• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK SIFAT KIMIA TANAH ULTISOL YANG DIAPLIKASIKAN BIOCHAR DAN KOMPOS DARI BEBERAPA BIOMASSA PADA MASA INKUBASI SKRIPSI OLEH :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KARAKTERISTIK SIFAT KIMIA TANAH ULTISOL YANG DIAPLIKASIKAN BIOCHAR DAN KOMPOS DARI BEBERAPA BIOMASSA PADA MASA INKUBASI SKRIPSI OLEH :"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK SIFAT KIMIA TANAH ULTISOL YANG DIAPLIKASIKAN BIOCHAR DAN KOMPOS DARI BEBERAPA BIOMASSA

PADA MASA INKUBASI

SKRIPSI

OLEH :

ATRIA UTAMI SITOMPUL 150301039

AGROTEKNOLOGI

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2020

(2)

KARAKTERISTIK SIFAT KIMIA TANAH ULTISOL YANG DIAPLIKASIKAN

BIOCHAR DAN KOMPOS DARI BEBERAPA BIOMASSA PADA MASA INKUBASI

SKRIPSI

OLEH :

ATRIA UTAMI SITOMPUL 150301039

AGROTEKNOLOGI

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2020

(3)
(4)

ABSTRAK

Aplikasi biochar dan kompos menjadi alternatif sebagai amandemen organik untuk memperbaiki sifat kimia tanah, terutama pada tanah Ultisol dan juga mengatasi kelimpahan limbah biomassa saat ini. Kualitas biochar dan kompos sangat ditentukan oleh kandungan lignoselulosa bahan biomassa.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan peranan biochar dan kompos dari biomassa yang sama, yakni jerami, tandan kosong kelapa sawit, dan kotoran sapi terhadap beberapa sifat kimia tanah Ultisol selama 1, 2, dan 3 bulan inkubasi di dalam tanah. Penelitian dilakukan dengan melakukan inkubasi tanah pada beberapa pot dan diletakkan di rumah kaca yang menggunakan rancangan acak kelompok non faktorial dengan perlakuan kontrol, biochar dan kompos yang diambil dari biomassa jerami, tandan kosong kelapa sawit, dan kotoran sapi dengan dosis (3%/340 g tanah BTKO) yang memiliki 3 blok. Parameter yang diukur adalah pH H2O, C-Organik, N-total, dan P tersedia yang dianalisis selama 1, 2, dan 3 bulan inkubasi dalam tanah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian biochar dan kompos mampu meningkatkan pH H2O, C-Organik, N- total, dan P tersedia tanah. Namun, pemberian biochar dengan kadar lignin tinggi dari biomassa TKKS nyata lebih baik dalam meningkatkan C-Organik tanah hingga 1,82%. Pemberian biochar berbasis kotoran sapi nyata lebih baik meningkatkan pH H2O menjadi 5,27, N-total (0,18%), dan P tersedia tanah (50,09 ppm). Pemberian biochar secara umum lebih baik dan stabil dalam memperbaiki sifat kimia tanah dibandingkan pemberian kompos di dalam tanah.

Kata Kunci : Ultisol, Biomassa, Biochar, Kompos

(5)

ABSTRACT

The application of biochar and compost is an alternative as an organic amendment to improve soil chemical properties, especially in Ultisol soils and also to overcome the current abundance of biomass waste. The quality of biochar and compost is largely determined by the lignocellulosic content of the biomass material. This study aimed to compare the role of biochar and compost from the same biomass, namely straw biomass, oil palm empty bunches, and cow dung on several chemical properties of Ultisols during 1, 2, and 3 months of incubation in the soil. The study was conducted by incubating soil in several pots and placing it in a greenhouse using a non-factorial randomized block design with control treatment, biochar and compost taken from straw biomass, empty oil palm bunches, and cow dung at a dose (3% / 340 g air dry soil weight) which has 3

blocks. Parameters measured were pH H2O, C-Organic, N-total and available P were analyzed for 1, 2, and 3 months of incubation in the soil. These results

indicate that administration of biochar and compost able to raise the pH of H2O, C-Organic, N-total and P available land. However, giving biochar with high

lignin content from Oil Palm Empty Fruit Bunches biomass was significantly better in increasing C-organic up to 1,82%. Cow dung biochar raise the pH

during the incubation time of the H2O became 5,27, N-total (0,18%), and P available soil (50,09 ppm). Biochar application is generally better and stable in

improving soil chemical properties during incubation time compared to providing compost in the soil.

Key Words : Ultisol, Biomass, Biochar, Compost

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Hajoran, Kecamatan Pandan, Tapanuli Tengah, pada tanggal 6 Juni 1997 dari ayah Maslan Sitompul dan Ibu Almh. Nurhawani Situmeang. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Pada tahun 2009 penulis tamat dari SDN 158309 Pandan 3 Tapanuli Tengah, tahun 2012 tamat dari SMPN 1 Pandan Tapanuli Tengah, pada tahun

2015 lulus dari SMAN 1 Sibolga, dan tahun 2015 diterima di Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) melalui

jalur SNMPTN. Penulis memilih minat studi Ilmu Tanah.

Selama menjadi mahasiswa, penulis merupakan anggota Himpunan Mahasiswa Sibolga-Tapteng (HIMASTAP), Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah Indonesia (FOKUSHIMITI), anggota Himpunan Mahasiswa Agroteknologi (HIMAGROTEK), dan bendahara Forum Mahasiswa Ilmuwan Pertanian (FORMILTAN). Selama menjalani perkuliahan, penulis juga pernah mendapatkan beasiswa daerah Sibolga, beasiswa perusahaan gas negara (PGN), dan aktif dalam mengelola jurnal pertanian tropik.

Pada tahun 2018, penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di PT. Bakrie, Kebun Kuala Piasa, Kisaran. Penulis juga melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2019 di Desa Sei Rampah, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul

“Karakteristik Sifat Kimia Tanah Ultisol Yang Diaplikasikan Biochar Dan Kompos Dari Beberapa Biomassa Pada Masa Inkubasi.”

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan rasa hormat kepada Ayahanda Maslan Sitompul, Ibunda Almh. Nurhawani Situmeang yang tak henti memberikan doa dan dukungan selama ini. Penulis juga menyampaikan rasa ucapan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dr. Benny Hidayat, SP., MP., dan Dr. Ir Mukhlis, M.Si., selaku bapak ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan membantu penulis hingga Skripsi ini selesai.

Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada bapak/ibu staf pengajar dan pegawai di Program Studi Agroteknologi dan kepada teman-teman yang telah membantu dan memberikan dukungan selama ini, serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menyadari kritik dan saran pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terimakasih. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat.

Medan, November 2020

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ...v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Hipotesis Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA Ultisol ... 4

Biomassa ... 6

Biochar ... 8

Kompos ... 17

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 22

Bahan dan Alat ... 22

Metode Penelitian... 22

Pelaksanaan Penelitian ... 24

Pengambilan Contoh Tanah ... 24

Analisis Tanah Awal ... 24

Persiapan Biochar... 24

Persiapan Kompos ... 25

Aplikasi Perlakuan ... 26

Analisis Akhir Parameter ... 26

Parameter Penelitan ... 26

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 27

Pembahasan ... 31

(9)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 39

Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

LAMPIRAN ... 47

(10)

DAFTAR TABEL

No Keterangan Hal

1 Perlakuan berbagai jenis bahan biochar dan kompos ……….23 2 Hasil pengamatan proses pembuatan biochar dan kompos …...…………..25 3 pH H2O tanah Ultisol selama 1, 2, dan 3 bulan inkubasi biochar

dan kompos ……….27

4 C-Organik tanah Ultisol selama 1, 2, dan 3 bulan inkubasi biochar

dan kompos ………28

5 N-total Tanah Ultisol setelah setelah 1, 2, dan 3 bulan inkubasi

biochar dan kompos ………...29 6 P tersedia Ultisol setelah selama 1, 2, dan 3 bulan inkubasi

biochar dan kompos ………...30

(11)

DAFTAR GAMBAR

No Keterangan Hal

1 Bentuk Fisik dan Kandungan Kimia Biochar………...11 2 Penampakan luas permukaan biochar kotoran sapi (a),

jerami padi (b), dan tandan kosong kelapa sawit (c) melalui

Scanning Electron Microscope (SEM)………...12 3 Mekanisme biochar sebagai pembenah tanah terhadap

sifat tanah masam………15 4 Gambaran mekanisme penjerapan logam berat oleh biochar………….17 5 Gambar gugus fungsional kompos matang secara umum………...20 6 Gambar Drum Pirolisis BT 01………....25 7 Grafik nilai peningkatan pH H2O Ultisol akibat pemberian biochar dan kompos selama 1,2 dan 3 inkubasi di tanah tanah…….…...32 8 Grafik kadar C-Organik Ultisol akibat pemberian biochar

dan kompos selama 1,2 dan 3 inkubasi di tanah ………34 9 Grafik kadar N-total tanah Ultisol akibat pemberian biochar

dan kompos selama 1,2 dan 3 inkubasi di tanah ………35 10 Grafik kadar P-tersedia tanah Ultisol akibat pemberian biochar

dan kompos selama 1,2 dan 3 inkubasi di tanah ………...36

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No Keterangan

Hal

1 Bagan Penelitian di Lahan Percobaan FP USU... 47

2 Kriteria Sifat Tanah ... 48

3 Data Analisis Awal Tanah Ultisol Tanah abang ... 49

4 Perhitungan Dosis Biochar dan Kompos ... 50

5 Data Analisis Biochar ... 51

6 Data Analisis Kompos ... 51

7 Data Hasil Pengukuran pH H2O Tanah Setelah Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 1 Bulan ... 52

8 Daftar Sidik Ragam Pengukuran pH H2O Tanah Setelah Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 1 Bulan ... 52

9 Data Hasil Pengukuran pH H2O Tanah Setelah Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 2 Bulan ... 53

10 Daftar Sidik Ragam Pengukuran pH H2O Tanah Setelah Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 2 Bulan ... 53

11 Data Hasil Pengukuran pH H2O Tanah Setelah Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 3 Bulan ... 54

12 Daftar Sidik Ragam Pengukuran pH H2O Tanah Setelah Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 3 Bulan ... 54

13 Data Hasil Pengukuran C-Organik Tanah Setelah Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 1 Bulan ... 55

14 Daftar Sidik Ragam Pengukuran C-Organik Tanah Setelah Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 1 Bulan... 55

15 Data Hasil Pengukuran C-Organik Tanah Setelah Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 2 Bulan ... 56

16 Daftar Sidik Ragam Pengukuran C-Organik Tanah Setelah Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 2 Bulan... 56

(13)

17 Data Hasil Pengukuran C-Organik Tanah Setelah Pemberian

Biochar dan Kompos Inkubasi 3 Bulan ... 57 18 Daftar Sidik Ragam Pengukuran C-Organik Tanah Setelah

Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 3 Bulan... 57 19 Data Hasil Pengukuran N-total Tanah Setelah Pemberian Biochar

dan Kompos Inkubasi 1 Bulan ... 58 20 Daftar Sidik Ragam Pengukuran N-total Tanah Setelah Pemberian

Biochar dan Kompos Inkubasi 1 Bulan ... 58 21 Data Hasil Pengukuran N-total Tanah Setelah Pemberian Biochar

dan Kompos Inkubasi 2 Bulan ... 59 22 Daftar Sidik Ragam Pengukuran N-total Tanah Setelah Pemberian

Biochar dan Kompos Inkubasi 2 Bulan ... 59 23 Data Hasil Pengukuran N-total Tanah Setelah Pemberian Biochar

dan Kompos Inkubasi 3 Bulan ... 60 24 Daftar Sidik Ragam Pengukuran N-total Tanah Setelah Pemberian

Biochar dan Kompos Inkubasi 3 Bulan ... 60 25 Data Hasil Pengukuran P-Tersedia Tanah (Bray II) Setelah

Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 1 Bulan... 61 26 Daftar Sidik Ragam Pengukuran P-Tersedia Tanah (Bray II)

Setelah Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 1 Bulan ... 61 27 Data Hasil Pengukuran P-Tersedia Tanah (Bray II) Setelah

Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 2 Bulan... 62 28 Daftar Sidik Ragam Pengukuran P-Tersedia Tanah (Bray II)

Setelah Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 2 Bulan ... 62 29 Data Hasil Pengukuran P-Tersedia Tanah (Bray II) Setelah

Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 3 Bulan... 63 30 Daftar Sidik Ragam Pengukuran P-Tersedia Tanah (Bray II)

Setelah Pemberian Biochar dan Kompos Inkubasi 3 Bulan ... 64 31 Foto Kegiatan Penelitian... 64

(14)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kompos merupakan salah satu sumber amandemen organik selain pupuk hijau dan pupuk kandang yang dikenal banyak digunakan petani sejak dulu.

Kompos dibuat dengan cara pengomposan atau dekomposisi bahan organik dengan bantuan mikroorganisme. Sebagai amandemen organik, kompos berperan dalam memperbaiki kualitas dan sifat tanah, diantaranya mampu meningkatkan aerasi, pH, unsur hara seperti N, P, K, menurunkan toksisitas Al3+, dan sebagai

sumber makanan serta energy untuk mikroorganisme di dalam tanah (Murphy, 2014). Kelebihan lain kompos yakni bahan baku melimpah dan mudah

dalam proses pembuatannya.

Beberapa tahun terakhir, muncul lagi sumber amandemen organik lain yang menjadi diminati saat ini (trendsetter), yakni biochar dengan banyak diteliti oleh berbagai ilmuwan di dunia dan diketahui bersifat lebih stabil di dalam tanah.

Biochar dikenal sebagai karbon organik hasil pirolisis/ pemanasan bahan organik dalam kondisi oksigen terbatas pada suhu <700C (Lehmann dan Joseph, 2009).

Biochar menjanjikan untuk pengelolaan kesuburan tanah dalam jangka panjang yang mampu dan memperbaiki beberapa sifat tanah, termasuk sifat kimia tanah (Ding et al., 2016). Sebagai amandemen organik melalui proses yang berbeda, kualitas biochar dan kompos sangat ditentukan berdasarkan jenis kandungan biomassanya sebagai bahan baku, baik dari biomassa limbah pertanian seperti jerami, tandan kosong kelapa sawit, dan dari limbah peternakan seperti kotoran sapi.

(15)

Penggunaan biochar dan kompos menjadi salah satu alternatif pengelolaan biomassa saat ini dan sebagai amandemen organik tanah. Namun, belum ada data yang jelas tentang mekanisme kemampuan antara biochar dan kompos dari jenis biomassa tertentu, selama beberapa waktu dalam memperbaiki sifat tanah, seperti sifat kimia tanah sehingga perlu terus diteliti. Menurut Major et al., (2010) bahwa pemberian biochar lignoselulosa pada tanah tropis yang bersifat masam, akan meningkatkan hasil panen selama beberapa tahun, tetapi perlu untuk mengkaji kestabilan, tingkat dekomposisi dan reaksinya di dalam tanah. Sementara itu, menurut Setyorini et al., (2006), aplikasi kompos selama beberapa waktu dilaporkan dapat meningkatkan pH, C-Organik, dan hasil tanaman pertanian pada tanah masam, seperti Ultisol. Hal ini karena tanah Ultisol memiliki permasalahan seperti pH (<5,5), suplai unsur hara makro seperti N, P, K, Ca, Mg rendah, dan kejenuhan Al tinggi, sehingga tanah tidak baik dalam pertumbuhan tanaman (Mukhlis et al., 2017).

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk membandingkan antara biochar dan kompos dari beberapa jenis biomassa serta lamanya waktu inkubasi dalam memperbaiki sifat kimia tanah seperti peningkatan pH, C-Organik, N-total, dan P tersedia di tanah Ultisol.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan peranan biochar dan kompos terhadap sifat kimia tanah Ultisol dari biomassa jerami, tandan kosong kelapa sawit, dan kotoran sapi selama beberapa bulan inkubasi di dalam tanah

(16)

Hipotesis Penelitian

1. Adanya pengaruh pemberian amandemen organik baik biochar maupun kompos terhadap pH H2O, C-Organik, N total, dan P tersedia pada tanah Ultisol selama beberapa bulan inkubasi.

2. Adanya perbedaan antara pemberian biochar dan kompos terhadap pH H2O, C-Organik, N total, dan P tersedia pada tanah Ultisol selama

beberapa bulan inkubasi.

3. Adanya perbedaan pemberian biochar dari biomassa jerami, tandan kosong kelapa sawit, dan kotoran sapi terhadap pH H2O, C-Organik, N total, dan P tersedia pada tanah Ultisol.

4. Adanya perbedaan pemberian kompos dari biomassa jerami, tandan

kosong kelapa sawit, dan kotoran sapi terhadap pH H2O, C-Organik, N total, dan P tersedia pada tanah Ultisol.

Kegunaan Penelitian

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana di Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara dan sebagai sumber informasi bagi kepentingan ilmu pengetahuan.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA Tanah Ultisol

Tanah Ultisol merupakan salah satu jenis tanah dari bagian lahan kering di Indonesia yang mempunyai peranan penting dalam pengembangan lahan pertanian. Tanah ini tersebar luas ± 45,8 juta ha atau meliputi hampir 25% dari total luas daratan Indonesia. Kalimantan menjadi wilayah dengan total tanah Ultisol terluas (21,94 juta ha) diikuti Sumatera (9,46 juta ha), Maluku dan Papua (8,85 juta ha), Sulawesi (4,30 juta ha), Jawa (1,17 juta ha), dan Nusa Tenggara (53 ribu ha). Tanah ini dapat dijumpai dari berbagai relief mulai datar, hingga bergunung (Prasetyo dan Suridiakarta, 2006).

Ultisol terbentuk dalam jangka waktu yang cukup lama bersamaan dengan suhu yang tinggi dan pencucian yang kuat. Akibatnya, terjadi pelapukan terhadap mineral mudah lapuk dan pembentukan liat sekunder dan oksida-oksida.

Pencucian yang ekstensif terhadap basa-basa berjalan sangat lanjut dan menyebabkan kejenuhan basa rendah sampai di lapisan bawah tanah sehingga tanah bereaksi masam (Barchia, 2009).

Tanah Ultisol merupakan salah satu ordo tanah yang memiliki karakteristik dengan horison argilik atau kandik dengan kejenuhan basa 35%.

Tanah ini banyak ditemukan pada wilayah dengan curah hujan tinggi dan pelapukan yang intensif (Hardjowigeno, 1993). Tanah Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah. Ultisol juga dicirikan oleh adanya akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya resap air dan meningkatkan

aliran permukaan dan erosi tanah (Prasetyo dan Suridiakarta, 2006).

Menurut Utomo (2008), Ultisol memiliki kejenuhan Al yang tinggi mencapai

(18)

42%, kandungan bahan organik rendah yaitu 1,15%. Kandungan bahan organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian lagi terbawa erosi.

Unsur hara di tanah Ultisol juga rendah. Kandungan hara pada tanah Ultisol umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif. Salah satu contoh yakni Ultisol memiliki hara N (0,13%) dan P (5,80 ppm). Rendahnya kandungan fosfat dan tingginya fiksasi fosfat oleh Al dan Fe tanah juga merupakan kendala utama yang harus diatasi pada tanah Ultisol.

Tanah Ultisol digolongkan pula tanah yang mengalami kemasaman di dalam tanah. Adapun reaksi tanah Ultisol pada umumnya masam hingga sangat masam (pH 5−3,10) tergantung dari bahan induknya, kecuali tanah Ultisol dari batu gamping yang memiliki reaksi netral hingga agak rendah (pH 6,80−6,50) (Prasetyo dan Suridiakarta, 2006). Tanah dapat menjadi masam karena masuknya ion H+ ke dalam tanah dan adanya ion Al, baik dalam bentuk dapat dipertukarkan (monerik) dan tidak dapat dipertukarkan (polimerik). Sumber kemasaman tanah juga berasal dari sejumlah proses seperti curah hujan dan respirasi, pemberian pupuk buatan, oksidasi sulfur dan oksidasi pirit, dekomposisi bahan organik, dan hidrolisis alumumium. Pada polimer Al dan Fe, ion Al3+ yang berpindah dari permukaan tukar kation dihidrolisis menjadi senyawa kompleks hidroksialuminium. Reaksi hidrolisis ini berlangsung secara bertahap dan melepaskan ion H+ sehingga pH menjadi lebih rendah.

Berikut adalah reaksi hidrolisis Al Al3+

+ H2O ⇆ Al(OH)2+ + H+ Al(OH)2+ + H2O ⇆ Al(OH)2+ + H+ Al (OH)2+ + H2O ⇆ Al(OH)3 + H+ Al3+ + H2O ⇆ Al(OH)3 + 3H+ (Mukhlis et al., 2017)

(19)

Berbagai upaya yang dapat ditempuh dalam mengatasi permasalahan tanah dan meningkatkan produktivitas tanaman di tanah Ultisol baik secara fisika, biologi, maupun kimia. Salah satu diantaranya yakni melalui pemberian bahan pembenah tanah atau amandemen organik dalam bentuk biochar maupun kompos.

Hal ini dibuktikan oleh penelitian Zhu et al., (2014) yang menyatakan bahwa terjadi kenaikan pH tanah dari 3,81 menjadi 4,05 akibat pemberian biochar dari biomassa jerami dan juga terjadi peningkatan P tersedia pada tanah tipe typic kanhapludult dari 18,1 ppm menjadi 21,1 ppm dengan dosis 24 ton/ha. Sementara itu, pemberian kompos baik dari biomassa TKKS, kulit durian, kompos titonia, dan pupuk kandang ayam mampu meningkatkan pH, P tersedia, dan menurunkan

nilai Aldd pada tanah selama beberapa minggu inkubasi kompos (Siregar et al., 2017). Menurut Wibowo et al., (2017) pupuk majemuk 50% yang

ditambah kompos TKKS dengan dosis 600 g meningkatkan N-total tanah Ultisol hingga 0,16 %.

Biomassa

Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintetik baik produk maupun buangan atau limbah, serta fosil atau hewan yang hidup di masa lalu (Arhamsyah, 2010; Khatrin dan Quicker, 2018). Selain itu, biomassa juga diartikan sebagai sumber energi berbasis karbon satu-satunya yang terbarukan yang dapat dikonversi menjadi gas, cair, dan karbon, dan bahan bakar.

Bagian utama biomassa terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang disebut bahan lignoselulosa berasal dari residu kehutanan dan tanaman pertanian seperti kayu. Bahan non lignoselulosa termasuk biomassa limbah seperti kotoran hewan dan bahan organik dari limbah padat (Demirbas, 2001).

(20)

Komponen utama biomassa terdiri dari selulosa (C6H10O5)n , hemiselulosa (C5H8O4)n dan lignin [(C9H10O3)(CH3O)]n. Ketiganya saling terikat dan terkait secara kimiawi oleh kekuatan nonkovalen (Lee et al., 2019). Biomassa memiliki

kandungan lignoselulosa dengan keragaman kimia yang tinggi; selulosa (40-50%), hemiselulosa (20-30%), lignin (15-35%), dan zat ekstraktif (1-15%)

yang akan berimplikasi terhadap keragaman mutu produk konversi energi yang

dihasilkan (Nawawi et al., 2018). Biomassa juga mengandung C (53-58%), H (6%), O (42%), dan sedikit N, P, dan S (<2%) (Supriyanto dan Merry, 2010).

Selulosa merupakan unsur utama penyusun biomassa lignoselulosa.

Selulosa adalah homopolimer yang terdiri dari rantai panjang dan lurus yang memiliki 10.000 unit d-glukopiranosa yang ditautkan satu sama lain oleh ikatan b-1,4-glikosida (Nacheus et al., 2013). Selain itu, terdapat hemiselulosa yang merupakan heteropolimer glukosa, manosa, xilan, xilosa, arabinosa, dan.

galaktosa. Hemiselulosa berbentuk polisakarida bercabang yang mengelilingi selulosa dan penghubung antara selulosa dan lignin, dan memiliki bobot molekul rendah. Sementara itu, lignin merupakan senyawa–senyawa polimer aromatik, bercabang, mengandung fenilproponoid, yang sulit dirombak, amorf, heterogen yang bertindak sebagai agen pengikat antara selulosa dan hemiselulosa dalam dinding sel di mana terdapat sekitar 25% di kayu keras dan 33% di kayu lunak.

Lignin juga sukar didekomposisi di dalam tanah (Lee et al., 2019).

Kelimpahan biomassa di Indonesia sangat tinggi sekitar 200 juta ton/tahun yang diperoleh dari limbah residu pertanian, kehutanan, perkebunan, dan limbah sampah padat/sampah kota (Iskandar dan Siswati, 2012). Sebagai contoh, jerami padi, secara nasional menghasilkan 64 juta ton/tahun dimana setiap 1 kg beras

(21)

menghasilkan 1,5 kg jerami (Situmeang, 2010). Sedangkan hasil samping perkebunan kelapa sawit menurut (Dewanti, 2018), di Indonesia menghasilkan 23% tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dari setiap 1 ton TBS atau sekitar 230 kg TKKS. Selain itu, dari limbah peternakan, jenis ternak kotoran sapi menghasilkan kotoran 20-25 kg tiap harinya (Hapsari, 2018). Biomassa tersebut juga memiliki kandungan bahan lignoselulosa yang berbeda–beda.

Komposisi lignoselulosa biomassa dari hasil residu pertanian, perkebunan, maupun limbah peternakan berbeda–beda. Sebagai contoh, limbah pertanian, jerami terdiri dari : selulosa (37,21%), hemiselulosa (27%), lignin (12%), dan kandungan karbon (51,11%) (Karimi et al., 2006). Limbah dari perkebunan, tandan kosong kelapa sawit mengandung kadar air (8,56%), selulosa (38,3%),

hemiselulosa (22,7%), lignin (50,7%), dan kandungan karbon (55,49%) (Loh et al., 2012). Selain itu, limbah pertanian. Sementara itu, kotoran sapi

memiliki kadar selulosa (25%), hemiselulosa (18,6%), dan lignin (20%) (Chandra, 2012). Kandungan bahan biomassa tersebut dapat dikonversi secara termokimia menjadi biochar (Nacheus et al., 2013) dan juga sebagai kompos (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Biochar Biochar berasal dari kata “bio” dan “charcoal” yang sering disebut arang

bahan organik (charred organic matter), merupakan produk kaya akan karbon yang dihasilkan melalui proses pirolisis bahan organik (biomassa) dan dapat digunakan sebagai bahan pembenah tanah untuk meningkatkan hasil pertanian (Lehmann dan Joseph, 2009). Biochar sering diartikan sama dengan arang.

Namun, biochar dan arang memiliki perbedaan dari sisi tujuan penggunaannya.

(22)

Biochar ditujukan untuk peningkatan produktivitas tanah pertanian. Sedangkan arang adalah bahan padat kaya karbon, digunakan sebagai bahan bakar padat untuk menghasilkan energi (Goenadi dan Laksmita, 2017).

Konsep biochar pertama kali dikenal dari penelitian tentang tanah anthropogenik yang subur dan kaya materi organik di sekitar wilayah Amazonia yang disebut “Terra Preta”. Ilmuwan yang pertama menemukan ini berasal dari

negeri Belanda, Wim Sambroek, sebagai pelopor penelitian tanah Terra Preta di mana tanah ini masih mempertahankan kesuburannya yang tercipta sekitar

2000 tahun lalu. Hal ini diduga karena adanya penambahan arang atau bahan organik hangus oleh aktivitas perladangan berpindah. Tanah ini kaya akan residu organik yang berasal dari pembakaran biomassa kayu hutan dari aktivitas perladangan berpindah. Penemuan inilah yang menjadi awal mula kajian tentang biochar di dunia mulai berkembang (Glaser, 2015).

Bahan baku dalam pembuatan biochar dapat diperoleh dari biomassa lignoselulosa seperti serpihan kayu residu tanaman, dan non lignoselulosa seperti

kotoran hewan baik unggas maupun sapi dan limbah sampah kota (Ding et al., 2016). Biomassa dari limbah pertanian umumnya bahan yang sulit

didekomposisi namun mudah diperoleh dan cukup besar potensinya di Indonesia, juga dapat dikonversi menjadi bentuk biochar seperti tempurung kelapa, kulit

buah kakao, residu kayu, sekam padi, dan lain sebagainya (Nurida et al., 2013).

Biochar dapat diproduksi dari sistem pirolisis atau gasifikasi. Pada sistem pirolisis, biochar yang dihasilkan sebagian besar dalam ketiadaan oksigen dan paling sering dengan sumber panas dari luar, sedangkan pada gasifikasi hanya

(23)

sedikit biochar yang dihasilkan. Produksi biochar yang paling optimal adalah dalam keadaan tanpa oksigen/pirolisis. Pirolisis biochar dibagi menjadi pirolisis pirolisis lambat (300C-500C) dan pirolisi cepat (500-650C) (Noor et al., 2019).

Adapun biomassa dari limbah pertanian bila mengalami pembakaran dalam keadaan tanpa oksigen akan dihasilkan 3 substansi, yaitu : a) metana dan hidrogen yang dapat dijadikan bahan bakar, b) bio-oil yang dapat diperbaharui, dan c) arang hayati (biochar) (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009).

Reaksi pirolisis biomassa tanpa oksigen oleh Kong et al., (2014) dapat dituliskan sebagai berikut :

Biomassa (2C42H60O28) + heat tar/bio oil (C28H34O9) + gas (28H2O) + 5CO2 + 3CO) + char (3C16H10O2)

Komposisi biochar secara umum yaitu heteroatom dan memiliki kandungan karbon (C) yang tinggi dengan grup/gugus fungsional dan membentuk

cincin aromatis dari enam atom C yang saling berikatan. Biochar juga terdiri dari unsur H, O, N, dan S. Kandungan biochar lainnya memiliki unsur hara

makro (N, P, Ca, Mg) dan mikro (Zn, Cu, Mn). Mineral yang terdapat di dalam biochar di antaranya sylvit (KCl), kuarsa (SiO2), kalsit (CaCO3), hidroksiapatit [(Ca10(PO4)6(OH)2], dan sebagian kecil dalam Ca fosfat, anhidrit (CaSO4), serta

berbagai nitrat, oksida dan hidroksida Ca, Mg, Al, Ti, Mn, Zn, atau Fe (Lehmann dan Joseph, 2009).

Biochar juga mengandung asam organik dan protein. Identifikasi asam organik dan protein dalam biochar dapat dilakukan dengan pemodelan EEM (excitation emission matrix) dan PARAFAC, biochar mengandung berbagai senyawa organik penting seperti asam organik yakni asam fulvat dan asam humat,

(24)

dipengaruhi suhu pirolisis. Semakin tinggi suhu pirolisis yang dilakukan,

kandungan asam fulvat dan asam humat semakin meningkat (Rajapaksha et al., 2019; Jamieson, 2013).

Gambar 1. Bentuk Fisik dan Kandungan Kimia Biochar (Lehmann dan Joseph, 2009)

Struktur permukaan biochar berupa pori karbon yang luas yang

berbentuk persegi panjang, yang terdiri dari berbagai gugus fungsional (Tan et al., 2017). Grup fungsional mengandung gugus fungsional asam yang

pada umumnya terdiri dari fenolik (-OH), asam karboksilat (-COOH), karbonil (-COO), eter, ester, dengan intensitas yang tinggi (Hidayat et al., 2018). Gugus

fungsional dan stabilitas pada biochar dapat diketahui berdasarkan rasio O/C suatu biochar. Gugus fungsional ini mengandung O, H, dan N dan tergantung jenis bahan baku (Brewer, 2012). Menurut penelitian Kiran et al., (2017), analisis

gugus fungsional biochar kotoran sapi melalui FTIR pada puncak 3,396 cm–1, menunjukkan adanya gugus fenolik/hidroksil dan memiliki luas

permukaan (BET) lebih besar yakni 8,55 m2 g-1 yang mengambarkan semakin banyak bidang sentuh/adsorpsi untuk pertukaran kation dalam menyediakan hara di tanah

(25)

(a) (b)

(c)

Gambar 2. Penampakan luas permukaan biochar kotoran sapi (a), jerami padi (b),

dan tandan kosong kelapa sawit (c) melalui Scanning Electron Microscope (SEM) (Hidayat et al., 2018)

Degradasi atau penguraian kandungan lignoselulosa biomassa terjadi pada rentang suhu tertentu. saat suhu di atas 120C, bahan organik mulai mengalami beberapa dekomposisi termal dan kehilangan kelembaban kimia terikat. Kondisi stabilitas termal selulosa, hemiselulosa, dan lignin berbeda. Hemiselulosa pada

suhu 200C sampai 260C. Selulosa terdegradasi pada suhu 240C sampai 350C.

(Lehmann dan Joseph, 2009). Menurut Khatrin dan Quicker (2018), degradasi lignin terjadi pada suhu 260C-900C.

Biochar memiliki sifat fisiokimiawi (sifat fisika dan kimia biochar) yang umumnya lebih banyak dipengaruhi oleh jenis bahan baku (Ding et al., 2016).

Menurut Zhao et al., (2013) menyatakan bahwa biochar dari bahan baku cocopeat, jerami padi, kernel, kulit kacang, dan batang kayu yang diproduksi pada suhu pirolisis sama (500C) menghasilkan sifat yang berbeda-beda seperti kandungan

(26)

abu, luas permukaan, karbon terikat, dan tingkat alkalinitas, dan unsur hara yang ada di dalamnya. Terdapat hubungan antara kandungan bahan baku terhadap hasil biochar. Bahan baku biochar yang memiliki kadar lignin tinggi akan

menghasilkan biochar sekitar 65% dan kadar karbon lebih tinggi pula (Yashika, 2019).

Suhu pirolisis juga mempengaruhi sifat massa bahan organik yang hilang saat pirolisis berlangsung. Suhu pirolisis yang lebih tinggi dapat menghilangkan kelompok fungsional lignoselulosa dan menimbulkan reaksi kuat dalam melepaskan beberapa senyawa volatile (mudah menguap) yang dapat dikaitkan dengan hilangnya sejumlah unsur makro seperti N, dan S (Prayogo et al., 2012).

Peranan biochar di dalam tanah juga dipengaruhi oleh umur biochar saat diaplikasikan, dan waktu tinggal biochar di dalam tanah, seperti dalam perubahan dalam adsorpsi P dan stabilitas C-Organik tanah setelah amandemen biochar (Han et al., 2018).

Biochar memiliki kelebihan dibandingkan jenis bahan organik lainnya, dimana biochar mampu menghasilkan karbon lebih tinggi. Setelah melalui proses produksi yang memenuhi syarat, biochar mengandung sekitar 50% karbon yang ada dalam bahan dasar. Sedangkan bahan organik yang terdekomposisi secara biologi biasanya hanya mengandung karbon kurang dari 20% setelah 5-10 tahun.

Hal ini menyebabkan biochar menguntungkan dibandingkan bahan organik lainnya (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2009). Keunikan dan kelebihan biochar dibandingkan bahan amandemen lainnya disebabkan karena karbon dapat tersedia di dalam tanah lebih lama (stabil) karena adanya senyawa karbon

(27)

aromatik yang terbentuk dari perubahan senyawa alifatik selama pirolisis (Lehmann dan Joseph, 2009).

Biochar yang diberikan ke tanah bertujuan untuk dapat menjaga kelembaban dan kesuburan tanah. Biochar memiliki total porositas tinggi, yang dapat menahan air pada mikropori biochar, dan mencegah aliran permukaan melalui makropori biochar (Asai et al., 2009). Selain itu, pori biochar mampu menahan nutrisi, dan mencegah kehilangan unsur hara seperti N akibat pencucian.

Ketersediaan hara akibat pemberian biochar terjadi melalui tiga mekanisme yaitu (1) suplai hara langsung dari biochar, (2) kemampuan biochar dalam meretensi

hara, dan (3) dinamika mikrorganisme dalam tanah (Lehmann and Joseph, 2009).

Selain itu, biochar dapat meningkatkan kation utama karena daya adsorpsi yang besar. Ketersediaan unsur hara lain seperti P akibat pemberian biochar dimungkinkan terjadi karena perubahan pH tanah, perubahan efisiensi enzim, pembentukan kompleks organomineral pada ujung aromatik dan gugus fungsional biochar yang meningkatkan kelarutan P di dalam tanah, dan perubahan struktur mikroba (Dai et al., 2016). Menurut hasil penelitian Novak dan Busscher (2013), pemberian biochar kulit kacang sebesar 2% pada tanah berpasir meningkatkan P tersedia dari 28 mg/kg menjadi 39 mg/kg setelah 105 hari inkubasi di dalam tanah. Penambahan biochar optimum di lahan pertanian berkisar antara 1% dan 5% (Matovic, 2010).

Sifat penting biochar yakni kemampuannya dalam memperbaiki kemasaman tanah. Penambahan biochar dapat meningkatkan pH tanah asam namun dengan tanah alkalin, biochar tidak memiliki efek terhadap peningkatan pH tanah, dan bahkan dapat menurunkan pH tanah. Biochar memiliki

(28)

kemampuan dalam memperbaiki kemasaman tanah karena sifat basa dan kapasitas buffer pH yang tinggi. Sifat basa dan kapasitas buffer pH oleh biochar ditentukan bahan bakunya dimana, biochar berbasis pupuk kandang memiiki sifat buffering pH lebih tinggi daripada dari bahan baku lignoselulosa (Dai et al., 2016). Selain itu, besarnya kapasitas buffer pH tanah dari biochar adalah parameter penting untuk mengevaluasi tingkat perbaikan kemasaman tanah. Mekanisme utama yang mempengaruhi kapasitas buffer tanah yakni adanya adanya proses protonasi – deprotonasi oleh gugus fungsional biochar (Xu et al., 2012).

Gambar 3. Mekanisme biochar sebagai pembenah tanah terhadap sifat tanah masam (Dai, Z, et al., 2016)

Mekanisme lain biochar dalam meningkatkan pH di dalam tanah masam disebabkan oleh akumulasi abu yang mengandung mineral dari biomassa yang terbakar, elemen alkalinitas (Na, K, Ca, Mg) dan adanya kalsit pada biochar tersebut (Glaser et al., 2002). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi alkalinitas biochar. Konsentrasi kation basa total memiliki korelasi yang kuat

(29)

dengan alkalinitas, yang dapat menentukan total alkalinitas biochar (Fidel et al., 2017). Jenis dan jumlah grup fungsional juga mempengaruhi

alkalinitas biochar (Khatrin dan Quicker, 2018). Menurut Irwanto (2019), jenis bahan baku biochar juga mempengaruhi kenaikan pH di dalam tanah, dimana biochar dari tulang sapi meningkatkan pH lebih tinggi disusul oleh biochar tandan kosong kelapa sawit dan batang sawit yang kemungkinan disebabkan karena biochar tulang sapi lebih mudah melepaskan komponen alkalinya.

Kelebihan biochar bukan hanya mampu memperbaiki sifat tanah, tetapi biochar di dalam tanah juga dianggap sebagai suatu pendekatan yang baru dan unik untuk menjadikan suatu penampung (sink) bagi CO2 udara dalam jangka panjang pada ekosistem di darat. Jika dilihat dari prespektif iklim, penggunaan biochar dipercaya sebagai karbon negatif dengan anion gugus fungsional yang dapat mengurangi karbon di atmosfer serta konversi karbon biomassa menjadi karbon bochar menjadi upaya mitigasi iklim melalui sekuestrasi karbon.

Meskipun pembakaran langsung biomassa memancarkan karbon dalam biomassa ke atmosfer sebagai CO2, pirolisis dapat mengkonversi karbon ke dalam biochar yang dapat disimpan ke dalam tanah di mana pengurangan emisi CO2 sekitar 2- 60% (Cha et al., 2016). Hal menarik lainnya biochar mampu mengurangi penggunaan pupuk, gas metana, serta mengurangi pencucian pestisida (Ding et al., 2016).

Biochar juga mampu menjerap logam berat seperti Pb, Cd, Cu, dan Zn pada tanah. Kemampuan biochar dalam menjerap logam berat di tanah disebabkan adanya porositas pada permukan biochar dan gugus fungsional seperti gugus karboksil, hidroksil, dan fenolik pada biochar. Sebagai contoh biochar sekam padi

(30)

memiliki kemampuan menjerap logam berat lebih baik dibandingkan kompos kotoran sapi, jerami, dan tandan kosong sawit karena memiliki luas permukaan

yang volume dan ukuran pori besar, yakni 17.65 m2/g, 0.027m3/g dan 63.70 4V/A (Hidayat et al., 2018). Menurut penelitian Lu et al., (2012), biochar mampu

menyerap Pb2+ oleh lumpur biochar dengan menggunakan kation biochar seperti:

Na, Mg, K, dan Ca. Setelah dibebaskan, kation tersebut terpresipitasi dengan materi humat dan oksida mineral biochar. Selanjutnya stabilisasi terjadi dengan mengikat Pb2+ dan kondisi ini akan memperbaiki kualitas tanah.

Gambar 4. Gambaran mekanisme penjerapan logam berat oleh biochar (Lu et al., 2012)

Kompos

Kompos merupakan hasil akhir dari dekomposisi atau fermentasi dari tumpukan sampah – sampah organik yang berasal dari tumbuhan atau tanaman maupun yang berasal dari hewan. Kompos dibuat dengan cara menumpukkan bahan– bahan organik lalu membiarkannya terurai menjadi bahan–bahan yang

mempunyai perbandingan C/N yang rendah sebelum digunakan sebagai pupuk (Damanik et al., 2010). Contoh sumber bahan organik sebagai bahan baku

(31)

kompos diantaranya limbah pertanian seperti, jerami, sekam padi, tandan kosong

sawit, sampah atau limbah kota, kotoran hewan/ternak, dan lain sebagainya (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Reaksi yang terjadi selama proses pengomposan yakni terjadi perubahan C menjadi CO2 dan CH4 yang berupa gas dan menguap sehingga menyebabkan penurunan kadar karbon. Sedangkan, nilai N total dalam bahan organik mengalami peningkatan karena proses dekomposisi bahan kompos oleh

mikroorganisme yang menghasilkan ammonia dan nitrogen, sehingga kadar N total kompos meningkat. Meningkatnya kandungan N total dan menurunnya C-Organik menyebabkan rasio C/N mengalami penurunan. Komposisi bahan untuk dikomposkan memiliki nisbah C/N ideal sekitar 30, sedangkan kompos matang memiliki nisbah C/N < 20 (Triviana dan Adhitya, 2017).

Kompos dibuat dengan dua cara, yakni secara aerobik dan anaerobik berdasarkan mikroorganisme pendekomposisi dan kebutuhan akan oksigennya.

Pengomposan secara aerobik merupakan proses pengomposan yang membutuhkan

oksigen selama proses berlangsung. Dalam sistem ini, kurang lebih 2/3 unsur C menguap menjadi (CO2) dan sisanya bereaksi dengan N dalam sel hidup.

Selama proses berlangsung, akan terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas.

Kenaikan suhu dalam timbunan bahan organik menghasilkan suhu yang menguntungkan mikroorganisme termofilik. Sedangkan pada pengomposan secara anaerobik ,terjadi penguraian bahan organik dalam kondisi tanpa oksigen. Tahap pertama, bakteri penghasil asam menguraikan bahan organik menjadi asam lemak, aldehia, dan lain–lain. Proses selanjutnya bakteri dan kelompok lain akan mengubah asam lemak menjadi gas metan, amoniak, CO2, dan hidrogen. Pada

(32)

proses anaerob, karbondioksida dan metan yang dihasilkan biasanya mencapai 99% dari total gas yang diproduksi (Setyorini et al., 2006).

Reaksi pengomposan tersebut dapat dituliskan oleh sebagai berikut : CHON + O2 + Nutrien CO2 + H2O+ NH3 + SO42-

+Panas+Kompos (Aerobik)

CHON + Nutrien CO2 + CH4 + NH3 + H2S + Panas + Kompos (Anerobik)

(Sriharti dan Takiyah Salim, 2010)

Faktor – faktor yang mempengaruhi cepat atau lambat terjadinya pelapukan dan penguraian dari bahan kompos yakni kandungan zat dan ukuran bahan mentah, suhu, kelembaban, air, dan udara. Suhu optimal pengomposan sekitar 30-50C, dan kelembaban 40-60%. Jika kandungan zat – zat tertentu seperti lignin cukup banyak atau besar maka penguraian akan berlangsung lambat.

Proses pengomposan dapat dipercepat dengan menggunakan EM4 di mana pada dosis 300 ml/10 kg sampah organik efektif mempercepat kematangan kompos selama (30 - 46 hari) (Nurhidayati, 2007).

Kompos sebagai bahan organik yang mengalami dekomposisi memiliki beberapa karakteristik sehingga dapat digolongkan sebagai pembenah tanah.

Karakteristik umum dimiliki kompos antara lain: (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah yang bervariasi tergantung bahan asal, (2) menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah yang terbatas; dan (3)

mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah (Setroyini et al., 2006).

Hasil dekomposisi kompos mengandung asam organik, seperti asam humat, asam humin dan asam fulvat. Asam humat ternyata memiliki struktur kimia lebih kompleks dibandingkan dengan asam fulvat. Kandungan gugus

(33)

fungsional yang ada dalam asam humat dan asam fulvat antara lain : karboksil, fenol, quinon, keton dan metoksil. Banyaknya gugus fungsional pada unsur humus akan menentukan jumlah muatan negatif bebas yang berpengaruh terhadap penjerapan kation-kation hara oleh misel tanah (Saptiningsih dan Sri, 2015).

Kumar et al., (2013) menemukan bahwa pada kompos, struktur karbon bersifat alifatik lebih banyak dibandingkan karbon aromatik.

Gambar 5. Gambar gugus fungsional kompos matang secara umum (Chatterjee et al., 2013)

Manfaat kompos di dalam tanah mencakup perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Secara fisik, aplikasi kompos mampu memperbaiki struktur tanah sehingga merangsang perakaran yang sehat, mempertahankan kandungan air tanah, dan memperbaiki aerasi tanah. Kompos juga merupakan sumber hara makro dan mikromineral secara lengkap (N, P, K, Ca, Mg, Zn, Cu, B, Mo dan Si), meskipun dalam jumlah relatif kecil (Setyorini et al., 2006). Menurut penelitian Siregar et al., (2017), pemberian kompos kotoran sapi setelah menaikkan pH tanah Ultisol dari 5,58 pada 3 minggu inkubasi menjadi 5,63 pada 4 minggu inkubasi. Namun, menurut menurut Alfian (1997), pemberian kompos kotoran

(34)

kadar C-Organik di dalam tanah, seiring bertambahnya inkubasi tanah.

Menurunnya kadar C-Organik dan C/ N di dalam tanah menandakan terjadinya dekomposisi bahan organik tanah.

Selain itu secara biologi, kompos dapat menyumbang berbagai jenis mikrooganisme seperti fungi, actinomycetes, dan bakteri. Penambahan kompos ke dalam tanah tidak hanya menignkatkan populasi mikroorganisme, tetapi mikroorganisme tersebut juga dipacu untuk berkembang. Aktivitas mikroorganisme akan mempengaruhi siklus hara seperti proses nitrifikasi, amonifikasi, dan fiksasi nitrogen, memacu produksi zat pertumbuhan, dan enzim hidrolase sehingga kesuburan tanah semakin meningkat (Setyorini et al., 2006).

(35)

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, dan PT. Socfin, Medan, Indonesia pada bulan November 2019 – April 2020.

Bahan dan Alat

Adapun bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah jerami dari Desa Tanjung Sari, Kecamatan Medan Selayang, tandan kosong kelapa sawit dari PT.

Socfindo Bangun Bandar, Serdang Bedagai, Medan, dan kotoran sapi dari Peternakan Sapi H. Tengku di Kecamatan Medan Johor, sebagai bahan baku biomassa dalam pembuatan biochar dan kompos, masing – masing pada dosis yang sama yakni 10,2 g/pot, bahan tanah Ultisol sebagai contoh tanah yang diteliti, air untuk menjaga kelembaban tanah, activator EM4 (effective microorganisms), gula merah sebagai bahan pengomposan, serta bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis di laboratorium.

Adapun alat penelitian yang digunakan antara lain drum pirolisis sebagai

alat untuk membuat biochar dengan cara retort (pemanggangan) pada suhu (250-450C) (Hidayat et al., 2018), cangkul dan karung sebagai alat dan wadah

untuk mengambil contoh tanah penelitian, ayakan untuk menyaring tanah, biochar dan kompos, wadah plastik minuman sebagai pot untuk tanah, pH meter untuk mengukur pH tanah, parang untuk mencacah bahan baku penelitian, infrared termometer digital untuk mengukur suhu pirolisis biochar, timbangan analitik

(36)

untuk menimbang bahan penelitian, plastik terpal sebagai alas pengomposan, serta alat – alat lain yang mendukung penelitian.

Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok Non Faktorial dengan faktor perlakuan jenis bahan baku biochar dan kompos dari beberapa biomassa.

Tabel 1. Perlakuan berbagai jenis bahan biochar dan kompos

No Perlakuan

Simbol Biomassa

1 C Kontrol

2 Bj Biochar Jerami

3 Bt Biochar Tandan Kosong Kelapa Sawit

4 Bs Biochar Kotoran Sapi

5 Kj Kompos Jerami

6 Kt Kompos Tandan Kosong Kelapa Sawit

7 Ks Kompos Kotoran Sapi

Dengan dosis masing–masing perlakuan sebesar 10,2 g/pot atau setara dengan 3%

BTKO (Yuan et al., 2011).

Dengan demikian terdapat 7 perlakuan dengan 3 ulangan sehingga diperoleh 21 unit percobaan.

Model linear yang digunakan yaitu :

Yij = μ + ρi + βj + єij Di mana:

Yij : hasil pengamatan yang diperoleh pada perlakuan ke-i dan blok ke-j μ : nilai tengah umum (rataan)

ρi : pengaruh pemberian jenis biochar dan kompos pada taraf ke-i βj : pengaruh blok ke-j

єij : pengaruh galat pada perlakuan

(37)

Data - data yang diperoleh akan diuji statistik berdasarkan analisis sidik ragam pada taraf 5% dan 1% dan selanjutnya dilakukan uji beda rataan Kontras Orthogonal pada taraf 5% dan 1%.

Pelaksanaan Penelitian Pengambilan Contoh Tanah

Pengambilan contoh tanah Ultisol di desa Tanah Abang, Kecamatan

Galang, Kabupaten Deli Serdang dengan sub grup Typic Hapludult (Adiwiganda et al., 1996) yang dilakukan secara acak pada kedalaman 0-20 cm

dari permukaan tanah kemudian dimasukkan ke dalam karung dan dikompositkan.

Bahan tanah dikeringudarakan lalu diayak dengan ayakan 10 mesh.

Analisis Tanah Awal

Tanah yang telah dikeringudarakan dan telah diayak lalu dilakukan analisis tanah awal meliputi: kadar air, kadar air kapasitas lapang (% KL), pH H2O, pH KCl, C-Organik, Aldd, P Bray II, N total tanah, dan P total. Hasil analisis awal tanah Ultisol Desa Tanah Abang dapat dilihat pada Lampiran 3.

Persiapan Biochar

Bahan baku biochar berasal dari jerami padi dan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dicincang dengan ukuran sekitar 5 cm, lalu dijemur hingga kering sekitar ± 5 hari agar tidak terlalu basah. Limbah jerami dan TKKS selanjutnya dimasukkan ke dalam drum/ tabung pirolisis dan ditata agar tidak terdapat ruang kosong, lalu dipirolisis/dipanaskan selama ± 2-2,5 jam.

Sementara itu, bahan baku biochar kotoran sapi dikeringkan terlebih dahulu hingga kering sekitar ± 1 minggu. Kotoran sapi selanjutnya dimasukkan ke

(38)

dalam tabung pirolisis, lalu dilakukan pirolisis selama ± 1,5 jam. Setelah itu, api dimatikan dan bahan dibiarkan dingin secara alami.

Gambar 6. Drum Pirolis BT 01

Masing – masing biochar tersebut diayak dengan ukuran ayakan 40 mesh dan dianalisis pH H2O (ekstrak H2O 1 : 20) (IBI, 2014), C-Organik, N-total, C/N, dan P total. Selanjutnya hasil analisis awal biochar dapat dilihat pada Lampiran 5.

Persiapan Kompos

Bahan baku jerami, tandan kosong sawit (TKKS), dan kotoran sapi dikomposkan selama ± 4 minggu dengan penambahan EM4 untuk mempercepat proses pengomposannya sampai kadar C/N turun <20%. Selanjutnya dianalisis kadar air, pH H2O (ekstrak H2O), C-Organik, N-total, C/N dan P total.

Selanjutnya hasil analisis awal kompos dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tabel 2. Hasil pengamatan proses pembuatan biochar dan kompos

Perlakuan Suhu Waktu

Biochar Jerami 404C 2 jam Tandan Kosong Sawit 439C 2,5 jam

Kotoran Sapi 257C 1,5 jam

Kompos Jerami 30C 1,5 bulan

Tandan Kosong Sawit 30C 2 bulan

Kotoran Sapi 30C 1,5 bulan

Penutup termolisis Tabung Kondensasi Pipa Asap Cair Tabung Termolisis

Dudukan Kompor Gas

(39)

Aplikasi Perlakuan

Bahan tanah ditempatkan ke dalam pot berupa wadah minuman atau cup plastik setara 340 g TKO sebanyak 21 pot, biochar dan kompos diaplikasikan

sebanyak 10,2 g pada setiap pot sesuai dengan perlakuan dan dicampur merata.

Kemudian pot tersebut disusun sesuai bagan percobaan. Proses inkubasi dilakukan selama 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan dalam keadaan kapasitas lapang.

Analisis Akhir Parameter

Analisis akhir parameter pada semua perlakuan dilakukan terlebih dahulu dengan mengeluarkan sampel tanah dari pot, lalu dikeringudarakan dan diayak pada ukuran 10 mesh. Selanjutnya, analisis akhir parameter dilakukan secara

series selama sebulan sekali (bulan ke-1, 2, 3) untuk parameter pH H2O, C-Organik (%), N total (%), dan P tersedia (ppm).

Parameter Penelitian

a. Pengukuran pH (H2O) pada aplikasi biochar dan kompos setelah inkubasi selama 1, 2, dan 3 bulan dengan metode elektrometri.

b. Pengukuran C-Organik tanah pada aplikasi biochar dan kompos setelah inkubasi selama 1, 2, dan 3 bulan dengan metode Walkley and Black.

c. Pengukuran N total tanah pada aplikasi biochar dan kompos setelah inkubasi selama 1, 2, dan 3 bulan dengan metode Kjehdahl.

d. Pengukuran P tersedia (ppm) pada aplikasi biochar dan kompos setelah inkubasi selama 1, 2, dan 3 bulan dengan metode Bray II.

(40)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Aplikasi amandemen organik biochar dan kompos selama 1, 2, dan 3 bulan inkubasi dapat memperbaiki sifat kimia tanah Ultisol.

2. Pemberian biochar lebih baik dalam memperbaiki sifat kimia tanah Ultisol dibandingkan dengan kompos selama 1, 2 dan 3 bulan inkubasi.

3. Pemberian biochar dari biomassa kotoran sapi dan tandan kosong kelapa

sawit lebih baik dalam meningkatkan pH H2O, C-Organik, N-total, dan P tersedia pada tanah Ultisol dibandingkan pemberian biochar dari

biomassa jerami.

4. Pemberian kompos dari biomassa kotoran sapi dan tandan kosong kelapa

sawit lebih baik dalam meningkatkan pH H2O, C-Organik, N-total, dan P tersedia pada tanah Ultisol dibandingkan dengan pemberian kompos dari

biomassa jerami.

Saran

Sebaiknya digunakan biochar tandan kosong kelapa sawit untuk meningkatkan kadar C-Organik dan biochar kotoran sapi untuk meningkatkan pH dan hara di tanah Ultisol.

.

(41)

DAFTAR PUSTAKA

Alfian, M. 1997. Pengaruh Taraf Bahan Organik dan Masa Inkubasi Terhadap Kandungan C-Organik, N-Total, NH4NO-, dan C/N Tanah pada Latosol Darmaga. Jurusan Tanah. Institut Pertanian Bogor.

Arhamsyah, A. 2010. Pemanfaatan Biomassa Kayu Sebagai Sumber Energi Terbarukan. Jurnal Riset Industri Hasil Hutan. Banjarbaru. 2 (1).

Asai H., Samson B.K., Stephan H.M., Songyikhangsuthor K., Homma K., Kiyono Y., Inoue Y., Shirawa T., Horie T., 2009. Biochar Amandement Techniques for Upload Rice Production in Nothern Laos. Soil Physical Properties, Leaf SPAD and Grain Yield. Field Crops Research 111:81-84.

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2009. Biochar Penyelamat Lingkungan.

Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 31. No:6.

Barchia, M.F., 2009. Agroekosistem Tanah Mineral Masam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Brewer, C.E. 2012. Biochar characterization and engineering. Chemical Engineering; Biorenewable Resources and Technology. Iowa State University.

Cha, J.S., Sung, H.P., Sang, C.J., Changkook R., Jong K.J., Min, C.S., dan Young, K.P. 2016. Production and Ultization of Biochar : A Review. Journal of Industrial and Engineering Chemistry. 40 : 1-15.

Chandra. 2012. Konversi Energi Biogas menjadi Energi Listrik sebagai Alternatif Energi Terbarukan dan Ramah Lingkungan di Desa Pangpajung Madura.

Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.

Chatterjee, N., M. Flury., Curtis, H., and C. Coggen. 2013. A Review. Chemical and Physical Characteristics of Compost Leachates. Washington State University.

Dai, Z., X. Zhang, C. Tang, N. Muhammad, J. Wu, P. C. Brookes, J. Xu.2016.

Potential Role of Biochars in Decreasing Soil Acidification. A critical Review. Sci Total Environ.

Dai, Z,, Y. Wang, N. Muhammad, X. Yu, K. Xiao, J. Meng, X. Liu, J. Xu, dan P. C. Brookes, J. Xu. (2016b). Biochar: A Potential Route For Recycling Of Phosphorus In agricultural Residues. GCB Bioenergy. John Wiley &

Sons Ltd. China.

Damanik, M.M. B., Bactiar E.H., Fauzi, Sarifuddin, dan Hamidah Hanum. 2010.

Kesuburan Tanah dan Pemupukan. USU Press. Medan.

(42)

Demirbas, A. 2001. Relationship Between Lignin Content And Heating Values Of Biomass. Energy Corserv Manag. 42:183-188.

Dewanti, D. P. 2018. Potensi Selulosa dari Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit untuk Bahan Baku Bioplastik Ramah Lingkungan. Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 19:No 1.

Ding, Y.Y. Liu, S. Z. Li, X. Tan. X. Huang, G. Zheng, L. Zhou, B. Zheng. 2016.

Biochar to Improve Soil Fertility. A review Agron. Sustain. Dev. 36.

36:1-18.

Ekawandani, N., dan Arini Anzi Kusuma. 2018. Pengomposan Sampah Organik

(Kubis Dan Kulit Pisang) Dengan Menggunakan EM4. TEDC Vol. 12 No. 1. Teknik Kimia. Bandung.

Fang, Y., B. Sing, B.P. Singh, 2015. Effect Of Temperature On Biochar Priming Effects And Its Stability In Soils. Soil Biol. Biochem. 80:136–145.

Fidel, R.B., Laird, D.A., Thompson, M.L., Lawrinenko, M., 2017.

Characterization and quantification of biochar alkalinity. Chemosphere 167:367–373.

Glaser, B., Lehmann, J. and Zech, W. 2002. Ameliorating Physical And Chemical Properties Of Highly Weathered Soils In The Tropics With Charchoal:A review. Biol Fertil Soils. 35:219-230.

Glaser, B. 2015. Soil Biogechemistry From Molecular to Ecosystem Level Using Terra Preta and Biochar as Examples. In Noureddine B. (ed) Agroecology, Ecosystems, and Suistainability,. CRC. Press.

Goenadi, D.H. dan Laksmita P.S., 2017.Kontroversi Aplikasi dan Standar Mutu Biochar. Makalah Review. Jurnal Sumberdaya Lahan. Vol. 11 (1):23-32.

Han, Y., Xiangwei C., and Enheng, Xiangyou, X. 2019. Optimum Biochar Preperation of Enhance Phosphorus Avaibility in Amanded Mollisols of Notherheast China. Chilean Journal Of Agricultural Research 79(1).

Hardjowigeno. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akamedika Pressindo.

Jakarta.

Hidayat, B., A. Rauf, T. Sabrina, and J. Ali. 2018. Potential Of Several Biomass As Biochar For Heavy Metal Adsorbent. Journal Of Asian Scientific Research. Vol. 8:No.11, pp. 293-300.

Hapsari, Umi. 2018. Pengaruh Aerasi dan Kadar Air Awal terhadap Kinerja PengomposanKotoran Sapi Sistem Windrow. 2018. Agrinova: Journal of Agriculture Inovation. Vol 1 (1), 008-014.

(43)

Irwanto. 2019. Potensi Biochar Dari Beberapa Bahan Baku Serta Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Kedelai Dalam Mengatasi Kemasaman Tanah Ultisol. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara,Medan.

Iskandar T., dan N.D. Siswati, 2012. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Energi Alternatif Melalui Konversi Thermal. Program Studi Teknik Kimia.

Fakultas Teknik, Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang Buana Sains. Vol 12 (1):117-122.

Jamieson, T., Eric, S., and Celine G., 2014. Characterization Of Biochar-Derived Dissolved Organic Matter Using UV–Visible Absorption And Excitation–

Emission Fluorescence Spectroscopies. Chemosphere., 103, 197-204 Karimi, K., S., Kheradmandinia and M.J. Taherzadeh. 2006. Conversion Of Rice

Straw To Sugar By Diluteacid Hydrolysis. Biomass Bioenergy. 30:

247-253.

Khatrin, W dan P Quicker. 2018. Proertpies of Biochar. Review Article. Fuel 217:240-261.

Kiran, Y.K.,B. Ali, X.Q. Cui, Y. Feng, F.S. Pan, L. Tang, Yang. 2017. Cow Manure And Cow Manure-Derived Biochar Application As A Soil Amendment For Reducing Cadmium Availability And Accumulation Bybrassica Chinensis L. In Acidic Red Soil. Journal of Integrative Agriculture 2017, 16(3): 725–734.

Kloss, S., Franz Z., Alex D., Raad H., Franz O., Volker L., Manfred S., Martin H.G., and Gerhard S.2012. Characterization of Slow Pyrolysis Biochars:

Effects of Feedstocks and Pyrolysis Temperature on Biochar Properties. J.

Environ. Qual. 41, 990.

Kong, S.H., S.K. Loh, R.T. Bachmann, S. A. Rahim, J. Salimon. 2014. Biochar from Oil Palm Biomass. A Review of its Potential and Chalenges.

Renewable and sustainable Energy Reviews 39 (2014) 729-739.

Kumar DS, Kumar PS, Rajendran NM, Anbuganapathi G. 2013. Compost Maturity Assessment Using Physicochemical Solid-State Spectroscopy and Plant Bioassay Analysis. J. Agric. Food Chem. India. 61: 11326- 11331.

Lee, J., K. Sarmah., E.E. Kwon. 2019. Production and Formation of Biochar in Yong S.O.O., D.L.C.W. Tsang, N.Bolan and J.M. Novak (Eds) Biochar From Biomass and Waste. Fundamentals and Applications.Elsevier Inc.

Lehmann, J. and Joseph. 2009. Biochar for Enviromental Management: Science and Technology. Sterling, Va. Earthscan.

(44)

Liang, B., Lehmann, J., Solomon, D., Kinyangi, J., Grossman, J., O’Neill, B.

Skjemstad J.O., Thies, J., Luizao, F.J., Peterson J., Neves E.G. 2006. Black Carbon Increases Cation Exchange in Soil. Soil Science Society of America Journal. 70:5. 1719-1730.

Lingga, P., 2006. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Depok.

Lu H, Zhang Y, Huang X, Wang S, Qiu R, 2012. Relative distribution of Pb2+

sorption mechanisms by sludge-derived biochar. Wat Res 46-854-862.

Loh, SK., Subramaniam, V., Ngatiman, M. 2012. Oil Palm Biomass Energy Resource Data. 2012. Malaysian Palm Oil Board: Kuala Lumpur.

Major, J., C. Steiner,A. Downie and J. Lehmann. 2010. Biochar Effects on Nutrient Leaching.in Lehmann, J., and Joseph, (ed). Biochar for environmental management: Science and Technology. Sterling, Va.

Earthscan. pp.33-43.

Matovic, D. 2010. Biochar As A Viable Carbon Sequestration Otion : Global and Canadian Perspective. Energy 36:2011-2016.

Mukhlis, Sarifuddin, dan H. Hanum . 2017. Kimia Tanah. Edisi Kedua. USU Press. Medan.

Murphy, B.W. 2014. Soil Organic Matter and Soil Function-Review of the Literature and Underlying Data. Departement of the Environmental.

Canberra. Australia.

Nachenius, R.W., F. Ronsse., R.H., Venderbosch,, and W. Prins. Biomass Pyrolysis. Chapter Two. Department of Biosystems Engineering. Faculty of Bioscience Engineering, Ghent University, Ghent, Belgium.

Nawawi, D.S., Anne, C., Tasya, S., Deni, D., Siti, L.G., Nyoman, J.W., Rita, K.S., Wasrin, S., 2018. Karakteristik Kimia Biomassa untuk Energi.

Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

J. Ilmu Teknol. Kayu Tropis Vol. 16:1.

Nguyen, T. T. N, C. Y. Xu, I. Tahmasbian, R. Che, Z. Xu, X. Zhou , H. M.

Wallace, and S. H. Bai. 2017. Effects of biochar on soil available inorganic nitrogen: A review and meta-analysis. Geoderma, 288 : 79–96.

Noor, M.N., Adilah S., Nurhayati, A., dan Nur S., ,M., A., 2019. Temperature Effect On Biochar Properties From Slow Pyrolysis Of Coconut Flesh Waste. Malaysian Journal of Fundamental and Applied Sciences. Vol. 15:

No. 2. 153-158.

(45)

Novak J.M., and Busscher W.J. 2013. Selection and Use of Designer Biochar to Improve Chracteristics of Southestern USA. Coastal Plain Degraded Soil.

Advanced Biofuels and Bioproducts. Springer. New York. Pp 69-96.

Novak JM, Isabel L., Baoshan, X., Julia, W., Gaskin, Christoph, S., K.C. Das., Mohamed, A., Djaafar, R., Donald, W., Watts, Warren, J.B, and Harry, S., 2009. Characterization Of Designer Biochar Produced At Different Temperatures And Their Effects On Loamy Sand. Ann Environ Sci 3:195–

206.

Nurhidayati. 2007. Kesuburan dan Kesehatan Tanah. Intimedia. Malang.

Nurida, L.N., D. Ai., dan R. Achmad. 2013, Peningkatan Kualitas Tanah dengan Pembenah Tanah Biochar Limbah Pertanian. Jurnal Tanah dan Iklim.

Bogor.

Pasaribu, N.R., Fauzi, Asmarlaili. 2018.Aplikasi Beberapa Bahan Organik dan Lamanya Inkubasi Dalam Meningkatkan P-Tersedia Tanah Ultisol.

Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. NR Conference Series 01 (2018) 110–117.

Prasetyo, B. H. dan D. A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi dan Pengelolaan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 25(2): 39-47.

Prayogo. C., N.D. Lestari., dan K.S., 2012. Karakteristik dan Kualitas Biochar dan Pirolisis Biomassa Tanaman Bio Energi Willow (Sallix SP.). Buana Sains.

Vol 12: No. 1. Hal: 9-18.

Rajapaksha, AU., Yong, SO., Ali, EN. Hyojeon, K., Fanhao, S., Seoktae K., Yiu, F.T., 2019. Dissolved Organic Matter Characterization Of Biochars Produced FromDifferent Feedstock Materials. Journal of Environmental Management. 233:393–399.

Rashad, F.M., Kesba, H.H., Saleh, W.D., Moselhy, M.A.2011.Impact of Rice Straw Composts on Microbial Population, Plant Growth, Nutrient Uptake and Root-Knot Nematode Under Greenhouse Conditions, African Journal of Agricultural Research. 6:1188-1203.

Rosmarkam, A., dan W.Y. Nasih, 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius.

Yogyakarta.

Saptiningsih, Endah, dan Sri, Haryanti. 2015. Kandungan Selulosa Dan Lignin Berbagai Sumber Bahan Organik Setelah Dekomposisi Pada Tanah Latosol. Jurnal Pertanian. Universitas Diponegoro. Semarang.

Gambar

Gambar  1.  Bentuk  Fisik  dan  Kandungan  Kimia  Biochar   (Lehmann dan Joseph, 2009)
Gambar 2. Penampakan luas permukaan biochar kotoran sapi (a), jerami padi (b),
Gambar  3.  Mekanisme  biochar  sebagai  pembenah  tanah  terhadap  sifat  tanah  masam (Dai, Z, et al., 2016)
Gambar  4.  Gambaran  mekanisme  penjerapan  logam  berat  oleh  biochar   (Lu et al., 2012)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap pemanasan ini pati akan mengalami proses gelatinasi sehingga granula pati rusak akibat pemanasan di dalam air berlebih dan amilosa dilepaskan dari

Dalam Kitâb al-Burhân , Ibn Rusyd menjelaskan perbedaan keduanya sebagai berikut: (1) konsepsi menjelaskan esensi suatu objek yang dikonsepsikan ( definiendum ), sedang

Upaya yang sudah dilakukan Perwakilan BPKP Aceh untuk mencapai outcome tersebut adalah dengan melakukan pembinaan terkait penegakan independensi auditor serta

Dari pasal tersebut memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan inovasi dalam rangka pelaksanaan kewenangan daerah yang diatur dalam Undang-Undang, Termasuk dalam

penelitian ini adalah empat orangtua kandung dari penderita, anak telah menderita skizofrenia selama lima tahun sejak didiagnosa dan memiliki riwayat

Ketika seorang perempuan sedang berkumpul dengan beberapa temannya dalam sebuah perkumpulan majlis taklim, maka laki-laki yang menjadi saudara perempuan tersebut dilarang

ko online mas dengan cash iran dari pemi unaan data ol Ditambah la mor 8 tahun 19 yakni mengen n bank terhad umen pemega enjual tidak m keamanan da unia maya. tra m di m ke pa ka pi

Metode:  Ceramah Media:  Ms.PowerPoint Alat:  LCD Projector  Alat peraga 10 menit Penyajian (Inti)  Mendeskripsikan definisi anatomi sistem alat gerak