• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995. Perkara tentang wasiat wajibah bagi ahli waris nonmuslim ini dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV. ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995. Perkara tentang wasiat wajibah bagi ahli waris nonmuslim ini dalam"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

50

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI No. 368 K/AG/1995

A. Analisis Hukum Formil

Perkara tentang wasiat wajibah bagi ahli waris nonmuslim ini dalam perjalanannya telah menempuh proses pengadilan dari tingkat pertama dan tingkat banding. Dalam pengadilan tingkat pertama, tergugat menolak putusan PA Jakarta Pusat yang menjatuhkan putusan bahwa anak nonmuslim tidak termasuk sebagai ahli waris serta tidak berhak untuk mendapatkan bagian apapun dari harta peninggalan orang tuanya yang beragama Islam, yaitu putusan No. 377/Pdt.G/1993/PA-Jk, tanggal 4 Nopember 1993. Tergugat menolak putusan ini, kemudian ia mengajukan banding kepada PTA Jakarta dengan telah memenuhi prosedur sebagaimana mestinya.

Terhadap permohonan banding pembanding (tergugat asal), PTA berpendapat bahwa sepanjang mengenai penolakan eksepsi turut tergugat II, sepanjang obyek harta yang disengketakan, sepanjang ahli waris yang dianggap sah, pertimbangan PA telah tepat. Akan tetapi, pertimbangan PA mengenai siapa yang bisa memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris muslim H. Sanusi dan Hj. Suyatmi, PTA tidak sependapat dengan pendapat PA yang memutuskan bahwa anak nonmuslim tidak termasuk sebagai ahli waris serta tidak berhak untuk mendapatkan bagian apapun dari harta peninggalan orang tuanya yang beragama Islam. Menurut pendapat PTA, ahli waris nonmuslim (turut tergugat II/ Sri Widyastuti) juga berhak memperoleh bagian dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris muslim (alm. H.

(2)

Sanusi dan Hj. Suyatmi). Sehingga PTA perlu memberi pertimbangan sendiri. Sehingga, PTA membatalkan putusan PA No. 377/Pdt.G/1993/PA-Jk.

Pengadilan Tinggi Agama Jakarta menjatuhkan putusan ( yaitu putusan no. 14/Pdt.G/ 1994/PTA.Jk, tanggal 25 Oktober 1994) bahwa seorang anak nonmuslim bukan termasuk sebagai ahli waris. Akan tetapi ia tetap memiliki hak untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan orang tuanya yang muslim atas dasar Wasiat Wajibah sebesar ¾ bagian warisan seorang ahli waris muslim. Putusan ini tidak diterima oleh penggugat maupun tergugat, kemudian penggugat mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi ke MA.

Pemohon kasasi (penggugat asal) mengajukan keberatan-keberatan dalam memori kasasi, yaitu bahwa PTA telah salah menerapkan hukum karena memberikan bagian kepada ahli waris nonmuslim dari harta peninggalan pewaris muslim yang tidak ada ketentuannya dalam UU serta bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Hal mana keberatan-keberatan ini tidak dapat dibenarkan oleh MA karena PTA Jakarta tidak salah menerapkan hukum. Lagi pula hal ini mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan yang tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Sehingga MA sependapat dengan putusan PTA Jakarta yang memberikan bagian kepada anak nonmuslim dari harta peninggalan orang tuanya yang beragama Islam atas dasar Wasiat Wajibah. Akan tetapi mengenai besar bagian Wasiat Wajibah tersebut, MA tidak sependapat dengan PTA yang memutuskan bahwa besar bagian Wasiat Wajibah tersebut adalah ¾ besar bagian seorang ahli waris muslim. Menurut pendapat MA, besar bagian

(3)

Wasiat Wajibah tersebut bukan ¾ besar bagian seorang ahli waris, melainkan sebesar bagian seorang ahli waris. Berdasar atas pertimbangan tersebut, MA menjatuhkan putusan bahwa besar bagian Wasiat Wajibah untuk ahli waris nonmuslim (turut tergugat II/ Sri Widyastuti) adalah sama dengan besar bagian ahli waris.

Perjalanan yang ditempuh dalam perkara tentang pembagian harta peninggalan ahli waris muslim dan nonmuslim dengan No. Reg. 368 K/AG/1995 dalam proses kasasi telah memenuhi prosedur kasasi sebagaimana ketentuan dalam UU. Yaitu bahwa :

a. Kasasi diajukan oleh pihak yang berhak mengajukan kasasi. Dalam hal ini kasasi diajukan oleh penggugat, tergugat, turut tergugat I/ terbanding dengan perantara kuasa hukumnya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 26 Mei 1995. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 44 ayat (1) UU no. 5 Tahun 2004 yaitu bahwa:

Pemeriksaan kasasi hanya dapat diajukan oleh pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

b. Kasasi diajukan masih dalam tenggang waktu kasasi yang diperbolehkan. Dalam hal ini kasasi diajukan pada tanggal 29 Mei 1995, yaitu hari ke-sepuluh sesudah putusan diberitahukan kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Pengajuan kasasi ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 46 ayat (1) UU no. 5 tahun 2004 yaitu :

Pemeriksaan kasasi hanya dapat diajukan dalam masa tenggang waktu kasasi, yaitu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada yang bersangkutan (ayat 1);

(4)

c. Putusan yang dimintakan kasasi adalah putusan PTA yang menurut hukum dapat dimintakan kasasi. Dalam hal ini putusan PTA tersebut merupakan putusan yang diberikan pada tingkat terakhir dari pengadilan, yang menurut hukum dapat dimintakan kasasi. Dan kasasi tersebut hanya diajukan satu kali. Hal mana sesuai dengan ketentuan pasal 43 UU no. 5 Tahun 2004 :

Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Permohonan kasasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.

d. Menyampaikan memori kasasi. Dalam hal ini, memori kasasi yang memuat alasan-alasannya ini diterima di kepaniteraan PA pada tanggal 7 Juni 1995. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 47 ayat (1) UU no. 5 Tahun 2004 :

Pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasannya.

e. Menghadap di kepaniteraan PA yang bersangkutan. Dalam hal ini, kasasi disampaikan secara lisan pada tanggal 29 Mei 1995 sebagaimana ternyata dalam surat keterangan no. 377/Pdt.G/1993/PA.JP.

Berdasarkan keadaan tersebut, dapat dikatakan bahwa kasasi telah memenuhi prosedur sebagaimana mestinya, sehingga permohonan kasasi formil dapat diterima.

Dalam putusan disebutkan bahwa :

Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya

(5)

dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan undang-undang, maka oleh karena itu permohonan kasasi tersebut formil dapat diterima;1 Pernyataan di atas adalah putusan yang menunjukkan bahwa perkara ini telah berjalan sebagaimana prosedur yang ditentukan oleh UU. Walaupun dalam amar putusan tidak tercatat mengenai langkah formil yang dilakukan, perkara ini telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Diterimanya permohonan kasasi ini telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, karena hukum acara yang ditempuh telah sesuai. Adapun mengenai tidak diterimanya keberatan-keberatan yang diajukan, hal ini karena pengadilan sebelumnya tidak melakukan kesalahan sebagaimana dalam pasal 30 ayat (1) UU no 5 tahun 2004. Sehingga hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal tersebut :

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dalam semua lingkungan peradilan karena :

a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Selain itu, dalam pemeriksaan kasasi MA tidak terikat pada alasan yang diajukan oleh pemohon dan dapat menggunakan alasan-alasan hukum yang lain. Dan dalam hal ini MA tidak menerima alasan dari pemohon kasasi. Hal ini sesuai dengan pasal 52 UU no. 5 Tahun 2004 :

Dalam mengambil putusan, Mahkamah Agung tidak terikat pada alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi dan dapat memakai alasan-alasan hukum lain.

1

(6)

Dalam pemeriksaan kasasi perkara no. 368 K/AG/1995 ini, MA memeriksa surat-surat saja dan tidak menggunakan kesaksian para pihak ataupun saksi-saksi. Hal ini telah sesuai dengan pasal 50 ayat (1) UU no. 5 Tahun 2004 :

Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan pengadilan tingkat pertama atau pengadilan tingkat banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi.

Setelah pemeriksaan selesai, tahapan terakhir dari proses ini adalah penyampaian putusan. Putusan ini merupakan hasil dari rapat permusyawaratan MA yang dilakukan oleh Drs. H. Taufik, SH. selaku ketua sidang, dan Drs. H. Muhaimin, SH. serta H. Chabib Syarbini, SH. sebagai hakim-hakim anggota. Hakim-hakim tersebut tidak memiliki hubungan darah dengan para pihak. Hal ini telah memenuhi ketentuan dalam pasal 41 UU no. 5 tahun 2004, yaitu bahwa jika seorang hakim mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan (sekalipun telah bercerai) dengan para pihak, maka hakim tersebut wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan.

Putusan tersebut disampaikan dalam sidang terbuka oleh ketua sidang tersebut, dengan dihadiri oleh majlis hakim dan panitera pengganti, dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak. Hal ini telah sesuai dengan pasal 40 UU no. 5 Tahun 2004 :

1. Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (orang) hakim.

(7)

B. Analisis Hukum Materiil

A. Mukti Artho dalam Mencari Keadilan mengatakan bahwa proses litigasi itu harus memenuhi syarat yuridis. Adapun syarat yuridis tersebut sekurang-kurangnya telah memenuhi 3 (tiga) faktor, yaitu mempunyai dasar hukum; memberikan kepastian hukum; dan memberi perlindungan hukum. Yang dimaksud sebagai dasar hukum di sini adalah dasar hukum formil maupun materiil. Dasar hukum formil mengandung pengertian bahwa hakim dalam memeriksa perkara itu harus mengikuti hukum acara yang berlaku. Sedangkan dasar hukum materiil mengandung pengertian bahwa sebuah putusan hakim harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan, pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.2 Hal ini dituangkan dalam pasal 25 ayat (1) UU no. 4 Tahun 2004 :

Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Kriteria sebagaimana di atas dilakukan agar produk hukum dari suatu proses litigasi (putusan atau penetapan pengadilan) mampu menyentuh keadaan ideal. Artinya bahwa putusan tersebut mampu melihat dan menyelesaikan perkara secara holistik, yakni secara bulat dan utuh sebagai suatu totalitas, baik secara kwantitatif, kwalitatif maupun komplitatif dari aspek teoritis maupun praktis. Secara teoritis berarti putusan tersebut dapat

2

A.Mukti Arto, Mencari Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2001,.hlm. 109-110

(8)

dipertangungjawabkan. Sedangkan secara praktis putusan tersebut telah mencapai sasaran.3

Mengacu pada ke tiga komponen syarat yuridis di atas, putusan MA no. 368 K/AG/1995 telah memenuhi ke tiganya. Mengenai dasar hukum yang dijadikan pertimbangan majlis hakim MA dalam putusan memberian hak Wasiat Wajibah dalam tersebut adalah pendapat majlis hakim bahwa bagian Wasiat Wajibah untuk ahli waris nonmuslim itu seharusnya sama dengan bagian bagian warisan anak perempuan. Adapun mengenai alasan mengapa majlis hakim berpendapat demikian, hal ini tidak disampaikan.

Pertimbangan hukum ini membuka kemungkinan bagi khalayak yang membaca putusan ini bertanya-tanya tentang dalil yang digunakan. Dalam konteks ini adalah dasar hukum yang digunakan dalam menjatuhkan putusan memberikan hak Wasiat Wajibah kepada ahli waris nonmuslim untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris muslim sebesar bagian ahli waris muslim. Karena sejauh ini ahli waris nonmuslim dalam hubungan kewarisan dengan pewaris muslim itu tidak memperoleh bagian sama sekali, baik bagian warisan ataupun bagian wasiat. Karena KHI, sebagai hukum terapan di lingkungan Peradilan Agama tidak mengenal Wasiat Wajibah bagi ahli waris nonmuslim. Wasiat Wajibah yang ditentukan dalam KHI adalah hanya kepada anak angkat dan orang tua angkat saja. Sementara ahli waris nonmuslim tidak mendapatkan bagian apapun dari harta peninggalan pewaris muslim. Selain itu, jika ditinjau dari hukum Islam (fiqh) yang juga merupakan

3

(9)

sumber hukum yang bisa digali dalam memutus perkara-perkara yang berada dalam kompetensi absolut PA, pemberian hak Wasiat Wajibah kepada ahli waris nonmuslim ini bertentangan dengan Hadits yang berbunyi :

ﻮﹾﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹶﺓﺪﺠﻧ ﻦﺑ ِﺏﺎﻫ

:

ٍﻢِﻠﺴﻣ ِﻦﺑ ﹶﻞﻴِﺒﺣﺮﺷ ﻦﻋ ٍﺱﺎﺒﻋ ﻦﺑﺍ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ

ﹸﻝﻮﹸﻘﻳ ِﷲﺍ ﹶﻝﻮﺳﺭ ﺖﻌِﻤﺳ ﹶﻝﺎﹶﻗ

:

ﹶﺔﻴِﺻﻭ ﹶﻼﹶﻓ ﻪﱠﻘﺣ ﻖﺣ ﻱِﺫ ﱠﻞﹸﻛ ﻰﹶﻄﻋﹶﺍ ﺪﹶﻗ َﷲﺍ ﱠﻥِﺇ

ٍﺙِﺭﺍﻮِﻟ

)

ﻪﺟﺎﻣ ِﻦﺑﺍﻭ ﻱِﺬِﻣﺮﺘﻟﺍ ﻭ ﺩﻭﺩ ﻮﺑﹶﺍ ﻩﺍﻭﺭ

(

4

“Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak akan hak (warisnya), maka tidak boleh berwasiat kepada ahli waris.” (HR. Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah).

Mahkamah Agung berpendapat bahwa ahli waris nonmuslim berhak memperoleh bagian sebesar bagian ahli waris muslim adalah karena alasan berikut. Yaitu bahwa pada dasarnya, memang tidak ada ketentuan perundang-undangan yang secara eksplisit memberikan hak Wasiat Wajibah kepada ahli waris nonmuslim untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris muslim. Tetapi secara implisit terdapat celah-celah yang memungkinkan teks dalam UU ditafsirkan memiliki ruang untuk memberikan bagian kepada ahli waris nonmuslim melalui Wasiat Wajibah atau melalui apapun namanya,5 dalam lapangan hukum kewarisan Islam. Antara lain adalah dalam pasal UU di bawah ini :

Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004:

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

4

Abu Daud, Sunan Abu Daud, Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, Juz 2, 1996, Hlm. 322.

5

(10)

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. “

Penjelasan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004:

Tugas hakim ialah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.

Pasal 11 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 menyebutkan :

“Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.”

Sebagaimana ketentuan dalam pasal-pasal di atas, bahwa kekuasaan kehakiman adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. Dan menjadi tugas hakim selaku pejabat yang berwenang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman tersebut untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar serta asas yang menjadi landasannya.

Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Indonesia sudah memiliki modal dasar dan pandangan hidup Pancasila yang belum diaplikasikan secara utuh. Karenanya usaha untuk menangkap nilai/makna Pancasila dalam tata hukum Indonesia belum juga kunjung tiba. Belum terlaksananya prinsip Pancasila dalam kehidupan orang seorang, dari segi hukum, mungkin karena belum diperoleh satu kesatuan pengertian tentang asas hukum yang bersumberkan Pancasila itu sendiri. Atau bagaimana hukum Pancasila itu sendiri mesti menampakkan wajahnya.

(11)

Namun, satu tujuan yang pasti dimiliki dalam setiap bangunan hukum, termasuk hukum Pancasila, yaitu keadilan.

Esensi hukum adalah keadilan. Dan lembaga hukum merupakan organ yang bertugas sekaligus berwenang untuk mengejawantahkan keadilan tersebut ke dalam lapangan sosial. Dan selaku pelaksana penegakan keadilan, hakim harus mampu menafsirkan keadaan agar ia tidak salah dalam menjatuhkan putusan dalam menjawab keadilan sosial.6 Oleh karena itu putusan hakim harus memenuhi rasa keadilan tersebut kepada pihak yang berperkara maupun masyarakat pada umumnya. Dan keadilan yang dimaksud adalah keadilan substansial dan bukan hanya keadilan formal. Keadilan substansial adalah keadilan yang secara riil diterima dan dirasakan, sedangkan keadilan formal ialah keadilan yang berdasarkan hukum positif semata-mata yang belum tentu dapat diterima dan dirasakan adil oleh masyarakat.7

Dalam suatu struktur masyarakat, keadilan akan dapat dirasakan apabila hukum yang diterapkan adalah hukum yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Karena hukum itu seperti pakaian yang harus didesain (dipotong dan dijahit) sesuai dengan ukuran dan selera pemakainya, sehingga dapat dirasa pantas dan puas. Demikian pula hukum, masyarakat akan merasa pantas dan puas (adil) apabila memakai hukum yang telah didesain dan dipakai sebagai suatu pola dan perilaku mereka sehari-hari.8

6

Wawancara dengan Andi Syamsu Alam, Ketua Muda Agama MA RI, tanggal 9 Mei 2005.

7

A. Mukti Arto, op. cit,. hlm. 112.

8

(12)

Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antarmanusia. Membicarakan hubungan antarmanusia adalah membicarakan keadilan. Dengan demikian setiap pembicaraan mengenai hukum, jelas atau samar-samar, senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula. Kita tidak dapat membicarakan hukum hanya sampai pada wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal saja. Akan tetapi kita juga perlu untuk melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan masyarakatnya.9 Dan manusia adalah makhluk sosial serta hukum adalah untuk manusia. Sehingga hukum harus melihat kondisi sosial manusia yang diperuntukkan tersebut. Dengan kata lain, hakim tidak boleh mendekati perkara hanya dari segi legal saja, tetapi juga harus mendekati pula dari sisi sosial. Dalam penyelesaian perkara, hakim harus mempertimbangkan semua faktor karena dalam proses penyelesaian perkara terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi proses penyelesaian perkara tersebut, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.10

Salah satu tugas hakim dalam menegakkan keadilan adalah dengan menafsirkan hukum, yang dalam konteks ini adalah aturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, penafsiran hukum oleh hakim ini bersifat subyektif dan sangat mungkin terjadi perbedaan penafsiran antara satu hakim dengan penafsiran hakim yang lain. Sebagaimana sering dikatakan dalam sebuah ungkapan bahwa “ketika ada sepuluh hakim yang membahas tentang suatu permasalahan, maka akan ada sepuluh pendapat pula”, termasuk

9

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. III, 1991, hlm. 159.

10

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1986, hlm. 5.

(13)

pendapat mengenai pemberian hak Wasiat Wajibah kepada ahli waris nonmuslim untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris muslim.

Adanya hak Wasiat Wajibah bagi ahli waris nonmuslim dapat dikatakan sebagai bentuk baru pembaharuan hukum kewarisan Islam di Indonesia, untuk menjawab keadilan masyarakat. Dengan diberikannya hak Wasiat Wajibah bagi ahli waris nonmuslim sebagai alternatif untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan, sesungguhnya telah memberikan gambaran positif bahwa hukum Islam tidaklah ekslusif dan diskriminatif yang seolah-olah telah menempatkan warga negara nonmuslim sebagai kelas dua di hadapan hukum.11 Dalam hal ini MA telah mengambil keputusan yang adil dan manusiawi. Sikap adil dan manusiawi di sini adalah karena Ahli Waris nonmuslim juga diberi hak untuk memperoleh bagian dari harta peninggalan orang tuanya atas dasar Wasiat Wajibah agar tidak terjadi goncangan sosial di antara warga negara yang berbeda agama, karena prinsip keadilan dan asas kemanusiaan yang universal bahwa manusia seluruhnya sama dipandang dari sisi kemanusiaannya. Karena perbedaan agama (nonmuslim) sekalipun dalam pandangan orang Islam sebagai dosa besar (kafir), tetapi bagi penganut agama lain dipandang sebagai suatu kebenaran sesuai dengan ajaran agama dan keyakinannya itu. Karena pandangan mengenai kebenaran itu bersifat

11

Abdullah Ahmed Annaim sebagaimana Dikutip Cipto Sembodo “Inklusifisme Syari’ah” , Mimbar Hukum, 43, Jakarta: Al Hikmah, 1999, Hlm. 49.

(14)

subyektif dan bergantung pada rasionalitas masing-masing individu,12 yang satu sama lain sangat mungkin akan terdapat perbedaan. Yang hal itu patut serta seharusnya dihargai dan dihormati oleh siapapun. Dan tampaknya membiarkan ahli waris nonmuslim tidak mendapatkan bagian apapun dari harta warisan pewaris muslim kurang relevan dengan nilai-nilai dan norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.13

Pemberian hak Wasiat Wajibah kepada ahli waris nonmuslim juga merupakan terobosan baru dalam lapangan ijtihad hukum waris untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya. Karena dalam UU yang berlaku, ahli waris nonmuslim itu bukan merupakan ahli waris sehingga tidak mendapatkan bagian apapun dari harta warisan (lihat, pasal 171 KHI).

Terobosan baru sebagaimana tindakan MA dalam perkara ini sudah sepatutnya dilestarikan dalam penerapan pada perkara-perkara selanjutnya. Karena walaupun dalam UU pertimbangan tersebut tidak ada, akan tetapi hal tersebut telah sejalan dengan rasa keadilan masyarakat.

Dasar hukum lain yang mempunyai penafsiran hukum yang memberi celah kepada ahli waris nonmuslim untuk memperoleh hak Wasiat Wajibah untuk menerima bagian dari harta peninggalan pewaris muslim adalah Pasal 171 huruf E KHI :

12

Aliya Harb, Asilah Al-Haqiqah Wa Rahanat Al-Fikr: Muqarabat Naqdiyyah Wa

Sijaliyyah. Terj. Umar Bukhori dan Ghazi Mubarak “Relativitas Kebenaran Agama, Kritik

dan Dialog”, Yogyakarta: IRCISOD, Cet. I, 2001, hlm. 157-158.

13

(15)

“Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tahjiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.”

Pemberian untuk kerabat dalam pasal di atas dapat dipahami sebagai suatu ketentuan bahwa suatu keluarga yang nonmuslim dapat diberi bagian.14

Selain itu, terdapat ketentuan bahwa hakim diwajibkan untuk menggali hukum dalam menemukan keadilan. Penggalian hukum ini juga memberi celah kepada hakim untuk menjatuhkan putusan tertentu yang dianggap memenuhi faktor keadilan. Dan Wasiat Wajibah merupakan penemuan hukum untuk menjawab problem hubungan muslim-nonmuslim dalam lapangan hukum kewarisan Islam di Indonesia.

Pada dasarnya hukum memang ditemukan/bukan dibuat.15 Penemuan hukum bukanlah merupakan sesuatu yang baru karena telah lama dikenal dan dipraktikkan selama ini oleh hakim, pembentuk UU dan para sarjana hukum. Dalam literatur Belanda telah banyak ditulis orang mengenai penemuan hukum (rechtvinding) ini. Tidak jarang sementara sarjana hukum melakukan proses penemuan hukum secara reflektif, tanpa disadari.16 Yang dimaksud dengan penemuan hukum ialah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan-peraturan hukum umum pada peristiwa hukum kongkrit. Lebih lanjut dikatakan bahwa hukum

14

Habiburrahman, “Perkara Waris Problematika dan Matematikanya” dalam Suara

Urdilag Mahkamah Agung RI, II, Vol. 6, April,2005, hlm. 54-55. 15

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1988, hlm. 1.

16

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1995, hlm. 78.

(16)

adalah proses kongkritisasi atau individualisasi peraturan hukum (das solen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa kongkrit (das sein) tertentu.17

Di Indonesia hukum perdata menganut asas open sistem (sistem terbuka). Hakim harus mampu melakukan rechtvinding (penemuan hukum) agar dapat memberikan pelayanan hukum dan keadilan yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu, hakim harus memperhatikan struktur sosial dan perilaku masyarakat pencari keadilan.18 Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang kepadanya untuk memohon keadilan. Sehingga andaikata hakim tersebut tidak menemukan hukum tertulis, maka ia wajib untuk menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai orang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara (pasal 16 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004). Dan ketika terjadi sebuah sengketa hukum yang diamanatkan kepada pengadilan, maka menjadi tugas hakim karena jabatannya untuk menemukan hukumnya (pasal 28 UU no. 4 Tahun 2004 dan penjelasannya jo pasal 1 dan penjelasannya), yaitu dengan menggali hukum yang tidak tertulis dari sumbernya yang hidup dalam masyarakat untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Penggalian hukum adalah sebuah keniscayaan. Karena masyarakat itu bergerak, berubah dan terus berkembang (dinamis), sementara teks hukum itu

17

Ibid., Hlm. 78.

18

(17)

diam (statis). Dan manakala terjadi kasus hukum dalam masyarakat, sudah seharusnya produk hukum dari perkara tersebut disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan rasa adil dan kemaslahatan yang diperlukan. Hakim mesti melakukan terobosan baru karena ketentuan yang ada terkadang tidak sesuai lagi dengan kondisi sosial yang ada. Hakim selaku yang berwenang harus menyesuaikan teks-teks/ ketentuan-ketentuan hukum yang ada dengan kondisi sosial secara nyata, agar rasa adil masyarakat dapat terpenuhi. Karena jiwa dari UU sebenarnya ialah menciptakan hukum baru bagi kasus kongkrit.19 Karena hukum tujuannya adalah sepenuhnya utilitarian, yaitu keselamatan hidup manusia, keamanan harta benda dan pemilikan, keamanan dan ketertiban, kebahagiaan dan kesejahteraan dari masyarakat keseluruhannya, atau dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat. Norma-normanya bersifat relatif, bisa diubah dan bergantung pada keadaan. Dalam sistem hukum yang demikian itu tidak ada yang dianggap abadi atau suci. Dan, menerapkan hukum secara paksa dengan kaedah yang sudah tertinggal ke dalam kondisi sosial yang sudah tidak sesuai hanya akan menghancurkan esensi hukum itu sendiri.

Dengan adanya putusan Wasiat Wajibah bagi ahli waris nonmuslim, MA telah memerankan dirinya sebagai pembuat UU yang melindungi kepentingan para pihak, dengan menjatuhkan putusan yang mengikuti norma keadilan masyarakat.

19

Hans Kelsen, Essays in Legal and Moral Philosophy Terj. Arief Sindunata “Hukum dan Logika”, Bandung: Alumni, 1982, hlm. 71.

(18)

Celah-celah tentang penggalian hukum ini terdapat dalam pasal-pasal berikut :

Pasal 28 (1) UU No. 4 Tahun 2004:

“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memakai nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”

Pasal 229 KHI menyebutkan bahwa:

“Hakim dalam menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.” Dalam GBHN 1998 dikatakan bahwa:

“Dalam penerapan hukum, hakim disamping harus memperhatikan hukum yang tertulis (peraturan perundang-undangan) juga harus memperhatikan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat.”

Ketentuan dalam pasal-pasal di atas membuka celah kepada hakim untuk memberikan hak kepada ahli waris nonmuslim untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris muslim, atas dasar Wasiat Wajibah ataupun atas dasar apapun yang lain. Karena dalam menjatuhkan putusan, seorang hakim diwajibkan untuk bersandar pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Berkaitan dengan nilai dan norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang telah mengadakan kontrak sosial untuk hidup rukun, damai, saling hormat menghormati dan tidak saling merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan atas dasar apapun. Baik karena perbedaan suku, budaya maupun agama. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia adalah masyarakat

(19)

yang sepakat untuk menghargai dan menjunjung tinggi HAM setiap warga negara lainnya. Kontrak sosial tersebut telah dituangkan dalam konstitusi negara yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang sarat dengan nilai-nilai keadilan.20 UUD 1945 sebagai penjabaran dari Pancasila tersebut dalam bagian pasal-pasalnya menguraikan sebagai berikut:

Pasal 28 D ayat (1)_:

“Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Pasal 28 E ayat (1) :

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…”

Pasal 28 I ayat (2) :

“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”

Pasal 28 J ayat (1) :

“Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”

Dalam kondisi normal, dapat dikatakan bahwa norma keadilan masyarakat Indonesia adalah hidup rukun, damai, saling hormat menghormati dan tidak saling merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan atas dasar apapun. Keadaan yang demikian memungkinkan masyarakat menyelesaikan setiap permasalahan dengan jalan musyawarah dan perdamaian, termasuk

20

Dede Ibin, “Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Nonmuslim”, dalam Mimbar Hukum, XV, 63, Maret-April, 2004, hlm. 97.

(20)

dalam hal pembagian harta warisan. Dan adanya gugatan yang diajukan ke pengadilan pada umumnya adalah karena para pihak sudah tidak bisa menyelesaikan permasalahannya secara damai. Dengan kata lain, kondisinya sudah tidak normal.

Dalam kondisi demikian, menjadi kewenangan hakim untuk merumuskan hukum demi untuk menghadirkan keadilan di tengah-tengah masyarakat yang bersengketa.

Menyerahkan perkara ke Pengadilan berarti menyerahkan penyelesaian permasalahan kepada ijtihad majlis hakim dalam mencapai keadilan. Dan untuk menghadirkan keadilan ini, hakim menggunakan dasar hukum tertulis yaitu UU, serta hukum tidak tertulis yaitu nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Di depan Pengadilan, semua orang diperlakukan sama (pasal 5 ayat (1) UU no. 4 Tahun 2004) karena hal ini merupakan HAM seorang warga negara. Dan Indonesia telah meratifikasi DUHAM (Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia) yang berarti Indonesia telah menyepakati dan akan mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dalam DUHAM tersebut ke dalam tata hukum Indonesia. Ketentuan-ketentuan DUHAM tersebut antara lain:

Bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak terasingkan dari semua anggota kemanusiaan, keadilan dan perdamaian di dunia. Bahwa mengabaikan dan memandang rendah pada HAM telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan yang bengis yang menimbulkan rasa kemarahan dalam hati nurani ummat manusia, dan terbentuknya suatu dunia di mana manusia akan mengecap kenikmatan aspirasi tertinggi rakyat jelata. (mukadimah DUHAM) 21

21

Peter Baehr, dkk, Instrumen Internasional Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta: Obor Indonesia, 2001, hlm. 279.

(21)

Dalam DUHAM, kebebasan beragama adalah termasuk salah satu dari HAM sebagaimana disebutkan dalam pasal 18 yaitu bahwa:

Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama. Dalam hak ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaannya dengan cara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun yang tersendiri.

Selain itu juga disebutkan dalam pasal 2:

“Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tidak ada pengecualian apapun….”

Dengan memperhatikan pasal-pasal di atas, jelaslah bahwa kebebasan beragama merupakan salah satu HAM yang harus dihormati dan dijunjung tinggi sebagai martabat seorang manusia, serta tidak diperlakukan diskriminatif atasnya. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan kembali manakala hendak mengeluarkan putusan bahwa Ahli Waris nonmuslim sama sekali tidak akan mendapatkan sesuatu apapun dari harta peninggalan pewaris muslim hanya karena adanya perbedaan agama yang merupakan HAM yang dilindungi oleh negara. Sebagaimana perlunya dipertimbangkan kembali untuk mengeluarkan suatu keputusan bahwa seorang warga negara yang berpindah agama dari agama Islam (murtad) harus dihukum mati, atau kesaksian warga negara nonmuslim tidak dapat diterima di depan hukum atas warga negara muslim, sekalipun keputusan hukum tersebut sudah menjadi kesepakatan mayoritas ulama’ dalam berbagai kitab fikih. Karena sesungguhnya keputusan tersebut akan dirasakan oleh warga negara nonmuslim telah menginjak-injak rasa keadilan dan merendahkan martabat

(22)

kemanusiaan, bahkan tidak menutup kemungkinan akan dinilai tidak menghormati HAM yang harus dijunjung tinggi serta telah menjadi kesepakatan masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional.22

Alasan HAM merupkan celah dari pasal 5 ayat (1) UU no. 4 Tahun 2004 untuk memberikan bagian dari harta peninggalan pewaris muslim kepada ahli waris nonmuslim.

Dari penelusuran di atas dasar hukum yang digunakan, yaitu pendapat bahwa bagian Wasiat Wajibah untuk ahli waris nonmuslim itu seharusnya sama dengan bagian bagian warisan anak perempuan itu adalah karena alasan keadilan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekarang. Karena dalam pandangan hakim, masyarakat kita sekarang itu sudah berbeda dengan dulu. Pada jaman yang lampau itu dengan tegas PA tidak memberikan warisan kepada ahli waris non muslim karena bersandar pada Hadits. Akan tetapi perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa hubungan antara umat di Indonesia in sudah sedemikian rupa keadaannya, sehingga perlu pemikiran keadilan dikalangan hakim. Oleh karena itu, hakim MA mempunyai pikiran bahwa mereka memang bukan ahli waris, akan tetapi karena dia punya hubungan darah yaitu anak dengan orang tua, maka dipertimbangkan bahwa sangat adil kalau ahli waris itu diberi bagian sejumlah yang diperoleh ahli waris yang lain. Keadilan untuk anak kandung yang menjadi ahli waris nonmuslim ini dilogikakan dengan keadilan untuk anak angkat yang memperoleh bagian Wasiat Wajibah. Alangkah tidak adil kalau anak angkat

22

(23)

saja diberi Wasiat Wajibah, apalagi itu anak kandung hanya karena pebedaan akidah saja.23

Pemberian hak wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim adalah karena ahli waris nonmuslim itu tidak memperoleh bagian warisan sebagaimana ahli waris muslim. Karena dalam hukum kewarasan Islam, berlainan agama merupakan halangan untuk dapat saling mewarisi. Hal ini didasarkan atas hadits :

ﻢﺻﺎﻋ ﻮﺑﺃ ﺎﻨﺛﺪﺣ

,

ﺞﻳﺮﺟ ﻦﺑﺇ ﻦﻋ

,

ﺏﺎﻬﺷ ﻦﺑﺇ ﻦﻋ

,

ﲔﺴﺣ ﻦﺑ ﻲﻠﻏ ﻦﻋ

,

ﻦﺑ ﺮﻤﻋ ﻦﻋ

ﻥﺎﻤﺜﻋ

,

ﻢﻬﻨﻋ ﷲﺍ ﻲﺿﺭ ﺪﻳﺯ ﻦﺑ ﺔﻣﺎﺳﺃ ﻦﻋ

,

ﻝﺎﻗ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻞﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﹼﻥﺃ

:

ﺙﺮﻳﻻ

ﻢﻠﺴﳌﺍ ﺮﻓﺎﻜﻟﺍ ﻻﻭ ﺮﻓﺎﻜﻟﺍ ﻢﻠﺴﳌﺍ

)

ﻪﻴﻠﻏ ﻖﻔﺘﻣ

.(

24

Artinya: “orang Islam tidak mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir

tidak mewarisi harta orang Islam.”

Dalam ke dua Hadits di atas, dinyatakan bahwa antara orang muslim dan nonmuslim tidak dapat saling mewarisi. Hadits inilah yang dijadikan sebagai landasan bahwa ahli waris yang nonmuslim sama sekali tidak memperoleh bagian warisan. Dan hadits ini pulalah yang dijadikan sebagai sandaran majlis hakim PA untuk tidak memberikan bagian warisan kepada ahli waris yang beragama non Islam. Karena jika ahli waris yang tidak beragama Islam ini diberikan bagian warisan, berarti hal ini bertentangan dengan Hadits yang merupakan sumber hukum dalam hukum Islam.

23

Wawancara dengan Andi Syamsu Alam.

24

Imam Bukhari, Shohih Bukhari, Bairut: Dar al-Kutub Ilmiyah, Juz. 7, Hadits ke– 6764, 1992, hlm. 322.

(24)

Majlis hakim MA dalam perkara no. 368 K/AG/1995 memberikan hak bagian kepada ahli waris nonmuslim dari harta peninggalan pewaris muslim. Tetapi majlis MA tidak menyatakan bahwa ahli waris nonmuslim adalah seorang ahli waris serta memperoleh bagian warisan. Akan tetapi memberikan bagian kepada ahli waris nonmuslim bagian wasiat wajibah. Hal ini adalah karena dalam pandangan majlis hakim, putusan inilah yang paling adil.

Dalam hal ini majlis hakim memberikan bagian wasiat wajibah dan bukan bagian warisan. Sehingga putusan majlis hakim tersebut tidak bertentangan dengan hadits serta mampu menghadirkan keadilan yang disesuaikan dengan konteks masyarakat Indonesia sekarang di dalam hubungan antara masyarakat muslim dan nonmuslim.

Pada dasarnya, ketentuan tentang pemberian hak wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim atas harta peninggalan pewaris muslim ini bertentangan dengan pendapat beberapa Mufassir. Karena beberapa Mufassir menafsirkan bahwa surat Al-Baqarah : 180 yang merupakan dasar perintah berwasiat ini bukan merupakan dasar kewajiban berwasiat. Selain itu, juga tidak ada ketentuan bahwa hakim wajib mengambil sejumlah tertentu dari harta peninggalan seorang pewaris untuk dialokasikan sebagai wasiat yang wajib ditunaikan.

Ibnu al-Arabi menafsirkan bahwa surat Al-Baqarah : 180 itu menunjukkan bahwa hukum wasiat itu tidak wajib. Karena seandainya hukum wasiat itu wajib, maka perintah wasiat itu tentu ditunjukkan dengan

(25)

kata-kata untuk semua muslim, bukan untuk semua orang yang bertakwa. Dan dalam ayat tersebut Allah hanya menyebutkan dengan kata-kata untuk semua orang yang bertakwa saja, maka hal yang demikian ini menunjukkan bahwa hukum wasiat itu tidak wajib.25

Ibnu katsir menafsirkan bahwa surat Al-Baqarah : 180 merupakan ayat yang menunjukkan tentang kewajiban berwasiat. Akan tetapi kewajiban berwasiat itu tidak berlaku lagi karena adanya ayat-ayat tentang pembagian warisan. Sebelum turunnya ayat-ayat waris hukum wasiat memang wajib. Akan tetapi setelah turunnya ayat waris, maka ketentuan dalam ayat-ayat waris itulah yang dipegang.26

Imam Jalalain juga menafsirkan bahwa kewajiban berwasiat itu tidak ada. Bahkan menurut mereka berwasiat kepada karib kerabat itu tidak diperbolehkan. Karena hal tersebut bertentangan dengan Hadits yang melarang berwasiat kepada ahli waris. Dan ayat tentang perintah wasiat

mansukh oleh Hadits tersebut.27

Pendapat yang berbeda dengan pendapat di atas adalah pendapat Imam Maraghi yang menyatakan bahwa wasiat itu berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku di masyarakat serta kemampuan ekonomi seseorang, dengan ketentuan tidak boleh lebih dari sepertiga.28 Dengan bersandar pada kebiasaan masyarakat, maka pada masyarakat yang tidak mempersoalkan

25

Ibnu Al-Arabi, Ahkam Al-Qur’an, Cet. I, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1988, hlm. 104.

26

Isma’il Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azim, Cet. V, Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1992, Hlm. 217.

27

Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Beirut : Dar Al-Kutub Ilmiyah, Cet. II, 1992, hlm. 34.

28

(26)

dikotomi muslim dan nonmuslim, wasiat kepada ahli waris nonmuslim dapat dijalankan.

Dalam ilmu Ushul Fiqh, salah satu kaidah ushuliyah adalah al-‘adah

mukhakkamah. Sehingga jika tradisi dalam suatu masyarakat itu

memberikan bagian kepada ahli waris nonmuslim, maka secara hukum ahli waris nonmuslim juga memperoleh bagian. Dan nampaknya, inilah yang dijadikan pertimbangan oleh majlis hakim MA dalam menjatuhkan putusan memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim untuk memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris muslim sebesar bagian warisan seorang pewaris muslim.

M Qurasish Shihab berpendapat bahwa sebelum adanya hak waris, hukum berwasiat adalah wajib. Dan setelah adanya hak waris, kewajiban berwasiat tidak berlaku lagi. Akan tetapi menurutnya, wasiat bisa diberikan kepada orang tua jika mereka tidak memperoleh bagian dalam warisan.29 Dan logikanya, apabila berwasiat kepada orang tua bisa dilakukan jika mereka tidak memperoleh bagian warisan, maka wasiat kepada ahli waris nonmuslim juga bisa dilakukan. Karena dalam hal ini posisi mereka sama, yaitu sama-sama sebagai ahli waris yang tidak memperoleh bagian warisan.

Logika majlis hakim yang memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim ini juga senada dengan pemikiran M Quraish Shihab. Karena dalam hal ini orang tua dan anak memiliki posisi yang sama yaitu posisi sebagai ahli waris.

29

M Qurasish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Hati, Vol. I, 2002, Hlm. 398.

(27)

Penafsiran tentang wasiat sebagai upaya penyelamatan hak juga dinyatakan oleh Oemar Bakri. Menurutnya, di dalam Islam telah ada hukum warisan. Di dalam warisan itu sudah ditentukan siapa yang akan mendapatkan bagian serta berapa jumlahnya. Akan tetapi sekiranya ada yang tidak mendapatkan bagian atau bagian yang di dapat itu kurang dari yang semestinya, maka wasiat dapat meratakan pembagian harta yang ditinggalkan. Jadi, wasiat ini merupakan suatu jalan untuk pemerataan, sehingga akan menimbulkan rukun dan damai antara semua keluarga.30

Berdasarkan pendapat para Mufassir di atas, pendapat MA tentang hak Wasiat wajibah untuk ahli waris nonmuslim ini bertentangan dengan pendapat sebagian Mufassir, tetapi juga sejalan dengan pendapat beberapa Mufassir yang lain.

Pendapat MA tersebut juga bertentengan dengan pendapat jumhur ulama serta pendapat imam madzhab yang menyatakan bahwa tidak ada ketentuan tentang kewajiban berwasiat kepada kerabat, sekalipun pada kerabat yang tidak memperoleh bagian warisan. Karena kewajiban berwasiat itu mansukh oleh ayat-ayat warisan serta Hadits tentang larangan berwasiat.31 Akan tetapi, pendapat ini sama dengan pendapat Ibnu Hazm yaitu bahwa kerabat yang tidak mewarisi itu wajib diberi wasiat.32

Pemberian hak wasiat wajibah bagi ahli waris nonmuslim dalam konteks masyarakat yang plural merupakan suatu jalan pemeratan agar tidak terjadi goncangan sosial antara warga yang berbeda agama. Sehingga diharapkan

30

Oemar Bakri, Tafsir Rahmat, Mutiara, Hlm. 53.

31

Alyasa Abubakar, Op. Cit, hlm. 191.

32

(28)

akan mampu mewujudkan kedamaian antara warga muslim dan nomuslim. Ini merupakan hikmah yang terkandung dalam putusan pemberian hak wasiat wajibah kepada ahli waris nonmuslim.

Majis hakim dalam mengggunakan Wasiat Wajibah untuk memberikan hak bagian tertentu kepada ahli waris nonmuslim ini menganut hukum Wasiat Wajibah di Mesir. Majlis hakim melakukan ittiba’ dengan hukum Wasiat di Mesir karena dianggap bahwa hukum tersebut bisa diterapkan di Indonesia. Dan al’adah al-muhakkamah dalam pandangan hakim tentang kasus ini adalah memberikan hak bagian kepada ahli waris nonmuslim sebesar bagian ahli waris muslim, dalam tiap jurai yang sama.33

33

Referensi

Dokumen terkait

Dari berbagai masalah yang muncul dalam implementasi program PNPM Mandiri Perkotaan di Kelurahan Bandarharjo Kecamatan Semarang Utara, hal tersebut mendasari

Menurut Jarolimek dan Parker (1993) Individu yang memiliki keterampilan sosial yang tinggi mampu mengontrol diri untuk berperilaku sesuai dengan norma di

Aplikasi teknologi bioflok diharapkan mampu menurunkan limbah (amonia dan nitrit) dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan nutrien.Teknik ini memproses limbah budidaya secara

Model rekursif kedua dengan indeks h sebagai variabel dependen faktor yang mempengaruhi adalah Jumlah kutipan, Jumlah paper yang ditulis dalam bahasa Inggris, Pendidikan,

Universitas Hasanuddin | 29 Bagi kebanyakan orang, kata komunitas akan memasukkan sebentuk perasaan „memiliki‟, atau perasaan diterima dan dihargai dalam lingkup kelompok

Tujuan disusunnya analisis peta mutu pendidikan (capaian Standar Nasional Pendidikan) Kabupaten Jembrana adalah untuk mengetahui gambaran ketercapaian mutu pendidikan

Keberhasilan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dapat dicapai, jika pelaksanaan program BOS ini dilaksanakan dengan baik sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan

sedikit, tetapi ada peningkatan aktivitas pada setiap pertemuan.. karakteristik mata kuliah Analisis Real I, indikator bertanya dan membanding tidaklah selalu dapat