• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: DELLA DAMAYANTI NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: DELLA DAMAYANTI NIM:"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN PEMBERIAN GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN SALAH TANGKAP (ERROR IN PERSONA)

DALAM PERKARA PIDANA

(Studi Kasus: Perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

DELLA DAMAYANTI NIM: 11170480000064

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

i

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

DELLA DAMAYANTI NIM: 11170480000064

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

ii

PELAKSANAAN PEMBERIAN GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN SALAH TANGKAP (ERROR IN PERSONA)

DALAM PERKARA PIDANA

(Studi Kasus: Perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakutas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

DELLA DAMAYANTI NIM: 11170480000064

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Syahrul A’dam, M. Ag. Mohamammad Mujibur Rohman, M.A. NIP. 19730504 200003 1002 NIP. 19760408 200710 1 001

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(4)

iii

98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel)” telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 April 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 06 Mei 2021 Mengesahkan Dekan,

Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A. NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.

NIP. 19670203 201411 1 101 Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.

NIP. 19650908 199503 1 001 Pembimbing I : Dr. Syahrul A’dam, M.Ag.

NIP. 19730504 200003 1002

Pembimbing II : Mohamammad Mujibur Rohman, M.Ag. NIP. 19760408 200710 1 001

Penguji I : Dr. M. Nurul Irfan, M.Ag. NIP. 19730802 200312 1 001 Penguji II : Tresia Elda, S.H., M.H.

NIDN. 992011309 (……….) (……….) (……….) (………) (………) (……….)

(5)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Della Damayanti

NIM : 11170480000064

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jl. Kayu Besar Dalam RT 08/RW 011 Kelurahan Cengkareng Timur, Kecamatan Cengkareng, Kabupaten Kota Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta, 11730.

No. Hp : 089601247145

Email : delladamayanti162@gmail.com

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata I (S-1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatatullah Jakarta.

Jakarta, 05 April 2021

(6)

v

Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H / 2021 M.

Permasalahan penelitian dalam skripsi ini yaitu bagaimana proses pemberian ganti kerugian kepada korban salah tangkap dan kendala dan hambatan apa saja yang dihadapi dalam eksekusi putusan hakim praperadilan mengenai ganti kerugian korban salah tangkap. Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses dalam pemberian ganti kerugian korban salah tangkap dan menemukan kendala dan hambatan dalam eksekusi putusan hakim praperadilan mengenai ganti kerugian korban salah tangkap. Secara khusus, skripsi ini mencoba mendalami aturan-aturan terkait yang berlaku. Di samping itu, skripsi ini juga mencoba membahas mengenai salah satu perkara korban salah tangkap dan proses ia memperjuangkan haknya untuk mendapat ganti rugi dengan melalui sistem praperadilan yang mana penetapan praperadilan Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel.

Jenis penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah kualitatif. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) melalui pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case

approach). Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data berupa studi

pustaka. Melalui studi pustaka peneliti mengumpulkan dokumen dan data untuk diolah menggunakan metode analisis isi.

Hasil penelitian peneliti menunjukkan bahwa lambatnya proses pencairan ganti rugi yang diberikan negara kepada korban salah tangkap. Tidak adanya penjelasan yang lebih rinci mengenai siapa yang mengajukan permohonan ganti rugi dan terdapat perbedaan waktu pencairan ganti rugi dalam aturan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian.

Kata Kunci: Ganti rugi, korban, salah tangkap, pidana, error in persona Pembimbing Skripsi: 1. Dr. Syahrul A’dam, M. Ag.

2. Mohamammad Mujibur Rohman, M.A. Daftar Pustaka: Tahun 1997 sampai 2020.

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya yang telah memberikan kemudahan kepada peneliti, sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PELAKSANAAN PEMBERIAN

GANTI KERUGIAN TERHADAP KORBAN SALAH TANGKAP (ERROR IN PERSONA) DALAM PERKARA PIDANA (Studi Kasus: Perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel)”. Sholawat serta salam senantiasa peneliti

panjatkan kepada Baginda Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wassallam. Rasa syukur serta ungkapan terima kasih sebesar-besarnya peneliti sampaikan kepada Allah SWT dan para pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan skripsi ini, yaitu yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan jajarannya. 2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Syahrul A’dam, M. Ag. dan Mohamammad Mujibur Rohman, M.A. Pembimbing Skripsi yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing peneliti dalam menyelesaikan skripsi dengan baik. 4. Kepala Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah menyediakan fasilitas yang memadai guna dalam menyusun skripsi.

5. Kedua orang tua tercinta Dariyo (Alm) dan Narti yang selalu memberikan dukungan baik materi maupun imateriil berupa motivasi, dukungan, doa, dan kepercayaan untuk dapat duduk dibangku kuliah hingga menyelesaikan gelar sarjana ini.

(8)

6. Pihak-pihak yang tidak bisa peneliti sebutkan satu-persatu. Tidak ada yang dapat peneliti berikan untuk membalas semua jasa kalian, kecuali dengan doa dan ucapan terima kasih.

Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini terdapat banyak kekurangan. Walau demikian peneliti juga berharapan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki dan menyempurkan hasil penelitian skripsi ini. Sekian dan terima kasih.

Jakarta, 05 April 2021

(9)

viii

DAFTAR ISI

COVER ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Metode Penelitian ... 8

E. Sistematika Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG GANTI RUGI KORBAN SALAH TANGKAP (ERROR IN PERSONA) A. Kerangka Teori ... 13

1. Teori Keadilan ... 13

2. Teori Kepastian Hukum ... 14

B. Kerangka Konseptual ... 15

1. Penyelidikan dan Penyidikan ... 16

2. Penangkapan dan penahanan ... 18

3. Praperadilan ... 19

4. Ganti Rugi ... 21

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 25

BAB III KORBAN SALAH TANGKAP DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA A. Profil Kasus Salah Tangkap Dalam Perkara Pidana ... 30

1. Posisi Kasus... 30

(10)

3. Putusan Hakim dan Dasar Pertimbangan ... 35 B. Profil Masalah Pemberian Ganti Kerugian AS Dan NP Terhadap Penetapan Praperadilan Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.SEL ... 39

BAB IV TINJAUAN HUKUM TERHADAP PELAKSANAAN PEMBERIAN GANTI KERUGIAN KORBAN SALAH TANGKAP (ERROR IN PERSONA) DALAM PERKARA NO. 98/PID.PRA/2016/PN JKT.SEL

A. Proses Pemberian Ganti Kerugian Korban Salah Tangkap ... 44 B. Kendala Dan Hambatan Dalam Eksekusi Putusan Hakim Praperadilan Mengenai Ganti Kerugian Korban Salah Tangkap ... 55

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 65 B. Rekomendasi ... 66

(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum, negara yang menjunjung tinggi rasa keadilan dan menjamin hak semua warga negara serta semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum tanpa ada perkecualian. Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menerangkan arti dari negara hukum. Sila kedua dalam Pancasila yang berisi bahwa, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Manusia yang adil dan beradab maksudnya manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang memiliki derajat paling tinggi disebabkan memiliki akal harus diwujudkan dengan adanya sikap saling menghargai, menghormati, dan mencintai satu sama lain tanpa melihat latar belakang seseorang, baik seperti, suku, budaya, agama atau status dalam masyarakat. Melihat Indonesia memiliki keragaman suku, agama, dan budaya maka hukum diposisikan sebagai pengaturan penyelenggaraan negara dan pemerintah. Hukum juga dikatakan sebagai pengaturan perilaku individu setiap warga negara dalam kehidupan sehari-hari. Subekti dalam bukunya bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan”, berpendapat bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya. Pengabdian yang dimaksud dilakukan dengan cara menyelenggarakan keadilan dan ketertiban. Keadilan tersebut digambarkan sebagai suatu bentuk keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati tiap orang yang apabila ia melanggar menimbulkan kegelisahan dan keguncangan. Hukum tidak hanya mencarikan keseimbangan antara pelbagai kepentingan yang saling bertentangan, tetapi juga untuk mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan tersebut dengan ketertiban atau kepastian hukum.1

(12)

Sistem hukum Eropa Kontinental (rechtstaat) dan Anglo Saxon (rule of

law) memiliki persamaan yaitu sama-sama mengakui adanya perlindungan hak

asasi manusia.2 Hak asasi manusia dapat terwujud apabila para aparatur penegak hukum dalam melakukan proses hukum mengedepankan asas-asas dalam KUHAP yang mengatur perlindungan terhadap keluhan harkat dan martabat manusia, salah satu asas yang paling pokok pada proses peradilan pidana adalah asas praduga tak bersalah (Presumption of innocence).3 Termasuk yang termuat dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi bahwa, “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Artinya seorang tersangka atau orang yang ditahan, ditangkap, bahkan dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dan dihadapkan di depan pengadilan dianggap tidak bersalah atas apa yang disangkakannya sebelum dengan adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht) yang menyatakan bahwa ia bersalah.

Pada tahap pemeriksaan tingkat penyidikan dan pengadilan, baik tersangka ataupun terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dimaksudkan agar pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu tidak boleh adanya paksaan atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa. Pihak kepolisian dalam melakukan tugas penangkapan juga wajib untuk memberitahu hak-hak tersangka dan cara menggunakan hak-hak tersebut berupa hak untuk diam, mendapatkan bantuan

2 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Cet. ke-8, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 3. 3 Nurhasan, Keberadaan Asas Praduga Tak Bersalah Pada Proses Peradilan Pidana : Kajian, Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.17 No.3 Tahun 2017, h. 205-206.

(13)

3

hukum dan/atau didampingi penasehat hukum, serta hak-hak lainnya sesuai KUHAP.

Namun kenyataan yang terjadi tidaklah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tersangka pada saat ditangkap tidak langsung diberitahukan akan hak-hak hukumnya termasuk hak-hak untuk diam. Hak untuk diam di Indonesia kurang mendapat perhatian yang khusus, padahal hak untuk diam sudah diatur dalam peraturan dan seringkali aparat terkesan mengabaikan hak untuk diam. Selain itu perlakuan kasar saat penangkapan juga didapatkan oleh tersangka. Penyidikan yang dilakukan oleh Polisi untuk memperoleh keterangan terhadap terjadinya suatu tindak pidana telah menyimpang dari tujuan dasar dari penyidikan itu sendiri. Polisi sebagai penyidik dalam melakukan penyidikan tidak lagi bertujuan untuk memperoleh keterangan dari tersangka atau terdakwa melainkan telah bertujuan untuk memperoleh suatu pengakuan dari tersangka atau terdakwa.4

Andro dan Nurdin, dua orang pengamen yang merupakan korban salah tangkap. Pada hari Senin tanggal 1 Juli 2013 di kawasan Cipulir, Jakarta Selatan. Tepat malam hari sebelumnya, di tengah aktivitasnya mengais rezeki mereka mendapati seorang korban perampokan sepeda motor yang terluka. Andro dan Nurdin pun spontan menolong korban Dicky Maulana yang tergeletak dengan tubuh bersimbah darah. Tak berselang lama, pihak Polsek Kebayoran Lama mendatangi tempat kejadian perkara (TKP). Andro dan Nurdin beserta empat kawan yang lainnya dimintai keterangan selama satu jam. Namun tanpa adanya alasan yang jelas, mereka dibawa ke Polda Metro Jaya dan oleh pihak Polda diminta untuk mengaku bahwa mereka yang melakukan pembunuhan terhadap Dicky. Bahkan Andro harus merasakan sakitnya dipukul, ditendang, hingga disetrum bagian perutnya agar ia mengakui kesalahan yang sama sekali tak pernah dilakukannya.5

4 Finta Riris Sitorus, Pelanggaran Pengaturan Prinsip Miranda Rule Dalam Hukum Acara

Pidana Indonesia, JOM Fakultas Hukum Volume III Nomor 2, Oktober 2016, h. 2-3.

5

(14)

Kasus salah tangkap bukanlah hal yang baru di ranah hukum Indonesia. Kasus salah tangkap yang terjadi dalam Sistem Peradilan Pidana yaitu terjadinya pelanggaran hak pada salah satu atau seluruh tingkat pemeriksaan. Beberapa contoh dapat berupa pelanggaran prosedural, pelanggaran adminstratif, pelanggaran terhadap diri pribadi tersangka sampai pada pelanggaran berat seperti rekayasa saksi-saksi dan rekayasa bukti-bukti suatu perkara. Apabila suatu keterangan tersangka yang diduga telah melakukan tindak pidana dipergunakan sebagai alat bukti bagi penyidik namun ternyata perolehannya melanggar hak asasi manusia atau dengan tekanan dan paksaan yang berakibat penderitaan secara psikis dan fisik sehingga menimbulkan rasa takut. Maka perolehan keterangan sebagai alat bukti tersebut harus dinyatakan tidak sah karena bisa saja berisi suatu pengakuan yang terekayasa. Adanya pelanggaran prosedur serta kesalahan tindakan identifikasi terhadap korban tindak pidana, dipandang sebagai akibat lemahnya kemampuan profesionalisme aparat penegak hukum.6

Pada April 2017, salah satu kasus salah tangkap dialami oleh Aris, Bihin, dan Heryanto, tiga orang warga Tangerang. Ketiganya diamankan polisi atas kasus pencurian sepeda motor. Upaya yang bisa dilakukan untuk memperoleh keadilan salah satunya dengan menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. Dalam konteks peradilan pidana, hak setiap orang untuk menuntut ganti rugi kepada Negara karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan sebagaimana mestinya diatur dalam Pasal 77 jo Pasal 95 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun selain kejadian salah tangkap, ada juga kejadian lambatnya proses pencairan ganti rugi, sebagaimana yang dialami oleh Andro dan Nurdin. Andro dan Nurdin yang didampingi LBH Jakarta mengajukan permohonan sengketa non-litigasi

6 Syarif Abdul Rohman dan Umi Rozah, Kebijakan Kriminal Mengenai Pemberian Ganti

Kerugian Terhadap Korban Salah Tangkap, Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi

(15)

5

peraturan perundang-undangan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tahun 2018. Permohonan tersebut diajukan lantaran Peraturan Menteri Keuangan dinilai menghambat korban salah tangkap untuk menerima kompensasi. Padahal, hakim praperadilan sudah memerintahkan negara memberikan ganti kerugian sebesar Rp 72 juta kepada Andro dan Nurdin pada putusan tanggal 9 Agustus 2016.7

Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah sebuah bentuk perhatian pemerintah. Persoalan lain yang harus diperhatikan oleh Pemerintah yaitu mengenai tata cara eksekusi ganti kerugian. Tata cara eksekusi ganti kerugian harus melalui proses yang tidak mudah. Pengaturan tata cara pencairan masih berbeda, pada Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan 14 hari sedangkan dalam mekanisme pencairan dana ganti kerugian yang diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian masih belum memungkinkan untuk melakukan pencairan dana ganti kerugian dalam waktu 14 hari. Pada prakteknya masih ditemukan beberapa kesulitan dalam melakukan tuntutan ganti kerugian dan adanya perbedaan antara peraturan menteri dengan peraturan pemerintah sehingga terdapat ketidakpastian hukum dalam hal proses pencairan ganti kerugian. Ketidakpastian terletak pada waktu lamanya pencairan dana ganti kerugian terhadap korban salah tangkap, mereka beranggapan untuk pencairan dana ganti kerugian harus melalui proses yang tidak mudah sebagaimana diatur

7Yuliyanto, Problematika Tata Cara Eksekusi Ganti Kerugian Dalam Perkara Pidana

(Problematic Procedures Of Remedy Enforcement In Criminal Cases), Jurnal Penelitian Hukum DE

(16)

dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian.8

Atas dasar pemikiran yang telah peneliti uraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji, meneliti, menganalisis masalah ini dalam skripsi yang berjudul: “PELAKSANAAN PEMBERIAN GANTI KERUGIAN

KORBAN SALAH TANGKAP (ERROR IN PERSONA) DALAM PERKARA PIDANA (Studi Kasus: Perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel)”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka identifikasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kasus salah tangkap di Indonesia yang tiap tahun terus terjadi dan belum mendapat perhatian secara khusus oleh pemerintah maupun para penegak hukum.

b. Terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

c. Perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap.

d. Lambatnya proses pencairan ganti rugi kepada korban salah tangkap. e. Terdapat perbedaan waktu pencairan dana ganti kerugian pada Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian.

8Yuliyanto, Problematika Tata Cara Eksekusi Ganti Kerugian Dalam Perkara Pidana

(17)

7

2. Pembatasan Masalah

Agar mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah. Di sini peneliti hanya akan berfokus pada satu titik permasalahan. Peneliti ingin menganalisis secara yuridis tentang putusan perkara nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel. mengenai proses pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, maka permasalahan penelitian mengenai proses dan hambatan dalam eksekusi putusan hakim praperadilan mengenai ganti kerugian korban salah tangkap. Berdasarkan pembahasan dari masalah utama yang telah diuraikan, maka permasalahan penelitian dibuat pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana proses pemberian ganti kerugian kepada korban salah tangkap?

b. Kendala dan hambatan apa saja yang dihadapi dalam eksekusi putusan hakim praperadilan mengenai ganti kerugian korban salah tangkap?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti Menyusun tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan proses dalam pemberian ganti kerugian korban salah tangkap.

2. Menemukan kendala dan hambatan dalam eksekusi putusan hakim praperadilan mengenai ganti kerugian korban salah tangkap.

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya yang berakar dari rumusan masalah, peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk:

(18)

Manfaat dari penelitian ini secara teoritis dapat digunakan sebagai landasan atau rujukan penelitian dalam kajian mengenai keilmuan hukum terkhusus hukum pidana terkait dengan pelaksanaan pemberian ganti kerugian korban salah tangkap (error in persona) dalam perkara pidana dengan studi kasus perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel. Penelitian ini juga diperuntukkan kepada semua kalangan untuk dijadikan bahan pendukung untuk penelitian-penelitian selanjutnya terkhusus mahasiswa, akademisi, ataupun masyarakat secara umum terhadap persoalan yang sama atau terkait.

2. Secara Praktis

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi para peminat hukum pidana dan praktisi hukum dalam pelaksanaan pemberian ganti kerugian korban salah tangkap (error in persona) dalam perkara pidana dengan studi kasus perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel.

D. Metode Penelitian

Pada bagian ini peneliti akan menjelaskan secara rinci tentang hal-hal yang terkait dengan metode penelitian, yaitu:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan peneliti dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif, penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan atau kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.9 Penelitian ini bersifat normatif, penelitian normatif ialah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai norma, kaidah, asas-asas dari

9 Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Banyumedia

(19)

9

peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, doktrin (ajaran), serta, perjanijian.10

2. Pendekatan Penelitian

Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statutory approach)11 dan pendekatan kasus (case

approach). Pendekatan Perundang-undangan (statutory approach),

diterapkan guna memahami bagaimana tata cara pemberian ganti kerugian korban salah tangkap berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian. Pendekatan Kasus (case approach) diterapkan dalam mengamati dan menelaah kasus korban salah tangkap yang mengajukan ganti rugi dengan Perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel.

3. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa informasi terkait pelaksanaan pemberian ganti kerugian terhadap korban salah tangkap (error

in persona) dalam perkara pidana Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel.

Seperti proses pemberian ganti kerugian korban salah tangkap yang dialami oleh korban serta hambatan dalam pelaksanaannya.

Penelitian ini menggunakan sumber data yang berkaitan dengan peraturan dan perundang-undangan ganti kerugian korban salah tangkap dalam perkara pidana. Informasi tersebut kemudian dikelompokkan menjadi 3 (tiga) sumber sebagai berikut:

a. Sumber Primer

10 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 31

11 Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003),

(20)

Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini yakni peraturan perundang-undangan terkait tata cara ganti kerugian seperti Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian serta putusan hakim pra peradilan Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel.

b. Sumber Sekunder

Sumber Sekunder dari penelitian ini ialah bahan hukum sekunder yang peneliti gunakan ialah berupa teori-teori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, buku, maupun artikel jurnal ilmiah yang terkait dengan penelitian.

c. Sumber Data Tersier

Bahan Hukum Tersier merupakan bahan pelengkap yang dapat memberikan penjelasan serta petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti berupa sumber-sumber yang berasal dari wikipedia, kamus dan berita online.

4. Metode Pengumpulan Data

Peneliti dalam mengumpulkan data-data dalam skripsi ini menggunakan studi kepustakaan (liblary research). Studi kepustakaan diawali dengan dilakukan membaca Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan putusan hakim pra peradilan Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel sebagai sumber data primer, lalu membaca buku, skripsi, tesis dan artikel jurnal yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang sedang diteliti. Kemudian mengamati kasus pengamen korban salah tangkap yang

(21)

11

mengajukan ganti rugi dengan penetapan praperadilan Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel. melalui media online.

5. Teknik Pengolahan Data

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya akan diketahui bagaimana pelaksanaan pemberian ganti kerugian korban salah tangkap (error in persona) dalam perkara pidana dengan studi kasus perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel.

6. Teknik Penulisan

Teknik penyusunan dan penulisan skripsi ini berpedoman pada buku

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”.

E. Sistematika Pembahasan

Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi ke dalam lima bab yang terdiri atas beberapa sub-bab guna memperjelas ruang lingkup serta cakupan permasalahan yang akan peneliti bahas sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Merupakan bab yang memuat latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori. Dalam bab ini akan menjelaskan kerangka konseptual, kerangka teori yang digunakan untuk menganalisis dan menginterpretasi data penelitian tentang ganti kerugian terhadap korban salah tangkap (error in persona) serta pada bab ini terdapat tinjauan (review) kajian terdahulu.

(22)

BAB III : Pada bab ini peneliti fokus untuk menguraikan tentang tinjauan umum mengenai korban salah tangkap dalam perkara pidana di Indonesia. posisi kasus, profil masalah pemberian ganti kerugian terhadap penetapan praperadilan Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel.

BAB IV : Tinjauan hukum terhadap pelaksanaan pemberian ganti kerugian korban salah tangkap (error in persona) dalam perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel. Pada BAB ini akan dibahas mengenai proses pemberian ganti kerugian kepada korban salah tangkap serta kendala dan hambatan dalam eksekusi putusan praperadilan mengenai ganti kerugian korban salah tangkap.

BAB V : Penutup. Dalam bab ini berisikan kesimpulan yang diambil dari uraian atau deskripsi yang digunakan untuk menjawab masalah berdasarkan data yang diperoleh, serta dilengkapi dengan rekomendasi yang dapat membangun.

(23)

13

BAB II

KAJIAN TEORI TENTANG GANTI RUGI KORBAN SALAH TANGKAP (ERROR IN PERSONA)

A. Kerangka Teori

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, lalu didukung oleh data dan argumentasi.1 Kerangka teori yang akan dijadikan landasan oleh peneliti antara lain:

1. Teori Keadilan

Keadilan berasal dari kata adil, menurut Kamus Bahasa Indonesia adil adalah tidak sewenang-wenang, tidak memihak, dan tidak berat sebelah. Adil diartikan bahwa suatu keputusan dan tindakan harus didasarkan atas norma-norma objektif. Keadilan pada dasarnya adalah suatu konsep yang relatif, yang mana menurut setiap orang tidak sama. Adil menurut yang satu belum tentu adil bagi yang lainnya, ketika seseorang menegaskan bahwa ia melakukan suatu keadilan, hal itu tentunya harus relevan dengan ketertiban umum.2

Teori keadilan menurut Aristoteles dalam karyanya yang berjudul Etika Nichomachea menjelaskan pemikirannya tentang keadilan. Bagi Aristoteles, keutamaannya, yaitu ketaatan terhadap hukum (hukum polis pada waktu itu, tertulis dan tidak tertulis) adalah keadilan. Dengan kata lain keadilan adalah keutamaan dan ini bersifat umum. Theo Huijbers menjelaskan mengenai keadilan menurut Aristoteles di samping keutamaan umum, juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang berkaitan dengan sikap manusia dalam bidang tertentu, yaitu menentukan hubungan baik antara orang-orang,

1 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kamus versi online/daring (dalam jaringan)

https://kbbi.web.id/teori pada tanggal 08 Oktober 2020 pukul 20:33 WIB.

2 M. Agus Santoso, Hukum,Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, Cet. ke-2,

(24)

dan keseimbangan antara dua pihak. Ukuran keseimbangan ini adalah kesamaan numerik dan proporsional. Hal ini karena Aristoteles memahami keadilan dalam pengertian kesamaan. Dalam kesamaan numerik, setiap manusia disamakan dalam satu unit. Misalnya semua orang sama di hadapan hukum. Kemudian kesamaan proporsional adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, sesuai kemampuan dan prestasinya.3

Di Indonesia keadilan digambarkan sebagaimana dalam Pancasila yang merupakan sebagai dasar negara, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada sila ke lima tersebut terkandung nilai-nilai yang merupakan tujuan dalam hidup bersama. Keadilan yang didasari dan dijiwai oleh hakikat keadilan kemanusiaan yaitu keadilan dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan masyarakat, manusia dengan bangsa, manusia dengan negara, serta hubungan manusia dengan Tuhannya.4

Nilai-nilai keadilan tersebut haruslah merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan dalam hidup bermasyarakat guna mewujudkan tujuan negara, yaitu mewujudkan kesejahteraan seluruh warganya dan seluruh wilayahnya, mencerdaskan seluruh warganya. Demikian pula nilai-nilai keadilan tersebut sebagai dasar dalam pergaulan antar negara sesama bangsa didunia dan prinsip-prinsip menciptakan ketertiban hidup bersama dalam suatu pergaulan antarbangsa di dunia dengan berdasarkan suatu prinsip kemerdekaan bagi setiap bangsa, perdamaian yang abadi, serta keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial).5

2. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti serta mengatur secara jelas dan logis. Jelas maksudnnya tidak menimbulkan keragu-raguan dan tidak bermakna ganda

3 Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum Edisi Lengkap (Dari Klasik ke Postmodernisme), Cet.

ke5, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2015), h. 241.

4 M. Agus Santoso, Hukum,Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, … h. 86. 5 M. Agus Santoso, Hukum,Moral & Keadilan Sebuah Kajian Filsafat Hukum, … h. 87.

(25)

15

atau multi tafsir. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain, sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum juga menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang bersifat subjektif. Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak adil hanyalah sekedar hukum yang buruk.6

Kepastian hukum adalah jaminan mengenai hukum yang berisi keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan harus benar-benar berfungsi sebagi peraturan yang ditaati. Menurut Gustav Radbruch keadilan dan kepastian hukum merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa keadilan dan kepastian hukum merupakan hal yang harus diperhatikan. Kepastian hukum harus dijaga demi menjaga keamanan dan ketertiban suatu negara.7

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.8

B. Kerangka Konseptual

Maria S.W. Sumardjono mengatakan bahwa, konsep adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam satu bidang studi. Dengan demikian konsep merupakan penjabaran abshak da teo. Konsep

6 C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Engelien R Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah Hukum, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009), h. 385.

7 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: Toko

Gunung Agung, 2002), h. 95.

8 Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti,Bandung,

(26)

menggambarkan abstraksi dari teori inilah yang dinamakan dengan kerangka konsep. Sedangkan menurut Soedono Soekanto Kerangka konsepsi adalah kerangka yang mengggambarkan hubungan antar konsep khusus yang akan diteliti.9

1. Penyelidikan dan Penyidikan

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, guna menentukan dapat atau tidaknya dilanjutkan ke tahap berikutnya atau dapat dilakukannya penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.10

Pengertian penyelidikan tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada BAB 1 Ketentuan Umum Pasal 1 Poin 5 yang berbunyi: “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang di atur dalam Undang-Undang ini”. Jadi dapat diartikan

penyelidikan merupakan tindakan sebelum dilakukannya penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hukum acara pidana seperti yang dikemukakan oleh van Bammelen maka penyelidikan ini maksudya ialah tahap pertama atau tahap awal dalam tujuh tahap hukum acara pidana.11

Berdasarkan penjelasan di atas penyelidikan merupakan tahap atau tindakan pertama yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sebelum adanya penyidikan. Bertujuan untuk meneliti sejauh mana kebenaran sebuah informasi berupa laporan atau aduan ataupun kejadian langsung yang tertangkap basah oleh aparat agar dapat memperkuat secara hukum mengenai penindakan berikutnya. Karena aparat tidak menangkap, menahan,

9 Gunardi, Kerangka Konsep Dan Kerangka Teori Dalam Penelitian Ilmu Hukum, Era Hukum No 1 Th 13/September 2005, h. 88.

10 Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan R.I., Modul Hukum Acara Pidana, (Jakarta:

Badan Pendidikan Dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, 2019), h.31.

11 Andi hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Ed. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), h.

(27)

17

menggeledah, menyita, memeriksa surat, memanggil dan menyerahkan berkas kepada penuntut umum jikalau bukti permulaan atau bukti yang cukup saja belum didapatkan diawal. Hal ini dapat menjadi kesalahan dalam menangkap pelaku jika aparat tidak menguji dahulu informasi yang diperoleh sehingga tidak merendahkan harkat dan martabat manusia. Tuntutan hukum dan tanggung jawab moral yang sekaligus menjadi peringatan bagi aparat penyidik untuk bertindak dengan hati, sebab kurangnya ketidak hati-hatian dalam penyelidikan bisa membawa akibat yang fatal bagi mereka pada tingkatan penyidikan, penangkapan, dan penahanan yang mereka lakukan ke muka sidang praperadilan. Sedangkan sebagaimana yang terdapat dalam KUHAP, terdakwa atau tersangka berhak menuntut ganti-rugi rehabilitasi atas tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan yang berlawanan dengan hukum.12

Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti. Dengan bukti tersebut dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.13

Pengertian penyidikan juga tercantum dalam KUHAP Pasal 1 angka 2 Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) menjelaskan tentang penyidikan, yang berbunyi: “penyidikan adalah seranngkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Menurut R. Wiyon

mengenai pasal tersebut, dalam bukunya pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia untuk memahami perbedaan mencolok antara penyelidikan dengan penyidikan jika dalam penyelidikan arahnya untuk menentukan ada atau tidaknya peristiwa yang diduga merupakan perbuatan pidana, sedang dalam

12 Rahman Syamsuddin,Hukum Acara Pidana Dalam Integrasi Keilmuan, (Makassar:

Alauddin University Press, 2013 ), h. 43.

13 Tim Penyusun Modul Badan Diklat Kejaksaan R.I., Modul Hukum Acara Pidana, … h.

(28)

penyidikan arahnya untuk menentukan siapa tersangka yang diduga melakukan perbuatan tindak pidana tersebut.14

2. Penangkapan dan penahanan

Definisi penangkapan dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (20) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bahwa, “penangkapan adalah

suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan terangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna penyidikan atau penuntutan atau dan peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.” Jangka waktu penangkapan tidaklah lama.

Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan yang dapat dilakukan oleh setiap orang hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka hingga ke kantor polisi terdekat. Sesudah sampai di kantor polisi maka polisi atau penyidik dapat menahan jika memang delik yang dilakukan ditentukan, tersangkanya dapat ditahan.

Sedangkan penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan seseorang. Sehingga di sini terdapat pertentangan antara dua asas, yaitu di satu pihak hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati dan di pihak lain yaitu terdapat kepentingan ketertiban umum yang harus dipertahankan demi orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat tersangka.15 Pengertian penahanan juga

diterangkan dalam KUHAP Pasal 1 ayat (21), yang menerangkan bahwa, “penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu

oleh penyidik atau penuntut umumatau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini”. Berdasarkan

kutipan dari Pasal 1 ayat (21) tersebut dimaksudkan bahwa semua instansi penegak hukum memiliki wewenang untuk melakukan penahanan.16

14 R.Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), h. 36. 15 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Ed. 2, … h. 128-129.

16 Rizanizarli, Rita Chatias Pratama, & Airi Safrijal, Hukum Acara Pidana, (Banda Aceh, FH

(29)

19

3. Praperadilan

Secara etimologis, pengertian praperadilan berasal dari kata pra yang artinya sebelum dan peradilan yang artinya proses mengadili. Mengenai perihal ganti rugi dijabarkan dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP yang menyatakan bahwa:

Praperadilan adalah wewang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Berdasarkan pasal-pasal yang terkait dengan KUHAP, dapat dijelaskan secara yuridis Pasal Praperadilan merupakan lembaga yang diberi sebagian wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus, yaitu:

1. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan (Pasal 77 huruf a KUHAP);

2. ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 77 huruf b KUHAP);

3. tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 (Pasal 95 ayat (2) KUHAP).17

17 Didik Endro Purwoleksono, Hukum Acara Pidana, (Surabaya: Airlangga University Press

(30)

Pihak-pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan adalah tersangka atau keluarga atau penasihat huukumnya, penyidik, penuntut umum, dan pihak ke-3.

Pemohon Termohon Alasan Praperadiilan

Tersangka 1. Kapolri/Kapolda/Kapolres/Kapols ek

2. Jaksa Agung/Kajati/Kajari 3. KPK

Sah atau tidaknya: 1. Penggeledahan 2. Penyitaan 3. Penangkapan 4. Penahanan

5. Penetapan tersangka Penyidik Jaksa Agung/Kajati/Kajari Kejaksaan tidak

melimpahkan perkara ke pengadilan negeri (padahal perkara sudah dinyatakan P-21)

Penuntut Umum

Kapolri/Kapolda/Kapolres/Kapolsek Penyidik tidak menyerahkan berita acara pemeriksaan polisi ke jaksaan (padahal

sudah ada surat

pemberitahuan dimulainya penyidikan ke kejaksaan) Pihak ke-3 1. Kapolri/Kapolda/Kapolres/Kapols

ek 2. Jaksa Agung/Kajati/Kajari 1. Penghentian Penyidikan tidak sah 2. Penghentian Penuntutan tidak sah18

(31)

21

4. Ganti Rugi

Istilah ganti rugi tidak ditemukan dalam hukum pidana materiil. Namun dalam KUHAP terdapat aturan yang berkaitan dengan perihal ganti kerugian yakni pada Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP. Bunyi pasal tersebut adalah:

Pasal 95

(1) Tersangka, terdakwa, atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa ada alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahan serta tindakan lain tanpa ada alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak dijukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77.

(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. (4) Untuk memeriksa dan memutuskan perkara tuntutan ganti kerugian

tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. (5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4)

mengikuti acara praperadilan.19

Andi Hamzah dalam bukunya berjudul Hukum Acara Pidana di Indonesia, mengemukakan bahwa aturan pelaksanaan ganti kerugian dalam Pasal 95 tidak lagi disebut-sebut tentang praperadilan. Berarti dalam hal acara pelaksanaan ganti kerugian dalam Pasal tersebut hanya mengatur mengenai ganti kerugian yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke

(32)

Pengadilan Negeri. Adapun acara pelaksanaannya menurut Andi Hamzah adalah sebagai berikut:

a. Pihak yang berhak mengajukan ganti kerugian adalah tersangka, terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang menangani perkara yang bersangkutan.

b. Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian, ketua pengadilan menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. Pada point ini, Andi Hamzah berpendapat bahwa hal ini sebenarnya tidak diperlukan, karena ketentuaan ini akan mendorong hakim yang menyidangkan suatu perkara untuk menjatuhkan pidana tidak akan kurang dari lamanya penahanan, karena jika tidak demikian maka akan menimbulkan tuntutan ganti kerugian, yang menurut ketentutan Undang-Undang hakim itu sendirilah yang akan memeriksa dan memutuskannya.

c. Pemeriksaan dan putusan mengenai tuntutan ganti kerugian mengikuti acara praperadilan.

d. Putusan tentang pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan.20

Pada pengajuan permintaan ganti kerugian dapat dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:

(1) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima.

(2) Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka jangka

(33)

23

waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan.

Menurut Yahya Harahap “Sekiranya seorang terdakwa dituntut dan diadili dalam pemeriksaan sidang pengadilan, kemudian ternyata apa yang didakwakan tidak dapat dibuktikan berdasar alat bukti yang sah, sehingga apa yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, dan terdakwa dibebaskan dari tuntutan pidana. Berarti terdakwa telah dituntut dan diadili tanpa dasar alasan hukum. Putusan pembebasan tersebut, menjadi dasar bagi terdakwa untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian atas alasan telah dituntut dan diadili tanpa berdasarkan undang-undang”. Adapun kekeliruan mengenai orangnya karena salah tangkap terhadap seorang yang disidik, didakwa, diperiksa, dan terakhir diputus oleh pengadilan terbukti dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, kemudian terungkap atau muncul orang yang mengaku sebagai pelaku tindak pidana sesungguhnya, contoh kasus yang sangat terkenal yaitu : Sengkon dan Karta.21

Jumlah besaran ganti kerugian yang dapat diterima oleh korban salah tangkap berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 9 yaitu:

(1) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling

21

(34)

sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(3) Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Ketentuan mengenai pembayaran ganti kerugian diatur pada Pasal 11 yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan petikan putusan atau penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

(2) Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran ganti kerugian diatur dengan Peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

Pemeriksaan ganti kerugian juga diatur dalam KUHAP dalam Pasal 95 butir (5) yaitu dengan melalui praperadilan. Leden berpendapat bahwa mekanismenya adalah setelah 3 (tiga) hari menerima permintaan atau tuntutan ganti kerugian, Lalu ketua pengadilan menunjuk hakim dan menetapkan hari sidang. Hakim yang ditunjuk adalah hakim yang sama ketika mengadili pidana yang bersangkutan (Pasal 95 butir (4)). Mengenai pemeriksaan ganti kerugian tersebut diputus dalam 7 (tujuh) hari sesuai dengan bunyi Pasal 82 butir (1) huruf c. 22

22 Mohammad Naufal, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap Menurut Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam (Analisis Putusan PT DKI No: 142/PID/2015/PT.DKI),

(35)

25

Putusan ganti kerugian berbentuk penetapan, hal ini diatur dalam Pasal 96 KUHAP. Penetapan tersebut berdasarkan keputusan hakim, baik tuntutan ganti kerugian itu diterima atau ditolak, dan alasan pemberian atau penolakan tersebut harus dicantumkan dalam penetapan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983, Salinan penetapan ganti kerugian diberikan kepada penuntut umum, penyidik, dan direktorat Jendral Anggaran dalam hal ini Kantor Perbendaharaan Negara.23

Setelah penetapan ganti kerugian dikeluarkan maka akan dilaksanakan eksekusi yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 983/KMK.01/1983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian.mengenai pencairan ganti kerugian.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ialah demi menghindari pemahaman bagi pembaca ataupun peneliti tersendiri terhadap duplikasi, replikasi, dan penjiplakan. Maka peneliti ajukan dalam skripsi ini perlu kiranya peneliti lampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan pertimbangan, antara lain: 1. Skripsi ditulis oleh Fatkhul Wasik24

Skripsi yang ditulis oleh Fatkhul Wasik, Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tahun 2018 membahas tentang analisis terhadap pelaksanaan ganti rugi korban salah tangkap menurut Hukum Pidana Islam. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatkhul Wasik ialah sama-sama membahas tentang pelaksaan ganti rugi korban salah tangkap. Perbedaannya adalah terletak pada penelitian Peneliti yang terfokus pada kendala dan hambatan dalam eksekusi putusan hakim praperadilan mengenai ganti kerugian korban salah tangkap dengan studi kasus Perkara Nomor

23 Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum Pidana,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), h. 59-64.

24 Fatkhul Wasik, Analisis Terhadap Pelaksanaan Ganti Rugi Korban Salah Tangkap Menurut Hukum Pidana Islam, (Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri

(36)

98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel, sementara penelitian Fatkhul Wasik berfokus pada bagaimana implementasi pemberian ganti rugi tinjauan Hukum Islam. 2. Skripsi ditulis oleh A. Indah Anugrah25

Skripsi yang ditulis oleh A. Indah Anugrah, Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, pada tahun 2018 membahas persoalan bagaimanakah proses terjadinya salah tangkap dalam kasus pemerkosaan di Kepolisian Resor Bulukumba serta bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban hukum Kepolisian Resor Bulukumba terhadap korban salah tangkap. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh A. Indah Anugrah ialah sama-sama membahas tentang perihal pertanggung jawaban terhadap terjadinya salah tangkap. Perbedaannya adalah terletak pada penelitian Peneliti yang terfokus pada kendala dan hambatan dalam eksekusi putusan hakim praperadilan mengenai ganti kerugian korban salah tangkap dalam studi kasus Perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel, sementara penelitian A.Indah Anugrah berfokus pada proses terjadinya salah tangkap dalam kasus pemerkosaan di Kepolisian Resor Bulukumba serta bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban hukum Kepolisian Resor Bulukumba terhadap korban salah tangkap.

3. Skripsi ditulis oleh Mega Syintia 26

Skripsi yang ditulis oleh Mega Syintia, Mahasiswi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh, pada tahun 2019 membahas persoalan bagaimanakah pertanggungjawaban hukum mengenai akibat terjadinya salah tangkap atau error in persona dalam kasus pembunuhan anggota Polri di Aceh Utara. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh Mega Syintia ialah sama-sama membahas tentang perihal pertanggung jawaban terhadap

25 A. Indah Anugrah, Analisis Yuridis Terhadap Proses Salah Tangkap Di Kepolisian Resor Kabupaten Bulukumba, (Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Alauddin Makassar, 2018). 26Mega Syintia, Pertanggungjawaban Hukum Akibat Praktik Salah Tangkap Atau Eror In Persona Dalam Kasus Pembunuhan Anggota Polri Di Aceh Utara (Studi Kasus Di Polda Aceh),

(37)

27

terjadinya salah tangkap. Perbedaannya adalah terletak pada penelitian Peneliti yang terfokus pada kendala dan hambatan dalam eksekusi putusan hakim praperadilan mengenai ganti kerugian korban salah tangkap dalam studi kasus Perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel, sementara penelitian Mega Syintia berfokus pada faktor penyebab terjadinya salah tangkap dan pertanggungjawaban hukum terhadap praktik salah tangkap dalam kasus pembunuhan anggota Polri di Aceh Utara.

4. Buku ditulis oleh Andi Hamzah27

Buku yang ditulis oleh Andi Hamzah, buku edisi kedua yang diterbitkan oleh Sinar Grafika, pada tahun 2017 membahas tentang Hukum Acara Pidana Indonesia yang meliputi semua bagian. Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh Andi Hamzah ialah sama-sama membahas perihal ganti kerugian. Perbedaannya adalah terletak pada penelitian Peneliti yang terfokus mengenai kendala dan hambatan dalam eksekusi putusan hakim praperadilan mengenai ganti kerugian korban salah tangkap dalam studi kasus Perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel, sementara penelitian Andi Hamzah berfokus pada ganti kerugian secara umum dalam hukum beracara pidana.

5. Artikel jurnal ditulis oleh Yuliyanto28

Jurnal Penelitian Hukum yang ditulis oleh Yuliyanto dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum, Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM, pada tahun 2019 membahas tentang problematika tata cara eksekusi ganti kerugian dalam perkara pidana (problematic procedures of

remedy enforcement in criminal cases). Persamaan penelitian yang dilakukan

oleh Peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuliyanto ialah sama-sama membahas tentang pelaksaan ganti kerugian korban salah tangkap dalam perkara pidana. Perbedaannya adalah terletak pada penelitian peneliti

27 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017).

28 Yuliyanto, Problematika Tata Cara Eksekusi Ganti Kerugian Dalam Perkara Pidana

(Problematic Procedures Of Remedy Enforcement In Criminal Cases), (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum, Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM), Jurnal Penelitian

(38)

yang terfokus kendala dan hambatan dalam eksekusi putusan hakim praperadilan mengenai ganti kerugian korban salah tangkap dengan studi kasus Perkara Nomor 98/Pid.Pra/2016/PN JKT.Sel, sementara penelitian Yuliyanto berfokus pada problematika tata cara eksekusi ganti kerugian yang dirasa adil bagi korban salah tangkap dalam perkara pidana.

(39)

29

BAB III

KORBAN SALAH TANGKAP DALAM PERKARA PIDANA DI INDONESIA

Perkara salah tangkap bukanlah hal baru dalam dunia hukum di Indonesia. Kasus Sengkon Karta merupakan salah satunya dan ini merupakan sejarah lahirnya Peninjauan Kembali (PK) dalam sistem hukum di Indonesia. Adapula kasus Kemat dan David yang dituduh melakukan pembunuhan, di mana kemudian terungkap bahwa Very Idham alias Ryan Jombang yang ternyata menjadi jagalnya. Kasus-kasus salah tangkap lainnya ataupun peradilan sesat tampaknya terus terulang berkali-kali. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) telah menyoroti kasus salah tangkap yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Kontras mencatat telah terjadi 51 peristiwa salah tangkap sejak Juli 2018 hingga Juni 2019.

Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras, Arif Nur Fikri, saat dikonfirmasi oleh pihak Kompas.com, pada hari Kamis tanggal 18 Juli 2019. Data yang dihimpun sejak Juli 2018 dan didapatkan dari monitoring media dan juga yang dibantu oleh pendampingan. Sedangkan pada bulan Juni 2019-Mei 2020 Kepala Biro Riset dan Dokumentasi KontraS, Revanlee Anandar, menemukan adanya 48 praktik penyiksaan yang terjadi di lingkaran institusi Polri. Mayoritas merupakan kasus penyiksaan yang terjadi di Polres dengan jumlah 29 kasus, Polsek 11 kasus dan Polda 8 kasus. Sedangkan alat yang digunakan untuk penyiksaan didominasi dengan tangan kosong berjumlah 35 kasus, kemudian dengan benda keras, senjata api dan listrik. Revanlee menyampaikan bahwa motif polisi melakukan kekerasan sebagian besar demi mendapatkan pengakuan dari seseorang yang diinterogasi dan sebagian lainnya untuk memberikan hukuman. Penyiksaan tersebut sebagian besar terjadi pada kasus salah tangkap berjumlah 39 kasus dan hanya 9 kasus yang murni krimial. 1

1

https://www.voaindonesia.com/a/kontras-temukan-48-praktik-penyiksaan-di-polri/5483342.html#:~:text=Penyiksaan%20tersebut%20sebagian%20besar%20terjadi,9%20kasus %20yang%20murni%20kriminal diakes pada tanggal 23 Januari 2021 pukul 22.17 WIB.

(40)

30

diketahui terlebih dahulu mengenai posisi kasus dan penjatuhan putusan oleh majelis hakim. Dalam hal ini, untuk menghindari penambahan dan pengurangan di dalam kronologis. Salinan yang dikutip adalah sebagai berikut:

1. Posisi Kasus

Menimbang bahwa terdakwa telah didakwa sebagaimana dalam surat dakwaan penuntut umum tertanggal 29 Agustus 213 yang berbunyi sebagai berikut:

Bahwa ia terdakwa AS dan terdakwa NP baik secara bersama-sama maupun bertindak sendiri bersekutu dengan saksi FP, BF, FF dan APS (yang perkaranya diajukan tersendiri) pada hari minggu tanggal 30 Juni 2013 sekitar jam 08.00 WIB atau sekitar waktu itu bertempat di Jembatan Layang Cipulir Jakarta Selatan tepatnya di bawah kolong Jembatan atau setidak-tidaknya di suatu tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Setatan. Dengan sengaja merampas nyawa orang lain bernama Dicky Maulana yang dilakukan dengan cara sebagai barikut:

Bahwa awalnya korban Dicky Maulana sebagai pengamen pendatang baru di sekitar Jembatan layang Ciputir Jakarta Setatan, di wilayah tempat tongkrongan para terdakwa AS dan NP bersama dengan teman-temannya sebagai pendatang baru ia tidak meminta ijin terlebih dahulu kepada para terdakwa dan teman-temannya. Di mana di tempat tersebut terdakwa AS ditunjuk sebagai wakil ketua sedangkan terdakwa NP diangkat sebagai ketua dengan istilah panggilan Abang-abangan. Bahwa pada hari minggu tanggal 30 Juni 2013 sekitar jam 08.00 WIB terdakwa AS datang dari Parung Panjang Jawa Barat bersama dengan istrinya (Saksi OO) dan AP, MF dan NP setatah mereka sampai di stasiun Kebayoran Lama sekitar pukul 09.30 WIB langsung menuju Jembatan Layang Cipulir Jakarta Selatan

(41)

31

tempat mereka terdakwa dan teman-temannya berkumpul sebelum mengamen.

Bahwa pada saat sampai di atas jembatan layang cipulir Jakarta Selatan tersebut para terdakwa selanjutnya mereka mengobrol dan bercanda tidak tama kemudian korban datang dari arah Kebayoran Lama dan turun dari Metro Mini 69 dan para terdakwa bersama-sama dengan teman-temannya berubah topik obrolan dan membicarakan korban sebagai pengamen pendatang baru saja sudah songong dan kalau mabuk suka bikin reseh di tempat tersebut dan terhadap Ade-adean sesama pengamen terlalu menindas setanjutnya terdakwa II NP berbicara kepada terdakwa l AS dan saksi AP, MF, dan saksi BF, FP berbicara "Bagaimana kalau kita kasih pelajaran/digulung/disekolahkan”.1

Bahwa kemudian saksi BF memanggil korban dan pada saat itu korban dalam keadaan mabok selanjutnya terdakwa NP berbicara kepada korban dan mengajak korban ke bawah jembatan lalu korban bertanya kepada terdakwa I NP "Ngapain kita ke bawah (kolong jembatan tayang)" lalu dijawab oleh terdakwa I NP "Kita minum-minum di bawah yuk", kemudian terdakwa I AS dan saksi AP, MF dan terdakwa II NP dan saksi BF serta FP mengikuti korban dari belakang.

Bahwa kemudian setelah sampai di bawah / kotong Jembatan Ciputir Jakarta Selatan di pinggir kali Cipulir korban Dicky Maulana langsung diputeri (dikelilingi) oleh para saksi (AP, MF) dan terdakwa NP, BF pada saat dikelilingi oleh mereka tersebut (AP, MF dan NP, BF, FP) kemudian terdakwa NP (ketua) langsung berbicara kepada korban "Selama ini kok lo songong banget sama anak-anak dan kenapa lo suka nyuruh-nyuruh yang kecil terus dan sekarang kok lo ngelunjak didiemin sama anak-anak". Selanjutnya terdakwa NP langsung menusukkan pisau lipat yang selalu dibawanya ke bagian belakang kuping kanan korban Dicky Maulana dan saat itu korban sempat menangkis selanjutnya pisau lipat tersebut (milik

1 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1273/Pid.B/2013/PN.Jkt.Sel, (Jakarta:

(42)

terdakwa NP) diambil alih oleh terdakwa AS langsung menusukkan ketubuh korban mengenai bagian kiri rusuk korban dan korban jatuh tersungkur dalam posisi sujud.

Bahwa setalah korban DM jatuh.tersungkur selanjutnya pisau lipat tersebut di rebut kembali oleh terdakwa NP dari tangan terdakwa AS yang kemudian ditusukkan kembali pisau lipatnya ke bagian atas tangan korban sebelah kanan kemudian telapak tangan kanannya korban di sayat dengan pisau lipat oleh saksi NP.

Bahwa pada saat itu ketika korban yang sedang jatuh tersungkur dengan posisi sujud kepalanya korban di tegakkan oleh saksi BF kemudian di pukul sebanyak dua kali oleh saksi BF dan MF mengambil potongan kayu yang sudah berada di pinggir kali selanjutnya memukulkan ke tangan korban sebanyak satu kali dan saksi AP membangunkan tubuh korban yang saat itu posisi sujud dengan kepala tersungkur dengan cara saksi AP mengangkat pundak korban dan setelah tubuh korban terbangun saksi AP memukul sebanyak dua kali ke bagian dada korban. Dan saksi FP mengambil sebilah golok yang selanjutnya menebas/membacok korban di bagian pipi korban sebelah kanan.

Bahwa kemudian pisau lipat milik terdakwa NP diambil terdakwa AS selanjutnya pisau tersebut tusukkan ke pipi kiri korban lalu pisau lipat tersebut diletakkan di pinggir kali sedangkan saksi FP memegang golok ditebaskan ke kening korban sebetah kanan. Sedangkan pisau lipat yang berada di pinggir kali yang dipakai menusuk korban diambil oleh terdakwa NP dibuang ke tengah kali Cipulir Jakarta Setatan.

Bahwa korban DM masih dalam posisi sujud dengan kepala tersungkur dan mereka terdakwa AS dan saksi (AP, MF dan NP, BF, FP) masih berada di kolong jembatan layang Cipulir tersebut, saat itu korban mengulet dan terpeleset jatuh nyemplung ke dalam kali Cipulir Jakarta Setatan. Selanjutnya oleh terdakwa AS bersama para saksi menarik korban dan menaikkan ke pinggir kali di bawah kolong jembatan layang yang kemudian korban terbangun dan bersandar ke pinggir tembok dan dudukan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menjelaskan syarat- syarat yang wajib dipenuhi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekolah yang memiliki sistem full day school tidak akan menimbulkan stres akademik pada siswa jika konsep full day school diterapkan dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Peran Amil dan Pegawai pencatat nikah dari KUA dalam mengatasi nikah tidak tercatat di kecamatan Sawangan Kota Depok

Pembatasan masalah berguna untuk memberikan suatu gambaran yang menjadi pusat perhatian dan permasalahan dalam penelitian hukum ini dan untuk menghindari adanya perluasan masalah

Sebab pada dasarnya penelitian ini berupaya untuk menggambarkan permasalahan terkait inkonsistensi putusan arbitrase BPSK dengan adanya mekanisme pengajuan keberatan

Pada penelitian ini, penulis menggunakan bahan analisis berupa Kontrak baku pada situs crowdfunding berbasis utang piutang yang beroperasi di Indonesia, yaitu pada

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan

.Menurut Imam Soepomo Imam Soepomo, kesehatan kerja mengacu pada aturan dan upaya yang dirancang untuk melindungi pekerja dari kerusakan yang dilakukan seseorang