• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Toba. Bahasa Batak Toba sebagai bahasa ibu sekaligus bahasa sehari-hari sering

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Toba. Bahasa Batak Toba sebagai bahasa ibu sekaligus bahasa sehari-hari sering"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang

Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang ditetapkan oleh pemerintah di negara kita sebagai alat komunikasi resmi. Selain bahasa Indonesia masyarakat juga masih menggunakan bahasa daerah, misalnya, bahasa Batak Toba. Bahasa Batak Toba sebagai bahasa ibu sekaligus bahasa sehari-hari sering dipakai dalam hubungan formal maupun tidak formal. Namun, sering juga bahasa Batak Toba digunakan dalam situasi resmi atau dinas, seperti di kantor-kantor pemerintahan dan di sekolah-sekolah. Sebagai bukti, dalam dunia pendidikan formal di Sekolah Dasar mulai dari kelas satu sampai kelas tiga dibimbing dengan menggunakan bahasa daerah.

Bahasa daerah merupakan salah satu puncak kebudayaan daerah yang harus dilestarikan sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia. Bahasa Batak Toba termasuk aset kekayaan linguistik kebudayaan Indonesia. Bahasa ini mempunyai peranan dan tugas yang sama dengan bahasa daerah lain terhadap perkembangan bahasa Indonesia, baik sebagai faktor penunjang maupun sebagai sumber bahan khususnya untuk menambah kosakata bahasa Indonesia.

Perkembangan bahasa Batak Toba juga dipengaruhi besarnya jumlah penutur bahasa Batak Toba. Penutur bahasa ini diperkirakan sekitar lima juta orang (Biro Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, 2006). Namun, perlu dipertegas bahwa penutur bahasa Batak Toba adalah semua masyarakat suku

(2)

Batak Toba dan masyarakat suku lain yang tinggal di Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Samosir.

Secara geografis masyarakat penutur bahasa Batak Toba terletak pada Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Utara, Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir, Kabupaten Daerah Tingkat II Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Daerah Tingkat II Samosir yang berada di bagian tengah wilayah Provinsi Sumatera Utara, yakni di punggung Bukit Barisan yang terletak antara 10

20’ – 20 4’ Lintang Utara dan 98010’ – 90035’Bujur Timur (Biro Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, 2006).

Keempat kabupaten yang didiami oleh masyarakat Batak Toba ini berbatasan dengan tujuh Kabupaten Daerah Tingkat II di Provinsi Sumatera Utara dan satu Kabupaten Daerah Tingkat II di Provinsi D I Aceh. Di sebelah Utara, Kabupaten Daerah Tingkat II berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi, Kabupaten Daerah Tingkat II Karo, Kabupaten Daerah Tingkat II Simalungun; di sebelah timur, berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Asahan dan Kabupaten Daerah Tingkat II Labuhan Batu; di sebelah selatan, berbatasan dengan Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Selatan; dan di sebelah barat, berbatasan dangan Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Selatan (Biro Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, 2006). Berdasarkan keempat Kabupaten tersebut, lokasi penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti berada di Daerah Tampubolon, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir.

Peran semantis merupakan peran yang terdapat pada argumen predikat, yang menawarkan pelaku dan penderita untuk menerangkan relasi semantis diantara predikat dan argumennya. Pelaku adalah argumen yang mengekspresikan

(3)

partisipan yang membentuk, mempengaruhi, atau mengendalikan situasi yang dinyatakan predikat, sedangkan penderita adalah argumen yang mengekspresikan partisipan yang tidak membentuk, tidak mengawali, tidak mengendalikan situasi, tetapi dipengaruhi oleh tindakan verbanya. Pelaku dan penderita merupakan peran umum yang di dalamnya terlibat peran-peran khusus seperti agen, pasien, pemengaruh, lokatif, dan tema. Kedua peran ini tidak akan berubah meskipun manifestasi sintaksisnya berbeda (Foley dan Van Valin, dalam Mulyadi, 1998).

Agen merupakan pelaku dan pelaksana dari sebuah tindakan, ada unsur kendali atau kesengajaan. Tema merupakan entitas yang tidak dikenai pekerjaan, yang dapat ditempatkan dan mengalami perubahan lokasi. Perubahan yang terjadi pada tema bukan atas kehendak dari entitas itu sendiri. Pemengaruh merupakan entitas yang mempunyai karakteristik yang sama dengan agen, bedanya adalah agen bertindak secara langsung mengenai penderita, sedangkan pemengaruh tidak. Lokatif merupakan entitas yang menerangkan tempat atau lokasi di mana sebuah peristiwa tejadi. Pasien merupakan sasaran yang dikenai oleh agen sebagai pelaku (Foley dan Van Valin, dalam Defri Yenni,1999:31-34).

Penelitian terhadap bahasa Batak Toba telah banyak dilakukan oleh para ahli bahasa. Beberapa diantaranya yaitu Marlinang Sibuea (1979) Morfologi

Bahasa Batak Toba Dialek Uluan yang memberikan gambaran tentang morfem,

reduplikasi, dan persenyawaan bahasa Batak Toba. Sibarani (1997) dalam bukunya Sintaksis Bahasa Batak Toba yang membahas tentang frase, klausa, dan kalimat bahasa Batak Toba. Sinaga (2002) dalam bukunya Tata Bahasa Batak

Toba membahas kata kerja bahasa Batak Toba serta pembentukan kata kerja di

(4)

Dendy Sugono (1994) dalam bukunya Verba dan Komplementasinya mendefenisikan verba dari segi maknanya, yaitu kata yang menyatakan suatu perbuatan (tindakan atau gerak), proses, dan keadaan. Misalnya, verba ‘melempa-, rkan’ mengandung pengertian gerakan yang ditimbulkan oleh tindakan seseorang yang ditujukan kepada orang atau sesuatu yang lain, dan sifatnya aktif, sedangkan verba ‘layu’, mengandung pengertian tidak segar lagi dan pucat yang merupakan suatu proses yang memberikan perubahan dari satu keadaan menjadi keadaan yang lain. Berbeda dengan verba ‘sakit’ yang mengandung pengertian penderitaan atau menderita sesuatu yang mendatangkan perasaan tidak nyaman pada tubuh atau bagian tubuh hingga tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002).

Peran semantis verba sudah banyak diteliti oleh para ahli bahasa. Misalnya, penelitian yang pernah dilakukan oleh Mulyadi (1997) yang berjudul

Struktur Semantis Verba Tindakan Bahasa Indonesia menyatakan bahwa setiap

bahasa memiliki ribuan kosakata yang dapat diklasifikasikan ke dalam sejumlah kategori atau kelas gramatikal. Anggota dari setiap kategori biasanya diberi nama yang sama karena adanya persamaan perilaku semantis yang merefleksikan makna secara umum. Dalam arti bahwa bahasa itu memiliki banyak kosakata yang dapat digolongkan ke dalam kelas kata yang berbeda, misalnya, kelas kata verba, kelas kata benda, kelas kata sifat. Salah satunya dapat dilihat pada kategori verba. Dalam kategorisasi itu verba bahasa Indonesia digolongkan menjadi tiga kelas yaitu tindakan, proses dan keadaaan. Verba tindakan merupakan suatu perbuatan yang dilakukan. Verba proses menyatakan adanya suatu perubahan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Verba keadaan merupakan verba yang paling dasar

(5)

dibandingkan dengan verba proses dan verba tindakan yang menyatakan sifat atau perihal yang dirasakan. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, kategori verba dimanifestasikan pada verba tindakan, misalnya, berenang dan berjalan, verba proses, misalnya, tenggelam dan patah dan verba keadaan, misalnya, marah dan

percaya (Tampubolon dalam Mulyadi,1998).

Mulyadi (1998) yang berjudul Struktur Semantis Verba Bahasa Indonesia yang mengkaji verba bahasa Indonesia. Dia menggolongkan verba bahasa Indonesia atas keadaan, proses, dan tindakan. Ketiganya mempunyai kelas bawahan tersendiri. Relasi semantis verba keadaan ialah lokatif – tema, kecuali verba persepsi yang sengaja, yang memiliki relasi agen – tema. Partisipan pada verba proses berperan sebagai penderita, dan peran ini diderivasi menjadi pasien dan tema. Pada verba tindakan, pelaku berperan sebagai agen, sementara penderita diderivasi menjadi lokatif, tema dan pasien.

Defri Yenni (1999) dalam skripsinya Peran Semantis Verba Bahasa

Minangkabau mengatakan bahwa klasifikasi struktur semantisnya verba bahasa

Minangkabau dibagi menjadi tiga bagian yaitu verba keadaan, verba proses dan verba tindakan. Dia juga menggambarkan bagaimana relasi semantis verba bahasa Minangkabau.

Struktur dan Peran Semantis Verba Ujaran Bahasa Bali oleh Beratha

(2000) mengemukakan bahwa teori macro-role digunakan untuk menjelaskan peran umum yang dimiliki oleh argumen-argumen verba, dan peran umum ini dapat memiliki peran-peran khusus. Dia juga mengatakan bahwa Peran Semantis Verba Ujaran Bahasa Bali yang dapat memiliki peran khusus seperti agen,

(6)

pemengaruh, atau lokatif adalah pelaku, sedangkan yang mempunyai peran khusus sebagai pasien, tema, atau lokatif adalah penderita.

Selain itu, terdapat juga peneliti lain seperti Masreng (2002) dengan judul

Struktur dan Peran Semantis Verba Duduk dalam Wacana Kebudayaan Kei yang

mengemukakan bahwa verba duduk dalam bahasa Kei memiliki peran semantis agen, tema, dan pasien. Dia juga mengatakan bahwa struktur semantis verba duduk dalam bahasa Kei mengalami perubahan makna sesuai dengan konteks wacana kebudayaan dimana verba tersebut digunakan.

Verba Bahasa Bali Sebuah Kajian Peran Semantik oleh Sudipa (2005)

mengemukakan bahwa di dalam penelitiannya ditemukan adanya peran semantik yang berlapis, terutama pada verba tindakan, tipe melakukan yang berpolisemi dengan perpindahan.

Bahasa Indonesia dalam kajian semantiknya menempatkan verba sebagai sesuatu yang bersifat sentral. Dikatakan demikian karena secara semantik verba selalu hadir dalam tuturan berdasarkan fitur semantisnya. Verba dalam bahasa Indonesia menentukan kehadiran argumen dan memiliki kewenangan menentukan peran-peran semantis yang ada pada setiap argumen yang menyertainya (Sudipa, 2005). Maksudnya ketika kita mengetahui jenis verba yang ada, maka kita langsung dapat menentukan bentuk peran semantisnya. Jelaslah sebuah verba berperan sentral dalam kalimat dan tipe verbanya menentukan peran semantis partisipan yang mendampinginya.

Berdasarkan uraian di atas, sejauh pengamatan peneliti sampai saat ini belum ada ahli bahasa yang membahas peran semantis verba dalam bahasa Batak Toba. Hal yang menarik bagi peneliti sendiri, dalam bahasa Batak Toba terdapat

(7)

kata yang memiliki makna yang sama, namun penggunaannya berbeda, khususnya pada bunyi a dan bunyi i, yang terdapat pada kata ‘manaba’ dan ‘manabi’ dan memiliki makna yang sama yaitu ‘memotong’. Di samping itu, teori ini masih merupakan teori baru dalam pembelajaran linguistik Indonesia. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang peran semantis verba dalam bahasa Batak Toba, sehingga diketahui bagaimana bentuk peran semantis verba yang terdapat pada verba tindakan, verba proses, dan verba keadaan dalam kajian bahasa Batak Toba. Adapun penelitian ini berjudul Peran Semantis Verba Bahasa Batak Toba.

1.1.2 Masalah

Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah klasifikasi verba dalam bahasa Batak Toba berdasarkan kajian semantik?

2. Bagaimanakah bentuk peran semantis verba dalam bahasa Batak Toba?

1.2 Batasan Masalah

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini terbatas pada klasifikasi verba berdasarkan semantik dan bentuk peran semantik yang terdapat dalam kalimat tunggal bahasa Batak Toba. Dalam menentukan bentuk peran semantik verba bahasa Batak Toba dikaji berdasarkan peran dari agen, pemengaruh, tema, lokatif, dan pasien dengan cara menentukan kelas verba yang dilekatinya.

(8)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitan 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai dua tujuan yakni:

1. Mendeskripsikan klasifikasi verba bahasa Batak Toba berdasarkan kajian semantik.

2. Mendeskripsikan bentuk peran semantis verba bahasa Batak Toba.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut.

1. Secara teoretis hasil penelitian ini dapat menambah khazanah penerapan teori semantik dalam bahasa Batak Toba.

2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan mengenai peran semantis verba baik oleh penutur bahasa Batak Toba maupun penutur bahasa lainnya yang menggunakan bahasa Batak Toba.

3. Hasil penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan peneliti mengenai peran semantis yang terdapat dalam bahasa Batak Toba.

1.4 Metode Penelitian

1.4.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh data yang benar dan terjamin kesahihannya. Dalam pengumpulan data diperoleh data lisan dan data tulis. Data tulis yaitu mencari buku-buku yang menjadi sumber data, terutama yang berhubungan dengan kata kerja. Dalam pengumpulan data lisan digunakan metode wawancara. Pengumpulan data lisan

(9)

ini akan dilakukan di Desa Tampubolon, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir. Dengan metode ini peneliti terlibat langsung dalam percakapan dengan narasumber (penutur bahasa Batak Toba). Teknik yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data lisan adalah dengan menggunakan teknik sadap, yaitu peneliti menggunakan segenap kemampuannya untuk menyadap pembicaraan seseorang atau beberapa orang yang menggunakan Bahasa Batak Toba (Sudaryanto 1993 :133). Pemilihan narasumber didasarkan pada persyaratan-persyaratan yang dikemukakan Mahsun (1995:106) sebagai berikut.

1. Berusia antara 25-65 tahun.

2. Lahir dan dibesarkan di daerah penelitian.

3. Berpendidikan maksimal tamatan pendidikan dasar (SD-SLTP). 4. Memiliki kemampuan menggunakan bahasa daerahnya.

5. Dapat berbahasa Indonesia.

6. Sehat jasmani (tidak cacat berbahasa dan memiliki pendengaran yang baik) dan sehat rohani (tidak gila atau pikun).

Untuk mendapatkan data tulis digunakan metode simak (Sudaryanto, 1993: 133-136) yaitu peneliti menyimak atau memperhatikan penggunaan bahasa Batak Toba. Sumber data tertulis dalam penelitian ini bersumber dari buku

Dongan tu Ulaon Adat (Sihombing 1989); Tata Bahasa Batak Toba (Sinaga,

2002); Sintaksis Bahasa Batak Toba (Sibarani, 1997); dan Kamus Bahasa Batak

Toba-Indonesia (Warneck, 2001).

Metode simak ini didukung oleh teknik catat yaitu teknik yang dilakukan dengan cara mencatat data tertulis dan data lisan yang didapat dari berbagai metode yang digunakan. Data yang dianggap relevan dicatat kemudian dipilah untuk mempermudah identifikasi dan analisis. Selain itu, peneliti sebagai penutur asli bahasa Batak Toba, juga menggunakan data intuitif, yaitu data yang berasal dari pengetahuan peneliti sendiri.

(10)

Misalnya :

(1) Malandit dalan dung ro udan. Beta hita borhat, unang sai majongjong. (TBBT:21)

’Jalan menjadi licin sesudah datang hujan. Mari kita berangkat,jangan terus berdiri’.

(singkatan di belakang kalimat merujuk pada sumber data dan angka mengacu nomor halaman)

(2) Ahu mangarimpu ibana do na manangko hepeng ni donganna i. ‘Aku menduga bahwa dialah yang mencuri uang temannya itu’.

Data tersebut dipilah menjadi

(1) a. Malandit dalan dung ro udan. ‘Jalan menjadi licin sesudah datang hujan.’ b. Beta hita borhat, unang sai majongjong. ‘Mari kita berangkat, jangan terus

berdiri.’

1.4.2 Metode dan Teknik Pengkajian Data

Pada tahap pengkajian data digunakan dua metode yaitu metode padan dan metode agih (Sudaryanto, 1993:13-16). Pertama, metode padan yang digunakan itu berdasarkan referen bahasa itu sendiri khususnya dalam hal menentukan klasifikasi verba dalam bahasa Batak Toba. Misalnya, verba tindakan, verba

manampathon ‘melemparkan’, verba proses, verba maropuk ‘hancur’, dan verba

keadaan, verba muruk, ‘marah’ diklasifikasikan ke dalam kelas yang berbeda sebab ekspresi verba tersebut mengacu pada peristiwa yang berbeda.

(11)

(3) Manampathon bola si Togar. ‘Melemparkan bola si Togar’ Si Togar melemparkan bola. (4) Marobur artana. (TBBT :19) ‘Hancur hartanya’

Hartanya hancur.

(5) Muruk inongna tu ahu. ‘marah ibunya pada aku’

Ibunya marah padaku..

Contoh (3) di atas dapat kita kelompokkan ke dalam satuan-satuan lingual yaitu, verba manampathon ‘melemparkan’ tergolong verba tindakan yang sekaligus menduduki fungsi sebagai predikat. Bola menduduki fungsi sebagai objek, sedangkan si Togar menduduki fungsi sebagai subjek. Contoh (4) yaitu, verba marobur ‘hancur’ tergolong verba proses yang sekaligus menduduki fungsi sebagai predikat, sedangkan verba artana ‘hartanya’ menduduki fungsi sebagai subjek. Demikian juga contoh (5) yaitu verba muruk ‘marah’ tergolong verba keadaan yang sekaligus menduduki fungsi sebagai predikat, sedangkan kata

inongna ‘ibunya’ menduduki fungsi sebagai subjek. Kedua, metode agih yakni

metode yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mengagihkan atau mengelompokkan kata ke dalam satuan-satuan lingual. Metode ini menggunakan teknik dasar berupa teknik bagi unsur langsung, dan teknik lanjutan berupa teknik sisip, teknik perluas, teknik ubah wujud, teknik lesap, teknik ganti, dan teknik balik.

(12)

Teknik lesap digunakan untuk melesapkan unsur tertentu agar diketahui kadar keintian unsur yang dilesapkan. Misalnya, marlangan bohina ‘mukanya pucat’, apabila dilesapkan menjadi marlangan ‘pucat’, maka bentuknya menjadi tidak gramatikal.

Teknik perluas dilaksanakan dengan memperluas satuan lingual yang bersangkutan dengan menggunakan unsur tertentu. Misalnya, manampathon bola

si Togar ‘melemparkan bola si Togar’, dapat diperluas dengan kata sangajo ‘dengan sengaja’ menjadi sangajo manampathon bola si Togar ‘dengan sengaja si

Togar melemparkan bola. Struktur seperti ini dapat berterima secara sintaksis dan semantik dalam bahasa Batak Toba. Akan tetapi penggunaan kata sangajo ‘sengaja’ pada kalimat di bawah ini tidak berterima secara semantis karena adanya verba mangintip ‘mengintip’, sebab verba mangintip ‘mengintip’ sudah menyatakan tindakan yang dilakukan secara sengaja. Sehingga tidak perlu lagi diperluas dengan kata sangajo ‘sengaja’. Misalnya, *Sangajo do ibana mangintip

na maridi i ‘sengaja dia mengintip orang yang mandi itu’.

Teknik ubah wujud yaitu berubahnya wujud salah satu atau beberapa unsur satuan lingual yang bersangkutan. Misalnya, manaba hau ibana i pollak

‘menebang kayu dia di kebun’, dapat diubah wujudnya menjadi hau i taba ibana i pollak ‘kayu ditebang dia di kebun’.

Teknik balik dilakukan dengan membalik unsur satuan lingual data. Jika penggunaannya berupa tuturan gramatikal maka informasi yang disampaikan pun tidak akan berubah. Misalnya, manaba hau ibana i pollak ‘menebang kayu dia di kebun’, dapat dibalik menjadi i pollak ibana manaba hau ‘di kebun dia menebang kayu’.

(13)

Teknik ganti dilakukan dengan mengganti satuan lingual yang menjadi pokok perhatian dengan satuan lingual pengganti. Misalnya, Johan marnida na

masa i ’Johan melihat kejadian itu’. Kata marnida’melihat’ dapat diganti menjadi mamereng ‘melihat’ yaitu Johan mamereng na masa i.

Teknik sisip adalah teknik yang digunakan dengan cara menyisipkan satuan lingual ke dalam kalimat. Misalnya, Amanta i mandampol pat ni si Tagor

‘Bapak itu mengkusut kaki si Tagor’, dapat disisipkan dengan kata dope ‘masih’

yang menjelaskan bahwa tindakan yang dilakukan sedang berlangsung, menjadi

Amanta i mandampol pat ni si Tagor dope ‘Bapak itu sedang mengkusut kaki si

Tagor’.

1.5 Landasan Teori 1.5.1 Klasifikasi verba

Frawley, (1992 dalam Mulyadi, 1998:20) menyatakan bahwa para linguis tradisional membatasi verba sebagai kategori gramatikal yang menyatakan tindakan dalam kalimat. Faktanya tidak semua verba berperilaku demikian sebab realisasi verba sebagai suatu tindakan hanyalah suatu kecenderungan dan tidak mengungkapkan karakter verba secara keseluruhan (Mulyadi, 1998:20-24). Hal ini terlihat dalam bahasa Indonesia, seperti verba ‘sakit’, dan verba ‘percaya’.

Dalam penelitian ini verba diperlakukan sebagai peristiwa. Esensi verba sebagai peristiwa mengimplikasikan suatu perubahan dan perubahan itu diukur melalui waktu (Frawley, 1992:142 dalam Mulyadi, 1998:24).

Sebagai contoh, misalnya verba ‘melempar’, ‘membunuh’ dan ‘marah’ digolongkan verba karena menyatakan suatu peristiwa. Namun ada perbedaan

(14)

ketiga verba itu yang bertalian dengan perubahan temporal. Verba ‘menendang’ dan ‘menembak’ mengekspresikan perubahan temporal, sedangkan ‘melihat’ tidak menyiratkan perubahan temporal, dan kalaupun ada perubahannya berlangsung lambat .

Tampubolon, dkk (1979 dalam Mulyadi, 1998:2) mengatakan bahwa verba memiliki tiga kelas utama yaitu verba keadaan, verba proses, dan verba aksi (perbuatan). Klasifikasi verba keadaan (stabil), verba proses (kurang stabil), dan verba tindakan (tidak stabil). Ketiga klasifikasi verba tersebut diuraikan sebagai berikut.

Gambar 1. Klasifikasi Verba

KEADAAN……….PROSES………….TINDAKAN ……….. Stabil kurang stabil tidak stabil

Sumber : Givon dalam Mulyadi 1998:25

Berdasarkan gambar di atas maka verba digolongkan menjadi tiga kelas yaitu verba keadaan, verba proses, dan verba tindakan. Perbedaan ketiga verba tersebut dapat ditentukan dengan menggunakan waktu sebagai parameternya yang terdapat kedinamisan gerak verba terhadap acuannya. Verba keadaan paling stabil waktunya, dalam arti bahwa verba ini tidak mengalami perubahan waktu, misalnya ‘mengetahui’ dan ‘percaya’. Verba proses kurang stabil waktunya karena bergerak dari suatu keadaan menuju keadaan lain, misalnya, ‘terbit’ dan ’pecah’. Verba tindakan tidak stabil waktunya, misalnya ‘melemparkan’ dan ‘pergi’.

(15)

1.5.2 Peran Semantis Verba

Peran semantis verba ialah peran yang diberikan pada argumen predikat yang secara tipikal verba. Konsep peran semantis yang digunakan mengikuti gagasan Foley dan Van Valin (1984, dalam Mulyadi, 1998:29) yang menawarkan label pelaku (actor) dan penderita (undergoer) untuk menerangkan relasi semantis antara predikat dan argumennya. Pelaku adalah argumen yang mengekspresikan partisipan yang melakukan, mempengaruhi, atau mengendalikan situasi yang dinyatakan oleh predikat, sedangkan penderita ialah argumen yang mengekspresikan partisipan yang tidak melakukan, mengawali, atau mengendalikan situasi, tetapi argumen itu dipengaruhi oleh aktor dengan berbagai cara (Foley dan Van Valin, 1984:29, dalam Mulyadi, 1998).

Pelaku dan penderita merupakan peran umum (macroroles) yang di dalamnya terlibat peran-peran khusus, seperti agen, pasien, tema, lokatif, dan pemengaruh. Sebuah hierarki tematis yang dikemukakan oleh Foley dan Van Valin menerangkan seluruh peran yang kemungkinan terlibat dalam pemetaan argumen. Adapun hierarkinya adalah sebagai berikut.

Gambar 2. Hierarki Pelaku dan Penderita

PELAKU : Agen

Pemengaruh Lokatif

Tema PENDERITA : Pasien

(16)

Hierarki pelaku dimulai dari atas ke bawah, sedangkan hierarki penderita dari bawah ke atas. Hal ini mengindikasikan bahwa pilihan pertama untuk pelaku adalah agen, sementara untuk penderita adalah pasien. Peran semantis yang lain terletak di antara keduanya. Pelaku dan penderita juga mempunyai relasi turunan. Pelaku sebagai relasi dasar dapat menduduki peran agen, pemengaruh, lokatif, pemengaruh tetapi tidak dapat menduduki peran pasien, sedangkan penderita menduduki peran pasien, tema, lokatif, dan pemengaruh, tetapi tidak dapat menduduki peran agen.

Bentuk peran semantis verba tersebut antara lain: 1. Pelaku dan Penderita

Foley Van Valin 1984 (dalam Mulyadi 1998:68) menyatakan bahwa salah satu ciri terpenting pelaku dan penderita adalah bahwa keduanya tidak mempunyai isi semantik yang konstan. Dikatakan demikian karena pelaku bisa sebagai agen, pemengaruh, lokatif, sedangkan penderita bisa sebagai pasien, tema, dan lokatif. Penentuan peran semantik tersebut bergantung pada ciri semantis verba yang bersesuaian dengannya. Pelaku dapat menduduki verba keadaan dan verba tindakan, karena pada verba tersebut pelaku mempengaruhi argumennya, sedangkan verba proses hanya menduduki peran sebagai penderita saja karena verba tersebut dipengaruhi oleh pelakunya bukan mempengaruhi.

2. Agen

Peringkat pertama pada hierarki pelaku adalah agen. Di sini agen merupakan pelaku dan pelaksana dari sebuah tindakan. Satu hal yang menjadi keunikan peristiwa ini adalah bahwa agen tidak pernah sebagai penderita, tetapi hanya dapat menduduki sebagai pelaku.

(17)

Contoh :

(6) Dia melemparkan

Pel: Ag V Pend: tema batu itu.

(7) Abang menangkap rusa

Pel: Ag V Pend: Ps .

Contoh (6), menjelaskan bahwa ’dia’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai agen, sebab partisipan ini yang mengekspresikan partisipan melakukan suatu tindakan yang dinyatakan oleh predikatnya, sedangkan ’batu itu’ berperan sebagai penderita sekaligus sebagai tema, sebab pada partisipan ini dikenai oleh pelaku sehinga mengalami penderitaan pada yang dikenainya. Pada contoh (7), menjelaskan ’abang’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai agen, sebab partisipan ini melakukan suatu tindakan dengan sengaja terhadap objeknya, sedangkan ’rusa’ berperan sebagai penderita sekaligus sebagai pasien, sebab partisipan ini dikendalikan oleh si pelaku sehingga pasien tersebut mengalami penderitaan akibat perbuatan si pelaku.

3. Pemengaruh

Pemengaruh merupakan setingkat di bawah agen. Foley Van Valin 1984:81 (dalam Yenni 1999:32) mengatakan bahwa pemengaruh (effector) adalah semua entitas yang mempunyai karakteristik yang sama dengan agen. Perbedaannya terletak pada agen bertindak secara langsung mengenai penderita, sedangkan pemengaruh tidak. Selain itu pemengaruh juga berupa inanimat (tidak bernyawa).

(18)

(8) Banjir sudah menewaskan banyak korban jiwa Pel: Pem V Pend: Ps

.

Contoh (8), menjelaskan bahwa ’banjir’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai pemengaruh, sebab partisipan ini yang mempengaruhi yang dinyatakan oleh predikatnya, sedangkan ’banyak korban jiwa’ berperan sebagai penderita sekaligus sebagai pasien, sebab partisipan ini yang dipengaruhi oleh pelakunya secara keseluruhan.Verba ’menewaskan’ menyatakan tindakan yang dilakukan secara tidak langsung oleh partisipannya. Partisipan yang melakukan itu adalah entitas yang tidak bernyawa, akan tetapi dapat memberikan pengaruh yang buruk sehingga menyebabkan kematian. Dikatakan demikian karena partisipan tersebut tidak langsung menewaskan banyak orang, itu terjadi kemungkinannya karena hujan yang datang terus-menerus dan menyebabkan selokan tersumbat yang mengakibatkan saluran air tidak lancar sehingga menyebabkan banjir dan akibatnya menewaskan banyak orang.

4. Tema

Foley Van Valin 1984:51-52 (dalam Yenni 1999:35) mengemukakan bahwa tema adalah semua entitas yang dapat ditempatkan dan mengalami perubahan lokasi, Perubahan yang terjadi pada tema bukan atas kehendak dari entitas itu sendiri. Tema dapat disebut juga sebagai pokok pikiran/inti dari sesuatu topik yang dibicarakan.

Contoh :

(9) Adik menyepak

Pel: Ag V Pend: tema bola.

(19)

Contoh (9), menjelaskan bahwa ‘adik’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai agen, sebab partisipan ini yang melakukan suatu tindakan pada bendanya, sedangkan ‘bola’ berperan sebagai penderita sekaligus sebagai tema, karena bola tersebut mengalami perubahan yaitu terjadi perpindahan pada bola itu. Hal ini disebabkan karena adanya tindakan adik yang melakukan sehingga posisi bolanya berpindah , maka kalimat di atas digolongkan sebagai verba tindakan

5. Lokatif

Entitas yang menerangkan tempat atau lokasi dimana sebuah peristiwa terjadi.

Misalnya :

(10) Aku percaya berita Pel: lok V Pend: tema

itu.

(11) Aku mengetahui

Pel: Lok V Pend: tema kejadian itu.

Contoh (10), menjelaskan bahwa ‘aku’ berperan sebagai pelaku sekaligus sebagai lokatif, sebab partisipan ini yang mengekspresikan partisipan melakukan yang dinyatakan oleh predikatnya, sedangkan ‘berita itu’ berperan sebagai penderita dan tema, sebab partisipan ini tidak melakukan tetapi dipengaruhi oleh pelakunya. Maka verba ‘percaya’ dan ‘mengetahui’ di atas digolongkan sebagai verba keadaan.

(20)

6. Pasien

Mempunyai pengertian yang terbalik dari agen, pasien merupakan sasaran yang dikenai oleh agen sebagai pelaku. Entitas ini tidak mengawali dan mengendalikan peristiwa justru dipengaruhi pelaku dengan berbagai cara.

Contoh :

(12) Hartanya hancur Pend: Ps V

. (TBBT: 19)

(13) Ban mobilnya pecah Pend: Ps V

.

Contoh (12 dan 13) di atas, menjelaskan bahwa ’hartanya’ dan ’ban mobilnya’ sama-sama berperan sebagai penderita karena adanya suatu peristiwa yang terjadi dan peristiwa itu terjadi secara tidak disengaja. Verba ’hancur’ dan verba ’pecah’ digolongkan sebagai penderita sekaligus sebagai pasien sebab partisipan tersebut tidak mengendalikan adanya suatu peristiwa. Kalimat di atas digolongkan sebagai verba proses. Peristiwa itu terjadi karena ada yang menyebabkan, sehingga mengakibatkan sesuatu terjadi. Misalnya adanya banjir sehingga mnyebabkan hartanya menjadi hancur dan ban mobilnya pecah mungkin bannya kena paku atau disebabkan sudah rusak.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sosialisasi dan aktualisasi pemahaman kebudayaan yang tepat dan mendalam (perlu) dilakukan melalui berbagai cara dengan memberikan pengalaman kebudayaan secara

pembelajaran masih bersifat satu arah; 2) kurangnya interaksi antara guru dengan siswa sehingga siswa cendurung pasif ketika pembelajaran berlangsung; 3) kurangnya

Kepedulian orang tua terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut anak usia 6-36 bulan di Kelurahan Tamalanrea, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar masih tergolong

Bentuk pertunjukannya terdiri dari sumber cerita, struktur sajian yang terdiri dari dua adegan, dan elemen-elemen pertunjukan, sedangkan fungsi teater rakyat Menorek

The mechanism of protein re-methylation inhibition is supported by results of studies that have indicated that successful treatment regimen could lower its concentration

Rias hubungannya sangat erat dalam dunia panggung terutama dalam pertunjukan tari. Tujuan dalam rias adalah agar terlihat lebih cantik dan menarik pada saat pentas

Tarif mempunyai peran yang sangat penting dalam angkutan udara baik bagi perusahaan penerbangan, pengguna jasa angkutan udara maupun bagi pemerintah. Dalam