MATERI I
“KESATUAN BANGSA INDONESIA DALAM MULTIKULTURALISME”
Disusun Oleh:
Kelompok 1
Ariel Sharon 26020213140076 Tias Kusuma Wardani 26020214120001 Khalisah Nur Shadrina 26020214120002 Ni Komang Sri Andayani 26020214120003 Siti Maisyarah 26020214120005 Ade Ramadanta Budi U. 26020214120008
DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keberagaman masyarakat Indonesia memang dapat menjadi berkah karena
menghadirkan mozaik kebudayaan yang indah dalam rangkaian Bhineka Tunggal
Ika. Akan tetapi, ternyata berkah itu bersanding dengan musibah sehingga
kepluralistikan masyarakat Indonesia lebih banyak menjadi pekerjaan rumah
daripada berkah. Fenomena ini terlihat dari perkembangan sejarah Indonesia,
seperti semakin kuatnya etnosenterisme. Hal ini dapat dilihat dari munculnya
konflik antaretnik di berbagai daerah di Indonesia, antara lain disebabkan oleh
perkembangan etnosentrisme ke arah etnonasiolisme yang mendorong lahirnya
gerakan sparatisme.
Otonomi daerah yang diharapkan dapat memecahkan masalah tersebut,
ternyata dominan berubah menjadi hiperotomoni sehingga memunculkan proses
politik kedaerahan (Piliang, 2003). Fenomena ini menandakan adanya masalah
serius dalam mengelola kepluralistikan di Indonesia sehingga semboyan Bhineka
Tunggal Ika semakin jauh dari cita-cita kesatuan Indonesia. Begitu juga krisis yang
melanda bangsa Indonesia dalam berbagai dimensi dan skala merupakan cobaan
moralitas dan kemanusiaan yang tidak ringan. Krisis ini menurut Kusumohamidjojo
(2000) merupakan permasalahan serius bangsa, tetapi secara moralitas memperoleh
tanggapan yang kurang sungguh-sungguh dari elite masyarakat.
Sikap pemuka Indonesia dari generasi yang berbeda-beda merefleksikan
keprihatinan mengenai rasa hormat kepada etika sosial pada kalangan atas
masyarakat. Pada gilirannya keprihatinan ini akan menghalangi penegakan serta
pelaksanaan hukum secara luas dan merata. Apalagi arogansi mayoritas terhadap
minoritas, perilaku menyimpang dalam kehidupan keagamaan, monopoli dalam
bidang ekonomi, dan eksploitasi alam tanpa kendali secara sosio-budaya
merupakan ancaman serius bagi keutuhan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Oleh karena itu, kepluralistikan masyarakat dan kebudayaan
Indonesia, di samping sebagai kekayaan bangsa, juga bisa menjadi ancaman bagi
negara dan bangsa ini, bila unsur bangsa masing-masing tidak memberikan ruang
Tegasnya, bangsa Indonesia yang multikultur mutlak harus dipandang dari
kacamata multikulturalisme, sebagaimana dikemukakan Magnis-Suseno (2005)
bahwa Indonesia hanya dapat bersatu, bila pluralitas yang menjadi kenyataan sosial
dihormati. Artinya, penegakan kesatuan Indonesia bukan hendak menghilangkan
identitas setiap komponen bangsa, tetapi harapannya agar semuanya menjadi warga
negara Indonesia tanpa merasa terasing. Sikap saling menghormati identitas
masing-masing dan kesediaan untuk tidak memaksakan pandangan sendiri tentang “yang baik” kepada siapapun merupakan syarat keberhasilan masa depan Indonesia. Untuk itu, diperlukan transformasi kesadaran multikulturalisme menjadi
identitas nasional, integrasi nasional, dan menempatkan agama menjadi fondasi
kesatuan bangsa.
1.2. Tujuan
II.
ISI
2.1. Pengertian Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,
multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme
(aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat
manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing
yang unik.2 Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa
bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu
masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan
akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan (Mahfud, 2006).
Istilah multikulturalisme secara umum diterima secara positif oleh
masyarakat Indonesia. Ini tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat Indonesia
yang majemuk. Kemajemukan masyarakat Indonesia terlihat dari beberapa fakta
berikut: tersebar dalam kepulauan yang terdiri atas 13.667 pulau (meskipun tidak
seluruhnya berpenghuni), terbagi ke dalam 358 suku bangsa dan 200 subsuku
bangsa, memeluk beragam agama dan kepercayaan yang menurut statistik: Islam
88,1%, Kristen dan Katolik 7,89%, Hindu 2,5%, Budha 1% dan yang lain 1%
(dengan catatan ada pula penduduk yang menganut keyakinan yang tidak termasuk
agama resmi pemerintah, namun di kartu tanda penduduk menyebut diri sebagai
pemeluk agama resmi pemerintah), dan riwayat kultural percampuran berbagai
macam pengaruh budaya, mulai dari kultur Nusantara asli, Hindu, Islam, Kristen,
dan juga Barat modern (Irhandayaningsih, 2012).
Menurut Parekh (2001), ada tiga komponen multikulturalisme, yakni
kebudayaan, pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas
itu. Multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan cara pandang
kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari aneka
ragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia
dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka
multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai
2.2. Multikulturalisme dan Persebarannya
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa ini
untuk mendesain kebudayaan Indonesia, bagi pada umumnya orang Indonesia masa
kini multikulturalisme adalah sebuah konsep yang masih asing. Konsep
multikulturalisme di sini tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman
suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi cirri masyarakat majemuk (plural
society). Karena, multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan
dalam kesederajatan. Mengkaji multikulturalisme tidak bisa dilepaskan dari
permasalahannya yang mendukung ideology ini, yaitu politik dan demokrasi,
keadilan dan penegakan hokum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya
komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, juga tingkat dan
mutu produktivitas (Hidayah, 2013).
2.3. Transformasi Multikulturalisme Menuju Identitas Nasional
Seseorang baru menyadari keberadaan dirinya sendiri yang paling otentik,
ketika berada bersama sesuatu yang lain, barang yang lain, dan orang yang lain.
Itulah the others (liyan) dalam konsep multikulutralisme (Mulkhan, 2002). Menurut
Hefner (2007) bahwa pandangan ini mengacu pada pengalaman Amerika dalam
merumuskan kebijakan politik saat negeri itu diserbu para migran dari berbagai
bangsa, seperti Eropa, Afrika, dan Amerika Latin. Dengan kebijakan multikultural
keragaman dan kebhinekaan kultur, justru menjadi penguat keberadaan Amerika.
Walaupun berbeda latar historisnya, kebhinekaan etnis, dan keagamaan di
Indonesia bisa menggunakan kerangka pikir multikulturalisme sebagai paradigma
kerja.
Akan tetapi, perlu disadari bahwa sejarah sosial, budaya, dan keagamaan
yang berbeda dengan akar genealogi yang begitu kuat memerlukan strategi berbeda.
Fakta sosio-budaya bhineka dalam keberagamaan bersilangan dengan etnisitas
seringkali membuat setiap komunitas budaya dan keagamaan merasa berhak
menjadi raja dalam kelompoknya sendiri. Kesadaran primordial ini bukanlah sikap
yang salah, bila hal itu disadari menjadi lebih bermakna ketika diletakkan bersama
publik yang terbuka bernama Indonesia akan sulit, bila tidak dimiliki kesadaran
akan kebermaknaan liyan tersebut.
Pada masa Orde Lama misalnya, Soekarno semboyan Bhinneka Tunggal Ika
dijadikan wacana populis untuk menggairahkan semangat persatuan dan kesatuan
bangsa. Semangat ini digunakan untuk melawan konstelasi kapitalisme melalui ide
nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom). Alih-alih memediasi perbedaan, justru
ide ini telah mensegmentasi masyarakat Indonesia ke dalam pilihan politik yang
berbasis ideologi, seperti PNI (nasionalis), Masyumi dan PSI (agamais atau Islam),
dan PKI (komunis). Keberhasilan membangun semangat kebangsaan melalui
wacana perlawanan terhadap kolonial, ternyata tidak dibarengi dengan keberhasilan
yang sama dalam konsolidasi politik nasional. Sistem politik multipartai yang
diterapkan pemerintah Orde Lama telah membawa masyarakat Indonesia pada
gejolak politik yang melelahkan dan mencapai puncak ketegangan pada lahirnya
tragedi berdarah 30 September 1965 (Nurkhoiron, 2007).
Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Orde Baru lebih meningkatkan
penguasaan dan dominasi massa melalui demobilisasi dan deideologisasi. Praktik
pembangunan melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan massa mengambang
(floating mass). Kebijakan kebudayaan Orde Baru diarahkan untuk memantapkan
stabilitas nasional dengan menggiring kebudayaan-kebudayaan daerah menjadi
tonggak-tonggak kebudayaan nasional. Hasilnya berupa proses pembakuan
sehingga melahirkan efek pada tumbangnya perbedaan budaya dan hancurnya
kebudayaan-kebudayaan lokal.
Tumbangnya Orde Baru yang ditandai dengan lengsernya Soeharto telah
membawa babak baru dalam multikulturalisme Indonesia. Kebebasan berekspresi
dan berpendapat diapresiasi seluas-luasnya oleh kelompok-kelompok yang selama
masa pemerintahan Orde Baru tidak memiliki kesempatan untuk berkembang.
Dengan memainkan isu identitas, kelompok-kelompok ini mulai membangun
eksistensinya. Di beberapa tempat sejumlah kelompok Islam membangun
laskar-laskar paramiliter untuk ”membela Tuhannya”. Demikian juga dengan
dipaksakannya penegakkan syariat Islam sebagai bagian dari kebijakan publik di
daerah. Hal serupa juga terjadi di Propinsi Papua yang memaksakan
seperti itu juga muncul di Bali lewat gema wacana Ajeg Bali yang dikumandangkan
oleh berbagai lapisan sosial masyarakat Bali.
Kebijakan otonomi daerah yang diharapkan dapat mengatasi
masalah-masalah multikulturalisme di Indonesia, ternyata berubah menjadi hiperotonomi
sehingga memunculkan politik kedaerahan yang semakin menajamkan
prasangka-prasangka etnis, agama, dan lokalitas. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
terdapat perbedaan mencolok antara multikulturalisme sebagai gejala
epistemologis dan multikulturalisme sebagai gejala politik. Perbedaan ini menjadi
medan perdebatan menarik oleh para teoretisi multikulturalisme. Parekh (2008)
salah seorang proponen teori multikulturalisme merekomendasikan bahwa
multikulturalisme bukanlah sebuah doktrin politik dengan muatan programatik,
tidak pula sebagai sebuah aliran filsafat dengan teori yang khas tentang tempat
manusia di dunia, melainkan lebih sebagai sebuah perspektif atau cara melihat
kehidupan manusia.
Sebaliknya, Liliweri (2005) begitu yakin bahwa multikulturalisme
merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang dirancang sedemikian
rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari
semua kelompok etnik atau suku bangsa. Artinya, sebagai sebuah terminologi
multikulturalisme kadang-kadan agak membingungkan karena ia merujuk secara
sekaligus pada dua hal yang berbeda, yaitu realitas dan etika atau praktik dan ajaran.
Sebagai realitas atau praktik, multikulturalisme dipahami sebagai representasi yang
produktif atas interaksi di antara elemen-elemen sosial yang beragam dalam sebuah
tataran kehidupan kolektif. Sebagai sebuah etika atau ajaran, multikulturalisme
merujuk pada spirit, etos, dan kepercayaan tentang bagaimana keragaman atas
unit-unit sosial yang berciri privat dan relatif otonom itu, seperti etnisitas dan budaya
yang semestinya dikelola dalam ruang-ruang publik.
Terhadap perbedaan ini Budiman (2005) berusaha menengahinya dengan
mengatakan bahwa Parekh memang tidak merekomendasikan multikulturalisme
sebagai doktrin politik, tetapi praktik multikulturalisme memang lebih mudah
dilihat dan dipahami dalam konteks kebijakan politik suatu negara. Dengan kalimat
pengelolaan perbedaan kultural. Ini menunjukkan bahwa multikulturalisme dalam
teori dan praktik memang merupakan gejala yang rumit.
Pada satu sisi multikulturalisme mensyaratkan adanya kesadaran dari setiap
individu ataupun kelompok, baik yang didasari atas kesamaan agama, etnis, dan
budaya untuk menghargai keberadaan individu ataupun kelompok yang lain. Ini
merupakan kondisi ideal suatu masyarakat plural sebagaimana dinyatakan oleh para
pemikir multikulturalisme gelombang pertama, yaitu (1) kebutuhan terhadap
pengakuan (the need of recognition) dan (2) legitimasi keragaman budaya atau
pluralisme budaya (Tilaar, 2004). Artinya, multikulturalisme menjadi kondisi ideal
suatu masyarakat, bila keanekaragaman agama, etnis, dan budaya tidak saja diakui,
tetapi juga diberikan ruang untuk mengembangkan diri dan mengartikulasikan
identitasnya dalam kerangka kesetaraan dan keadilan. Persoalan kesetaraan dan
keadilan inilah yang kemudian menjadi perhatian penting para kritikus
multikulturalisme gelombang kedua.
Dalam konteks inilah diperlukan upaya serius dan sungguh-sungguh untuk
segera mentransformasikan kesadaran multikulturalisme menjadi identitas nasional
menuju terwujudnya kesatuan Indoensia. Kesadaran baru ini berlaku untuk seluruh
komponen bangsa sehingga memiliki peran yang sama dalam pembentukan
negara-bangsa Indonesia. Denghan demikian, semuanya memiliki hak yang sama untuk
hidup dan menikmati hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata. Sekali lagi,
kesadaran inilah yang harus ditransformasikan menjadi identitas nasional bangsa
Indonesia, baik sebagai komunitas politik maupun budaya. Persoalan ini menjadi
semakin rumit ketika sejarah bangsa telah menorehkan luka sosial-kultural, berupa
ketimpangan sosial, ketidakadilan, ketidakmerataan pembangunan, dan tirani
minoritas di berbagai daerah di Indonesia.
Gerakan-gerakan artikulasi identitas yang mengedepankan sentimen agama, etnis,
dan lokalitas dapat dipandang menjadi kesadaran baru di antara komponen bangsa.
Ini merupakan kebanggaan dalam kehidupan berbangsa, ternyata hanyalah
banyang-bayang semu. Boleh jadi, hal ini membenarkan pandangan Anderson
(1999) yang memaknai bangsa hanyalah sebagai komunitas imajiner (imagined
communities). Komunitas politik ini mencakup jutaan orang yang belum pernah
diharapkan tetap membayar pajak, memberikan pengorbanan, bahkan memberikan
nyawanya untuk bangsa (Parekh, 2007). Ini sebabnya identitas nasional (national
identity) memang diperlukan oleh sebuah komunitas politik, seperti negara-bangsa
Indonesia. Identitas ini tidak saja untuk membedakannya dengan komunitas yang
lain (liyanan), tetapi lebih penting untuk membangun rasa kasih sayang, tanggung
jawab, dan kepentingan nasional.
Pemahaman tentang identitas nasional menyatukan para anggotanya pada
sekitar pemahaman diri, memberi fokus serta energi pada rasa memiliki bersama,
membentuk citra diri kolektif, mengolah kebaikan yang relevan, memfasilitasi
reproduksi diri komunitas dan kesinambungan antargenerasi, mempertahankan
kesetiaan umum, serta menata kehidupan moral dan politik. Singkatnya, identitas
nasional memiliki peran penting dalam masyarakat multikultur untuk
menumbuhkan perasaan saling memiliki antara komunitas-komunitas yang
beranekaragam (Parekh, 2008). Akan tetapi, identitas nasional memang memiliki
sisi dasar yang gelap dan dengan mudah menjadi sumber konflik dan perpecahan.
Mengingat kesalahan dalam mendefinisikan identitas nasional dapat berakibat pada pendelegitimasian “yang satu” sekaligus peminggiran “yang lain”.
Dalam hal ini identitas nasional bukanlah penilaian, pernyataan, dan
representasi kebijakan politik multikulturalisme dengan makna yang univokal dan
tidak menyertakan sedikit pun ambiguitas di dalamnya. Dekonstruksi menggugat
modus pemaknaan yang terpusat dan cenderung bulat seperti yang mungkin
diinginkan oleh teks. Dalam dekonstruksi makna lebih dialami sebagai proses dari
penafsiran, bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja. Makna teks
ada di balik layar, tetapi wujudnya bukan kehadiran, melainkan proses menjadi
yang terus-menerus menunda pengertian yang dirasakan memadai dan
menggantikannya dengan penanda-penanda baru yang lebih terbuka dan ambigu
(Al-Fayyadl, 2005).
2.4. Multikulturalisme Indonesia di Masa Depan
Saat ini term multikulturalisme sedang laris dalam arti positif di kalangan
birokrat, akademisi, maupun masyarakat umum. Visi indah tentang
konstruktif ada di benak kita semua. Pidato-pidato dan esai-esai yang mendorong
dijunjung tingginya multikulturalisme ada di manamana, meminta dan menuntut
adanya sikap menghargai setiap wujud kebudayaan, daerah atau sub-kelompok,
yang ada di Indonesia (Irhandayaningsih, 2012).
Namun, konflik inheren dalam konsep multikulturalisme belum dicarikan
solusi fundamental, sehingga kita melihat dalam praktiknya terjadi
benturan-benturan antara konsep yang satu dan yang banyak (one and many). Aksi terorisme,
misalnya, menunjukkan adanya identitas kelompok kultural yang kuat namun
memberontak terhadap identitas bersama dan kepentingan rakyat banyak sebagai
sesama warga Indonesia. Para teroris mengorbankan kepentingan dan keselamatan
sesama warga negara Indonesia untuk memperjuangkan tujuan kelompok
kulturalnya sendiri. Kita bisa menilai hal yang sama terjadi pada gerakan-gerakan
separatisme di berbagai penjuru wilayah Indonesia. Menguatkan identitas
kelompok kultural ternyata bisa menabrak kepentingan agenda nasional yang lebih
besar, sila ketiga dari Pancasila, yakni persatuan Indonesia (Irhandayaningsih,
2012).
Masalah mengenai benturan antarklaim kesetaraan juga perlu diselesaikan.
Jika esensi dari multikulturalisme adalah pengakuan bahwa kaum minoritas perlu
diperlakukan setara seperti kelompok mayoritas, kita akan berhadapan dengan
persoalan: bagaimana dengan kaum minoritas di tengah kaum minoritas itu
(minorities within minorities)? Bahkan kaum minoritas pun dapat berlaku menindas
terhadap kaum minoritasnya sendiri, itu kita temui dalam realitas masyarakat.
Perlakuan terhadap kaum perempuan di tengah sub-kelompok kultural yang
patriarkis adalah satu contoh. Di Indonesia juga kita temukan kasus-kasus seperti
sekte-sekte keagamaan minoritas yang tidak memperoleh pengakuan kesetaraan
dari kelompok keagamaan mayoritas tempat mereka berafiliasi, juga sub-sub kultur
lain yang masih bergerak di bawah tanah, eksis tapi tidak berani menampilkan diri
karena takut pada konsekuensi sosial dari kelompok kultural (Irhandayaningsih,
III.
PENUTUP
Pada akhirnya dapat dipahami bahwa untuk mewujudkan kesatuan Indonesia
dapat ditempuh setidak-tidak tiga upaya berikut. Pertama, mentransformasikan
kesadaran multikulturalisme menjadi identitas nasional dengan bertumpu pada
penghargaan terhadap kepluralistikan masyarakat Indonesia. Untuk itu Bhinneka
Tunggal Ika sebagai teks ideal senantiasa perlu dibaca ulang pada setiap zaman
karena pada prinsipnya identitas tidak pernah final. Kedua, membangun integrasi
nasional yang berbasis multikulturalisme dengan mendorong kesadaran masyarakat
menggunakan hak konstitusinya dalam berkumpul, berserikat, dan berpendapat
guna memperjuangkan hak-hak keadilan, kebebasan, kesetaraan, serta
berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
Kemudian, mendorong pemerintah menjadikan civil society sebagai mitra
kerja, baik dalam pengambilan kebijakan dan ekskusinya pada bidang-bidang yang
menyangkut hajat hidup masyarakat dengan tetap memperhatikan entitas-entitas
budaya lokal. Ketiga, mendorong peran agama dalam kehidupan sosial dan
kebudayaan misalnya, dengan menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah
Tuhan, bukan agama. Melalui kesadaran ini, antarumat beragama tidak saling
menghujat, mati-matian membela agamanya yang seolah-olah membela Tuhannya,
dan menawarkan keselamatan kepada orang lain dengan tujuan konversi agama.
Dengan demikian, agama menjadi pemersatu bagi seluruh masyarakat dan tidak
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Anderson, Benedict, 1999. Komunitas-Komunitas Terbayang Renungan Tentang Asal Usul
dan Penyebaran Nasionalisme. Alih Bahasa Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiman, Hikmat (ed). 2005. Hak Minoritas Dilema Multikulturisme di Indonesia. Jakarta:
Yayasan Interseksi/The Interseksi Foundation.
Hefner, Robert W. 2007. Politik Multukulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Hidayah, Nur. 2013. Masyarakat Multikultural.
Irhandayaningsih, Ana. 2012. Kajian Filosofis Terhadap Multikulturalisme. E-Journal
Universitas Diponegoro, Semarang.
Kusumohamidjojo, Budiono. 2000. Kebhinnekaan Masyarakat Indonesia, Gramedia,
Jakarta.
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka&Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. PT LKiS, Yogyakarta.
Magnis-Suseno, Franz. 2005. Pemikiran Karl Marx, dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Mahfud, Choirul 2006. Pendidikan Multikultural. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam. Tiara Wacana, Yogyakarta.
Nurkhoiron, M. 2007. Agama dan Kebudayaan: Menjelajahi Isu Minoritas dan Multikulturalisme di Indonesia, dalam Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia, ed. Hikamat Budiman, The Interseksi Foundatin & Yayasan TIFA, Jakarta.
Parekh, Bikhu. 2001. Rethinking Multiculturalism. Harvard.
Parekh, Bikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik.
Kanisius, Yogyakarta.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotik: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna.
BIODATA
Nama : Ariel Sharon
NIM : 26020213140076
Tempat,tanggal lahir : Jakarta, 26 Juli 1995
Jenis kelamin : Laki – laki
Alamat asal : Griya Depok Asri Blok G1-15
Alamat kos : Jalan Mulawarman Selatan Dalam 2 No. 116 B
Telepon : 082227154652
BIODATA
Nama : Tias Kusuma Wardani
NIM : 26020214120001
Tempat, Tanggal Lahir : Sumbersari Bantul, 2 Agustus 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat Asal : Jalan Sekar Sari RT/RW:010/003, Sumbersari
Bantul,
Metro Selatan, Kota Metro, Lampung.
Alamat Kos : Jalan Banjarsari Gang Nirwanasari II No.2A,
Tembalang,
Semarang, Jawa Tengah
Telepon : 08994260720
BIODATA
Nama : Khalisah Nur Shadrina
NIM : 26020214120002
Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 12 September 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat Asal : Dasana Indah Blok UC 5/9, Kab. Tangerang,
Banten
Alamat Kos : Jalan Gondang Barat IV no. 4b
Telepon : 085695831592
BIODATA
Nama : Ni Komang Sri Andayani
NIM : 26020214120003
Tempat, Tanggal Lahir : Badung, 11 Oktober 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat Asal : Jalan Srikandi no 27 Nusa Dua Lingkungan
Penyarikan Badung/Bali
Alamat Kos : Jalan Timoho Barat No 23 RT 23 RW 03
Tembalang
Semarang, Jawa Tengah
Telepon : 085792031032
BIODATA
Nama : Siti Maisyarah
NIM : 26020214120005
Tempat, Tanggal Lahir : Tanjungpinang, 09 Oktober 1996
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat Asal : Perumahan Taman Pesona Asri km8. I/8,
Tanjungpinang
Alamat Kos : Jalan Banjarsari gg. Nirwanasari 1 No.2a,
Tembalang,
Semarang, Jawa Tengah
Telepon : 081215363419
BIODATA
Nama : Ade Ramandata Budi Utama
NIM : 26020214120008
Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 16 Februari 1996
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat Asal : Jalan Bunga Mawar XVIII No.18
Alamat Kos : Gondang Bara 4 No.31, Tembalang,
Semarang, Jawa Tengah
Telepon : 085358806450
MATERI 2
“ Peranan Bahasa Daerah Dalam Bahasa Nasional Indonesia”
Disusun Oleh : Kelompok 2
Metya Astariningrum 26020214120013
Capriati Ariska Putri 26020214120014
Virginia Stephanie C 26020214120022
Ramli Kartika Yudha 26020214120025
Ulfah Shela Majid 26020214120027
Dosen Pengampu :
Koesoemadji,SH. MSi
NIP. 19730719 199512 1 001
DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer untuk digunakan oleh
anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri. Bahasa merupakan ciri khas dari suatu negara sebagai alat
komunikasi dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial. Oleh karena itu,
bahasa yang digunakan seseorang bisa mencerminkan kepribadian orang tersebut,
yang dapat dilihat dari gaya dan tuturan berbahasa, itulah mengapa bahasa
merupakan simbol penting dari suatu negara.
Setiap negara mempunyai bahasa yang berbeda, begitu pula Negara
Indonesia yang mempunyai bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia,
keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh
terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya,
khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia.
Bahasa sangatlah berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Seiring dengan
perkembangan era globalisasi yang makin maju maka tingkat bahasa juga sangat
penting. Tapi kita lihat sekarang ini bahasa daerah dan bahasa Indonesia secara
bersamaan dalam.Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia tidak terlepas dari
pengaruh bahasa lain, bahasa daerah maupun bahasa asing. Pengaruh itu di satu sisi
dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia, tetapi di satu sisi dapat juga
mengganggu kaidah tata bahasa Indonesia.Akan tetapi tidak dapat dipungkiri
bahwa keanekaragaman budaya dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan yang harus dilestarikan. Dengan
keanekaragaman ini akan mencirikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan
kebudayaannya. Berbedanya bahasa di tiap-tiap daerah menandakan identitas dan
ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat yang merantau ke ibukota Jakarta
mungkin lebih senang berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah dengan
orang berasal dari daerah yang sama, salah satunya dikarenakan agar menambah
keakraban diantara mereka. Tidak jarang pula orang mempelajari sedikit atau hanya
bisa untuk berbahasa daerah yang tidak dikuasainya agar terjadi suasana yang lebih
1.2.Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu :
1. Bagaimana peranan bahasa daerah terhadap penggunaan bahasa Indonesia?
2. Apa saja dampak positif dan negatif dari penggunaan bahasa daerah?
1.3.Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui keterkaitan penggunaan bahasa penggunaan bahasa daerah
terhadap bahasa Indonesia.
2. Untuk mengetahui dampak positif dan negatif dari penggunaan bahasa
II.
ISI
2.1.Sejarah dan Pengertian Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa
persatuan bangsa Indonesia[2]. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya
setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya,
bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Di Timor Leste, Bahasa Indonesia
berposisi sebagai bahasa kerja (Fajrih, 2013).
Dari sudut pandang linguistik, Bahasa Indonesia adalah suatu varian bahasa
Melayu. Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau dari abad ke-19. Dalam
perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa
kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak
awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa Indonesia" diawali sejak dicanangkannya
Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan "imperialisme
bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.Proses ini menyebabkan
berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan
di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia
merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik
melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing
(Fajrih, 2013).
Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia,
Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian
besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di
Indonesia sebagai bahasa ibu.Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan
versi sehari-hari (kolokial) dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu
lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan
sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak,
surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,sehingga dapatlah dikatakan
bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia (Fajrih, 2013).
Tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[Dasar-dasar yang
penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu
Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi
karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan
menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab
rujukan) sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa.
Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan
penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah
"embrio" bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula
bahasa Melayu Riau-Johor (Fajrih, 2013).
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu
mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi
ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak
menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.
Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun
1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib
Soetan Ibrahim (Fajrih, 2013).
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de
Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga
ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A.
Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan
kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah.
Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar
700 perpustakaan.[12] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa
persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad
Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada
Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,
"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan
kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa
persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa
Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak
dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur
Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan
Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan
kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia (Fajrih, 2013).
2.2.Pengertian Bahasa Daerah
Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan pada suatu daerah tertentu dan
memiliki ciri khas tertentu di bidang kosa kata, peristilahan, struktur kalimat dan
ejaannya. Bahasa daerah merupakan lambing kebanggaan daerah yang
bersangkutan (Buku Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan & Kebudayaan,
1994).
Bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam
sebuah negara kebangsaan, apakah itu pada suatu daerah kecil, negara bagian
federal atau provinsi, atau daerah yang lebih luas . Indonesia merupakan negara
kesatuan yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan bahasa. Selain bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa daerah merupakan khasanah kekayaan
yang sangat penting untuk di jaga dan dilestarikan agarterhindar dari jamahan asing
yang mampu menghapus jejak budaya kita. Bahasa daerah merupakan bahasa
pendukung bahasa Indonesia yang keberadaannya diakui oleh Negara (Wawan,
2012).
Bahasa daerah adalah bahasa yang dipergunakan oleh penduduk di daerah
geografis tertentu yang terbatas dalam wilayah suatu negara. Bahasa daerah selain
digunakan untuk berkomunikasi pada suatu suku bangsa yang ada, namun juga
diyakini dapat mempererat solidaritas antar mereka. Sehingga bahasa daerah
tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk dapat dilestarikan dan di
sosialisasikan oleh masing-masing suku bangsa tersebut kepada generasi
penerusnya. Pada lembaga keluarga terdapat berbagai macam fungsi keluarga yang
salah satu adalah sosialisasi. Dalam proses sosialisasi bahasa kepada anak, keluarga
merupakan lembaga pertama yang melakukan sosialisasi dan pengenalan Bahasa
dikenalkan oleh anak yang tinggal di daerah perkotaan justru pengenalan bahasa
asing, dibandingkan dengan pengenalan terhadap bahasa daerah yang notabene
merupakan bahasa yang mayoritas digunakan oleh keluarga besar mereka.
(Budhiono, 2009).
Menurut Alwi (2003), Dalam rumusan Seminar Politik Bahasa disebutkan
bahwa bahasa daerah adalah bahasa yang dipakai sebagai bahasa perhubungan
intradaerah atau intramasyarakat di samping bahasa Indonesia dan yang dipakai
sebagai sarana pendukung sastra serta budaya daerah atau masyarakat etnik di
wilayah Republik Indonesia.
2.3.Hubungan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Daerah
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa
persatuan bangsa Indonesia, yang mana penggunaannya diresmikan setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar warga Indonesia
menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.
Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari dan
mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun
demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di
media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, di bidang bisnis dan
berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa
Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia. Bahasa daerah adalah suatu
bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah negara kebangsaan, apakah
itu pada suatu daerah kecil, negara bagian federal atau provinsi, atau daerah yang
lebih luas. Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari beragam suku,
budaya, dan bahasa. Selain bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa
daerah merupakan khasanah kekayaan yang sangat penting untuk di jaga dan
dilestarikan agar terhindar dari jamahan asing yang mampu menghapus jejak
budaya kita. Bahasa daerah merupakan bahasa pendukung bahasa Indonesia yang
keberadaannya diakui oleh Negara (Nurwidyastuti, 2015).
Hubungan bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia sangatlah erat dikarenakan
keberadaannya diakui oleh Negara. UUD 1945 pada pasal 32 ayat (2) menegaskan bahwa “Negara menghormati dan memilihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” dan juga sesuai dengan perumusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, bahwa bahasa daerah sebagai pendukung bahasa nasional
merupakan sumber pembinaan bahasa Indonesia. Sumbangan bahasa daerah kepada
bahasa Indonesia, antara lain, bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan
kosa kata. Demikian juga sebaliknya, bahasa Indonesia mempengaruhi
perkembangan bahasa daerah. Hubungan timbal balik antara bahasa Indonesia dan
bahasa daerah saling melengkapi dalam perkembangannya (Nurwidyastuti, 2015).
Antara bahasa Indonesia dan bahasa daerah mempunyai hubungan yang sangat
erat, tidak dapat dipungkiri adanya bahasa Indonesia yang muncul seiring dengan
perkembangan bahasa daerah itu sendiri. Karena bahasa daerah dan bahasa
Indonesia saling melengkapi. Terutama dalam hal berkomunikasi antar masyarakat.
Dengan adanya dua bahasa ini menimbulkan kedwibahasaan di negara Indonesia
(Nurwidyastuti, 2015).
Dalam Seminar Pengembangan Bahasa Daerah (1976) itu, yang merumuskan
tujuaan pembinaan dan pengembangan bahasa daerah sebagai berikut :
1. Di bidang struktur bahasa, tujuannya ialah terbinanyabahasa daerah yang
strukturnya terpelihara dan sesuai dengan keperluan masa sekarang.
2. Dibidang pemakai, tujuan pembinaan adalah agar kedwibahasaan itu tetap
(stabil), yaitu pemakai itu menguasai kedua bahasa itu seimbang, dan tidak
menjadi ekabasahawan semata-mata. Jumlah pemakai itu hendaknya tetap
berkembang dan tidak sebaliknya menyusut.
3. Di bidang pemakaian, pembinaan bertujuan agar bahasa daerah dipergunakan
secara penuh sesuai dengan fungsinya, dalam keseimbangan dengan bahasa
Indonesia seperti ditetapkan dalam Politik Bahasa Nasional.
Jadi antara bahasa Indonesia dan bahasa Daerah telah terjadi kontak sosial dan
budaya yang aktif. Jiwa bahasa Indonesia dan jiwa bahasa Daerah telah bertemu.
Kedua bahasa saling bersangkutan dan memperhatikan. Akhirnya kedua bahasa
2.4.Peranan Bahasa Daerah Dalam Bahasa Indonesia
Bahasa merupakan Identitas, lambang bunyi bagi suatu Negara. Bahasa
Indonesia sendiri merupakan bahsa Resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36 “bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 “Kami Putra dan
Putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami Putra dan Putri
Indonesia, mengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Bahasa Indonesia sendiri merupakan dialek kaku dari bahasa melayu klasik dan bahasa
melayu kuno (Nurwidyastuti, 2015).
Bahasa daerah merupakan salah satu budaya setiap bangsa. Terlebih bagi
bangsa Indonesia, Budaya bahasa tersebut memang sebagai identitas dan
kebanggaan suatu daerah dan juga penyatu rasa sedaerah dan tentu bahasa daerah
mempunyai kedudukan penting di daerah masing-masing.Indonesia sendiri terdiri
dari berbagai macam bahasa daerah mulai dari sabang sampai marauke memiliki
bahasa daerah yang berbeda-beda akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa
keanekaragaman budaya dan bahasa daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan yang harus dilestarikan (Nurwidyastuti, 2015).
Interaksi budaya mengakibatkan kosakata bahasa-bahasa lokal masuk kedalam
pemakaian bahasa Indonesia.Penutur bahasa Indonesia yang berlatar belakang
bahasa ibu turut mencoraki perkembangan kosakata bahasa Indonesia.Bahasa
lokal,terutama bahasa lokal yang memilki tradisi tulis serta memiliki penutur dalam
jumlah besar memiliki pengaruh terhadap bahasa Indonesia (Nurwidyastuti, 2015).
Pengaruh urbanisasi sangat besar terhadap penyerapan kosakata bahasa lokal
ke dalam bahasa Indonesia.Oran-orang dar daerah yang merantau ke kota-kota
besar membuat mereka tidak bisa meninggalkan bahasa lokalnya secara
seketika,sehingga kosakata dalam bahasa lokal nyatak sengaja terlontar.Bahasa
lokal yang diucapkan oleh perantau inilah yang lambat laun diserap menjadi bahasa
Indonesia (Nurwidyastuti, 2015).
Terdapat ratusan bahasa lokal yang tersebar di seluruh wilayah
tak jarang membuat sebuah suku memiliki berbagai jenis bhasa lokal.Bahasa lokal
sangat penting keberadaanya.Banyak kosakata dari bahasa lokal diserap jadi bahasa
Indonesia sehingga memperkaya bahasa Indonesia.Selain itu,bahasa lokal adalah
identitas sebuah budaya,terutama buda lokal.Bahasa lokal harus dilestarikan agar
tidak punah ditelan waktu (Nurwidyastuti, 2015).
Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh
terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya,
khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia. Sebagai contoh,
seorang anak memiliki ibu yang berasal dari daerah Sekayu sedangkan ayahnya
berasal dari daerah Pagaralam dan keluarga ini hidup di lingkungan orang Palembang. Dalam mengucapkan sebuah kata misalnya “mengapa”, sang ibu yang berasal dari Sekayu mengucapkannya ngape (e dibaca kuat) sedangkan bapaknya
yang dari Pagaralam mengucapkannya ngape (e dibaca lemah) dan di lingkungannya kata “megapa” diucapkan ngapo. Ketika sang anak mulai bersekolah, ia mendapat seorang teman yang berasal dari Jawa dan mengucapkan “mengapa” dengan ngopo. Hal ini dapat menimbulkan kebinggungan bagi sang anak untuk memilih ucapan apa yang akan digunakan (Nurwidyastuti, 2015).
Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman budaya dan bahasa
daerah merupakan keunikan tersendiri bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
yang harus dilestarikan. Dengan keanekaragaman ini akan mencirikan Indonesia
sebagai negara yang kaya akan kebudayaannya. Berbedannya bahasa di tiap-tiap
daerah menandakan identitas dan ciri khas masing-masing daerah. Masyarakat yang
merantau ke ibukota Jakarta mungkin lebih senang berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa daerah dengan orang berasal dari daerah yang sama, salah
satunya dikarenakan agar menambah keakraban diantara mereka (Nurwidyastuti,
2015).
Keanekaragaman budaya dan bahasa daerah mempunyai peranan dan pengaruh
terhadap bahasa yang akan diperoleh seseorang pada tahapan berikutnya,
khususnya bahasa formal atau resmi yaitu bahasa Indonesia.Bahasa Indonesia
tercipta tidak lepas dari bahasa daerah dan bahasa asing seperti bahasa Arab,
Portugis, Cina, Belanda, dll. Selain diwarnai dan dipengaruhi bahasa asing,bahasa
terhadap perkembangan bahasa indonesia cukup signifikan. Berikut beberapa
dampak penggunaan bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia (Nurwidyastuti,
2015).
Dampak Positif
• Bahasa Indonesia memiliki banyak kosakata.
• Sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia.
• Sebagai identitas dan ciri khas dari suatu suku dan daerah.
• Menimbulkan keakraban dalam berkomunikasi.
• Sebagai alat pemersatu antar budaya dan bangsa.
Dampak Negatif
• Bahasa daerah yang satu sulit dipahami oleh daerah lain.
• Masyarakat menjadi kurang paham dalam menggunakan bahasa Indonesia
yang baku karena sudah terbiasa menggunakan bahasa daerah.
• Dapat menimbulkan kesalah pahaman.
• Warga negara asing yang ingin belajar bahasa Indonesia menjadi kesulitan karena terlalu banyak kosakata.
Pada bahasa-bahasa daerah di Indonesia juga terdapat beberapa kata yang sama
dalam tulisan dan pelafalan tetapi memiliki makna yang berbeda, berikut beberapa
contohnya:
• Suwek dalam bahasa Sekayu (Sumsel) bermakna tidak ada.
Suwek dalam bahasa Jawa bermakna sobek.
• Kenek dalam bahasa Batak bermakna kernet (pembantu sopir). Kenek dalam bahasa Jawa bermakna kena.
• Abang dalam bahasa Batak dan Jakarta bermakna kakak.
Abang dalam bahasa Jawa bermakna merah.
• Mangga dalam bahasa Indonesia bermakna buah mangga. Mangga dalam bahasa Sunda bermakna silakan.
• Maen dalam bahasa Indonesia bermakna bermain. Maen dalam bahasa Batak bermakna gadis.
Gedang dalam bahasa Jawa bermakna pisang.
• Cungur dalam bahasa Sunda bermakna sejenis kikil. Cungur dalam bahasa Jawa bermakna hidung.
• Jagong dalam bahasa Sunda bermakna jagung.
Jagong dalam bahasa Jawa bermakna duduk.
• Nini dalam bahasa Sunda bermakna nenek.
Nini dalam bahasa Batak bermakna anak dari cucu laki-laki.
• Tulang dalam bahasa Indonesia bermakna tulang.
Tulang dalam bahasa Batak bermakna abang atau adik dari ibu.
• Iba dalam bahasa Indonesia bermakna merasa kasihan.
Iba dalam bahasa Batak bermakna saya.
• Bere dalam bahasa Sunda bermakna memberi.
Bere dalam bahasa Batak bermakna anak dari kakak atau adik perempuan
kita.
Melalui beberapa contoh itu ternyata penggunaan bahasa daerah memiliki
tafsiran yang berbeda dengan bahasa lain. Jika hal tersebut digunakan dalam situasi
formal seperti seminar, lokakarya, simposium, proses belajar mengajar yang
pesertanya beragam daerahnya akan memiliki tafsiran makna yang beragam. Oleh
karena itu, penggunaan bahasa daerah haruslah pada waktu, tempat, situasi, dan
III.
PENUTUP
2.1. Kesimpulan
Bahasa daerah merupakan sumber dari pengembangan kosakata bahasa
Indonesia. Penyerapan kosakata bahasa daerah bermanfaat untuk pemerkayaan
bahasa Indonesia serta untuk pengembangan bahasa daerah itu sendiri.
Pengaruh bahasa daerah dapat memperkaya bahasa Indonesia, tetapi di satu sisi
dapat juga mengganggu kaidah tata bahasa Indonesia. Kebiasaan menggunakan
bahasa daerah dalam bahasa sehari-hari dapat pula mempengaruhi keberadaan
bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia bahkan dianggap sebagai bahasa formal yang
hanya digunakan untuk situasi formal seperti mengajar, rapat, menulis surat, dan
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dan Dendy, S. (ed.). 2003. Politik Bahasa Nasional: Rumusan
Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional.
Budhiono, R. Hery. 2009. Bahasa Daerah (Bahasa Ibu) di Palangkaraya: Pergeseran
dan Pemertahanannya. Jurnal Adabiyyat Vol 8 No 1, Juni 2009.
Palangkaraya: Adabiyyat.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta :Balai Pustaka
Fajrih, B. 2013. Pengaruh Bahasa Daerah Terhadap Penggunaan Bahasa Indonesia.
Diakses melalui http://bahrulfajrih.blogspot.co.id/2013/01/
pengaruh-bahasa-daerah-terhadap_9514.html pada tanggal 17 Mei 2017.
Gumay, W. 2013. Pengaruh Penggunaan Bahasa Daerah Terhadap Keberadaan
Bahasa Indonesia. Diakses melalui https://nimiextraordinary.wordpress
.com/2013/05/23/
makalah-menulis-i-pengaruh-penggunaan-bahasa-daerah-terhadap-keberadaan-bahasa-indonesia/ pada tanggal 17 Mei 2017.
Nurwidyastuti, L. 2015. Peranan Bahasa Daerah Dalam Perkembangan Bahasa
Indonesia. Diakses melalui http://lnurwidyastuti.blogspot.co.id/2015/03/
peranan-bahasa-daerah-dalam.html?m=1 pada tanggal 17 Mei 2017.
Wawan. 2012. (online) Diakses melalui http://wawan.com/hubungan fungsi bahasa
daerah dengan bahasa -indonesia-blogger-indonesia-dan-asean-blogger/
BIODATA
Nama : Metya Astariningrum
NIM : 26020214120013
Asal : Semarang
Alamat Rumah : Plamongan Indah H4 no 34 Semarang
No. Hp : 081325588046
Golongan darah : A
Agama : Islam
Email : metya41@gmail.com
Asal SMA : SMA Negeri 1 Semarang
BIODATA
Nama : Capriati Ariska Putri
Nim : 26020214120014
Asal : Batam
Alamat kos : Jl. Gondang Barat IV No. 4b Kel. Bulusan
No. HP : 085741377944
Email : capriatiariska@gmail.com
BIODATA
Nama :Virginia Stephanie Claudia
Nim : 26020214120022
Asal : Jakarta
Alamat Kos : Jl. Gondang Barat IV No. 4b Kel. Bulusan
No. Hp : 082299740674
Email : mangindaanv@gmail.com
Hobi : Baca, renang, jalan-jalan
BIODATA
NamaLengkap : Ramli Kartika Yudha
Tempat,TanggalLahir :Yogyakarta, 20April1996
NIM : 26020214120025
Alamat : Aspol Semarang Selatan Blok 1 No 40, Kota Semarang
No HP : 085643966930
Alamat E-mail : ramlirangrang@yahoo.com
Cita-Cita :Dirut Kementrian Kelautan dan Perikanan
Motto Hidup : Relaxman, love nature and live natural
Agama : Islam
BIODATA
Nama : Ulfah Shela Majid
Nim : 26020214120027
Asal : Boyolali
Alamat kos : Villa Mutiara Blok B7, Jl. Tembalang Selatan IV, Banyumanik,
Semarang.
No. HP : 085135189890
Email : ulfahshela9@gmail.com
MATERI 3
PANCASILA DAN BUDAYA INDONESIA
Disusun Oleh: Kelompok 3
Ainiatu Sa’diyah 26020214120042 Aulia Septine Herlintang 26020214120040 Dwi Nur Hanifah 26020214120035 Faradina Fernanda I 26020214120032 Fauzan Hamdillah 26020214120039 Putri Yalesy Siahaan 26020214120041
Dosen Pengampu:
Koesoemadji,SH. MSi
NIP. 19730719 199512 1 001
DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pancasila merupakan kata yang sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat.
Pancasila merupakan ideologi atau dasar negara indonesia. Dasar negara kita terkenal akan kesakralannya, yang terkenal dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Dimana simbolnya merupakan lambang keagungan yang terpancar dalam bentuk burung garuda. Simbol di dadanya merupakan lambang pancasila negara
kita.
Di dalam pancasila terkandung banyak nilai dan makna. Nilai-nilai tersebut
terdapat dalam lima garis besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perjuangan dalam memperebutkan kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari nilai
pancasila. Sejak zaman pancasila hingga sekarang, nilai-nilai pancasila selalu
dijunjung tinggi.
Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku, bangsa, budaya dan agama.
Keanekaragaman tersebut merupakan satu kesatuan yang kokoh di bawah naungan
Pancasila dan semboyannya Bhineka Tunggal Ika.
Pancasila merupakan pemersatu bangsa di dalam keragaman budayanya. Di dalam makalah ini kami akan membahas lebih dalam mengenai “Pancasila sebagai Budaya Bangsa”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Pancasila?
2. Apa pengertian Pancasila sebagai budaya bangsa?
3. Bagaimana peran Pancasila sebagai budaya bangsa?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pancasila
2. Untuk mengetahui pengertian budaya bangsa
1.4 Manfaat
1. Dapat mengetahui pengertian pancasila
2. Dapat mengetahui pengertian budaya bangsa
II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Budaya
Kata budaya berasal dari kata buddhayah sebagai bentuk jamak dari buddhi (Sanskerta) yang berarti ‘akal’ (Koentjaraningrat, 1974). Definisi yang paling tua yang dikemukakan oleh E.B. Tylor di dalam bukunya Primitive Culture (1871).
Menurut Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan
kebiasaankebiasaan lain (Nyoman Kutha Ratna, 2005). Definisi yang mutakhir
dikemukakan oleh Marvin Harris (1999) yaitu seluruh aspek kehidupan manusia
dalam masyarakat, yang diperoleh dengan cara belajar, termasuk pikiran dan
tingkah laku. Kecuali itu juga ada definisi yang dikemukakan oleh Parsudi Suparlan
bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial, yang digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang
dihadapi, dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan (1982).
Menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan ada tiga macam:
1. Kebudayaan sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan.
2. Kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola manusia
dalam masyarakat.
3. Benda-benda sebagai karya manusia.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996), disebutkan bahwa: “ budaya“ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat
istiadat.Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan
(adat, akhlak, kesenian, ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudayaan
sebagai warisan atau tradisi.Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai
tata hidup, way of life, dan kelakuan.
Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah inimeliputi
cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, danjuga hasil dari
kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat ataukelompok penduduk
berhubungandengan beberapa aspek “di luar sana” yang hendak diteliti oleh seorangilmuwan (Siregar, 2002).
Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat
kepercayaan,nilai-nilai dan cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan yang dimilikibersama oleh
para warga dari suatu kelompok masyarakat. Pengertian masyarakat sendiri adalah
sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa
yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya (Siregar, 2002).
Pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah pendidikan yang
mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri peserta didik sehingga
menjadi dasar bagi mereka dalam berpikir, bersikap, bertindak dalam
mengembangkan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat, dan warganegara.
Budaya pada umumnya dapat dibagi menjadi dua, diantaranya adalah Pengertian
Budaya Lokal dan Nasional.
1. Budaya Lokal
Budaya Lokal adalah budaya yang yang berkembang di daerah-daerah dan
merupakan milik suku-suku bangsa di wilayah nusantara Indonesia. Budaya
local hidup dan berkembang di masing-masing daerah/suku bangsa yang ada di
seluruh Indonesia.
Contoh :
• Budaya Selamatan dalam lingkaran Hidup Manusia di Suku Bangsa Jawa (Mitoni/Tingkep, Brokohan, Puputan, Sunatan, Perkawinan, Selamatan
orang yang sudah meninggal, dll).
• Budaya Garebeg Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
• Budaya Ngaben untuk masyarakat Suku Bangsa Bali, dan lain-lain.
2. Budaya Nasional
Budaya Nasional adalah kebudayaan yang terbentuk dari keseluruhan budaya
local yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia sertah hasil
serapan dari budaya asing atau budaya global, dengan ikatan yang menjadi cirri
khas seluruh budaya di Indonesia yaitu nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan nasional berfungsi sebagai
pemberi identitas kepada suatu nation sebagai kontinuitas sejak kejayaan bangsa
UUD 1945 menyatakan: “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya”. Perwujudan Budaya Nasional yaitu secara abstrak budaya nasional terwujud dalam system gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia. Sedangkan perwujudan konkret dari budaya
nasional berupa cara berbahasa, cara berperilaku, cara berpakaian, dan peralatan
hidup.
Bangsa adalah sekelompok manusia yang di takdirkan untuk bersama, senasib
sepenanggungan dalam suatu negara, secara umum Bangsa dapat diartikan sebagai “Kesatuan orang-orang yang sama asal keturunan, adat, agama, dan historisnya”. Bangsaadalah sekelompok besar manusia yang memiliki cita-cita moral dan hukun yang terikat menjadi satu karena keinginan dan pengalaman
sejarah di masa lalu serta mendiami wilayah suatu Negara. Menurut Otto bauer
(German) bangsa adalah suatu persatuan karakter atau perangai yang timbul
karena persamaan nasib. Sedangkan menurut Ernest Renant (filsuf Perancis),
bangsa adalah sekelompok manusia yang memiliki kehendak bersatu sehingga
merasa dirinya adalah satu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Budaya Bangsa adalah seluruh sistem
nilai, gagasan, norma, tindakan, dan hasil karya bangsa; dalam hal ini bangsa
Indonesiadi seluruh wilayah nusantara dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. (Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 33 Tahun 2009 Tentang
Perfilman).
2.2. Kebudayaan Sebagai Pola
Dalam setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan
sejumlahpola-pola budaya yang ideal dan sejumlahpola-pola-sejumlahpola-pola ini cenderung diperkuat dengan adanya
pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang ideal itu memuat
hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebutdiakui sebagai kewajiban
yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola inilah yang sering
disebut dengan norma-norma,Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang
dalam kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan
bersama sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu
akan ada apa yang disebut dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian
dari pola-pola yang ideal tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku
sebenarnya karena pola-pola tersebut telah dikesampingkan oleh cara-cara yang
dibiasakan oleh masyarakat (Siregar, 2002).
Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para
pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu
pendukungnya selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang telah
dituntut oleh kebudayaan itu. Pembatasan-pembatasan kebudayaanbaru terasa
kekuatannya ketika dia ditentang atau dilawan. Pembatasan kebudayaan terbagi
kedalam dua jenis yaitu pembatasan kebudayaan yang langsung dan pembatasan
kebudayaan yang tidak langsung. Pembatasan langsung terjadi ketika kita mencoba
melakukan suatu hal yang menurut kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan
hal yang tidak lazim atau bahkan hal yang dianggap melanggar tata kesopanan atau
yang ada. Akan ada sindiran atau ejekan yang kepada si pelanggar kalau hal yang
dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan kebiasaan yang ada,
akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut sudah dianggap melanggar tata
tertib yang berlaku dalam masyarakat, maka mungkin akan dihukum dengan
aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Dalam pembatasan-pembatasan tidak
langsung, aktivitas yang dilakukan oleh orang yang melanggar tidak dihalangi atau
dibatasi secara langsung akan tetapi kegiatan tersebut tidak akan mendapat respons
atau tanggapandari anggota kebudayaan yang lain karena tindakan tersebut tidak
dipahami atau dimengerti oleh mereka (Siregar, 2002).
Pembatasan-pembatasan kebudayaan ini tidak berarti menghilangkan
kepribadian seseorang dalam kebudayaannya. Memang kadang – kadang
pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi tekanan-tekanan sosial yangmengatur
tata-kehidupan yang berjalan dalam suatu kebudayaan, tetapi bukan berarti
tekanan-tekanan sosial tersebut menghalangi individu-individu yang mempunyai
pendirian bebas. Mereka yang mempunyai pendirian seperti ini akan tetap
mempertahankan pendapat-pendapat mereka, sekalipun mereka mendapat
tentangan dari pendapat yang mayoritas (Siregar, 2002).
Kenyataan bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang
pendukungnya disesuaikan dengan kebutuhan - kebutuhan tertentu dari
lingkungannya. Ini terjadi sebagai suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus
bertahan, karena kalau sifat-sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa
keadaan tertentu, kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Setiap
adat yang meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu
biasanya merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada
mode yang baru atau sistem yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan
diri dengan pembaruan itu. Karena dalam adat istiadat itu ada konsep yang dikenal
dengan sistem nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa
yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalamhidup, sehingga ia
memberi pedoman, arah serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat
pendukung kebudayaan tersebut (Siregar, 2002).
2.3 Pengertian Pancasila
Pancasila ialah sebagai dasar negara yang sering disebut dasar falsafah negara
(philosophiche grondslag atau dasar filsafat negara) ideologi negara (staatsidee),
dari negara. Pancasila, yang berarti lima dasar atau lima asas, adalah nama dasar
NegaraRepublik Indonesia. Istilah Pancasila telah dikenal sejak zaman Majapahit
padaabad XIV, yaitu terdapat dalam buku Nagarakertagama karangan Prapanca
dan buku Sutasoma karangan Tantular. Dalam buku Sutasoma istilah Pancasila
disamping mempunyai arti berbatu sendi yang kelima (dari bahasa Sansekerta, juga
mempunyai arti pelaksanaan kesusilaan yang lima (Pancasila Krama).
Pancasila secara etimologis, Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yang
terdiri dari kata Panca dan Syila. Panca artinya lima dan Syila artinya alas
ataudasar. Jadi Pancasila artinya lima dasar (aturan) yang harus ditaati dan
dilaksanakan. Didalam agama Budha juga terdapat istilah Pancasila yang ditulis dalam bahasa Pali yaitu “Pancha Sila” yang artinya lima larangan atau lima pantangan yaitu tidak boleh melakukan kekerasan, tidak boleh mencuri, tidak boleh
berjiwa dengki, tidak boleh berbohong, dan tidak boleh mabuk minuman keras atau
Pengertian Pancasila secara terminologis, istilah Pancasila dipergunakanoleh
Ir.Soekarno yang dicetuskan dalam pidatonya didepan sidang BPUPKI (Dokuritsu
Ziumbi Tyoosakai) pada tanggal 1 Juni 1945. Pancasila adalah dasar Negara
Indonesia yang merupakan identitas Negara Indonesia dan tidak dimiliki oleh
negara lain. Pengertian Pancasila secara historis, proses perumusan Pancasila
diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr.Radjiman Wedyodiningrat,
mengajukan suatu masalah, khususnya akan dibahas pada sidang tersebut. Masalah
tersebut adalah tentang suatu calon rumusan dasar negara Indonesia yang akan
dibentuk. Kemudian tampilah pada sidang tersebut tiga orang pembicara yaitu
Mohammad Yamin, Soepomo dan Soekarno. Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam
siding tersebut Ir.Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian untuk memberikan nama “Pancasila” yang artinya lima dasar, hal ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang
temannya yaituseorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya.Pada tanggal 17
Agustus1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, kemudian keesokan
harinyatanggal 18 Agustus 1945 disahkannya Undang-Undang Dasar 1945
termasukPembukaan UUD 1945 di mana didalamnya termuat isi rumusan lima
prinsip ataulima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama Pancasila.
Sejak saat itulah perkataan Pancasila menjadi bahasa Indonesia dan merupakan
istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak termuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia adalah disebut dengan istilah “Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar negara, yang
secara spontan diterima oleh peserta sidang secara bulat.
2.4 Peran Pancasila sebagai Budaya Bangsa
Pengertian budaya dalam pengertian umum berasal dari bahasa sansekerta,
budhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi dan akal) yang diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal. Sedangkan pendapat lain
menyatakan budaya berasal dari kata budi dan daya. Budi berkaitan dengan unsur
rohani dan daya berkaitan dengan unsur jasmani manusia. Dengan demikian budaya