berusaha menengahinya dengan

mengatakan bahwa Parekh memang tidak merekomendasikan multikulturalisme

sebagai doktrin politik, tetapi praktik multikulturalisme memang lebih mudah

dilihat dan dipahami dalam konteks kebijakan politik suatu negara. Dengan kalimat

(8)

pengelolaan perbedaan kultural. Ini menunjukkan bahwa multikulturalisme dalam

teori dan praktik memang merupakan gejala yang rumit.

Pada satu sisi multikulturalisme mensyaratkan adanya kesadaran dari setiap

individu ataupun kelompok, baik yang didasari atas kesamaan agama, etnis, dan

budaya untuk menghargai keberadaan individu ataupun kelompok yang lain. Ini

merupakan kondisi ideal suatu masyarakat plural sebagaimana dinyatakan oleh para

pemikir multikulturalisme gelombang pertama, yaitu (1) kebutuhan terhadap

pengakuan (the need of recognition) dan (2) legitimasi keragaman budaya atau

pluralisme budaya (Tilaar, 2004). Artinya, multikulturalisme menjadi kondisi ideal

suatu masyarakat, bila keanekaragaman agama, etnis, dan budaya tidak saja diakui,

tetapi juga diberikan ruang untuk mengembangkan diri dan mengartikulasikan

identitasnya dalam kerangka kesetaraan dan keadilan. Persoalan kesetaraan dan

keadilan inilah yang kemudian menjadi perhatian penting para kritikus

multikulturalisme gelombang kedua.

Dalam konteks inilah diperlukan upaya serius dan sungguh-sungguh untuk

segera mentransformasikan kesadaran multikulturalisme menjadi identitas nasional

menuju terwujudnya kesatuan Indoensia. Kesadaran baru ini berlaku untuk seluruh

komponen bangsa sehingga memiliki peran yang sama dalam pembentukan

negara-bangsa Indonesia. Denghan demikian, semuanya memiliki hak yang sama untuk

hidup dan menikmati hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata. Sekali lagi,

kesadaran inilah yang harus ditransformasikan menjadi identitas nasional bangsa

Indonesia, baik sebagai komunitas politik maupun budaya. Persoalan ini menjadi

semakin rumit ketika sejarah bangsa telah menorehkan luka sosial-kultural, berupa

ketimpangan sosial, ketidakadilan, ketidakmerataan pembangunan, dan tirani

minoritas di berbagai daerah di Indonesia.

Gerakan-gerakan artikulasi identitas yang mengedepankan sentimen agama, etnis,

dan lokalitas dapat dipandang menjadi kesadaran baru di antara komponen bangsa.

Ini merupakan kebanggaan dalam kehidupan berbangsa, ternyata hanyalah

banyang-bayang semu. Boleh jadi, hal ini membenarkan pandangan Anderson

(1999) yang memaknai bangsa hanyalah sebagai komunitas imajiner (imagined

communities). Komunitas politik ini mencakup jutaan orang yang belum pernah

(9)

diharapkan tetap membayar pajak, memberikan pengorbanan, bahkan memberikan

nyawanya untuk bangsa (Parekh, 2007). Ini sebabnya identitas nasional (national

identity) memang diperlukan oleh sebuah komunitas politik, seperti negara-bangsa

Indonesia. Identitas ini tidak saja untuk membedakannya dengan komunitas yang

lain (liyanan), tetapi lebih penting untuk membangun rasa kasih sayang, tanggung

jawab, dan kepentingan nasional.

Pemahaman tentang identitas nasional menyatukan para anggotanya pada

sekitar pemahaman diri, memberi fokus serta energi pada rasa memiliki bersama,

membentuk citra diri kolektif, mengolah kebaikan yang relevan, memfasilitasi

reproduksi diri komunitas dan kesinambungan antargenerasi, mempertahankan

kesetiaan umum, serta menata kehidupan moral dan politik. Singkatnya, identitas

nasional memiliki peran penting dalam masyarakat multikultur untuk

menumbuhkan perasaan saling memiliki antara komunitas-komunitas yang

beranekaragam (Parekh, 2008). Akan tetapi, identitas nasional memang memiliki

sisi dasar yang gelap dan dengan mudah menjadi sumber konflik dan perpecahan.

Mengingat kesalahan dalam mendefinisikan identitas nasional dapat berakibat pada pendelegitimasian “yang satu” sekaligus peminggiran “yang lain”.

Dalam hal ini identitas nasional bukanlah penilaian, pernyataan, dan

representasi kebijakan politik multikulturalisme dengan makna yang univokal dan

tidak menyertakan sedikit pun ambiguitas di dalamnya. Dekonstruksi menggugat

modus pemaknaan yang terpusat dan cenderung bulat seperti yang mungkin

diinginkan oleh teks. Dalam dekonstruksi makna lebih dialami sebagai proses dari

penafsiran, bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja. Makna teks

ada di balik layar, tetapi wujudnya bukan kehadiran, melainkan proses menjadi

yang terus-menerus menunda pengertian yang dirasakan memadai dan

menggantikannya dengan penanda-penanda baru yang lebih terbuka dan ambigu

(Al-Fayyadl, 2005).

2.4. Multikulturalisme Indonesia di Masa Depan

Saat ini term multikulturalisme sedang laris dalam arti positif di kalangan

birokrat, akademisi, maupun masyarakat umum. Visi indah tentang

(10)

konstruktif ada di benak kita semua. Pidato-pidato dan esai-esai yang mendorong

dijunjung tingginya multikulturalisme ada di manamana, meminta dan menuntut

adanya sikap menghargai setiap wujud kebudayaan, daerah atau sub-kelompok,

yang ada di Indonesia (Irhandayaningsih, 2012).

Namun, konflik inheren dalam konsep multikulturalisme belum dicarikan

solusi fundamental, sehingga kita melihat dalam praktiknya terjadi

benturan-benturan antara konsep yang satu dan yang banyak (one and many). Aksi terorisme,

misalnya, menunjukkan adanya identitas kelompok kultural yang kuat namun

memberontak terhadap identitas bersama dan kepentingan rakyat banyak sebagai

sesama warga Indonesia. Para teroris mengorbankan kepentingan dan keselamatan

sesama warga negara Indonesia untuk memperjuangkan tujuan kelompok

kulturalnya sendiri. Kita bisa menilai hal yang sama terjadi pada gerakan-gerakan

separatisme di berbagai penjuru wilayah Indonesia. Menguatkan identitas

kelompok kultural ternyata bisa menabrak kepentingan agenda nasional yang lebih

besar, sila ketiga dari Pancasila, yakni persatuan Indonesia (Irhandayaningsih,

2012).

Masalah mengenai benturan antarklaim kesetaraan juga perlu diselesaikan.

Jika esensi dari multikulturalisme adalah pengakuan bahwa kaum minoritas perlu

diperlakukan setara seperti kelompok mayoritas, kita akan berhadapan dengan

persoalan: bagaimana dengan kaum minoritas di tengah kaum minoritas itu

(minorities within minorities)? Bahkan kaum minoritas pun dapat berlaku menindas

terhadap kaum minoritasnya sendiri, itu kita temui dalam realitas masyarakat.

Perlakuan terhadap kaum perempuan di tengah sub-kelompok kultural yang

patriarkis adalah satu contoh. Di Indonesia juga kita temukan kasus-kasus seperti

sekte-sekte keagamaan minoritas yang tidak memperoleh pengakuan kesetaraan

dari kelompok keagamaan mayoritas tempat mereka berafiliasi, juga sub-sub kultur

lain yang masih bergerak di bawah tanah, eksis tapi tidak berani menampilkan diri

karena takut pada konsekuensi sosial dari kelompok kultural (Irhandayaningsih,

(11)

III.

PENUTUP

Pada akhirnya dapat dipahami bahwa untuk mewujudkan kesatuan Indonesia

dapat ditempuh setidak-tidak tiga upaya berikut. Pertama, mentransformasikan

kesadaran multikulturalisme menjadi identitas nasional dengan bertumpu pada

penghargaan terhadap kepluralistikan masyarakat Indonesia. Untuk itu Bhinneka

Tunggal Ika sebagai teks ideal senantiasa perlu dibaca ulang pada setiap zaman

karena pada prinsipnya identitas tidak pernah final. Kedua, membangun integrasi

nasional yang berbasis multikulturalisme dengan mendorong kesadaran masyarakat

menggunakan hak konstitusinya dalam berkumpul, berserikat, dan berpendapat

guna memperjuangkan hak-hak keadilan, kebebasan, kesetaraan, serta

berpartisipasi aktif dalam pembangunan.

Kemudian, mendorong pemerintah menjadikan civil society sebagai mitra

kerja, baik dalam pengambilan kebijakan dan ekskusinya pada bidang-bidang yang

menyangkut hajat hidup masyarakat dengan tetap memperhatikan entitas-entitas

budaya lokal. Ketiga, mendorong peran agama dalam kehidupan sosial dan

kebudayaan misalnya, dengan menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah

Tuhan, bukan agama. Melalui kesadaran ini, antarumat beragama tidak saling

menghujat, mati-matian membela agamanya yang seolah-olah membela Tuhannya,

dan menawarkan keselamatan kepada orang lain dengan tujuan konversi agama.

Dengan demikian, agama menjadi pemersatu bagi seluruh masyarakat dan tidak

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Anderson, Benedict, 1999. Komunitas-Komunitas Terbayang Renungan Tentang Asal Usul

dan Penyebaran Nasionalisme. Alih Bahasa Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budiman, Hikmat (ed). 2005. Hak Minoritas Dilema Multikulturisme di Indonesia. Jakarta:

Yayasan Interseksi/The Interseksi Foundation.

Hefner, Robert W. 2007. Politik Multukulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan.

Yogyakarta: Kanisius.

Hidayah, Nur. 2013. Masyarakat Multikultural.

Irhandayaningsih, Ana. 2012. Kajian Filosofis Terhadap Multikulturalisme. E-Journal

Universitas Diponegoro, Semarang.

Kusumohamidjojo, Budiono. 2000. Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia, Gramedia,

Jakarta.

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka&Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. PT LKiS, Yogyakarta.

Magnis-Suseno, Franz. 2005. Pemikiran Karl Marx, dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan

Revisionisme. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Mahfud, Choirul 2006. Pendidikan Multikultural. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. Tiara Wacana, Yogyakarta.

Nurkhoiron, M. 2007. Agama dan Kebudayaan: Menjelajahi Isu Minoritas dan Multikulturalisme di Indonesia, dalam Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, ed. Hikamat Budiman, The Interseksi Foundatin & Yayasan TIFA, Jakarta.

Parekh, Bikhu. 2001. Rethinking Multiculturalism. Harvard.

(13)

Parekh, Bikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik.

Kanisius, Yogyakarta.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotik: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.

(14)

BIODATA

Nama : Ariel Sharon

NIM : 26020213140076

Tempat,tanggal lahir : Jakarta, 26 Juli 1995

Jenis kelamin : Laki – laki

Alamat asal : Griya Depok Asri Blok G1-15

Alamat kos : Jalan Mulawarman Selatan Dalam 2 No. 116 B

Telepon : 082227154652

(15)

BIODATA

Nama : Tias Kusuma Wardani

NIM : 26020214120001

Tempat, Tanggal Lahir : Sumbersari Bantul, 2 Agustus 1996

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat Asal : Jalan Sekar Sari RT/RW:010/003, Sumbersari

Bantul,

Metro Selatan, Kota Metro, Lampung.

Alamat Kos : Jalan Banjarsari Gang Nirwanasari II No.2A,

Tembalang,

Semarang, Jawa Tengah

Telepon : 08994260720

(16)

BIODATA

Nama : Khalisah Nur Shadrina

NIM : 26020214120002

Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 12 September 1996

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat Asal : Dasana Indah Blok UC 5/9, Kab. Tangerang,

Banten

Alamat Kos : Jalan Gondang Barat IV no. 4b

Telepon : 085695831592

(17)

BIODATA

Nama : Ni Komang Sri Andayani

NIM : 26020214120003

Tempat, Tanggal Lahir : Badung, 11 Oktober 1996

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat Asal : Jalan Srikandi no 27 Nusa Dua Lingkungan

Penyarikan Badung/Bali

Alamat Kos : Jalan Timoho Barat No 23 RT 23 RW 03

Tembalang

Semarang, Jawa Tengah

Telepon : 085792031032

(18)

BIODATA

Nama : Siti Maisyarah

NIM : 26020214120005

Tempat, Tanggal Lahir : Tanjungpinang, 09 Oktober 1996

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat Asal : Perumahan Taman Pesona Asri km8. I/8,

Tanjungpinang

Alamat Kos : Jalan Banjarsari gg. Nirwanasari 1 No.2a,

Tembalang,

Semarang, Jawa Tengah

Telepon : 081215363419

(19)

BIODATA

Nama : Ade Ramandata Budi Utama

NIM : 26020214120008

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 16 Februari 1996

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat Asal : Jalan Bunga Mawar XVIII No.18

Alamat Kos : Gondang Bara 4 No.31, Tembalang,

Semarang, Jawa Tengah

Telepon : 085358806450

(20)

MATERI 2

“ Peranan Bahasa Daerah Dalam Bahasa Nasional Indonesia”

Disusun Oleh : Kelompok 2

Metya Astariningrum 26020214120013

Capriati Ariska Putri 26020214120014

Virginia Stephanie C 26020214120022

Ramli Kartika Yudha 26020214120025

Ulfah Shela Majid 26020214120027

Dosen Pengampu :

Koesoemadji,SH. MSi

NIP. 19730719 199512 1 001

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

(21)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer untuk digunakan oleh

anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan

mengidentifikasikan diri. Bahasa merupakan ciri khas dari suatu negara sebagai alat

komunikasi dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial. Oleh karena itu,

bahasa yang digunakan seseorang bisa mencerminkan kepribadian orang tersebut,

yang dapat dilihat dari gaya dan tuturan berbahasa, itulah mengapa bahasa

merupakan simbol penting dari suatu negara.

Setiap negara mempunyai bahasa yang berbeda, begitu pula Negara

Indonesia yang mempunyai bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia,

keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh

terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya,

khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia.

Bahasa sangatlah berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Seiring dengan

perkembangan era globalisasi yang makin maju maka tingkat bahasa juga sangat

penting. Tapi kita lihat sekarang ini bahasa daerah dan bahasa Indonesia secara

bersamaan dalam.Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia tidak terlepas dari

pengaruh bahasa lain, bahasa daerah maupun bahasa asing. Pengaruh itu di satu sisi

dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia, tetapi di satu sisi dapat juga

mengganggu kaidah tata bahasa Indonesia.Akan tetapi tidak dapat dipungkiri

bahwa keanekaragaman budaya dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri

bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan yang harus dilestarikan. Dengan

keanekaragaman ini akan mencirikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan

kebudayaannya. Berbedanya bahasa di tiap-tiap daerah menandakan identitas dan

ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat yang merantau ke ibukota Jakarta

mungkin lebih senang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dengan

orang berasal dari daerah yang sama, salah satunya dikarenakan agar menambah

keakraban diantara mereka. Tidak jarang pula orang mempelajari sedikit atau hanya

bisa untuk berbahasa daerah yang tidak dikuasainya agar terjadi suasana yang lebih

(22)

1.2.Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :

1. Bagaimana peranan bahasa daerah terhadap penggunaan bahasa Indonesia?

2. Apa saja dampak positif dan negatif dari penggunaan bahasa daerah?

1.3.Manfaat

Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui keterkaitan penggunaan bahasa penggunaan bahasa daerah

terhadap bahasa Indonesia.

2. Untuk mengetahui dampak positif dan negatif dari penggunaan bahasa

(23)

II.

ISI

2.1.Sejarah dan Pengertian Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa

persatuan bangsa Indonesia[2]. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya

setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya,

bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia

berposisi sebagai bahasa kerja (Fajrih, 2013).

Dari sudut pandang linguistik, Bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa

Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19. Dalam

perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa

kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak

awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya

Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme

bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.Proses ini menyebabkan

berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan

di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia

merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik

melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing

(Fajrih, 2013).

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia,

Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian

besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di

Indonesia sebagai bahasa ibu.Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan

versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu

lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan

sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak,

surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,sehingga dapatlah dikatakan

bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia (Fajrih, 2013).

Tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[Dasar-dasar yang

penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu

(24)

Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi

karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan

menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab

rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa.

Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan

penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah

"embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula

bahasa Melayu Riau-Johor (Fajrih, 2013).

Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu

mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi

ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak

menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.

Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun

1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib

Soetan Ibrahim (Fajrih, 2013).

Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de

Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga

ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A.

Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan

kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah.

Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar

700 perpustakaan.[12] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa

persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.

Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad

Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada

Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,

"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan

kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa

persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa

Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa

(25)

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak

dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur

Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan

Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan

kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia (Fajrih, 2013).

2.2.Pengertian Bahasa Daerah

Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan pada suatu daerah tertentu dan

memiliki ciri khas tertentu di bidang kosa kata, peristilahan, struktur kalimat dan

ejaannya. Bahasa daerah merupakan lambing kebanggaan daerah yang

bersangkutan (Buku Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan & Kebudayaan,

1994).

Bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam

sebuah negara kebangsaan, apakah itu pada suatu daerah kecil, negara bagian

federal atau provinsi, atau daerah yang lebih luas . Indonesia merupakan negara

kesatuan yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan bahasa. Selain bahasa

Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa daerah merupakan khasanah kekayaan

yang sangat penting untuk di jaga dan dilestarikan agarterhindar dari jamahan asing

yang mampu menghapus jejak budaya kita. Bahasa daerah merupakan bahasa

pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya diakui oleh Negara (Wawan,

2012).

Bahasa daerah adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di daerah

geografis tertentu yang terbatas dalam wilayah suatu negara. Bahasa daerah selain

digunakan untuk berkomunikasi pada suatu suku bangsa yang ada, namun juga

diyakini dapat mempererat solidaritas antar mereka. Sehingga bahasa daerah

tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk dapat dilestarikan dan di

sosialisasikan oleh masing-masing suku bangsa tersebut kepada generasi

penerusnya. Pada lembaga keluarga terdapat berbagai macam fungsi keluarga yang

salah satu adalah sosialisasi. Dalam proses sosialisasi bahasa kepada anak, keluarga

merupakan lembaga pertama yang melakukan sosialisasi dan pengenalan Bahasa

(26)

dikenalkan oleh anak yang tinggal di daerah perkotaan justru pengenalan bahasa

asing, dibandingkan dengan pengenalan terhadap bahasa daerah yang notabene

merupakan bahasa yang mayoritas digunakan oleh keluarga besar mereka.

(Budhiono, 2009).

Menurut Alwi (2003), Dalam rumusan Seminar Politik Bahasa disebutkan

bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa perhubungan

intradaerah atau intramasyarakat di samping bahasa Indonesia dan yang dipakai

sebagai sarana pendukung sastra serta budaya daerah atau masyarakat etnik di

wilayah Republik Indonesia.

2.3.Hubungan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Daerah

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa

persatuan bangsa Indonesia, yang mana penggunaannya diresmikan setelah

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar warga Indonesia

menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.

Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari dan

mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun

demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di

media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, di bidang bisnis dan

berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa

Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia. Bahasa daerah adalah suatu

bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah negara kebangsaan, apakah

itu pada suatu daerah kecil, negara bagian federal atau provinsi, atau daerah yang

lebih luas. Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari beragam suku,

budaya, dan bahasa. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa

daerah merupakan khasanah kekayaan yang sangat penting untuk di jaga dan

dilestarikan agar terhindar dari jamahan asing yang mampu menghapus jejak

budaya kita. Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang

keberadaannya diakui oleh Negara (Nurwidyastuti, 2015).

Hubungan bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia sangatlah erat dikarenakan

(27)

keberadaannya diakui oleh Negara. UUD 1945 pada pasal 32 ayat (2) menegaskan bahwa “Negara menghormati dan memilihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” dan juga sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, bahwa bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional

merupakan sumber pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa daerah kepada

bahasa Indonesia, antara lain, bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan

kosa kata. Demikian juga sebaliknya, bahasa Indonesia mempengaruhi

perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan

bahasa daerah saling melengkapi dalam perkembangannya (Nurwidyastuti, 2015).

Antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah mempunyai hubungan yang sangat

erat, tidak dapat dipungkiri adanya bahasa Indonesia yang muncul seiring dengan

perkembangan bahasa daerah itu sendiri. Karena bahasa daerah dan bahasa

Indonesia saling melengkapi. Terutama dalam hal berkomunikasi antar masyarakat.

Dengan adanya dua bahasa ini menimbulkan kedwibahasaan di negara Indonesia

(Nurwidyastuti, 2015).

Dalam Seminar Pengembangan Bahasa Daerah (1976) itu, yang merumuskan

tujuaan pembinaan dan pengembangan bahasa daerah sebagai berikut :

1. Di bidang struktur bahasa, tujuannya ialah terbinanyabahasa daerah yang

strukturnya terpelihara dan sesuai dengan keperluan masa sekarang.

2. Dibidang pemakai, tujuan pembinaan adalah agar kedwibahasaan itu tetap

(stabil), yaitu pemakai itu menguasai kedua bahasa itu seimbang, dan tidak

menjadi ekabasahawan semata-mata. Jumlah pemakai itu hendaknya tetap

berkembang dan tidak sebaliknya menyusut.

3. Di bidang pemakaian, pembinaan bertujuan agar bahasa daerah dipergunakan

secara penuh sesuai dengan fungsinya, dalam keseimbangan dengan bahasa

Indonesia seperti ditetapkan dalam Politik Bahasa Nasional.

Jadi antara bahasa Indonesia dan bahasa Daerah telah terjadi kontak sosial dan

budaya yang aktif. Jiwa bahasa Indonesia dan jiwa bahasa Daerah telah bertemu.

Kedua bahasa saling bersangkutan dan memperhatikan. Akhirnya kedua bahasa

(28)

2.4.Peranan Bahasa Daerah Dalam Bahasa Indonesia

Bahasa merupakan Identitas, lambang bunyi bagi suatu Negara. Bahasa

Indonesia sendiri merupakan bahsa Resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36 “bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 “Kami Putra dan

Putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami Putra dan Putri

Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Bahasa Indonesia sendiri merupakan dialek kaku dari bahasa melayu klasik dan bahasa

melayu kuno (Nurwidyastuti, 2015).

Bahasa daerah merupakan salah satu budaya setiap bangsa. Terlebih bagi

bangsa Indonesia, Budaya bahasa tersebut memang sebagai identitas dan

kebanggaan suatu daerah dan juga penyatu rasa sedaerah dan tentu bahasa daerah

mempunyai kedudukan penting di daerah masing-masing.Indonesia sendiri terdiri

dari berbagai macam bahasa daerah mulai dari sabang sampai marauke memiliki

bahasa daerah yang berbeda-beda akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa

keanekaragaman budaya dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa

Indonesia dan merupakan kekayaan yang harus dilestarikan (Nurwidyastuti, 2015).

Interaksi budaya mengakibatkan kosakata bahasa-bahasa lokal masuk kedalam

pemakaian bahasa Indonesia.Penutur bahasa Indonesia yang berlatar belakang

bahasa ibu turut mencoraki perkembangan kosakata bahasa Indonesia.Bahasa

lokal,terutama bahasa lokal yang memilki tradisi tulis serta memiliki penutur dalam

jumlah besar memiliki pengaruh terhadap bahasa Indonesia (Nurwidyastuti, 2015).

Pengaruh urbanisasi sangat besar terhadap penyerapan kosakata bahasa lokal

ke dalam bahasa Indonesia.Oran-orang dar daerah yang merantau ke kota-kota

besar membuat mereka tidak bisa meninggalkan bahasa lokalnya secara

seketika,sehingga kosakata dalam bahasa lokal nyatak sengaja terlontar.Bahasa

lokal yang diucapkan oleh perantau inilah yang lambat laun diserap menjadi bahasa

Indonesia (Nurwidyastuti, 2015).

Terdapat ratusan bahasa lokal yang tersebar di seluruh wilayah

(29)

tak jarang membuat sebuah suku memiliki berbagai jenis bhasa lokal.Bahasa lokal

sangat penting keberadaanya.Banyak kosakata dari bahasa lokal diserap jadi bahasa

Indonesia sehingga memperkaya bahasa Indonesia.Selain itu,bahasa lokal adalah

identitas sebuah budaya,terutama buda lokal.Bahasa lokal harus dilestarikan agar

tidak punah ditelan waktu (Nurwidyastuti, 2015).

Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh

terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya,

khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia. Sebagai contoh,

seorang anak memiliki ibu yang berasal dari daerah Sekayu sedangkan ayahnya

berasal dari daerah Pagaralam dan keluarga ini hidup di lingkungan orang Palembang. Dalam mengucapkan sebuah kata misalnya “mengapa”, sang ibu yang berasal dari Sekayu mengucapkannya ngape (e dibaca kuat) sedangkan bapaknya

yang dari Pagaralam mengucapkannya ngape (e dibaca lemah) dan di lingkungannya kata “megapa” diucapkan ngapo. Ketika sang anak mulai bersekolah, ia mendapat seorang teman yang berasal dari Jawa dan mengucapkan “mengapa” dengan ngopo. Hal ini dapat menimbulkan kebinggungan bagi sang anak untuk memilih ucapan apa yang akan digunakan (Nurwidyastuti, 2015).

Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman budaya dan bahasa

daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan

yang harus dilestarikan. Dengan keanekaragaman ini akan mencirikan Indonesia

sebagai negara yang kaya akan kebudayaannya. Berbedannya bahasa di tiap-tiap

daerah menandakan identitas dan ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat yang

merantau ke ibukota Jakarta mungkin lebih senang berkomunikasi dengan

menggunakan bahasa daerah dengan orang berasal dari daerah yang sama, salah

satunya dikarenakan agar menambah keakraban diantara mereka (Nurwidyastuti,

2015).

Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh

terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya,

khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia.Bahasa Indonesia

tercipta tidak lepas dari bahasa daerah dan bahasa asing seperti bahasa Arab,

Portugis, Cina, Belanda, dll. Selain diwarnai dan dipengaruhi bahasa asing,bahasa

(30)

terhadap perkembangan bahasa indonesia cukup signifikan. Berikut beberapa

dampak penggunaan bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia (Nurwidyastuti,

2015).

Dampak Positif

• Bahasa Indonesia memiliki banyak kosakata.

• Sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia.

• Sebagai identitas dan ciri khas dari suatu suku dan daerah.

• Menimbulkan keakraban dalam berkomunikasi.

• Sebagai alat pemersatu antar budaya dan bangsa.

Dampak Negatif

• Bahasa daerah yang satu sulit dipahami oleh daerah lain.

• Masyarakat menjadi kurang paham dalam menggunakan bahasa Indonesia

yang baku karena sudah terbiasa menggunakan bahasa daerah.

• Dapat menimbulkan kesalah pahaman.

• Warga negara asing yang ingin belajar bahasa Indonesia menjadi kesulitan karena terlalu banyak kosakata.

Pada bahasa-bahasa daerah di Indonesia juga terdapat beberapa kata yang sama

dalam tulisan dan pelafalan tetapi memiliki makna yang berbeda, berikut beberapa

contohnya:

• Suwek dalam bahasa Sekayu (Sumsel) bermakna tidak ada.

Suwek dalam bahasa Jawa bermakna sobek.

• Kenek dalam bahasa Batak bermakna kernet (pembantu sopir). Kenek dalam bahasa Jawa bermakna kena.

• Abang dalam bahasa Batak dan Jakarta bermakna kakak.

Abang dalam bahasa Jawa bermakna merah.

• Mangga dalam bahasa Indonesia bermakna buah mangga. Mangga dalam bahasa Sunda bermakna silakan.

• Maen dalam bahasa Indonesia bermakna bermain. Maen dalam bahasa Batak bermakna gadis.

(31)

Gedang dalam bahasa Jawa bermakna pisang.

• Cungur dalam bahasa Sunda bermakna sejenis kikil. Cungur dalam bahasa Jawa bermakna hidung.

• Jagong dalam bahasa Sunda bermakna jagung.

Jagong dalam bahasa Jawa bermakna duduk.

• Nini dalam bahasa Sunda bermakna nenek.

Nini dalam bahasa Batak bermakna anak dari cucu laki-laki.

• Tulang dalam bahasa Indonesia bermakna tulang.

Tulang dalam bahasa Batak bermakna abang atau adik dari ibu.

• Iba dalam bahasa Indonesia bermakna merasa kasihan.

Iba dalam bahasa Batak bermakna saya.

• Bere dalam bahasa Sunda bermakna memberi.

Bere dalam bahasa Batak bermakna anak dari kakak atau adik perempuan

kita.

Melalui beberapa contoh itu ternyata penggunaan bahasa daerah memiliki

tafsiran yang berbeda dengan bahasa lain. Jika hal tersebut digunakan dalam situasi

formal seperti seminar, lokakarya, simposium, proses belajar mengajar yang

pesertanya beragam daerahnya akan memiliki tafsiran makna yang beragam. Oleh

karena itu, penggunaan bahasa daerah haruslah pada waktu, tempat, situasi, dan

(32)

III.

PENUTUP

2.1. Kesimpulan

Bahasa daerah merupakan sumber dari pengembangan kosakata bahasa

Indonesia. Penyerapan kosakata bahasa daerah bermanfaat untuk pemerkayaan

bahasa Indonesia serta untuk pengembangan bahasa daerah itu sendiri.

Pengaruh bahasa daerah dapat memperkaya bahasa Indonesia, tetapi di satu sisi

dapat juga mengganggu kaidah tata bahasa Indonesia. Kebiasaan menggunakan

bahasa daerah dalam bahasa sehari-hari dapat pula mempengaruhi keberadaan

bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia bahkan dianggap sebagai bahasa formal yang

hanya digunakan untuk situasi formal seperti mengajar, rapat, menulis surat, dan

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dan Dendy, S. (ed.). 2003. Politik Bahasa Nasional: Rumusan

Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

Nasional.

Budhiono, R. Hery. 2009. Bahasa Daerah (Bahasa Ibu) di Palangkaraya: Pergeseran

dan Pemertahanannya. Jurnal Adabiyyat Vol 8 No 1, Juni 2009.

Palangkaraya: Adabiyyat.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta :Balai Pustaka

Fajrih, B. 2013. Pengaruh Bahasa Daerah Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia.

Diakses melalui http://bahrulfajrih.blogspot.co.id/2013/01/

pengaruh-bahasa-daerah-terhadap_9514.html pada tanggal 17 Mei 2017.

Gumay, W. 2013. Pengaruh Penggunaan Bahasa Daerah Terhadap Keberadaan

Bahasa Indonesia. Diakses melalui https://nimiextraordinary.wordpress

.com/2013/05/23/

makalah-menulis-i-pengaruh-penggunaan-bahasa-daerah-terhadap-keberadaan-bahasa-indonesia/ pada tanggal 17 Mei 2017.

Nurwidyastuti, L. 2015. Peranan Bahasa Daerah Dalam Perkembangan Bahasa

Indonesia. Diakses melalui http://lnurwidyastuti.blogspot.co.id/2015/03/

peranan-bahasa-daerah-dalam.html?m=1 pada tanggal 17 Mei 2017.

Wawan. 2012. (online) Diakses melalui http://wawan.com/hubungan fungsi bahasa

daerah dengan bahasa -indonesia-blogger-indonesia-dan-asean-blogger/

(34)

BIODATA

Nama : Metya Astariningrum

NIM : 26020214120013

Asal : Semarang

Alamat Rumah : Plamongan Indah H4 no 34 Semarang

No. Hp : 081325588046

Golongan darah : A

Agama : Islam

Email : metya41@gmail.com

Asal SMA : SMA Negeri 1 Semarang

(35)

BIODATA

Nama : Capriati Ariska Putri

Nim : 26020214120014

Asal : Batam

Alamat kos : Jl. Gondang Barat IV No. 4b Kel. Bulusan

No. HP : 085741377944

Email : capriatiariska@gmail.com

(36)

BIODATA

Nama :Virginia Stephanie Claudia

Nim : 26020214120022

Asal : Jakarta

Alamat Kos : Jl. Gondang Barat IV No. 4b Kel. Bulusan

No. Hp : 082299740674

Email : mangindaanv@gmail.com

Hobi : Baca, renang, jalan-jalan

(37)

BIODATA

NamaLengkap : Ramli Kartika Yudha

Tempat,TanggalLahir :Yogyakarta, 20April1996

NIM : 26020214120025

Alamat : Aspol Semarang Selatan Blok 1 No 40, Kota Semarang

No HP : 085643966930

Alamat E-mail : ramlirangrang@yahoo.com

Cita-Cita :Dirut Kementrian Kelautan dan Perikanan

Motto Hidup : Relaxman, love nature and live natural

Agama : Islam

(38)

BIODATA

Nama : Ulfah Shela Majid

Nim : 26020214120027

Asal : Boyolali

Alamat kos : Villa Mutiara Blok B7, Jl. Tembalang Selatan IV, Banyumanik,

Semarang.

No. HP : 085135189890

Email : ulfahshela9@gmail.com

(39)

MATERI 3

PANCASILA DAN BUDAYA INDONESIA

Disusun Oleh: Kelompok 3

Ainiatu Sa’diyah 26020214120042 Aulia Septine Herlintang 26020214120040 Dwi Nur Hanifah 26020214120035 Faradina Fernanda I 26020214120032 Fauzan Hamdillah 26020214120039 Putri Yalesy Siahaan 26020214120041

Dosen Pengampu:

Koesoemadji,SH. MSi

NIP. 19730719 199512 1 001

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

(40)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pancasila merupakan kata yang sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat.

Pancasila merupakan ideologi atau dasar negara indonesia. Dasar negara kita terkenal akan kesakralannya, yang terkenal dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Dimana simbolnya merupakan lambang keagungan yang terpancar dalam bentuk burung garuda. Simbol di dadanya merupakan lambang pancasila negara

kita.

Di dalam pancasila terkandung banyak nilai dan makna. Nilai-nilai tersebut

terdapat dalam lima garis besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perjuangan dalam memperebutkan kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari nilai

pancasila. Sejak zaman pancasila hingga sekarang, nilai-nilai pancasila selalu

dijunjung tinggi.

Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku, bangsa, budaya dan agama.

Keanekaragaman tersebut merupakan satu kesatuan yang kokoh di bawah naungan

Pancasila dan semboyannya Bhineka Tunggal Ika.

Pancasila merupakan pemersatu bangsa di dalam keragaman budayanya. Di dalam makalah ini kami akan membahas lebih dalam mengenai “Pancasila sebagai Budaya Bangsa”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Pancasila?

2. Apa pengertian Pancasila sebagai budaya bangsa?

3. Bagaimana peran Pancasila sebagai budaya bangsa?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian pancasila

2. Untuk mengetahui pengertian budaya bangsa

(41)

1.4 Manfaat

1. Dapat mengetahui pengertian pancasila

2. Dapat mengetahui pengertian budaya bangsa

(42)

II. PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Budaya

Kata budaya berasal dari kata buddhayah sebagai bentuk jamak dari buddhi (Sanskerta) yang berarti ‘akal’ (Koentjaraningrat, 1974). Definisi yang paling tua yang dikemukakan oleh E.B. Tylor di dalam bukunya Primitive Culture (1871).

Menurut Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk

pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan

kebiasaankebiasaan lain (Nyoman Kutha Ratna, 2005). Definisi yang mutakhir

dikemukakan oleh Marvin Harris (1999) yaitu seluruh aspek kehidupan manusia

dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan

tingkah laku. Kecuali itu juga ada definisi yang dikemukakan oleh Parsudi Suparlan

bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk

sosial, yang digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang

dihadapi, dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan (1982).

Menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan ada tiga macam:

1. Kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan.

2. Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia

dalam masyarakat.

3. Benda-benda sebagai karya manusia.

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996), disebutkan bahwa: “ budaya“ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat

istiadat.Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan

(adat, akhlak, kesenian, ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudayaan

sebagai warisan atau tradisi.Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai

tata hidup, way of life, dan kelakuan.

Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah inimeliputi

cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, danjuga hasil dari

kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat ataukelompok penduduk

(43)

berhubungandengan beberapa aspek “di luar sana” yang hendak diteliti oleh seorangilmuwan (Siregar, 2002).

Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat

kepercayaan,nilai-nilai dan cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan yang dimilikibersama oleh

para warga dari suatu kelompok masyarakat. Pengertian masyarakat sendiri adalah

sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa

yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya (Siregar, 2002).

Pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah pendidikan yang

mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri peserta didik sehingga

menjadi dasar bagi mereka dalam berpikir, bersikap, bertindak dalam

mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara.

Budaya pada umumnya dapat dibagi menjadi dua, diantaranya adalah Pengertian

Budaya Lokal dan Nasional.

1. Budaya Lokal

Budaya Lokal adalah budaya yang yang berkembang di daerah-daerah dan

merupakan milik suku-suku bangsa di wilayah nusantara Indonesia. Budaya

local hidup dan berkembang di masing-masing daerah/suku bangsa yang ada di

seluruh Indonesia.

Contoh :

• Budaya Selamatan dalam lingkaran Hidup Manusia di Suku Bangsa Jawa (Mitoni/Tingkep, Brokohan, Puputan, Sunatan, Perkawinan, Selamatan

orang yang sudah meninggal, dll).

• Budaya Garebeg Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

• Budaya Ngaben untuk masyarakat Suku Bangsa Bali, dan lain-lain.

2. Budaya Nasional

Budaya Nasional adalah kebudayaan yang terbentuk dari keseluruhan budaya

local yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia sertah hasil

serapan dari budaya asing atau budaya global, dengan ikatan yang menjadi cirri

khas seluruh budaya di Indonesia yaitu nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan nasional berfungsi sebagai

pemberi identitas kepada suatu nation sebagai kontinuitas sejak kejayaan bangsa

(44)

UUD 1945 menyatakan: “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya”. Perwujudan Budaya Nasional yaitu secara abstrak budaya nasional terwujud dalam system gagasan,

tindakan, dan hasil karya manusia. Sedangkan perwujudan konkret dari budaya

nasional berupa cara berbahasa, cara berperilaku, cara berpakaian, dan peralatan

hidup.

Bangsa adalah sekelompok manusia yang di takdirkan untuk bersama, senasib

sepenanggungan dalam suatu negara, secara umum Bangsa dapat diartikan sebagai “Kesatuan orang-orang yang sama asal keturunan, adat, agama, dan historisnya”. Bangsaadalah sekelompok besar manusia yang memiliki cita-cita moral dan hukun yang terikat menjadi satu karena keinginan dan pengalaman

sejarah di masa lalu serta mendiami wilayah suatu Negara. Menurut Otto bauer

(German) bangsa adalah suatu persatuan karakter atau perangai yang timbul

karena persamaan nasib. Sedangkan menurut Ernest Renant (filsuf Perancis),

bangsa adalah sekelompok manusia yang memiliki kehendak bersatu sehingga

merasa dirinya adalah satu.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Budaya Bangsa adalah seluruh sistem

nilai, gagasan, norma, tindakan, dan hasil karya bangsa; dalam hal ini bangsa

Indonesiadi seluruh wilayah nusantara dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara. (Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 33 Tahun 2009 Tentang

Perfilman).

2.2. Kebudayaan Sebagai Pola

Dalam setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan

sejumlahpola-pola budaya yang ideal dan sejumlahpola-pola-sejumlahpola-pola ini cenderung diperkuat dengan adanya

pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang ideal itu memuat

hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebutdiakui sebagai kewajiban

yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola inilah yang sering

disebut dengan norma-norma,Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang

dalam kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan

bersama sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu

(45)

akan ada apa yang disebut dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian

dari pola-pola yang ideal tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku

sebenarnya karena pola-pola tersebut telah dikesampingkan oleh cara-cara yang

dibiasakan oleh masyarakat (Siregar, 2002).

Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para

pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu

pendukungnya selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang telah

dituntut oleh kebudayaan itu. Pembatasan-pembatasan kebudayaanbaru terasa

kekuatannya ketika dia ditentang atau dilawan. Pembatasan kebudayaan terbagi

kedalam dua jenis yaitu pembatasan kebudayaan yang langsung dan pembatasan

kebudayaan yang tidak langsung. Pembatasan langsung terjadi ketika kita mencoba

melakukan suatu hal yang menurut kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan

hal yang tidak lazim atau bahkan hal yang dianggap melanggar tata kesopanan atau

yang ada. Akan ada sindiran atau ejekan yang kepada si pelanggar kalau hal yang

dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan kebiasaan yang ada,

akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut sudah dianggap melanggar tata

tertib yang berlaku dalam masyarakat, maka mungkin akan dihukum dengan

aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Dalam pembatasan-pembatasan tidak

langsung, aktivitas yang dilakukan oleh orang yang melanggar tidak dihalangi atau

dibatasi secara langsung akan tetapi kegiatan tersebut tidak akan mendapat respons

atau tanggapandari anggota kebudayaan yang lain karena tindakan tersebut tidak

dipahami atau dimengerti oleh mereka (Siregar, 2002).

Pembatasan-pembatasan kebudayaan ini tidak berarti menghilangkan

kepribadian seseorang dalam kebudayaannya. Memang kadang – kadang

pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi tekanan-tekanan sosial yangmengatur

tata-kehidupan yang berjalan dalam suatu kebudayaan, tetapi bukan berarti

tekanan-tekanan sosial tersebut menghalangi individu-individu yang mempunyai

pendirian bebas. Mereka yang mempunyai pendirian seperti ini akan tetap

mempertahankan pendapat-pendapat mereka, sekalipun mereka mendapat

tentangan dari pendapat yang mayoritas (Siregar, 2002).

Kenyataan bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang

(46)

pendukungnya disesuaikan dengan kebutuhan - kebutuhan tertentu dari

lingkungannya. Ini terjadi sebagai suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus

bertahan, karena kalau sifat-sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa

keadaan tertentu, kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Setiap

adat yang meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu

biasanya merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada

mode yang baru atau sistem yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan

diri dengan pembaruan itu. Karena dalam adat istiadat itu ada konsep yang dikenal

dengan sistem nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang

hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa

yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalamhidup, sehingga ia

memberi pedoman, arah serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat

pendukung kebudayaan tersebut (Siregar, 2002).

2.3 Pengertian Pancasila

Pancasila ialah sebagai dasar negara yang sering disebut dasar falsafah negara

(philosophiche grondslag atau dasar filsafat negara) ideologi negara (staatsidee),

dari negara. Pancasila, yang berarti lima dasar atau lima asas, adalah nama dasar

NegaraRepublik Indonesia. Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit

padaabad XIV, yaitu terdapat dalam buku Nagarakertagama karangan Prapanca

dan buku Sutasoma karangan Tantular. Dalam buku Sutasoma istilah Pancasila

disamping mempunyai arti berbatu sendi yang kelima (dari bahasa Sansekerta, juga

mempunyai arti pelaksanaan kesusilaan yang lima (Pancasila Krama).

Pancasila secara etimologis, Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yang

terdiri dari kata Panca dan Syila. Panca artinya lima dan Syila artinya alas

ataudasar. Jadi Pancasila artinya lima dasar (aturan) yang harus ditaati dan

dilaksanakan. Didalam agama Budha juga terdapat istilah Pancasila yang ditulis dalam bahasa Pali yaitu “Pancha Sila” yang artinya lima larangan atau lima pantangan yaitu tidak boleh melakukan kekerasan, tidak boleh mencuri, tidak boleh

berjiwa dengki, tidak boleh berbohong, dan tidak boleh mabuk minuman keras atau

(47)

Pengertian Pancasila secara terminologis, istilah Pancasila dipergunakanoleh

Ir.Soekarno yang dicetuskan dalam pidatonya didepan sidang BPUPKI (Dokuritsu

Ziumbi Tyoosakai) pada tanggal 1 Juni 1945. Pancasila adalah dasar Negara

Indonesia yang merupakan identitas Negara Indonesia dan tidak dimiliki oleh

negara lain. Pengertian Pancasila secara historis, proses perumusan Pancasila

diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr.Radjiman Wedyodiningrat,

mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut. Masalah

tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan

dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu

Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno. Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam

siding tersebut Ir.Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian untuk memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar, hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang

temannya yaituseorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.Pada tanggal 17

Agustus1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian keesokan

harinyatanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang Dasar 1945

termasukPembukaan UUD 1945 di mana didalamnya termuat isi rumusan lima

prinsip ataulima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama Pancasila.

Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan merupakan

istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar negara, yang

secara spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.

2.4 Peran Pancasila sebagai Budaya Bangsa

Pengertian budaya dalam pengertian umum berasal dari bahasa sansekerta,

budhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi dan akal) yang diartikan

sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Sedangkan pendapat lain

menyatakan budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi berkaitan dengan unsur

rohani dan daya berkaitan dengan unsur jasmani manusia. Dengan demikian budaya

Gambar

Tabel 1.  Perbedaan antara masyarakat desa dan masyarakat kota
Gambar 1. Adat Perkawinan Masyarakat Flores
Gambar 2. Pernikahan Adat Jawa
Gambar 3. Aktivitas keagamaan sebagai salah satu unsur kebudayaan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan representasi multipel matematis siswa yang memperoleh model

Adakah hubungan karakteristik keluarga yang meliputi pengetahuan, sikap dan pendidikan ibu, pendapatan keluarga, serta kesukaan anak terhadap makanan kariogenik dan

Tujuan penelitian ini adalah menentukan kombinasi terbaik dari prediktor di atmosfer untuk model curah hujan harian, kelembaban relatif, suhu maksimum, dan suhu minimum di

Hal ini menunjukkan bahwa kelas eksperimen yang menerapkan strategi pembelajaran guided note taking pada proses pembelajarannya menghasilkan nilai pemahaman konsep

Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka, dibangun Sistem Pendukung Keputusan Penentuan Pemenang Lelang dengan harapan dapat melakukan hal-hal yang sesuai dengan tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui definisi implementasi Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2008 di UKSW Salatiga dilihat dari persepsi pelaksana

Pemilikan Rumah (KPR) pada Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Surabaya. Bagi STIE