• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802009134 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802009134 Full text"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN PERILAKU PADA MANTAN SANTRI PUTRI TERKAIT DENGAN ATURAN HIDUP DI PESANTREN

OLEH

FIRDHAILSA CINTORA 802009134

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Firdhailsa Cintora

Nim : 802009134

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Jenis Karya : Tugas Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hal bebas royalty non-eksklusif (non-exclusiveroyalty freeright) atas karya ilmiah saya berjudul :

PERUBAHAN PERILAKU PADA MANTAN SANTRI PUTRI TERKAIT DENGAN ATURAN HIDUP DI PESANTREN

Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan mengalihmedia/mengalihformatkan, mengola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Salatiga

Pada Tanggal : 19 Juni 2015 Yang menyatakan,

Firdhailsa Cintora

Mengetahui,

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Firdhailsa Cintora

Nim : 802009134

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :

PERUBAHAN PERILAKU PADA MANTAN SANTRI PUTRI TERKAIT DENGAN ATURAN HIDUP DI PESANTREN

Yang dibimbing oleh :

1. Drs. Aloysius L. S. Soesilo., MA 2. Dr. Chr. Hari Soetjiningsih, MS

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagaian tulisan atau gagasan lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta simbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya sendiri tanpa memberikan pengakuan terhadap penulis atau sumber aslinya.

Salatiga, 19 Juni 2015 Yang memberi pernyataan

(6)
(7)

PERUBAHAN PERILAKU PADA MANTAN SANTRI PUTRI TERKAIT DENGAN ATURAN HIDUP DI PESANTREN

Firdhailsa Cintora Aloysius L. Soesilo Chr. Hari Soetjiningsih

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(8)

i Abstrak

Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mengutamakan ilmu agama sebagai fondasi bagi individu dalam menjalani kehidupannya dan serta bertujuan untuk menghasilkan individu yang mendalam ilmu keislamannya. Namun tak jarang, fenomena yang terjadi saat ini beberapa mantan santri mengalami perubahan setelah lulus dari pesantren, terkait dengan perilaku yang tidak sesuai lagi dengan aturan-aturan saat di pesantren. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang membuat keterikatan mantan santri dengan aturan hidup di pesantren mengalami perubahan (sehubungan dengan melepas jilbab). Selain itu, penjelasan singkat mengenai bagaimana iman dipandang oleh mantan santri dalam kehidupannya dan bagaimana mantan santri putri memandang dirinya setelah keluar dari pesantren. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode pengambilan data yaitu wawancara dan observasi. Partisipan penelitian ini melibatkan tiga orang partisipan, dengan karakteristik mantan santri putri rentang usia 22-23 tahun dan tidak mengenakan jilbab selama 4-7 tahun sejak wawancara dilakukan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan (terkait dengan melepas jilbab) yang dialami oleh partisipan dikarenakan sudah tidak adanya lagi keterikatan mantan santri dengan aturan-aturan saat di pesantren, konformitas, pencarian identitas, serta tuntutan pekerjaan. Meskipun dalam hal cara berbusana mengalami perubahan, mereka tetap membawa ajaran-ajaran agama saat di pesantren, khususnya dalam hal iman yang diwujudkan dalam bentuk perilaku-perilaku seperti sholat, mengaji, dan berpuasa.

(9)

ii Abstract

Boarding school is as an educational institution that major the knowledge of religion as the

foundation for individuals to live, and aims to produce in-depth knowledge of Islamic.

However, it is not infrequently, a phenomenon that occurs is changing some of the

ex-students after graduating from boarding school at the time. It is contrast with behavior of

rules on boarding schools. The aim of this study to describe what makes being bound the

rules of living in boarding schools ex- students change (related to loose of the veil). In

addition, explain of how the faith is seen by ex-students in her life and how the ex-female

students looked her selves after leaving from boarding school. The method of this study is

using qualitative method and the technique for collecting data, such as: interview and

observation. Participants of this study involves three participants, with the characteristics of

ex-female students has range of age 22-23 years old and they haven’t wear the veil during the 4-7 years since the interview was conducted. The results showed the change (related to loose

of the veil) by the experienced participants of students is because there is no bound of

ex-student with the rules on boarding school, conformity, livelihood of self identity, and as well

as demands of the job. Although in terms of wearing of dress is changing, they are still

carrying what have taught of religion while at boarding schools, especially in matters of faith

has been formed of behaviors such as praying, reciting, and fasting.

Keywords: boarding school, ex-female students, a change of behavior, faith,

(10)

1

PENDAHULUAN

Agama adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan sosial yang dapat memengaruhi perilaku individu. Menurut Rajab (2012) agama merupakan panduan, pedoman, dan tentang aturan-aturan hidup agar kehidupan manusia kelak menjadi lebih baik. Di Indonesia saat ini, tidak jarang orangtua memasukkan sang anak ke pesantren dengan tujuan agar memiliki ilmu agama yang lebih baik dan kualitas iman yang mumpuni. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (1975) mengenai harapan orangtua santri terhadap anaknya bahwa orang-orang yang telah belajar di pesantren memperoleh manfaat, di mana alumni-alumni pesantren umumnya berhasil memiliki ilmu agama yang tinggai (49 %) atau mendapatkan status yang tinggi dalam masyarakat (48 %), sedangkan dari pihak alumni yang sempat diwawancarai pada umumnya (92%) tidak menyesal pernah belajar di pesantren. Alasan-alasan mereka adalah karena dalam pesantren, mereka merasa telah digembleng kepribadiannya (37%), karena pendidikan yang diperoleh dari pesantren, merupakan dasar yang cocok bagi pekerjaannya sekarang (32%), dan karena dari pesantren mereka sekarang mendapatkan kawan yang banyak (30%).

Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang menekankan dan mengutamakan pembelajaran keagamaan, sebagai fondasi bagi individu di dalam menjalani kehidupannya. Pada dasarnya fungsi sebuah pesantren adalah sebagai lembaga yang bertujuan mencetak muslim agar memiliki dan menguasai ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-diin) secara mendalam, serta menghayati dan mengamalkannya dengan ikhlas

(11)

2

pada pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri agar dapat menjadi orang-orang yang mendalam ilmu pengetahuan keislamannya, yang kemudian mereka mampu mengajarkannya kepada masyarakat setelah selesai menamatkan pendidikannya di pesantren.

Siswa atau siswi yang belajar di pesantren biasa disebut santri. Santri ialah sekelompok orang baik-baik yang taat pada aturan agama (Afikasari, 2011) atau seseorang yang belajar mendalami tentang Islam dan beribadat dengan sungguh-sungguh (Poerwadarminta, 1983). Semakin dalam santri mempelajari tentang Islam maka akan berpengaruh pada kualitas keimanannya. Ia akan memiliki iman yang kuat, segala sesuatu yang dilakukannya selalu mengandalkan Tuhan, dan menjadikan-Nya sebagai andalan hidup bagi dirinya (Hardjana, 1993).

(12)

3

setiap peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren, dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Misalnya saja, setiap santri diwajibkan untuk mengikuti kegiatan beribadah seperti sholat dan mengaji setiap hari di masjid, diwajibkan untuk berpenampilan yang menutup aurat, dan lain sebagainya.

Adanya perbedaan yang kontras antara lingkungan pesantren dengan lingkungan luar pesantren dapat memengaruhi mantan santri baik dalam bersikap maupun berperilaku. Seperti hasil wawancara yang dilakukan Afikasari (2011) terhadap alumni pesantren IMMIM Putri Pangkep, bahwa beberapa alumni pesantren berubah baik dari perilakunya terkait dengan penampilan, yaitu tidak lagi memakai pakaian seperti apa yang disyariatkan Islam. Hal tersebut terjadi dikarenakan tidak ada lagi keterikatan santri dengan peraturan yang dahulunya ditekankan dalam pesantren. Selain hal tersebut, kelompok bermain alumni santri putri yang tidak hanya dari kalangan pesantren yang sama, mengakibatkan adanya motif tertentu dalam diri mereka untuk mengimitasi gaya kelompok bermainnya. Sehingga terjadilah suatu perubahan dalam diri manusia itu sendiri, khususnya bagi alumni pesantren terkait dengan perilaku.

(13)

4

Smith, & Durant, dalam Han & Kim, 2012). Menurut Guzman (2009) tekanan kelompok dapat dilihat dari beberapa kondisi, yaitu tekanan untuk berpakaian dengan cara yang sama, tekanan untuk merubah cara pandang, tekanan untuk merubah gaya berpakaian, dan lain sebagainya. Martin & Hewstone (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) mengemukakan bahwa perubahan perilaku dapat terjadi karena adanya keinginan individu untuk disukai oleh kelompok. Penelitian yang dilakukan oleh Janes dan Olson (dalam Baron & Byrne, 2005) juga mengemukakan bahwa ketika seseorang merasa takut akan penolakan dari orang lain, mereka akan menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan konformitas. Konformitas sebagai salah satu cara bagi mantan santri putri menemukan identitasnya, mereka menyamakan diri dengan teman sebaya dalam hal berpakaian, bergaya, berperilaku, berkegiatan, dan sebagainya (Mahardhika, 2010). Individu melakukan konformitas karena ingin selalu merasa benar dan tepat di hadapan orang lain (Baron & Byrne, 2005), dengan cara tersebut mantan santri akan menemukan dan menetapkan akan seperti apa identitas dirinya.

(14)

5

positif atau negatif), dan akhirnya akan menetapkan yang cocok. Marcia (dalam Santrock, 2002) berpendapat bahwa teori identitas Erikson terdiri dari empat status identitas, yaitu: 1. Penyebaran Identitas (identity diffusion), istilah ini digunakan untuk menggambarkan remaja yang belum mengalami krisis (yaitu mereka belum menjajaki pilihan-pilihan yang bermakna) atau membuat komitmen apapun. 2. Pencabutan Identitas (identity foreclosure), isitilah ini digunakan untuk menggambarkan remaja yang telah membuat suatu komitmen tetapi belum mengalami suatu krisis. 3. Penundaan Identitas (identity moratorium), istilah ini digunakan untuk menggambarkan remaja yang sedang berada di tengah-tengah krisis, tetapi komitmen mereka tidak ada atau hanya didefinisikan secara samar. 4. Pencapaian Identitas (identity achievement), istilah ini digunakan untuk menggambarkan remaja yang telah mengalami suatu krisis dan sudah membuat suatu komitmen. Dengan demikian individu akan mampu mengantisipasi masa depannya tanpa kecemasan.

Selain itu, tuntutan pekerjaan juga dapat menjadi salah satu penyebab individu merubah perilakunya. Hal tersebut dapat terjadi apabila mantan santri putri memilih untuk bekerja setelah lulus sekolah dibandingkan melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya, yang mana dirinya harus mampu menyesuaikan diri terhadap pekerjaannya. Penyesuaian kerja tersebut tidak hanya mencakup deskripsi mengenai karakteristik kepribadian, tetapi juga memperhatikan identifikasi perubahan (Dawis, dalam Patton & McMahon, 1999). Misalnya, ketika mantan santri mendapatkan pekerjaan yang dituntut untuk merubah penampilannya, ingin atau tidak ingin mereka harus mengikuti tuntutan tersebut.

(15)

kewajiban-6

kewajiban dan menjauhi larangan-Nya. Dalam membuat keputusan hidup, iman dipandang sebagai dasar utama dari segala pertimbangannya dan tampil sebagai manusia yang berpendirian dan bertanggung jawab (Hardjana, 1993). Diharapkan mereka tidak akan mengalami kebingungan identitas seperti apa yang akan mereka tampilkan saat mereka keluar dari pesantren, karena iman menjadikan seseorang akan memiliki pendirian yang kuat mengenai apa yang mereka lakukan.

Dari deskripsi yang telah dipaparkan di atas, untuk memudahkan proses penelitian guna menghindari pembahasan yang terlalu luas diperlukan rumusan masalah. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah apa yang membuat keterikatan mantan santri dengan aturan hidup di pesantren mengalami perubahan? Bagaimana mantan santri putri memaknai dan menghayati iman yang telah diajarkan saat di pesantren, serta melihat atau memandang dirinya setelah keluar dari pesantren?

(16)

7

memperoleh insight dalam menghadapi lingkungan baru setelah keluar dari pesantren dan dapat memberikan pengetahuan mengenai hal-hal apa saja yang akan terjadi saat para santri keluar dari pesantren. Sedangkan bagi lembaga, penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi positif dan mampu mempersiapkan dan memberi pembekalan mengenai lingkungan sosial baru yang akan dihadapi oleh alumni santri.

METODE PENELITIAN

(17)

8

HASIL PENELITIAN

Dalam hasil penelitian ini akan dipaparkan data penelitian secara deskriptif yang terdiri dari beberapa sub heading, mengenai pengalaman partisipan penelitian sesuai dengan pertanyaan penelitian.

Perasan dan pengalaman partisipan saat berada di pesantren dan setelah keluar dari pesantren.

Memiliki banyak teman dapat membina hubungan baik serta mengenal setiap orangnya menjadi pengalaman yang berkesan bagi ketiga partisipan saat berada di pesantren.

Perasaan jenuh, malas, bosan, bingung dan tertekan dirasakan oleh partisipan saat berada di pesantren. Mereka mengakui jika segala aktivitas yang dilakukan di pesantren serba terbatas dan merasa tidak memiliki target dalam bidang akademik, prestasi, dan rencana masa depan. Mereka juga menilai jika dirinya tidak bersekolah di pesantren akan lebih banyak mendapatkan teman dari sekolah-sekolah lain. Ungkapan berbeda dinyatakan oleh P3 bahwa dirinya lebih nyaman ketika berada di pesantren karena merasa tidak kesepian, mendapatkan perhatian dan mampu berbagi cerita dengan teman-temannya, daripada setelah keluar dari pesantren. Hal itu disebabkan oleh hubungan yang kurang baik antara ia dan orangtua yang menurutnya lebih memperhatikan dan menyayangi sang adik ketimbang dirinya. Perasaan khawatir dan jengkel sempat dirasakan P2 sebelum dirinya masuk pesantren, karena kondisi keluarga yang serba kekurangan saat itu dan sikap yang tidak menyenangkan dari pihak pesantren terhadap keluarganya.

(18)

9

segi penampilan dan kedisiplinan. Kurangnya dukungan dari orangtua terhadap P2 dan P3 setelah keluar dari pesantren membuatnya merasa canggung dan bingung terkait apa yang akan dilakukan setelah lulus dari pesantren. Perasaan bersyukur dirasakan oleh P1 setelah keluar dari pesantren karena ia menemukan dunia yang sebenarnya. Dunia sebenarnya yang dimaksud ialah ia harus mampu berkompetisi, memiliki prestasi dan tidak menjadi orang yang biasa-biasa saja.

Perubahan perilaku sehubungan dengan jilbab

Keputusan merubah perilaku pada ketiga partisipan dialami dengan proses yang berbeda beda. P1 memutuskan untuk menanggalkan jilbabnya setelah dua minggu dirinya lulus dari pesantren. Bagi P2, saat dirinya diterima di sebuah perusahaan yang menetapkam aturan yang tidak boleh mengenakan jilbab membuat dirinya ingin atau tidak ingin mengikuti aturan itu, walaupun sempat dalam kondisi terkadang melepas dan memakai jilbab membuat ia merasa malu dengan lingkungan sekitar terkait dengan perilakunya itu. Meskipun pada dasarnya terdapat niat ingin benar-benar mengenakan jilbab, ia merasa masih belum memiliki pendirian yang kuat untuk mengambil keputusan tersebut dan dari pihak keluargapun juga tidak memberi dukungan kepada dirinya. Perasaan risih dan tidak nyaman dialami oleh P2 saat dirinya pertama kali memutuskan untuk menanggalkan jilbab. Namun seiring berjalannya waktu ia menjadi terbiasa dengan penampilannya yang baru. Bagi P3 dirinya menanggalkan jilbab ketika dirinya masih bersekolah di pesantren saat waktu liburan, hal tersebut ia lakukan karena melihat keluarganya tidak berpenampilan seperti dirinya yang mengenakan jilbab.

(19)

10

mengenakan jilbab, karena menurutnya seseorang yang memutuskan untuk mengenakan jilbab haruslah dapat menjaga sikap, baik dalam hal berbicara dan bertingkah laku. Perubahan tersebut terjadi setelah beberapa minggu mereka merasakan euforia kelulusan dari pesantren. Bagi mereka memakai jilbab saat berada di pesantren hanya untuk mengikuti aturan yang ditetapkan oleh pihak pesantren.

Alasan lain yang diutarakan oleh P1 terkait dengan perubahan dirinya yaitu ingin mencari jati diri dan menentukan identitas diri karena ia merasa tidak menjadi dirinya sendiri ketika bersama orang lain yang tidak benar-benar dikenalnya. Perubahan dalam dirinya juga diakui sebagai bentuk pemberontakan olehnya, karena ia merasa jenuh dan capek selama enam tahun sekolah di pesantren, serta hidup sesuai dengan aturan membuat dirinya berhak untuk melepas jilbab. Bagi P3, dengan dirinya melepas jilbabnya ia tidak akan terlihat kaku dan lebih diterima oleh lingkungan sekitarnya. Kaku yang dimaksud dirinya ialah tidak ingin orang lain (non muslim) memandang negatif agamanya.

Pandangan dan pemaknaan mengenai iman pada partisipan.

(20)

11

karena merasa tidak memiliki pondasi yang kuat dan kurang memahami makna iman yang sebenarnya.

Bentuk-bentuk perilaku terkait dengan iman ditunjukkan oleh P1 dan P3 dengan cara tetap menjalankan sholat lima waktu, mengaji dan berpuasa. Meskipun demikian, mereka mengakui ada kalanya saat berada pada situasi dan kondisi tertentu seperti perasaan sedang tidak mood atau sedang dalam masalah, memilih untuk meninggalkan kewajiban tersebut dan mencari cara lain. Ungkapan menarik diakui oleh P3 bahwa saat dirinya merasa sedang dalam masalah, ia cenderung melampiaskan dengan meminum minuman yang beralkohol. Hal tersebut tidak hanya terjadi ketika sedang ada masalah, ajakan teman-teman juga terkadang membuat dirinya menerima ajakan tersebut. Dirinya beralasan bahwa ini salah satu bentuk sikap toleran dalam agamanya, sehingga ia tidak terlalu terlihat kaku di hadapan teman-temannya. Perasaan takut akan dosa sempat dirasakan olehnya, namun lama kelamaan menjadi terbiasa dan tetap membatasi diri. Ia menyadari belum sepenuhnya melaksanakan perintah-Nya dari segi perilaku dan ia siap menerima konsekuensi untuk ke depannya.

(21)

12

untuk menjalankan kewajibannya sebagai umat muslim, selain karena keterbatasan mengurus anak juga karena mengurus suami. Baginya iman adalah kesetiaan, menuruti, menjalankan dan menjauhi larangan-Nya dan hal tersebut tidak hanya berlaku hanya kepada Tuhan namun juga kepada sang suami.

Pandangan mengenai identitas diri

Bagi P1 dan P2 keputusan untuk menanggalkan jilbab setelah keluar dari pesantren menjadi pilihan mereka dalam menentukan identitas diri yang sebenarnya. Untuk saat ini kedua partisipan merasakan kenyamanan dan lebih percaya diri terkait dengan penampilannya. Gaya bertutur kata dan bercanda yang terkadang berlebihan, membuat mereka belum siap untuk memakai jilbab. Menurut P3, aktivitas saat di pesantren yang serba dilakukan sendiri mulai dari memasak, mencuci, menyetrika dan kegiatan sehari-hari lainnya terbawa sampai dirinya lulus dan sampai saat ini dirinya merasa menjadi individu yang lebih mandiri, karena kebiasaan yang dilakukan sebelumnya. Identitas diri terkait dengan penampilan yaitu melepas jilbab dirasa lebih nyaman saat P3 dapat menyesuaikan diri pada situasi dan kondisi yang terjadi saat itu dengan harapan agar dirinya tidak dikatakan sebagai anak yang susah bergaul dan dapat diterima dalam lingkungan sekitarnya.

PEMBAHASAN

(22)

13

Brooten (dalam Afikasari, 2011) merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu atau seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya, dan merupakan proses yang menyebabkan perubahan pola perilaku individu atau institusi. Empat perubahan itu adalah pengetahuan, sikap, perilaku individual, dan perilaku kelompok.

Perubahan yang terjadi pada mantan santri disebabkan oleh empat hal, yaitu tidak terikat lagi dengan aturan pesantren, konformitas, pencarian jati diri, serta tuntutan pekerjaan. Perubahan yang dialami partisipan dapat disebabkan karena sudah tidak adanya lagi aturan-aturan yang mengikatnya setelah keluar dari pesantren.

Udah naatin peraturan tapi ketika kita masa remaja masih.. maksudnya masih manja-manjanya sebenernya itu butuh, lebih butuh untuk main-main, bener-bener kita masuk ke lingkungan, di lingkungan itu kita di direct harus begini begitu. Aku merasa jenuh, jengah. Jadi aku merasa ya gue berhak.. gue berhak melepas jilbab karena gue capek, gitu”.

Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Afikasari (2011) terhadap alumni pesantren khususnya putri, berubah dari segi penampilan, yaitu tidak lagi memakai pakaian seperti yang disyariatkan pada nilai-nilai Islam. Hal tersebut terjadi karena tidak ada lagi keterikatan santri dengan aturan yang dahulunya ditekankan dalam pesantren.

Menurut Janes & Olson (dalam Baron & Barney, 2005) perubahan perilaku biasanya terjadi ketika individu merasa takut akan penolakan dari orang lain, sehingga dirinya akan menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan konformitas.

(23)

14

Keinginan diri yang tidak mau terlihat kaku di hadapan teman-teman serta timbul perasaan akan takut penolakan menjadikan partisipan cenderung melakukan konformitas.

Dawis (dalam Patton & McMahon, 1999) mengemukakan bahwa penyesuaian kerja atau karir tidak hanya mencakup deskripsi mengenai karakteristik kepribadian, tetapi juga memperhatikan identifikasi perubahan.

“Ya namanya orang lagi kepepet ya, daripada luntang-lantung, dapet kerjaan begitu dengan syarat.. istilahnya.. ya udah aku buka toh”.

Perubahan tersebut tidak hanya dalam hal kecepatan individu mulai berinteraksi dengan lingkungan kerja, daya tahan individu berada dalam interaksi dari waktu ke waktu, tetapi juga perubahan penampilan, seperti misalnya aturan perusahaan yang menetapkan karyawannya untuk tidak mengenakan jilbab.

Partisipan dalam penelitian masuk dalam kategori dewasa awal, yang mana

dalam masa tugas perkembangan sebelumnya akan mengalami tahap dimana mereka akan ditantang untuk menemukan siapa dirinya, yang terjadi pasa masa remaja. Identitas menurut Erikson (1989) ialah suatu kesatuan pada diri yang terbentuk dari pengalaman masa lalunya secara kontinu dan terus menerus, untuk menemukan gambaran dirinya baik yang dipaksakan oleh orang lain maupun tidak, tentang siapakah aku sekarang, apa keunikanku, apa yang aku inginkan pada saat mendatang.

“Aku ingin mmm… aku ingin kembali lagi ke nol, dalam arti ke nol itu aku ingin mencari diri aku sendiri. Jadi seorang aku itu kayak gimana sih? Mmm..mmm.. dia lebih nyaman pakai jilbab, lebih nyaman tampil cewek-cewek yang pakai jilbab atau tidak pakai jilbab. Aku tuh saat ini sedang mencari seperti itu, aku nyamannya dimana. Dan ternyata aku nyaman untuk tidak pakai jilbab, gitu”.

(24)

15

peningkatan pilihan identitas berlangsung secara baik dan mereka menjadi lebih yakin dengan identitasnya (Pals, dalam Santrock, 2002).

Pada dasarnya partisipan memang belum siap untuk benar-benar mengenakan jilbab, mengingat diri mereka yang terkadang masih belum mampu untuk menjaga sikap. Perasaan lebih percaya diri dan nyaman dirasakan oleh partisipan terkait dengan identitas yang ia tampilkan saat ini, yaitu tidak mengenakan jilbab.

Meskipun partisipan mengalami perubahan dalam hal perilaku, mereka masih membawa ajaran-ajaran saat di pesantren, khususnya dalam hal iman. Bagi mereka iman ialah percaya dengan adanya Tuhan, iman dipandang sebagai dasar utama dalam mempertimbangkan segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Hardjana (1993) individu yang beragama menghayati dan mewujudkan iman dalam dunia nyata dibedakan menjadi 2 macam, yaitu iman ekstrinsik dan intrinsik. Bentuk-bentuk perilaku yang ditunjukkan terkait dengan pemaknaan iman yang telah diajarkan saat di pesantren pada partisipan hingga saat ini ialah sholat lima waktu, mengaji, dan berpuasa. Namun, di sisi lain partisipan menyadari saat timbul rasa malas dan sedang dalam masalah, mereka cenderung meninggalkan kewajibannya dan mencari cara yang lain.

“Ya ketika aku.. biasanya sih kondisi sih.. kondisi lagi bad mood. Pas kondisi lagi bad mood lebih memilih untuk diem di kasur tidur gitu sih.”,“Sometimes itu tadi aku minum, kadang sih mungkin kalau lagi ada masalah, terus buntu biasanya memang aku pelariannya kesitu”.

Pada dasarnya bentuk perwujudan iman yang dimiliki partisipan hanyalah sekedar untuk mendapatkan pemenuhan psikologis, yaitu rasa aman, nyaman, dan dilindungi.

(25)

16

karena iman bagi mereka adalah privasi untuk dirinya sendiri, dan juga karena mereka tidak benar-benar mengetahui makna iman yang sebenarnya, sehingga tidak banyak yang dapat diungkap terkait dengan pemaknaan iman yang dimiliki partisipan.

Pada dasarnya peranan orangtua sangat penting dan besar ketika memutuskan untuk memasukkan sang anak ke dalam pondok pesantren, yang tentunya harus disertai dengan komunikasi antara kedua belah pihak mengenai tujuan orangtua memasukkan anak ke pesantren, dengan harapan tidak terdapat rasa keterpakasan pada sang anak untuk masuk pesantren.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

(26)

17

iman yang dimiliki partisipan hanyalah sekedar untuk mendapatkan pemenuhan psikologis, yaitu rasa aman, nyaman, dan dilindungi.

Perubahan perilaku terkait dengan menanggalkan jilbab setelah keluar dari pesantren menjadi keputusan bagi partisipan dalam menentukan identitas diri yang sebenarnya. Mereka merasa lebih percaya diri dan nyaman dengan penampilan baru yang mereka tampilkan saat ini.

Saran

(27)

18

(28)

19

DAFTAR PUSTAKA

Afikasari, A. N. (2011). Perilaku sosial alumni pesantren (Studi kasus 8 alumni Pondok Pesantren IMMIM Putri Pangkep).

http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/843. Diunduh tanggal 9 Februari 2013.

Baron, R. A., & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial (jilid 2, Edisi Kesepuluh). Jakarta: Erlangga.

Erikson, E. H. (1989). Identitas dan siklus hidup manusia (Bunga Rampai I). Jakarta: PT Gramedia.

Guzman, M. R. T. (2007). Peer pressure: An overview. In L. Savage (Ed), Peer pressure (pp. 11-19). Farmington Hills: Greenhaven Press

Han, S. Y., & Kim, Y. H. (2012). Interpersonal rejection experiences and shame as predictors of susceptibility to peer pressure among Korean children. Social Behavior and Personality,40(7), 1213-1232.

Hardjana, AM. (1993). Penghayatan agama: Yang otentik dan tidak otentik. Yogyakarta: Kanisius

Herdiansyah, H. (2012). Metodologi penelitian kualitatif (untuk ilmu-ilmu sosial). Jakarta: Salemba Humanika

Kasali, R. (2005). Change! “Tak peduli berapa jauh jalan salah yang telah anda jalani, putar arah sekarang juga”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mahardhika, P. (2010). Hubungan konformitas teman sebaya dengan perilaku konsumtif tehadap produk distro pada remaja di Salatiga. Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi UKSW.

Masrifah. (2011). Internalisasi nilai-nilai akhlak pada santri di Pondok pesantren putri Al-Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes.

http://library.walisongo.ac.id/digilib/download.php?id=19645. Diunduh tanggal 7 Februari 2013.

Patton, W., & McMahon. M. (1999). Career develompment and systems theory: a new relationship. Canada: Brooks/Cole Publishing Company.

Poerwadarminta. (1983). Kamus umum bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rahardjo , M. D. (ed). (1985). Pergulatan dunia pesantren: membangun dari bawah. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Rajab, K. (2012). Psikologi agama. Yogyakarta: Aswaja Presindo

(29)

20

Sudjoko Prasodjo, M., M. Zamroni, M., Mastuhu, S. G., Madjid, N., Rahardjo, M. D. (1975). Profil pesantren (laporan hasil penelitian pesantren Al-Falak dan delapan pesantren lain di Bogor. Jakarta: LP3S

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian yang terkait dengan penerapan PSAK 48 (revisi 2009) ini akan mendeskripsikan industri dan sub sektor mana yang mengungkapkan kepemilikan goodwill ,

Setiap gambar di dalam halaman yang sudah disintesa, kini dapat dirubah orientasinya dengan mudah. Perubahan orientasi pada gambar dapat dilakukan dengan

persen dari total sampel yang mengalami peningkatan penjualan dengan rata-rata sebesar Rp.. Hasil

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara perilaku sehat dengan afek negatif. Kemudian hubungan variabel spiritualitas dengan aspek kepuasan hidup

HUBUNGAN ANTARA KEBERMAKNAAN HIDUP DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING (PWB) PADA SISWA SMA.. NEGERI 5

pribadi dan dimensi tujuan hidup tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan

Menurut Bastaman (2007) menjelaskan bahwa kebermaknaan hidup remaja adalah pintu menuju kepuasan dan kebahagiaan hidup, seperti kebermaknaan hidup individu yang

orang yang dikatakan sakit akan mempunyai makna hidup yang sama dengan.. orang yang